BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12320/1/T2_752013033_BAB...

13
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, seperti adanya program wajib belajar 12 tahun. Hal ini menandakan bahwa pendidikan merupakan hal yang penting, terutama bagi masa depan generasi muda. Menurut Lawrence Cremin pendidikan didefinisikan sebagai usaha sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian atau kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu 1 . Sementara Whitehead mendefinisikan pendidikan adalah bimbingan bagi individu untuk memahami seni kehidupan; dan dengan seni kehidupan yang dimaksudkan adalah prestasi yang paling lengkap dari pelbagai kegiatan yang mengekspresikan potensi-potensi makhluk hidup ketika berhadapan dengan lingkungan yang sebenarnya 2 . Ketika kedua definisi ini digabungkan maka pendidikan akan menjadi suatu usaha yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh pengetahuan ataupun akibat dan hasil-hasil lainnya dari proses belajar yang melibatkan seni kehidupan serta bagaimana manusia mengekspresikan dirinya dalam lingkungannya. Lingkungan tempat manusia hidup bisa memiliki arti yang beragam, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pendidikan pada akhirnya dapat memberdayakan manusia agar dapat bertindak secara kreatif dalam memanfaatkan apa yang ada disekitarnya menjadi lebih berguna. Pendidikan dibutuhkan oleh masyarakat, karena semakin tinggi pendidikan akan menambah kualitas dari seseorang. Orang masih berpendapat bahwa pendidikan merupakan 1 Thomas Groome, trans., Pendidikan Agama Kristen (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011), 29 2 Ibid., 30

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANGrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12320/1/T2_752013033_BAB...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pendidikan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, seperti adanya

program wajib belajar 12 tahun. Hal ini menandakan bahwa pendidikan merupakan hal yang

penting, terutama bagi masa depan generasi muda. Menurut Lawrence Cremin pendidikan

didefinisikan sebagai usaha sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan,

menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian atau

kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu1. Sementara Whitehead mendefinisikan

pendidikan adalah bimbingan bagi individu untuk memahami seni kehidupan; dan dengan seni

kehidupan yang dimaksudkan adalah prestasi yang paling lengkap dari pelbagai kegiatan yang

mengekspresikan potensi-potensi makhluk hidup ketika berhadapan dengan lingkungan yang

sebenarnya2. Ketika kedua definisi ini digabungkan maka pendidikan akan menjadi suatu usaha

yang dilakukan secara sengaja untuk memperoleh pengetahuan ataupun akibat dan hasil-hasil

lainnya dari proses belajar yang melibatkan seni kehidupan serta bagaimana manusia

mengekspresikan dirinya dalam lingkungannya. Lingkungan tempat manusia hidup bisa

memiliki arti yang beragam, baik itu lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pendidikan

pada akhirnya dapat memberdayakan manusia agar dapat bertindak secara kreatif dalam

memanfaatkan apa yang ada disekitarnya menjadi lebih berguna.

Pendidikan dibutuhkan oleh masyarakat, karena semakin tinggi pendidikan akan

menambah kualitas dari seseorang. Orang masih berpendapat bahwa pendidikan merupakan

1 Thomas Groome, trans., Pendidikan Agama Kristen (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2011), 29

2 Ibid., 30

2

suatu wadah untuk melakukan transmisi kebudayaan. Pendidikan norma-norma, sikap, adat-

istiadat, keterampilan sosial semuanya diperoleh dari pendidikan3. Dalam hal ini transmisi

kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu usaha pewarisan pengetahuan, nilai-nilai yang

dianggap baik dan dapat menjadi pedoman yang baku dalam kehidupan bermasyarakat. Ada

berbagai cara yang dilakukan untuk melakukan transmisi kebudayaan yakni melalui keluarga,

masyarakat maupun sekolah. Dalam konteks penelitian ini maka, Pendidikan Agama Krsiten

(PAK) menjadi salah satu jenisnya.

Groome menambahkan bahwa pendidikan yang baik dapat disebut bersifat keagamaan4.

Setiap usaha untuk menemukan yang transenden kemudian dinamakan dengan pendidikan

agama. Dalam pendidikan agama, dikhususkan menjadi Pendidikan Agama Kristen. Pendidikan

Agama Kristen dalam gereja, keluarga dan sekolah secara khusus harus dihubungkan dengan

tradisi Kristen. Seperti yang diungkapkan oleh Groome bahwa istilah pendidikan agama

(Christian Edication) dengan akurat mendeskripsikan investigasi yang umum pada dimensi

kehidupan agama dan pencarian bersama manusia terhadap dasar keberadaan yang transenden,

akan tetapi jika komunitas agama menentukan tradisi miliknya sendiri yang khusus untuk

mensponsori orang-orang dalam pencarian mereka yang bersifat transenden, maka kegiatan

pendidikan itu harus secara khusus dihubungkan dengan tradisi komunitas itu5. Dalam hal ini

Pendidikan Agama Kristen haruslah memiliki tradisi itu sendiri untuk dapat membantu anggota

komunitas dalam pencarian yang bersifat transenden.

Tradisi komunitas khususnya komunitas Kristen, didasarkan pada apa yang tertulis dalam

Alkitab, walaupun tidak dapat dilupakan bahwa setiap kisah dalam Alkitab memiliki tradisi-

tradisi tersendiri dengan latar belakang yang berbeda-beda. Salah satu ajaran didalamnya baik itu

3 Nasution S, Sosiologi Pendidikan. (Bandung : Bumi Aksara, 1983), 13

4 Groome, Pendidikan Agama Kristen, 31

5 Ibid., 34

3

dalam Perjanjian Lama dan juga dalam Perjanjian Baru yakni dalam Maleakhi 3:10a “Bawalah

seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan” dalam ayat ini Buckner

menjelaskan bahwa persepuluhan yang dimaksud adalah sepuluh persen dari semua hasil kerja

atau ladang. Hasil yang terbaik dari ladang haruslah diberikan kepada Allah dan hasil yang jelek

yang akan digunakan oleh pemberi persepuluhan tersebut. Buckner menambahkan bahwa rumah

perbendaharaan yang dimaksud yakni Bait Suci di Yerusalem yang menjadi pusat kebaktian dan

kegiatan-kegiatan agama6. Persembahan yang diberikan bukan hanya sebatas pada uang tetapi

juga persembahan khusus lainnya yaitu waktu, talenta, akal, kemampuan dan karunia. Ayat ini

mau menjelaskan bahwa hasil yang diberikan sebagai persepuluhan dalam Bait Suci adalah tanda

ungkapan syukur. Selain dalam kitab Maleakhi, dalam II Korintus 9:1-15.

Kisah dalam II Korintus ini memiliki latar belakang yang berbeda dengan apa yang

terdapat dalam kitab Maleakhi. Kisah dalam II Korintus adalah mengenai pengumpulan

persembahan untuk membantu orang-orang kudus di Yerusalem. Beyer dan Simamora

menyebutkan bahwa orang-orang di Akhaya memberikan persembahan mereka sebagai tanda

bukti syukur dengan kerelaan hati dan bukan dengan sedih ataupun paksaan. Kasih Tuhan akan

datang bagi orang di Akhaya dan orang kudus di tempat lain (Yerusalem) dapat terbantu. Bukan

hanya dalam memberikan persembahan dan membantu tetapi secara tidak langsung, persekutuan

bersama orang percaya dapat terbentuk dalam doa syafaat orang-orang kudus untuk orang

Kristen bukan Yahudi7.

Persembahan yang diberikan kepada Tuhan, baik itu dalam Maleakhi ataupun dalam teks

II Korintus memberikan arti yang sama yaitu karunia, talenta, waktu ataupun akal dan juga

6 Charles Buckner. Kupasan Firman Allah Suara Maleakhi. (Bandung:Lembaga Literatur Baptis,

2002), 86-87. 7 Ulrich Beyer & Evalina Simamora, Memberi Dengan Sukacita ( Jakarta : BPK Gunung Mulia,

2008), 83-108.

4

penekanan yang diberikan dalam II Korintus bahwa persembahan yang diberikan harus sesuai

dengan kerelaan hati perlulah diketahui bahwa semuanya itu harus berdasarkan pada penyerahan

yang utuh kepada Tuhan.

Pemberian persembahan yang terdapat dalam kedua contoh ayat diatas merupakan salah

satu contoh ajaran yang terdapat dalam Alkitab. Ajaran-ajaran tentang memberi persembahan

dalam Alkitab tidak lahir atau muncul dan berkembang begitu saja tetapi didasarkan pada tradisi

yang ada sebelumnya diantaranya adalah budaya di Mesir, Maspero melihat bahwa ada bagian

khusus yang diberikan kepada dewata dari sepersepuluh atas pendapatan yang diperoleh8.

Diungkapkan juga bahwa di Assuria ia melihat raja Tiglath-Pileser menghambur-hamburkan

persembahan kepada dewata dan memperkaya tempat berhala dengan rampasan dari

peperangannya. Setelah selesai berperang raja Tiglath-Pileser akan mempersembahkan

sepersepuluh dari rampasannya kepada dewa Ashur dan juga kepada dewa Ramman. Sayce

menerangkan bahwa persembahan adalah kebiasaan Babylonia untuk mempersembahkannya

kepada tempat-tempat berhala sebagai hasil dari tanah jajahannya9. Kebiasaan untuk

memberikan persembahan persepuluhan dilakukan dikalangan petani orang Roma supaya setiap

petani mempersembahkan persepuluhan hasil panennya pada tempat-tempat berhala. Kisah-kisah

ini dapat disebut sebagai kisah-kisah pertama dalam memberikan persembahan hingga kepada

jemaat pada masa kini.

Tradisi-tradisi dalam Alkitab yang sudah berkembang seperti sekarang ini, tidak bisa

dijadikan sebagai satu-satunya pegangan dalam melaksanakan tugas Pendidikan Agama Kristen,

seorang pendidik perlu memperhatikan beberapa pendukung lain yang disebut dengan fondasi

Pendidikan Agama Kristen. Pazmino menyebut dalam bukunya ada 7 fondasi penting dan salah

8 A.M. Tambunan, Persembahan Persepuluhan (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1945), 19.

9 Ibid., 21.

5

satunya adalah Fondasi Sosiologis10

. Ia menyatakan bahwa tugas seorang pendidik adalah

membuat pengajaran mereka tetap update dan relevan dengan konteks budaya mereka supaya

bisa terus memberi dampak pada peserta didik yang hidup dalam kebudayaan tersebut11

.

Sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Pazmino, Sitompul berpendapat bahwa

Pendidikan Agama yang dilakukan dalam konteks apapun jelas sekali membutuhkan perspektif

kebudayaan didalamnya, karena dalam melakukan pendidikan yang nantinya memiliki tujuan

untuk mengubah suatu masyarakat, pendidikan itu tidak cukup hanya dengan mengkritik dan

meniru dari bangsa lain, tetapi haruslah dilakukan dengan sistem yang sesuai dengan kebudayaan

setempat12

. Ia menambahkan bahwa kebudayaan setempat yang dimaksudkan adalah hal-hal

yang menjadi kebiasaan masyarakat dan pada akhirnya membudaya. Sesuai dengan apa yang

ditulis oleh Sitompul bahwa gereja dapat berdiri karena memperhitungkan adat kebudayaan

suku-suku13

.

Pendidikan Agama Kristen membutuhkan kebudayaan dalam melangsungkan tugasnya

juga diacu oleh teori dari Geertz tentang agama sebagai sistem kebudayaan. Dalam teorinya

tersebut ia berpendapat bahwa agama pada awalnya adalah sebuah sistem simbol-simbol yang

akan memberi makna dan motivasi pada para penganutnya lewat ritual-ritual yang pada akhirnya

menjadi suatu realitas unik yang disebut dengan kebudayaan14

. Agama dan kebudayaan memiliki

hubungan erat yang akan menolong satu sama lain, oleh sebab itu dalam melakukan pendidikan

agama perlulah diperhitungkan aspek kebudayaan didalamnya.

10

Robert Pazmino. Fondasi Pendidikan Kristen. (Bandung : STT Bandung bekerjsama dengan

BPK, 2012), 4. 11

Ibid 231-231. 12

A.A Sitompul. Dipintu Gerbang Pembinaan Warga Gereja “Pendidikan dan Kebudayaan”.

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 9. 13

Ibid., 188. 14

Daniel Pals, trans., Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif (Seven theories of Religion).

(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), 342.

6

Dalam kehidupan bersama komunitas Kristen, ditemukan sebuah kebiasaan yang pada

akhirnya menjadi budaya keluarga Kristen dan masih dipertahankan bahkan tetap dibawa

sekalipun sudah jauh dari keluarga yakni tradisi Piring Natzar. Tradisi Piring Natzar dimiliki dan

tetap dilakukan oleh keluarga-keluarga di kepulauan Maluku, khusunya bagi mereka yang berada

di Ambon, Maluku Tengah dan Seram.

“Piring Nazar” ada pada sebuah meja (biasa juga disebut dengan meja sombayang) yang

diatasnya diletakkan sebuah piring dan sebuah Alkitab yang ditutupi dengan kain berwarna

putih. Alkitab diletakkan di atas piring dan di dalam piring diletakkan uang yang akan dibawa

untuk dipersembahakan pada ibadah hari minggu. Biasanya uang yang digunakan adalah uang

yang masih baru dalam artian bahwa uang yang tidak usang ataupun yang sudah robek. Uang

tersebut diletakkan di dalam “Piring Nazar” untuk jangka waktu tertentu. Apabila keluarga ingin

membawa persembahan persepuluhan ke Gereja, maka sebelum uang itu dibawa, uang tersebut

harus di letakkan dahulu di dalam “Piring Nazar” sebelum di bawa ke Gereja, baik untuk

persembahan mingguan maupun persembahan perpuluhan untuk didoakan bersama-sama. Selain

untuk tempat meletakkan persembahan, meja yang diletakkan “Piring Nazar” diatasnya juga

dianggap sebagai mimbar dalam keluarga. Ketika anggota keluarga akan pergi (keluar dari

rumah baik itu pergi jauh ataupun ke sekolah, ke gereja atau ketempat-tempat lain) maka

anggota keluarga harus berdoa terlebih dahulu di depan Piring Natzar tersebut. “Piring Nazar” ini

diletakkan di kamar pertama dalam sebuah rumah dan dalam kebiasaan masyarakat Ambon,

kamar pertama tersebut adalah kamar dari kedua orang tua.

Terdapat sesuatu hal menarik yang disosialisasikan dan diajarkan oleh orang tua kepada

anak-anak, agar mereka melakukan tradisi “Piring Nazar” pada saat mereka jauh dari keluarga.

Keadaan ini dapat dijumpai pada para mahasiswa yang berasal dari Gereja Protestan Maluku

7

(GPM) yang berkuliah di Salatiga dan masih setia melakukan tradisi “Piring Nazar” dalam

kehidupan mereka sehari-hari.

Dalam penelitian ini, berkaitan dengan tradisi “Piring Nazar”, maka akan dilihat

bagaimana pola pendidikan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya sehingga ajaran

tentang “Piring Nazar” dapat terinternalisasi dan diwariskan dalam diri mahasiswa. PAK yang

didasarkan pada fondasi sosiologis sangat membantu dalam pelaksanaan pendidikan, oleh sebab

itu tulisan ini akan diberi judul Tradisi “Piring Nazar” Dalam Perspektif Pendidikan Agama

Kristen Dalam Keluarga

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH PENELITIAN

Keluarga dalam hal ini adalah orang tua memiliki peranan yang besar dalam melakukan

pendidikan atau sebagai wadah untuk melakukan pendidikan primer dalam masyarakat. Ada

berbagai jenis pendidikan yang perlu untuk dilakukan oleh orang tua dan salah satunya adalah

pendidikan agama dalam keluarga. Sebelum anak-anak menjadi anggota gereja, anak-anak

terlebih dahulu telah mendapatkan pendidikan agama dalam keluarga. Tradisi “Piring Nazar”

yang dilakukan oleh orang tua kemudian turun kepada anak-anak bukan tanpa sengaja. Tentu

saja tradisi Piring Nazar diajarkan dan disosialisasikan dengan sengaja kepada anak-anak dan

memiliki tujuan tertentu yakni adanya Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga, sehingga

perlulah diketahui dimanakan posisi Pendidikan Agama Kristen dalam tradisi “Piring Nazar”.

1.3 MASALAH PENELITIAN

Pelaksanaan tradisi Piring Nazar adalah suatu kenyataan dalam kehidupan sosio-religius

diantara keluarga Kristen di Ambon. Pada satu sisi Piring Nazar memiliki inti yang sama dengan

ajaran Alkitab, sedangkan disisi yang lain tradisi ini tidak turun begitu saja tetapi melalui proses

8

pendidikan dan sosialisasi. Oleh karena itu pola pendidikan seperti apa yang dilakukan oleh

orang tua kepada anak-anaknya perlu diketahui sehingga diharapkan bisa digunakan oleh

keluarga-keluarga Kristen lain di berbagai tempat.

1.4 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan identifikasi masalah dan masalah penelitian maka rumusan masalah

penelitian adalah Bagaimana Pola Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua dapat

menginternalisasi ajaran Piring Nazar dalam pribadi mahasiswa?

Masalah pokok penelitian tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang berasal

dari Gereja Protestan Maluku tentang tradisi Piring Nazar?

2. Bagaimana tradisi “Piring Nazar” dalam Pendidikan Agama Kristen pada keluarga

Kristen di Maluku?

3. Bagaimana Pola Pendidikan yang dilakukan oleh orang tua dapat menginternalisasi

ajaran Piring Nazar dalam pribadi mahasiswa?

1.5 TUJUAN PENULISAN

1. Mendeskripsikan pemahaman mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang berasal

dari Gereja Protestan Maluku tentang tradisi “Piring Nazar”.

2. Menganalisis posisi tradisi “Piring Nazar” dalam Pendidikan Agama Kristen bagi

keluarga.

3. Mengidentifikasi pola didikan yang dilakukan oleh orang tua dapat menginternalisasi

ajaran Piring Nazar dalam pribadi mahasiswa

9

1.6 MANFAAT PENULISAN

Manfaat Teoritis

Adanya pemahaman baru bahwa Pendidikan Agama Kristen (PAK) juga

membutuhkan aspek-aspek kebudayaan. Semua kekayaan budaya yang ada disekitar

manusia dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran bukan hanya sebagai warisan saja.

Manfaat Praktis

Pola pendidikan yang dilakukan oleh orang tua dapat menjadi contoh bagi keluarga

Kristen lainnya dalam melakukan Pendidikan Agama Kristen kepada anak-anaknya atau

generasi penerusnya.

1.7 METODOLOGI PENELITIAN

a. Metode

Tujuan dari penelitian ini adalah menemukan dimana posisi Pendidikan Agama

Kristen dalam tradisi “Piring Nazar” yang dilakukan oleh orang tua kepada anak-anak

sehingga tradisi “Piring Nazar” dapat terinternalisasi dalam pribadi mereka. Berdasarkan

tujuan tersebut maka metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan

pendekatan penelitian adalah penelitian kualitatif.

Metode Deskriptif Analisis

Jenis penelitian deskriptif analisis bertujuan untuk menjelaskan secara sistematis,

faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat yang terkait dengan substansi

penelitian. Jenis deskriptif berusaha menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara

berjalan pada saat penelitian, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.

10

Metode deskriptif analisis dipilih karena penelitian ini bermaksud mendeskripsikan

dan menganalisis pemahaman seperti apa yang mereka dapatkan lewat pola pendidikan yang

dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya sehingga sampai di Salatiga anak-anak masih

melakukan tradisi “Piring Nazar” serta bagaimana mahasiswa memahami makna dari tradisi

“Piring Nazar” dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Informan kunci dalam penelitian ini adalah mahasiswa UKSW yang melakukan

tradisi “Piring Nazar” dan juga para orang tua Ambon yang berada di Salatiga.

b. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui

prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Pendekatan ini sering diterapkan dalam

penelitian tentang kehidupan, riwayat, dan perilaku seseorang, di samping itu juga peranan

organisasi, pergerakan sosial dan hubungan timbal balik15

. Penelitian kualitatif digunakan

dalam penelitian ini karena sesuai dengan tujuannya yaitu ingin melihat bagaimana pola

pendidikan orang tua sehingga tradisi Piring Natzar bisa terinternalisasi dalam pribadi

mahasiswa.

c. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dalam kerangka studi pendahuluan yaitu kajian

pustaka dan kajian empiris. Kajian pustaka diperoleh melalui studi kepustakaan, sedangkan

15

Anselm Strauss dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. (Jogjakarta: Pustaka

Pelajar, 2013), 4.

11

kajian empiris diperoleh melalui wawancara, observasi langsung dan FGD yang dibahas

berikut ini.

1) Wawancara

Teknik wawancara merupakan peran seorang peneliti mengajukan pertanyaan-

pertanyaan yang dirumuskan untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah

penelitian. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur, wawancara bebas dengan

pedoman wawancara yang digunakan hanya garis besar permasalahan yang

ditanyakan16

.

Wawancara dalam penelitian ini untuk mengetahui pola pendidikan orang tua kepada

anak- anak dan wawancara tentang proses internalisasi ajaran Tradisi Piring. Subjek

yang akan diwawancarai adalah Orang Tua yang berasal dari Ambon yang tinggal di

Salatiga sebagai informan kunci dan mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana yang

berasal dari Ambon.

2) Observasi

Observasi merupakan suatu proses pengamatan terhadap subjek penelitian dan

dilakukan secara terstruktur17

. Observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi

langsung, ketika subjek penelitian melakukan tradisi “Piring Nazar” di tempat kediaman

mereka di Salatiga.

3) FGD

Teknik Focus Group Discussion (FGD) untuk para mahasiswa Universitas Krtisten

Satya Wacana. Herdiansyah menyatakan bahwa tujuan FGD adalah untuk berdiskusi

16

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung: Alfabeta, 2012), 140. 17

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, 145-146.

12

dan berdialog bersama, bertatap muka dengan sesama responden/subjek/informan

penelitian guna menghasilkan suatu informasi langsung dari berbagai sudut pandang.

FGD juga dapat dilakukan guna melakukan crosscheck ulang jika terdapat data yang

kebenarannya masih diragukan18

. Sumber data untuk melakukan teknik ini adalah

mahasiswa Ambon yang berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana.

d. Lokasi Penelitian, Populasi dan Subjek Penelitian

Lokasi yang dipilih dalam penelitian adalah di Salatiga karena subjek penelitian yang akan

diteliti adalah mahasiswa yang berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang

berasal dari Gereja Protestan Maluku. Sampel yang digunakan adalah mahasiswa

Universitas Kristen Satya Wacana yang melakukan Tradisi “Piring Nazar”.

1.8 SISTEMATIKA PENULISAN TESIS

Sistematika dalam tulisan ini terdiri dari lima (V) BAB. BAB I Pendahuluan; bagian

pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Masalah Penelitian, Variabel

Penelitian, Rumusan masalah Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika

Penulisan. BAB II Teori Rujukan; bagian ini terdiri dari kajian Pustaka yaitu Teori tentang

Pendidikan, Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga, Fondasi

Pendidikan Agama Kristen, Sosialisasi dalam keluarga dan tentang “Piring Nazar”. BAB III Data

Lapangan dan Analisa; bagian ini berisiskan data hasil penelitian yang dilakukan dengan metode

dan pendekatan kualitatif di lapangan yang sekaligus akan dianalisa setelah dilakukan pemaparan

mengenai hasil penelitian (data di lapangan). BAB IV Refleksi Teologis; bagian ini merupakan

18

Haris Herdiansyah. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmuSosial (Jakarta: Salemba

Humanika, 2012), 146-148.

13

refleksi penulis tentang pola pendidikan orang tua dalam keluarga yang dikaitkan dengan data di

lapangan dan ajaran Alkitab tentang mendidik anak dalam keluarga. BAB V Penutup; penutup

terdiri dari kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan berisi temuan-temuan penulis dari hasil

penelitian dan rekomendasi berupa usulan untuk Gereja Protestan Maluku, mahasiswa, orang tua

dan penelitian lanjutan.