BAB I PENDAHULUAN A.etheses.uin-malang.ac.id/2710/3/11210074_Bab_1.pdf · 2015-12-04 · 4 rukun...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A.etheses.uin-malang.ac.id/2710/3/11210074_Bab_1.pdf · 2015-12-04 · 4 rukun...
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perceraian atau putusnya perkawinan adalah terputusnya ikatan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita. Putusnya ikatan
tersebut dapat diakibatkan oleh salah seorang diantara keduanya meninggal
dunia, antara pria dengan wanita sudah bercerai, dan salah seorang diantara
2
keduanya sudah pergi meninggalkan kediamannya sehingga pengadilan
menganggap bahwa yang bersangkutan sudah meninggal.1
Adat mayoritas masyarakat Indonesia yang dinamakan putusnya
perkawinan adalah ketika suami mengucapkan kata talak, mereka
menganggap bahwa hal tersebut sebagai tanda bahwa ikatan perkawinan telah
putus, akan tetapi sesungguhnya di Indonesia sendiri sudah memiliki
peraturan sendiri tentang perceraian, bahwa perceraian baru dianggap putus
setelah diputus di hadapan Pengadilan Agama.
Indonesia sendiri hingga pada pendataan tahun 2013, jumlah peristiwa
nikah menurun dari tahun 2012 menjadi sebanyak 2.218.130 peristiwa, namun
tingkat perceraiannya meningkat menjadi 14,6 persen atau sebanyak 324.527
peristiwa. Data ini dikemukakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) yang
disampaikan oleh Kepala Subdit Kepenghuluan Anwar Saadi.2
Mengenai perceraian, Islam mengambil posisi tengah-tengah, antara
melarang dan membolehkan tanpa batas. Larangan perceraian mungkin sangat
ideal tetapi sulit diterapkan. Sebab, pengendalian diri secara mutlak merupakan
hal yang mustahil. Menurut ideologi Islam, kaidah hukum yang bersifat
melarang hanya diterapkan sejauh manusia bisa mencapainya. Sebaliknya,
kebebasan tanpa batas tidak masuk akal dan hanya menimbulkan kemelut,
1 Zainuddin Ali, Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006) h. 73
2 Republika.co.id, “Tingkat perceraian di Indonesia Meningkat tiap tahun ini datanya”,
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian-indonesia-
meningkat-setiap-tahun-ini-datanya diakses tanggal 28 Desember 2014.
3
bahaya, dan kerusakan.3 Hal semacam itu tidak mungkin dibiarkan. Seperti
Hadist Rasulullah SAW
لإض غ ب أ ق ال ح ل ل ىاهللال طل Artinya: Sesuatu Perbuatan yang paling dibenci Oleh Allah adalah
Talak/perceraian (Riwayat Abu Dawud, Ibn Majah, dan Al-Hakim).4
Posisi tengah-tengah Islam ini dapat dipahami dengan melihat
kedudukan perkawinan dalam Islam. Perkawinan dalam Islam bukanlah
merupakan perbuatan perdata (civil act), juga bukan perjanjian suci
(sacramental vow), tetapi sintesis keduanya. Oleh karena itu, perceraian
dibolehkan tetapi bukan tanpa batas seperti dalam kontrak bebas. Sebaliknya,
juga bukan tidak terputuskan seperti sebuah perjanjian suci.5
Hukum perkawinan Indonesia. Ditetapkan asas “mempersukar
terjadinya perceraian”. Asas “mempersukar terjadinya perceraian” ini terlihat
dengan adanya ketentuan : (1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak, (2) untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup
3 http://ekomardion.blogspot.com/2009/04/tanggal-menjadi-janda.html diakses tanggal 11 - 06- 2014
pukul 15.33 4 Muhammad Abdul Fuad al-Baafii, Sunan Ibnu Majah, Juz 1 (Beirut: Darul Kitab al-Banani,2010),
h.651 5 http://ekomardion.blogspot.com/2009/04/tanggal-menjadi-janda.html diakses tanggal 11 - 06- 2014
pukul 15.33
4
rukun sebagai suami isteri, (3) tata aturan perceraian di depan sidang
pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.6
Demi asas ini, cerai talak yang asalnya dalam fikih sifat perkaranya
mirip volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan:
suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri
sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses
pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem.7
Dalam upaya realisasi asas “mempersukar terjadinya perceraian”
sebagaimana telah dideskripsikan di depan, maka kalau dicermati dalam satu
kasus perceraian, Pengadilan Agama sampai mengeluarkan beberapa produk
hukum. Bagi cerai talak, Pengadilan Agama mengeluarkan tiga produk hukum,
yaitu (1) putusan, (2) penetapan, dan (3) akta cerai. Sedang bagi cerai gugat,
ada dua produk hukum, yaitu (1) putusan dan (2) akta cerai.
Putusan yang juga disebut vonnis (Belanda) atau al-qada‟u (Arab),
adalah produk Pengadilan Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan
dalam perkara, yaitu “penggugat” dan “tergugat”. Produk Pengadilan semacam
6 Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
7 M. Yahya Harahap, S.H. "Materi Kompilasi Hukum Islam" dalam Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.
dkk. (ed), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta :
UII Press, 1993), h. 91-92.
5
ini biasa diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau
jurisdictio cententiosa.8
Sedangkan penetapan yang disebut al-itsbat (Arab) atau beschiking
(Belanda), yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang
sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdictio voluntaria. Dikatakan bukan
peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang
memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak berperkara
dengan lawan.9
Akan tetapi, di lingkungan peradilan agama ada beberapa jenis perkara
yang berupa penetapan tetapi ternyata bukan penetapan dalam bentuk
voluntaria murni, sehingga penetapan di sini pemohon dan termohon berposisi
sebagai “penggugat” dan “tergugat”.10
Hal ini dikarenakan pemohon ketika
menggunakan haknya bisa mendapat perlawanan dari termohon, misalnya
permohonan pemohon (suami) agar sidang menyaksikan pengucapan ikrar
talak kepada isterinya. Oleh karena itu, dalam kasus ini pengadilan sebelum
mengeluarkan penetapan permohonan, terlebih dahulu mengeluarkan putusan
“gugatan”, sehingga dalam satu perkara bisa ada beberapa produk peradilan.
8 Drs. H. Roihan A. Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta : Rajawali Press, 1991), h.
195. 9 Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama, h. 205
10 Rasyid, S.H., Hukum Acara Peradilan Agama,h. 207
6
Pengadilan Agama setelah mengeluarkan penetapan (bagi cerai talak)
dan putusan (bagi cerai gugat) yang kemudian keduanya telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka panitera Pengadilan Agama akan mengeluarkan
produk hukum lainnya, yaitu berupa akta cerai.
Beberapa produk hukum ini. dalam aplikasinya menimbulkan problema
yuridis: mulai kapan seorang perempuan dihitung menjadi janda? Apakah
sejak tanggal dikeluarkannya putusan, penetapan, ataukah sejak
dikeluarkannya akta cerai? Tampaknya, di kalangan Pelaksana Undang-undang
Perkawinan, baik Pegawai Pencatat Nikah, penghulu, ataupun pembantu
Pegawai Pencatat Nikah, terjadi keragaman dan kerancuan pemahaman.
Kondisi seperti ini diperparah lagi oleh (kadang-kadang) ketidaktepatan pihak
kepaniteraan Pengadilan Agama dalam membubuhi tanggal dalam akta cerai.
Kemudian jika ditinjau dari penjelasan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Agama Banyuwangi berbeda dengan Surat Edaran dari
Kementerian Agama Provinsi Jawa timur NO. KW
13.2/1/PW.00.1/1907/2004 yang dimana Surat Edaran Departemen Agama
Atau yang sekarang Disebut Kementrian Agama Provinsi Jawa timur itu
mengemukakan bahwa yang namanya masa iddah wanita itu dimulai dari
tanggal diterbitkannya akta cerai oleh Pengadilan Agama baik itu cerai talak
ataupun cerai gugat. Akan tetapi sebaliknya Pengadilan Agama Banyuwangi
Dalam penjelasannya mengungkapkan bahwa yang namanya cerai gugat masa
7
iddah dimulai sejak keluarnya keputusan Pengadilan Agama yang berkekuatan
hukum tetap dan untuk cerai talak dimulai iddahnya adalah semenjak si
mantan suami mengikrarkan talak di hadapan Pengadilan Agama.
Berangkat dari hal ini peneliti merasa terjadi dualisme hukum, karena
ketidakpastian dari beberapa Pengadilan Agama dan mampu membuat para
Pegawai Pencatatan Nikah atau pembantu Pegawai Pencatatan Nikah
kebingungan dengan dua hal yang berbeda. Kemudian peneliti tertarik untuk
mengangkat judul penelitian Studi Komparatif Surat Edaran Kementerian
Agama Provinsi Jawa Timur No. KW 13.2/1/PW.00.1/1097/2004 dan Fatwa
Pengadilan Agama Banyuwangi mengenai penetapan masa iddah.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah landasan hukum penghitungan awal masa iddah menurut
Penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian
Agama Provinsi Jawa Timur No. KW.13.2/Pw.00.1/1097/2004?
2. Bagaimana kekuatan hukum penghitungan awal masa iddah menurut
Penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian
Agama Provinsi Jawa Timur No. KW.13.2/Pw.00.1/1097/2004?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
8
1. Memahami landasan hukum dari penetapan Fatwa Pengadilan Agama
Banyuwangi dan Surat Edaran Departemen Agama Provinsi Jawa Timur
mengenai dasar dalam penghitungan awal masa iddah.
2. Untuk memahami dan menganalisis kekuatan hukum dari Fatwa
Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian Agama
Provinsi Jawa Timur mengenai dasar dalam penghitungan awal masa
iddah.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dilihat secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat
memberikan penjelasan secara rinci tentang penetapan penghitungan
awal masa iddah berdasarkan Fatwa Pengadilan Agama Banyuwangi
dan Surat Edaran Kementerian Provinsi Jawa Timur mengenai dasar
penghitungan awal masa iddah. Sehingga dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan ilmu hukum terkait iddah serta sebagai bahan
bacaan dan kepustakaan.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gelar
S1 sarjana hukum islam (S.HI) bagi peneliti, kemudian juga dapat
dijadikan sebagai sumbangan pemikiran dan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas. Serta penelitian ini
9
dapat juga dijadikan sebagai bahan referensi bagi civitas akademik dan
para peneliti yang lainnya.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan untuk penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif (Normative Legal Research), yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu.
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doctrinal, yaitu
penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-
undangan dan bahan Pustaka.11
Dalam Penelitian ini peneliti mengkaji
aspek kepastian hukum dari penetapan masa iddah bagi wanita dan
perbedaan penanggalan dari pada akta cerai antara cerai gugat dan cerai
talak. Serta untuk memberikan solusi terhadap kepastian hukum
terhadap penghitungan masa iddah wanita.
2. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam
11
Soejono dan H. Abdurrahman, 2003, Metode penelitian Hukum, (Rineka Cipta, Jakarta.) h.56
10
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative
approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).12
Pendekatan yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah pendekatan komparatif (comparative approach) dan
pendekatan Undang-undang (Statute Approach) pendekatan
komparatif dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu
negara dengan undang-undang dari satu atau lebih Negara lain
mengenai hal yang sama. Dapat juga yang diperbandingkan di
samping undang-undang juga putusan pengadilan di beberapa Negara
untuk kasus yang sama.13
kegunaan pendekatan ini adalah untuk
memperoleh persamaan dan perbedaan diantara undang-undang
tersebut.
Pendekatan Undang-undang (Statute Approach) dilakukan
dengan menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan isu hokum yang sedang ditangani. Bagi penelitian ini
untuk kegiatan praktis, pendekatan Undang-undang ini membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara suatu Undang-undang dengan Undang-undang
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 93. 13
Mahmud Marzuki, Penelitian, h. 95
11
lainnya. Hasil dari telaah merupakan suatu argument untuk
memecahkan suatu isu yang dihadapi.14
Berangkat dari hal tersebut penulis bermaksud menggunakan
dua pendekatan ini guna mengungkap perbedaan dan persamaan yang
terdapat pada dasar penetapan dan kekuatan hukum penetapan dari
Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian Agama
Provinsi Jawa Timur No. KW 13.2/1/PW.00.1/1097/2004 mengenai
penetapan masa iddah. Serta mengetahui dasar penetapan dan kekuatan
hokum Penetapan dari Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat
Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No.
KW.13.2/Pw.00.1/1097/2004 mengenai penetapan masa iddah.
3. Bahan-bahan Hukum
Penelitian Normatif acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum
dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berprilaku manusia yang dianggap pantas oleh karena itu pertama,
14
Amiruddin, Penelitian Hukum, h. 94
12
sebagai sumber datanya hanyalah data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.15
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang akan digunakan adalah
Penjelasan Pengadilan Agama Banyuwangi mengenai
Penetapan penentuan awal masa iddah dan juga Surat
Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur No.
KW 13.2/1/PW.00.1/1097/2004 tentang keterangan
tentang tanggal putusan/penetapan Pengadilan Agama
pada akta cerai dan juga segala peraturan perundang-
undangan Yang berkaitan dengan perkawinan seperti
Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang No.1 Tahun
1974 dan peraturan lainnya yang mengatur.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum
yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer,
seperti rancangan undang-undang, hasil penelitian atau
pendapat pakar hukum.16
Para hakim pengadilan Agama
dan Pejabat yang mengeluarkan Surat Edaran
15
Amiruddin, Penelitian Hukum h. 118 16
Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum.h. 119
13
Kementerian Agama Wilayah Provinsi Jawa Timur, dan
juga para Pegawai Pencatatan Nikah (PPN).
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan yang menjelaskan bahan hukum primer dan
sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia, bibliografi,
indeks.17
4. Metode Pengumpulan Data
a. Dokumentasi
Metode yang digunakan adalah Metode kepustakaan dan
dokumentasi Yaitu peneliti mencari data mengenai hal-hal atau
variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
notulen, agenda dan sebagainya.18 Di dalam penelitian ini peneliti
mencari dokumentasi atau kepustakaan mengenai pembahasan
penetapan masa iddah yang bisa memberikan kepastian hukum
terhadap waktu iddah
b. Wawancara
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data
apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan
17
Saifullah, Buku Panduan Metodologi Penelitian, (Malang: UIN Press, 2006), h. 42 18
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006),
h. 231.
14
permasalahan yang harus diteliti.19
Dalam teknik wawancara ini,
pewawancara (interviewer) mengajukan sejumlah pertanyaan kepada
terwawancara (interviewee) yang akan memberikan jawaban atas
pertanyaan itu untuk memperoleh informasi-informasi yang
dibutuhkan oleh interviewer.
Teknik wawancara yang digunakan pewawancara adalah
teknik wawancara tidak terstruktur. Peneliti melakukan wawancara
secara langsung dengan memberikan pertanyaan secara langsung
kepada Pejabat yang berwenang yang telah mengeluarkan penetapan
Fatwa Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian
Pengadilan Agama No. KW 13.2/1/PW.00.1 tentang penetapan awal
masa iddah.
5. Metode Pengolahan Data
a. Editing
yaitu memeriksa kembali semua data yang diperoleh, terutama
dari segi kelengkapan, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya
dengan kelompok data yang lain, guna untuk mengetahui apakah data
tersebut sudah cukup baik dan bisa dipahami serta dapat dipersiapkan
untuk keperluan proses berikutnya. Dalam hal ini peneliti memeriksa
19
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012),h. 137.
15
kembali semua data yang di peroleh dari hasil kajian kepustakaan
mengenai kepastian hukum penetapan masa iddah.
b. Klasifikasi
Yakni mereduksi data yang ada dengan cara menyusun dan
mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu atau
permasalahan tertentu untuk mempermudah pembahasannya. Maka
peneliti mengklasifikasikan data dari hasil kepustakan yang didapat
tentang penentuan masa iddah.
c. Analisis
yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil pengamatan (observasi), wawancara, catatan
lapangan, dan studi dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data
ke sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan
mana yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah
difahami oleh diri sendiri dan orang lain.20 adapun metode analisis
yang digunakan adalah Deskriptif Komparatif analisis.
20
Iskandar, Metodologi Penelitian Pendidikan Dan Sosial “Kualitatif & Kuantitatif”, (Jakarta: GP
Pres, 2008), h. 221-222.
16
d. Kesimpulan
yakni pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah
terlebih dahulu. Kesimpulan yang ditarik berdasarkan berdasarkan
data yang telah dikumpulkan dan merupakan jawaban yang benar-
benar dicari.21
F. Penelitian Terdahulu
Dari hasil penelitian pertama yang dilakukan oleh Abdul Ghofur pada
tahun 2012, yang berjudul “ Studi Analisis terhadap ketentuan KHI Pasal 153
KHI ayat (5) Tentang iddah bagi perempuan yang berhenti haid ketika
menjalani masa iddah karena menyusui dari Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Walisongo Semarang.22
Dia mengungkapkan pokok permasalahannya
adalah bagaimana penghitungan iddah perempuan yang berhenti haid ketika
menjalani masa iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam dan
Apa dasar hukum iddah perempuan yang berhenti haid ketika menjalani masa
iddah karena menyusui dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
mengumpulkan data-data kepustakaan atau disebut “ Library Research “.
21
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu pendekatan Praktik, h. 342.
22 Abdul Ghofur, Studi Analisis Terhadap KetentuanKHIi pasal 153 ayat (5) Tentang Iddah Bagi
Perempuan Yang Berhenti Haid Ketika Menjalani Masa Iddah Karena Menyusui, Skripsi, (Semarang:
IAIN Walisongo, 2012).
17
Dalam penelitian ini juga menggunakan analisis deskriptif yang berusaha
menggambarkan masalah tersebut
Hasil dari penelitiannya adalah perempuan sedang menyusui, kaitannya
dengan dengan maslah iddah, ia dianalogikan sebagai wanita yang
berpenyakit. Bukan berarti susu itu adalah penyakit. Akan tetapi, menyusui
yang mengakibatkan berhentinya haid itulah yang menjadikan wanita yang
memiliki penyakit (illat). Kedua adalah dalam KHI pasal 153 ayat (5)
mengandung ketentuan bahwa jika wanita yang haidnya berhenti karena
menyusui atau penyebabnya adalah penyakit itu telah mencapai usia
menopause, maka beriddah tiga bulan. Meski hal ini tidak dijelaskan langsung
secara eksplisit. Ketentuan iddah yang tertuang dalam KHI pasal 153 ayat (5)
berdasar pendapat ulama yang bermadzhab Syafi’i yaitu Syaikh Sulaiman.
Sedangkan perbedaan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
terletak diamana peneliti hanya membatasi bahwa bagaimana sesungguhnya
perbedaan dan persamaan penetapan awal masa iddah dari penjelasan
Pengadilan Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian Agama
Provinsi Jawa Timur.
Dari Penelitian Kedua yang dilakukan oleh Ridwan Kusuma pada
tahun 2012 yang berjudul “ Masa Iddah Istri Yang Suaminya Mafqud Menurut
Imam Asy-Syafi’I (dalam Kitab Al-Umm) di Universitas Islam Negeri (UIN)
18
Sunan Kalijaga, Yogyakarta.23
Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan
masalah adalah permasalahan adalah bagaimana mengenai masa 'iddah
seorang perempuan yang suaminya mafqud. apakah dia diwajibkan ber'iddah
atau bagaimana 'iddahnya di dalam al- Qur'an tidak ada penjelasan mengenai
hal ini. Dalam skripsi ini penyusun membahas mengenai masa 'iddah istri yang
suaminya mafqud menurut Imam Asy- Syafi'i (Dalam Kitab Al- Umm),
bagaimana mengenai masa 'iddah seorang istri yang suaminya mafqud, apakah
dia diwajibkan ber'iddah atau bagaimana 'iddahnya didalam al- Qur'an tidak
ada penjelasan mengenai hal ini.
Skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan, yaitu jenis penelitian
yang sumber datanya diperoleh dari pustaka, buku- buku atau karya- karya
yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Pendekatan yang
penyusun gunakan yaitu: pendekatan normatif, yaitu cara mendekati masalah
dengan mendasarkan pada teks- teks al- Qur'an dan al- Hadis serta kaidah-
kaidah usul fiqh maupun pendapat para ulama. Sifat dalam penelitian ini
adalah deskriptis analisis, yaitu menggambarkan dan menguraikan pokok
permasalahan yang diteliti secara proporsional dengan proses analisis. Maka
penelitian ini berusaha menjelaskan masa 'iddah isteri yang suaminya mafqud
menurut Imam Asy- Syafi'i (Dalam Kitab Al- Umm), kemudian memberikan
gambaran umum tentang 'iddah sebagai salah satu variabel dari penelitian ini.
23
Ridwan Kusuma, Masa „Iddah Istri Yang Suaminya Mafqud Menurut Imam Asy- Syafi'i (Dalam
Kitab al- Umm), skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2012)
19
Setelah meneliti dan menganalisa masa 'iddah istri yang suaminya
mafqud menurut Imam As- Syafi'i (Dalam Kitab Al- umm) penyusun
berkesimpulan bahwa Imam As- Syafi'i berpendapat bagi istri yang suaminya
mafqud dilarang menikah dan 'iddah, jika masih ada keyakinan di dalam diri
seorang isteri tersebut, akan tetapi jika seorang isteri tersebut sudah
mempunyai keyakinan dalam diri bahwa suaminya telah meninggal maka
boleh ber'iddah dan kemudian menikah lagi. Karena menikah bukanlah sesuatu
hal yang buruk. Sudah jelas letak perbedaaanya dengan skripsi yang peneliti
sedang teliti yaitu membatasi masalah bahwa bagaimana sesungguhnya
perbedaan dan persamaan penetapan awal masa iddah dari Fatwa Pengadilan
Agama Banyuwangi dan Surat Edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa
Timur.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh sebuah karya ilmiah yang terarah dan sistematis,
maka perlu disusun sistematika pembahasan. Dalam penelitian ini, ada empat
sistematika, yaitu: Bab I (pertama) yang merupakan awal dari penyusunan
penelitian, dalam bab ini memuat tentang latar belakang masalah yang
diambil, yaitu sebuah rangkuman yang mengupas tentang faktor-faktor yang
melatarbelakangi, bahwa masalah ini perlu dan penting untuk diteliti. Dari
latar belakang masalah yang telah dipaparkan, akan memunculkan beberapa
pertanyaan yang terkait hal tersebut, maka peneliti mencantumkan beberapa
20
pertanyaan tersebut dalam poin rumusan masalah. Dari rumusan masalah yang
akan peneliti bahas, memiliki tujuan yang tercantum dalam tujuan penelitian.
Selain itu, juga memiliki manfaat yang tercantum dalam manfaat penelitian
yang memuat tentang manfaat penelitian bagi peneliti khususnya dan bagi
masyarakat pada umumnya.
Di dalam BAB I ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang akan
mengulas metode yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini. Metode
tersebut meliputi jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, metode
pengumpulan data, dan metode pengolahan data. Sehingga dengan
pembahasan tersebut dapat mengungkap sejumlah cara yang diatur secara
sistematis, logis, rasional dan terarah tentang bagaimana pekerjaan sebelum,
ketika dan sesudah mengumpulkan data sehingga diharapkan mampu
menjawab secara ilmiah perumusan masalah yang telah dipaparkan. akan
memaparkan tentang penelitian terdahulu, untuk melihat perbedaan tentang
masalah penelitian yang dikaji dengan peneliti yang lain. Perlu
mencantumkan penelitian terdahulu yang berfungsi sebagai tolak ukur
perbedaan tentang masalah yang dikaji, supaya peneliti tidak dianggap
plagiasi terhadap hasil penelitian orang lain.
Untuk Bab II (kedua) Dalam bab ini, juga terdapat kerangka teori yang
membahas secara singkat tentang teori-teori penelitian yang akan dilakukan.
BAB III (ketiga) membandingkan perbedaan dan persamaan antara
surat edaran Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur Nomor:
21
KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 dan penjelasan Pengadilan Agama
Banyuwangi mengenai penetapan awal masa iddah. Dan juga
mendeskripsikan sumber hukum keluarnya kedua surat tersebut dan
menjelaskan bagaimana kekuatan hukum dari dikeluarkannya surat tersebut.
BAB IV (empat) merupakan bab terakhir dari skripsi yang merupakan
kesimpulan dan saran-saran terhadap dikeluarkannya surat edaran
Kementerian Agama Wilayah Provinsi Jawa Timur Nomor
:KW.13.2/1/Pw.00.1/1097/2004 dan juga penjelasan Pengadilan Agama
Banyuwangi tentang penjelasan akta cerai dan juga penetapan masa iddah.