BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Sebagai hasil dari reformasi ekonomi yang dijalankan sejak akhir tahun 1978, Cina
bergerak menjadi pemain utama dalam perekonomian dunia. Pembukaan pasar yang
berujung pada pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah menimbulkan sebuah
konsekuensi logis berupa kebutuhan akan jaminan pasokan energi yang semakin besar.1
Hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang sangat penting bagi
Cina. Tanpa pengurangan kebutuhan energi secara masif, Cina membutuhkan konsumsi
energi sebesar tiga kali lipat dari saat ini agar pertumbuhan ekonominya tetap berlanjut.2
Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya Cina menjadi konsumen minyak kedua
terbesar di dunia.3 Sepuluh tahun sebelumnya produksi minyak dalam negeri Cina telah
stagnan dan ia menjadi negara pengimpor minyak sejak saat itu.Semakin meningkatnya
kebutuhan Cina terhadap sumber energi telah mendorong negara ini untuk memastikan
bahwa aliran pasokan energi tidak terganggu.Selama ini Cina telah menjalankan berbagai
strategi dalam rangka memenuhi kebutuhan energinya. Dalam konteks ini, diversivikasi
sumber energi bukan menjadi satu-satunya strategi Cina, tetapi keamanan distribusi sumber
energi dari negara produsen ke Cina juga menjadi penting. Jalur darat dan jalur laut
merupakan dua cara utama penyaluran energi Cina sehinggastrategi pengamanan jalur laut
dan jalur darat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah.
Keamanan energi bagi Cina tidak hanya menyangkut kebijakan strategis dalam
pencarian sumber-sumber energi, tetapi juga menjamin keamanan jalur transportasi energi
tersebut. Adalah salah satu prioritas utama bagi pemerintah untuk memastikan terdapatnya
free navigation disepanjang jalur transportasi laut dunia atau Sea Lines of
Communications(SLOCs) yang membentang dari Timur Tengah hingga Laut Cina Selatan.
1M. Sugiono, et.al.,Ketahanan Energi di Asia Pasifik dan Implikasinya Bagi Indonesia: Laporan Penelitian,
Pusat Studi Energi UGM, Yogyakarta, 2010, p. 6. 2J. Lewis, ‘Energy and Climate Goals of China’s 12th Five-Year Plan,’Center For Climate and Energy
Solution (daring), March 2011, <http://www.c2es.org/international/key-country-policies/china/energy-climate-
goals-twelfth-five-year-plan>, diakses pada 5 Juni 2014. 3 ‘China,’ U.S. Energy Information Administration(daring), 4 February 2014, <http://www.eia.gov/
countries/cab.cfm?fips=ch>, diakses pada 29 November 2014.
2
Keamanantransportasi suplai energi di wilayah lautan yang kritis merupakan salah satu
prioritas utama kebijakan luar negeri Cina.4
Dalam China’s Energy Policy 2012, disebutkan bahwapenting bagi Cina “to ensure
the security of international energy transport routes and avoid geopolitical conflicts that
affect the world’s energy supply.”5Salah satu jalur perdagangan energi itu adalah Samudera
Hindia. Kepentingan pengamanan jalur perdagangan Cina di Asia Selatan telah memberikan
implikasi terhadap semakin meningkatnya pengaruh dan peran Cina di wilayah yang
berbatasan dengan Samudera Hindia tersebut. Menurut Shrikant Kondapalli, profesor di
Universitas Jawaharlal Nehru, Cina melakukan pembangunan di negara-negara kecil di
sekitar Samudera Hindia demi minyak. Sekitar 80% sumber minyak Cina berasal dari Timur
Tengah dan Afrika, yang seluruhnya ditransportasikan melewati Samudera Hindia.6 Paul
Smith dari U.S. Naval War College mengemukakan bahwa Samudera Hindia menjadi arena
strategis pada abad ke-21 ini. Cina melihat Samudera Hindia sebagai kunci dari kebangkitan
geopolitiknya, khususnya pada wilayah-wilayah yang menjadi jalur penghubung bagi
sumber energi yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika. Jika Amerika Serikat (AS)
menjadikan Asia Pasifik sebagai poros politik luar negerinya saat ini, maka Cina
menjadikan wilayah Samudera Hindia sebagai poros baru dalam kebijakan luar negerinya.7
Dalam beberapa dekade terakhir, Cina telah menjalankan kebijakan strategis di Asia
Selatan sebagai usaha membangun jalur perdagangan baru. Cina secara masif meningkatkan
kerja sama dan membina hubungan maritim dengan Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh dan
Myanmar untuk membangun posisi yang lebih strategis dan melindungi jalur transportasi
energi. Negara-negara ini bernilai strategis bagi Cina karena dapat memberikan rute
transportasi energi yang lebih singkat melalui perjalanan darat ke wilayah Cina, di samping
melalui jalur konvensional pelayaran dunia. Mereka akan menjadi jalur penghubung yang
sangat penting antara Cina dan negara-negara yang kaya energi.
4J.R. Holmes &T. Oshihara, Chinese Naval Strategy in 21st Century: The Turn to Mahan, Routledge, Oxon,
2007, p.4. 5‘China’s Energy Policy 2012,’ Gov.cn (daring), <http://www.gov.cn/english/official/2012-
10/24/content_2250497_10.htm> diakses pada 20 November 2014. 6M. Devichand, ‘Is Chittagong one of China’s String of Pearls,’BBC News (daring), 10 May 2010,
<http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/8687917.stm>, diakses pada 5 Juni 2014. 7J.B. Miller, ‘China Making A Play at Bangladesh,’ Forbes (daring), 3 January 2014,
<http://www.forbes.com/sites/jonathanmiller/2014/01/03/china-making-a-play-at-bangladesh/>, diakses pada 5
Juni 2014.
3
1.2. Pertanyaan penelitian
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengajukan pertanyaan penelitian: bagaimana
Cina menjalankan strategi politik luar negeri di Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan
Myanmar dalam konteks upaya pengamanan jalur transportasi suplai energi ?
1.3 Kerangka konseptual
Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis akan menggunakan konsep-
konsepketahanan energi, “strings of pearls”, dan prinsip “pembangunan damai” dalam
politik luar negeri Cina.
Ketahahan Energi
Xu Yi-Chong menjelaskan ketahanan energi sebagai “the security of an ‘adequate’
and ‘reliable’ energy supply at a ‘stable’ price.”8Ini sejalan dengan definisiInternational
Energy Agency(IEA):ketahanan energi adalah “uninterupted availability of energy
resources at an affordable price.”9 Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mengamankan
pasokan energi merupakan perhatian utama bagi seluruh negara. Pengamanan suplai energi
ini juga melibatkan berbagai isu seperti tidak terganggunya akses pada sumber energi serta
keamanan transportasi dan stabilitas harga.10
Dalam rangka menjamin ketersediaan energi, salah satu strategi utama Cina adalah
menjalankan apa yang disebut sebagai ‘diplomasi minyak’ dan pencarian equity purchase
dengan cara “going out/go international.”11 Diversifikasi dan kebijakan “going out” sebagai
usaha menjamin suplai yang cukup bagi kebutuhan energi domestik Cina menimbulkan
sejumlah implikasi baru. Salah satunya adalah bagaimana Cina harus bersikap terhadap
keamanan jalur transportasi suplai energi. Mehdi P. Amineh dan Yang Guang berargumen
bahwa salah satu tantangan terpenting dalam ketahanan energi Cina adalah meningkatnya
ketergantungan terhadap impor dari pasar internasional. Peningkatan ini menempatkan
ketahanan energi Cina dalam ancaman atas transportasi energi dunia, baik itu rute navigasi
maupun jalur pipa. 12 Inisejalan dengan keterangan dalam China’s Energy Policy
8Xu Yi-Chong, ‘China’s Energy Security’, Australian Journal of International Affairs, vol. 60, no. 2, June
2006, p. 266. 9‘Energy Security,’International Energy Agency (daring), <http://www.iea.org/topics/energysecurity/>,
diakses pada 20 Juni 2014. 10Xu Yi-Chong, p. 266. 11Sugiono, et.al, p. 19. 12M.P. Amineh & Y. Guang, Secure Oil and Alternative Energy: The Geopolitics of Energy Paths of China
and European Union, Brill, Leiden, 2012, p.26.
4
2012:“Marine transportation of petroleum and cross-border pipeline transmission of oil
and gas face ever-greater security risks.”13
Menurut Donna Nincic, terdapat dua ancaman dalam keamanan energi, yaitu ancaman
terhadap suplai minyak dan gas alam serta ancaman terhadap infrastruktur energi,
khususnya transportasi. Berbagai permasalahan seperti ancaman teroris di wilayah maritim,
pembajakan, dan sengketateritorial menjadi masalah yang sering terjadi. Ketika seluruh
permasalahan ini bergabung dan menimbulkan ancaman bagi pelayaran niaga, ia juga
menimbulkan ancaman terhadap keamanan akses terhadap energi.14 Ditegaskan oleh David
Zweig dan Bi Jianhai, “securing China’s energy needs does not just revolve around
obtaining them, but more importantly, the ability to get them home safely.”15 Dalam konteks
ini, ketersediaan sumber dan keamanan jalur transportasi telah menjadi perhatian utama
pemerintah Cina.16
Saat ini, keamanan energi berfokus kepada perlindungan seluruh rantai suplai energi.
Transportasi sebagai bagian dari rantai suplai energi menjadi hal yang penting. Kontrol
berbagai lokasi strategis merupakan bagian penting dalam transportasi internasional,
utamanya untuk mengurangi kemungkinan berbagai gangguan. 17 Akan halnya Cina,
Presiden Hu Jintao dalam Kongres PKC di tahun 2003 mendeskripsikan apa yang disebut
sebagai“Dilema Malaka.” Dilema Malaka merujuk kepada kecemasan dari pemerintah Cina
terhadap adanya kemungkinan kontrol di Selat Malaka oleh negara adidaya tertentu yang
dapat menimbulkan krisis bagi Cina.18Merespon uraian Hu tentang Dilema Malaka, China
Youth Daily mempublikasikan sebuah artikel yang menuturkan bahwa “tidak berlebihan jika
mengatakan bahwa siapa saja yang mengkontrol Selat Malaka akan memiliki kekuatan
terhadap rute energi Cina.”19
13‘China’s Energy Policy 2012.’ 14D.J. Nincic, ‘Troubled Waters: Energy Security as Maritime Security’, dalam G. Luft & A. Korin (eds.),
Energy Security Challenges in the 21st Century: A Reference Handbook, ABC-CLIO, California, 2009, p.31. 15D. Zweig &B. Jianhai, ‘China’s Global Hunt For Energy’, Foreign Affairs (daring), September
2005,<http://www.foreignaffairs.com/articles/61017/david-zweig-and-bi-jianhai/chinas-global-hunt-for-
energy>, diakses pada 23 September 2014. 16Sugiono, et.al, p. 27. 17W. Anderson & J-P. Rodriguez, ‘Transborder/Cross-boder Transportation,’The Geography of Transport
Systems(daring),<http://people.hofstra.edu/geotrans/eng/ch5en/conc5en/ch5c1en.html>, diakses pada 23
September 2014. 18J.J. Blazevic, ‘Defensive Realism in Indian Ocean: Oil, Sea Lines, and Security Dilemma,’ China Security,
vol. 5, no. 3, 2009, p. 62. 19J.M. Smith, Cold Peace: China-India Rivalry in the Twenty Firs Century, Lexington Books, Maryland,
2014, p. 148.
5
Penulis akan menggunakan konsep ketahanan energi ini untuk menunjukkan bahwa
potensi masalah energi bagi Cina tidak saja terkait akses terhadap produsen energi,tetapi
jugakeamanan jalur transportasi energi dunia.Kekhawatiran Cina terhadap jaminan
keamanan laut berimplikasi pada strateginya untuk mengamankan pengiriman energi dari
Timur Tengah dan Afrika ke daratan Cina.
Cina telah menjadi negara pengimpor minyak dan gas, sehingga Cina
sangatbergantung kepada keamanan Samudera Hindia, Selat Malaka, dan Laut Cina Selatan.
Negara-negara yang mengirimkan minyak ke Cina melalui jalur darat hanyalah Rusia dan
Kazakstan; selain kedua negara ini semua negara pengekspor energi ke Cina harus melewati
Samudera Hindia.20Ketergantungan yang besar bagi jalur pelayaran di wilayah perairan
yang yang menghubungkan Cina dengan Afrika dan Timur Tengah telah menimbulkan
risiko yang tinggi bagi ketahanan energi Cina.
Dalam konsep ketahanan energi akan dijelaskan bahwa untuk dapat memiliki kontrol
atas lokasi-lokasi strategis seperti Selat Malaka dan Samudera Hindia dalam rangka
menjaga keamanan jalur transportasi sumber energi, maka penting bagi Cina untuk menjalin
kerjasama dengan negara-negara di sekitar jalur transportasi energi dunia. Pakistan, Sri
Lanka, Bangladesh, dan Myanmar merupakan negara-negara yang perlu didekati oleh Cina
untuk melindungi jalur transportasi energinya. Selain pengamanan jalur transportasi laut
dengan menempatkan pengaruh di Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar, Cina
juga mambangun jalur transportasi darat bagi distribusi energinya melalui Pakistan,
Bangladesh, dan Myanmar hingga mencapai daratan Cina. Tampak di sni bahwa untuk
mencapai ketahanan energi Cina tidak saja harus menjalin kerjasama dengan negara-negara
produsen energi dunia, tetapi juga negara-negara yang memiliki lokasi strategis dalam
transportasi energi seperti Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar.
“String of Pearls”
Frasa “string of pearls” pertama kali digunakan oleh perusahaan konsulatan keamanan
Booz-Allen-Hamilton dalam laporan Energy Futures in Asia di tahun 2005. Di tahun 2006,
Christopher Pehrson dari U.S Army War Colleemengembangkan secara mendalam konsep
“string of pearls” ini. Menurut Pehrson, ‘pearl’ dimaksudkan sebagai lokasi di mana Cina
menempatkan benih-benih pengaruh, mengamankan dan mengelola daerah tersebut dengan
20U.S Energy Information Administration, China’s Reliance on Shipping Crude Oil Throught the Strait of
Malaca, May 2011, <http://sites.tufts.edu/gis/files/2013/02/Brutlag_Daniel.pdf>, diakses pada 10 September
2014.
6
menggunakan kemampuan ekonomi, geopolitik, diplomasi atau militer. Strategi “string of
pearls” mendeskripsikan berkembangnya pengaruh geopolitik Cina melalui usaha-
usahapeningkatan akses pada pelabuhan dan lapangan terbang, membangun hubungan
diplomatik khusus, dan modernisasi angkatan bersenjata di wilayah yang membentang dari
Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, hingga Teluk Arab. “Strings of pearls”
menunjukkan bahwa Cina sedang membangun hubungan strategis dan kemampuan serta
kehadirannya di sepanjang SLOCs yang menghubungkan Cina dengan Timur Tengah.21
Pehrson lebih lanjut menerangkan bahwa motivasi dari pembentukan “string of
pearls” ini adalah kepentingan ekonomi. Selama masa kunjungan Perdana Menteri Li
Keqiang di Asia Selatan pada Mei 2013, beberapa inisiatif penting seperti China-Pakistan
Economic Corridor dan BCIM (Bangladesh-India-China-Myanmar) Economic Corridor
dilontarkan dengan tujuan meningkatkan konektivitas diantara negara-negara tersebut,
mempromosikan perdagangan dan menciptakan pasar yang besar, serta menciptakan sinergi
dalam pembangunan. Wakil ketua biro energi nasional Cina, Wu-Hsiung,pada National
Conference on Energy pada Januari 2014 mengungkapkan bahwa “pembangunan Silk Road
Economic Belt dan 21st Maritime Silk Roadditujukan guna mengkoordinasikan situasi
domestik dan internasional dan untuk meningkatkan level kerjasama internasional dalam
energi dengan mengkonsolidasikan dan memperluas pembangunan empat rute tranportasi
minyak dan gas di barat laut, timur laut, barat daya, dan lepas pantai Cina. Akselerasi Silk
Road Economic Zone dan 21st Century Silk Roaddijalankan baik di India, Myanmar,
Bangladesh, maupun Pakistan sebagai jalur utama kerjasama energi, mempromosikan
industri, konstruksi, peralatan teknis, dan industri jasa di hilir.”22
Tujuan utama Cina adalah keberlangsungan rezim, integritas teritori, dan stabilitas
domestik, yang seluruhnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan ekonomi.Shee Poon
Kim lebih jelas menerangkan bahwa terdapat setidaknya enam tujuan Cina menjalankan
“string of pearls”:
1. Meningkatkan sumber energi
Mengamankan akses pada sumber energi juga berarti mengamankan pelabuhan dan jalur
pipa, yang merupakan dasar dari pokok utama transportasi energi Cina. Tidak aneh jika
21C.J. Pehrson, ‘String of Pearls: Meeting the Challenge of China’s Rising Power Across The Asian
Littoral,’ Strategic Studies Institute (daring), 25 July 2006, <http://www.strategicstudiesinstitute.army.mil/
pdffiles/PUB721.pdf>,diakses pada 6 Juli 2014. 22 National Energy Administration, Transfer and adjusment of the structure to promote strong regulatory
reform and improve people protect supply energy to work a solid job in 2014 – 2014 speech at the National
Conference on Energy (daring), 2 February 2014, <http://www.nea.gov.cn/2014-02/11/c_133105714.htm>
diakses pada 8 Januari 2015.
7
Cina menjadi “the world’s second large merchant marine fleet.”23 Pelayaran menjadi
transportasi utama untuk minyak. Membangun dan meningkatkan pelabuhan berarti
bahwa rute pelayaran akan menjadi lebih pendek dan ship docking times akan berkurang.
Pengoperasian dan pengamanan pelabuhan dari negara-negara tetangga harus
memastikan bahwa pelabuhan-pelabuhan tersebut harus saling terhubung untuk
membentuk semacam saluran yang dapat membawa energi tersebut menuju Cina.
2. Akses pada pasar-pasar baru
Keberadaan Cina melalui “pearls” akan membuka pintu kepada pasar yang selama ini
tertutup bagi barang-barang Cina. Selain itu, bantuan-bantuan yang diberikan oleh Cina
juga akan menjaga pertumbuhan ekonomi Cina. Bisnis Cina juga akan memperoleh
keuntungan dari berbagai proyek infrastruktur yang sangat besar.
3. Membangun kontrol atas value chain dan rute pasokan
Dengan menjaga rezim dan memiliki kontrol terhadap infrastruktur minyak dan suplai,
aliran pasokan minyak Cina akan terjaga kestabilannya.
4. Pembangunan sosial dan stabilitas politik
Dalam menjaga legitimasinya, penting bagi PKC untuk tetap menjaga pertumbuhan
ekonomi sehingga ketidakamanan sosial dapat dihindarkan. Untuk mempertahankan
pertumbuhan ekonomi itu, Cina harus mengamankan kebutuhan energinya.
5. Menetralisir persaingan
Cina bukanlah satu-satunya negara yang menjadi pemain utama global dalam upaya
memperoleh energi. “String of pearls’ merupakan bagian dari langkah Cina untuk
menetralisir berbagai usaha India, misalnya, sehingga akses India pada pelabuhan-
pelabuhan strategis, jalur pelayaran, kesempatan memperoleh jalur pipa dan rute
transportasi penting bisa dikurangi.
6. Membuka choke point dengan pelabuhan dan jalur pipa
Minyak yang dibawa melalui jalur pelayaran harus melewati tiga titik penting yang
sangat rawan terhadap gangguan, yaitu Teluk Aden, Selat Hormuz, dan Selat Malaka.
Cina menjalankan strategi “string of pearls” untuk menjaga lokasi-lokasi tersebut tetap
terbuka bagi pelayaran energi Cina. Dengan meletakkan jalur pipa dan pembangunan
23L. Goldstein & M. Chase, ‘Applying the brakes to naval rivalry in the Western Pacific: An agenda for
U.S.-China Maritime partnership,’ dalam P. Dutton, R.S. Ross & Ø. Tunsjø (eds.), Twenty First Century
Seapower: Cooperation and Conflict at Sea, Routledge, New York, 2012, p.250.
8
pelabuhanpada negara-negara “string of pearls,” ketergantungan Cina untuk melewati
chokepoints tersebut dapat dikurangi.24
Usaha mengamankan SLOCssangat mendukung strategi kebijakan energi Cina dan
merupakan dasar dari “string of pearls.”Salah satu untaian dari “string of pearls” adalah
Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar.25Menurut Lin, ‘pearls’ Cina antara lain
diwujudkan dengan membangun lapangan terbang di Pulau Woody di kepulauan Paracel;
fasilitas pelabuhan di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan laut dalam di
Sittwe, Myanmar; pembangunan basis Angkatan Laut di Gwandar, Pakistan; jalur pipa
melewati Islamabad dan jalan raya Karakoram menuju Kashgar di provinsi Xinjiang;
fasilitas intelejen di kepulauan sekitar Teluk Bengal dan pelabuhan Hambantota di Sri
Lanka; dan lainnya. 26Ini masih ditambah dengan diplomasi ekonomidan pembangunan
infrastruktur demi memajukan pembangunan dan kepentingan bersama.27
Pada masa pemerintahan Hu Jintao dan Wen Jiabao telah dibahas tentang ‘economic-
based diplomacy’. Instruksi tersebut menekankan bahwa ‘using politics to boost economics
and using economics to boost politics so as to attain mutually beneficial relations with
foreign countries’. Wen Jiabao juga mengindikasikan bahwa perdagangan, investasi, dan
bantuan luar negeri menjadi bagian dari senjata diplomasi Cina. 28 Purse Diplomacy
merupakan salah satu terminologi dalam diplomasi ekonomi. Purse diplomacy ini dilakukan
untuk memperoleh kepentingan Cina pada negara-negara di dunia dan dilakukan untuk
meningkatkan citra Cina pada negara-negara di dunia melalui perdagangan, investasi dan
bantuan luar negeri.Purse Diplomacy yang sangat efektif dan sering dilakukan oleh Cina
adalah pemberian investasi asing. Para pemimpin Cina berkunjung keberbagai negara untuk
memberikan investasinya. Menurut Heritage Foundation, investasi asing yang diberikan
Cina pada tahun 2000 – 2011 ditujukan pada energi yakni sebesar 47%.29 Sejak akhir tahun
24S.P. Kim, ‘An Anatomy of China’s ‘String of Pearls’ Strategy,’ The Hikone Ronso, no. 387, 2011, pp. 26-
31. 25Zhou Bo, ‘The String of Pearls and Maritime Silk Road,’ China US Focus (daring), 11 February 2014,
<http://www.chinausfocus.com/foreign-policy/the-string-of-pearls-and-the-maritime-silk-road/>, diakses pada 7
Juni 2014. 26C.Y. Lin, ‘Militarization of China’s Energy Security Policy – Defence Cooperation and WMD
Proliferation Along its String of Pearls in the Indian Ocean’, Institute fur Strategie–Politik–Sicherheits–und
Wirtschaftsberatung (ISPSW), 18 June 2008, <http://kms2.isn.ethz.ch/serviceengine/Files/ESDP/56390/
ipublicationdocument_singledocument/b70929f4-7a87-4e77-afc4-daa73699daea/en/StringPearls.pdf>, diakses
pada 7 Juni 2014. 27 Lihat ‘White Paper on Peaceful Development Road’, China.org.cn (daring), http://www.china.org.cn/
english/2005/Dec/152669.htm#1, diakses pada 20 November 2014. 28W.W-L. Lam, Chinese Politcs in the Era of Xi Jinping : Renaissance, Reform, or Retrogression?,
Routledge, New York, 2015, p. 200. 29W.W-L. Lam, p. 201.
9
2000 Cina telah menjadi negara pemberi investasi terbesar bagi negara-negara berkembang.
Melaluipurse diplomacy maka Cina banyak membangun aliansi strategis dalam politik dan
ekonomi dengan negara-negara berkembang.
Penulis akanberfokus mengindentifikasi kawasan tertentu yang menjadi salah satu
tujuan strategi “string of pearls”, yakni Asia Selatan – diwakili di sini oleh Pakistan, Sri
Lanka, Bangladesh, dan Myanmar. Keempat negara ini memiliki lokasi yang berbatasan
langsung dengan Samudera Hindia yang merupakan jalur pelayaran dunia serta memiliki
kedekatan wilayah dengan Cina. Penulis akan menunjukkan keberadaan,
motivasi,strategidan pengaruh Cina di negara-negara tersebut menurut konsepsi “string of
pearls”.
“Pembangunan Damai”
Salah satu prinsip dan tujuan utama politik luar negeri Cina adalah “pembangunan
damai.” Sebelum konsep ini muncul, sebelumnya ada “teori kebangkitan damai” yang
dipelopori oleh Wakil Ketua Central Party School Partai Komunis Cina (PKC) Zheng Bijian
pada Desember 2002. Dalam pidatonya yang berjudul The new road of China’s peaceful
rise and the future of Asia, Zheng menjelaskan bahwa jalan yang dibangun oleh Cina dalam
pembangunannya “bukan hanya jalan untuk mencapai kebangkitan, tetapi juga jalan yang
mematuhi perdamaian dan tidak mencari hegemoni.”30 Kemudian, pada Desember 2003,
saat berpidato di Universitas Harvard, Perdana Menteri Wen Jiabao menjadi pemimpin
senior pertama yang mendukung “kebangkitan damai” untuk dipublikasikan.
Pada 26 Desember 2003, saat mengikuti simposium peringatan 110 tahun kelahiran
Mao Zedong, Presiden Hu Jintao menekankan bahwa Cina “harus menekankan kepada jalur
kebangkitan damai, menjalin kerukunan dengan seluruh negara di dunia berdasarkan
prinsip-prinsipperdamaian, secara aktif membangun kerjasama dengan negara-negara di
dunia atas dasar kesetaraan dan keuntungan bersama, dan berkontribusi kepada nilai luhur
perdamaian dan pembangunan umat manusia.”31 Dalam konferensi pers Kongres Partai
Nasional ke-10 pada pertengahan Maret 2004, PM Wen menjelaskan tentang aspek-aspek
“kebangkitan damai” Cina.Namun, dalam konferensi Boao pada bulan April 2004Presiden
Hu menghindari frasa“kebangkitan damai” dan menggantinya dengan frasa“pembangunan
damai.” Sejak itu, “kebangkitan damai” menghilang dan Hu mendorong penggunaan konsep
30B.S. Glaser & E.S. Medeiros, ‘The Changing Ecology of Foreign Policy-Making in China: The Ascension
and Demise of the Theory of “Peaceful Rise”, The China Quarterly, no. 190, June 2007, p. 294. 31Glaser &Medeiros, p. 298.
10
“pembangunan damai,”yang secara perlahandiasosiasikan dengan “dunia yang harmonis”,
“win-win solution”, “demokratisasi hubungan internasional”, dan “penggunaan soft
diplomacy.” 32 Pada Desember 2005, Dewan Negara mengeluarkan laporan resmi yang
berjudul China’s Peaceful Development Road, dan menghindari penggunaan istilah
“kebangkitan damai.”33
Cina secara resmi menggunakan konsep “pembangunan damai” yang terdengar tidak
terlalu mengancam dan menggunakan frasa“harmoni” dalam membangun hubungan dengan
negara-negara yang memiliki kekuatan besar di dunia. Cina berupaya untuk meyakinkan
dunia bahwa ia sedang mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari sistem internasional
tanpa mengacaukan sistem internasional tersebut. Presiden Hu menjelaskan konsep
“pembangunan damai”lebih lanjut dalam pidatonya di Washington, D.C., pada tahun 2006.
Menurut Hu, Cina menganut paham “pembangunan damai”: Cina dengan tegas
berkomitmen untuk mengembangkan pembangunan di dalam negeri, memelihara
perdamaian dunia dan mempromosikan pembangunan umum internasional.34
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, kebangkitan Cina mendapat
banyak perhatian dari dunia internasional. Secara umum dunia melihat kebangkitan Cina
sebagai sebuah peringatan. Dalam hal ekonomi, kebangkitan Cina dipandang sebagai
ancaman bagi sebagian pihak. Banyak pengamat Cina melihat bahwa kerangka besar
kebijakan luar negeri Cina dan strategi militernya bertujuan untuk mengontrol wilayah Asia-
Pasifik.35 Sementara itu, terdapat juga pihak yang memandang bahwa pembangunan damai
Cina memberikan efek positif sebagai sumber dari kesempatan dan kerjasama. Salah satu
negara yang memiliki persepsi positif itu adalah Pakistan.36
Melalui politik luar negeri “pembangunan damai”, dalam sistem internasional Cina
dituntut untuk mampu meningkatkan hubungan dalam bidang politik-keamanan, ekonomi,
dan sosial-budaya dengan negara lain, terutama negara-negara tetangganya. Pada Oktober
2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan “the 21st Century Maritime Silk Road” atau 21shiji
32Glaser & Medeiros, p.299. 33Glaser & Medeiros, p. 295. Perubahan dari “kebangkitan damai” menjadi “pembangunan damai” ini
merupakan hasil pemikiran dari para pembuat kebijakan Cina yang berupaya untuk menghindari masalah-
masalah yang umumnya dialami oleh kekuatan-kekuatan yang baru saja bangkit, seperti Jepang, Jerman, dan
Uni Soviet. Untuk menghindari penggunaan frasa yang dapat memicu provokasi, pemilihan slogan diplomatik
itu diubah menjadi “pembangunan damai.” 34D.K. Davis, Modern World Leaders: Hu Jintao, Chelsea House Publishers, New York, 2007, p.74. 35Z. Wang, ‘The Perception Gap Between China and Its Neighbors,’The Diplomat (daring), 6 August
2014,<http://thediplomat.com/2014/08/the-perception-gap-between-china-and-its-neighbors/>, diakses pada 21
September 2014. 36I.A. Lodhi, ‘Pakistan: Perception and Responses of an All-weather Friend,’ dalamS.D. Muni & T.T. Yong
(eds.), A Resurgent China: South Asian Perspectives, Routledge, New Delhi, 2012, p. 155.
11
haishang sichouzhiludalam perjalanannya di Asia Tenggara.37Dahulu Maritime Silk Road
dibentuk oleh Jendral Zheng He sebagai bagian dari tujuh perjalanannya melewati
Samudera Hindia selama masa Dinasti Ming (1368-1644).Dalam ekspedisinya ia
membangun legitimasi Cina sebagai kekuatan maritim, dan sekarang Cina membentuk
sebuah inisiatif baru dengan mengambil rute Maritiem Silk Road tersebut. Merentang
sepanjang Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Barat, “Maritime Silk Road”
dapat disebut sebagai upaya Cina untuk memperoleh kepentingan di negara-negara
tetangganya di selatan. 38 Cina membangun kehadirannya melalui Maritime Silk Road
dikarenakan kepentingan ekonomi dan besarnya perhatian Cina terhadap ketahanan energi.
Cina berupaya membangun institusi-institusi yang dapat menjamin stabilitas dan
konektivitas disepanjang jalur palayaran internasional, utamanya Samudera Hindia dan Laut
Cina Selatan.Maritime Silk Roadmenekankan pada kerjasama ekonomi dan
keamanandengan memperkuat “ekonomi maritim, kerjasama teknis dan ilmu pengetahuan.”
Perjanjian bilateral dan konsultasi diplomatik yang damai juga dilakukan oleh Cina. Hal ini
memainkan peranan yang besar dalam hubungan Cina di wilayah selatan.
Kebijakan ‘good-neighbor’ dalam Maritime Silk Road juga memacu banyak kerja
sama yang dilakukan Cina dengan negara-negara tetangganya. Usulan Cina dalam konsep
ini dapat menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, sekaligus merupakan
bagian dari propaganda Cina untuk meyakinkan kepada dunia akan “pembangunan
damai.”39
Mohan Malik berargumen bahwa “Maritime Silk Road , a means for Beijing to extend
its influence along critical sea lines and to reassure its neighbors of its benign intention as
well as to deter adversaries.”40 Melalui implementasi agenda geoekonomi dan geopolitik
ini maka Cina berekspektasi bahwa seluruh negara-negara tetangganya di wilayah Asia akan
ikut dalam ‘a community of common destiny’.41 Melalui politik luar negeri “pembangunan
37S. Tiezzi, ‘Maritime Silk Road vs. String of Pearls,’ The Diplomat (daring), 13 February 2014,
<http://thediplomat.com/2014/02/the-maritime-silk-road-vs-the-string-of-pearls/>, diakses pada 22 September
2014. 38M.D. Swaine, ‘Chinese Views and Commentary on Periphery Diplomacy,’ China Leadership Monitor
(daring), no. 44, 2014, p. 31, <http://www.hoover.org/sites/default/files/research/docs/clm44ms.pdf>, diakses
pada 9 September 2014. 39K. Sibal, ‘China’s Maritime ‘silk road’ proposal are not as peaceful as they seem’, Dailymail(daring), 24
February 2014,<http://www.dailymail.co.uk/indiahome/indianews/article-2566881/Chinas-maritime-silk-road-
proposals-not-peaceful-seem.html>, diakses pada 22 September 2014. 40M. Malik, ‘The Indo-Pacific Maritime Domain : Challenges and Opportunities’, dalam M. Malik (ed.),
Maritime Security In The Indo-Pasific: Perspectives from China, India, and United States, Rowman &
Littlefield, Maryland, 2014, p. 19. 41D. Arase, ‘China’s Two Silk Roads: Implication For Southeast Asia (Amanded Version)’, ISEAS
Perspective (daring), 22 January 2015,
12
damai”, khususnya “Maritime Silk Road”, dapat dilihat bagaimana Cina berinteraksi dengan
Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar untuk mencapai kepentingan ketahanan
energinya tanpa menggunakan tindakan koersif.
1.4 Argumen utama
Kepentingan akan ketahanan energi mendorong Cina untuk menjalin kerja sama
dengan Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan Myanmar sesuai dengan prinsip
“pembangunan damai”.Hal ini sejalan dengan strategi ‘string of pearls’, di mana Cina
sedang membangun hubungan dan menanamkan pengaruh di keempat negara tersebut
melalui berbagai usaha seperti meningkatkan hubungan diplomatik melalui Maritime Silk
Roaddan menjalankan diplomasi ekonomi melalui Purse Diplomacy. Dengan usaha-usaha
tersebut Cina mendapatkan pengaruh dan kontrol di lokasi-lokasi penting seperti pelabuhan
dan pangkalan udara dan akses untuk menempatkan militernya di wilayah negara-negara
tersebut. Melalui strategi itu juga Cina mampu membangun jalur baru pipa minyak/gas
melalui Pakistan, Bangladesh, dan Myanmar menuju Cina sehingga jalur transportasi energi
Cina tidak saja melalui jalur laut yakni Samudera Hindia. Selama ini Cina memiliki
kecemasan di Samudera Hindia bagi transportasi suplai energinya. Membangun pengaruh
atas negara-negara yang berhubungan langsung dengan jalur transportasi penting dunia akan
memberikan jaminan keamanan bagi Cina kedepannya bahwa jalur pelayaran tetap terbuka
dan bebas sehingga kepentingan Cina terhadap ketahanan energi dapat tercapai.
1.5 Sistematika penulisan
Skripsi yang akan penulis kerjakan akan terdiri dari lima bab. Setelah Bab Pertama
yang memuat setting dari pengkajian isu yang diteliti, Bab Kedua akan menggambarkan
pertumbuhan kebutuhan energi domestik Cina dan pentingnyasuplai energi bagi
kepentingan nasional Cina. Di bab inilah penulis menekankan ketahanan energi sebagai
salah satu tujuan utama politik luar negeri Cina.Pada bab ini juga akan dibahas hubungan
antara ketahanan energi dengan prinsip “pembangunan damai” yang dikaitkan dengan
keberadaan pengaruh Cina di berbagai kawasan.
Bab Ketiga akan menjelaskan kepentingan Cina di Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh,
dan Myanmar, khususnya yang dikaitkan dengan ketahanan energi. Kemudian dalam Bab
<http://www.iseas.edu.sg/documents/publication/ISEAS_perspective_2015_02.pdf>, diakses pada 19 Januari
2015.
13
Keempat akan dijelaskanlebih jauh hubungan antara Cina dengan Pakistan, Bangladesh, Sri
Lanka, dan Myanmar, yang berpusat pada analisis tentang bagaimana Cina menjalankan
strategi-strategi politik luar negeri di keempat negara demi mencapai kepentingan ketahanan
energinya. Skripsi akan ditutup dengan Bab Kelima yang berisikan kesimpulan dan inferensi
dari temuan hasil penelitian.