BAB I PENDAHULUAN A....
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A....
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Kuliner lokal merupakan makanan dan minuman, termasuk makanan
jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama
berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia. Biasanya
kuliner lokal diolah dari resep yang telah dikenal oleh masyarakat setempat
dengan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber lokal yang memiliki citarasa
yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat. Dengan demikian yang
perlu dipahami disini terkait dengan istilah makanan lokal yaitu pada bahan baku
lokal, cara pengolahan, resep, dan citarasa yang sesuai dengan masyarakat
setempat serta telah diwariskan secara turun temurun (Departemen Pertanian,
2002).
Masyarakat menikmati makanan lokal seperti umbi-umbian, jagung, dan
sagu sebagai makanan pokok maupun cemilan. Seiring dengan perkembangan
jaman, kuliner lokal tidak hanya dinikmati di rumah, tetapi telah tersaji di
restoran-restoran mewah. Kuliner lokal tidak hanya disajikan dalam piring tetapi
telah dikemas dengan menarik. Kuliner lokal tidak hanya dikonsumsi oleh
masyarakat suatu daerah tetapi telah dikenal secara luas. Hal ini menjadi bukti
bahwa beberapa dekade terakhir, kuliner lokal mulai tumbuh dan menguat
melampaui batas-batas wilayah. Pizza merupakan salah satu contoh kuliner
tradisional khas dari Italia yang telah mendunia. Dahulu Pizza banyak dikonsumsi
2
oleh golongan miskin di daerah Naples. Hingga tahun 1800an Pizza mulai dijual
di pinggir jalan. Kemudian Pizza dengan saus tomat mulai dibawa imigran Italia
yang berasal dari Napoli ke New York, AS. Pada tahun 1889 Raffaele Esposto,
pembuat Pizza terkenal diundang untuk mempersiapkan hidangan kepada raja dan
ratu Italia. Ratu Italia begitu mencintai makanan tersebut kemudian sejak saat itu
Pizza tidak lagi identik sebagai makanan orang miskin namun mulai dinikmati
oleh semua golongan (Rafioen, 2013: 5).
Di dalam negeri, pemasaran kuliner lokal di tingkat nasional juga
memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat. Salah satunya adalah
merebaknya warung Padang di berbagai daerah. Warung masakan Padang mulai
terkenal secara luas sejak tahun 1970-an. Salah satu menu andalan yang dijual di
warung Padang adalah rendang. Meskipun rendang merupakan suatu teknik
memasak namun pada umumnya orang memahami rendang sebagai nama
masakan. Rendang merupakan kuliner warisan Minangkabau yang memiliki
fungsi sebagai makanan yang menyertai adat. Namun seiring dengan
perkembangan zaman rendang memiliki fungsi lain sebagai makanan komersial
yang dijual di warung masakan Padang (Martion dan Hidajat, 2014).
Penyebaran kuliner lokal secara luas seperti Pizza dan masakan Padang
menurut Kubo (2010) tidak lepas dari pengaruh migrasi ke kota-kota besar.
Sebelumnya kuliner lokal disajikan di warung-warung pinggir jalan untuk
memenuhi permintaan pekerja migran misalnya warung masakan Padang,
masakan Jawa, masakan Sunda dan sebagainya. Namun saat ini kuliner lokal ini
tidak hanya disajikan di warung-warung tetapi telah disajikan di restoran gaya
3
baru dengan menampilkan fitur lokal yang kuat. Selain itu menurut Velzen (1992:
ix-x) industri kuliner semakin marak penyebabnya adalah semakin meningkatnya
permintaan akan makanan jadi, terlebih lagi di daerah perkotaan; adanya
kemudahan memasarkan hasil produksi makanan dari desa ke kota akibat
membaiknya saran angkutan dan jaringan distribusi; menurunnya kesempatan
kerja diberbagai bidang usaha kecil lainnya; dan ketiadaan saingan dari
perusahaan berskala besar karena jenis produk dan sasarannya berbeda.
Mengingat dari namanya kuliner lokal sepertinya hanya dikonsumsi oleh
masyarakat daerah setempat saja, namun demikian kuliner dapat dinikmati oleh
berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat pedesaan hingga perkotaan.
Tren kuliner lokal di Gunungkidul memang belum semasif Pizza dan
masakan Padang, meski demikian tiwul dan gathot sebagai makanan lokal saat ini
mulai dikenal oleh banyak orang. Hal ini didukung oleh kemajuan teknologi dan
informasi yang mampu meningkatkan popularitas makanan lokal. Melihat prospek
tersebut pengusaha mulai mengembangkan tiwul dan gathot instan dengan
berbagai varian rasa. Tujuannya adalah untuk menjangkau segmen pasar yang
lebih luas. Melalui sentuhan teknologi dan inovasi, tiwul diproduksi dalam bentuk
instan sehingga memudahkan konsumen dalam pengolahan. Tiwul dan gathot
instan dipasarkan melalui supermarket, toko oleh-oleh serta restoran-restoran
bergaya tradisional.
Prospek kuliner lokal saat ini juga didukung adanya perubahan pola makan
masyarakat. Dahulu tiwul pernah menjadi makanan pokok bagi masyarakat
Gunungkidul. Jenis kuliner ini biasanya terbuat dari gaplek ketela pohon yang
4
ditumbuk kemudian dikukus. Dalam sejarah, umbi dari ketela pohon sebagai
bahan baku pembuatan tiwul didatangkan dari Amerika Latin oleh Belanda untuk
mengatasi kelaparan pada masa tanam paksa. Hal ini lah yang menyebabkan tiwul
seringkali diidentikkan dengan kelaparan (Adrarini, 2004:5). Perkembangan
selanjutnya tiwul sebagai makanan pokok mulai tergantikan oleh nasi. Meskipun
demikian masyarakat masih menikmati tiwul sebagai makanan pendamping dan
cemilan. Tiwul dan aneka kuliner lokal sering disajikan sebagai snack pada
berbagai jamuan pertemuan mulai dari tingkat Rukun Tangga (RT) sampai pejabat
penting. Perubahan pola makan kuliner lokal ini menurut Welirang (2007: 72-75)
didasarkan pada tiga faktor: 1) alasan kesenangan misalnya produk kuliner
tradisional yang bisanya menampilkan kuliner yang menarik, segar dan beraroma.
2) alasan kenyamanan (memudahkan hidup) dalam hal ini tuntutan kepraktisan
(kuliner siap saji). 3) alasan kesehatan merupakan faktor yang mendasari pola
konsumsi misalnya produk pangan organik. Sedangkan perubahan tradisi makan
terlihat dari gaya hidup modern, tempat dan desakan waktu mengubah pola makan
kearah produk kuliner sambilan (camilan, snack dan sejenisnya).
Meningkatnya apresiasi terhadap kuliner lokal menurut Alamsyah (2008:
28) telah dimulai sejak tahun 2000an. Apresiasi tersebut terlihat dari semakin
maraknya acara televisi yang mengangkat tema kuliner lokal. Selain itu media
cetak mulai menerbitkan berbagai aneka buku resep masakan nusantara mulai
berkembang pesat. Hal ini dapat mengubah persepsi masyarakat untuk
menghargai masakan lokal. Tak dapat dipungkiri peran media sangat besar dalam
mengubah persepsi masyarakat terhadap makanan lokal sehingga masyarakat
5
dalam menikmati kuliner lokal menjadi sebuah petualangan dan kesenangan
sekaligus membangkitkan memori masa lalu.
Bangkitnya kuliner di Indonesia juga dipengaruhi adanya peningkatan
aktivitas pariwisata suatu daerah. Menurut data Pemerintah Kabupaten
Gunungkidul hingga Desember 2014 jumlah wisatawan yang berkunjung ke
pantai sudah mencapai 1,9 juta orang belum termasuk beberapa objek wisata lain
seperti Sri Gethuk, Gunung Api Purba dan Gua Pindul (Vivanews, 2015).
Peningkatan jumlah wisatawan tersebut mampu mendorong pertumbuhan industri
kuliner lokal. Meskipun belum ada data yang pasti mendukung pendapat tersebut,
namun faktanya makanan lokal banyak dikonsumsi oleh wisatawan, atau minimal
orang dari luar daerah (Amang, 1993: 72). Para wisatawan mengunjungi suatu
daerah tidak hanya untuk menikmati panorama alamnya namun juga menikmati
berbagai kuliner khas daerah. Mereka rela mengeluarkan biaya yang besar untuk
menikmati aneka kuliner ini disela-sela kegiatan wisata. Pada saat hari raya
lebaran terjadi lonjakan konsumen yang membeli kuliner lokal di toko oleh-oleh
sepanjang jalan Jogja-Wonosari. Jumlah pembeli bisa meningkat 50% dari pada
hari-hari biasa. Makanan yang paling banyak laku adalah tiwul, gathot, bakpia dan
belalang goreng (Kabarhandayani, 2014). Meningkatnya arus wisatawan
memberikan peluang bisnis dibidang olahan pangan lokal.
Produksi pangan lokal merupakan salah satu sektor industri potensial yang
memainkan peran penting dalam perekonomian masyarakat. Tidak hanya jumlah
usahanya yang meningkat dari tahun ke tahun, tetapi di pedesaan usaha dibidang
kuliner telah membuka peluang kerja produktif terutama bagi perempuan.
6
Berdasarkan data BPS tahun 2008 jumlah perempuan pengusaha mengalami
peningkatan dari 40,97% pada tahun 2000 menjadi 60%-80% pada tahun 2008.
Para perempuan ikut serta dalam kegiatan kewirausahaan seperti produsen
makanan, pedagang kecil dan pemilik warung semata-mata untuk membantu
perekonomian rumah tangga. Mereka terdorong untuk mencari nafkah karena
tuntutan ekonomi. Penghasilan yang diperoleh dari suami dirasa tidak cukup
untuk memenuhi biaya makan sehari-hari dan biaya sosial (Asyiek, 1994: 8).
Meskipun demikian apabila dilihat lebih jauh keikutsertaan perempuan
dalam kegiatan UKM kuliner lokal justru didukung oleh modal sosial dan modal
budaya yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan kaya akan modal sosial berupa
solidaritas dan saling tolong menolong dalam hidup bertetangga. Hal ini bisa
dilihat dari kebiasaan kerja bakti, tolong menolong dalam hajatan dan saling
membantu dalam pertanian. Kebiasaan saling tolong menolong tersebut juga
diterapkan dalam menjalankan bisnis, misalnya berbagi pengetahuan mengolah
kuliner lokal, saling tolong dalam memperoleh bahan baku dan menjualkan
produk. Tolong menolong dengan sesama pelaku usaha itu merupakan modal
sosial yang dimiliki para perempuan produsen yang direproduksi menjadi
kekuatan bisnis.
Selain modal sosial, para perempuan juga memiliki life skill yang dapat
mendukung dalam menjalankan bisnis kuliner lokal. Life skill tersebut dapat
berupa keterampilan dalam mengolah kuliner lokal, kemampuan berdagang dan
keahlian dalam mengelola keuangan rumah tangga maupun bisnis. Perempuan
memperoleh keahlian itu secara turun temurun melalui lingkungan keluarga,
7
kerabat, teman dan tetangga. Kemudian mereka dapat mengembangkan keahlian
dasarnya tersebut dengan mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh
pemerintah, swasta dan LSM.
Dengan modal sosial dan budaya, perempuan dapat dengan mudah
membangun bisnis kuliner lokal. Pengembangan modal sosial dan budaya
semakin menarik untuk dikaji mengingat pengusaha perempuan seringkali
berpendidikan rendah dan memulai bisnis dengan modal kecil (Hardyastuti dan
Watie, 1994). Akibatnya usaha yang dikelola oleh perempuan sulit untuk
berkembang dan mudah untuk gulung tikar. Meskipun demikian pada
kenyataannya ada sekelompok pengusaha yang justru mampu menjaga
keberlanjutan bisnisnya, bahkan ada pengusaha yang bisa sukses bertumpu pada
modal sosial dan budayanya.
B. Rumusan Masalah
Dalam menjalankan bisnis, pengusaha menggantungkan pada tiga modal
dasar yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan yaitu modal material,
modal sosial dan modal budaya (Marshal dan Oliver, 2005; Prasad, 2013; Ingram
dkk, 2014). Modal material telah banyak dibahas oleh peneliti sebelumnya terkait
dengan kelemahan, dampak dan penyelesainnya (Hardyastuti dan Watie, 1994;
Suratiyah dkk, 1996; Abdullah, 2001). Oleh karena itu studi ini tidak akan
mendalami persoalan modal material melainkan lebih memfokuskan perhatian
pada modal sosial dan modal budaya. Dua modal tersebut dipandang penting
dalam usaha kuliner lokal karena faktanya secara umum para perempuan yang
8
menjalankan bisnis bertumpu pada dukungan kerjasama kelompok sebagai modal
sosial dan life skill (keahlian hidup) yang merupakan modal budaya dari pada
sekedar modal material.
Pada masyarakat tradisional, modal sosial dan modal budaya merupakan
elemen penting bagi individu dan keluarga untuk hidup bermasyarakat dan
menjalankan mata pencaharian. Dalam perkembangannya modal sosial dan
budaya juga penting ketika individu dan keluarga hidup dalam masyarakat transisi
maupun modern. Modal sosial dan budaya tersebut dipandang penting untuk
mendukung keberhasilan wirausaha. Dalam prakteknya modal sosial dan budaya
bisa melahirkan beban ekonomi. Misalnya adanya kewajiban pada diri individu
atau keluarga untuk mengeluarkan dana-dana sosial (Rooks, 2009: 5). Akan tetapi,
pengusaha juga membutuhkan modal sosial dan budaya agar mereka bisa
mendapatkan kepercayaan dan kerjasama sehingga dengan modal material yang
kecil mereka bisa mengembangkannya menjadi usaha yang besar.
Dalam menjalankan bisnis kuliner lokal, perempuan nampaknya sangat
membutuhkan modal sosial dan budaya. Hal ini perlu dipelajari secara mendalam
karena perempuan secara tradisional merupakan produsen kuliner lokal. Selain itu
perempuan juga aktif dalam kegiatan perdagangan. Untuk menjalankan aktivitas
produksi dan berdagang perempuan membutuhkan yang namanya modal sosial
yang berbasis pada ikatan-ikatan komunitas yang mereka bentuk. Tidak kalah
penting perempuan juga secara tradisional merupakan produsen kuliner lokal
karena itu merupakan bagian dari life skill.
9
Berpijak dari pentingnya modal sosial dan budaya dalam bisnis kuliner
lokal maka studi ini akan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana perempuan pengusaha UKM kuliner lokal memanfaatkan modal
sosial dan budaya sebagai kekuatan dalam memulai usaha?
2. Bagaimana pengusaha perempuan UKM kuliner lokal mengembangkan modal
sosial dan budaya sebagai kekuatan dalam memperluas akses modal,
teknologi, pemasaran, dan dukungan stakeholder bagi kemajuan usahanya?
C. Tinjauan Pustaka
Kajian yang membahas tentang kewirausahaan di kalangan perempuan
produsen pangan memang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Namun
demikian, kajian tersebut belum fokus pada modal sosial dan modal budaya.
Seperti dalam studi yang dilakukan oleh Suratiyah dkk (1996) mengenai kondisi
industri rumah tangga pangan di Sulawesi Selatan, Irian Jaya, Sumatera Selatan,
dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
pengusaha perempuan menghadapi kendala diantaranya: ketersediaan bahan baku,
modal, pengelolaan usaha masih sederhana belum dipisahkan antara pengelolaan
usaha dengan rumah tangga, serta sifat produk yang rawan dalam penyimpanan
sehingga membatasi jangkauan pemasaran. Usaha yang dikelola oleh perempuan
terkesan statis karena dalam menghadapi persoalan ini perempuan terlihat kurang
agresif dan tidak mau mengambil resiko.
Van Velzen (1990) dalam penelitiannya mengenai pengusaha olahan
pangan di Jawa Barat menemukan bahwa industri makanan yang dikelola
10
perempuan sedang menghadapi persaingan dengan industri pabrik skala besar
seperti industri kerupuk. Selain itu perempuan juga menghadapi persoalan seperti
fluktuasi harga bahan baku, keuntungan yang rendah, kesulitan mengakses
berbagai pelatihan dan pasar. Dalam beberapa kasus terjadi perubahan penguasaan
usaha kecil yang dikelola oleh perempuan. Lelaki banyak mengambil alih tugas
perempuan terkait dengan mengelola keuangan dan pemasaran. Hal ini
disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang memberikan pelatihan managemen
usaha yang khusus ditujukan untuk laki-laki. Berbagai persoalan tersebut
menyebabkan usaha yang dikelola oleh perempuan hampir tidak berkembang.
Grijns dkk (1992) dalam studinya mengenai industri pengolah makanan
dan industri kerajinan di Jawa Barat menemukan pengusaha perempuan memiliki
akses yang rendah terhadap berbagai sumberdaya seperti modal, bahan baku,
pelatihan. Sehingga meskipun perempuan nampak seperti pengusaha namun
kenyataannya mereka adalah pekerja upahan terselubung. Alasannya mereka
memiliki ketergantungan yang tinggi pada pedagang dan pengusaha skala besar
dalam hal pemasok bahan baku dan pemasaran.
Hardyastuti dan Watie (1994) dalam penelitian mengenai industri rumat
tangga pangan di Yogyakarta mengungkap bahwa keberadaan usaha dibidang
pangan ini sangat ditentukan oleh ketersediaan dan harga bahan baku. Sebenarnya
usaha ini menguntungkan namun skala usaha yang kecil karena keterbatasan
modal dan kurangnya kemampuan pengusaha dalam menembus pasar berakibat
pada perkembangan bisnis yang statis. Meskipun penghasilan yang diperoleh
perempuan dari usaha rumah tangga relatif rendah tetapi mereka tetap
11
mempertahankan bisnisnya karena pendapatan yang mereka peroleh dapat
diandalkan setiap harinya untuk mencukupi sebagaian kebutuhan hidup rumah
tangga. Industri rumah tangga pangan ini pada akhirnya menjadi strategi
kelangsungan hidup perempuan dan keluarganya.
Asyiek (1994) dalam penelitian mengenai industri rumah tangga pangan di
Sumatera Selatan menemukan bahwa pengusaha dalam menjalankan usaha
kemplang dan ikan asin menghadapi persoalan fluktuasi persediaan bahan baku.
Akibatnya perempuan sering berhenti produksi dan berpindah pekerjaan untuk
sementara waktu. Selain itu kebanyakan pengusaha mengalami keterbatasan
modal usaha dan juga minimnya akses terhadap berbagai pelatihan dan
penyuluhan. Pengembangan usaha dibidang pangan penting artinya bagi
perempuan karena dapat memberikan kesempatan kerja dan untuk
mengaktualisasikan potensi perempuan sebagai pencari nafkah. Namun demikian
melihat berbagai persoalan yang dihadapi oleh pengusaha perempuan maka
diperlukan prioritas kebijakan untuk mengatasi hal tersebut.
Dari paparan di atas, studi mengenai kewirausahaa di kalangan perempuan
produsen pangan memang telah banyak dilakukan tetapi lebih banyak mengkaji
tentang modal material, akses pelatihan dan pemasaran dengan perkembangan
bisnis olahan makanan. Fokus penelitian seperti itu penting tetapi mengabaikan
kenyataan bahwa sesungguhnya modal sosial dan budaya bisa menjadi kekuatan
bagi para perempuan produsen dalam mengembangkan bisnisnya.
Dalam konteks penelitian ini, ditampilkan beberapa penelitian mengenai
kewirausahaan di kalangan perempuan dengan harapan mampu memberikan
12
argumen mengapa studi modal sosial dan budaya penting dilakukan. Seperti studi
yang dilakukan oleh Prasad dkk (2013) dalam kajiannya mengenai perempuan
pengusaha di India mencoba mengidentifikasi modal sosial yang dapat
berkontribusi dalam pertumbuhan bisnis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
modal sosial yang berkaitan dengan dukungan anggota keluarga memiliki
pengaruh besar terhadap keberlangsungan usaha. Dalam hal ini tingkat pendidikan
justru tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan bisnis yang dikelola oleh
peempuan di India.
Sehubungan dengan modal sosial, hasil studi ini menunjukkan bahwa
dukungan yang diterima dari keluarga juga sangat penting karena dapat
mendorong perempuan untuk berani mengambil resiko dan meningkatkan
semangat kewirausahaan. Kegigihan dalam berwirausaha sangat penting
mengingat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh perempuan India berakar
pada norma-norma patriarkal dan peran gender dalam struktur sosial tradisional
dari keluarga itu sendiri.
Roomi (2009) dalam penelitiannya mengenai perempuan pengusaha di
wilayah Inggris bagian Timur menegaskan bahwa menggunakan jaringan dan
hubungan interpersonal oleh pemilik bisnis akan membantu mereka dalam
mengakses informasi, saran dan ide-ide serta sumberdaya keuangan manusia.
Ketersediaan sumber daya dan atau bantuan resmi yang dihasilkan melalui
tindakan modal sosial sebagai katalis untuk mengembangkan dan menumbuhkan
bisnis mereka. Pengusaha perempuan umumnya mengakui kegunaan kelompok
dan manfaat menjaga hubungan baik dengan orang lain berkaitan dengan bisnis.
13
Sebagian pengusaha menegaskan bahwa jaringan perempuan dapat
menjadi bonding social capital untuk mengakses dan menyebarkan informasi dari
mulut ke mulut. Jaringan perempuan tersebut memiliki peran penting dalam
mengembangkan, membangun kontak dengan pengusaha serta menjadi sumber
penting untuk memperoleh ide-ide, informasi dan saran pada tahan awal
(existence dan survival) pengembangan bisnis. Beberapa pengusaha lain
menegaskan bahwa jaringan perempuan mempengaruhi keragaman link dan
bridging social capital untuk mengakses sumber daya bisnis. Bridging social
capital ini diperlukan oleh perempuan terutama dalam masa pertumbuhan bisnis.
Modal sosial tidak hanya tentang bergabung dengan kelompok,
menghadiri acara networking dan menghubungi orang lain ketika diperlukan,
namun pengembangan modal sosial didasarkan pada kepercayaan yang dibangun
dari waktu ke waktu. Perempuan pengusaha dapat berhasil menggunakan modal
sosial dalam setiap tahap perkembangan bisnis apabila mereka mulai membangun
modal sosial sejak tahap awal atau bahkan sebelum membangun bisnis. Hal
tersebut memberikan waktu untuk membangun dan menjaga kepercayaan serta
kredibilitas.
Selanjutnya Tundui dan Tundui (2013) dalam studinya mengenai
perempuan pengusaha di Tanzania membahas mengenai dampak modal sosial
terhadap kinerja perusahaan yang dikelola oleh perempuan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa modal sosial memainkan peran penting dalam kinerja usaha
yang dimiliki perempuan. Pemilik usaha yang memperoleh dukungan bisnis dan
saran dari jaringan informal memungkinkan untuk memperoleh keuntungan untuk
14
meningkat bisnis. Dampak bridging social capital pada kinerja perusahaan lebih
penting dari pada bonding social capital. Pemilik usaha dalam meningkatkan
kinerja perusahaan tidak hanya memerlukan modal material dan modal manusia
(pelatihan bisnis dan keterampilan managemen), tetapi juga perlu
mengembangkan, mempromosikan dan menggunakan bentuk-bentuk yang tepat
dari modal sosial. Secara khusus, pemilik bisnis dapat difasilitasi untuk
membangun modal sosial di luar lingkungan terdekat mereka seperti bergabung
dengan jaringan heterogen baik formal maupun informal. Upaya juga dapat
mencakup penguatan asosiasi perempuan untuk memperluas sumberdaya dan
informasi.
Kabir dkk (2014) mengkaji perempuan pengusaha di bidang peternakan
unggas di Bangladesh menemukan bahwa perempuan cenderung lebih banyak
menggunakan jaringan sosial mereka sebagai sumber modal. Di daerah pedesaan,
perempuan tidak memiliki pendidikan tinggi dan mereka tidak memperoleh
fasilitas pelatihan yang memadai karena kurangnya dukungan kelembagaan. Oleh
karena itu mereka memanfaatkan jaringan sosial seperti anggota keluarga, kerabat,
tetangga dan teman untuk mendukung bisnis yang dikelolanya.
Fornoni dkk (2012) mengkaji dampak modal sosial pengusaha terhadap
akses informasi dan akses meningkatkan kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian
menunjukkan jaringan sosial menghasilkan sumberdaya yang layak untuk
pengembangan bisnis baru atau mempertahankan bisnis yang telah ada. Secara
khusus, jaringan sosial pengusaha memudahkan pengusaha dalam mendekteksi
15
peluang bisnis serta memfasilitasi akses terhadap sumber yang diperlukan dalam
bisnis.
Purwanto (2013) mengkaji tentang peranan modal sosial dan modal
budaya dalam perkembangan klaster industri seni kerajinan keramik di Kasongan.
Meskipun Purwanto tidak mengkhususkan pada perempuan pengusaha tetapi hasil
studinya dapat menunjukkan peran penting modal sosial dalam bentuk jaringan
sosial dalam memfasilitasi proses transaksi dan pemasaran keramik. Selain itu
modal sosial juga memungkinkan organisasi dan institusi berjalan dengan baik.
Sementara itu modal budaya juga penting bagi pengusaha untuk melakukan
mobilitas ke atas. Posisi tertinggi dalam klaster keramik diduduki oleh pengusaha
yang memiliki keahlian (modal budaya) dalam mendesain keramik yang artistik.
Mereka kebanyakan tinggal di tepi jalan Kasongan sehingga memungkinkan
untuk mendirikan showroom. Oleh karena itu modal budaya berperan dalam
mengubah klaster yang tadinya memproduksi keramik tradisional-fungsional
menjadi klaster yang memproduksi keramik artistik.
Sukardja (2012) menaruh perhatian pada peran modal budaya dalam
pengembangan industri kerajinan tenun di Nusa Tenggara Barat. Pada awalnya
perempuan membuat kain tenun untuk digunakan sendiri dan untuk keperluan
upacara adat seperti pernikahan. Melalui berbagai program pelatihan dan
pendampingan yang diadakan oleh pemerintah, perempuan mampu
mengembangkan keterampilannya untuk menghasilkan berbagai motif tenun
untuk tujuan komersial. Dengan demikian modal budaya yang dimiliki oleh
16
perempuan mampu mengubah kerajinan tenun tradisional menjadi industri tenun
yang bernilai jual tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, modal sosial dan budaya memiki peran penting
dalam pengembangan bisnis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, modal
sosial menjadi faktor penentu keberhasilan perempuan perempuan. Modal sosial
berupa dukungan dari keluarga, kerabat dan teman dapat membantu pengusaha
dalam menjalankan bisnis mulai dari proses produksi hingga pemasaran. Selain
itu modal sosial berupa jaringan dapat membantu pengusaha dalam mengakses
berbagai informasi, saran dan ide dari luar.
Selain modal sosial, modal budaya berupa pengetahuan lokal dan
keterampilan juga dapat menjadi kekuatan bagi pengusaha untuk menekuni bisnis
kuliner lokal. Dengan modal budaya yang dimilikinya, perempuan tidak perlu
mengkuti kursus karena mereka dapat dengan mudah menyerap pengetahuan baru.
Dengan pengetahuannya tersebut bahkan diantara mereka bisa mengubah
kerajinan tradisional menjadi benda artistik yang bernilai jual tinggi.
Berbagai studi mengenai modal sosial dan budaya dalam pengembangan
bisnis memang telah dikaji tetapi umumnya belum menaruh perhatian pada bisnis
kuliner lokal. Studi yang ada belum membahas secara detail mengenai modal
sosial dan relevansinya terhadap perkembangan bisnis kuliner. Oleh karenanya
tulisan ini akan fokus pada pengembangan modal sosial dan budaya dalam
pengembangan bisnis kuliner lokal. Dengan demikian tesis ini dapat melengkapi
studi sebelumnya mengenai kewirausahaan perempuan dengan menunjukkan
17
bahwa modal sosial dan modal budaya memiliki peran penting terhadap
keberlanjutan bisnis.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Menganalisis tentang modal sosial dan modal budaya yang ada pada
pengusaha perempuan serta bagaimana modal tersebut dikelola dan
dikembangkan untuk membangun bisnis dibidang kuliner lokal.
2. Menganalisis perilaku perempuan dalam mengembangkan modal sosial dan
budaya sebagai kekuatan dalam memperluas akses modal material, teknologi,
pemasaran, dan dukungan stakeholder bagi kemajuan usahanya.
E. Kerangka Teori
Dalam mengkaji kewirausahaan perempuan di bidang kuliner lokal, studi
ini akan menggunakan dua teori yaitu teori modal sosial dan teori modal budaya.
Pertama, Modal sosial. Dalam konteks komunitas yang kuat, modal sosial dapat
dilihat dari dua tokoh utama yang mengembangkannya yaitu Robert D Putnam
dan Fukuyama. Putnam memandang modal sosial sebagai a set of “horizontal
associations” between people: social capital consists of social networks
(“networks of civic engagement”) and associated norms that have a effect on the
productivity of the community” (World Bank, 1998). Dengan demikian modal
sosial merupakan seperangkat perkumpulan-perkumpulan horizontal yang terdiri
18
atas jaringan sosial, norma-norma, kepercayaan yang dapat memfasilitasi
kerjasama di dalamnya dan menghasilkan keuntungan bersama.
Sementara itu, Fukuyama (1999) mendefinisikan modal sosial norma
informal yang mendorong kerjasama antar anggota masyarakat. Dalam hal ini
kerjasama menjadi unsur yang penting dalam berusaha dan untuk bekerjasama
diperlukan kepercayaan antar anggota kelompok. Kepercayaan atau trust menjadi
syarat utama dan menjadi dasar bagi orang untuk bekerjasama. Trust dalam hal ini
memungkinkan masyarakat bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan
modal sosial (Hasbullah, 2006:11).
Berdasarkan penjelasan tersebut, terdapat beberapa unsur yang terkandung
di dalam modal sosial yaitu: perkumpulan atau organisasi (ekonomi, politik,
sosial), struktur sosial, jaringan sosial, kepercayaan bersama, kepercayaan
bersama, aturan bersama, pertemanan (pertetanggaan) atau solidaritas sosial,
kerjasama dan tujuan bersama yang mengarah pada mutual benefit (Hunga, 2013:
650). Kunci pokok modal sosial terletak pada kemampuan masyarakat dalam
suatu kelompok untuk membangun kerjasama dengan berlandaskan pada jaringan,
kepercayaan, resiprositas dan norma sosial. Hasbullah (2006: 9-13) menjelaskan
tentang keempat prinsip tersebut menurut tipologi kelompok masyarakat, yaitu
pertama terkait dengan jaringan terdapat dua tipologi khas sejalan dengan
karakter dan orientasi kelompok. Pada kelompok tradisional jaringan terbangun
berdasarkan kesamaan garis keturunan, pengalaman sosial turun temurun, dan
kesamaan pada dimensi Ketuhanan biasanya memiliki ikatan yang kuat antar
sesama anggota kelompok. Meskipun demikian jaringan yang terbentuk secara
19
tradisional ini cenderung menghasilkan hubungan kerjasama yang terbatas dan
nilai kepercayaan yang terbangun biasanya sangat sempit. Sedangkan jaringan
yang terbangun atas dasar kesamaan oerientasi dan tujuan yang dikemas dalam
organisasi yang lebih modern memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik
dan memiliki jaringan yang lebih luas. Kelompok yang terikat dalam organisasi
modern ini lebih banyak memberikan dampak positif terhadap kemajuan
masyarakat. Kedua, adanya kepercayaan dalam komunitas memungkinkan
masyarakat untuk bersatu membangun suatu kerjasama dengan tujuan kemajuan
bersama. Dalam kelompok masyarakat yang berorientasi inward looking
kepercayaan yang terbangun lebih sempit sehingga kesempatan dalam
membangun modal sosial yang kuat dan menguntungkan lebih kecil. Ketiga,
resiprositas merupakan prinsip hubungan pertukaran antar anggota kelompok
dengan imbalan tanpa batas waktu. Dalam kelompok yang memiliki tingkat
resiprositas tinggi tercermin dari tingkat kepedulian dan saling membantu
sehingga kemiskinan akan lebih mudah teratasi. Keempat, norma memiliki peran
dalam mengontrol perilaku dalam suatu masyarakat. Norma merupakan
sekumpulan aturan yang diharapkan untuk dipatuhi anggota masyarakat. Dalam
norma berlaku sanksi bagi anggota masyarakat yang melakukan penyimpangan.
Dalam konteks usaha aturan kolektif misalnya norma untuk tidak mencurangi
orang lain.
Apabila dilihat dari fungsinya, modal sosial memiliki dua peranan penting
yaitu sebagai bonding dan bridging. Bonding dalam modal sosial dapat membantu
untuk menggerakkan solidaritas dan kerjasama sehingga memperkuat loyalitas
20
terhadap kelompok. Sedangkan bridging dapat digunakan untuk menghubungkan
kelompok dengan sumber yang ada diluar jaringan mereka sehingga akan
menciptakan kerjasama kolektif agar anggota kelompok memperoleh nilai dan
keuntungan baru yang tidak dapat diperoleh sendiri atau tersedia dalam jaringan
bonding mereka. Oleh karena itu bonding sifatnya lebih mengikat ke dalam
sementara bridging dapat menjembatani kelompok lain diluar kelompoknya
(Meitasari, 2013: 746).
Modal sosial ini sama seperti modal yang lain, artinya juga bersifat
produktif. Meskipun demikian modal sosial berbeda dengan modal finansial yang
habis ketika dipergunakan. Modal sosial justru bersifat kumulatif dan bertambah
dengan sendirinya. Modal sosial yang dipergunakan secara terus tidak akan rusak
justru malah semakin meningkat. Rusaknya modal sosial disebabkan karena tidak
dipergunakan dan dipelihara dengan baik (Ismaya, 2013: 706).
Dalam kaitannya dengan ekonomi, terdapat bukti empiris bahwa modal
sosial mempunyai pengaruh terhadap kinerja bisnis yang dikelola oleh
perempuan. Dalam studi Oke (2013) melihat jaringan sosial memiliki peran
penting terhadap pertumbuhan dan perempuan tukang jahit di Nigeria. Dalam hal
ini jaringan sosial menjadi sumber aset bisnis, informasi, dan mendapatkan
pelanggan serta pemasok bahan baku. Studi lebih lanjut menunjukkan keluarga
dan teman menjadi bagian penting dalam jaringan sosial. Chen dkk (2007) dalam
penelitiannya mengenai pengusaha di Taiwan menemukan bahwa usaha baru
dapat mempercepat penyebaran informasi, mencari peluang teknologi baru,
peluang pasar dan memperoleh sumberdaya keuangan melalui perluasan jaringan
21
bisnis eksternal, mempertahankan kepercayaan dan saling ketergantungan antar
mitra jaringan.
Kedua, Modal budaya. Modal budaya dapat dibedakan kedalam tiga
bentuk, yaitu: pertama bentuk embodied misalnya pengetahuan, keahlian atau
keterampilan teknis (life skill), selera, disposisi artisktik dan sebagainya. Kedua,
bentuk objektif misalnya resep, formula, barang seni, perangkat komputer dan
sebagainya. Ketiga modal budaya dalam bentuk institusional yang berwujud
seperti sertifikat atau ijazah (Bourdieu dalam Purwanto, 2012: 237). Menurut
Bourdieu dapat diperoleh seseorang dengan cara terbentuk dan terinternalisasi
padanya sejak kecil (Lee, 2011).
Sehubungan dengan hal tersebut life skill berupa keterampilan dapat
dianggap sebagai modal budaya. Alasannya, pertama keterampilan bisa diperoleh
melalui pendidikan informal diajarkan sejak kecil melalui lingkungan keluarga.
Kedua, keterampilan dimiliki oleh kelompok sosial tertentu dapat membedakan
dengan kelompok lainnya. Misalnya kelompok pengusaha kuliner lokal dengan
kelompok pengrajin bambu. Terdapat ciri-ciri tak terlihat yang dimiliki oleh
pengusaha kuliner lokal, seperti keahlian mengolah kuliner lokal yang dianggap
sebagai modal budaya. Keahlian ini terinternalisasi sejak kecil sehingga mereka
pandai mengolah kuliner lokal tanpa harus kursus masak terlebih dahulu. Ketiga,
keterampilan mampu memberikan keuntungan bagi pemiliknya yang mampu
mengelola dan mengembangkannya. Oleh karena itu Life skill dapat direproduksi
menjadi kekuatan bagi kelompok sosial untuk mencapai tujuan tertentu.
22
Dalam menjelaskan mengenai modal budaya, Bourdieu juga
mengkaitkannya dengan habitus. Habitus merupakan produk sejarah yang
terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang
dan waktu tertentu. Habitus bukan kodrat bawaan alamiah yang melengkapi
manusia melainkan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan
juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran tersebut terjadi secara
halus tanpa disadari dan tampil sebagai hal yang wajar seolah-olah suatu yang
alamiah terberi oleh alam atau “sudah dari sananya” (Richard dkk, 2009: xix ).
Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian secara spontan dan
melakukan hubungan dengan pihak luar dirinya.
Selain habitus, konsep lain yang tak kalah pentingnya adalah ranah. Fashri
(2014, 105) menjelaskan bahwa ranah berada terpisah dari kesadaran individu.
Ranah merupakan arena kekuatan yang didalamnya terdapat upaya perebutan
kekuatan orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki
modal. Setiap ranah tersebut menuntun individu untuk memiliki modal khusus
agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Mereka yang memiliki
modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu
melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur daripada mereka
yang tidak memiliki modal (Richard, 2009: xx-xxi).
Dalam mempertahankan dan mengubah distribusi modal, maka para
pelaku menerapkan strategi tertentu. Dalam Fashri (2014) dijelaskan bahwa salah
satu strategi yang dijalankan oleh pelaku menurut Bourdieu adalah strategi
reproduksi yaitu menunjuk pada kumpulan praktik yang dirancang pelaku dengan
23
kecenderungan ke arah masa depan. Strategi ini bergantung pada jumlah dan
komposisi modal, serta kondisi sarana reproduksi. Dengan demikian ranah
menjadi arena perjuangan yang begitu dinamis dimana para pelaku menggunakan
strategi untuk mempertahankan dan mengubah posisinya melalui mengumpulkan
modal sebagai sebagai sarana maupun tujuan.
Dengan demikian dalam menjelaskan perkembangan UKM kuliner lokal,
penelitian ini menggunakan modal budaya khususnya embodied culture capital
(modal budaya yang terinternalisasi berupa keahlian hidup). Dalam hal ini akan
dipusatkan pada keterampilan yang dimiliki oleh perempuan pengusaha yang telah
diinternalisasi sejak kecil, kemudian memperlihatkan statusnya sebagai habitus
yang dimiliki oleh kelompok sosial tertentu. Keterampilan yang dimiliki
seseorang juga menimbulkan pembeda atau social distinction antar individu atau
kelompok yang lain. Setiap pengusaha memiliki habitus yang berbeda tergantung
proses pembelajaran dan pengalaman yang diperoleh. Pengusaha dengan
pengalaman dan keterampilan lebih banyak akan memiliki habitus yang berbeda
dari pengusaha dengan sedikit pengalaman dan keterampilan. Pengusaha dengan
dengan modal budaya banyak akan mengembangkan keterampilannya untuk
melakukan ekspansi usaha, sedangkan pengusaha dengan modal budaya sedikit
kurang memanfaatkan dan mengembangkan keterampilannya tersebut karena
orientasi bisnisnya hanya sekedar untuk survive.
24
F. Metode Penelitian
a. Tahapan Penelitian
Berbagai tahapan telah dilakukan untuk memperoleh data penelitian, yaitu:
pertama, penentuan lokasi penelitian. Dalam mengkaji kewirausahaan perempuan
pengusaha ini maka fokus penelitian ini dilakukan di Desa Ngawu, Kecamatan
Playen, Kabupaten Gunungkidul. Alasannya di Desa Ngawu terdapat kurang lebih
181 usaha kuliner lokal yang sebagian besar dikelola oleh perempuan. Para
pengusaha menghasilkan produk kuliner basah seperti lemet, gethuk, tiwul, apem,
talam, nogosari dan jajan basah lainnya. Adapula pengusaha yang menghasilkan
produk kering seperti kerupuk, criping, tiwul instan, gathot instan dan tepung-
tepungan. Produk basah biasanya dijual di pasar tradisional setiap hari, sedangkan
produk kering biasanya dititipkan di warung-warung dan toko oleh-oleh. Di Desa
Ngawu terdapat perkumpulan perempuan produsen kuliner lokal yang terorganisir
ke dalam kelompok Putri 21. Kelompok perempuan ini sampai sekarang masih
eksis, dan anggotanya masih aktif menjadi produsen kuliner lokal.
Tahap kedua, persiapan penelitian. Persiapan dilakukan selama bulan Juni
sampai Juli 2014 meliputi penyusunan outline proposal dan membuat instrumen
penelitian. Baik dalam data kualitatif maupun kuantitatif, instrument penelitian
merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian
kualitatif instrument penelitiannya adalah peneliti sendiri sedangkan dalam
penelitian kuantitatif instrumen penelitiannya berupa angket, kuesioner.
Tahap ketiga, selama bulan Agustus sampai November 2014 peneliti
melakukan serangkaian pengumpulan data melalui teknik survei, observasi
25
partisipasi, dan wawancara mendalam. Survei dilakukan terhadap 25 produsen
kuliner lokal di Desa Ngawu. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan
gambaran secara umum mengenai profil pengusaha UKM dibidang kuliner lokal
misalnya jenis kelamin, usia pengusaha, pekerjaan utama dan sampingan, modal
usaha dan penghasilan rata-rata tiap bulan.
Observasi partisipasi dilakukan dengan cara tinggal di desa penelitian dan
mengikuti segala aktivitas pengusaha mulai dari proses produksi hingga
pemasaran. Peneliti ikut serta dalam mengolah makanan lokal mulai dari
pencampuran bahan baku, memasak, hingga pengemasan. Peneliti juga ikut dalam
memasarkan produk yaitu dengan menjaga stand produk kuliner lokal dalam
kegiatan pameran di Yogyakata. Dengan mengikuti segala aktivitas produksi akan
menghasilkan data mengenai relasi yang terbangun antara pemilik bahan baku,
pengusaha, pengepul, pedagang keliling dan konsumen. Selain itu observasi juga
dilakukan dibeberapa warung makan dan toko oleh-oleh di Gunungkidul untuk
memperoleh data mengenai rantai perdagangan kuliner lokal serta mengetahui
tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk kuliner lokal.
Wawancara mendalam dilakukan terhadap aktor-aktor dalam industri
kuliner lokal mengacu pada instrument penelitian yang telah disusun sebelumnya.
Wawancara dilakukan misalnya dengan pengusaha UKM, pengepul, konsumen,
dan pemerintah desa. Melalui wawancara terhadap beberapa aktor tersebut
peneliti memperoleh data sejarah berdirinya usaha, kontribusi usaha terhadap
perekonomian keluarga, faktor yang memperngaruhi perkembangan usaha, dan
strategi dalam menjalankan usaha. Wawancara juga dilakukan kepada perangkat
26
desa untuk mendapatkan data monografi desa, jumlah pengusaha UKM dibidang
kuliner lokal dan dinamika pengembangan usaha.
b. Analisis Data
Data-data mengenai kewirausahaan di kalangan pengusaha UKM
dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan
berdasarkan data hasil survei terhadap 25 pengusaha. Data tersebut kemudian
diolah dan ditabulasi dengan menggunakan program SPSS sehingga menghasilkan
data dalam bentuk tabel frekuensi. Selanjutnya tabel frekuensi dideskripsikan
sesuai dengan konteks penelitian.
Sementara data yang diperoleh melalui proses observasi partisipasi dan
wawancara mendalam dianalisis secara kualitatif. Data tersebut kemudian
diidentifikasi, dideskripsikan serta diintrepretasikan sesuai dengan teori yang
digunakan dalam penelitian. Langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan
berdasarkan hasil analisis tersebut.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini secara umum terbagi kedalam lima bab yang saling
terkait satu dengan yang lain. Uraian dari masing-masing bab sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan menguraikan secara keseluruhan tentang garis
besar isi penulisan meliputi latarbelakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan sistematika penulisan.
27
Bab II, merupakan profil UKM kuliner lokal menggambarkan profil perempuan
pengusaha seperti usia, tingkat pendidikan, motivasi dan juga kontribusi
perempuan dalam perekonomian rumah tangga. Selain itu dalam bab ini juga akan
membahas mengenai profil UKM kuliner lokal seperti modal, bahan baku, jenis
produk, tenaga kerja hingga pemasaran produk.
Bab III, akan fokus pada modal sosial dan relevasinya terhadap perkembangan
bisnis kuliner lokal. Dalam bab ini akan dilihat bagaimana modal sosial disemai
kemudian direproduksi menjadi kekuatan bisnis para perempuan pengusaha.
Bab IV, dalam bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai modal budaya dan
relevasinnya terhadap perkembangan bisnis. Perempuan memiliki life skill berupa
keterampilan memasak, berdagang dan mengelola keuangan rumah tangga. Life
skill itu kemudian dikembangkan melalui pelatihan dan magang sehingga
perempuan dapat menghasilkan produk kuliner yang inovatif dari segi rasa,
penampilan dan kepraktisan.