BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/53279/2/BAB I.pdf · Di Provinsi Jawa Timur...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/53279/2/BAB I.pdf · Di Provinsi Jawa Timur...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diare masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia terutama di negara
berkembang. Diare sering terjadi pada anak-anak dan balita dengan frekuensi
kematian yang tinggi. Di Indonesia diare merupakan salah satu masalah utama dalam
kesehatan. Diare merupakan keadaan dimana frekuensi buang air besar lebih dari 4
kali pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi feses cair yang berwarna
hijau dengan bercampur lendir ataupun darah (Wijaya, 2013). Frekuensi buang air
besar yang lebih dapat menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit yang
mengakibatkan dehidrasi pada penderita diare (Dermawan, 2010). Menurut WHO
dan UNICEF, terdapat sekitar 2 miliyar kasus penyakit diare di seluruh dunia setiap
tahun. Dari semua kematian anak balita karena penyakit diare, 78% terjadi di wilayah
Afrika dan Asia Tenggara (Kemenkes, 2013).
Angka kematian balita karena diare di Indonesia masih tergolong tinggi jika
dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN, yaitu 3,4x lebih tinggi dari
Malaysia, selanjutnya 1,3x lebih tinggi dari Filiphina, dan Indonesia menduduki
rangking ke-6 tertinggi setelah Singapura (3/1.000), Brunai Darussalam (8/1.000),
Malaysia (10/1.000), Vietnam (18/1.000) dan Thailand (20/1.000) (Sadikin, 2013).
Di Provinsi Jawa Timur tahun 2015 angka kejadian diare sebesar (57,9%)
khususnya Kabupaten Pasuruan angka kejadian diare sebesar (44,8%) dan kematian
anak balita dengan kejadian diare paling tinggi pada usia 6-12 bulan dengan tingkat
pendidikan orang tua yang tidak mengerti tentang kesehatan, orang tua yang tidak
bekerja/orang tua yang bekerja, selain itu anak tidak diberikan ASI melainkan
2
diberikan susu formula di usia <1 tahun. ASI mempunyai antibodi untuk melawan
beberapa penyakit, sel-sel lekosit, enzin, hormon dll yang sangat di butuhkan oleh
tubuh bayi (Dinkes Kab. Pasuruan, 2015).
Kejadian diare pada balita pada dasarnya dapat dicegah dengan
memperhatikan faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya diare. Berdasarkan
penelitian-penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi kejadian diare pada balita. Menurut Kemenkes (2011), ada beberapa
cara pencegahan penyakit diare yang benar dan efektif yaitu berawal dari pemberian
ASI penuh selama 6 bulan, memberikan MPASI secara bertahap, menggunakan air
bersih yang cukup, mencuci tangan, menggunakan jamban, membuang tinja bayi
dengan benar serta pemberian imunisasi campak setelah bayi berumur 9 bulan untuk
mencegah agar bayi tidak terkena penyakit campak, karena anak yang terkena
penyakit campak sering disertai dengan diare.
Penyebab diare akut dibagi menjadi dua golongan yaitu diare sekresi
(secretory diarrhoea) dan diare osmotic (osmotic diarrhoea). Diare sekresi dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (a) infeksi virus, kuman-kuman
pathogen, atau penyebab lainnya (seperti gizi buruk, hygiene dan sanitasi buruk,
kepadatan penduduk, sosial budaya dan sosial ekonomi); (b) hiperperistaltik usus
halus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia, makanan (keracunan makanan,
makanan yang pedas atau terlalu asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan
syaraf, hawa dingin, alergi dsb; (c) defisiensi imun terutama SigA (secretory
Immunoglobulin A) yang mengakibatkan berlipatgandanya bakteri atau flora usus
dan jamur (terutama candida). Diare osmotik disebabkan oleh malabsorpsi makanan,
kekurangan kalori protein (KKP), bayi dengan berat badan rendah dan bayi baru lahir
(Sodikin, 2011).
3
Diare sendiri merupakan frekuensi buang air besar sebanyak lebih dari 3 kali
pada anak balita dengan konsistensi feses encer/cair, dapat berwarna hijau atau
terdapat lendir, dan darah. Diare dapat menyerang berbagai jenis usia termasuk pada
balita. Diare pada balita dapat ditandai dengan suhu badan meningkat, gelisah, berat
badan menurun, mata dan ubun-ubun jadi cekung, selaput lendir, mulut dan kulit
menjadi kuning, dehidrasi (bila dehidrasi berat dapat mengakibatkan penurunan
volume dan tekanan darah), nadi cepat dan kecil, peningkatan denyut jantng,
penurunan kesadaran dan syok yang dapat menyebabkan kematian (Wijaya, 2013).
Penyebab diare lainnya juga karena penyajian susu formula yang kurang tepat.
Banyak orang tua mengganggap sepele dalam penyajian susu formula. Cara yang tepat
untuk penyajian susu formula adalah dengan melihat tempat penyimpanan susu
bubuk formula di tempat yang tertutup rapat supaya tidak lembab dan sejuk,
perhatikan tanggal kadaluarsa dan tanggal membuka kemasan, baca petunjuk takaran
susu formula dalam kemasan (Medkes, 2015). Air yang digunakan harus air yang
bersih dengan kata lain tidak bau, tidak berwarna, tidak keruh, tidak berasa suhu
antara 10º - 25ºC dan tidak meninggalkan endapan, selain itu air yang digunakan ntuk
mengencerkan juga harus direbus sampai mendidih dan biarkan mendidih selama 3
menit setelah itu dinginkan air menjadi 70ºC. Setelah itu, pembersihan botol susu
tidak hanya menggunakan air dan dikocok saja melainkan haru menyikatnya dan
merebusnya untuk sterilisasi dan biarkan botol mengering sendiri dengan udara atau
bisa dengan menggunakan tisu jika ingin segera memakainya. Jangan mengelap botol
susu dengan kain lap karena bisa jadi di dalam kain lap terdapat bakteri (Efran, 2018).
Susu formula merupakan susu buatan pabrik yang telah di formulasi
menyerupai ASI, walau ASI tetap yang terbaik. Susu formula di buat sesuai dengan
golongan usia bayi, mulai dari bayi baru lahir (new born) usia 0-6 bulan, 6-12 bulan dan
4
usia batita 1-3 tahun, usia pra-sekolah 3-5 tahun, serta usia sekolah > 5 tahun
(Sutomo, 2010). Cara pembuatan susu formula yang dilakukan orang tua apabila
kental biasanya 1 sendok takaran susu formula hanya diberikan < 30 ml air dan
apabila encer maka biasanya diberikan 1 sendok takaran susu diberikan > 30 ml air,
bahkan ada yang memberi 2 takaran sendok susu dengan air 40 ml. Dengan
pembuatan yang berbeda ini juga sama-sama banyak yang mengalami diare.
Menurut Khasanah (2011), prinsip dari pemilihan susu formula yang tepat
dan baik untuk anak adalah susu yang sesuai dan bisa diterima oleh sistem
pencernaan tubuh bayi. Susu yang terbaik bukan harus susu yang disukai bayi atau
susu dengan harga yang mahal, melainkan susu yang terbaik tidak akan menimbulkan
gangguan saluran cerna seperti diare, muntah, atau kesulitan buang air besar.
Pemberian susu formula yang kurang tepat takarannya dapat mengganggu
pertumbuhan bari, sedangkan pemberian yang berlebihan dapat menyebabkan bayi
berisiko mengalami obesitas dan begitu pula sebaliknya jika pemberian susu formula
terlalu encer dapat menyebabkan marasmus atau kurang gizi. Untuk bayi yang
diberikan susu formula biasanya frekuensi pemberiannya setiap 3-4 jam pada bulan
pertamanya. Semakin besar frekuensi menyusui akan semakin berkurang, tapi jumlah
susu formula akan meningkat. Apabila ibu mengalami kesulitan dalam menentukan
jumlahnya dengan tepat, sebaiknya gunakan botol ukur yang terdapat petunjuk
ukuran sehingga memudahkannya menyiapkan susu formula dengan jumlah yang
tepat (Khasanah, 2011).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 27 Febuari 2018 di Klinik
Rawat Inap Aisyiyah Pandaan, didapatkan data bahwa pada tiap bulan dari bulan
April 2017 sampai Febuari 2018 terdapat pasien rawat inap diare yang sangat tinggi
dibandingkan pasien rawat inap yang lain. Penyebab diare yang paling banyak terjadi
5
karena anak di berikan susu formula dengan tingkat kepekatan yang berbeda, cara
membersihkan botol susu formula yang hanya dengan air hangat tanpa disikat dan
tidak mencuci tangan sebelum membuatkan susu formula.
Dari latar belakang dan hasil studi pendahuluan diatas, maka peneliti tertarik
untuk meneliti tentang “Gambaran Faktor Penyebab Diare Berdasarkan Cara
Penyajian Susu Formula”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas diatas, maka peneliti
mengajukan rumusan masalah sebagai berikut “Bagaimana Gambaran dari Faktor
Penyebab Diare Berdasarkan Cara Penyajian Susu Formula di Klinik Rawat Inap
Aisyiyah Pandaan”.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor penyebab diare
berdasarkan cara penyajian susu formula.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kebersihan botol yang dilakukan orang tua sebelum
membuat susu formula kepada anaknya.
2. Untuk mengetahui kebersihan tempat/meja yang dilakukan orang tua
sebelum membuat susu formula kepada anaknya.
3. Untuk mengetahui kebersihan tangan yang dilakukan orang tua sebelum
membuat susu formula kepada anaknya.
4. Untuk mengetahui kematangan air dan air yang digunakan orang tua
sebelum membuat susu formula kepada anaknya.
6
5. Untuk mengetahui proses pembuatan susu formula yang dilakukan orang tua
dari awal sampai sebelum susu diminum oleh anaknya.
6. Untuk mengetahui kepekatan susu formula yang diberikan orang tua.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Praktis
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi khususnya kepada
orang tua dan masyarakat tentang gambaran faktor penyebab diare
berdasarkan cara penyajian susu formula.
1.4.2 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan
tentang diare yang terus meningkat pada anak-anak terutama pada balita.
Selain itu dapat digunakan untuk melakukan promotive masalah kesehatan
seperti diare.
1.5 Keaslian Penelitian
1. Penelitian Nuriza Astari (2013) yang berjudul hubungan pemberian susu
formula dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan. Jenis penelitian ini
adalah Analitik Observational dengan rancangan kasus control dengan Matching
berdasarkan usia bayi. Kelompok kasus adalah 40 subjek yang mengalami
diare sedangkan control adalah 40 subjek yang tidak mengalami diare.
Pengambilan subyek secara purposive sampling dengan responden menjawab
pertanyaan yang diberikan dari peneliti. Data yang dianalisis menggunakan uji
statistic Chi Square. Hasil dari penelitian ini menunjukkan sebesar 92,5% bayi
pada kelompok kasus menderita diare dan diberi susu formula. Semua subjek
mendapatkan jenis susu formula yang tepat. Analisis bivariant menunjukkan
7
pemberian susu formula berhubungan dengan kejadian diare (p = 0.000; OR
= 14.1; Cl = 1.21 – 8.84).
Sedangkan perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya terletak pada waktu penelitian, tempat penelitian, usia anak balita
dan penelitian ini tidak hanya meneliti tentang penyajiannya saja tetapi juga
kepekatannya.
2. Desi (2012) yang berjudul kebiasaan mencuci tangan berpengaruh terhadap
kejadian diare pada balita. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada balita.
Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Pengumpulan data
dengan menggunakan kuesioner dan check list kepada ibu sebagai responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prilaku cuci tangan yang buruk
mempunyai risiko untuk menderita diare. Berdasarkan kuesioner sudah
banyak responden yang melakukan kebiasaan cuci tangan namun kebanyakan
hanya mencuci tangan pakai sabun saat setelah BAB dan selebihnya hanya
dianggap bahwa hanya mencuci tangan biasa dengan air saja sudah cukup.
Respinden masih memiliki kesadaran yang rendah untuk mencuci tangan,
mereka hanya terbiasa mencuci tangan apabila mereka terlihat kotor saja.
Padahal tangan yang terlihat bersih belum tentu bersih dari kuman penyebab
penyakit.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak
pada waktu penelitian, tempat penelitian, usia anak balita dan penelitian ini
tidak hanya meneliti tentang penyajiannya saja tetapi juga kepekatannya.
3. Stefan (2013) yang berjudul hubungan antara penggunaan botol susu formula
dengan kejadian diare pada balita. Tujuan penelitian ini adalah untuk
8
mengetahui hubungan antara penggunaan botol susu formula dengan
kejadian diare pada balita. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif
korelasi dengan pendekatan restrospektif. Hasil penelitian ini menunjukkan ada
hubungan antara penggunaan botol susu formula dengan kejadian diare pada
balita. Berdasarkan hasil penelitian, masih banyak yang memiliki kebiasaan
untuk langsung menggunakan botol susu tanpa direbus terlebih dahulu. Ini
dikarenakan kebiasaan responden yang tidak mau repot dan ingin praktis
langung memberikan botol susu terlebih ketika balitanya sudah menangis.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah terletak
pada waktu penelitian, tempat penelitian, usia anak balita dan penelitian ini
tidak hanya meneliti tentang penyajiannya saja tetapi juga kepekatanny
9