BAB I PENDAHULUAN A....

27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang Kuliner lokal merupakan makanan dan minuman, termasuk makanan jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia. Biasanya kuliner lokal diolah dari resep yang telah dikenal oleh masyarakat setempat dengan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber lokal yang memiliki citarasa yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat. Dengan demikian yang perlu dipahami disini terkait dengan istilah makanan lokal yaitu pada bahan baku lokal, cara pengolahan, resep, dan citarasa yang sesuai dengan masyarakat setempat serta telah diwariskan secara turun temurun (Departemen Pertanian, 2002). Masyarakat menikmati makanan lokal seperti umbi-umbian, jagung, dan sagu sebagai makanan pokok maupun cemilan. Seiring dengan perkembangan jaman, kuliner lokal tidak hanya dinikmati di rumah, tetapi telah tersaji di restoran-restoran mewah. Kuliner lokal tidak hanya disajikan dalam piring tetapi telah dikemas dengan menarik. Kuliner lokal tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat suatu daerah tetapi telah dikenal secara luas. Hal ini menjadi bukti bahwa beberapa dekade terakhir, kuliner lokal mulai tumbuh dan menguat melampaui batas-batas wilayah. Pizza merupakan salah satu contoh kuliner tradisional khas dari Italia yang telah mendunia. Dahulu Pizza banyak dikonsumsi

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A....

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latarbelakang

Kuliner lokal merupakan makanan dan minuman, termasuk makanan

jajanan serta bahan campuran yang digunakan secara tradisional dan telah lama

berkembang secara spesifik di daerah atau masyarakat Indonesia. Biasanya

kuliner lokal diolah dari resep yang telah dikenal oleh masyarakat setempat

dengan bahan-bahan yang diperoleh dari sumber lokal yang memiliki citarasa

yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat. Dengan demikian yang

perlu dipahami disini terkait dengan istilah makanan lokal yaitu pada bahan baku

lokal, cara pengolahan, resep, dan citarasa yang sesuai dengan masyarakat

setempat serta telah diwariskan secara turun temurun (Departemen Pertanian,

2002).

Masyarakat menikmati makanan lokal seperti umbi-umbian, jagung, dan

sagu sebagai makanan pokok maupun cemilan. Seiring dengan perkembangan

jaman, kuliner lokal tidak hanya dinikmati di rumah, tetapi telah tersaji di

restoran-restoran mewah. Kuliner lokal tidak hanya disajikan dalam piring tetapi

telah dikemas dengan menarik. Kuliner lokal tidak hanya dikonsumsi oleh

masyarakat suatu daerah tetapi telah dikenal secara luas. Hal ini menjadi bukti

bahwa beberapa dekade terakhir, kuliner lokal mulai tumbuh dan menguat

melampaui batas-batas wilayah. Pizza merupakan salah satu contoh kuliner

tradisional khas dari Italia yang telah mendunia. Dahulu Pizza banyak dikonsumsi

2

oleh golongan miskin di daerah Naples. Hingga tahun 1800an Pizza mulai dijual

di pinggir jalan. Kemudian Pizza dengan saus tomat mulai dibawa imigran Italia

yang berasal dari Napoli ke New York, AS. Pada tahun 1889 Raffaele Esposto,

pembuat Pizza terkenal diundang untuk mempersiapkan hidangan kepada raja dan

ratu Italia. Ratu Italia begitu mencintai makanan tersebut kemudian sejak saat itu

Pizza tidak lagi identik sebagai makanan orang miskin namun mulai dinikmati

oleh semua golongan (Rafioen, 2013: 5).

Di dalam negeri, pemasaran kuliner lokal di tingkat nasional juga

memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat. Salah satunya adalah

merebaknya warung Padang di berbagai daerah. Warung masakan Padang mulai

terkenal secara luas sejak tahun 1970-an. Salah satu menu andalan yang dijual di

warung Padang adalah rendang. Meskipun rendang merupakan suatu teknik

memasak namun pada umumnya orang memahami rendang sebagai nama

masakan. Rendang merupakan kuliner warisan Minangkabau yang memiliki

fungsi sebagai makanan yang menyertai adat. Namun seiring dengan

perkembangan zaman rendang memiliki fungsi lain sebagai makanan komersial

yang dijual di warung masakan Padang (Martion dan Hidajat, 2014).

Penyebaran kuliner lokal secara luas seperti Pizza dan masakan Padang

menurut Kubo (2010) tidak lepas dari pengaruh migrasi ke kota-kota besar.

Sebelumnya kuliner lokal disajikan di warung-warung pinggir jalan untuk

memenuhi permintaan pekerja migran misalnya warung masakan Padang,

masakan Jawa, masakan Sunda dan sebagainya. Namun saat ini kuliner lokal ini

tidak hanya disajikan di warung-warung tetapi telah disajikan di restoran gaya

3

baru dengan menampilkan fitur lokal yang kuat. Selain itu menurut Velzen (1992:

ix-x) industri kuliner semakin marak penyebabnya adalah semakin meningkatnya

permintaan akan makanan jadi, terlebih lagi di daerah perkotaan; adanya

kemudahan memasarkan hasil produksi makanan dari desa ke kota akibat

membaiknya saran angkutan dan jaringan distribusi; menurunnya kesempatan

kerja diberbagai bidang usaha kecil lainnya; dan ketiadaan saingan dari

perusahaan berskala besar karena jenis produk dan sasarannya berbeda.

Mengingat dari namanya kuliner lokal sepertinya hanya dikonsumsi oleh

masyarakat daerah setempat saja, namun demikian kuliner dapat dinikmati oleh

berbagai lapisan masyarakat mulai dari masyarakat pedesaan hingga perkotaan.

Tren kuliner lokal di Gunungkidul memang belum semasif Pizza dan

masakan Padang, meski demikian tiwul dan gathot sebagai makanan lokal saat ini

mulai dikenal oleh banyak orang. Hal ini didukung oleh kemajuan teknologi dan

informasi yang mampu meningkatkan popularitas makanan lokal. Melihat prospek

tersebut pengusaha mulai mengembangkan tiwul dan gathot instan dengan

berbagai varian rasa. Tujuannya adalah untuk menjangkau segmen pasar yang

lebih luas. Melalui sentuhan teknologi dan inovasi, tiwul diproduksi dalam bentuk

instan sehingga memudahkan konsumen dalam pengolahan. Tiwul dan gathot

instan dipasarkan melalui supermarket, toko oleh-oleh serta restoran-restoran

bergaya tradisional.

Prospek kuliner lokal saat ini juga didukung adanya perubahan pola makan

masyarakat. Dahulu tiwul pernah menjadi makanan pokok bagi masyarakat

Gunungkidul. Jenis kuliner ini biasanya terbuat dari gaplek ketela pohon yang

4

ditumbuk kemudian dikukus. Dalam sejarah, umbi dari ketela pohon sebagai

bahan baku pembuatan tiwul didatangkan dari Amerika Latin oleh Belanda untuk

mengatasi kelaparan pada masa tanam paksa. Hal ini lah yang menyebabkan tiwul

seringkali diidentikkan dengan kelaparan (Adrarini, 2004:5). Perkembangan

selanjutnya tiwul sebagai makanan pokok mulai tergantikan oleh nasi. Meskipun

demikian masyarakat masih menikmati tiwul sebagai makanan pendamping dan

cemilan. Tiwul dan aneka kuliner lokal sering disajikan sebagai snack pada

berbagai jamuan pertemuan mulai dari tingkat Rukun Tangga (RT) sampai pejabat

penting. Perubahan pola makan kuliner lokal ini menurut Welirang (2007: 72-75)

didasarkan pada tiga faktor: 1) alasan kesenangan misalnya produk kuliner

tradisional yang bisanya menampilkan kuliner yang menarik, segar dan beraroma.

2) alasan kenyamanan (memudahkan hidup) dalam hal ini tuntutan kepraktisan

(kuliner siap saji). 3) alasan kesehatan merupakan faktor yang mendasari pola

konsumsi misalnya produk pangan organik. Sedangkan perubahan tradisi makan

terlihat dari gaya hidup modern, tempat dan desakan waktu mengubah pola makan

kearah produk kuliner sambilan (camilan, snack dan sejenisnya).

Meningkatnya apresiasi terhadap kuliner lokal menurut Alamsyah (2008:

28) telah dimulai sejak tahun 2000an. Apresiasi tersebut terlihat dari semakin

maraknya acara televisi yang mengangkat tema kuliner lokal. Selain itu media

cetak mulai menerbitkan berbagai aneka buku resep masakan nusantara mulai

berkembang pesat. Hal ini dapat mengubah persepsi masyarakat untuk

menghargai masakan lokal. Tak dapat dipungkiri peran media sangat besar dalam

mengubah persepsi masyarakat terhadap makanan lokal sehingga masyarakat

5

dalam menikmati kuliner lokal menjadi sebuah petualangan dan kesenangan

sekaligus membangkitkan memori masa lalu.

Bangkitnya kuliner di Indonesia juga dipengaruhi adanya peningkatan

aktivitas pariwisata suatu daerah. Menurut data Pemerintah Kabupaten

Gunungkidul hingga Desember 2014 jumlah wisatawan yang berkunjung ke

pantai sudah mencapai 1,9 juta orang belum termasuk beberapa objek wisata lain

seperti Sri Gethuk, Gunung Api Purba dan Gua Pindul (Vivanews, 2015).

Peningkatan jumlah wisatawan tersebut mampu mendorong pertumbuhan industri

kuliner lokal. Meskipun belum ada data yang pasti mendukung pendapat tersebut,

namun faktanya makanan lokal banyak dikonsumsi oleh wisatawan, atau minimal

orang dari luar daerah (Amang, 1993: 72). Para wisatawan mengunjungi suatu

daerah tidak hanya untuk menikmati panorama alamnya namun juga menikmati

berbagai kuliner khas daerah. Mereka rela mengeluarkan biaya yang besar untuk

menikmati aneka kuliner ini disela-sela kegiatan wisata. Pada saat hari raya

lebaran terjadi lonjakan konsumen yang membeli kuliner lokal di toko oleh-oleh

sepanjang jalan Jogja-Wonosari. Jumlah pembeli bisa meningkat 50% dari pada

hari-hari biasa. Makanan yang paling banyak laku adalah tiwul, gathot, bakpia dan

belalang goreng (Kabarhandayani, 2014). Meningkatnya arus wisatawan

memberikan peluang bisnis dibidang olahan pangan lokal.

Produksi pangan lokal merupakan salah satu sektor industri potensial yang

memainkan peran penting dalam perekonomian masyarakat. Tidak hanya jumlah

usahanya yang meningkat dari tahun ke tahun, tetapi di pedesaan usaha dibidang

kuliner telah membuka peluang kerja produktif terutama bagi perempuan.

6

Berdasarkan data BPS tahun 2008 jumlah perempuan pengusaha mengalami

peningkatan dari 40,97% pada tahun 2000 menjadi 60%-80% pada tahun 2008.

Para perempuan ikut serta dalam kegiatan kewirausahaan seperti produsen

makanan, pedagang kecil dan pemilik warung semata-mata untuk membantu

perekonomian rumah tangga. Mereka terdorong untuk mencari nafkah karena

tuntutan ekonomi. Penghasilan yang diperoleh dari suami dirasa tidak cukup

untuk memenuhi biaya makan sehari-hari dan biaya sosial (Asyiek, 1994: 8).

Meskipun demikian apabila dilihat lebih jauh keikutsertaan perempuan

dalam kegiatan UKM kuliner lokal justru didukung oleh modal sosial dan modal

budaya yang dimilikinya. Masyarakat pedesaan kaya akan modal sosial berupa

solidaritas dan saling tolong menolong dalam hidup bertetangga. Hal ini bisa

dilihat dari kebiasaan kerja bakti, tolong menolong dalam hajatan dan saling

membantu dalam pertanian. Kebiasaan saling tolong menolong tersebut juga

diterapkan dalam menjalankan bisnis, misalnya berbagi pengetahuan mengolah

kuliner lokal, saling tolong dalam memperoleh bahan baku dan menjualkan

produk. Tolong menolong dengan sesama pelaku usaha itu merupakan modal

sosial yang dimiliki para perempuan produsen yang direproduksi menjadi

kekuatan bisnis.

Selain modal sosial, para perempuan juga memiliki life skill yang dapat

mendukung dalam menjalankan bisnis kuliner lokal. Life skill tersebut dapat

berupa keterampilan dalam mengolah kuliner lokal, kemampuan berdagang dan

keahlian dalam mengelola keuangan rumah tangga maupun bisnis. Perempuan

memperoleh keahlian itu secara turun temurun melalui lingkungan keluarga,

7

kerabat, teman dan tetangga. Kemudian mereka dapat mengembangkan keahlian

dasarnya tersebut dengan mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh

pemerintah, swasta dan LSM.

Dengan modal sosial dan budaya, perempuan dapat dengan mudah

membangun bisnis kuliner lokal. Pengembangan modal sosial dan budaya

semakin menarik untuk dikaji mengingat pengusaha perempuan seringkali

berpendidikan rendah dan memulai bisnis dengan modal kecil (Hardyastuti dan

Watie, 1994). Akibatnya usaha yang dikelola oleh perempuan sulit untuk

berkembang dan mudah untuk gulung tikar. Meskipun demikian pada

kenyataannya ada sekelompok pengusaha yang justru mampu menjaga

keberlanjutan bisnisnya, bahkan ada pengusaha yang bisa sukses bertumpu pada

modal sosial dan budayanya.

B. Rumusan Masalah

Dalam menjalankan bisnis, pengusaha menggantungkan pada tiga modal

dasar yang memberikan kontribusi terhadap keberhasilan yaitu modal material,

modal sosial dan modal budaya (Marshal dan Oliver, 2005; Prasad, 2013; Ingram

dkk, 2014). Modal material telah banyak dibahas oleh peneliti sebelumnya terkait

dengan kelemahan, dampak dan penyelesainnya (Hardyastuti dan Watie, 1994;

Suratiyah dkk, 1996; Abdullah, 2001). Oleh karena itu studi ini tidak akan

mendalami persoalan modal material melainkan lebih memfokuskan perhatian

pada modal sosial dan modal budaya. Dua modal tersebut dipandang penting

dalam usaha kuliner lokal karena faktanya secara umum para perempuan yang

8

menjalankan bisnis bertumpu pada dukungan kerjasama kelompok sebagai modal

sosial dan life skill (keahlian hidup) yang merupakan modal budaya dari pada

sekedar modal material.

Pada masyarakat tradisional, modal sosial dan modal budaya merupakan

elemen penting bagi individu dan keluarga untuk hidup bermasyarakat dan

menjalankan mata pencaharian. Dalam perkembangannya modal sosial dan

budaya juga penting ketika individu dan keluarga hidup dalam masyarakat transisi

maupun modern. Modal sosial dan budaya tersebut dipandang penting untuk

mendukung keberhasilan wirausaha. Dalam prakteknya modal sosial dan budaya

bisa melahirkan beban ekonomi. Misalnya adanya kewajiban pada diri individu

atau keluarga untuk mengeluarkan dana-dana sosial (Rooks, 2009: 5). Akan tetapi,

pengusaha juga membutuhkan modal sosial dan budaya agar mereka bisa

mendapatkan kepercayaan dan kerjasama sehingga dengan modal material yang

kecil mereka bisa mengembangkannya menjadi usaha yang besar.

Dalam menjalankan bisnis kuliner lokal, perempuan nampaknya sangat

membutuhkan modal sosial dan budaya. Hal ini perlu dipelajari secara mendalam

karena perempuan secara tradisional merupakan produsen kuliner lokal. Selain itu

perempuan juga aktif dalam kegiatan perdagangan. Untuk menjalankan aktivitas

produksi dan berdagang perempuan membutuhkan yang namanya modal sosial

yang berbasis pada ikatan-ikatan komunitas yang mereka bentuk. Tidak kalah

penting perempuan juga secara tradisional merupakan produsen kuliner lokal

karena itu merupakan bagian dari life skill.

9

Berpijak dari pentingnya modal sosial dan budaya dalam bisnis kuliner

lokal maka studi ini akan mengajukan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana perempuan pengusaha UKM kuliner lokal memanfaatkan modal

sosial dan budaya sebagai kekuatan dalam memulai usaha?

2. Bagaimana pengusaha perempuan UKM kuliner lokal mengembangkan modal

sosial dan budaya sebagai kekuatan dalam memperluas akses modal,

teknologi, pemasaran, dan dukungan stakeholder bagi kemajuan usahanya?

C. Tinjauan Pustaka

Kajian yang membahas tentang kewirausahaan di kalangan perempuan

produsen pangan memang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Namun

demikian, kajian tersebut belum fokus pada modal sosial dan modal budaya.

Seperti dalam studi yang dilakukan oleh Suratiyah dkk (1996) mengenai kondisi

industri rumah tangga pangan di Sulawesi Selatan, Irian Jaya, Sumatera Selatan,

dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

pengusaha perempuan menghadapi kendala diantaranya: ketersediaan bahan baku,

modal, pengelolaan usaha masih sederhana belum dipisahkan antara pengelolaan

usaha dengan rumah tangga, serta sifat produk yang rawan dalam penyimpanan

sehingga membatasi jangkauan pemasaran. Usaha yang dikelola oleh perempuan

terkesan statis karena dalam menghadapi persoalan ini perempuan terlihat kurang

agresif dan tidak mau mengambil resiko.

Van Velzen (1990) dalam penelitiannya mengenai pengusaha olahan

pangan di Jawa Barat menemukan bahwa industri makanan yang dikelola

10

perempuan sedang menghadapi persaingan dengan industri pabrik skala besar

seperti industri kerupuk. Selain itu perempuan juga menghadapi persoalan seperti

fluktuasi harga bahan baku, keuntungan yang rendah, kesulitan mengakses

berbagai pelatihan dan pasar. Dalam beberapa kasus terjadi perubahan penguasaan

usaha kecil yang dikelola oleh perempuan. Lelaki banyak mengambil alih tugas

perempuan terkait dengan mengelola keuangan dan pemasaran. Hal ini

disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang memberikan pelatihan managemen

usaha yang khusus ditujukan untuk laki-laki. Berbagai persoalan tersebut

menyebabkan usaha yang dikelola oleh perempuan hampir tidak berkembang.

Grijns dkk (1992) dalam studinya mengenai industri pengolah makanan

dan industri kerajinan di Jawa Barat menemukan pengusaha perempuan memiliki

akses yang rendah terhadap berbagai sumberdaya seperti modal, bahan baku,

pelatihan. Sehingga meskipun perempuan nampak seperti pengusaha namun

kenyataannya mereka adalah pekerja upahan terselubung. Alasannya mereka

memiliki ketergantungan yang tinggi pada pedagang dan pengusaha skala besar

dalam hal pemasok bahan baku dan pemasaran.

Hardyastuti dan Watie (1994) dalam penelitian mengenai industri rumat

tangga pangan di Yogyakarta mengungkap bahwa keberadaan usaha dibidang

pangan ini sangat ditentukan oleh ketersediaan dan harga bahan baku. Sebenarnya

usaha ini menguntungkan namun skala usaha yang kecil karena keterbatasan

modal dan kurangnya kemampuan pengusaha dalam menembus pasar berakibat

pada perkembangan bisnis yang statis. Meskipun penghasilan yang diperoleh

perempuan dari usaha rumah tangga relatif rendah tetapi mereka tetap

11

mempertahankan bisnisnya karena pendapatan yang mereka peroleh dapat

diandalkan setiap harinya untuk mencukupi sebagaian kebutuhan hidup rumah

tangga. Industri rumah tangga pangan ini pada akhirnya menjadi strategi

kelangsungan hidup perempuan dan keluarganya.

Asyiek (1994) dalam penelitian mengenai industri rumah tangga pangan di

Sumatera Selatan menemukan bahwa pengusaha dalam menjalankan usaha

kemplang dan ikan asin menghadapi persoalan fluktuasi persediaan bahan baku.

Akibatnya perempuan sering berhenti produksi dan berpindah pekerjaan untuk

sementara waktu. Selain itu kebanyakan pengusaha mengalami keterbatasan

modal usaha dan juga minimnya akses terhadap berbagai pelatihan dan

penyuluhan. Pengembangan usaha dibidang pangan penting artinya bagi

perempuan karena dapat memberikan kesempatan kerja dan untuk

mengaktualisasikan potensi perempuan sebagai pencari nafkah. Namun demikian

melihat berbagai persoalan yang dihadapi oleh pengusaha perempuan maka

diperlukan prioritas kebijakan untuk mengatasi hal tersebut.

Dari paparan di atas, studi mengenai kewirausahaa di kalangan perempuan

produsen pangan memang telah banyak dilakukan tetapi lebih banyak mengkaji

tentang modal material, akses pelatihan dan pemasaran dengan perkembangan

bisnis olahan makanan. Fokus penelitian seperti itu penting tetapi mengabaikan

kenyataan bahwa sesungguhnya modal sosial dan budaya bisa menjadi kekuatan

bagi para perempuan produsen dalam mengembangkan bisnisnya.

Dalam konteks penelitian ini, ditampilkan beberapa penelitian mengenai

kewirausahaan di kalangan perempuan dengan harapan mampu memberikan

12

argumen mengapa studi modal sosial dan budaya penting dilakukan. Seperti studi

yang dilakukan oleh Prasad dkk (2013) dalam kajiannya mengenai perempuan

pengusaha di India mencoba mengidentifikasi modal sosial yang dapat

berkontribusi dalam pertumbuhan bisnis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

modal sosial yang berkaitan dengan dukungan anggota keluarga memiliki

pengaruh besar terhadap keberlangsungan usaha. Dalam hal ini tingkat pendidikan

justru tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan bisnis yang dikelola oleh

peempuan di India.

Sehubungan dengan modal sosial, hasil studi ini menunjukkan bahwa

dukungan yang diterima dari keluarga juga sangat penting karena dapat

mendorong perempuan untuk berani mengambil resiko dan meningkatkan

semangat kewirausahaan. Kegigihan dalam berwirausaha sangat penting

mengingat bahwa tantangan terbesar yang dihadapi oleh perempuan India berakar

pada norma-norma patriarkal dan peran gender dalam struktur sosial tradisional

dari keluarga itu sendiri.

Roomi (2009) dalam penelitiannya mengenai perempuan pengusaha di

wilayah Inggris bagian Timur menegaskan bahwa menggunakan jaringan dan

hubungan interpersonal oleh pemilik bisnis akan membantu mereka dalam

mengakses informasi, saran dan ide-ide serta sumberdaya keuangan manusia.

Ketersediaan sumber daya dan atau bantuan resmi yang dihasilkan melalui

tindakan modal sosial sebagai katalis untuk mengembangkan dan menumbuhkan

bisnis mereka. Pengusaha perempuan umumnya mengakui kegunaan kelompok

dan manfaat menjaga hubungan baik dengan orang lain berkaitan dengan bisnis.

13

Sebagian pengusaha menegaskan bahwa jaringan perempuan dapat

menjadi bonding social capital untuk mengakses dan menyebarkan informasi dari

mulut ke mulut. Jaringan perempuan tersebut memiliki peran penting dalam

mengembangkan, membangun kontak dengan pengusaha serta menjadi sumber

penting untuk memperoleh ide-ide, informasi dan saran pada tahan awal

(existence dan survival) pengembangan bisnis. Beberapa pengusaha lain

menegaskan bahwa jaringan perempuan mempengaruhi keragaman link dan

bridging social capital untuk mengakses sumber daya bisnis. Bridging social

capital ini diperlukan oleh perempuan terutama dalam masa pertumbuhan bisnis.

Modal sosial tidak hanya tentang bergabung dengan kelompok,

menghadiri acara networking dan menghubungi orang lain ketika diperlukan,

namun pengembangan modal sosial didasarkan pada kepercayaan yang dibangun

dari waktu ke waktu. Perempuan pengusaha dapat berhasil menggunakan modal

sosial dalam setiap tahap perkembangan bisnis apabila mereka mulai membangun

modal sosial sejak tahap awal atau bahkan sebelum membangun bisnis. Hal

tersebut memberikan waktu untuk membangun dan menjaga kepercayaan serta

kredibilitas.

Selanjutnya Tundui dan Tundui (2013) dalam studinya mengenai

perempuan pengusaha di Tanzania membahas mengenai dampak modal sosial

terhadap kinerja perusahaan yang dikelola oleh perempuan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa modal sosial memainkan peran penting dalam kinerja usaha

yang dimiliki perempuan. Pemilik usaha yang memperoleh dukungan bisnis dan

saran dari jaringan informal memungkinkan untuk memperoleh keuntungan untuk

14

meningkat bisnis. Dampak bridging social capital pada kinerja perusahaan lebih

penting dari pada bonding social capital. Pemilik usaha dalam meningkatkan

kinerja perusahaan tidak hanya memerlukan modal material dan modal manusia

(pelatihan bisnis dan keterampilan managemen), tetapi juga perlu

mengembangkan, mempromosikan dan menggunakan bentuk-bentuk yang tepat

dari modal sosial. Secara khusus, pemilik bisnis dapat difasilitasi untuk

membangun modal sosial di luar lingkungan terdekat mereka seperti bergabung

dengan jaringan heterogen baik formal maupun informal. Upaya juga dapat

mencakup penguatan asosiasi perempuan untuk memperluas sumberdaya dan

informasi.

Kabir dkk (2014) mengkaji perempuan pengusaha di bidang peternakan

unggas di Bangladesh menemukan bahwa perempuan cenderung lebih banyak

menggunakan jaringan sosial mereka sebagai sumber modal. Di daerah pedesaan,

perempuan tidak memiliki pendidikan tinggi dan mereka tidak memperoleh

fasilitas pelatihan yang memadai karena kurangnya dukungan kelembagaan. Oleh

karena itu mereka memanfaatkan jaringan sosial seperti anggota keluarga, kerabat,

tetangga dan teman untuk mendukung bisnis yang dikelolanya.

Fornoni dkk (2012) mengkaji dampak modal sosial pengusaha terhadap

akses informasi dan akses meningkatkan kinerja kewirausahaan. Hasil penelitian

menunjukkan jaringan sosial menghasilkan sumberdaya yang layak untuk

pengembangan bisnis baru atau mempertahankan bisnis yang telah ada. Secara

khusus, jaringan sosial pengusaha memudahkan pengusaha dalam mendekteksi

15

peluang bisnis serta memfasilitasi akses terhadap sumber yang diperlukan dalam

bisnis.

Purwanto (2013) mengkaji tentang peranan modal sosial dan modal

budaya dalam perkembangan klaster industri seni kerajinan keramik di Kasongan.

Meskipun Purwanto tidak mengkhususkan pada perempuan pengusaha tetapi hasil

studinya dapat menunjukkan peran penting modal sosial dalam bentuk jaringan

sosial dalam memfasilitasi proses transaksi dan pemasaran keramik. Selain itu

modal sosial juga memungkinkan organisasi dan institusi berjalan dengan baik.

Sementara itu modal budaya juga penting bagi pengusaha untuk melakukan

mobilitas ke atas. Posisi tertinggi dalam klaster keramik diduduki oleh pengusaha

yang memiliki keahlian (modal budaya) dalam mendesain keramik yang artistik.

Mereka kebanyakan tinggal di tepi jalan Kasongan sehingga memungkinkan

untuk mendirikan showroom. Oleh karena itu modal budaya berperan dalam

mengubah klaster yang tadinya memproduksi keramik tradisional-fungsional

menjadi klaster yang memproduksi keramik artistik.

Sukardja (2012) menaruh perhatian pada peran modal budaya dalam

pengembangan industri kerajinan tenun di Nusa Tenggara Barat. Pada awalnya

perempuan membuat kain tenun untuk digunakan sendiri dan untuk keperluan

upacara adat seperti pernikahan. Melalui berbagai program pelatihan dan

pendampingan yang diadakan oleh pemerintah, perempuan mampu

mengembangkan keterampilannya untuk menghasilkan berbagai motif tenun

untuk tujuan komersial. Dengan demikian modal budaya yang dimiliki oleh

16

perempuan mampu mengubah kerajinan tenun tradisional menjadi industri tenun

yang bernilai jual tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, modal sosial dan budaya memiki peran penting

dalam pengembangan bisnis. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, modal

sosial menjadi faktor penentu keberhasilan perempuan perempuan. Modal sosial

berupa dukungan dari keluarga, kerabat dan teman dapat membantu pengusaha

dalam menjalankan bisnis mulai dari proses produksi hingga pemasaran. Selain

itu modal sosial berupa jaringan dapat membantu pengusaha dalam mengakses

berbagai informasi, saran dan ide dari luar.

Selain modal sosial, modal budaya berupa pengetahuan lokal dan

keterampilan juga dapat menjadi kekuatan bagi pengusaha untuk menekuni bisnis

kuliner lokal. Dengan modal budaya yang dimilikinya, perempuan tidak perlu

mengkuti kursus karena mereka dapat dengan mudah menyerap pengetahuan baru.

Dengan pengetahuannya tersebut bahkan diantara mereka bisa mengubah

kerajinan tradisional menjadi benda artistik yang bernilai jual tinggi.

Berbagai studi mengenai modal sosial dan budaya dalam pengembangan

bisnis memang telah dikaji tetapi umumnya belum menaruh perhatian pada bisnis

kuliner lokal. Studi yang ada belum membahas secara detail mengenai modal

sosial dan relevansinya terhadap perkembangan bisnis kuliner. Oleh karenanya

tulisan ini akan fokus pada pengembangan modal sosial dan budaya dalam

pengembangan bisnis kuliner lokal. Dengan demikian tesis ini dapat melengkapi

studi sebelumnya mengenai kewirausahaan perempuan dengan menunjukkan

17

bahwa modal sosial dan modal budaya memiliki peran penting terhadap

keberlanjutan bisnis.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Menganalisis tentang modal sosial dan modal budaya yang ada pada

pengusaha perempuan serta bagaimana modal tersebut dikelola dan

dikembangkan untuk membangun bisnis dibidang kuliner lokal.

2. Menganalisis perilaku perempuan dalam mengembangkan modal sosial dan

budaya sebagai kekuatan dalam memperluas akses modal material, teknologi,

pemasaran, dan dukungan stakeholder bagi kemajuan usahanya.

E. Kerangka Teori

Dalam mengkaji kewirausahaan perempuan di bidang kuliner lokal, studi

ini akan menggunakan dua teori yaitu teori modal sosial dan teori modal budaya.

Pertama, Modal sosial. Dalam konteks komunitas yang kuat, modal sosial dapat

dilihat dari dua tokoh utama yang mengembangkannya yaitu Robert D Putnam

dan Fukuyama. Putnam memandang modal sosial sebagai a set of “horizontal

associations” between people: social capital consists of social networks

(“networks of civic engagement”) and associated norms that have a effect on the

productivity of the community” (World Bank, 1998). Dengan demikian modal

sosial merupakan seperangkat perkumpulan-perkumpulan horizontal yang terdiri

18

atas jaringan sosial, norma-norma, kepercayaan yang dapat memfasilitasi

kerjasama di dalamnya dan menghasilkan keuntungan bersama.

Sementara itu, Fukuyama (1999) mendefinisikan modal sosial norma

informal yang mendorong kerjasama antar anggota masyarakat. Dalam hal ini

kerjasama menjadi unsur yang penting dalam berusaha dan untuk bekerjasama

diperlukan kepercayaan antar anggota kelompok. Kepercayaan atau trust menjadi

syarat utama dan menjadi dasar bagi orang untuk bekerjasama. Trust dalam hal ini

memungkinkan masyarakat bersatu dan memberikan kontribusi pada peningkatan

modal sosial (Hasbullah, 2006:11).

Berdasarkan penjelasan tersebut, terdapat beberapa unsur yang terkandung

di dalam modal sosial yaitu: perkumpulan atau organisasi (ekonomi, politik,

sosial), struktur sosial, jaringan sosial, kepercayaan bersama, kepercayaan

bersama, aturan bersama, pertemanan (pertetanggaan) atau solidaritas sosial,

kerjasama dan tujuan bersama yang mengarah pada mutual benefit (Hunga, 2013:

650). Kunci pokok modal sosial terletak pada kemampuan masyarakat dalam

suatu kelompok untuk membangun kerjasama dengan berlandaskan pada jaringan,

kepercayaan, resiprositas dan norma sosial. Hasbullah (2006: 9-13) menjelaskan

tentang keempat prinsip tersebut menurut tipologi kelompok masyarakat, yaitu

pertama terkait dengan jaringan terdapat dua tipologi khas sejalan dengan

karakter dan orientasi kelompok. Pada kelompok tradisional jaringan terbangun

berdasarkan kesamaan garis keturunan, pengalaman sosial turun temurun, dan

kesamaan pada dimensi Ketuhanan biasanya memiliki ikatan yang kuat antar

sesama anggota kelompok. Meskipun demikian jaringan yang terbentuk secara

19

tradisional ini cenderung menghasilkan hubungan kerjasama yang terbatas dan

nilai kepercayaan yang terbangun biasanya sangat sempit. Sedangkan jaringan

yang terbangun atas dasar kesamaan oerientasi dan tujuan yang dikemas dalam

organisasi yang lebih modern memiliki tingkat partisipasi anggota yang lebih baik

dan memiliki jaringan yang lebih luas. Kelompok yang terikat dalam organisasi

modern ini lebih banyak memberikan dampak positif terhadap kemajuan

masyarakat. Kedua, adanya kepercayaan dalam komunitas memungkinkan

masyarakat untuk bersatu membangun suatu kerjasama dengan tujuan kemajuan

bersama. Dalam kelompok masyarakat yang berorientasi inward looking

kepercayaan yang terbangun lebih sempit sehingga kesempatan dalam

membangun modal sosial yang kuat dan menguntungkan lebih kecil. Ketiga,

resiprositas merupakan prinsip hubungan pertukaran antar anggota kelompok

dengan imbalan tanpa batas waktu. Dalam kelompok yang memiliki tingkat

resiprositas tinggi tercermin dari tingkat kepedulian dan saling membantu

sehingga kemiskinan akan lebih mudah teratasi. Keempat, norma memiliki peran

dalam mengontrol perilaku dalam suatu masyarakat. Norma merupakan

sekumpulan aturan yang diharapkan untuk dipatuhi anggota masyarakat. Dalam

norma berlaku sanksi bagi anggota masyarakat yang melakukan penyimpangan.

Dalam konteks usaha aturan kolektif misalnya norma untuk tidak mencurangi

orang lain.

Apabila dilihat dari fungsinya, modal sosial memiliki dua peranan penting

yaitu sebagai bonding dan bridging. Bonding dalam modal sosial dapat membantu

untuk menggerakkan solidaritas dan kerjasama sehingga memperkuat loyalitas

20

terhadap kelompok. Sedangkan bridging dapat digunakan untuk menghubungkan

kelompok dengan sumber yang ada diluar jaringan mereka sehingga akan

menciptakan kerjasama kolektif agar anggota kelompok memperoleh nilai dan

keuntungan baru yang tidak dapat diperoleh sendiri atau tersedia dalam jaringan

bonding mereka. Oleh karena itu bonding sifatnya lebih mengikat ke dalam

sementara bridging dapat menjembatani kelompok lain diluar kelompoknya

(Meitasari, 2013: 746).

Modal sosial ini sama seperti modal yang lain, artinya juga bersifat

produktif. Meskipun demikian modal sosial berbeda dengan modal finansial yang

habis ketika dipergunakan. Modal sosial justru bersifat kumulatif dan bertambah

dengan sendirinya. Modal sosial yang dipergunakan secara terus tidak akan rusak

justru malah semakin meningkat. Rusaknya modal sosial disebabkan karena tidak

dipergunakan dan dipelihara dengan baik (Ismaya, 2013: 706).

Dalam kaitannya dengan ekonomi, terdapat bukti empiris bahwa modal

sosial mempunyai pengaruh terhadap kinerja bisnis yang dikelola oleh

perempuan. Dalam studi Oke (2013) melihat jaringan sosial memiliki peran

penting terhadap pertumbuhan dan perempuan tukang jahit di Nigeria. Dalam hal

ini jaringan sosial menjadi sumber aset bisnis, informasi, dan mendapatkan

pelanggan serta pemasok bahan baku. Studi lebih lanjut menunjukkan keluarga

dan teman menjadi bagian penting dalam jaringan sosial. Chen dkk (2007) dalam

penelitiannya mengenai pengusaha di Taiwan menemukan bahwa usaha baru

dapat mempercepat penyebaran informasi, mencari peluang teknologi baru,

peluang pasar dan memperoleh sumberdaya keuangan melalui perluasan jaringan

21

bisnis eksternal, mempertahankan kepercayaan dan saling ketergantungan antar

mitra jaringan.

Kedua, Modal budaya. Modal budaya dapat dibedakan kedalam tiga

bentuk, yaitu: pertama bentuk embodied misalnya pengetahuan, keahlian atau

keterampilan teknis (life skill), selera, disposisi artisktik dan sebagainya. Kedua,

bentuk objektif misalnya resep, formula, barang seni, perangkat komputer dan

sebagainya. Ketiga modal budaya dalam bentuk institusional yang berwujud

seperti sertifikat atau ijazah (Bourdieu dalam Purwanto, 2012: 237). Menurut

Bourdieu dapat diperoleh seseorang dengan cara terbentuk dan terinternalisasi

padanya sejak kecil (Lee, 2011).

Sehubungan dengan hal tersebut life skill berupa keterampilan dapat

dianggap sebagai modal budaya. Alasannya, pertama keterampilan bisa diperoleh

melalui pendidikan informal diajarkan sejak kecil melalui lingkungan keluarga.

Kedua, keterampilan dimiliki oleh kelompok sosial tertentu dapat membedakan

dengan kelompok lainnya. Misalnya kelompok pengusaha kuliner lokal dengan

kelompok pengrajin bambu. Terdapat ciri-ciri tak terlihat yang dimiliki oleh

pengusaha kuliner lokal, seperti keahlian mengolah kuliner lokal yang dianggap

sebagai modal budaya. Keahlian ini terinternalisasi sejak kecil sehingga mereka

pandai mengolah kuliner lokal tanpa harus kursus masak terlebih dahulu. Ketiga,

keterampilan mampu memberikan keuntungan bagi pemiliknya yang mampu

mengelola dan mengembangkannya. Oleh karena itu Life skill dapat direproduksi

menjadi kekuatan bagi kelompok sosial untuk mencapai tujuan tertentu.

22

Dalam menjelaskan mengenai modal budaya, Bourdieu juga

mengkaitkannya dengan habitus. Habitus merupakan produk sejarah yang

terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang

dan waktu tertentu. Habitus bukan kodrat bawaan alamiah yang melengkapi

manusia melainkan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan

juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran tersebut terjadi secara

halus tanpa disadari dan tampil sebagai hal yang wajar seolah-olah suatu yang

alamiah terberi oleh alam atau “sudah dari sananya” (Richard dkk, 2009: xix ).

Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian secara spontan dan

melakukan hubungan dengan pihak luar dirinya.

Selain habitus, konsep lain yang tak kalah pentingnya adalah ranah. Fashri

(2014, 105) menjelaskan bahwa ranah berada terpisah dari kesadaran individu.

Ranah merupakan arena kekuatan yang didalamnya terdapat upaya perebutan

kekuatan orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki

modal. Setiap ranah tersebut menuntun individu untuk memiliki modal khusus

agar dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya. Mereka yang memiliki

modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu

melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur daripada mereka

yang tidak memiliki modal (Richard, 2009: xx-xxi).

Dalam mempertahankan dan mengubah distribusi modal, maka para

pelaku menerapkan strategi tertentu. Dalam Fashri (2014) dijelaskan bahwa salah

satu strategi yang dijalankan oleh pelaku menurut Bourdieu adalah strategi

reproduksi yaitu menunjuk pada kumpulan praktik yang dirancang pelaku dengan

23

kecenderungan ke arah masa depan. Strategi ini bergantung pada jumlah dan

komposisi modal, serta kondisi sarana reproduksi. Dengan demikian ranah

menjadi arena perjuangan yang begitu dinamis dimana para pelaku menggunakan

strategi untuk mempertahankan dan mengubah posisinya melalui mengumpulkan

modal sebagai sebagai sarana maupun tujuan.

Dengan demikian dalam menjelaskan perkembangan UKM kuliner lokal,

penelitian ini menggunakan modal budaya khususnya embodied culture capital

(modal budaya yang terinternalisasi berupa keahlian hidup). Dalam hal ini akan

dipusatkan pada keterampilan yang dimiliki oleh perempuan pengusaha yang telah

diinternalisasi sejak kecil, kemudian memperlihatkan statusnya sebagai habitus

yang dimiliki oleh kelompok sosial tertentu. Keterampilan yang dimiliki

seseorang juga menimbulkan pembeda atau social distinction antar individu atau

kelompok yang lain. Setiap pengusaha memiliki habitus yang berbeda tergantung

proses pembelajaran dan pengalaman yang diperoleh. Pengusaha dengan

pengalaman dan keterampilan lebih banyak akan memiliki habitus yang berbeda

dari pengusaha dengan sedikit pengalaman dan keterampilan. Pengusaha dengan

dengan modal budaya banyak akan mengembangkan keterampilannya untuk

melakukan ekspansi usaha, sedangkan pengusaha dengan modal budaya sedikit

kurang memanfaatkan dan mengembangkan keterampilannya tersebut karena

orientasi bisnisnya hanya sekedar untuk survive.

24

F. Metode Penelitian

a. Tahapan Penelitian

Berbagai tahapan telah dilakukan untuk memperoleh data penelitian, yaitu:

pertama, penentuan lokasi penelitian. Dalam mengkaji kewirausahaan perempuan

pengusaha ini maka fokus penelitian ini dilakukan di Desa Ngawu, Kecamatan

Playen, Kabupaten Gunungkidul. Alasannya di Desa Ngawu terdapat kurang lebih

181 usaha kuliner lokal yang sebagian besar dikelola oleh perempuan. Para

pengusaha menghasilkan produk kuliner basah seperti lemet, gethuk, tiwul, apem,

talam, nogosari dan jajan basah lainnya. Adapula pengusaha yang menghasilkan

produk kering seperti kerupuk, criping, tiwul instan, gathot instan dan tepung-

tepungan. Produk basah biasanya dijual di pasar tradisional setiap hari, sedangkan

produk kering biasanya dititipkan di warung-warung dan toko oleh-oleh. Di Desa

Ngawu terdapat perkumpulan perempuan produsen kuliner lokal yang terorganisir

ke dalam kelompok Putri 21. Kelompok perempuan ini sampai sekarang masih

eksis, dan anggotanya masih aktif menjadi produsen kuliner lokal.

Tahap kedua, persiapan penelitian. Persiapan dilakukan selama bulan Juni

sampai Juli 2014 meliputi penyusunan outline proposal dan membuat instrumen

penelitian. Baik dalam data kualitatif maupun kuantitatif, instrument penelitian

merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian

kualitatif instrument penelitiannya adalah peneliti sendiri sedangkan dalam

penelitian kuantitatif instrumen penelitiannya berupa angket, kuesioner.

Tahap ketiga, selama bulan Agustus sampai November 2014 peneliti

melakukan serangkaian pengumpulan data melalui teknik survei, observasi

25

partisipasi, dan wawancara mendalam. Survei dilakukan terhadap 25 produsen

kuliner lokal di Desa Ngawu. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mendapatkan

gambaran secara umum mengenai profil pengusaha UKM dibidang kuliner lokal

misalnya jenis kelamin, usia pengusaha, pekerjaan utama dan sampingan, modal

usaha dan penghasilan rata-rata tiap bulan.

Observasi partisipasi dilakukan dengan cara tinggal di desa penelitian dan

mengikuti segala aktivitas pengusaha mulai dari proses produksi hingga

pemasaran. Peneliti ikut serta dalam mengolah makanan lokal mulai dari

pencampuran bahan baku, memasak, hingga pengemasan. Peneliti juga ikut dalam

memasarkan produk yaitu dengan menjaga stand produk kuliner lokal dalam

kegiatan pameran di Yogyakata. Dengan mengikuti segala aktivitas produksi akan

menghasilkan data mengenai relasi yang terbangun antara pemilik bahan baku,

pengusaha, pengepul, pedagang keliling dan konsumen. Selain itu observasi juga

dilakukan dibeberapa warung makan dan toko oleh-oleh di Gunungkidul untuk

memperoleh data mengenai rantai perdagangan kuliner lokal serta mengetahui

tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk kuliner lokal.

Wawancara mendalam dilakukan terhadap aktor-aktor dalam industri

kuliner lokal mengacu pada instrument penelitian yang telah disusun sebelumnya.

Wawancara dilakukan misalnya dengan pengusaha UKM, pengepul, konsumen,

dan pemerintah desa. Melalui wawancara terhadap beberapa aktor tersebut

peneliti memperoleh data sejarah berdirinya usaha, kontribusi usaha terhadap

perekonomian keluarga, faktor yang memperngaruhi perkembangan usaha, dan

strategi dalam menjalankan usaha. Wawancara juga dilakukan kepada perangkat

26

desa untuk mendapatkan data monografi desa, jumlah pengusaha UKM dibidang

kuliner lokal dan dinamika pengembangan usaha.

b. Analisis Data

Data-data mengenai kewirausahaan di kalangan pengusaha UKM

dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan

berdasarkan data hasil survei terhadap 25 pengusaha. Data tersebut kemudian

diolah dan ditabulasi dengan menggunakan program SPSS sehingga menghasilkan

data dalam bentuk tabel frekuensi. Selanjutnya tabel frekuensi dideskripsikan

sesuai dengan konteks penelitian.

Sementara data yang diperoleh melalui proses observasi partisipasi dan

wawancara mendalam dianalisis secara kualitatif. Data tersebut kemudian

diidentifikasi, dideskripsikan serta diintrepretasikan sesuai dengan teori yang

digunakan dalam penelitian. Langkah selanjutnya adalah menarik kesimpulan

berdasarkan hasil analisis tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini secara umum terbagi kedalam lima bab yang saling

terkait satu dengan yang lain. Uraian dari masing-masing bab sebagai berikut:

Bab I, merupakan bab pendahuluan menguraikan secara keseluruhan tentang garis

besar isi penulisan meliputi latarbelakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori dan sistematika penulisan.

27

Bab II, merupakan profil UKM kuliner lokal menggambarkan profil perempuan

pengusaha seperti usia, tingkat pendidikan, motivasi dan juga kontribusi

perempuan dalam perekonomian rumah tangga. Selain itu dalam bab ini juga akan

membahas mengenai profil UKM kuliner lokal seperti modal, bahan baku, jenis

produk, tenaga kerja hingga pemasaran produk.

Bab III, akan fokus pada modal sosial dan relevasinya terhadap perkembangan

bisnis kuliner lokal. Dalam bab ini akan dilihat bagaimana modal sosial disemai

kemudian direproduksi menjadi kekuatan bisnis para perempuan pengusaha.

Bab IV, dalam bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai modal budaya dan

relevasinnya terhadap perkembangan bisnis. Perempuan memiliki life skill berupa

keterampilan memasak, berdagang dan mengelola keuangan rumah tangga. Life

skill itu kemudian dikembangkan melalui pelatihan dan magang sehingga

perempuan dapat menghasilkan produk kuliner yang inovatif dari segi rasa,

penampilan dan kepraktisan.