BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya
Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah
kekurangan lahan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan
lahan. Lahan yang semula dipergunakan untuk sawah, karena kekurangan lahan
untuk permukiman, maka lahan sawah tersebut di alih fungsikan menjadi lahan
permukiman. Pengalih fungsian lahan tersebut akan secara otomatis mengurangi
luasan lahan pertanian, sehingga terjadi pembukaan lahan hutan menjadi lahan
pertanian.
Pengalih fungsian lahan hutan menjadi lahan pertanian tanpa disadari
memiliki peranan yang besar terhadap rusaknya kestabilan ekosistem di dalam
Daerah Aliran Sungai. Contoh nyata yang saat ini sering terjadi adalah banjir dan
kekeringan. Banyak daerah aliran sungai yang sejak dulu tidak pernah banjir namun
saat ini sering banjir dan saat kemarau kekeringan. Salah satu penyebab hal tersebut
adalah alih fungsi lahan bervegetasi.
Dari pemaparan diatas, kita dapat memahami bahwa vegetasi memiliki
peran penting untuk menjaga kestabilan DAS. Sehingga perlu dilakukan suatu
kajian penghitungan luasan vegetasi yang ada saat ini pada suatu sistem DAS.
Selain itu perlu juga diketahui berapakah luasan vegetasi yang dibutuhkan agar
tidak terjadi banjir, dengan suatu pemodelan.
1.2. Perumusan Masalah
Keberadaan vegetasi sangat penting untuk menjaga kesetabilan sistem DAS.
Sehingga perlu dilakukan suatu kajian penghitungan luasan vegetasi pada suatu
sistem DAS. Selain itu perlu juga diketahui berapakah luasan vegetasi yang
dibutuhkan agar tidak terjadi banjir, dengan suatu pemodelan. Dalam penelitian ini
2
diilih DAS Garang sebagai lokasi penelitian, oleh karena permasalahan diatas
terdapat pada DAS Garang.
Pertanyaan penelitian yang dapat disusun dalam perumusan masalah adalah
sebagai berikut :
1. Berapakah luasan per kerapatan vegetasi existing di DAS Garang?
2. Berapakah luasan vegetasi yang dibutuhkan pada DAS Garang agar tidak
terjadi banjir?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pemanfaatan Citra
Penginderaan Jauh Multi Sensor dan Multi Resolusi untuk Pemodelan Luas
Vegetasi Berbasis Nilai Koefisien Aliran”
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui luasan per kerapatan vegetasi existing di DAS Garang dengan
menggunakan transformasi indeks vegetasi.
2. Mengetahui luasan vegetasi dengan kerapatan yang dibutuhkan pada DAS
Garang agar tidak banjir dengan cara memodelkan luas vegetasi.
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Dapat digunakan untuk pengembangan teknik penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis dalam aplikasinya untuk studi hidrologi pada daerah aliran
sungai.
2. Memberikan kontribusi bagi pengembangan penginderaan jauh dan system
informasi geografi terutama dalam studi banjir pada daerah aliran sungai.
3. Memberikan informasi kepada pengambil keputusan dalam hal ini pemerintah
sebagai bahan pertimbangan dalam memanajemen daerah aliran sungai sehingga
permasalahan banjir dapat diatasi.
3
1.5. Telaah Pustaka
1.5.1. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisa data yang diperoleh
dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung terhadap objek atau gejala yang
dikaji. (Lillesand et al, 2004). Dengan adanya sistem penginderaan jauh, yang
memiliki komponen berupa sumber tenaga (energi), perjalanan energi melalui
atmosfer, interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, sensor dari
wahana, serta hasil pembentukan data, dapat membantu dalam pengumpulan
informasi yang lebih efisien, terutama dalam hal waktu dan tenaga.
Pada dasarnya objek di permukaan bumi dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok besar, yaitu tanah, air, dan vegetasi. Ketiga objek tersebut secara alami
memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga akan menghasilkan
karakteristik pantulan tertentu jika direkam dengan panjang gelombang tertentu
pula. Hal tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan citra
penginderaan jauh yang digunakan dan dasar dalam interpretasi objek. Unsur dalam
pengenalan atau interpretasi citra menurut Lillesand et al tahun 2004 meliputi rona
atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi.
1.5.2. Citra ALOS
Satelit ALOS (Advance Land Observing Satellite) diluncurkan pada tanggal
24 Januari 2006 dengan pesawat peluncur roket H-IIA, dari lokasi peluncuran
Tanegashima Space Center Jepang. Satelit ini memiliki 5 misi utama, yaitu untuk
kepentingan kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, untuk
melakukan penelitian sumberdaya alam, dan untuk mengembangkan teknologi
yang dibutuhkan untuk satelit – satelit pengamatan bumi pada masa depan. Satelit
ALOS bergerak pada orbit sinkron matahari pada ketinggian 691,65 km pada
ekuator, inklinasi 98,160 dengan siklus pengulangan orbit selama 46 hari dengan
sub-cycle selama 2 hari. Satelit ini dirancang untuk tetap mengorbit dalam kurun 3-
5 tahun. Satelit Alos dilengkapi dengan 3 sensor yang terdiri dari 2 sensor optik
4
yaitu sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2)
dan sensor PIRSM (Panchromatic Instrument Remote Sensing for Stereo Mapping)
serta satu sensor radar, yaitu sensor PALSAR (Phased Array type L-band Syntetic
Aperture Radar).
Tabel 1.1 Spesifikasi Sensor AVNIR-2
Sumber: http://citrasatelit.wordpress.com/jual-citra-satelit/alos/ (diakses:
Senin, 7 Oktober 2013)
AVNIR-2 merupakan sensor optik yang terdiri 4 saluran, yaitu saluran
tampak dan inframerah dekat. Tujuan dari AVNIR-2 adalah untuk pemetaan
penutup lahan, pemantauan bencana, dan pemantauan lingkungan regional. Sensor
AVNIR-2 ini menghasilkan citra dengan resolusi spasial 10 meter dan lebar liputan
satuan citra 70 km. Dengan kemampuan side looking dan kemampuan untuk
melakukan pandangan menyilang jejak satelit (± 440) dari nadir, pengamatan daerah
– daerah bencana dapat dilakukan dalam pengulangan waktu 2 hari, dengan lebar
liputan citra sebesar 1500 km.
5
Gambar 1.1 Sensor AVNIR-2
Sumber: https://directory.eoportal.org/web/eoportal/satellite-missions/a/alos
(diakses: Senin, 7 Oktober 2013)
1.5.3. Transformasi Indeks Vegetasi
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan kombinasi
antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. NDVI mampu
menonjolkan aspek kerapatan vegetasi. (Danoedoro,1996). Saluran yang digunakan
pada transformasi ini adalah saluran merah dan inframerah. Kedua saluran ini
dipilih karena memiliki kepekaan yang berbeda terhadap vegetasi. Klorofil a dan b
yang merupakan pigmen penting dari tanaman menyerap cahaya biru dan merah.
Klorofil a pada panjang gelombang 0,43 dan 0,66 μm dan klorofil b pada panjang
gelombang 0,45 dan 0,65 μm. (Farabee, 1997 dalam Jensen, 2005). Hal tersebut
mengakibatkan pada band merah nilai reflectance vegetasi sangat rendah. Berbeda
dengan band merah, pada band inframerah dekat nilai pantulan vegetasi sehat
meningkat tajam. Menurut Jensen (2005), sepanjang julat inframerah dekat ini (0,7
– 1,2 μm) cahaya matahari yang diterima oleh tanaman mengandung sebagian besar
energi matahari. Jika tanaman menyerap energi tersebut seperti pada panjang
gelombang tampak maka tanaman akan terlalu panas sehingga protein yang ada di
dalamnya akan rusak. Pada panjang gelombang ini terjadi pantulan yang tinggi
6
(40% - 60%), transmisi juga tinggi (40% - 60%), serta penyerapan yang rendah (5%
- 10%). Dengan perbedaan respon vegetasi pada kedua panjang gelombang tersebut
maka Rouse et al (1974) dalam Jensen (2005) mengembangkan formula :
NDVI= ..........................(1.1)
Hasil dari formula tersebut berkisar antara –1 sampai +1. Nilai –1
mengindikasikan bahwa pada saluran merah memiliki nilai pantulan maksimum
dan pada saluran inframerah dekat memiliki pantulan minimum. Hal ini
menunjukkan daerah nonvegetasi. Begitupun sebaliknya, nilai +1 menunjukkan
terjadi pantulan maksimum pada saluran inframerah dekat dan pantulan minimum
pada saluran merah, sehingga menunjukkan area bervegetasi dengan kerapatan
tinggi.
1.5.4. Koefisien Aliran
Suripin (2003) menyebutkan bahwa pengaruh tata guna lahan pada aliran
permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran (C), yaitu bilangan yang
menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah
hujan. Nilai koefisien C ini berkisar antara 0–1. Nilai 0 menunjukkan bahwa air
hujan yang turun terinfiltrasi sempurna ke dalam tanah, sedangkan nilai 1
menunjukkan bahwa seluruh air hujan mengalir di permukaan karena tidak dapat
terinfiltrasi ke dalam tanah.
Seyhan (1993) menyajikan batasan C yang tetap konstan untuk berbagai
frekuensi pada suatu DAS tertentu, yaitu :
C = ......... (1.2)
Koefisien aliran tersebut akan mempengaruhi dalam pendugaan besarnya
debit puncak, yang merupakan komponen penting dalam rancang bangun
pengendalian air permukaan. Selain perlu juga diketahui tentang waktu tercapainya
debit puncak, volume, dan penyebaran air permukaan. Asdak (2007) menyebutkan
ahsaluranmeratramerahdeksaluraninf
ahsaluranmeratramerahdeksaluraninf
sama yang frekuensiuntuk rata-ratahujan curah intensitas
tertentufrekuensisuatu untuk limpasan laju
7
bahwa air permukaan tersebut akan terjadi setelah air hujan memenuhi keperluan
untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan berbagai bentuk cekungan tanah (surface
detention) dan bentuk penampung lainnya. 12 Salah satu metode dalam penentuan
debit puncak adalah metode rasional dari U.S. Soil Conservation Service (Seyhan,
1993).
Q = 0,0028 C I A ………………………………….. (1.3)
Dengan :
Q = debit puncak (m3/detik)
C = koefisien aliran
I = intensitas hujan (mm/jam)
A = luas DAS (ha)
Metode tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa setiap bagian dari subdas
akan memberikan kontribusi. Hal tersebut dapat dicapai jika lama hujan yang turun
sama dengan waktu konsentrasi, yaitu waktu air akan mencapai outlet DAS dari
titik terjauh dari outlet tersebut.
1.5.5. Sistem Informasi Geografi
SIG adalah suatu sistem berbasis komputer yang memberikan empat
kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan,
pengelolaan atau manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali),
manipulasi dan analisis, serta keluaran (Aronoff ,1989 dalam Projo,1996). Saat ini
SIG telah berkembang dengan berbagai aplikasi yang lebih canggih, didukung oleh
software, hardware, serta sumberdaya manusia yang lebih maju seiring dengan
perkembangan teknologi.
Sistem informasi geografis banyak dimanfaatkan dalam berbagai disiplin
ilmu. Dengan fasilitas yang digunakan, terutama penggunaan teknologi berbagai
macam software maka pekerjaan para ilmuan untuk merepresentasikan fenomena
alami maupun buatan yang ada di dunia nyata dapat dilakukan dengan mudah.
8
Fenomena dunia nyata sendiri, sebagai input dalam SIG, dapat direpresentasikan
dalam empat macam, yaitu (de By, 2000) :
1. Modelling
Model merupakan penyederhanaan dari objek maupun proses dalam
dunia nyata. Keuntungan dari penggunaan model ini adalah dapat dilakukan
berbagai skenario untuk merepresentasikan fenomena dunia nyata. Data yang
menjadi masukan dalam model tersebut dapat diubah, kemudian dapat diketahui
bagaimana perbedaan yang terjadi akibat dari hal tersebut.
2. Peta
Board (1990) dalam Martha et al (2007) mendifinisikan peta sebagai
penyajian atau abstraksi kenyataan geografik, suatu alat untuk menyajikan
informasi geografi dengan cara visual, digital, atau nyata.
3. Basis Data
Basis data merupakan tempat penyimpanan (repository) yang dapat
digunakan untuk menyimpan data dalam jumlah yang besar.
4. Basis Data Spasial
Basis data spasial merupakan tipe dari basis data yang lebih spesifik.
Asumsi dari desain basis data spasial ini adalah fenomena spasial berada pada
dua atau tiga dimensi euclidean space. Euclidean space dapat didefinisikan
sebagai model spasial dimana lokasinya direpresentasikan dalam koordinat (x,
y) dalam 2 dimensi, dan (x, y, z) dalam 3 dimensi. Dugaan seperti jarak dan arah
juga didefinisikan dengan berbagai formula.
1.5.6. Model Elevasi Digital
DEM merupakan susunan angka-angka yang memberikan informasi
ketinggian (elevasi) di permukaan bumi dalam format digital. DEM terdiri dari 2
informasi, yaitu: data ketinggian dan data posisi koordinat dari ketingian tersebut
di permukaan bumi. Struktur dari DEM dapat berupa (Meijerink et al, 1994) :
1. Model Garis
9
Model garis dalam DEM direpresentasikan dalam garis kontur, yang kemudian
disimpan sebagai Digital Lines Graphs (DLGs). DLGs tersebut didapat dari
digitasi garis kontur dari peta topografi.
2. Triangulated Irregular Network (TIN)
Model TIN merepresentasikan permukaan bumi menjadi bentuk-bentuk segitiga
yang saling berhubungan. Setiap segitiga (triangular facet) didapatkan dari 3 titik
referensi. Titik-titik tersebut sebaiknya diambil berdasarkan konfigurasi
permukaannya. Daerah dengan topografi yang lebih bervariasi memerlukan titik
referensi yang lebih banyak daripada daerah yang datar.
3. Struktur Grid
Struktur grid ini digunakan dalam SIG berbasis raster. Ukuran dari grid tersebut
harus disesuaikan dengan bagian dari permukaan bumi dengan nilai
heterogenitas yang tertinggi, misalnya pada daerah lembah yang curam. Hal
tersebut dikarenakan adanya kemungkinan terjadinya nilai piksel yang
tercampur.
1.6. Penelitian Sebelumnya
Penggunaan metode rasional untuk perhitungan debit puncak dalam hal
penanggulangan banjir telah banyak dilakukan. Metode rasional dipilih karena
metode tersebut tergolong sederhana, dengan menggunakan variabel koefisien
aliran, nilai intensitas hujan dan luas DAS. Salah satu penenlitian penanggulangan
banjir yang menggunakan metode rasional adalah penelitian yang dilakukan oleh
Dian Risa Sukesti (2010). Penelitian tersebut menggunakan metode rasional untuk
perhitungan debit rencana. Citra penginderaan jauh yang dipergunakan dalam
penelitian tersebut adalah citra Aster VNIR dan Citra Quickbird. Citra Aster VNIR
dipergunakan untuk transformasi Indeks Vegetasi NDVI, sedangkan citra quickbird
dipergunakan untuk pengukuran area kedap air dengan bantuan grid NDVI yang
kemudian menghasilkan nilai koefisien Aliran. Nilai intensitas hujan maksimum
diperoleh dengan menggunakan metode Gumbel dan rumus Mononobe. Nilai debit
rencana hasil perhitungan menggunakan metode rasional terbagi menjadi dua, yaitu
10
kurang dari debit maksimum eksisting dan lebih dari debit maksimum eksisting.
Nilai debit rencana yang lebih dari debit maksimum eksisting merupakan daerah
berpotensi tergenang.
Hendro Wibowo (2008) melakukan penelitian tentang transformasi NDVI
untuk estimasi nilai koefisien aliran. Citra penginderaan jauh yang dipergunakan
adalah citra Landsat ETM+. Metode yang digunakan adalah mengkaji hubungan
nilai NDVI dengan presentase tutupan permukaan kedap air melalui analisis regresi
dari data sampel terukur dengan bantuan citra Quickbird. Evaluasi dilakukan
menggunakan data pengukuran dan data perhitungan.
Mutia Mirza (2005) melakukan penelitian untuk estimasi nilai koefisien
aliran dengan membandingkan kerapatan vegetasi dan nilai NDVI di beberapa sub-
DAS. Citra yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat ETM pada
dua waktu perekaman yang berbeda, yaitu citra Landsat ETM perekaman tahun
1994 dan tahun 2001. Diperlukan analisis regresi untuk mengkuantifikasi nilai
kerapatan vegetasi, kemudian nilai tersebut ditransformasi menjadi nilai estimasi
koefisien aliran. Akurasi nilai estimasi koefisien aliran diperoleh dengan
membandingkan dengan nilai koefisien aliran hasil perhitungan menggunakan data
sekunder. Hasilnya terdapat selisih yang tidak begitu besar antara nilai estimasi
koefisien aliran dan nilai koefisien aliran hasil perhitungan data sekunder. Hal
tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kerapatan vegetasi dan nilai NDVI
dapat dipergunakan untuk menentukan estimasi nilai koefisien aliran.
Penelitian – penelitian yang telah disebutkan di atas kemudian dijadikan
pijakan oleh penulis untuk melakukan penelitian ini. Perbedaan dengan penelitian
sebelumnya adalah dalam jenis citra dan daerah kajian. Pada penelitian ini penulis
menggunakan citra ALOS AVNIR-2 untuk melakukan estimasi nilai koefisien
aliran, melalui transformasi NDVI. Distribusi gumbel dan rumus Mononobe
digunakan untuk menghitung intensitas hujan maksimum. Metode rasional
kemudian digunakan untuk menghitung debit rencana. Debit rencana yang melebihi
debit maksimum eksisting merupakan daerah dengan potensi genangan.
11
Table 1.2 Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Penulis
No. Peneliti Tahun Judul Lokasi Data Yang
Digunakan Metode Hasil
1 Mutia
Mirza
2005 Hubungan
Kerapatan Vegetasi
dan NDVI Dalam
Kaitannya Dengan
Estimasi Nilai
Koefisien Aliran
Beberapa
Sub-DAS
Kampar
Bagian
Hulu
Citra Landsat
ETM
Transformasi NDVI,
menentukan hubungan
dengan kerapatan tajuk,
Estimasi koefisian aliran
harian, Menentukan nilai
koefisien aliran dengan kerja
lapangan, evaluasi.
Persamaan regresi antara nilai
NDVI dengan kerapatan
vegetasi. Nilai koefisien aliran
harian pada beberapa sub-DAS.
Peta distribusi koefisien aliran
harian pada beberapa sub-DAS
2 Hendro
Wibowo
2008 Transformasi NDVI
Untuk Estimasi
Koefisien Aliran
DAS
Citarum
hulu
Citra Landsat
TM, ETM+
dan Quickbird
Transformasi NDVI,
interpretasi visual, kerja
lapangan, analisis regresi,
estimasi nilai koefisien aliran,
evaluasi
Persamaan regresi antara nilai
NDVI dengan persentase
tutupan permukaan kedap air.
Penerapan hubungan antara nilai
NDVI dengan persentase
permukaan kedap air dan
kerapatan vegetasi untuk
estimasi nilai koefisien aliran
DAS. Evaluasi menggunakan
data pengukuran dan data
perhitungan
12
3 Dian
Risa
Sukesti
2010 Permodelan Daerah
Genangan dengan
Teknik
Penginderaan Jauh
dan Sistem
Informasi Geografis
Kota
Surakarta
Citra ASTER,
Citra
QUICKBIRD,
Kontur Detail
Kota
Surakarta
Transformasi NDVI, estimasi
koefisien aliran, distribusi
Gumbel dan rumus
Mononobe, metode rasional,
modeling area genangan
dengan DEM
Transformasi NDVI dari citra
ASTER dapat digunkan untuk
estimasi nilai koefisien aliran.
Metode rasional digunakan
untuk menghitung debit rencana
untuk periode ulang 2, 5, 10, 25,
dan 50 tahun. Daerah yang
memiliki debit rencana lebih
dari debit maksimum eksisting
akan berpotensi menyebabkan
genangan di sekitarnya.
4 Yudo
Pramono
2013 Pemanfaatan Citra
Penginderaan Jauh
Multi Sensor dan
Multi Resolusi
untuk Pemodelan
Luas Vegetasi
Berbasis Nilai
Koefisien Aliran
DAS
Garang
Citra ALOS Transformasi indeks vegetasi
(NDVI), Membuat peta
arahan penggunaan lahan,
Mencari hubungan antara
kerapatan vegetasi dengan
debit sungai existing,
Memvariasikan luas vegetasi,
Memvisualisasikan daerah
yang banjir berdasarkan
simulasi luas vegetasi.
Peta luasan vegetasi existing di
DAS Bogowonto. Model daerah
terdampak banjir dari simulasi
luas vegetasi.
13
1.7. Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya
Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah
kekurangan lahan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan
lahan, dari lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun. Lahan terbangun merupakan
kawasan kedap air, sehingga daya infiltrasi tanah maupun akar tanaman akan turun,
dan aliran permukaan akan meningkat. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan
berdampak meningkatnya aliran permukaan.
Aliran permukaan sangat dipengaruhi oleh koefisien aliran (C), yaitu nisbah
antara air hujan dengan aliran permukaan. Jika intensitas hujan yang turun tinggi,
dan nilai koefisien yang tinggi pula, maka jumlah aliran permukaan akan tinggi.
Berbagai metode telah dikembangkan untuk mencari nilai C. Salah satunya dengan
berdasar pada vegetasi. Semakin rendah kerapatan dan luas vegetasi, maka infiltrasi
air oleh tanah akan berkurang. Hal ini mengakibatkan aliran permukaan menjadi
lebih tinggi.
Luas dan kerapatan vegetasi dapat diidentifikasi langsung di lapangan,
maupun interpretasi pada citra penginderaan jauh. Akan tetapi dengan daerah yang
cukup luas, hal tersebut akan memerlukan waktu yang lama. Dengan meningkatnya
pemanfaatan penginderaan jauh, maka berkembang pula teknik manipulasi atau
transformasi citra penginderaan jauh untuk berbagai tujuan. Salah satunya adalah
transformasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Transformasi NDVI
dapat menggambarkan luas dan kerapatan vegetasi. Pada penelitian ini digunakan
citra ALOS AVNIR - 2 untuk transformasi NDVI dengan ukuran tiap piksel 10m x
10m.
Hasil dari transformasi NDVI kemudian dapat digunakan untuk menghitung
nilai kerapatan vegetasi tiap piksel, dengan analisis regresi. Perhitungan kerapatan
vegetasi dilakukan dengan pengambilan sampel. Nilai kerapatan vegetasi tersebut
kemudian diubah menajdi nilai koefisien aliran. Nilai koefisien aliran tersebut
merupakan nilai persentase jumlah aliran permukaan untuk setiap piksel.
14
Metode rasional kemudian digunakan untuk menghitung debit rencana.
Metode ini menggunakan parameter koefisien aliran yang telah dihitung
sebelumnya serta intensitas hujan dan luas DAS. Intensitas hujan dapat dihitung
dengan rumus Mononobe. Debit hasil perhitungan dibandingkan dengan debit
sungai pada saat terjadi banjir. Jika debit hasil perhitungan melebihi debit saat
banjir, maka vegetasi pada DAS Garang perlu ditambah. Untuk itu perlu diketahui
luas dan kerapatan minimal pada DAS Garang agar tidak banjir dengan cara
menambahkan luas vegetasi pada daerah yang telah dipilih. Pemilihan daerah yang
dapat ditambah vegetasi, yaitu dengan menggunakan peta arahan penggunaan
lahan. Peta arahan penggunaan lahan, diperoleh dengan melakukan tumapang susun
peta tanah, peta hujan dan peta lereng.