BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/28679/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... ·...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANGeprints.umm.ac.id/28679/2/jiptummpp-gdl-s1-2011... ·...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak tumbangnya kekuasaan orde baru pada 21 Mei 1998, hampir semua
komponen bangsa memberikan perhatian yang serius pada perbaikan demokrasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap wacana politik nasional pun
hampir identik dengan tema demokratisasi. Alasannya cukup sederhana, karena
proses politik selama kurang lebih tiga puluh dua tahun hampir tidak melihatkan
suasana demokratis. Kekuasaan yang dinilai cenderung otoriter telah memenjara
masyarakat pada politik yang seba terbatas. Istilah politik seolah-olah hanya bisa
dibaca dalam kamus kekuasaan, dan tidak pada lembaran kehidupan masyarakat
pada umumnya. Tidak ada aktivitas politik dalam kehidupan masyarakat kecuali
hanya ikut terlibat sesaat sebagai pemilih “pasif” pada pesta Pemilihan Umum
untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk pada kelembagaan legislatif.1
Sejalan dengan sikap politik yang pragmatis tersebut, politik Indonesia
sampai saat ini masih dihadapkan dengan tantangan korupsi, kolusi, nepotisme
(KKN). Indonesia yang identik sebagai negeri elok yang kaya akan sumber daya
alam, tapi tidak ada kejelasan kemana arah pembangunannya. Tanah subur dengan
lembah-lembah yang kaya, hamparan sawah yang luas, perut bumi mengandung
air mineral yang melimpah, lautan yang menyimpan jutaan spesies ikan di
dalamnya, belum mampu menjadi roda perekonomian untuk mengantarkan
kepada perubahan masyarakat yang sejahtera. Berdasarkan data Kompas yang
1 Asep Saifullah, Komunikasi Politik Indonesia, Bandung: Rosda, 2008, hlm 1.
1
2
menyajikan data penduduk miskin di Indonesia per Maret 2009 menunjukkan
bahwa penduduk miskin di Indonesia jumlahnya mencapai 32,53 juta orang
dengan rincian perbandingan 11,91 juta orang berasal dari perkotaan dan 20,62
juta orang dari pedesaan.2 Ini membuktikan pengelolaan sumber daya alam belum
sepenuhnya optimal dinikmati masyarakat.
Masa depan politik seharusnya berani memberikan ruang terbuka bagi
masyarakat untuk memiliki dan mengolah sumber daya alamnya. Sehingga ironi
negeri yang kaya akan sumber daya alam, namun tidak mampu menyejahterakan
kehidupan rakyat dapat terbantahkan. Dengan demikian, dalam konteks hubungan
Negara dan rakyat, proses pengelolaan sumber daya alam yang ada membutuhkan
political will pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab pembangunan melalui
proses komunikasi politik yang jujur di antara komponen-komponen sosial.
Asep Saefullah menyatakan bahwa, komunikasi politik akan menyalurkan
energi-energi kehidupan politik secara timbal balik, baik dari pemerintah kepada
masyarakat maupun sebaliknya.3 Komunikasi politik dan demokrasi merupakan
dua hal yang memang tidak dapat dipisahkan, karena komunikasi politik memiliki
dua fungsi sebagai alat dalam proses demokrasi dan juga komunikasi politik
menjadi identitas demokrasi dari berlakunya sistem politik yang dianut Indonesia
saat ini.
Mewujudkan cita-cita Indonesia yang sejahtera dengan kehidupan yang
adil dan makmur melalui sistem politik demokrasi yang berlangsung,
membutuhkan media dalam aktivitas komunikasi politiknya. Dan dalam
2 Data diambil dari Koran Kompas tanggal 12 Juli 2010 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik
3 Asep Saefullah, op.cit., hlm.2.
3
perkembangan konteks politik modern, media massa tidak hanya menjadi bagian
integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik. Media
massa dapat menjadi transformasi kebijakan, control social-politik, tuntutan
masyarakat dan upaya membangun opini public. Lebih-lebih, dewasa ini, media
massa bahkan melakukan “kolaborasi” politik melalui iklan kampanye politik
untuk membuka jalan baru bagi tokoh atau partai politik dalam meraih keputusan-
keputusan masyarakat pada saat pemilihan umum (pemilu).
Menurut Dye dan Zeigler, dalam Pawito menjelaskan bahwa,
“mengidentifikasi fungsi politis media massa ada hal lima pokok yang dapat
dicermati, yaitu: fungsi pemberitaan, interpretasi, sosialisasi, persuasi, dan fungsi
pengagendaan isu.”4 Memiliki lima fungsi tersebut, media massa memiliki peran
signifikan dalam merepresentasikan figur partai politik yang memiliki kredibilitas
bagi masyarakat. Atas permintaan partai politik misalnya, media massa
menayangkan iklan kampanye untuk mencari atau meningkatkan dukungan.
Persuasi disampaikan lebih dilatar belakangi oleh kepentingan pihak pembuat
iklan. Gagasan, informasi, dan image yang disampaikan melalui media massa
dalam konteks persuasi khususnya dalam aktivitas kampanye dimaksudkan untuk
meningkatkan popularitas dan dukungan publik terhadap partai atau kandidat
tertentu.
Iklan kampanye politik sebagai bentukan budaya kontemporer tersebut,
pada dasarnya lahir dari liberalisasi politik dan liberalisasi ekonomi yang
berkembang di Indonesia. Lahirnya liberalisasi politik dan liberalisasi ekonomi
dapat berimbas terhadap model kampaye partai politik dalam momen pesta
4 Pawito dalam bukunya berjudul “Komunikasi Politik” halaman 95.
4
demokrasi atau Pemilu (pemilihan umum). Model kampanye yang menumpukan
pengemasan imagery dalam media iklan, daripada kekuatan mesin politik lama
yang masih bergantung kepada koalisi partai. Pada perkembangannya, demokrasi
di tanah air, menurut Deddy N. Hidayat sebagaimana dikutip Akhmad Danial
bahwa, gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia dan sejumlah negara
lain telah menciptakan pasar bagi para electioneer atau konsultan kampanye
profesional dari Amerika untuk melakukan ekspansi global dan mengekspor jasa
konsultasi strategi, taktik, dan teknik pemenangan Pemilu.5
Realita penerapan model komunikasi persuasi seperti itulah yang terjadi di
Indonesia dalam pemilihan umum 2009. Gerindra yang notabene sebagai partai
kecil yang baru pertama kali ikut dalam pesta demokrasi pemilihan umum
(pemilu) 2009, mampu menorehkan prestasi menakjubkan dengan capaian jumlah
suara pemilih 4.646.406 atau 4,46 % dari jumlah seluruh pemilih. Jumlah yang
mampu mengangkat partai Gerindra berada dalam jajaran peringkat delapan
terbaik dan sebagai partai baru yang mendulang angka pemilih terbanyak
dibandingkan partai-partai baru lainnya yang kemudian juga mengantarkan
Gerindra sebagai partai yang lolos electoral trasehold pada pemilihan umum
2009.
Iklan kampanye politik partai Gerindra versi “garuda” merupakan sarana
persuasi yang mampu menjangkau banyak pemilih, dengan waktu yang sangat
cepat. Hal yang hampir -untuk tidak mengatakan pasti— mustahil untuk
mendapatkan jumlah suara sebanyak itu, dipandang dari sisi waktu yang sempit
bagi tim sukses kampanye partai Gerindra untuk mendatangi target pemilih
5 Akhmad Danial, Iklan Politik TV, Yogyakarta:LKIS, 2009, hlm 9.
5
mereka secara langsung atau “door to door”. Penggunaan transmitter media
massa televisi adalah cara yang sangat memungkinkan untuk mengenalkan partai
Gerindra dengan target pemilih melalui iklan kampanye politik. Tayangan iklan
dengan kombinasi tanda-tanda di setiap tampilannya sangat identik, sehingga
mempersepsikan partai Gerindra mudah diingat oleh masyarakat pemilih.
Setidaknya, sampai tingkat tertentu, publik menjadikan informasi yang diperoleh
dari media massa melalui iklan versi “garuda”, sebagai rujukan pemahaman untuk
mencitrakan partai Gerindra sebagai partai yang kredibel bagi rakyat Indonesia.
Informasi media kemudian membentuk persepsi, pendapat, sikap dan akhirnya
tindakan publik untuk memilih Gerindra pada pemilu legislatif 2009.
Hal ini tidak lain adalah suatu bentuk kerja pengolahan dunia tanda untuk
menghasilkan citra yang, menurut Yasraf Amir Piliang menunjukkan bahwa,
kebudayaan kontemporer dibentuk oleh hutan rimba-rimba tanda dan citraan yang
datang dan pergi dalam kecepatan tinggi, apakah itu citraan film, iklan, televisi,
internet, atau produk konsumer.6
Lebih dalam lagi kita mengamati, dalam setiap iklan terdapat tanda-tanda
yang melampui (beyond) realitas kehidupan sesungguhnya. Pada konteks ini,
sebuah iklan, disamping bisa “menghadirkan” realitas, lebih jauh juga
mengandung unsur dusta didalamnya. Menjadi sebuah keniscayaan jika kemudian
iklan Gerindra versi Garuda mengandung tanda-tanda dusta tersebut.
Muhammad Al-Fayyadl menyatakan bahwa, sebuah teks selalu memiliki
wajah ganda. Ketika kita berpikir mengenai sebuah makna dan menarik
kesimpulan dari makna tersebut, sering kali di saat itulah teks menorehkan makna
6 Yasraf Amir Piliang, 2004,“Dunia yang Dilipat”,Yogyakarta:Jalasutra hlm 263.
6
lain yang berbeda dari makna yang telah kita ambil. Makna itu sering kali tidak
terpikirkan karena mungkin merupakan sekunder yang tidak dikehendaki oleh
pengarang. Akan tetapi, keberadaan makna itu sudah membuktikan bahwa
pemahaman kita terhadap sebuah teks tidak pernah tunggal dan menyimpan
potensi penafsiran baru yang kerap kali tidak terduga. Penampakan sebuah teks
tidak sedatar penampang permukaannya. Pengertian-pengertian teks juga tidak
sebatas pada pemaknaan denotatif yang ingin menangkap makna tersurat, tapi
juga pemaknaan konotatif yang tak tersurat, atau logika yang dengan sengaja
disembunyikan di balik teks.7
Menonton iklan Gerindra versi Garuda melalui transmiter televisi,
sebenarnya kita sedang melihat upaya keras tim sukses partai gerindra
merelasikan iklan politiknya sebagai sebuah realitas kedua. Bangunan realitas
kedua tersebut ditopang dengan aspek-aspek komunikasi audio visual, relasi-relasi
sosial, dan kultural yang berperan membangun pencitraan partai gerindra.
Tim sukses gerindra mengemas pencitraan partainya, lewat citraan audio
visual dengan menekankan pesan verbal yang bertemakan pengelolaan sumber
daya alam yang berbasis kerakyatan, kesejahteraan, patriotisme, pendidikan dan
masa depan yang cerah bagi rakyat Indonesia. Semuanya itu, sebatas janji politik
yang terlihat indah dan menetramkan hati calon pemilih, tetapi realitasnya sulit
untuk direalisasikan di kehidupan nyata.
Secara teoritis, proses pencitraan iklan Gerindra versi Garuda mengajak
para pemilih untuk untuk mengembangkan imajinasi prospektif tentang iklan
politik ideal. Tapi harapan tersebut bisa saja tidak terwujud, karena yang kita
7 Muhammad Al Fayyadl, 2005, Derrida, Yogyakarta:LKIS hlm 78.
7
saksikan iring-iringan kematian iklan politik. Kematian iklan gerindra versi
Garuda ditandai dengan larutnya partai ini kedalam perlombaan audio visual
dalam upaya tebar pesona demi menarik simpati massa belaka. Untuk itu partai
berlambang kepala garuda ini memanfaatkan kedahsyatan media iklan guna
mengakomodasikan pencitraan dirinya karena meyakini kedahsyatan mitos media
iklan.
Dengan deskripsi diatas, maka peneliti beranggapan bahwa membongkar
makna iklan politik dalam media massa merupakan suatu fenomena yang sangat
menarik untuk diteliti. Karena hingga hari ini, banyak kalangan yang lebih
mengedepankan pokok kajian mengenai pengaruh iklan politik daripada
membongkar subtansi atau makna pesan yang terbingkai dalam janji politik iklan.
Dengan demikian, tidak cukup menjelaskan makna atas tanda semata, akan tetapi,
perlu adanya pembahasan dan analisis secara mendalam mengenai bagaimana
memahami tanda-tanda iklan politik melalui politik seperti iklan Gerindra versi
Garuda itu secara lebih kritis. Sebab, publik sebagai pemilih yang memiliki
pemahaman terahadap iklan-iklan kampanye politik yang selalu muncul dalam
momen mendekati Pemilihan Umum (Pemilu) seringkali berseberangan secara
diametral dengan kenyataan setelah proses politik/kebijakan itu dijalankan.
Karena sejatinya, jika dilihat dari perspektif sistem tanda, teks iklan,
kemungkinan menyembunyikan petanda sebenarnya. Dan, semiotika sebagai ilmu
tanda merupakan pendekatan sekaligus teori yang tepat dalam menganalisis
permasalahan penelitian.
Objek penelitian ini adalah iklan partai Gerindra versi Garuda. Penelitian
tersebut di dasarkan pada status partai gerindra sebagai partai baru yang belum
8
banyak berkiprah dalam kancah politik dalam negeri namun, tergolong dalam
delapan partai yang lolos electoral treshold. Gerindra menjadi partai rising star
pada Pemilu 2009, karena partai Gerindra mampu meraih jumlah suara pemilih
yang cukup signifikan, yakni 4.646.406 suara atau 4,46 % dari jumlah seluruh
pemilih. Angka jumlah pemilih yang tinggi tersebut, juga ditunjang dengan
anggaran strategi kampanye iklan politik yang sangat tinggi. Bahkan berdasarkan
penelitian AC Nielsen selama periode 1 Oktober 2008 sampai dengan 2 Februari
2009, menempatkan Gerindra sebagai urutan pertama dalam belanja iklan politik.
Adapun menurut AC Nielsen, daftar empat partai dengan belanja iklan paling
mahal diantaranya, Partai Gerindra menggelontorkan dana iklan sejumlah Rp 46,7
miliar, partai Demokrat menghabiskan dana sejumlah Rp 36,1 miliar, partai
Golkar menghabiskan uang sejumlah 18,873 miliar, dan Partai Keadilan Sejahtera
dengan jumlah Rp 4,8 miliar.8
Berdasarkan data-data diatas, dapat digambarkan bahwa Partai Gerindra,
yang peneliti angkat sebagai objek penelitian ini merupakan partai baru yang
“berani” sebagai kompetitor pemilu 2009. Berikutnya muncul pertanyaan,
bagaimana memahami realitas yang dikonstruksi Gerindra kedalam iklan sebagai
sebuah “kebenaran”? dan untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka peneliti
mengangkat judul Membongkar Tanda-tanda Pada Iklan Politik Partai Gerindra
(Studi Semiotik Pada Iklan Gerindra Versi Garuda).
8http://www.mediaindonesia.com/webtorial/20090511_electiononline/?ar_id=MjM3OQ== [viewed: 10 Juli 2010]
9
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana memahami “kebenaran” politik iklan partai Gerinda versi
Garuda, dalam konteks discourse ?
C. TUJUAN PENELITIAN
1. Melacak dan membongkar tanda-tanda penokohan Prabowo dalam iklan
Gerindra versi Garuda pada momen Pemilu 2009.
2. Memahami tanda-tanda iklan Gerindra versi Garuda sebagai sebuah
diskursus “kebenaran” politik partai Gerindra.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Kegunaan Akademis
a) Menambah kajian kritis terhadap wacana komunikasi politik modern
melalui media televisi, khususnya mengenai bagaimana media massa
merekonstruksi realitas iklan kampanye politik.
b) Memberikan pengetahuan tentang bagaimana mendekonstruksi janji-janji
politik yang manipulatif yang terbungkus dalam dunia iklan.
2. Kegunaan Metodologis
Memperkaya kajian semiotika sosial dengan mengaitkan pada disiplin
ilmu komunikasi politik.
10
3. Kegunaan Praktis
a) Memberikan pengetahuan kepada pembaca (khalayak) mengenai makna
dibalik simbol-simbol iklan politik dalam media media massa, khususnya
iklan televisi.
b) Menjadi kajian yang perlu ditinjau ulang bagi konsultan iklan politik, agar
senantiasa mengacu pada isu dan program partai yang bersangkutan,
dalam memproduksi iklan yang berkualitas.
E. DEFINISI KONSEPTUAL
Definisi tanda (sign) menurut Eco9, di definisikan sebagai sesuatu yang
dasar konvensi sosial—yang terbangun sebelumnya—yang dapat dianggap
mewakili sesuatu yang lain. Ferdinand de Saussure dalam Alex Sobur10 (2006:46),
mengartikan tanda menjadi dua bagian, yakni tanda yang dihasilkan oleh aspek
material (signifier), dan aspek mental yang ditunjuukan oleh aspek material
(signified).
Sedangkan pengertian periklanan secara komperhensif menurut Mon Lee
dan Carla Johnson11, adalah komunikasi komersil dan nonpersonal tentang sebuah
organisasi dan produk-produknya yang ditransmisikan ke suatu khalayak target
melaui media bersifat massal seperti televisi, radio, koran, majalah, direct mail
(pengeposan langsung), reklame ruang, atau kendaraan umum. Sedangakan
9 Alex Sobur, 2002. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.hlm 95.
10 Alex Sobur, 2006. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Rosda, hlm 46.
11 Mon Lee dan Carla Johnson. 2007. Prinsip‐Prinsip Periklanan Dalam Perspektif Global. Jakarta: Kencana, hlm 3.
11
penegertian iklan menurut Yudi Farlola12, adalah suatu bentuk aktivitas untuk
menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara non personal
yang dibayar oleh sponsor tertentu. Dari definisi mengenai iklan tersebut, maka
peneliti menyimpulkan bahwa iklan memiliki:
a) Daya jangkau khalayak yang luas
b) Bersifat komersil dan inisiator non personal
c) Berada dalam kajian media massa
Dengan demikian, iklan dalam penelitian ini—sebagaimana telah
dikemukakan dalam latar belakang penelitian—dipandang sebagai sesuatu yang
persuasif, yaitu berkenaan dengan menarik khalayak untuk memiliki frame yang
di harapkan oleh pesan iklan.
Kemudian yang dimaksud komunikasi politik tidak hanya dengan
menggabungkan dua definisi, komunikasi dan politik saja. Komunikasi politik
memiliki konsep tersendiri, meskipun secara sederhana merupakan gabungan dari
dua konsep istilah tersebut. Menurut Rush dan Althof dalam Asep Saifullah,
menjelaskan, bahwa komunikasi politik—transmisi informasi yang relevan secara
politis dari satu bagian sistem politik kepada sistem politik yang lain, dan antara
sistem sosial dengan sistem politik; dan proses sosialisasi, partisipasi, serta
rekrutmen politik bergantung pada komunikasi.13
Dari proses tersebut diatas, bisa di jelaskan yang dimaksud sosialisasi
politik adalah proses yang membuat individu dapat mengenali sistem politik yang
12 Analisis efektivitas iklan, 2005. Available from url: http://digilib.unsri.ac.id/download/Jurnal%20MM%20Vol%203%20No%206%20Artikel%203%20YudiFarlola [viewed: 23 Juni 2010]
13 Asep saifullah, Op.cit.,hlm 27-28.
12
berlaku pada negaranya. Sedangkan partisipasi politik adalah keterilbatan individu
dalam sistem politik, dan rekrutmen politik adalah proses yang mana individu
menjamin atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu posisi politik tertentu.
Dengan demikian, maka komunikasi politik dengan iklan sebagai salurannya akan
mentransformasikan pesan kepada khalayak. Kedudukan iklan sebagai teks yang
mengandung permainan tanda-tanda inilah, kemudian menarik perhatian peneliti
untuk menelitinya lebih dalam.
F. TINJAUAN PUSTAKA
F.1 Konsepsi Komunikasi Politik
Rush dan Althof menganalisa komunikasi politik memainkan peranan
yang sangat penting di dalam suatu sistem politik. Sebab sistem politik sendiri
tidak dapat beroperasi dengan baik tanpa adanya dukungan massa, yang sikap dan
perilaku politiknya digerakkan oleh kekuatan-kekuatan pesan yang tersosialisasi
melakukan kegiatan komunikasi politik. Sehingga aktivitas komunikasi politik
juga dapat mempengaruhi kualitas interaksi antara masyarakat dan penguasa.
Komunikasi politik merupakan elemen yang dinamis, dan menjadi bagian yang
menentukan dari proses-proses komunikasi politik itu sendiri (sosialisasi,
partisipasi, rekrutmen politik).
Sejalan dengan Rush dan Althof, komunikasi politik menurut McQuail
dalam Pawito (2009:2) bahwa “cesses of information (including facts, opinions,
beliefs, etc) transmision, exchange and search engaged in by participants in the
course of institutionalized political activities” (semua proses penyampaian
informasi—termasuk fakta, pendapat-pendapat, keyakinan-keyakinan dan
13
seterusnya, pertukaran dan pencarian tentang itu semua yang dilakukan oleh para
partisipan dalam konteks kegiatan politik yang lebih bersifat melembaga). Benang
merah dari pengertian tersebut mengandung hal, tentang komunikasi politik
menandai keberadaan aktualisasi lembaga-lembaga politik, komunikasi politik
merupakan fungsi dari sistem politik, dan komunikasi politik berlangsung dalam
suatu sistem politik.14
Dalam pengertian diatas, juga menggambarkan jika komunikasi politik
dan sistem politik merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Komunikasi
politik pada dasarnya merupakan bagian dari, dan dipengaruhi oleh sistem politik
yang berlaku pada suatu negara. Semisal, UU penyiaran oleh pers disuatu negara,
mengikuti sistem politik yang berlaku pada negara tersebut. Pada saat yang sama,
komunikasi politik juga dapat memelihara dan mewariskan sistem politik.
Misalnya, aksi-aksi protes dari masyarakat luas yang kemudian memperoleh
dukungan dari media massa, yang berperan sebagai “kaca pembesar” atas protes
tersebut, sehingga memaksa pemerintah menggagalkan suatu kebijakan atau
bahkan mengakibatkan perubahan politik yang besar termasuk tumbangnya suatu
rezim.
Dalam setiap realitas kehidupan politik pasti terjadi komunikasi politik.
Komunikasi ini tidak hanya tampil dalam bentuk aksi-aksi protes menuntut hak
yang terampas ataupun menyuarakan aspirasi. Komunikasi politik juga memiliki
bentuk melalui media massa, yang pada situasi normal melakukan liputan
terhadap peristiwa-peristiwa tertentu dan kemudian menginformasikan kepada
publik dengan frame-frame tertentu. Masyarakat maupun kalangan elit politik
14 Pawito, Op. cit.,hlm 2.
14
seperti pemerintah, memperoleh informasi dari media massa mengenai
perkembangan-perkembangan yang terjadi di masyarakat, peristiwa-peristiwa,
atau isu-isu penting, setidaknya sampai tingkat tertentu. Kemudian dari sini
muncullah berbagai pendapat, penilaian, persepsi, dan sikap mengenai peristiwa,
sehingga dapat terjadi umpan balik (feed back).
Komunikasi politik merupakan salah satu bentuk dari banyak bentuk
komunikasi, baik dari sisi jumlah pelakunya yang relatif sederhana, seperti halnya
komunikasi antar personal, maupun juga bisa yang lebih kompleks, seperti
komunikasi yang dilakukan sesuatu lembaga (institusional communication). Sama
dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi politik juga memiliki
unsur-unsur yang berperan penting untuk menyampaikan tujuan politik tertentu.
Menurut Asep Saifullah, Ada beberapa unsur penting yang terlibat dalam proses
komunikasi politik:
1. Komunikator dalam komunikasi politik (production message).
2. Khalayak komunikasi politik (attribution of meaning).
3. Saluran-saluran komunikasi politik (signal transmission).15
Sejalan dengan Asep Saifullah, sebelumnya Dan Nimmo melalui bukunya
yang berjudul “Komunikasi Politik Komunikator, Pesan, dan Media” (1989) juga
mengkaji tentang komunikasi politik yang kemudian membaginya kedalam
beberapa perspektif, yaitu yang pertama, komunikator politik, yakni bagaimana
mengidentifikasi mereka dan apa peran yang mereka mainkan. Selanjutnya yang
kedua, Nimmo membawa fokus kajian politik kepada pesan-pesan politik, yaitu
15 Asep saifullah, Op.cit.,hlm 31.
15
pada permainan bahasa untuk kepentingan politik. Ketiga, Nimmo membahas
media politik, baik yang bersifat interpersonal, organisasional, maupun massa.
Kedua penggiat ilmu komunikasi politik tersebut masih melihat
komunikasi politik dalam bentuk yang paling sederhana. Maka berikutnya, Pawito
berpandangan bahwa terdapat unsur-unsur yang lebih detail dalam menunjang
terjadinya proses komunikasi komunikasi politik. Pawito melengkapi unsur-unsur
komunikasi politik, yang terdiri dari lima unsur yaitu: pelibat (aktor atau
partisipan), pesan, saluran, situasi atau kontekspengaruh atau efek.16 Bagi Pawito,
saluran menjadi komponen penting bagi kompetitor komunikasi politik modern
yang memilih media massa dalam menjaring khalayak secara luas.
Dalam sub bab ini kita akan membahas lebih, mengenai unsur-unsur yang
menjadi komponen penting dalam proses komunikasi politik, baik itu
komunikator, pesan, khalayak, saluran-saluran atau media komunikasi politik.
Unsur-unsur inilah yang akan membangun proses komunikasi politik dalam
kehidupan sistem sosial. Sehingga, efektivitas hubungan antara komunikator
dengan komunikan dapat ditentukan oleh unsur-unsur komunikasi politiknya.
Pertama, Komunikator, dalam komunikasi politik, yaitu pihak yang
memprakarsai dan mengarahkan suatu tindak komunikasi.17 Secara umum,
komunikator juga dibedakan berdasarkan individu, lembaga, dan kelompok.
Apabila sumber komunikasi itu seorang calon presiden, yang sedang berpidato
dalam panggung politik atau seorang rakyat biasa yang sedang menulis surat
pembaca dalam surat kabar, maka calon presiden dan rakyat tersebut tergolong
16 Selengkapnya penjelasan unsur-unsur komunikasi politik baca buku Pawito, Op. cit.,hlm 6-15.
17 Ibid.
16
sebagai sebagai komunikator individual. Dan apabila yang menjadi komunikator
adalah seorang juru bicara yang mewakili pemerintah atau organisasi masyarakat,
maka dia dapat dipandang sebagai komunikator kelompok.
Kita dapat bayangkan siapa pun sebenarnya dapat menjadi komunikator
politik, baik itu organisasi masyarakat, rakyat, dan pemerintah. Namun, yang
membedakannya adalah sifat-sifat dari si komunikatornya itu sendiri. Menurut
Doob dalam Dan Nimmo (1989), memahami sifat komunikator politik dapat
dipahami beberapa diantaranya saja. Komunikator politik harus diidentifikasi, dan
kedudukan mereka di dalam masyarakat harus di tetapkan.18
Dalam Pandangan yang lainnya Dan Nimmo juga menjelaskan, bahwa
komunikator politik ini memainkan peran-peran sosial yang utama, terutama
dalam proses pembentukan opini publik.19 Juru bicara partai-partai politik atau
ribuan rakyat yang berorasi adalah pihak-pihak yang menciptakan opini publik,
karena mereka berhasil membuat sejumlah gagasan yang mula-mula ditolak,
kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima.
Unsur yang Kedua, yaitu pesan. Aktivitas komunikasi dapat dikatakan
sebagai komunikasi politik, apabila pesan yang saling dipertukarkan diantara
partisipan (komunikator—komunikan), setidaknya sampai tingkat tertentu,
memiliki signifikansi dengan politik. Karakter dari pesan komunikasi politik
senantiasa memiliki keterkaitan dengan wilayah kajian politik. Kata “politik”
18 Dan Nimmo sendiri mengidentifikasi tiga sifat komunikator, yakni: 1. politikus yang bertindak sebagai komunikator politik (orang yang bercita-cita untuk memegang jabatan pemerintah. 2. Komunikator profesional dalam politik (biasanya diperankan oleh media massa). 3. Aktivis sebagai komunikator politik (pihak yang semi profesional tapi juga berkecimpung sebagai politikus). Lihat, Dan Nimmo.1989.Komunikasi Politik Komunikator, Pesan, Media. Bandung:Remaja Karya
19 Ibid.,1993, hlm 29.
17
dalam hal ini memiliki makna luas, yakni menyangkut segala kepentingan
penjatahan sumber daya publik. Oleh karena itu, diantara pentingnya komunikasi
politik adalah mendefinisikan posisi keseimbangan—atau lebih tepatnya keadilan
secara dialogis, melalui pertukaran pesan-pesan secara interaktif antara
pemerintah dengan masyarakat dan antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.20
Ketiga, saluran-saluran komunikasi politik atau media komunikasi politik.
Secara sederhana pengertian saluran komunikasi menurut Dan Nimmo, adalah alat
serta sarana yang memudahkan penyampaian pesan.21 Sedangkan lebih lengkap
dan analogis Pawito menggambarkan, bahwa saluran komunikasi politik ibaratkan
seperti jaringan pembuluh yang harus dipilih oleh serang dokter ketika hendak
memasukkan obat atau vaksin ke dalam sistem tubuh seorang pasien. Dalam
komunikasi politik kebijakan-kebijakan disebarluaskan kepada publik, tuntutan-
tuntan dan aspirasi-aspirasi dirumuskan, kemudian disampaikan, serta pendapat
atau sikap-sikap di bentuk dan disuarakan.22
Dalam unsur-unsur komunikasi politik, kedudukan saluran-saluran
komunikasi politik dapat berfungsi ganda. Misalnya, organisasi atau institusi,
selain berperan sebagai komunikator politik yang sudah di jelaskan sebelumnya,
namun dalam posisi kondisi tertentu juga bisa berperan sebagai saluran
komunikasi politik. Lembaga pemerintahan yang disatu sisi, berperan sebagai
penyampai pesan-pesan, dan di sisi lain, ia juga bisa berperan sebagai saluran
20 Pawito, Op. cit.,hlm 9.
21 Nimmo, Op. cit., hlm 183.
22 Pawito, Op. cit.,hlm 10.
18
komunikasi bagi lewatnya informasi yang berasal dari masyarakat. begitu pula
dengan oragnisasi masyarakat, partai politik, media massa, dan kelompok-
kelompok kepentingan lainnya.
Saluran komunikasi politik juga bisa digunakan dalam momen pemilihan
umum. Menurut Fagen dalam Pawito, pada saat proses pemilihan umum, saluran
komunikasi politik khusus untuk agregasi dan artikulasi kepentingan sangat
berperan penting bagi terbentuknya persepsi untuk menarik suara pemilih.23
Saluran ini bersifat khusus karena di bentuk dan digunakan untuk kepentingan-
kepentingan khusus, dan memiliki sifat tidak permanen. Masyarakat dapat
mencabut atau menyatakan dukungannya terhadap partai atau elit politik tertentu.
Saluran komunikasi yang juga tidak kalah pentingnya, dalam proses
penyampaian pesan-pesan politik saat ini adalah media massa. Secara historis,
penelitian media massa dalam perilaku politik, telah cukup memperlihatkan
besarnya peran media massa dalam kegiatan komunikasi politik khususnya di
Amerika. Mengikuti Dan Nimmo, perkembangan yang terjadi, semakin
meluasnya minat rakyat terhadap peran yang dimainkan oleh saluran-saluran
komunikasi massa dalam politik. Reputasi politikus seperti Ronald Reagan dan
Jimmy Carter di lambungkan figurnya melalui lambing-lambang yang beredar
dalam komunikasi massa.24
Media massa meruapkan saluran komunikasi politik yang sangat berperan,
karena bisa menjangkau khalayak secara luas. Hampir tidak ada peristiwa yang
luput dari liputan media massa. Media massa hadir pada setiap peristiwa penting,
23 Ibid., hlm 11.
24 Nimmo, Op. cit., hlm 185.
19
mengamati, mencatat dan merekam, kemudian melaporkannya kepada publik
dengan frame atau sudut pandang tertentu. Dari sinilah, pengetahuan khalayak
atau publik mengenai berbagai macam persoalan politik tumbuh dan meningkat.
Dan yang keempat dan terakhir adalah khalayak atau disebut juga
komunikan politik, yaitu peran penerima pesan politik yang sebetulnya hanya
bersifat sementara. Sebab, sesuai dengan konsep umum komunikasi, ketika
penerima itu memberikan feedback dalam komunikasi politik, atau ketika ia
meneruskan pesan-pesan politik itu kepada khalayak yang lain, dalam kesempatan
komunikasi yang berbeda, pada saat inilah peran khalayak berubah menjadi
sebagai komunikator.25
Untuk lebih dalam mengetahui tentang khalayak, penting untuk
mengambil karakteristik khalayak komunikasi politik yang di jelaskan Dan
Nimmo26, dengan membedakan menjadi publik atentif, publik berpikiram isu, dan
publikideologis. Publik atentif, adalah seluruh warga negara yang dibedakan
berdasarkan tingkatnya yang tinggi dalam keterlibatan politik, informasi,
perhatian, dan berpikiran kewarganegaraan. Biasanya publik ini berperan sebagai
pemuka pendapat atau publik yang sering diminta pendapat, nasehat, dan
bimbingan oleh warga negara yang kurang informasi dan kurang keterlibatannya
dalam politik. Publik berpikiran isu, adalah orang-orang yang memiliki perhatian
besar kepada politik dan memainkan peran yang aktif tanpa mempedulikan
mengenai isu apa pun. Dan yang terakhir, publik ideologis, adalah orang yang
memiliki sistem kepercayaan yang relatif tertutup, yang nilai-nilainya adalah suka
25 Asep saifullah, Op.cit.,hlm 33.
26 Dan Nimmo, 1993. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek. Bandung: Rosda
20
dan tak suka diatur oleh penyampai pesan. lebih dari itu, sistem kepercayaan dan
nilai anggota publik ideologis itu konsiste. Artinya, mereka menganut
kepercayaan dan atau nilai yang secara logis saling melekat, tidak berkontradiksi
terhadap satu sama lain.
F.2 Semiotika Sebagai Analisis Tanda
Banyak pakar biasa menyebut semiotika atau semiologi, untuk
menjelaskan tentang ilmu tanda. Padahal, sesungguhnya kedua istilah ini,
semiotika dan semiologi mengandung pengertian yang sama, walaupun
penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya menunjukkan
pemikiran pemakainya. Bagi mereka yang bergabung dalam pemikiran madzhab
Pierce, maka biasa menggunakan kata semiotika, dan mereka yang bergabung
dengan pemikiran madzhab Saussure menggunakan kata semiologi.27 Namun
pada perkembangannya saat ini, para ahli sudah tidak mau dipusingkan oleh
kedua istilah tersebut, karena mereka menganggap keduanya sama saja.
Semiotika yang diperbincangkan sejak era filsafat Yunani, secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani, semeion yang artinya tanda.28 Secara
terminologis, menurut Eco,29 semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh
kebudayaan sebagai tanda. Pakar lainnya juga memberikan definisi untuk istilah
27 Alex Sobur, 2006. Op., cit. hlm 11.
28 Yasraf Amir Piliang, 2006. Dunia yang Dilipat Tamasya melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.hlm 313.
29 Alex Sobur, 2002. Op. cit., hlm 95
21
semiotika atau semiologi. Dalam definisi Saussure30, semiologi adalah sebuah
ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. Tujuannya
adalah untuk menunjukkan bagaimana terbentuknya tanda-tanda beserta kaidah-
kaidah yang mengaturnya. Sementara istilah semiotika, yang dimunculkan pada
akhir abad ke-19 oleh Charles Sanders Peirce31, mengatakan bahwa yang menjadi
dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda. Dan menurut Matterlat dalam
Pawito32 (2009) menjelaskan—Peirce mengartikan tanda (sign) itu sendiri sebagai
sesuatu yang mewakili sesuatu bagi seseorang dalam suatu hal atau kapasitas.
Sedangkan Roland Barthes33 juga mendefinisikan, semiologi adalah ilmu tentang
bentuk-bentuk, yang mana intinya ada dalam pertandaan.
Semiotika baru berkembang sejak awal abad ke-20, meskipun pada awal
abad ke-18 dan ke-19 sudah banyak ahli teks (khususnya Jerman) yang berusaha
mengurai berbagai masalah yang berkaitan dengan tanda. Untuk dapat memahami
semiotika, maka perlu diketahui konsep semiotic menurut beberapa tokoh
semiotika terkemuka, yaitu para semiotisan seperti Ferdinand de Saussure (1857-
1913) di Swiss dan Charles Sanders Peirce (1834-1914) di Amerika Serikat.
Ferdinand de Saussure merupakan perintis linguistik, konsep-konsepnya
digunakan sebagai landasan dalam linguistik modern. Dalam hal ini, Saussure34
melihat bahwa sistem bahasa (langue) merupakan kondisi yang harus ada dalam
30 Alex Sobur (2006), Loc. cit.
31 Ibid.
32 Pawito, Op. cit.,hlm 81.
33 Roland Barthes, 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Yogyakarta: Jalasutra
34 Yasraf Amir Piliang, 2003. Hipersemiotika: Tafsir Culture Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra, hlm 269.
22
setiap penggunaan tanda secara konkret (parole). Meskipun setiap pengguna
bahasa mengacu pada sistem bahasa tersebut, akan tetapi relasi antara langue dan
parole bersifat dinamis, yaitu, dapat berubah apabila diuji secara terus-menerus
dalam praktik kehidupan sosial.
Saussure juga melakukan pembedaan atas komponen-komponen tanda,
yang kemudian pembedaan tersebut dikenal dengan trikotomis. Jadi, menurut
Saussure35, tanda selalu mempunyai tiga wajah, yang terdiri dari tanda itu sendiri
(sign), aspek material dari tanda yang berfungsi menandakan atau yang dihasilkan
oleh aspek material (signifier), dan aspek mental atau konseptua yang ditunjuk
oleh aspek material (signified). Pembedaan ini membuat tanda menjadi aktif.
Melakukan analisis tentang tanda, orang harus tahu benar mana aspek material
dan mana aspek mental. Ketiga aspek ini merupakan aspek-aspek konstitutif suatu
tanda—tanpa salah satu komponen, tidak ada tanda dan kita tidak bisa
membicarakannya, bahkan tidak bisa membayangkannya.
Trikotomi Saussure mengenai tanda, penanda, dan petanda tersebut pada
akhirnya telah mempengaruhi perkembangan semiotik di Eropa, khususnya Eropa
Barat (Prancis). Sedikitnya ada tiga aliran yang diturunkan dari teori tanda
Saussurian36. Pertama, semiotika komunikasi, yang menekuni tanda sebagai
bagian dari proses komunikasi. Tanda dalam semiotika komunikasi hanya
dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan sebagaimana yang
diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotik komunikasi hanya
35 ST. Sunardi. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal, hlm 47‐48.
36 Tommy Christomy, Untung Yuwono.2004. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, hlm 82.
23
memperhatikan makna denotasi suatu tanda. Piliang37 mengemukakan bahwa
semiotika komunikasi mengkaji tanda atau signal dalam konteks komunikasi yang
lebih luas, yaitu melibatkan berbagai elemen komunikasi. Menurut Umberto Eco
dalam A. Theory of Semiotics38, semiotika komunikasi adalah semiotika yang
menekankan aspek produksi tanda (sign production) daripada sistem tanda (sign
system). Berarti di sini melihat bagaimana tanda tersebut bisa tercipta dari
hubungan antara penanda dan petanda sebelumnya.
Kedua, semiotika konotasi, yaitu semiotik yang mempelajari makna
konotatif dari tanda. Semiotika ini di dasarkan pada persepsi bahwa dalam
hubungan antara manusia, seringkali tanda yang diberikan oleh seseorang sering
dipahami secara berbeda oleh penerimanya. Tokoh utamanya adalah Roland
Barthes (1985), yang menekuni makna kedua dibalik bentuk tertentu. Bertolak
dari trikotomi tanda Saussure, Barthes kemudian mengembangkan konsep
mengenai penanda dan petanda sebagai suatu proses dua tahap. Tahap pertama
(sistem primer) adalah saat tanda diserap pertama kalinya, sedangkan tahap kedua
(sistem sekunder) merupakan proses pengembangan makna (konotasi).
Ketiga, semiotika ekspansif—yang sebenarnya merupakan aliran di dalam
semiotika konotasi—dengan Julia Kristeva sebagai tokohnya yang paling
terkenal. Dalam semiotik ini, pengertian tanda telah kehilangan tempat sentralnya
karena digantikan oleh pengertian produksi arti. Tujuan semiotik ekspansif adalah
mengejar ilmu total dan bermimpi menggantikan filsafat.
37 Yasaraf Amir Piliang, Op. cit., hlm 266.
38 Ibid.
24
Berbeda dengan Saussure yang melihat tanda sebagai konsep diadik (dua
bagian yang berebeda tetapi saling berkaitan) dan sebagai sebuah struktur
(susunan dua komponen yang berkaitan antara satu dengan lainnya dalam suatu
bangun), Peirce39 mengidentifikasi relasi “segitiga” antara tanda (representamen),
penggunan dan realitas eksternal sebagai suatu keharusan model untuk mengkaji
makna. Relasi segitiga tanda itu disebut dengan istilah semiosis, yang terdiri atas
objek (sesuatu yang direpresentasikan), representamen (sesuatu yang
merepresentasikan sesuatu yang lain) dan interpretan (interpretasi seseorang
tentang tanda).
Peirce berpandangan, tanda (representamen) sebagai bagian tak
terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda
(interpretan). Pandangan Peirce tentang tanda sebagai bagian yang tak terpisahkan
dari pertandaan tersebut. Menurut Piliang40, merupakan landasan bagi semiotika
komunikasi. Peirce mengatakan bahwa tanda selalu berada dalam proses
perubahan tanpa henti, yang disebut sebagai semiosis tak terbatas (unlimited
semiosis), yaitu proses rangkaian interpretan tanpa akhir. Ia membagi tanda,
menjadi tiga tipe—ikon, indeks, dan simbol.
Ikon menunjukkan kemiripan dengan objeknya.41 Pawito juga
menjelaskan, ikon merupakan tanda yang ditentukan cara pemaknaannya karena,
sifat-sifat yang menginternal terhadap objek. Hal-hal seperti kemiripan,
kesesuaian, tiruan, dan kesan menjadi kata kunci memberikan makna terhadap
39 John Fiske, 2006. Cultural and Communication Studies. Yogyakrta: Jalasutra, hlm 63.
40 Piliang, Op. cit., hlm 266.
41 John Fiske. Op. cit., hlm 269
25
tanda yang bersifat ikon. 42 Contoh, gambar peta Jawa, merupakan tiruan dari
geografis pulau Jawa. Berikutnya, istilah indeks, yaitu menunjuk pada tanda yang
cara pemaknaannya lebih ditentukan oleh objek dinamik (keterkaitan yang nyata
dengannya). Misalnya, asap memaknainya sebagai api atau kebakaran. Dan tanda
yang terakhir menurut Peirce dinamakan simbol, yaitu suatu tanda yang memiliki
hubungan dengan objeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan, atau aturan.
Contohnya, palang merah, angka adalah simbol.
Di Amerika Serikat, pengaruhnya tampak dalam psikologi dan
psikoanalisis. Sedangkan di Eropa, pengaruhnya terdapat di italia dan Jerman.
Salah satu penerusnya adalah Umberto Eco, semiotisan yang yang menghasilkan
salah satu teori mengenai tanda yang paling komperhensif dan kontemporer.
Menurut Little John dalam Kaelan43, teori Eco penting karena mengintegrasikan
teori-teori semiotika sebelumya dan membawa semiotika secara lebih mendalam.
Di jelaskan pula oleh Little John dalam Kaelan44, karya-karya Umberto Eco
merupakan sintesis produktif dari hampir semua mazhab semiotika abad ke-20
yang didukung oleh pengetahuan yang luas berupa warisan kajian-kajian klasik
tentang tanda.
Berbeda dengan konsep yang lebih statis dari yang diajukan Ferdinand de
Saussure tentang tanda serta pendekatan semiotika Charles Sanders Peirce yang
bersifat taksonomis, Eco memastikan diri untuk menyelidiki sifat-sifat dinamis
42 Pawito. Op. cit., hlm 82.
43 Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma, hlm 216
44 Ibid.
26
tanda. Eco45 atau hutan tempat jejak bekas pedati atau jejak kaki mengakibatkan
sedikit banyak munculnya modifikasi abadi. Eco menganggap tugas ahli
semiotika bagaikan menjelajahi hutan, dan ingin memusatkan perhatian kepada
modifikasi sistem tanda. Hal demikian menjadi dorongan bagi Eco, untuk
mengganti konsep tanda dengan kosep fungsi tanda.
Menurut Lechte dalam Sobur46, perspektif Eco tentang tanda bahwa tanda
itu tidak hanya mewakili sesuatu yang lain (dengan demikian hanya memiliki arti
seperti yang tercentum dalam kamus), namun juga mesti ditafsirkan. Dalam hal
ini Eco memiliki pandangan yang sama dengan Peirce mengenai interpretant,
yang menghasilkan semiosis tidak terbatas.
Minat utama yang dimiliki oleh Eco, adalah dalam bahasa sebagai
tersusun atas langue (dimana kode = tata bahasa, sintaksis, sistem) dan parole
(laku bahasa). Disini kode sesuai dengan struktur bahasa. Kode mengaitkan
bidang ungkapan bahasa dengan isinya. Eco menggunakan “kode-s” untuk
menunjukkan kode yang dipakai dengan cara ini. Dengan kata lain, kode-s bahasa
itu bahasa itu setara dengan organisasi tertentu pada unsure parole. Tanpa kode,
tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti apa pun, dan dalam pengertian
yang paling radikal tidak berfungsi secara linguistik. Kode-s bersifat denotatif
(bila suatu pernyataan bisa dipahami secara garfiah), atau konotatif (bila tampak
kode lain—misalnya kode kesopanan—dalam pernyataan yang sama). Hal ini
tidak asing lagi bagi karya Saussure, namun Eco ingin memperkenalkan
pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat dinamis daripada yang
45 Kaelan. Op. cit., hlm 218.
46 Sobur. Op. cit., hlm 77.
27
ditemukan dalam teori Saussure, dan disamping itu sangat terkait dengan teori
linguistik masa kini. Ia melakukan hal ini dengan mengembangkan suatu model
yang disebutnya “Model Q”—model kode yang meninjau semiosis tak terbatas.47
Menurut Eco48, pada dasarnya fungsi tanda merupakan interaksi antara
berbagai norma: “kode memberikan kondisi untuk hubungan timbale balik fungsi-
fungsi tanda secara kompleks. Sedangkan, menurut Lechte dalam Kaelan, Eco
sendiri membagi unsur-unsur pokok dalam tipologi cara pembentukan tanda yang
terdiri dari:
1. Kerja fisik: upaya yang dilakukan untuk membuat tanda
2. Pengenalan: objek atau peristiwa dilihat sebagai suatu ungkapan
kandungan tanda, seprti tanda, gejala, atau bukti.
3. Penampilan: suatu objek atau tindakan menjadi contoh jenis objek atau
tindakan.
4. Replika: kecenderungan kea rah ratio difficilis secara prinsip, tetapi
mengambil bentuk-bentuk kodifikasi melalui pengayaan. Contohnya
adalah notasi music, dan tanda-tanda matematika.
5. Penemuan: kasus yang paling jelas dari ratio difficilis. Sebagai yang
tidak terlihat oleh kode; menjadi landasan suatu kontinum materi baru.
Saat ini, semiotika, telah berkembang menjadi sebuah model atau
paradigma dalam bidang keilmuan yang sangat luas, terlebih lagi menciptakan
cabang-cabang semiotika khusus, antara lain: semiotika binatang (zoo semiotic),
semiotika kedokteran (medical semiotic), semiotika fashion, semiotika seni,
47 Sobur. Op. cit., hlm 78.
48 Ibid.
28
semiotika film, semiotika sastra, semiotika televisi, termasuk pula semiotika
desain.49
Penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang
keilmuan ini, dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang
berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa
dijadikan model dalam dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan
semiotika, bila selururuh praktik sosial dapat dinggap sebagai fenomena bahasa,
maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda-tanda.50
F.3 Iklan Sebagai Semiotika Politik
Pada perkembangannya, sampai saat ini iklan menjadi bagian dari politik.
Iklan politik menurut Mon Lee dan Carla Johnson51 memiliki definisi tersendiri,
yaitu Iklan yang menjalankan sebuah fungsi “informasi politik”; dalam arti iklan
juga mengomunikasikan informasi yang sering kali digunakan para politisi untuk
membujuk khalayak agar memilih mereka. Iklan jenis ini merupakan sebuah
bagian penting dari proses politik negara-negara demokrasi. Namun, tidak semua
pihak sepakat mengenai hadirnya iklan politik. Banyak pengkritik yang perihatin,
bahwa periklanan politik cenderung lebih berfokus pada citra ketimbang isu-isu
yang menjadi persoalan di dalam kehidupan masyarakat.
Iklan politik pada dasarnya tidak beda dengan promosi barang atau jasa.
Keduanya berusaha menjual sesuatu kepada sasaran konsumen tertentu. Memang
49 Piliang (2003), Op. cit., hlm 255.
50 Piliang (2006). Op. cit., hlm 314.
51Mon Lee dan Carla Johnson, Op. cit., hlm 7.
29
iklan politik lebih rumit, daripada iklan sabun atau obat nyamuk. Jika berhasil,
iklan politik bisa meraih sejumlah target, seperti meningkatkan popularitas calon,
meyakinkan pemilih yang masih bingung, meraih dukungan, meyerang pesaing
politik, yang pada dasarnya menjaga citra sang calon. Dan biasanya, makin dekat
pemilu, makin banyak iklan politik di koran dan televisi. Para elit politik
menggunakan media massa sebagai alat yang paling efektif guna memperlihatkan
dirinya kepada khalayak luas. Tentunya, bagi tokoh politik yang bayak uang
mampu menggunakan segenap sumber dayanya untuk “jual diri” melaui iklan
media massa.
Iklan politik memiliki sebuah fungsi, yakni untuk membangun citra politik
dalam konteks kondisi-kondisi yang dibutuhkan masyarakat pada umumnya.
Bahkan lebih jelasnya lagi, iklan politik juga bertujuan menjual makna dan
ideologi iklan yang sesungguhnya. Dengan perkataan lain, iklan politik harus
menterjemahkan berbagai pernyataan yang menyangkut dari keunggulan-
keunggulan dunia benda yang kita sampaikan ke konsumen.
Setiap iklan politik selalu memiliki kepentingan politik dari pelaku atau
pembuat iklannya. Mengingat iklan politik mempunyai tanda berbentuk bahasa
verbal dan visual yang merujuk bahwa teks iklan politik dan penyajian visualnya
menciptakan ikon, terutama berfungsi dalam sistem nonkebahasan untuk
mendukung peran kebahasaannya. Dengan demikian, maka iklan politik pada
hakikatnya bermain dengan tanda dan simbolisasi dalam bahasa semiotika.
Kepentingan politik yang kemudian diejawantahkan menjadi simbol atau
lebih jauhnya lagi kode-kode yang membalut pada pesan iklan politik tersebut,
sebenarnya hanyalah kebohongan. Menurut Umberto Eco, objek memiliki kode
30
denotasi (hubungan yang langsung memaknai objek) dan kode konotasi (fakta
bahwa signifikasi kedua bersandar pada siginfikasi pertama).52 Misalnya saja,
iklan partai politik “A” kita golongkan sebagai objek yang akan di analisis
semiotika. Iklan partai politik “A”, menayangkan bahasa verbal dan visual yang
menjelaskan bagaimana pendidikan yang murah (kita golongkan sebagai
denotasi). Ini menjadi akan menjadi konotasi, apabila pada realitanya, banyak
generasi yang putus sekolah dan menjadi gelandangan yang tidak dirawat oleh
negara.
Dengan konsep semiotika tersebut, Eco kemudian berpikiran semiotika
secara prinsipil merupakan disiplin yang mengkaji dan membongkar segala
sesuatu yang digunakan untuk berbohong. Melalui analisis semiotika, menemukan
bahwa iklan politik kini tidak secara vulgar bertujuan menjual calon atau
partaimya. Iklan justru mencitrakan produknya dengan cara yang sangat persuasif,
kreatif dan menarik. Alih-alih akan mewujudkan harapan rakyat, iklan politik
dilihat dalam perspektif semiotika ternyata lebih kepada menjual mimpi belaka.
Iklan sebagai aktivitas permainan tanda, yang memiliki makna-makna
terpendam, sebenarnya membentuk suatu kesadaran palsu. Tanda-tanda yang ada
pada iklan politik menggunakan berbagai metafora, dan diartikulasikan melalui
berbagai tanda di dalam iklan politik. Tidak ada iklan politik yang secara vulgar
langsung meminta agar khalayak memilih mereka dalam pemilu. Kesemuanya
menggunakan strategi persuasif dan bermain-main dengan pemaknaan yang
sifatnya konotatif. Artinya, calon atau partai politik sebagai inisiator pembuat
52 Umberto Eco, 2009. Teori Semiotika. Jakarta: Kreasi Wacana, hlm 78‐80.
31
iklan tidak secara sengaja meminta agar khalayak tunduk terhadap pesan-pesan
iklan politik.
Menurut Judith53, jadi, periklanan bukanlah—seperti yang mungkin
diandaikan secara dangkal—bahasa tunggal, dalam pengertian bahwa sebuah
bahasa memiliki bagian-bagian komponen khusus yang dapat dikenali dan kata-
katanya sudah ditentukan sebelumnya. Dari pernyataan tersebut, kita dapat
menangkap bahwa setiap iklan memiliki bangunan yang berwujud struktur-
struktur tanda yang dibentuk dalam wujud iklan, untuk kemudian
ditransformasikan kepada publik.
Khalayak pada dasarnya harus dapat memahami apa maksud iklan-iklan
dengan cara menyelidiki bagaimana maksud dari iklan politik tersebut. Apa yang
dikatakan sebuah iklan politik merupakan semata-mata sebuah klaim demi
pencitraan (imagery). Tentu saja, sebenarnya sebagian besar dari iklan politik
mana pun merupakan pesan yang memiliki makna dibaliknya. Informasi yang
diberikan kepada khalayak seringkali tidak benar, dan kalaupun itu benar
khalayak sering kali dibujuk untuk mendukung partai atau calon tersebut.
F.4 Iklan dan Televisi dalam Komunikasi Politik Modern
Salah satu karakter modernisasi kampanye, adalah digunakannya televisi
sebagai media utama kampanye. Holtz-Bacha dan Kaid54, menjelaskan, televisi
digunakan sebagai kampanye oleh partai politik setidaknya dengan dua cara:
Pertama, lewat cara-cara gratis melaui peliputan regular media terhadap kegiatan
53 Judith Williamson, 2007. Decoding Advertisements. Yogyakarta: Jalasutra, hlm 3.
54 Akhmad Danial. Op. Cit.,hlm 93.
32
partai atau kandidat politik. Dalam peliputan gratis seperti itu, berlaku prinsip
seleksi jurnalistik dan kriteria produksi yang biasa digunakan oleh para jurnalis
dan pengelola televisi. Partai politik tidak bisa mempengaruhi pesan dan durasi
liputan televisi tersebut. Kedua, membayar media tersebut karena memasang iklan
politik (political advertising). Dalam iklan politik, kandidat atau partai politiklah
yang memutuskan bagaimana mereka ditampilkan di hadapan pemilih. Karena itu,
dua bentuk penggunaan media televisi itu (free and paid media) kerap juga
diistilahkan dengan controlled media dan uncontrolled media. Politisi dan partai
bisa mengontrol isi pesan politik yang disampaikan dalam iklan politik, namun
tidak mempunyai kontrol terhadap bagaimana media mengemas berita-berita
politik di televisi.
Definisi iklan politik televisi menurut Holtz-Bacha dan Kaid dalam
Pawito55 (2009:94) bahwa any controlled message communicated through any
channel designed to promote the political interest of individuals, parties, groups,
government, or other organizations, (kontrol pesan komunikasi, kepada model
saluran promosi kepentingan politik, baik secara individual, partai, kelompok-
kelompok, pemerintah dan organisasi lainnya).
Iklan merupakan salah satu kebudayaan paling penting yang mencetak dan
merefleksikan kehidupan saat ini. Iklan ada dimana-mana, sebagai bagian tak
terelakkan dari kehidupan setiap orang. Dengan menjalani semua media, dan tidak
dibatasi pada siapa pun, periklanan membentuk sebuah suprastruktur luas dengan
eksistensi yang tampak otonom dan disertai pengaruh besar. Tak terkecuali dalam
55 Ibid., hlm 94.
33
tradisi pemilihan umum, yang tampak di televisi adalah perlombaan iklan antar
partai untuk memperoleh dukungan massa.
Televisi sebagai alat saluran komunikasi politik memiliki kedudukan
sangat istimewa dalam periode pemilihan. Individu yang sebelumnya jarang
mengikuti perkembangan politik, tiba-tiba menonton berita, iklan, atau kegiatan
partai politik yang diliput televisi dalam menjelang pemilu, bisa saja merubah
individu tersebut, menjadi peka terhadap politik yang ada disekitarnya.
Aspek yang sangat menonjol berkenaan dengan iklan politik dengan media
televisi terkait dengan politik, adalah fungsi iklan politik TV dalam kehidupan
politik. Sifatnya yang sentral dalam komunikasi politik, iklan politik TV memiliki
fungsi penting dan strategis. Iklan Politik TV berperan sebagai media sosialisasi
yang diambil untuk dipahami secara kolektif, sehingga menumbuhkan partisipasi
produktif antara pemerintah dengan rakyat, dalam membangun tujuan politik yang
sama. Selain itu, iklan politik TV juga bisa berfungsi sebagai corong kekuasaan,
sebagai media persuasif pada saat kampanye pemilihan umum.
Kampanye pemilihan umum idealnya merupakan proses penyampaian
pesan-pesan politik yang salah satu fungsinya memberikan pendidikan politik
bagi masyarakat. Melalui kampanye, partai-partai politik berusaha meyakinkan
massa pemilih dengan mengangkat berbagai agenda yang dinilainya akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat. Karena itu, setiap partai politik selalu
berusaha menemukan cara-cara paling efektif untuk merekrut sebanyak-
banyaknya massa. Dan, dalam proses rekruitmen tersebut, iklan politik TV adalah
di antara alat bantu yang memiliki tingkat efektifitas yang relatif tinggi.56
56 Asep saifullah. Op. cit., hlm 145.
34
F.5 Informasi dan Citra Bagian dari Pemasaran Politik
Sama halnya dengan konsep komunikasi pemasaran yang berorientasi
dalam meraih pelanggan, menurut Pawito57, dalam konteks politik termasuk
dalam kampanye pemilihan, konstituen atau pemilih menjadi sasaran dari pesan-
pesan yang terkandung didalam pemasaran politik. Tidak lain, hal demikian
menimbulkan persaingan yang melibatkan kepentingan berbagai partai politik
atau calon yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya, upaya-upaya kampanye
dan pemasaran politik terkesan semakin bertumpu pada pemikiran-pemikiran
yang lebih bersifat rasional dan ilmiah. Kesan kuat yang dimaksud, bahwa
pemasaran politik mengupayakan kombinasi informasi dan citra untuk
menciptakan persuasif bagi pemilih.
Sekilas mengenai informasi, yang menarik disini adalah informasi yang
dimiliki atau diterima seseorang bisa jadi tidak selalu benar (dalam arti tidak
selalu sesuai dengan kenyataan), atau kadangkala informasi saling simpang siur
dan berlawanan. Dari sisi ini tampak bahwa informasi merupakan faktor penting
dalam konstruksi pengetahuan. Dalam konteks kampanye, informasi biasanya
disampaikan oleh kandidat politik dengan tujuan memperoleh dukungan demi
pengakuan kekuasaan. Informasi apabila disampaikan untuk kepentingan
kampanye biasanya memiliki karakter mengkonstruksi realitas. Kebenaran
informasi biasanya dari sisi-sisi tertentu saja yang disampaikan kepeda publik,
sementara sisi-sisi lain yang merugikan bagi kandidat calon atau partai politik
yang bersangkutan hanya menjadi bagian yang tidak perlu diungkapkan terhadap
57 Pawito. Op. cit., hlm 257‐258.
35
publik. Menurut Pawito58, Informasi dalam kampanye memiliki sejumlah fungsi
penting diantaranya:
1. Memberikan dan meningkatkan pengetahuan publik mengenai
kepentingan partai atau kandidat
2. Menumbuhkan persepsi-persepsi dan penilaian-penilaian publik mengenai
berbagai realitas yang diciptakan oleh partai atau kandidat
3. Memperkuat sikap-sikap publik terhadap partai atau kandidat
4. Meningkatkan dan memperkokoh loyalitas terhadap partai dan kandidat
5. Menggalang kebersamaan di antara sesama pendukung atau simpatisan
partai atau kandidat.
Berikutnya citra menurut Pawito dalam konteks pemilihan, adalah
bayangan, kesan, atau gambaran tentang suatu objek terutama partai politik,
kandidat, dan pemerintah.59 Citra dapat menentukan cara berpikir dan cara
berperilaku seseorang termasuk dalam mengambil keputusan dalam pemilihan.
Citra yang positif dapat menjadi bagian yang penting dari tumbuhnya preferensi-
preferensi calon pemilih terhadap partai atau kandidat.
Pengolahan citra yang paling tampak dihadapan publik, misalnya saja bisa
kita saksikan dalam realitas iklan kampanye. Sebenarnya, logika tujuan iklan
kampanye partai politik atau kandidat hampir sama promosi iklan produk barang
konsumsi yang setiap hari tayang dilayar kaca televisi. Tujuan utama dari logika
tujuan iklan kampanye dan iklan promosi produk, yakni untuk menarik sikap dan
perilaku penonton. Citra positif yang ditampikan dalam realitas iklan, biasanya
58 Pawito. Op. cit., hlm 260.
59 Pawito. Op. cit., hlm 263.
36
dalam bentuk objek-objek iklan yang mendukung dengan kepentingan partai atau
kandidat.
Kembali menurut Pawito60, upaya-upaya membangun citra dapat
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya yaitu;
1. Penonjolan-penonjolan pada kesuksesan atau keberhasilan-keberhasilan
yang telah dicapai masa lampau
2. Menumbuhkan asosiasi pemikiran tentang partai atau kandidat dengan
kebesaran sejarah dimasa lampau, seperti kejayaan bangsa, pemimpin
kharismatis yang pernah ada, dan bentuk-bentuk ekspresi simbolik baik itu
kata-kata maupun gambar-gambar
3. Memberikan penonjolan orientasi ke depan, misalnya dengan kecanggihan
teknologi dan optimisme kemjuan-kemajuan dimasa akan datang
4. Menghadirkan tokoh-tokoh tertentu demi menumbuhkan dan
memperkokoh keyakinan atas kekuatan atau luasnya dukungan.
G. METODE PENELITIAN
G.1 Tipe Penelitian
Pada dasarnya penelitian ini termasuk dalam kategori studi pustaka. Tipe
penelitian ini adalah kualitatif-interpretatif. “Penelitian kualitatif merupakan
peneltian yang bermaksud untuk memahami dan menafsirkan fenomena yang
terjadi, dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode yang
60 Pawito. Op. cit., hlm 265.
37
ada”.61 Sedangkan kualitatif-interpretatif merupakan sebuah metode yang
memfokuskan pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana
peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) di balik tanda dari teks
tersebut.62
G.2 Dasar Penelitian
Secara umum, penelitian ini memiliki sentuhan pendekatan cultural
studies. Dalam pandangan cultural studies, ada tiga sendi yang saling berelasi
sehingga menjadi poin penting untuk memaknai segala aktivitas manusia dengan
segala karya-karyanya. Tiga sendi tersebut, yakni ekonomi, politik, dan budaya.
Tipe pendekatan cultural studies lebih banyak berangkat dari paradigma
kritis dekonstrusionisme dibandingkan konstruktivis. Meski demikian, dalam
cakupan studi komunikasi, pendekatan studi budaya cenderung lebih berada
dalam madzhab semiotik yang menekankan pada makna pesan, dibandingkan
madzhab proses yang lebih menekankan pada tahapan transmisi pesan dari
komunikator-komunikan.
Lebih khusus, penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika sosial
Theo Van Leeuwen. Pada semiotika sosial, Leeuwen banyak mengapresiasi
semiotika denotasi-konotasi dari Roland barthes dan dekonstruksi Derrida.
Semiotika sosial memberikan tools yang dapat digunakan untuk melihat iklan
dalam representasi dan kedalaman maknanya. Semiotika sosial dipilih karena
relevan dengan pilihan pendekatan interpretatif yang peneliti gunakan. Lebih
61 Lexy J. Moleong, 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda, hlm 6
62 Piliang (2003), Op. cit., hlm 270.
38
daripada itu, semiotika yang digunakan meletakkan tanda dalam kemungkinan
maknanya yang dapat jadi bertingkat dan menganggap konteks sosial sebagai
ruang yang memiliki pengaruh pada level tekstual tanda.
Dijelaskan sebelumnya, bahwa konsep semiotika sosial di buat
berdasarkan pandangan Barthes, teks sebagai tanda—signification yang
maksudnya menunjuk hubungan aktif antara kedua tahap pemaknaan, yakni
signifier (penanda atau segi ekspresi) pada signified (petanda atau segi isi).
Menurutnya, petanda tidak harus selalu merujuk pada penanda yang dianggap
memiliki relasi umum dengannya. Oleh karenanya, tanda pada dirinya selalu
memiliki kemungkinan untuk mendapatkan pemaknaan yang bertingkat. Ditahap
awal, kata memainkan peranannya sebagai petanda yang memiliki penanda
tertentu. Makna dalam tahap ini, bersifat ultima yang kemudian Barthes
menyebutnya dengan istilah denotasi. Istilah denotasi (penandaan primer/ ultima)
dan konotasi (penandaan sekunder), yaitu sistem pertama (denotasi) menjadi
tempat ekspresi atau penandaan sistem kedua (konotasi). Namun ditahap kedua,
petanda yang tertanam dalam benak dapat menyembul kembali, dan keluar
menjadi penanda.
Penanda mengambil bentuk petanda sebelumnya, mengosongkan isinya,
dan memenuhi kembali dengan bentuk baru petanda yang memiliki kemungkinan
penanda yang lain. Dalam tahap inilah rantai penandaan yang disebut Barthes
sebagai konotasi memiliki peluang mengelabui, membenamkan mitos dan
ideologi dalam penandanya.
Apa yang dianggap sebagai ultima oleh Roland Barthes—sebenarnya tidak
pernah memiliki nilai esensial pada dirinya. Dalam pandangan Derrida, apa yang
39
dianggap sebagai tanda tahap pertama yang denotatif oleh Barthes, hanya bahasa
kiasan untuk menyebut makna konotasi lainnya dalam mata rantai pemaknaan.
Tahap denotasi, adalah tahap konotasi yang berhasil menyelubungi dirinya
sebagai makna primer. Dari pandangan Derrida, kemudian Barthes bergerak
melampaui strukturalisme dan merayakan tanda sebagai sekedar makna konotasi
yang terus mencoba menjadi denotasi bagi penandanya.
Atas dasar tersebut, semiotika sosial Leeuwen hadir, tidak saja mengambil
pembendaharaan konsep Barthes yang sudah keluar dari strukturalisnya, namun
juga menambahkannya dengan item pemikiran lainnya yang dianggap relevan
untuk pengkajian tekstual.
Lebih dalam lagi, kemudian social semiotic kreasi Leeuwen lahir sebagai
pendekatan yang melihat semiotikus tidak sekedar dalam perannya serupa pecinta
tanda, yang mengintervensasi dan menganilisis apapun, dengan menempatkan
sumber-sumber lahirnya tanda dalam kepadatan makna yang siap dianalisis.
Makna adalah sesuatu yang dihayati, berada dalam ruang internal manusia yang
melakoni dan bergumul dengan tanda-tanda, hingga makna apapun yang dapat
dianggap padu pada tanda bisa jadi palsu.63
G.3 Ruang Lingkup Dan Fokus Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah iklan Gerindra. Karena tipe penelitian
ini bukan kuantitatif, maka tidak semua iklan Gerindra yang diteliti. Peneliti
hanya akan meneliti “permainan” tanda-tanda yang terdapat pada iklan Gerindra
versi garuda yang menggunakan media televisi, yang ditayangkan pada saat
63 Leeweun, T.2005. Introducing Social Semiotics. New York: Rouledge. Hlm 26
40
menjelang pemilu 2009. Inti dari permainan tanda yang dimaksud yaitu
mengkorelasikan “realitas iklan” dengan realitas sosial yang sebenarnya untuk
mencari nilai kebenaran pada iklan.
G.4 Unit Analisis Penelitian
Unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh teks pada iklan yang
meliputi (gambar, suara, dan kata-kata). Dengan demikian, teks tersebut dalam
susunan iklan merupakan tanda yang bersifat dominan dalam penelitian ini.
G.5 Sumber dan Cara Memperoleh Data
Penelitian ini menggunakan sumber informasi non manusia, yaitu
dokumen. Guba dan Lincoln mendefinisikan dokumen sebagai setiap bahan
tertulis ataupun film. Sedangkan menurut Faisal, yang disebut dokumen
(documents) ialah semua jenis rekaman atau catatan sekunder, seperti surat-surat,
memo atau nota, pidato-pidato, buku harian, foto-foto, kliping berita koran, hasil-
hasil penelitian, agenda kegiatan. Sebagai sumber data, dokumen dimanfaatkan
untuk menguji, menafsirkan, bahan untuk meramalkan. 64
Dalam penelitian ini, terdapat dua jenis data, yaitu data primer dan data
sekunder. Data perimer diperoleh dengan cara download data video dan
mengkliping artikel yang telah dipilih sesuai ruang lingkup penelitian, kemudian
menulis ulang naskah (editing)—baik secara redaksional maupun secara
subtansial. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui riset kepustakaan (studi
literatur), yaitu teknik pengumpulan data dengan mencari bahan-bahan referensi
64 Dalam Moleong, Op. cit., hlm 216.
41
lain—yang sesuai dengan konteks permasalahan penelitian—melalui berbagai
literatur: buku, majalah, Koran, jurnal, makalah, dan internet.
G.6 Teknik Analisa Data
Theo Van Leeuwen, tidak saja mengambil pembendaharaan Barthes yang
keluar dari ranah struktural. Lebih dari itu, Leeuwen juga mengembangkan
semiotika sosial, dengan menekankan pada empat dimensi utama, yaitu discourse,
genre, style, dan modality. Discourse merupakan bagian semiotika sosial yang
memfokuskan bagaimana sumber-sumber semantik digunakan untuk membangun
representasi dan kehadiran. Genre, berhubungan dengan penggunaan sumber
semiotik untuk menetapkan interaksi komunikatif yang berhubungan dengan
representasi baik dalam percakapan ataupun unsur komunikasi lain yang
memisahkan waktu dan jarak.
Style, bersangkut paut dan berhubungan secara langsung dengan gaya
hidup individu yang dipertontonkan dalam aktifitas komunikasi, yang secara
tersirat ataupun tersurat, menyatakan identitas dan nilai-nilai yang dianutnya.
Sedangkan modality, bagian yang mempelajari penggunaan-penggunaan semiotik
untuk menciptakan atau mengkomunikasikan kebenaran atau nialai-nilai realitas
dari representasi-representasi mereka, baik itu sebagai fakta atau fiksi,
membuktikan kebenaran atau dugaan, dan sebagainya.65 Berikut ini agar lebih
mudah membaca teknik analisa yang dipilih, peneliti jabarkan kerangka
konseptual discourse yang berasal dari semiotika sosial Theo Van Leeuwen.66 65 Leeweun, T.2005. Op. cit., halaman 91.
66 Kerangka ini diambil dari rangkuman bacaan peneliti, yang kemudian dibentuk kerangka konseptualnya, berdasarkan buku Leeweun, T.2005. Op. cit., halaman 93‐116.
42
Melalui analisis semiotika sosial Leeuwen, cakupan pembahasan pada
penelitian ini hanya akan memfokuskan pada tahap discourse. Bagi Leeuwen,
discourse merupakan sebuah versi dari realitas sosial plus ide-ide tentang serta
perlaku terhadap realitas tersebut. Langkah pertama, praktik sosial dapat
dipetakan dengan menggunakan media tanda panah tipe flowchart, dengan
memetakan berdasarkan elemen-elemen praktik sosial, yang terdiri dari aksi,
aktor, presentasi, cara, sumber, ruang dan waktu. Sedangkan untuk ide-ide dan
perilaku-perilaku dari pembuat teks, dianalis berdasarkan evaluasi, tujuan,
SEMIOTIKA SOSIAL
Modality Style Discourse Genre
Ide-ide Pembuat Teks Praktik Sosial
Legitimasi
Tujuan
Evaluasi Elemen-elemen Praktik Sosial : ‐ Aksi - Aktor ‐ Presentasi - Cara ‐ Sumber - Waktu ‐ Ruang
Penyusunan Ulang Eksklusi Substitusi Tambahan
Bagan 1.1 : Kerangka Konseptual Discourse
43
maupun legitimasi kenapa teks tersebut dibuat. Peneliti dapat menggunakan salah
satu atau lebih analisa dari ide-ide dan perilaku teks tersebut. Berikut peneliti
cantumkan media tanda panah tipe flowchart67 yang ditemukan oleh Theo Van
Leuuwen;
Tabel 1.1: Contoh media tanda panah tipe flowchart Aktor Aksi Sumber Cara Presentasi Waktu Ruang
Praktik sosial 1 Praktik sosial 2 Praktik sosial 3 dst…….
Praktik sosial 1 Praktik sosial 2 Praktik sosial 3
Praktik sosial 1 Praktik sosial 2 Praktik sosial 3
Praktik sosial 1 Praktik sosial 2 Praktik sosial 3
Praktik sosial 1 Praktik sosial 2 Praktik sosial 3
Praktik sosial 1 Praktik sosial 2 Praktik sosial 3
Praktik sosial 1 Praktik sosial 2 Praktik sosial 3
Setelah memetakan praktik sosial berdasarkan elemen-elemen praktik
sosial, langkah kedua yang harus dilakukan peneliti adalah mengamati bagaimana
elemen-elemen tersebut ditransformasikan kedalam diskursus. Dalam hal ini,
peneliti melakukan analisa dari praktek-praktek sosial dengan cara mengamati
eksklusi, penyusunan kembali, tambahan, penggantian (substitusi) pada teks,
sehingga menemukan analisa kuat kenapa dengan membongkar tanda-tanda dapat
menemukan “kebenaran” dari sebuah discourse (diskursus).
Bagi Leeuwen, makna tanda harus dipandang sebagai tahap kedua yang
telah ideologis dan politis pada dirinya. Dengan demikian, analisis yang
sebenarnya membongkar tanda untuk menemukan makna pada tahap kedua dari
67 Model media tanda panah tipe flowchart, diambil dari contoh‐contoh kasus diskursus yang memetakan elemen‐elemen praktik sosial pada buku Leeuwen, T.2005. Op. cit., halaman 114.
44
perwajahan atau representasi yang ditampakkan menjadi tidak relevan. Ini karena,
tanda tahap kedua yang terus mencoba untuk menjadi tanda primer, mengalami
proses naturalisasi secara terus-menerus dalam sejarah, dan memanfaatkan
konteks situasi tertentu sebagai dasar dari pembentukannya sebagai yang primer
atau ultima pada dirinya sendiri.
Representasi tanda senantiasa hadir dalam regulasi-regulasi yang terus
mencoba membenamkan tanda konotasi sebagai ultima, dan menjadikan regulasi
itu sebagai jalan menaturalisasi tanda tahap kedua untuk menjadi ultima atau
primer. Representasi tersebut bekerja sebagai sebuah praktik yang berlangsung
dengan memanfaatkan pengetahuan (knowledge) dan praktik kuasa (power)
sekaligus, untuk memapankan tanda konotatif agar menjadi ultima di dalamnya.
Regulasi yang tercipta dari relasi sentral antara kekuasaan (power) di satu sisi dan
pengetahuan (knowledge) di sisi lainnya itulah, yang menjadi medan dimana
discourse bekerja.
Segala bentuk representasi tanda hanya dapat hadir dari dan melalui
medan discourse. Maka dari itu, tanda sebagai sebuah representasi hanya dapat
dipahami melalui pemahaman tentang regulasi dalam medan discourse. Makna
tanda muncul berdasarkan penciptaan (by design), bahkan pada tahap pemaknaan
yang dianggap paling ultima sekalipun. Makna tanda adalah sebuah praktik
produksi dan penciptaan terus-menerus mencoba mapan dalam sejarah.