BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada dasarnya telah terjadi
sejak lama, karena adanya persekusi dan diskriminasi dari pemerintah Myanmar
terhadap kelompok etnis tersebut. Konflik terbesar yang melibatkan orang-orang
Rohingya terjadi pada tahun 2012. Konflik ini disebabkan oleh adanya pembunuhan
dan pemerkosaan terhadap Thida Htwe, perempuan dari etnis Budha Arakan. 1
Setelah kejadian pemerkosaan yang disertai pembunuhan oleh tiga orang etnis
Rohingya tersebut, konflik semakin meluas. Kali ini menyasar pusat kota
Muangdaw yang merupakan kawasan dengan mayoritas penduduk muslim
Rohingya. Kerusuhan ini menyebabkan korban jiwa yang belum bisa dipastikan
dari kedua belah pihak yang bertikai.2
Kerusuhan yang terjadi di Maungdaw menyebar ke Sittwe, dimana
kerusuhan di Sittwe terjadi dalam skala yang lebih besar. Akibat kerusuhan ini,
presiden Thein Sein memberlakukan keadaan darurat di Myanmar, dimana kondisi
ini memberikan kewenangan kepada angkatan bersenjata Myanmar untuk
mengambil alih keamanan di dalam negara dan juga untuk mengembalikan
kestabilan kondisi Myanmar. 3 Setelah militer Myanmar diberi kewenangan untuk
1Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State,
diakses dalam https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-
humanity-and-ethnic-cleansing-rohingya-muslims, (29/04/18. 13:00). 2Ibid. 3Ibid.
2
mengembalikan kestabilan di dalam negeri Myanmar, konflik etnis semakin
memburuk dan mulailah terjadi praktik-praktik pembersihan etnis yang dilakukan
oleh pihak militer.
Antara November 2012 – April 2013, telah terjadi banyak insiden kekerasan
sporadis terhadap Muslim di Arakan, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan
oleh aparat keamanan terhadap perempuan-perempuan Rohingya. Puluhan ribu
Muslim Arakan atau Rohingya hidup di kantung pengungsian atau di dalam
komunitas yang terisolasi. Mereka hidup tanpa penghidupan yang layak dan akses
kepada bantuan kemanusiaan dari organisasi-organisasi kemanusaian internasiona l.
Ribuan orang Rohingya melarikan diri menggunakan perahu ke Bangladesh,
Thailand, dan Malaysia. UNHCR memperkirakan pada bulan Desember 2013
sendiri terdapat 13.000 orang Rohingya yang datang di Malaysia. Sedangkan di
Thailand sendiri 6.000 orang Rohingya telah berlabuh di pantai-pantai di Thailand,
jumlah tersebut termasuk anak-anak dan perempuan.4
Sebagai negara tetangga terdekat, Thailand dan Bangladesh menjadi pintu
keluar utama bagi para pengungsi Rohingya. Tidak hanya menjadi pintu utama,
kedua negara tersebut juga merupakan tujuan utama dari beberapa pengungs i
Rohingya. Keberadaan pengungsi Rohingya di Thailand merupakan tanggung
jawab dari pemerintah Thailand dan UNHCR. Mereka bertanggung jawab pula atas
keamanan dari para pengungsi agar terhindar dari praktik perdagangan manusia
yang marak di negara-negara Indo-China tersebut.
4Ibid.
3
Thailand sebagai negara tujuan pengungsi, pada dasarnya tidak meratifikas i
konvensi 1951 tentang pengungsi, pun dengan konvensi 1954 tentang status
individu tanpa kewarganegaraan, tetapi Thailand mengatur semuanya di dalam
Undang-undang Imigrasi 1979.5 Peraturan tersebut mengatur bahwa setiap individu
yang memasuki Thailand tanpa adanya dokumen resmi adalah subjek deportasi.
Tetapi, peraturan tersebut tidak Thailand terapkan pada kasus orang-orang tanpa
kewarganegaraan yang berasal dari Myanmar dan negara-negara tetangga lainnya
seperti kamboja dan Laos. Kebijakan ini telah Thailand terapkan kepada etnis-etnis
minoritas yang terusir dari Myanmar sebelumnya, seperti orang-orang Karen,
Karenni, Burman, dan Mon, tetapi etnis Rohingya tidak termasuk di dalamnya.
Orang-orang Karen, Karenni, Burman, maupun Mon merupakan penduduk pribumi
yang menempati daerah di antara perbatasan Myanmar dan Thailand, orang-orang
dari etnis tersebut juga mayoritas beragama Budha. Keempat etnis tersebut pada
umumnya terpaksa berpindah dari Myanmar menuju Thailand karena adanya
tekanan dari pihak militer Myanmar.
Dari semua kelompok etnis pengungsi tersebut, Karen adalah yang terbesar,
maka dari itu, Karen digunakan sebagai pembanding dengan pengungsi Rohingya.
Ada beberapa atribut identitas yang sama antara orang-orang Karen dan orang-
orang Rohingya, diantaranya: kedua etnis tersebut merupakan etnis minoritas yang
berasal dari Myanmar dan terlibat konflik berkepanjangan dengan pemerintah
Myanmar. Orang-orang Karen (termasuk Karenni) juga melakukan perlawanan
5 The Stateless Rohingya in Thailand | Center For Migration Studies, diakses dalam
http://cmsny.org/the-stateless-rohingya-in-thailand/, (29/04/18. 09:40).
4
bersenjata kepada pemerintah Myanmar melalui sayap militernya, Karen National
Liberation Army, sedangkan orang-orang Rohingya melakukan perlawanan
bersenjata kepada Myanmar juga dengan Arakan Rohingya Salvation Army
(ARSA). Kedua kelompok tersebut memiliki persamaan, yaitu minoritas di
Myanmar dan sama-sama melakukan perlawanan bersenjata. Tetapi ada yang
membedakan dari kedua kelompok tersebut, yaitu atribut agama, dimana orang-
orang Karen menganut agama Buddha dan Kristen, sedangkan orang-orang
Rohingya menganut agama Islam. Sama halnya dengan etnis lain, seperti Burman
dan Mon, keduanya merupakan etnis dengan mayoritas memeluk agama Buddha
Theravada.
Orang-orang Rohingya yang berhasil masuk ke Thailand pada umumnya
bertahan hidup di luar kamp pengungsian dan secara sembunyi-sembunyi, hal
tersebut mereka lakukan untuk menghindari persekusi dari pihak berwajib
Thailand. Pihak pemerintah Thailand mengeluarkan kebijakan khusus terhadap
etnis Rohingya tersebut mulai berlaku pada tahun 2004.6 Kebijakan tersebut
digunakan untuk mendiskriminasi etnis Rohingya agar tidak mendapatkan
perlindungan, baik dari pemerintah Thailand maupun UNHCR, selain itu, kebijakan
itu juga tidak memberi ruang bagi pengungsi Rohingya untuk bisa bekerja secara
legal di Thailand. Tidak adanya hukum yang mengatur hal tersebut menjadikan
etnis Rohingya sangat rentan terhadap praktik kerja paksa dan kekerasan lainnya
yang dilakukan oleh pihak-pihak pemberi kerja. Kemungkinan terburuk lainnya
adalah etnis Rohingya akan ditangkap dan ditahan oleh kepolisian Thailand tanpa
6 Ibid.
5
dasar yang jelas, dan untuk menghindarinya, etnis Rohingya diharuskan membayar
suap. Kemungkinan terparah dari diberlakukannya kebijakan tersebut adalah
praktik perdagangan manusia, otoritas Thailand secara leluasa terlibat dalam
perdagangan pengungsi Rohingya.7 Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan etnis
Rohingya yang merupakan pengungsi tidak memiliki payung hukum yang
melindunginya. Kebijakan yang mulai berlaku sejak 2004 tersebut terus
berkembang dan berubah-ubah, yang terbaru adalah munculnya kebijakan Option
Two yang digagas oleh ISOC atau Internal Security Operation Command.
Kebijakan ini meliputi penambahan kewenangan-kewenangan untuk otoritas
Thailand dalam memperlakukan pengungsi Rohingya, terutama mereka yang
datang setelah terjadinya konflik besar di Myanmar pada tahun 2012.
Tidak hanya berlaku kepada pengungsi dari Myanmar, kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah Thailand tersebut juga dirasakan dampak negatifnya
oleh pengungsi dari etnis Uighur. Thailand dilaporkan telah mengirim kembali
seratus orang Uighur ke Tiongkok dan mengakibatkan orang-orang tersebut
mendapatkan perlakuan buruk dari pemerintah Tiongkok.8
Ketiadaan pengakuan membuat pengungsi Rohingya yang berada di
Thailand sangat renta terhadap ancaman-ancaman kejahatan seperti Human
Trafficking. Kebijakan tersebut bahkan telah melucuti kewenangan UNHCR
7 Special Report: Thailand secretly supplies Myanmar refugees to trafficking rings | Reuters,
diakses dalam https://www.reuters.com/article/us-thailand-rohingya-special-report/special-report-
thailand-secretly-supplies-myanmar-refugees-to-trafficking-rings-idUSBRE9B400320131205,
(29/04/18. 22:25). 8 Thailand: Implement Commitments to Protect Refugee Rights | Human Rights Watch, diakses
dalam https://www.hrw.org/news/2017/07/06/thailand-implement-commitments-protect-refugee-
rights, (29/04/18. 20:00).
6
sebagai badan yang seharusnya memperhatikan para pengungsi dari Rohingya,
tidak memiliki kewenangan apapun di Thailand. Pada skripsi ini, penulis akan
berusaha untuk mencari latar belakang di balik kebijakan penolakan terhadap
pengungsi Rohingya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, di dalam skripsi
ini penulis menarik satu rumusan masalah, yaitu:
Bagaimana identitas menjadi latar belakang penolakan pengungsi Rohingya
oleh pemerintah Thailand?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki beberapa tujuan yang
akan penulis sampaikan di bawah:
1. Untuk mengetahui alasan pemerintah Thailand menolak
keberadaan etnis Rohingya.
2. Untuk mengetahui aspek apa saja yang mempengaruhi
kebijakan pemerintah Thailand.
1.3.2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini penulis sumbangkan untuk
perkembangan ilmu hubungan internasional. Karena
7
merupakan kasus kemanusiaan, isu yang penulis angkat di
dalam penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan dan
landasan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang akan
secara khusus membahas tentang peran pemerintah
Thailand dalam melawan human trafficking terhadap
pengungsi Rohingya.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini merupakan sumbangan penulis
terhadap diri penulis sendiri maupun terhadap bidang studi
Ilmu Hubungan Internasional secara umum sebagai bahan
untuk mengetahui bagaimana kebijakan terhadap
pengungsi Rohingya diterapkan di Thailand.
1.4. Penelitian Terdahulu
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengangkat isu yang penulis
angkat di dalam penelitian ini. Beberapa penelitian memiliki kemiripan maupun
keterkaitan pembahasan. Tetapi semua penelitian terdahulu yang peneliti angkat
disini tetap dalam koridor konflik Rohingya atau kasus perdagangan manusia.
Berikut beberapa penelitian di antaranya:
8
Penelitian pertama adalah jurnal dari K. M. Atikur Rahman.9Jurnal ini
menitik beratkan pada konflik etnis Rohingya yang ada di Myanmar. Pada jurnal
ini, dijelaskan bagaimana kondisi awal mula konflik ini terjadi hingga yang terbaru,
saat dimana konflik sudah meluas dan melibatkan pemerintahan. Atikur Rahman
melihat konflik ini sebagai salah satu bentuk konflik yang sudah mengakar di
negara-negara bekas koloni bangsa-bangsa Eropa.
Konflik etnis yang terjadi di Myanmar juga banyak terjadi negara-negara
lain, seperti di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia Tenggara. Faktor bekas negara
jajahan yang membuat konflik seperti ini sangat mudah terjadi. Di dalam konflik
etnis di Myanmar sendiri, Atikur Rahman menjelaskannya menggunakan teori
Ethno-political conflict yang terbagi menjadi tiga, primordialist, instrumentalist,
dan constructivist. Konflik Rohingya di Myanmar ini sendiri termasuk ke dalam
kategori primordialist karena konflik ini menitik beratkan pada faktor-faktor
primordial berupa kondisi biologis dan kawasan teritorial.
Krisis Rohingya yang terjadi hingga saat ini didasari oleh faktor politik,
dimana sejak awal terbentuknya negara Myanmar, pemerintah yang berkuasa
melakukan tindakan diskriminasi terhadap etnis-etnis minoritas yang ada di
Myanmar. Praktik seperti ini yang membuat konflik etnis terus terjadi dan sangat
sukar untuk dihindari. Bahkan, pemerintah Myanmar sendiri yang seharusnya bisa
menjadi penengah di antara rentannya konflik etnis, justru mem-backup etnis
9 K.M. Atikur Rahman, Ethno-Political Conflict: The Rohingya Vulnerability in Myanmar,
International Journal of Humanities & Social Studies, Volume-II, Issue-1 (July 2015), Karinganj:
Scholar Publications, hal. 288.
9
mayoritas yang ada, pada akhirnya, pemerintah pun melalui aparat keamanannya
juga ikut terlibat di dalam konflik tersebut.
Penelitian selanjutnya yang penulis telaah adalah skripsi dari Molly
Fotunella,10 dalam skripsinya, penulis menjelaskan bagaimana proses integras i
yang dilakukan oleh Spanyol terhadap etnis Rom. Permasalahan integrasi dengan
etnis Rom merupakan isu regional dimana Spanyol menjadi satu-satunya negara
yang bisa melakukan integrasi tersebut. Permasalahan etnis Rom merupakan
permasalahan sosial yang mampu mengganggu kestabilan sosial di Eropa.
Penulis di dalam skripsnya menyebutkan bahwa keberhasilan Spanyol
dalam melakukan integrasi tidak lepas dari pendekatan budaya dan sejarah di antara
keduanya. Spanyol melakukan manipulasi identitas di dalam Flamenco yang
berlanjut kepada pembentukan sistem pendidikan multikultural yang menjunjung
tinggi penghormatan kepada etnis minoritas. Pada akhirnya, Spanyol berharap
sistem tersebut mampu menghadirkan norma domestik tentang penghormatan
kepada etnis minoritas, dimana norma tersebut akan mampu mempengaruhi
Spanyol dalam tindakan, kepentingan nasional, dan juga kebijakan.
Selanjutnya, ada jurnal dari Bilal Dewansyah, dkk,11 paper yang secara
khusus melihat permasalahan pengungsi Rohingya dari konteks hukum ini secara
khusus melihat bagaimana peranan pemerintah Indonesia dan juga ASEAN dalam
menangani krisis Rohingya, mengingat negara Indonesia adalah negara non-
10 Molly Fortunella, 2017, Strategi Spanyol Dalam Integrasi Etnis Rom Terhadap Uni Eropa,
Skripsi, Malang: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang. 11 Bilal Dewansyah,dkk, Asylum Seekers in A Non-immigrant State & The Absence Of Regional
Asylum Seekers Mechanism: a Case Study of Rohingya Asylum Seekers in Aceh -Indonesia &
ASEAN Response, Indonesia Law Review, No-1 (Februari 2014), Depok: Djokosoetono Research
Center.
10
imigran yang menjadi negara transit dari pengungsi Rohingya sebelum masuk ke
negara imigran seperti Australia. Meskipun bukan negara imigran, pemerintah
Indonesia masih memiliki toleransi terhadap masuknya pengungsi Rohingya.
Tetapi, penerimaan tidaklah cukup, harus ada strategi untuk sementara mampu
meminimalisir dampak buruk krisis Rohingya, yaitu dengan cara integrasi lokal
sementara.
Strategi untuk melakukan integrasi lokal sementara bisa dilakukan,
mengingat masih adanya presekusi dari pemerintah Myanmar dan ketidakjelasan
status dari pengungsi Rohingya tersebut. Implementasi strategi ini bisa dilakukan
secara bertahap dengan objektif agar etnis Rohingya yang ada di Aceh bisa diterima
oleh masyarakat lokal sebelum nanti pada akhirnya akan dipulangkan kembali ke
Myanmar saat keadaan sudah lebih baik.
Meskipun pada dasarnya Indonesia belum meratifikasi konvensi tentang
pengungsi, sikap Indonesia yang menerima pengungsi Rohingya di Aceh adalah
salah satu bentuk hak konstitusional yang tercantum pada Undang-undang Dasar
1945. Dengan begitu, adanya hak konstitusional tersebut bisa diinterpretasi sebagai
suaka sementara. Sikap ini telah diterapkan Indonesia dalam banyak kasus
pengungsi yang telah masuk ke Indonesia sebelumnya. Tetapi, dasar hukum untuk
menangani masalah pengungsi harus segera dibuat di Indonesia, peraturan Presiden
bisa menjadi awal untuk mengembangkan tatanan legal, hingga pada akhirnya
mampu menjadi hukum tersendiri yang mampu mengatur peran pemerintah pusat
atau daera dalam penanganan isu ini.
11
Karakter pengungsi Rohingya yang merupakan pengungsi regional juga
harus diselesaikan tidak hanya di level negara, tetapi juga level ASEAN. Ide tentang
pendekatan fleksibel dalam mengatasi permasalahan regional harus digaungkan
kembali, tidak hanya pada isu pengungsi, tetapi juga isu domestik lain yang
mengancam keseimbangan regional. Dalam paper tersebut, terlihat bagaimana
penulis mencoba untuk menggarisbawahi kondisi regional maupun domestik
negara-negara di ASEAN yang masih belum mampu mengatasi masalah krisis
pengungsi Rohingya dengan baik.
Penelitian selanjutnya berasal dari thesis Elizabeth Collins Kalnin,12
penelitian ini melihat bagaimana kebijakan terhadap pengungsi dan
implementasinya mempengaruhi kondisi dan pengalaman dari para pengungs i
Burma (Myanmar) di Thailand. Penelitian ini menggunakan hukum national
Thailand dan praktiknya, perjanjian bilateral, dan konvensi Perserikatan Bangsa -
Bangsa mengenai status pengungsi untuk menguji bagaimana implementas i
kebijakan terhadap pengungsi dari Burma.
Hasil dari penelitian ini adalah rekomendasi langkah-langkah dalam
penerapan kebijakan terhadap pengungsi dari Burma. Rekomendasi kebijkan
diberikan kepada beberapa pihak sekaligus, diantaranya, Pemerintah Kerajaan
Thailand, komunitas dan organisasi internasional (negara yang memberikan donor
dan juga UNHCR), dan yang terakhir kepada otoritas Burma. Rekomendasi tersebut
12 Elizabeth Collins Kalnin, 2010, Displaced Burmese In Thailand: Refugee Policies & Impact On
Access & Rights, 1988-2008, Thesis, Toronto: Department of Adult Education and Counseling
Psychology, University of Toronto.
12
adalah usaha menghadirkan kesadaran bagi pihak-pihak yang terlibat langsung di
dalam isu pengungsi dari Burma di Thailand.
Penelitian selanjutnya adalah penelitian dari Bayu Mitra Adhyatma
Kusuma,13 penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana Thailand sebagai sebuah
negara dengan mayoritas pemeluk agama Budha melakukan diskriminasi kepada
etnis Melayu Islam yang tinggal di selatan Thailand. Pengakuan Budha sebagai
agama resmi negara merupakan salah satu bentuk diskriminasi berdasar agama
yang dilakukan oleh pemerintah Thailand terhadap kelompok minoritas. Kebijakan
ini berbentuk asimilasi budaya, dimana agama Budha dijadikan satu-satunya
identitas dan budaya tunggal yang berlaku.
Kebijakan asimilasi tersebut menjadi sebuah konflik ideologi dan psikologi,
budaya menjadi dasar dari konflik tersebut. Beberapa tuntutan yang ditegaskan oleh
pemerintah Thailand, diantaranya: larangan penggunaan nama, bahasa, dan
identitas Melayu Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya kondisi
tersebut, penganut Muslim di Thailand harus meninggalkan identitas Muslimnya
agar bisa berbaur dengan lingkungan sosial yang ada. Penelitian ini menjadi data
yang mampu menjawab rumusan masalah di dalam penelitian ini, hal tersebut bisa
dilakukan karena penggunaan teori Konstruktivis yang akan di bahas di bagian
selanjutnya.Penelitian selanjutnya merupakan skripsi dari Agustia Rahmah,14
skripsi ini membahas tentang bagaimana perdagangan manusia merupakan
13 Bayu Mitra Adhyatma Kusuma, Masyarakat Muslim Thailand dan Dampak Psikologis
Kebijakan Asimilasi Budaya , Jurnal Hisbah Vol-13, No-1 (Juni 2016), Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga. 14 Agustia Rahmah, 2015, Kebijakan Pemerintah Thailand Dalam Mengatasi Human Trafficking
dan Implikasinya terhadap Keamanan di Kawasan Asia Tenggara, Skripsi, Bandung: Jurusan
Hubungan Internasional, Universitas Pasundan.
13
ancaman serius bagi pemerintah Thailand, mengingat jumlahnya yang terus
meningkat. Selain itu, penelitian ini juga menyambungkan antara isu perdagangan
manusia yang ada di Thailand dengan keamanan regional Asia Tenggara,
mengingat Asia Tenggara adalah jalur besar perdagangan manusia.
Penelitian ini berhasil menghadirkan fakta bahwa dari semua kebijakan
Thailand selama ini, ternyata belum cukup efektf untuk menangani isu perdagangan
manusia. Kondisi domestik tersebut berdampak kepada kondisi regional yang mana
Thailand belum mampu berbuat banyak dalam menangani isu perdagangan
manusia. Penelitian ini menjadi salah satu referensi dalam menganalisa kebijakan
pemerintah Thailand terhadap isu perdagangan manusia, mengingat praktik
perdagangan manusia menyasar semua pihak, termasuk pengungsi di dalamnya.
Tabel 1.1 Posisi Penelitian
No. Nama Peneliti
dan Judul
Penelitian
Teori atau
Konsep
Hasil Penelitian
1. K.M. Atikur
Rahman, Ethno-Political
Conflict: The Rohingya Vulnerability in
Myanmar
Ethno Conflict Penelitian ini menunjukkan
bahwa konflik Rohingya berawal dari sentimen etnisitas
yang kental di Myanmar. Tidak hanya terjadi saat ini, tetapi kasus ini telah terjadi
semenjak awal kemerdekaan Myanmar. Adanya sentimen
negatif diperburuk dengan adanya pembelaan bagi etnis tertentu dari pemerintahan
Myanmar, hal ini menyebabkan konflik yang
berupa sentimen berubah menjadi konflik berdarah.
14
2. Molly Fotunella, Strategi Spanyol
Dalam Integrasi Etnis Rom Terhadap Uni
Eropa
Teori Konstruktivis
(Peter J. Katzenstein)
Spanyol berhasil melakukan integrasi dengan pendekatan
sejarah dan budaya, hal tersebut mampu menghadirkan norma domestik baru yang
dianut di Spanyol, yaitu norma penghargaan terhadap kaum
minoritas. Faktor sejarah dan budaya yang berdekatan di antara kedua subjek mampu
menghadirkan integrasi yang tidak bisa dihadirkan oleh
negara lain dengan kebijakan dan pendekatan yang berbeda.
3. Bilal Dewansyah,
dkk, Asylum Seekers in a Non-Immigrant State
& The Absence of Regional Asylum
Seekers Mechanism: a Case Study of
Rohingya Asylum Seekers In Aceh-Indonesia &
ASEAN Response.
Pendekatan
Regional dan Hukum
Krisis Rohingya telah menjadi
salah satu krisis regiona l. Krisis ini menjadi masalah regional karena tidak adanya
dasar hukum dalam penanganannya. Ketidakadaan
dasar hukum tersebut membuat penanganan terhadap krisis ini lamban.
Indonesia sendiri hanya menggunakan hak konstitusional sebagai dasar
hukumnya. Sebagai jalan keluar, Indonesia bisa
membuat Peraturan Presiden yang nantinya akan menjadi Hukum tertulis dengan
kedudukan yang lebih kuat agar ada mekanisme yang
tepat untuk penanganan masalah ini. ASEAN pun sebagai lembaga regiona l
harus mampu menghadirkan mekanisme yang bisa
mengamankan kestabilan regionalnya.
4. Elizabeth Collins
Kalnin, Displaced Burmese In
Thailand:Refugee Policies &
Policy Studies Penelitian ini menghasilkan
beberapa rekomendasi penerapan kebijakan bagi beberapa pihak seperti:
Pemerintah Kerajaan Thailand, UNHCR, dan
15
Impact On Access & Rights,
1988-2008.
Otoritas Burma. Rekomendasi tersebut menjawab
kekurangan dari penerapan perlindungan terhadap para pengungsi dari Myanmar
sebelumnya. Rekomendasi-rekomendasi tersebut juga
berfungsi untuk menyadarkan institusi-institusi yang bersentuhan langsung dengan
isu tersebut.
5. Bayu Mitra Adhyatma
Kusuma, Masyarakat
Muslim Thailand dan Dampak Psikologis
Kebijakan Asimilasi Budaya
Penelitian Kualitatif
Deskriptif dengan
munggunakan analisis data model
interaktif Miles dan
Huberman.
Diberlakukannya kebijakan asimilasi budaya merupakan
salah satu konflik psikologi yang digaungkan oleh
pemerintah Thailand yang langsung menjurus kepada masyarakat Muslim Thailand.
Kebijakan ini mengakiba tkan munculnya culture shock
terhadap penganut Muslim di Thailand, hal tersebut terjadi karena secara tidak langsung
pemerintah Thailand membentuk citra umat muslim yang buruk, seperti kelompok
kriminal. Kondisi ini menghadirkan kecurigaan
yang tinggi dari etnis mayoritas Thai.
6. Agustia Rahmah,
Kebijakan Pemerintah Thailand Dalam
Mengatasi Human
Trafficking dan Implikasinya terhadap
Keamanan di Kawasan Asia
Tenggara
Metode
deskriptif dengan konsep-konsep
yang digunakan
berfokus pada definisi kebijakan.
Pemerintah Thailand yang
telah berusaha keluar dari kekangan isu perdagangan manusia menggandeng pihak-
pihak lain seperti INGO, pun negara-negara tetangga yang
memiliki permasalahan yang sama. Tetapi, kebijakan dari pemerintah Thailand dinila i
kurang efektif, menginga t masih banyaknya praktik
perdagangan manusia melalui atau menuju Thailand.
7. Dendy Rizal, Analisa
Kebijakan
Konstruktivis menurut Peter
J. Katzenstein
Penolakan terhadap pengungs i Rohingya menjadi janggal
ketika pengungsi lain yang
16
Penolakan Pengungsi
Rohingya Oleh Pemerintah Thailand
datang dari Myanmar diterima. Adanya pencabutan terhadap
hak-hak UNHCR juga terjadi di dalam praktiknya. Penelitian ini berfokus untuk
mencari arti atau alasan di balik kebijakan dari
pemerintah Thailand tersebut. Faktor budaya dan identitas memainkan peranan vital
dalam pengambilan kebijakan ini, mengingat Rohingya
adalah adalah Muslim dan pengungsi lain yang berhasil masuk dari Myanmar adalah
non-muslim. Selain itu, adanya konflik dengan Muslim
Melayu di selatan Thailand juga menjadi salah satu faktor pemicu kebijakan tersebut.
1.5. Kerangka Teori
1.5.1. Konstruktivisme Menurut Peter J. Katzenstein
Untuk menjelaskan fenomena tentang penolakan pengakuan dari
pemerintah Thailand terhadap pengungsi Rohingya, teori konstruktivis
digunakan sebagai landasannya, karena teori ini menyatakan bahwa
kebijakan negara dipengaruhi faktor-faktor intangible (budaya, kondisi
sosial, dll). Landasan tersebut digunakan karena penolakan terhadap
pengungsi Rohingya sangat erat hubungannya dengan isu agama ataupun
identitas, karena dari semua pengungsi yang masuk ke Thailand, hanya
Rohingya yang tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah.
Sebagai sebuah teori, konstruktivisme berangkat dari pemikiran
dasar bahwa dunia sosial, termasuk hubungan internasional, merupakan
17
konstruksi dari manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Masih menurut
teori ini, dunia sosial bukanlah suatu anugerah yang dimana hukum-
hukumnya dapat ditemukan melalui penelitian ilmiah dan dijelaskan melalui
teori ilmiah yang sebelumnya telah dijelaskan oleh penganut paham
behavioralis dan positivis. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dunia sosial
menurut kaum konstruktivis dibuat atau dibentuk oleh manusia yang terlibat
di dalam kehidupan bermasyarakat pada waktu dan tempat tertentu.15
Kaum konstruktivis mengkritisi kaum positivis dengan sikap yang
menekankan pada peran pemikiran yang merupakan pengetahuan bersama
atas dunia sosial, dimana kaum konstruktivis menegaskan bahwa
pengetahuan bersama ini dianut dan diciptakan oleh negara-negara yang
berada di dalam tatanan tersebut. Alexander Wendt menegaskan dengan
pernyataannya bahwa:
“Struktur sosial memiliki tiga elemen yang terdiri atas pengetahuan bersama, sumber daya material, serta praktik. Struktur sosial tersebut dijelaskan oleh
pemahaman, harapan atau pengetahuan bersama. Hal tersebut menciptakan aktor-aktor dalam suatu situasi dan
sifat hubungan di antara mereka, apakah kooperatif atau konfliktual.16”
Pada dasar pemikiran konstruktivis, tidak ada dunia internasiona l
objektif terpisah dari praktik dan institusi yang diatur oleh negara-negara itu
sendiri. Hal tersebut mengartikan bahwa negara-negara yang ada di dunia
ini membangun hubungan satu dengan yang lain yang mana juga
15 Robert Jackson dan George Sorensen , 2009, Pengantar Studi Hubungan Internasional,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 307. 16 Alexander Wendt , 1992, Anarchy Is What States Makes of It, International Organizations, 46,
hal. 394-419, dikutip dalam Ibid.
18
membangun anarki internasional yang menegaskan hubungan
diantaranya.17
Pernyataan konsturktivis di atas menjelaskan bahwa dunia sosial
politik, termasuk hubungan internasional di dalamnya, merupakan hasil
penciptaan dan pembentukan yang dilakukan oleh masyarakat. Jika dilihat
lebih jauh dan lebih dalam lagi, hal tersebut berarti bahwa pada dasarnya
tidak ada satu pun masyrakat yang berada di luar sistem anarki yang telah
terbentuk sebelumnya. Apa yang ditegaskan oleh kaum konstruktivis
tersebut sekaligus mampu menjelaskan bagaimana posisi etnis Rohingya
yang pada dasarnya tidak memiliki negara atau tidak diakui oleh negara
tersebut tetap menjadi salah satu entitas sosial yang turut hidup di dalam
anarkisme hubungan internasional.
Pada tahap selanjutnya, berangkat dari dasar konstruktivisme di atas,
kerangka teori yang dipakai akan berkembang dengan merujuk pada dasar
teori konstruktivis dari Peter J. Katzenstein yang mengacu bahwa kebijakan
negara dibentuk oleh norma, budaya, dan identitas. Dalam penjelasannya,
Katzenstein menyatakan bahwa sturktur yang ada di tingkat domestik
memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan identitas suatu
negara. Perihal seperti norma ataupun budaya menjadi faktor utama yang
membentuk kepentingan dan perilaku suatu negara. Artinya, apa yang
terjadi di dalam konstruksi norma dan budaya domestik mampu
17 Ibid.
19
mempengaruhi sikap dan perilaku suatu negara di dalam sistem
internasional.18
Dalam teori konstruktivisme ini, norma, identitas, maupun budaya
memiliki definisinya masing-masing, merujuk pada teori yang
dikembangkan oleh Katzenstein. Definisi norma yang dipakai oleh
Katzenstein adalah ekspektasi kolektif tentang perilaku yang tepat untuk
identitas yang diberikan. Sedangkan untuk identitas sendiri, definis inya
adalah: macam-macam ideologi yang berdasarkan pada kebangsaan dan
kenegaraan. Kebangsaan yang dimaksud disini adalah ideologi atau
kekhasan dan tujuan kolektif, contohnya nasionalisme. Sedangkan
kenegaraan adalah variasi kedaerahan di dalam sebuah negara merdeka yang
telah ditetapkan sebelumnya dan diproyeksikan secara internasional. Untuk
budaya, adalah penggabungan dari dua faktor di atas, dimana ada standar
evaluasi yang berasal dari norma dan nilai, serta standar kognitif yang
berupa aturan dan model (identitas).19
Katzenstein menggambarkan bahwa sikap suatu negara dalam
menanggapi suatu isu tidak selalu didasari oleh faktor-faktor tangible
(militer, ekonomi, dan kapabilitas industri), tetapi juga terdapat faktor-
faktor intangible (budaya, kondisi sosial, kepemimpinan dan dukungan
publik) yang memiliki peranan vital dalam pembentukan sikap negara.
18 Katzenstein, J. Peter , 1996, The Culture of National Security: Norms and Identity in World
Politics, New York: Columbia University Press, hal. 9. 19 Ibid.
20
Untuk mempermudah penjelasan, berikut adalah bagan beserta deskripsi
penjelasan dari teori ini:
Untuk menjelaskan bagan teori di atas, di bawah ini adalah deskripsi
dari bagan di atas, dimana nomor menandakan deskripnya:
Efek dari Norma: Budaya atau elemen institusi dari lingkungan negara
atau yang lebih sering berbentuk norma, membentuk kepentingan atau
kebijakan keamanan suatu negara.
Efek dari Norma: Budaya atau elemen institusi dari lingkungan global
ataupun domestik suatu negara (seringnya berbentuk norma), membentuk
identitas suatu negara.
Efek dari Identitas: Variasi atau perubahan identitas suatu negara
mempengaruhi kepentingan atau kebijakan keamanan suatu negara.
Efek dari Identitas: Konfigurasi identitas suatu negara mempengaruhi
stuktur normatif antar-negara, seperti rejim atau komunitas keamanan.
Skema 1.1 Teori Konstruktivis Menurut Katzenstein
21
Pengulangan: Kebijakan negara mereproduksi serta merekonstruks i
struktur budaya dan institusional.20
Bagan dan definisi di atas menjelaskan bagaimana keterkaitan
antara budaya, norma, dan identitas suatu negara dengan sebuah isu yang
sedang dihadapi. Meluasnya dimensi suatu isu dewasa ini mempengaruhi
penggunaan teori tersebut, karena ancaman tidak hanya berasal dari negara
lain, tetapi juga dari pergolakan isu-isu sosial yang terjadi di dalam suatu
negara. Penulis melihat bahwa adanya penolakan terhadap pengungs i
Rohingya oleh pemerintah Thailand merupakan hasil akhir dari adanya
konstruksi sosial tertentu yang menolak adanya pengungsi Rohingya di
dalam negaranya. Konstruksi sosial yang ada terbentuk dari norma, ataupun
identitas yang berlaku di dalam negeri Thailand.
Pengoperasian teori ini dalam mencari alasan atau arti dibalik sikap
suatu negara terhadap isu tertentu dimulai dengan mencari bagaimana
sturktur alasan atau arti yang telah terbuat yang diwujudkan dalam norma
atau identitas, mempu mempengaruhi apa yang dilakukan sebuah negara,
dalam hal ini adalah Thailand. Jika dioperasikan lebih jauh, dalam perihal
norma, Thailand tidak memiliki norma hukum khusus yang mengatur
tentang kebijakan atas pengungsi.21 Thailand tidak meratifikasi konvensi
1951 tentang pengungsi, pun dengan konvensi 1954 tentang status individu
tanpa kewarganegaraan, Thailand mengatur semuanya di dalam Undang-
20 Ibid. 21 Center For Migration Studies, Op.Cit.
22
Undang Imigrasi 1979. Tidak adanya hukum khusus ini juga membuat
negara sebagai aktor pengambil keputusan rentan untuk mengambil
keputusan sporadis dalam isu tertentu, dalam hal ini adalah keputusan untuk
menolak keberadaan pengungsi Rohingya.
Sedangkan jika dilihat dari identitas, dalam hal ini identitas
kebangsaan, Thailand sebagai negara Monarki memegang teguh ajaran
Budha dan menganggap bahwa raja adalah Budha di masa depan. Ideologi
tersebut ditopang oleh sistem tunduk terhadap kerajaan.22 Berbeda dengan
pengungsi Rohingya yang merupakan pemeluk agama Islam yang memilik i
dasar religius yang berbeda. Sedangkan untuk perihal Kenegaraan, konflik
antara pemerintah Thailand dan etnis minoritas di bagian selatan Thailand
yang merupakan etnis Muslim merupakan salah satu indikasi alasan utama
dari penolakan Thailand terhadap pengungsi Rohingya.
Berdasarkan teori di atas, ada faktor-faktor intangible yang menurut
Katzenstein mampu berpengaruh terhadap keputusan suatu negara akan isu
tertentu. Norma dan identitas akan berkembang menjadi budaya dan budaya
tersebut akan menjadi landasan sikap suatu negara. Penjelasan akan budaya
tersebut akan menjadi jawaban dalam pencarian alasan dalam isu penolakan
penungsi Rohingya oleh pemerintah Thailand.
22 Understanding Thailand’s Monarchy Problem | IPI: The Global Observatory, diakses dalam
https://theglobalobservatory.org/2014/11/understanding-thailands-monarchy-problem-2/,
(01/05/18, 14:35 WIB).
23
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Variabel Penelitian dan Tingkat Analisa
Dalam penelitian ini penulis menentukan yang menjadi variabel
dependen atau unit analisa adalah kebijakan pemerintah Thailand kepada
pengungsi Rohingya. Sedangkan sebagai variabel independen atau unit
eksplanasinya adalah penolakan terhadap pengungsi Rohingya.
Di dalam penelitian ini tingkat analisa dari variabel dependen adalah
negara-bangsa, sedangkan untuk variabel independennya adalah kelompok.
Dengan hal ini model level analisa yang bisa dipakai adalah model
reduksionis.23
1.6.2. Metode Penelitian
Penelitian skripsi ini akan menggunakan tipe Eksplanatif karena
penulis akan menjelaskan tentang suatu fenomena yang telah atau sedang
terjadi. Fenomena yang akan penulis jelaskan adalah perihal sikap pemerintah
Thailand yang menolak keberadaan pengungsi Rohingya.
1.6.3. Teknik Analisa Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisa deduktif, dimana penulis
menggunakan teori yang ada untuk menjelaskan suatu fenomena. Menurut
Mochtar Mas’oed di dalam bukunya, strategi deduktif adalah metode dengan
teorisasi terlebih dahulu baru kemudian melakukan penelitian.24 Dengan
23 Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional : disiplin dan metodologi, Jakarta :
LP3ES, hal. 44. 24 Ibid, hal. 223.
24
strategi ini dibutuhkan teori yang relevan dan mampu menjelaskan fenomena
yang terjadi.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data
sekunder atau yang biasa disebut dengan kepustakaan. Data-data yang dipakai
berasal dari sumber yang akurat dan dapat dipercaya kebenarannya seperti
buku, jurnal, tesis, skripsi, laporan, artikel investigasi dan artikel ilmiah.
1.6.5. Ruang Lingkup Penelitian
1.6.5.1. Batasan Waktu
Batasan waktu dari penelitian ini akan penulis atur mulai
dari tahun 2013 hingga 2017, penulis memilih tahun 2013 sebagai
tahun awal dari penelitian ini karena tahun tersebut adalah awal dari
eksodus besar-besaran pengungsi rohingya untuk keluar dari
Myanmar dan memasuki negara lain, salah satunya Thailand.
Sedangkan tahun 2017 dipilih sebagai akhir batasan waktu
dikarenakan ketersediaan data-data berupa laporan yang terbatas
hanya sampai akhir tahun 2017.
1.6.5.2. Batasan Materi
Untuk batasan materi di dalam penelitian ini, penulis akan
membatasi pada bagaimana respon pemerintah Thailand terhadap
pengungsi Rohingya yang masuk ke negaranya.
25
1.7. Argumen Dasar
Melalui analisis teori Katzenstein bahwa sikap dan kebijakan suatau negara
terhadap suatu fenomena atau isu dipengaruhi oleh identitas tertentu. Identitas yang
berlaku sendiri merupakan hasil bentukan dari isu-isu domestik yang membentuk
kebijakan penolakan dari pemerintah Thailand. Untuk faktor identitas sendiri,
etnisitas menjadi dasarnya, dimana isu etnis tersebut terpupuk berkat adanya
perbadaan budaya, dalam hal ini adalah agama. Identitas agama sendiri terlihat
menjadi alasan politik, mengingat pengungsi-pengungsi lain yang berbeda
keyakinan dengan Rohingya mampu diterima oleh Thailand. Adanya konflik
dengan etnis Muslim Thailand di bagian selatan adalah salah satu bentuk konflik
antar etnis yang masih berjalan di Thailand dan konflik tersebut juga merupakan
cerminan dari perbedaan budaya (agama) yang ada di Thailand. Kondisi tersebut
secara langsung maupun tidak mampu mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh
pemerintah Thailand untuk pengungsi Rohingya, mengingat etnis Rohingya juga
merupakan etnis yang beragama Islam. Menyeruaknya Islamophobia juga
dimanfaatkan untuk menjadi alasan dibalik penolakan terhadap orang-orang
Rohingya.
1. 8. Struktur Penelitian
Uraian sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan menguraikan penjelasan-penjelasan mengenar i
latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelit ian
26
terdahulu, kerangka teori yang menjelaskan teori Konstruktivis dari Peter J.
Katzenstein, metodologi penelitian, dan yang terakhir adalah argumen dasar.
BAB II GAMBARAN UMUM KONFLIK ROHINGYA DAN
KONDISINYA DI THAILAND
Pada bab ini, akan diurai gambaran umum tentang konflik Rohingya,
masuknya etnis Rohingya ke Thailand, kebijakan pemerintah Thailand
terhadap pengungsi Rohingya, serta dampak kebijakan penolakan pengungs i
Rohingya oleh pemerintah Thailand.
BAB III IDENTITAS SEBAGAI ALASAN PENOLAKAN
PENGUNGSI ROHINGYA OLEH PEMERINTAH
THAILAND
Pada bab ketiga ini, akan diurai jawaban atas rumusan masalah yang
mencakup proses terbentuknya politik identitas dalam pemerintah Thailand
dan juga bagaimana identitas- identitas seperti pemberontak Thailand Selatan
dan juga Islamophobia mempengaruhi kebijakan dari pemerintah Thailand.
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini memuat kesimpulan dari keseluruhan isi penelitian dan
juga saran serta masukan bagi penelitian selanjutnya dalam topik yang sama.