BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Salah satu isu penting kota-kota besar di dunia saat ini adalah
perembetan daerah kekotaan ke arah pinggiran (urban sprawl). Perembetan
daerah kekotaan (urban sprawl) adalah proses merembetnya kenampakan
kekotaan (kenampakan morfologis dan kepadatan penduduk) daerah di luar
wilayah kota yang terjadi secara tidak terkontrol (Kitchin and Thrift, 2009).
Perembetan daerah kekotaan merupakan bagian dari proses perkembangan kota
(urban development), yaitu proses kemunculan dominasi kota-kota dan nilai-nilai
kekotaan (urban values) di seluruh dunia (Clark, 1982). Perembetan daerah
kekotaan juga merupakan bagian dari pertumbuhan kota (urban growth), yaitu
proses demografis dan spasial yang merujuk pada peningkatan pentingnya kota-
kota sebagai tempat terkonsentrasinya penduduk terkait dengan kondisi sosial
ekonomi (Clark, 1982). Perembetan daerah kekotaan memiliki kemiripan proses
dengan pemekaran kota, tetapi pemekaran dalam konteks fisik (morfologi) kota.
Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan
batas-batas administrasi kota atau pertambahan luas kota secara administratif.
Secara fisikal proses perembetan daerah kekotaan secara spasial terjadi
pada intensitas yang beragam di masing-masing kota, tetapi dampak keruangan
yang muncul sebagai akibat dari proses tersebut hampir sama yaitu terjadinya
pendesakan maupun konversi lahan kedesaan di pinggiran kota. Untuk
memudahkan pemahaman tentang latar belakang penelitian ini maka penulis
membagi sub bab latar belakang penelitian yang merupakan bagian awal dari
Bab I ini ke dalam sub-sub bab latar belakang material dan latar belakang formal.
2
Latar belakang material menjelaskan tentang obyek kajian penelitian, sedangkan
latar belakang formal menjelaskan tentang posisi akademis dan landasan
filosofis penelitian ini.
1.1.1. Latar Belakang Material
Laju perpindahan penduduk dari desa ke kota yang terjadi sebagai
dampak industrialisasi mengakibatkan jumlah penduduk daerah perkotaan
meningkat drastis. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan menyebabkan
kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan tempat berusaha juga meningkat,
sementara secara administratif luas lahan kota relatif tetap (Yunus, 2006; 2008).
Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah terjadinya invasi pemanfaatan lahan
kekotaan pada lahan agraris (di antaranya sawah, tegalan, kebun campuran,
perkebunan, dan hutan) di sekitar kota. Proses invasi ini bila berlanjut akan
menyebabkan semakin meluasnya daerah urban ke perdesaan yang dikenal
dengan istilah perembetan daerah kekotaan.
Perkembangan ruang fisik kekotaan melampaui batas administrasi kota
menimbulkan dampak konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan
terbangun, menurunnya produksi pertanian, pemborosan energi, peningkatan
polusi, dan problematika sosial di daerah pinggiran kota (Paterson, et al.; 2003).
Konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun terjadi karena daya
beli sektor perkotaan terhadap lahan lebih tinggi daripada sektor pertanian. Di
sisi lain, marginalisasi petani dan sektor pertanian dalam pembangunan
memberikan dampak kurang atraktifnya pekerjaan sektor pertanian bagi
penduduk. Dampak dari dua fenomena tersebut adalah menurunnya produksi
pertanian karena luas lahan pertanian berkurang dan kualitas sumberdaya
3
manusia pada sektor pertanian cenderung semakin menurun (Kahn, 2000; Hess,
2001), dan fenomena ini lebih besar dampak negatifnya pada negara-negara
sedang berkembang yang masih mengandalkan sektor pertanian dalam ekonomi
nasional.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi di perkotaan negara-negara sedang
berkembang, baik karena pertumbuhan alamiah maupun migrasi, mengakibatkan
tekanan penduduk terhadap lahan di perkotaan menjadi sangat tinggi.
Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah terjadinya aliran penduduk maupun
fungsi kekotaan dari bagian dalam kota menuju pinggiran kota yang masih
memungkinkan tersedianya lahan yang mudah dan murah diperoleh (Yunus,
2000). Aliran penduduk ini semakin meningkat sejalan dengan semakin
membaiknya sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan pusat dan
pinggiran kota.
Perpindahan penduduk dari pusat kota ke arah pinggiran kota membawa
konsekuensi bertambahnya tingkat penggunaan energi (terutama Bahan Bakar
Minyak/BBM) karena semakin banyaknya pemanfaatan moda transportasi
pribadi. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil
pribadi) yang signifikan telah membawa dampak negatif berupa meningkatnya
tingkat polusi, terutama polusi udara (Freeman, 2001; Kahn, 2000; Duncan,
1989; Burchell and Shad, 1999; Frank, 1989). Tingginya polusi udara ini semakin
terasa pada pusat kota maupun selaput inti kota, karena semakin meningkatnya
kecenderungan kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas di pusat kota dan
selaput inti kota tidak hanya berdampak kepada polusi udara, tetapi juga
pemborosan waktu.
4
Secara sosial, para pendatang di daerah pinggiran kota telah
menimbulkan berbagai problem sosial pada tempat tinggalnya yang baru karena
adanya kecenderungan kesenjangan sosial ekonomi dengan penduduk asli
(Lackey, et al., 1987; Leyden, 2003; Putnam, 2000; Schweitzer, et al., 1999).
Budaya modern kekotaan yang melekat pada penduduk pendatang seringkali
tidak selaras dengan masih kuatnya budaya tradisional penduduk asli
(Surjomihardjo, 2008). Demikian juga dengan strata ekonomi penduduk
pendatang yang relatif lebih tinggi dari penduduk asli telah menyebabkan
kecemburuan sosial (Yunus, 2005d; Squires, 2002). Kriminalitas yang terjadi di
daerah pinggiran kota merupakan fenomena yang umum terjadi pada kota-kota
besar di negara sedang berkembang.
Maraknya perembetan daerah kekotaan ke arah pinggiran menyebabkan
peran inti kota (inner city) cenderung menurun karena investasi dan sumberdaya
manusia lebih banyak mengalir ke daerah pinggiran (Downs, 1998; Frank, 2000).
Penurunan peran inti kota menjadikan tidak optimumnya (inefisiensi) ruang. Hal
ini sangat kontradiktif dengan maraknya fenomena konversi lahan agraris
menjadi lahan terbangun (built up areas) di daerah pinggiran kota. Beberapa kota
di Eropa dan Amerika telah mengalami kondisi ini, dimana pusat kota hanya
ramai, bahkan cenderung macet pada siang hari, tetapi pada malam hari seperti
kota mati (Katz, et al., 2003; Squires, 2002).
Proses pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada umumnya meniru atau
mengadopsi kota-kota di negara maju seperti kota-kota di Eropa dan Amerika
Serikat. Dengan melihat fenomena yang terjadi pada kota-kota di Eropa dan
Amerika, perencanaan kota di Indonesia sudah sepantasnya mulai
mengantisipasi dilema perembetan daerah kekotaan yang kemungkinan besar
5
akan terjadi juga di kota-kota di Indonesia. Hal ini penting mengingat konversi
lahan pertanian subur menjadi daerah terbangun sangat mudah dilakukan dan
tidak memerlukan waktu lama, sedangkan mengubah lahan terbangun menjadi
daerah pertanian subur sulit dilakukan dan memerlukan waktu lama.
Beberapa fakta empiris yang pernah diteliti diantaranya menurut laporan
Natural Resource Defense Council tahun 2002, di Amerika Serikat antara tahun
1960 hingga 1990 telah muncul lahan terbangun seluas lebih dari dua kali lipat
akibat proses perembetan kota metropolitan, sementara penduduknya hanya
bertambah kurang dari setengahnya (Benfield, et al., 1999; Paterson, et al.,
2003). Kushner, 2006, menyajikan fakta bahwa di Atlanta antara tahun 1975
sampai 1992 telah berkurang 1.540 kilometer persegi lahan bervegetasi menjadi
lahan terbangun sebagai dampak perembetan daerah kekotaan. Atlanta
merupakan kota dengan penduduk paling jarang di antara kota-kota lain di
Amerika (hanya seperempat dari kepadatan kota Los Angeles).
Sierra Club (1999) merilis data bahwa Atlanta merupakan kota sprawl
nomer satu di Amerika, dimana antara tahun 1990-1996 telah bertambah luas
sekitar 47%. Perhitungan kasarnya menunjukkan bahwa 5% lahan pertanian dan
hutan di Atlanta hilang setiap minggunya. Sementara itu, di Richmond antara
tahun 1992 sampai 2001 telah terkonversi menjadi lahan kekotaan seluas kurang
lebih 187 kilometer persegi, padahal jumlah penduduknya justru berkurang
sebanyak 5.266 jiwa. US Census Bureau (2000) merilis bahwa selama 5 tahun
antara 1992-1997, negara bagian Texas, Pennsylvania, dan Georgia mengalami
konversi lahan pertanian menjadi lahan kekotaan sebagai akibat dari perembetan
daerah kekotaan masing-masing seluas lebih dari 4.000 kilometer persegi.
6
Bagi negara yang mengandalkan industri sebagai basis perekonomian
nasional seperti Amerika Serikat saja hal itu sangat merisaukan, apalagi bagi
negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Departemen Pertanian Amerika
Serikat merasa perlu untuk memerangi perembetan daerah kekotaan karena
berdampak sangat signifikan terhadap produksi dan produktivitas pertanian
(Paterson, et al., 2003). Untuk menjawab permasalahan tersebut, di Amerika
Serikat maupun Eropa cukup banyak dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor,
proses, maupun dampak yang ditimbulkan oleh fenomena perembetan daerah
kekotaan.
Pada kasus di Indonesia, beberapa penelitian juga telah dilakukan terkait
dengan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. Astuti dan
kawan-kawan melakukan penelitian identifikasi urban sprawl di Kecamatan
Cimanggis, Kota Depok, menghasilkan gambaran tentang pertambahan luas
lahan terbangun dari tahun 1983 seluas 145,8 hektar, meningkat menjadi 520,6
hektar pada tahun 1992, bertambah menjadi 1.279,3 hektar di tahun 2000,
meningkat lagi menjadi 1.612,1 hektar di tahun 2005, dan bertambah lagi
menjadi seluas 1.862,9 hektar di tahun 2010 (Astuti dan kawan-kawan, 2010).
Hasil kalkulasi dari data perkembangan luas tersebut adalah rerata pertambahan
luas lahan terbangun di Kecamatan Cimanggis adalah sebesar 63,6 hektar per
tahun. Angka tersebut cukup tinggi untuk ukuran wilayah administrasi
kecamatan.
Nilayanti dan Brotosunaryo (2012) mengadakan penelitian di SWP III
Kota Gresik dan memberikan informasi bahwa telah terjadi pertambahan luas
lahan terbangun kekotaan seluas 315,8 hektar lahan industri dan 718,4 hektar
permukiman yang mengkonversi lahan pertanian seluas 855,8 hektar, dan
7
sisanya berupa lahan kosong dari tahun 2004-2011. Hasil kalkulasi dari data
tersebut menunjukkan angka rerata pertambahan lahan terbangun sebesar 147,7
hektar per tahun. Angka rerata tersebut kurang lebih sama dengan hasil kajian di
Kecamatan Cimanggis.
Dari dua contoh kasus di Kota Depok dan Gresik tersebut memberikan
gambaran bahwa laju pertambahan luas lahan terbangun kekotaan di Indonesia
juga cukup besar sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju. Yang
menjadi pertanyaan adalah bahwa sebagian besar wilayah pinggiran kota di
Indonesia merupakan lahan-lahan potensial produksi pangan, sehingga konversi
terhadap lahan-lahan tersebut tentu berimplikasi pada penurunan produksi
pangan.
Perembetan daerah kekotaan merupakan istilah yang mudah
didefinisikan secara konseptual, tetapi tidak mudah diukur secara operasional.
Perlu pendekatan kuantitatif untuk dapat menjelaskan proses pertumbuhan dan
perembetan daerah kekotaan sehingga ada tolok ukur yang pasti. Penentuan
indikator pertumbuhan dan perembetan daerah kekotaan akan memudahkan
para perencana kota untuk menentukan arahan kebijakan penataan kota. Hal ini
menjadi peluang bagi penelitian di bidang perkotaan di negara-negara sedang
berkembang, terutama menyangkut faktor-faktor, proses spasial, maupun
dampak keruangan, lingkungan, dan kewilayahan.
Peluang ini menginspirasi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai
perembetan daerah kekotaan di Indonesia yang merupakan salah satu negara
berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk relatif masih tinggi.
Berdasarkan estimasi Durand, tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia masih
8
sebesar 2,4% per tahun (Yunus, 2000). Dari data Sensus Penduduk tahun 2000,
jumlah penduduk Indonesia adalah 205,8 juta jiwa (BPS, 2001), sedangkan data
SUPAS 2005 menunjukkan penduduk Indonesia berjumlah 218,9 juta jiwa (BPS,
2006). Data terbaru hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa
jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237,6 juta jiwa (BPS, 2011). Jika
dihitung pertumbuhan penduduk dari tahun 2000 ke tahun 2010 menunjukkan
bahwa pertumbuhan rerata penduduk Indonesia sebesar 1,49% per tahun (Tabel
1.1). Angka ini memang lebih kecil dari estimasi Durand, tetapi tetap saja
merupakan angka yang relatif masih tinggi. Untuk daerah perkotaan tentu saja
angka pertumbuhannya lebih tinggi dari angka pertumbuhan penduduk rerata
nasional tersebut.
Tabel 1.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1971 1980 1990 2000 2010
Jumlah Penduduk (dalam juta jiwa) 119,2 147,5 179,4 205,1 237,6
Laju Pertumbuhan (%) 2,30 1,97 1,49 1,49 Sumber: BPS 1972, 1981, 1991, 2001, 2011
Dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa pada tahun
2010, bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa
(49,79%) dan di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21%).
Dibandingkan data tahun 2000 yang menunjukkan penduduk perkotaan baru
sebanyak 85 juta jiwa (41,4%), maka telah terjadi peningkatan jumlah dan
pertumbuhan penduduk perkotaan secara signifikan. Hal ini sejalan dengan
prediksi PBB mengenai laju pertumbuhan penduduk perkotaan di dunia (Gambar
1.1). Berdasarkan prediksi PBB tersebut, sekitar tahun 2005 terjadi momentum
9
(c) pergeseran persentase penduduk yang semula lebih banyak penduduk
perdesaan (a) menjadi lebih banyak penduduk perkotaan (b).
Gambar 1.1. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Dunia tahun 1950-2050 (disalin dari United Nation http://esa.un.org/unup/p2k0data.asp)
Publikasi tentang jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus
Penduduk 1971 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan telah terjadi
peningkatan proporsi penduduk perkotaan berturut-turut 17,5% (1970), 22,2%
(1980), 28,8% (1990), 36,5% (2000), dan 44,5% (2010). Jika dibandingkan
dengan data tingkat urbanisasi dunia, terlihat bahwa momentum (c’)
terlampauinya persentase penduduk perdesaan oleh penduduk perkotaan di
Indonesia lebih lambat sekitar 15 tahun (Gambar 1.2). Namun demikian, laju
tingkat urbanisasi di Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan laju urbanisasi
dunia.
b a c
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2020* 2030* 2040* 2050*
% T
otal
Pen
dudu
k D
unia
Tahun* = Angka Prediksi Perkotaan Perdesaan
10
Gambar 1.2. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)
Menurut data sensus penduduk 2010, sebanyak 57,5% dari jumlah
penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,8% dari luas
total wilayah Indonesia (BPS, 2011). Kondisi ini menjadikan Pulau Jawa menjadi
sangat padat, yaitu mencapai 1.055 jiwa/Km2 yang berarti hampir 9 kali lipat
dibandingkan kepadatan penduduk rerata nasional (124 jiwa/Km2). Kepadatan
penduduk tersebut menjadikan akselerasi urbanisasi dalam konteks spasio-fisikal
di Pulau Jawa cukup tinggi. Gambar 1.3 memberikan gambaran lebih jelas
tentang laju tingkat urbanisasi di Jawa. Momentum terlampauinya persentase
penduduk perdesaan oleh penduduk perkotaan di Jawa (c”) terjadi sekitar 5
tahun lebih awal dibandingkan momentum dunia (c) dan 20 tahun lebih awal
dibandingkan momentum di Indonesia (c’).
b a c’
c
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1970 1980 1990 2000 2010 2020* 2030* 2040* 2050* 2060*
% T
otal
Pen
dudu
k In
done
sia
TahunPerkotaan Perdesaan* = Angka Prediksi
11
Sampai dengan tahun 2010 dijumpai fakta bahwa laju tingkat urbanisasi
di Jawa cenderung lebih tinggi dibandingkan data rerata nasional di Indonesia
maupun data rerata global dunia. Jika dicermati data propinsi DIY, pada periode
1980-1990 terjadi peningkatan proporsi penduduk perkotaan dari 22,1%
meningkat menjadi 44,4% atau dua kali lipat dan angka tersebut merupakan
angka tertinggi di antara propinsi lain di Jawa.
Gambar 1.3. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Pulau Jawa tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)
Berdasarkan data sensus penduduk 2010, jumlah penduduk DIY sebesar
3,457.491 jiwa, 2.297.261 jiwa diantaranya (66,4%) tinggal di perkotaan dan
selebihnya (33,6%) merupakan penduduk perdesaan. Secara lebih jelas
gambaran tentang laju tingkat urbanisasi di DIY disajikan dalam Gambar 1.4.
Momentum terlampauinya persentase penduduk perdesaan oleh penduduk
b a c”
c’ c
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1970 1980 1990 2000 2010 2020* 2030* 2040* 2050* 2060*
% T
otal
Pen
dudu
k Ja
wa
Tahun
Perkotaan Perdesaan* = Angka prediksi
12
perkotaan di DIY (c*) terjadi hampir 5 tahun lebih awal dibandingkan momentum
Pulau Jawa, 10 tahun lebih awal dibandingkan momentum dunia, (c) dan 25
tahun lebih awal dibandingkan momentum di Indonesia (c’).
Gambar 1.4. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di DIY tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)
Sebagaimana kerisauan mengenai dampak perembetan daerah kekotaan
yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, Indonesia juga menghadapi problem
serupa. Pulau Jawa memiliki kesuburan tanah paling baik diantara pulau lain
(Yunus, 2000), sehingga produktivitas pertaniannya sangat potensial. Namun,
dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, invasi permukiman dan fungsi
kekotaan sangat mengancam keberadaan lahan pertanian subur di pulau ini.
Untuk mengantisipasi hal ini, diperlukan upaya kebijakan keruangan yang
c’ c
b a c*
c”
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1970 1980 1990 2000 2010 2020* 2030* 2040* 2050* 2060*
% T
otal
Pen
dudu
k D
IY
Tahun
Perkotaan Perdesaan* = Angka prediksi
13
komprehensif untuk mengontrol laju perembetan daerah kekotaan. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengembangkan ukuran kuantitatif fenomena perembetan
daerah kekotaan dalam bentuk indeks pemekaran kota yang diharapkan dapat
membantu menakar tingkat perembetan daerah kekotaan yang masih dapat
ditoleransi di Indonesia.
Pemahaman mengenai indeks pemekaran kota penting terutama bagi
pengambil kebijakan tata ruang dan perencanaan kota, maupun semua pihak
yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembangunan
kota. Selama ini kebijakan tata ruang kota seringkali mengabaikan kemunculan
aktivitas kekotaan yang berada di luar wilayah administrasi kota dan
menyebabkan konflik kewenangan antara pemerintah kota dengan pemerintah
kabupaten yang berbatasan dengan kota terkait dengan pengelolaan aktivitas
kekotaan tersebut. Perencanaan kota yang disusun oleh pemerintah kota juga
banyak mengabaikan dampak dari maraknya perkembangan aktivitas kekotaan
di daerah perbatasan antara wilayah administrasi kota dan kabupaten. Kedua
fenomena tersebut salah satunya disebabkan oleh ketiadaan tolok ukur yang
jelas dan akurat yang dapat dijadikan sebagai rujukan bersama antara
pemerintah kota dan kabupaten.
Semua kota memiliki keterbatasan daya dukung dan daya tampung bagi
kegiatan penduduknya yang senantiasa semakin meningkat. Kebutuhan
sumberdaya, terutama sumberdaya lahan untuk permukiman dan bangunan
infrastuktur, tidak mungkin dipenuhi tanpa proses ekstensifikasi lahan kekotaan
ke pinggiran kota maupun perdesaan. Perluasan lahan kekotaan merupakan
suatu keniscayaan bagi kota-kota yang pertumbuhan penduduknya masih tinggi
seperti di Pulau Jawa, namun tentu saja harus ada ukuran kuantitatif sebagai
14
ambang batas (threshold) seberapa jauh perluasan kekotaan bagi masing-
masing ukuran kota yang berkembang. Salah satu ukuran yang dimaksud adalah
indeks pemekaran kota. Dengan mendasarkan pada indeks pemekaran kota,
akan diketahui apakah kota tersebut secara spasial berkembang di bawah
ataukah di atas ambang batas yang ditentukan sesuai dengan ukuran kotanya,
sehingga dapat ditentukan kebijakan untuk memperlambat ataukah membiarkan
kota mengalami ekstensifikasi ke wilayah perdesaan di sekitarnya.
Kota merupakan suatu daerah tertentu di dalam suatu negara yang
umumnya ditandai dengan jumlah dan kepadatan penduduk lebih tinggi
dibandingkan daerah perdesaan (Hall, 2006; Herbert and Thomas, 1982;
Johnston, 1984; Yunus, 2005a). Besarnya jumlah dan kepadatan penduduk ini
terutama disebabkan oleh kedudukan kota sebagai pusat kegiatan politik,
pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kultural sehingga menjadi daya tarik
sebagian besar orang untuk menetap dan bermatapencaharian di kota (Yunus,
2005d). Dengan kedudukannya yang strategis tersebut menjadikan kota memiliki
potensi sumberdaya tinggi sekaligus potensi masalah juga besar. Hal ini
menyebabkan kota menjadi obyek kajian penting bagi banyak ilmu pengetahuan.
Salah satu ilmu yang mengkaji kota secara khusus dalam cabang keilmuannya
adalah geografi.
1.1.2. Latar Belakang Formal
Di dalam penelitian untuk disertasi, peneliti dituntut untuk dapat
menjelaskan secara akurat posisi akademis peneliti dan landasan filosofis
keilmuan dari penelitiannya. Pada sub sub-bab ini akan diuraikan mengenai
posisi akademis dari subjek ilmu dalam penelitian ini. Sebagaimana telah
15
dijelaskan dalam Sub sub-bab 1.1.1 bahwa penelitian ini merupakan penelitian
dalam bidang ilmu geografi perkotaan yang merupakan salah satu cabang ilmu
geografi yang termasuk dalam rumpun ilmu geografi manusia (human
geography).
Geografi merupakan ilmu yang mengkaji mengenai lokasi dan keteraturan
dari fenomena di permukaan bumi dan hubungan timbal baliknya dengan
aktivitas manusia (Hagget, 1983, Bintarto, 1991, Yunus, 2005b). Hagget (1983)
menjelaskan bahwa geografi mengkaji lokasi dan susunan sistematis dari
fenomena di permukaan bumi beserta proses-proses yang membentuk
persebaran fenomena tersebut melalui pendekatan keruangan, kelingkungan,
dan kompleks wilayah. Fenomena di permukaan bumi tersebut adalah litosfer,
pedosfer, hidrosfer, biosfer, atmosfer, dan antroposfer.
Salah satu ciri pendekatan dalam penelitian bidang geografi adalah
pendekatan keruangan. Di dalam pendekatan keruangan dapat dikaji berbagai
aspek keruangan, diantaranya pola keruangan (spatial patern), struktur
keruangan (spatial structure), proses keruangan (spatial process), interaksi
keruangan (spatial interaction), asosiasi keruangan (spatial association),
organisasi keruangan (spatial organization), kecenderungan keruangan (spatial
tendency/trend), perbandingan keruangan (spatial comparison), dan sinergisme
keruangan (spatial synergism) (Yunus, 2005b). Kesembilan pendekatan analisis
tersebut dapat diaplikasikan secara individual maupun gabungan dua atau lebih
dari aspek keruangannya.
Geografi manusia merupakan bagian utama dari disiplin ilmu geografi
sejajar dengan geografi fisik. Geografi manusia adalah ilmu yang memayungi
16
cabang-cabang ilmu geografi yang lebih menitikberatkan kajiannya pada
anthropogeography (Johnston, 1984; Kitchin and Thrift, 2009). Geografi manusia
lebih fokus pada kajian mengenai antarhubungan manusia dengan lingkungan
sekitarnya dalam dimensi vertikal, dan dalam dimensi horisontal mengkaji
hubungan antar tempat hidup manusia dalam konteks aliran manusia dan hasil
kegiatan manusia di atas permukaan bumi (Johnston, 1984).
Daerah perkotaan merupakan bagian dari geosfer, dimana antroposfer
lebih dominan perannya dibandingkan fenomena permukaan bumi yang lain.
Suatu kota atau daerah perkotaan terbentuk dari interaksi berbagai sphere dan
membentuk ruang spesifik yang menempatkan manusia (anthropo) sebagai
pusat kajian dan dikelilingi oleh biosfer, hidrosfer, litosfer, pedosfer, maupun
atmosfer. Secara spesifik, kajian mengenai kota dalam lingkup ilmu geografi
dikenal dengan Geografi Perkotaan (Urban Geography). Ciri kajian geografi
perkotaan sebagaimana ditulis oleh Pacione (2005) adalah mengidentifikasi dan
menjelaskan distribusi kota-kota dalam hal kemiripan sosio spasial maupun
perbedaan-perbedaannya yang ada di dalam maupun antar kota tersebut.
Dengan demikian penekanan kajian geografi perkotaan adalah mengidentifikasi
dan menjelaskan agihan kota-kota beserta kesamaan dan perbedaan sosio-
spasialnya. Pada hakikatnya obyek kajian mengenai kota lebih banyak
membahas mengenai urban settlement, dan cabang ilmu yang mengkaji hal itu
adalah Settlement Geography.
Geografi perkotaan merupakan cabang ilmu geografi yang mengkaji
lokasi dan susunan keruangan dari kota-kota, menjelaskan sebaran daerah
perkotaan, dan menguraikan kesamaan dan perbedaan (terutama dalam dimensi
sosial dan ekonomi) antar kota, terutama melalui kajian pola dan proses
17
keruangan dari waktu ke waktu. Merujuk pada kesepakatan beberapa ahli
geografi perkotaan, terdapat tiga objek kajian penting dalam geografi perkotaan
(Short, 1984), yaitu (1) struktur internal daerah perkotaan dan proses-proses
yang berjalan di dalamnya; (2) keragaman cara manusia dalam memahami dan
merespon pola-pola dan proses-proses yang terjadi di daerah perkotaan,
termasuk di dalamnya hubungan antar kota; dan (3) asal-usul terbentuknya pola
dan proses keruangan kota sebagai hasil dari proses interaksi sosial dan kondisi
lokal.
Dewasa ini perkembangan studi Geografi Permukiman sudah sangat
maju, baik dari aspek konsep dan teori, metodologi, sampai dengan aplikasinya.
Kemajuan ini tentu saja tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui tahapan
perkembangan keilmuan yang panjang. Perkembangan sejarah keilmuan bidang
Geografi Perkotaan terkait erat dengan perkembangan sejarah peradaban
manusia dan perkembangan ekonomi, sosial, dan teknologi, baik dalam lingkup
lokal maupun global.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal bahwa penelitian ini bertujuan
mengkaji fenomena perembetan daerah kekotaan untuk pengembangan indeks
pemekaran kota sebagai ukuran kuantitatif dalam mengontrol perkembangan
spasial kota, maka pendekatan keruangan merupakan perangkat penelitian yang
sesuai. Mengingat bahwa ruang merupakan bagian integral dari suatu kota yang
menjadi wadah bagi berbagai aktivitas dan fungsi kekotaan, maka kajian
mengenai kota yang berbasis pada pendekatan spasial akan sangat relevan.
Penelitian ini juga gayut dengan cita-cita “sustainable city” yang telah
dicanangkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara di dunia
(Yunus, 2004). Kajian yang dilakukan dalam rencana penelitian ini lebih
18
menekankan pada aspek keruangan (spatial aspect), khususnya analisis proses
keruangan, analisis pola keruangan, dan analisis kecenderungan keruangan,
serta dampaknya terhadap ruang fisik dan sosial.
Pacione (2005) menyebutkan ada 7 faktor yang memicu perubahan
global, terutama terkait dengan perkembangan kota-kota di dunia, yaitu: (1)
perubahan ekonomi; (2) perubahan teknologi; (3) perubahan demografi; (4)
perubahan politik; (5) perubahan sosial; (6) perubahan budaya; dan (7)
perubahan lingkungan. Perubahan ekonomi merupakan salah satu faktor penting
dalam mengubah wajah kota-kota di dunia. Diawali dengan era ekonomi
kapitalisme yang mengutamakan kompetisi ekonomi lokal pada periode akhir
abad ke-16 hingga akhir abad ke-19 yang memunculkan kota-kota yang tumbuh
di bawah kebijakan laissez-faire. Era tersebut mulai mengalami perubahan
sampai dengan awal abad ke-20 dengan munculnya era Fordism, yang
mengubah kota-kota besar di dunia menjadi kota mega (megacity) dengan
dukungan kegiatan ekonomi skala trans-nasional.
Saat ini perkembangan kota-kota di dunia ditandai dengan munculnya
sistem kota sebagai dampak ikutan dari perubahan ekonomi dunia ke arah
globalisasi ekonomi. Kota-kota banyak yang bergeser dari kota yang berbasis
industri menjadi kota berbasis jasa (khususnya jasa finansial). Pergeseran
paradigma ekonomi tersebut ternyata diikuti dengan perubahan dalam bidang
teknologi. Loncatan teknologi yang terjadi pada era revolusi industri dan revolusi
pertanian yang muncul bersamaan dengan merebaknya ekonomi kapitalis telah
menghasilkan kota-kota besar yang berbasis industri manufaktur. Era industri
berat tersebut dewasa ini telah mulai digantikan dengan perkembangan yang
sangat pesat dalam teknologi telekomunikasi dan informasi. Fenomena
19
perkembangan kota pun mulai bergeser dari kota metropolitan yang terbentuk
sebagai akibat tingginya tingkat urbanisasi, menjadi mega-urban yang terbentuk
sebagai dampak desentralisasi dan sub-urbanisasi.
Disamping perubahan ekonomi dan teknologi, perubahan demografi juga
sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota-kota di dunia. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi di kota-kota besar yang merupakan produk dari
pertumbuhan alamiah dan migrasi desa-kota, telah memicu kota tumbuh secara
fisikal dengan sangat cepat. Permasalahan yang sekarang banyak dihadapi oleh
kota-kota besar di dunia terkait dengan perubahan demografis ini adalah
fenomena overurbanisasi.
Kota merefleksikan ideologi politik masyarakatnya (Pacione, 2005),
sehingga perubahan politik yang terjadi di suatu negara atau masyarakat akan
memberikan pengaruh terhadap perubahan kota. Perubahan politik dan ideologi
masyarakat juga berkaitan erat dengan perubahan sosial, sehingga
perkembangan kota juga pasti terpengaruh oleh perubahan sosial
masyarakatnya. Kota yang berkembang dalam lingkungan politik demokratis
pada kondisi sosial masyarakat liberal akan sangat berbeda dengan kota yang
berkembang dalam lingkungan politik diktatorian pada kondisi masyarakat
sosialis. Merebaknya gentrifikasi ataupun merebaknya urbanisme postmodern
yang menghasilkan kota-kota industri kreatif adalah hasil dari perubahan sosial
dalam masyarakat di suatu negara.
Faktor perubahan global yang saat ini paling banyak didiskusikan oleh
para ahli di dunia adalah perubahan lingkungan. Dampak perubahan lingkungan
terhadap perubahan kota dapat diamati dalam berbagai skala geografis, baik
global, regional, nasional, maupun lokal. Kebijakan antisipasi kenaikan muka air
20
laut yang dilakukan di hampir semua kota pantai (khususnya delta cities)
merupakan contoh dalam skala global, dan menjamurnya permukiman kumuh
dan liar di berbagai kota sebagai dampak bencana banjir dan gempabumi
merupakan contoh pada skala lokal.
Perubahan yang terjadi pada kota-kota tentu saja menggiring terjadinya
pergeseran paradigma kajian tentang perkotaan, termasuk geografi perkotaan.
Sampai saat ini sudah sangat banyak publikasi yang membahas tentang studi
geografi perkotaan. Beberapa kajian dalam sepuluh tahun terakhir banyak yang
mengangkat tema megapolitan dan daerah peri-urban. Kajian tentang
perembetan daerah kekotaan juga banyak dilakukan oleh para ahli geografi
perkotaan.
1.2. Permasalahan Penelitian
Perembetan daerah kekotaan merupakan permasalahan dilematis yang
banyak dihadapi oleh para perencana kota, baik di negara-negara maju
(developed countries), negara-negara sedang berkembang (developing
countries), bahkan negara-negara belum berkembang (underdeveloped
countries) sekalipun. Kontradiksi pemenuhan dua kebutuhan primer manusia,
yaitu kebutuhan pangan (food) dengan kebutuhan papan (housing) terjadi,
bahkan saling berkompetisi satu sama lain. Di satu sisi, untuk pemenuhan
kebutuhan pangan dibutuhkan lahan pertanian yang produktif sehingga mampu
menopang kelangsungan hidup manusia secara aman, di sisi lain untuk
memenuhi kebutuhan papan terpaksa penduduk kota menyerbu lahan pertanian
subur untuk dijadikan permukiman.
21
Kenyataan yang terjadi selama ini adalah lemahnya posisi tawar
(bargaining position) aktivitas pertanian terhadap harga lahan (land price).
Revolusi industri yang diawali di Inggris pada abad ke-18 telah mengubah
orientasi hampir semua negara di dunia untuk mendudukkan industri sebagai
sektor unggulan perekonomian nasional. Kondisi ini semakin diperparah dengan
dampak ikutan dari revolusi industri berupa mekanisasi pertanian pada akhir
abad ke-18. Mekanisasi pertanian telah mengubah struktur ketenagakerjaan
secara global, dimana sektor pertanian telah kehilangan fleksibilitas penyerapan
tenagakerja (involution) sehingga banyak pekerja sektor pertanian beralih ke
sektor industri (McGee, et al., 1991). Lebih tingginya upah terhadap pekerja pada
sektor industri dibandingkan pada sektor pertanian semakin memperburuk daya
tawar sektor pertanian bagi angkatan kerja.
Akibat langsung dari kondisi tersebut adalah tingginya laju urbanisasi di
hampir semua negara di dunia, meskipun pada kurun waktu yang tidak
bersamaan. Pembangunan industri-industri primer dan sekunder pada skala
menengah dan besar di kota-kota prima di setiap negara telah menyebabkan
membanjirnya tenaga kerja dari daerah perdesaan (rural areas) ke perkotaan.
Industrialisasi telah mengubah wajah kota dari kota kecil dan menengah menjadi
kota besar (metropolitan city dan megacity). Beban kota besar semakin berat
dalam menampung aktivitas penduduknya sehingga memicu terjadinya invasi
yang lebih besar ke daerah pinggiran kota. Secara historis, kota-kota besar di
dunia umumnya berada pada pusat kegiatan aktivitas pertanian dengan tingkat
kesuburan lahan tertinggi. Oleh karenanya, invasi aktivitas kekotaan ke lahan di
daerah pinggiran pada umumnya juga merupakan penyerbuan terhadap lahan
pertanian subur.
22
Fenomena ini sangat mengkhawatirkan bagi kelestarian pangan secara
nasional, karena pertambahan penduduk yang masih relatif tinggi pada negara-
negara sedang berkembang termasuk Indonesia tidak diimbangi dengan
peningkatan produktivitas pertanian yang memadai. Justru produksi pertanian
semakin menurun akibat lahan pertanian yang sangat produktif diubah menjadi
lahan terbangun. Pembatasan konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan
terbangun sudah saatnya dilakukan secara tegas, namun pembatasan itu harus
dilandasi dengan alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Banyak peneliti telah menyoroti mengenai ancaman pemekaran kota
terhadap kelestarian sumber pangan, termasuk juga alternatif pemecahannya.
Namun demikian, konsep pembatasan konversi lahan, baik bersifat legal formal
maupun melalui pendekatan sosiokultur, seringkali tidak dapat berjalan efektif
karena tidak adanya titik temu dalam mengidentifikasi seberapa luas pemekaran
kota dapat ditoleransi, khususnya di negara sedang berkembang. Penelitian-
penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa tidak serta-merta dapat
diaplikasikan di Indonesia, karena latar belakang sosio-kultur dan tingkat
perekonomian yang berbeda.
Salah satu wilayah yang sangat berbeda dengan kondisi di Eropa dan
Amerika adalah Pulau Jawa, karena dilema kesuburan tanah pertanian yang
tinggi di satu sisi, dan di sisi lain tekanan penduduk perkotaan terhadap lahan
pertanian juga tinggi. Keunikan aspek fisik dan sosio-kultural Pulau Jawa ini
dapat diwakili salah satunya oleh Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta secara
hirarkis merupakan kota menengah yang tengah mengalami pemekaran dalam
intensitas yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan menggejalanya
pertumbuhan permukiman dan lahan terbangun lainnya di kecamatan-kecamatan
23
di Kabupaten Sleman dan Bantul yang berbatasan langsung dengan wilayah
administrasi Kota Yogyakarta.
Sebagai bukti dari statemen tersebut adalah hasil penelitian yang pernah
penulis lakukan mengenai perkembangan spasial Kota Yogyakarta dari tahun
1990-2000. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10
tahun Kota Yogyakarta telah mengalami perembetan fisik seluas 18,7 kilometer
persegi (1870 hektar) yang mengkonversi lahan sawah produktif menjadi
permukiman dan bentuk penggunaan lahan kekotaan lain (Marwasta, 2007).
Apabila dihitung rerata kasar dari angka tersebut, maka diperoleh fakta bahwa
setengah hektar sawah terkonversi menjadi lahan terbangun setiap hari. Angka
ini cukup mencengangkan apabila dibandingkan dengan rerata luas kepemilikan
lahan sawah petani DIY. Menurut data statistik, rerata luas kepemilikan lahan
pertanian di Propinsi DIY tahun 2005 seluas 0,35 hektar (BPS, 2005).
Berdasarkan angka tersebut, secara kasar dapat disimpulkan bahwa setiap hari
seorang petani kehilangan sawah di daerah pinggiran Kota Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan rentang waktu dari tahun 1985 (data sebelum tahun
1985 adalah data prediktif karena keterbatasan sumber data) sampai dengan
tahun 2010 dengan pertimbangan historis bahwa sebelum tahun 1985-an
merupakan era pemerintahan orde baru tahap awal, 1985-2000 merupakan
tahap akhir era pemerintahan orde baru, dan 2000-2010 adalah era
pemerintahan reformasi. Dengan menggunakan rentang waktu kajian tersebut
diharapkan dapat diperoleh hasil yang lebih komprehensif dibandingkan
penelitian Marwasta (2007) tersebut. Kondisi perekonomian nasional dan
regional di era awal orde baru, akhir era orde baru, dan pada era reformasi
bervariasi dan memiliki implikasi terhadap perkembangan kota yang bervariasi.
24
Secara geomorfologis, Kota Yogyakarta terletak pada dataran kaki vulkan
Merapi yang merupakan salah satu vulkan teraktif di Jawa. Aktivitas vulkan
Merapi memungkinkan tersedianya mineral dalam jumlah yang cukup bagi tanah-
tanah di daerah bawahnya (low land), termasuk Kota Yogyakarta dan sekitarnya.
Dengan kondisi tersebut, lahan pertanian di sekitar Kota Yogyakarta merupakan
lahan pertanian subur dan menjadi andalan bagi penyediaan kebutuhan pangan
di DIY, khususnya di Kota Yogyakarta. Ancaman alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan terbangun sebagai daerah perembetan daerah kekotaan
Yogyakarta merupakan ancaman bagi penyediaan kebutuhan pangan di DIY.
Disamping itu, Kota Yogyakarta merupakan kota pendidikan dan
pariwisata. Fungsi sebagai kota pendidikan dan pariwisata menjadikan kota ini
sangat heterogen dalam hal demografi maupun kegiatan kekotaannya. Aktivitas
pendidikan memberikan rona kota yang berbeda dengan aktivitas wisata, terlebih
lagi tipologi wisata di Yogyakarta adalah wisata internasional. Wajah kota pada
akhir-akhir ini ternyata tidak hanya didominasi dua aktivitas tersebut, tetapi juga
dalam aktivitas ekonomi dengan maraknya pembangunan berbagai pusat
perbelanjaan dan grosir-grosir dalam skala besar. Heterogenitas fungsi kekotaan
tersebut memberi dampak banyaknya konflik kepentingan (conflict of interest) di
dalam memanfaatkan ruang-ruang di dalam kota. Ekstensifikasi fungsi kekotaan
ke arah pinggiran kota merupakan alternatif yang sering dilakukan oleh fungsi
yang daya tawarnya tidak cukup tinggi.
Ekstensifikasi fungsi kekotaan ke pinggiran kota tentu saja akan
berbenturan dengan lahan pertanian. Di satu sisi kota memerlukan lahan untuk
menampung pertumbuhan fungsi kekotaan, di sisi lain lahan pertanian produktif
harus dipertahankan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan penduduk.
25
Dalam kondisi seperti ini, diperlukan tolok ukur kuantitatif yang bersifat
komprehensif untuk menentukan apakah tingkat perembetan daerah kekotaan
masih bisa ditoleransi. Sampai saat ini belum ada tolok ukur kuantitatif untuk
kepentingan itu, terutama untuk kota-kota menengah di negara berkembang
seperti di Indonesia.
Dari uraian di atas, terdapat dua jenis permasalahan yang dihadapi di
daerah penelitian, yaitu: (1) permasalahan penelitian berupa tidak adanya tolok
ukur/ambang batas (threshold) untuk menentukan tingkat perembetan daerah
kekotaan yang masih dapat ditoleransi, dan (2) permasalahan wilayah berupa
proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta yang mengkonversi lahan
pertanian subur di luar wilayah perkotaan, dalam hal ini lahan di Kabupaten
Sleman dan Bantul. Perembetan ini memunculkan masalah fisik berupa
penurunan luas lahan pertanian subur secara signifikan. Sebagai dampaknya
adalah menurunnya produksi pertanian di Kabupaten Sleman dan Bantul yang
merupakan daerah produktif penghasil komoditas pertanian selama ini.
Fenomena perembetan ini juga memunculkan masalah ekonomi berupa
menyempitnya peluang kerja dan menurunnya pendapatan penduduk di sektor
pertanian. Dampak yang muncul dari fenomena tersebut adalah hilangnya
kesempatan kerja dan menurunnya pendapatan bagi penduduk yang awalnya
bermatapencaharian sebagai petani, sedangkan mereka tidak memiliki
kemampuan yang memadai untuk bekerja di sektor lain. Dampak sosial yang
terjadi adalah semakin menurunnya komitmen petani untuk tetap
mempertahankan lahan pertanian dan pekerjaan mereka di sektor pertanian,
serta semakin maraknya kegiatan spekulasi tanah di daerah pinggiran kota.
26
Penelitian ini menekankan pada empat substansi, yaitu:
1. proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial;
2. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses perembetan daerah
kekotaan Yogyakarta secara spasial;
3. dampak perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial terhadap
kondisi fisik, sosio-ekonomi dan kultural masyarakat daerah perembetan;
dan
4. formulasi indeks spasial perembetan daerah kekotaan.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formula
indeks spasial perembetan daerah kekotaan, dengan mengambil daerah kajian di
daerah kekotaan Yogyakarta. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, penelitian
ini diformulasikan ke dalam beberapa tujuan khusus, meliputi:
1. mengidentifikasi proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara
spasial dari tahun 1985 sampai dengan 2010;
2. mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap proses
perembetan daerah kekotaan secara spasial;
3. mengkaji dampak perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial
terhadap kondisi sosio-ekonomi dan kultural masyarakat daerah perembetan
4. memformulasikan indeks spasial perembetan daerah kekotaan berdasarkan
proses dan dampak perembetan daerah kekotaan.
27
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara ilmiah maupun praktis. Dari
sisi keilmuan, hasil penelitian ini merupakan temuan baru dalam metode
kuantitatif menggunakan pendekatan spasial, khususnya dalam studi geografi
perkotaan (urban geography). Seringkali para peneliti kurang puas dengan
analisis deskriptif kualitatif karena tidak jelasnya ukuran-ukuran yang digunakan
sehingga penggunaan metode kuantitatif banyak dikembangkan bahkan oleh
ilmu-ilmu sosial. Dari sisi praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat diterapkan
oleh para perencana kota di Indonesia khususnya dalam menentukan kebijakan
tata ruang kota.
Banyaknya konflik pemanfaatan lahan antar wilayah, khususnya antara
kota dengan kabupaten di sekitar kota, seringkali disebabkan oleh ketiadaan
ukuran yang dapat disepakati bersama. Pemerintah kota dengan beban
penduduk yang besar cenderung memiliki interes untuk memperluas lahan
kekotaannya agar mampu menampung kegiatan penduduknya dengan
menginvasi lahan pertanian di luar wilayah administrasi kota, sementara
pemerintah kabupaten berkepentingan untuk mempertahankan lahan pertanian
subur agar tidak terkonversi menjadi lahan terbangun untuk mengamankan
produksi pertanian dan kesempatan kerja di bidang pertanian bagi penduduk di
wilayahnya. Masuknya spekulan lahan dalam konflik di level pengambil kebijakan
ini menjadikan permasalahan semakin rumit.
Konflik kepentingan ini membutuhkan jalan keluar, dan salah satunya
adalah adanya ukuran kuantitatif yang disepakati bersama oleh semua pihak
mengenai toleransi gejala perembetan daerah kekotaan yang memberikan
28
kemanfaatan bagi semua wilayah yang berkepentingan maupun meminimalkan
eksternalitas negatif yang kemungkinan terjadi. Kondisi ini memberi peluang bagi
peneliti untuk mengembangkan ukuran kuantitatif berupa indeks pemekaran kota
yang dapat bermanfaat ganda, baik secara ilmiah maupun prkatis.
Secara ilmiah, indeks pemekaran kota merupakan ukuran kuantitatif yang
penting bagi disiplin ilmu geografi perkotaan, terutama untuk mengembangkan
teknik perencanaan spasial kota, pengembangan metode penentuan daya
dukung dan daya tampung kota, serta kajian urbanisasi. Indeks pemekaran kota
dapat digunakan sebagai salah satu formula dalam teknik perencanaan spasial
kota, juga sekaligus sebagai formula untuk menentukan daya dukung dan daya
tampung suatu kota untuk mengakomodasi aktivitas penduduk dan antisipasi
terhadap pertumbuhan penduduk di masa depan. Indeks pemekaran kota juga
dapat dijadikan sebagai ukuran kuantitatif untuk kajian urbanisasi, dimana
selama ini urbanisasi lebih banyak mendasarkan pada ukuran-ukuran
demografis.
Secara praktis, indeks pemekaran kota penting terutama bagi pemerintah
kota dan kabupaten untuk memiliki ukuran yang sama dalam rangka
pembangunan kota dan wilayah. Sebagai sesuatu yang pasti terjadi, perluasan
lahan kekotaan haruslah didasarkan pada sisi kemanfaatan yang luas bagi kota
maupun bagi daerah perluasannya, dan meminimalkan dampak negatifnya.
Karena didasarkan pada kajian proses dan dampak, maka indeks pemekaran
kota merupakan ukuran kuantitatif sebagai ambang batas (threshold) seberapa
jauh perluasan lahan kekotaan tidak menimbulkan dampak besar bagi pinggiran
kota dan perdesaan. Apabila ukuran kuantitatif ini dapat disepakati oleh
pemerintah kota dan kabupaten, maka siapapun yang mengukur akan
29
mendapatkan hasil yang kurang lebih sama, sehingga tidak muncul kecurigaan di
antara pihak-pihak yang berkepentingan yang menimbulkan konflik kepentingan.
1.5. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian sejenis dengan penelitian ini ditunjukkan pada Tabel
1.2. Penelitian-penelitian tersebut sebagian besar dilakukan di negara-negara
maju, sebagaimana dilakukan oleh Bianchin and Bravin (2003), Klinec (2002),
Wilson, et al., (2002), Roca, et al., (2004), dan Moeller (2004). Tiga penelitian
yang dilakukan pada daerah yang sama tetapi topik penelitiannya berbeda
dengan penelitian ini dilakukan oleh Yunus (2000), Suryantoro (2002), dan
Suharyadi (2011).
Dalam hal metode, penelitian ini menggunakan metode atau gabungan
metode dari beberapa peneliti yang melakukan studi pertumbuhan kota dengan
lebih menekankan pada penggunaan pendekatan analisis spasial. Variabel yang
digunakan merupakan gabungan variabel-variabel penelitian yang dilakukan oleh
Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002), ditambah dengan beberapa variabel lain
hasil modifikasi beberapa penelitian eksperimental. Demikian juga metode
analisis yang digunakan merupakan gabungan dari metode yang dilakukan oleh
Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002) ditambah dengan hasil modifikasi model
analisis spasial menggunakan perangkat SIG yang dilakukan oleh Klinec, (2002),
Lee (2002), Moeller (2004) dan Yang and Lo (2003). Perbedaan utamanya
adalah bahwa penelitian-penelitian tersebut tidak satupun yang dilakukan di
negara sedang berkembang, sehingga secara tegas akan berbeda dalam hal
latar belakang sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
1
Tabel 1.2. Penelitian-penelitian Sejenis yang Pernah Dilakukan
Peneliti Judul penelitian Tujuan penelitian Metode Hasil
Bianchin and Bravin, 2003
Defining And Detecting Changes In Urban Areas
Mendeteksi perubahan penggunaan lahan daerah kekotaan di Veneto Region
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Perubahan penggunaan lahan terjadi dalam intensitas tinggi di Veneto
Foster-Bey, 2002
Sprawl, Smart Growth and Economic Opportunity
Mengkaji hubungan antara social equity dengan urban sprawl di Amerika
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Semakin baik social equity, semakin tinggi derajat urban sprawl
Hasse, 2002 Geospatial Indices Of Urban Sprawl In New Jersey
Mengukur tingkat sprawl dan dampaknya terhadap ekologi dan sosio-ekonomi masyarakat
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Exurban sprawl berdampak pada penngkatan polusi dan kesenjangan sosio-ekonomi penduduk
Moeller, 2004 Remote Sensing For The Monitoring Of Urban Growth Patterns
Aplikasi penginderaan jauh untuk monitoring pola pertumbuhan kota
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Citra satelit sangat handal dalam identifikasi indikator-indikator urban growth
Roca, et al., 2004
Monitoring Urban Sprawl Around Barcelona’s Metro Area With The Aid Of Satellite Imagery
Memantau proses urban sprawl di sekitar Kota Barcelona menggunakan citra satelit
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Proses urban sprawl mengkonsumsi lahan pinggiran kota secara signifikan
Suharyadi, 2011
Interpretasi Hibrida Citra Satelit untuk Kajian Densifikasi Bangunan
Pengembangan teknik hibrida, pemetaan kepadatan bangunan, karakterisasi densifikasi
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Teknik hibrida menghasilkan peta kepadatan dan karakterisasi densifikasi bangunan dengan baik
Suryantoro, 2002
Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 1959-1996
Mengkaji perubahan luas, jenis, frekuensi, dan kecepatan perubahan penggunaan lahan
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Terjadi perubahan luas sebesar 6330 hektar karena faktor pemusatan penduduk dan fasilitas sosial ekonomi
Wang, et al., 2003
Economic Globalization and A Case Study Of The Urban Land Use Growth Of Wuhan, China
Mengkaji Faktor-faktor Perkembangan Penggunaan Lahan Kota Wuhan
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Lahan Industri dan transportasi sangat menentukan bentuk ekspansi lahan kota
31
Lanjutan Tabel 1.2. Penelitian-penelitian Sejenis yang Pernah Dilakukan
Peneliti Judul penelitian Tujuan penelitian Metode Hasil
Wilson, 2002 Development Of A Model To Quantify and Map Urban Growth
Membandingkan berbagai tipe pertumbuhan kota dan derajat pemekaran kota
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Perbedaan tipe pertumbuhan kota menyebabkan perbedaan derajat pemekaran kota
Yang and Lo, 2003
Modelling urban growth and landscape changes in the Atlanta metropolitan area
Memprediksi urban growth melalui data penginderaan jauh dan pemodelan spasial dinamik
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Model spasial dinamik memiliki akurasi tinggi dalam memprediksi urban growth
Yunus, 2000 Perubahan Penggunaan Lahan di Daerah Pinggiran Kota: Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta
Mengkaji pola, proses, dan dampak perubahan pemanfaatan lahan pinggiran kota
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Perubahan pemanfaatan lahan berpengaruh terhadap menurunnya komitmen petani
Marwasta, 2013
Proses, Dampak, dan Formulasi Indeks Spasial Perembetan Daerah KeKotaan Yogyakarta
Kajian proses dan dampak perembetan daerah kekotaan, pengembangan Indeks perembetan kota
Survei, sampel, analisis kuantitatif
Analisis faktor dari kajian proses dan dampak menghasilkan formula indeks perembetan daerah kekotaan
Sumber: Bianchin and Bravin, 2003; Foster-Bey, 2002; Hasse, 2002; Moeller, 2004; Roca, et al., 2004; Suharyadi, 2011; Suryantoro, 2002; Wang, et al., 2003; Wilson, 2002; Yang and Lo, 2003; Yunus, 2000.
32
Bianchin and Bravin (2003) pernah mengadakan penelitian mengenai
deteksi perubahan penutup lahan di daerah perkotaan menggunakan berbagai
data citra satelit dengan resolusi yang berbeda-beda. Pendekatan yang
digunakan adalah statistikal ekologi bentang lahan. Hasil utama yang diperoleh
dari penelitian ini adalah bahwa meskipun resolusi spasial antara citra IKONOS
(1 meter) SPOT (10 dan 20 meter) dan Landsat ETM (30 meter) cukup jauh
perbedaannya, tetapi untuk mendeteksi penutup lahan di daerah perkotaan
dapat digabungkan dengan hasil yang baik melalui pendekatan ekologi bentang
lahan (Bianchin and Bravin, 2003). Berdasarkan penelitian ini, peneliti terinspirasi
untuk memanfaatkan berbagai citra penginderaan jauh yang pernah merekam
Kota Yogyakarta dari tahun 1970 (Landsat MSS), 1980 (Landsat MSS), 1990
(Landsat TM), tahun 2000 (Landsat ETM), dan tahun 2010 (Landsat ETM).
Dengan teknik yang dikembangkan oleh Bianchin dan Bravin, maka perbedaan
resolusi spasial dari berbagai citra satelit tersebut tidak menjadi kendala untuk
memperoleh data dan informasi penggunaan lahan dari tahun ke tahun.
Roca, et al. (2004), Yang and Lo (2003), dan Moeller (2004) secara
terpisah pernah mengadakan penelitian mengenai aplikasi citra penginderaan
jauh untuk memantau perkembangan kota. Metode yang digunakan adalah
analisis citra digital. Roca, et al. (2004) menggunakan Citra SPOT 3 dengan
resolusi spasial 20 meter dan Citra SPOT 5 dengan resolusi spasial 2,5 meter
untuk mengkaji perembetan daerah kekotaan Barcelona. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa meskipun terdapat perbedaan resolusi spasial antara
SPOT 3 dan SPOT 5, tetapi memberikan hasil cukup baik untuk memantau
perembetan daerah kekotaan.
33
Peneliti lain, Yang and Lo (2003) menggunakan citra Landsat multi waktu
untuk pemodelan pertumbuhan Kota Atlanta tahun 1973-1999. Citra Landsat
MSS, TM dan ETM dijadikan sebagai sumber data utama penggunaan lahan
Kota Atlanta. Yang dan Lo menyimpulkan bahwa penggunaan citra Landsat multi
waktu, cellular modelling, dan penggunaan SIG sangat bermanfaat dalam
perencanaan penggunaan lahan kota. Moeller (2004) meneliti tentang pola
perkembangan Kota Phoenix Metropolitan Area menggunakan citra satelit multi
waktu, yaitu Landsat MSS tahun 1973 dan 1979, Landsat TM tahun 1985, 1991,
dan 1995, Landsat ETM tahun 2000, dan ASTER tahun 2003. Salah satu
kesimpulan dari Moeller adalah bahwa penggunaan berbagai citra satelit sangat
membantu dalam analisis pola perkembangan kota jangka panjang, namun perlu
teknik khusus untuk menyelaraskan perbedaan resolusi spasialnya. Hasil utama
yang diperoleh dari tiga penelitian tersebut adalah bahwa citra satelit mampu
menyajikan informasi lahan terbangun di daerah perkotaan dengan cukup baik
sehingga dengan memanfaatkan citra multiwaktu sangat dimungkinkan
melakukan pemantauan perkembangan kota dengan baik (Roca, et al., 2004;
Yang and Lo, 2003; Moeller, 2004). Penelitian ini semakin memantapkan peneliti
untuk mengkaji pemanfaatan ruang kota menggunakan citra satelit, sehingga
informasi serial waktu dari ruang kota dapat diperoleh dengan lebih baik.
Wilson pada tahun 2002 juga meneliti tentang perkembangan dan
pemekaran kota dengan mengambil lokasi penelitian di Kota Boston dan
sekitarnya. Metode yang digunakan adalah pemodelan spasial. Wilson
menggunakan sumber data citra Landsat TM dan IKONOS sebagai referensi uji
ketelitian hasil. Hasil penelitian menemukan ada lima tipe pertumbuhan kota,
yaitu in-fill, expansion, isolated, linear branching, dan clustered branching. Hasil
37
34
penelitian ini juga menunjukkan bahwa masing-masing tipe pertumbuhan kota
menyebabkan derajat perembetan daerah kekotaan berbeda-beda (Wilson,
2002). Berdasarkan penelitian ini, peneliti mengadopsi metode pembandingan
untuk dikembangkan menjadi indikator yang lebih terukur.
Wang, et al., meneliti mengenai hubungan antara perkembangan
transportasi kota dan industri terhadap perkembangan dan pemekaran kota.
Pendekatan yang digunakan adalah pemodelan spasial dan analisis statistikal.
Dari penelitian ini diperoleh hasil berupa fakta bahwa transportasi dan indutri
merupakan determinan bagi perkembangan dan pemekaran kota (Wang, et al.,
2003). Penelitian ini mengarahkan peneliti untuk mempertimbangkan transportasi
dan industri sebagai faktor penting di dalam mengidentifikasi proses perembetan
daerah kekotaan.
Daerah Kekotaan Yogyakarta pernah diteliti oleh Yunus (2000) dalam
disertasinya berjudul Perubahan Pemanfaatan Lahan di Daerah Pinggiran Kota:
Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitian tersebut adalah
mengkaji pola, proses, dan dampak perubahan pemanfaatan lahan. Sebagai
sampel area penelitian dipilih 20 daerah sampel dari 14 desa. Metode penelitian
survai digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Penelitian ini memperoleh
hasil antara lain bahwa pola perubahan pemanfaatan lahan berasosiasi dengan
jalur jalan utama, proses perubahan lebih didominasi oleh kekuatan penarik
gerakan sentrifugal berupa spatial forces dan kekuatan penarik gerakan
sentripetal berupa urban functional forces, serta perubahan pemanfaatan lahan
pinggiran kota berdampak pada menurunnya komitmen petani untuk
mempertahankan lahan pertanian (Yunus, 2000). Penelitian Yunus ini
menginspirasi peneliti untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai
35
pengembangan indeks pemekaran kota, dengan mengadopsi daerah penelitian
dan metode untuk mengkaji proses dan dampak.
Suryantoro (2002) juga melakukan penelitian di Kota Yogyakarta, yaitu
meneliti tentang Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 1959-
1996, menggunakan metode interpretasi foto udara. Secara umum hal yang
dikaji adalah perubahan luas, jenis, frekuensi, dan kecepatan perubahan
penggunaan lahan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam temuannya
disebutkan bahwa sejak 1756 hingga 1996 Kota Yogyakarta secara berangsur-
angsur mengalami pemekaran luas wilayah kota dari 359,55 hektar menjadi
6687,99 hektar. Faktor penyebab perubahan penggunaan lahan tersebut adalah
faktor konsentrasi penduduk (kepadatan penduduk per kecamatan) dan faktor
kebutuhan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi (permukiman, transportasi,
perdagangan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, perkantoran, dan hiburan).
Dari penelitian ini penulis terinspirasi mengembangkan model penilaian
perembetan daerah kekotaan secara kuantitatif untuk menjawab permasalahan
perembetan daerah kekotaan.
Peneliti lain yang melakukan penelitian di Kota Yogyakarta adalah
Suharyadi dengan judul Interpretasi Hibrida Citra Satelit Resolusi Spasial
Menengah untuk Kajian Densifikasi Bangunan. Tujuan penelitian ini adalah
pengembangan teknik hibrida, pemetaan kepadatan, dan mengkaji karakteristik
densifikasi. Dengan metode interpretasi hibrida (visual dan digital), data Landsat
TM dan ETM, serta citra ASTER multi waktu dapat menghasilkan peta kepadatan
bangunan dan karakteristik bangunan dengan baik.
Secara terpisah Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002) melakukan
penelitian mengenai dampak proses perembetan daerah kekotaan terhadap
36
kondisi sosial ekonomi penduduk. Metode yang digunakan sedikit berbeda.
Foster-Bey melakukan analisis data sekunder, sedangkan Hasse menggunakan
analisis spasial. Hasil penelitian Foster-Bey menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di kota menyebabkan pertumbuhan lapangan kerja yang
berdampak pada membaiknya social equity sekaligus meningkatkan proses
sprawling (Foster-Bey, 2002).
Penelitian Hasse menghasilkan 12 variabel untuk mengukur proses
pemekaran kota. Hasse mengaplikasikan variabel tersebut untuk mengkaji kasus
di New Jersey, dan ditemukan berbagai tipe sprawl di daerah penelitian.
Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa exurban sprawl memberi dampak
tertinggi terhadap integritas sosial-ekonomi dan ekologis bentanglahan (Hasse,
2002). Dua penelitian ini menjadi dasar pengembangan metode pengukuran
proses dan dampak perembetan daerah kekotaan yang akan dilakukan oleh
peneliti. Variabel yang digunakan oleh Hasse dijadikan sebagai faktor-faktor yang
terindikasi berpengaruh terhadap proses perembetan daerah kekotaan.
1.6. Batasan Operasional Penelitian
Penelitian untuk disertasi adalah sebuah proses panjang yang dimulai
dari studi literatur untuk menemukan masalah yang layak diangkat sebagai
sebuah disertasi, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, sampai dengan
penulisan disertasi. Dalam proses yang panjang tersebut, terlibat berbagai objek
penelitian yang seringkali memiliki berbagai makna dalam berbagai sudut
pandang. Perkembangan keilmuan telah menghasilkan berbagai definisi dari
banyak objek kajian yang seringkali memiliki perbedaan-perbedaan, mulai dari
37
rentang yang tidak terlalu berbeda sampai dengan sangat berbeda satu sama
lain.
Untuk menghindari kesalahan pemahaman antara peneliti dengan
pengguna hasil penelitian, perlu dirumuskan suatu kesamaan persepsi tentang
berbagai definisi peristilahan yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan
definisi tersebut tentu saja sangat tergantung pada bidang ilmu yang digeluti oleh
peneliti, sehingga perlu dijabarkan batasan operasional yang digunakan di dalam
penelitian. Berikut diuraikan mengenai batasan-batasan operasional yang dipakai
dalam penelitian ini.
1. Kota adalah suatu wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai
kota, memiliki wilayah administrasi tertentu, dan dipimpin oleh seorang
walikota (Yunus, 2000; 2005a).
2. Daerah perkotaan adalah bagian dari wilayah administratif kota yang
memiliki sifat-sifat kekotaan (Yunus, 2000; 2005d).
3. Daerah kekotaan adalah daerah di dalam dan di luar wilayah administrasi
kota, tetapi telah memiliki sifat-sifat kekotaan. Sifat-sifat kekotaan yang
dimaksud dalam batasan operasional ini adalah ciri-ciri fisik dan demografis
suatu daerah (desa dan atau kecamatan di luar wilayah adminstrasi kota)
berupa dominasi lahan terbangun, kepadatan penduduk tinggi, dan aktivitas
penduduk yang lebih dominan di bidang bukan pertanian (Yunus, 2000;
2005d).
4. Perembetan daerah kekotaan (urban sprawl) adalah proses merembetnya
kenampakan kekotaan ke daerah di luar wilayah kota yang terjadi secara
tidak terkontrol (Clark, 1982; Domouchel, 1975; Northam, 1975). Proses
perembetan tersebut dapat secara terkontrol, maupun terjadi secara tidak
38
terkontrol (Kitchin and Thrift, 2009). Dalam penelitian ini lebih difokuskan
pada proses perembetan yang tidak terkontrol. Kenampakan kekotaan yang
dimaksud adalah kenampakan morfologis (lahan terbangun kekotaan).
5. Perkembangan kota (urban development) adalah proses kemunculan
dominasi kota-kota dan nilai-nilai kekotaan (urban values) di seluruh dunia
(Clark, 1982).
6. Ruang kota eksisting adalah ruang-ruang di dalam kota maupun di luar
kota yang secara demografis dan morfologis telah menunjukkan sifat-sifat
kekotaan (Clark, 1982).
7. Kepadatan bangunan adalah rerata tutupan bangunan per satuan luas
pada lahan yang memungkinkan untuk dibangun (developable land) di
daerah kekotaan (urbanizing area). Yang dimaksud dengan lahan yang
memungkinkan untuk dibangun adalah lahan yang bukan wilayah lindung
alamiah, sempadan sungai, dan area publik (Galster, et al., 2000).
8. Perkembangan linier adalah perkembangan fisik kekotaan yang
membentuk garis linier, umumnya terjadi karena pengaruh jaringan jalan
utama (Yunus, 2008).
9. Perkembangan lompat katak (leapfrog) adalah bentuk perkembangan fisik
kekotaan yang menyerupai jejak menyerupai lompatan katak, dimana
perkembangan area terbangun fungsi kekotaannya agak jauh dari batas fisik
kota yang telah ada dan berada di tengah-tengah penggunaan lahan
perdesaan (Yunus, 2008).
10. Perkembangan organik (infilling) adalah tipe perkembangan fisik kekotaan
yang terjadi dengan cara mengisi lahan kekotaan yang telah terbentuk
(Galster, et al., 2000).
39
11. Perkembangan konsentris (ekspansif) adalah tipe perkembangan fisik
kekotaan yang terjadi ke segala arah secara sinambung (Yunus, 2008).
12. Analisis faktor adalah analisis untuk menemukan hubungan
(interrelationship) antar sejumlah variabel yang saling independen sehingga
menghasilkan beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dan masing-
masing kumpulan variabel menjadi faktor (Grotenhuis and Weegen, 2009).
13. Proses perembetan daerah kekotaan adalah rangkaian kejadian dalam
tata waktu tertentu untuk memahami fenomena pertambahan luas daerah
kekotaan, dalam penelitian ini lebih ditekankan pada proses keruangan yang
biasanya divisualisasikan pada perubahan ruang (Yunus, 2000)
14. Analisis proses spasial adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap
suatu rangkaian kejadian dalam tata waktu tertentu untuk memahami
fenomena keruangan (Yunus, 2000).
15. Dampak perembetan daerah kekotaan adalah fenomena yang dihasilkan
dari suatu perubahan terhadap ruang atau lingkungan karena terjadinya
proses perembetan daerah kekotaan (Soerjani, 1987).
16. Analisis dampak spasial adalah analisis terhadap fenomena yang
dihasilkan dari suatu perubahan terhadap ruang karena aktivitas yang
terutama dilakukan oleh manusia (Soerjani, 1987). Dalam penelitian ini
analisis dampak lebih difokuskan pada pendekatan “sebelum dan sesudah”
(“before and after”) kejadian atau kegiatan berlangsung. Yang dimaksud
dengan kejadian di dalam penelitian ini adalah perubahan luas lahan
terbangun di luar daerah perkotaan. Kejadian perubahan tersebut dipantau
dalam rentang waktu yang panjang.
40
17. Indeks Spasial Perembetan Kekotaan adalah angka (harkat) yang
menunjukkan besarnya intensitas perembetan/penjalaran kenampakan sifat
kekotaan ke arah pinggiran kota. Indeks Perembetan daerah kekotaan
dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan besaran intensitas
perembetan daerah kekotaan. Istilah ini memang belum baku karena belum
pernah ada penelitian yang dilakukan, sehingga peneliti menggunakan istilah
ini dengan mengadopsi dari istilah pada bidang-bidang keilmuan yang lain.
Brueckner (1990), Antoni (2001), Barnes (2001), Ewing, et al., (2002), Hasse
(2002), Burchell, et al., (2005), Angel, et al., (2007), dan Fang, et al., (2007).
1.7. Sistematika Penulisan
Disertasi ini disusun dalam sembilan bab dan masing-masing bab terdiri
dari beberapa sub bab. Bab I memaparkan tentang latar belakang penelitian
yang menunjukkan mengapa penelitian ini penting dan bermanfaat untuk
dilakukan. Secara kronologis di dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang
penelitian, permasalahan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, batasan
operasional penelitian, deskripsi daerah penelitian, dan keaslian penelitian.
Sub bab 1 berisi latar belakang penelitian yang menjelaskan tentang latar
belakang material maupun latar belakang formal dari penelitian ini. Latar
belakang material memaparkan mengenai objek kajian yang menjadi substansi
penelitian, sedangkan latar belakang formal mendeskripsikan posisi dan dasar
filosofis keilmuan peneliti sebagai pijakan untuk mengkaji permasalahan
penelitian. Sub bab ini dilanjutkan dengan Sub bab 2 berisi uraian tentang pokok
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
41
Tujuan dan manfaat penelitian diuraikan pada Sub bab 3 dan 4,
didalamnya menjelaskan mengenai tujuan umum penelitian ini, yang pada
hakikatnya adalah penjelasan secara runtut mengenai rumusan substansi
penelitian, dan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, baik secara
teoritis maupun praktis. Sub bab 5 membahas mengenai keaslian (novelty) dari
penelitian ini. Sub bab 6 memuat batasan-batasan istilah yang
dioperasionalisasikan di dalam penelitian ini.
Bab II berisi tentang kajian pustaka dan kerangka teoritis. Di dalam bab ini
diuraikan secara komprehensif mengenai berbagai teori yang mendasari peneliti
sehingga menuntun ke arah penelitian ini, sampai dengan uraian tentang
kerangka teori yang dibangun oleh peneliti dan pertanyaan-pertanyaan yang
harus dijawab. Di dalam sub bab-sub bab awal diuraikan tentang landasan
teoritis mengenai kota, perkotaan dan kekotaan, dilanjutkan dengan determinan
dan dampak proses perkembangan kota.
Bab III menguraikan tentang metode penelitian yang dilaksanakan di
dalam penelitian ini. Bab ini juga disusun dalam beberapa sub bab, dimulai dari
penjelasan mengenai pemilihan daerah penelitian, pendekatan dan langkah-
langkah penelitian, alat dan bahan penelitian, dilanjutkan dengan deskripsi
tentang data dan variabel yang terlibat dalam penelitian, dan uraian tentang
analisis data yang dilakukan. Pada beberapa sub bab akan dirinci lagi menjadi
beberapa anak sub bab yang memuat mengenai uraian lebih detil tentang
metode yang ditempuh. Bab ini ditutup dengan sub bab yang memuat tentang
hasil uji ketelitian interpretasi dan akurasi pemetaan dari data olahan secara
digital terhadap citra satelit Landsat ETM.
42
Dalam Bab IV diuraikan tentang deskripsi daerah penelitian. Bab ini
diawali dengan sub bab yang mendeskripsikan tentang letak, luas dan batas-
batas administraitf daerah penelitian. Sub bab tersebut dilanjutkan dengan uraian
mengenai kondisi fisik daerah penelitian (kondisi fisiografis, kondisi lahan,
penggunaan lahan, dan kondisi iklim). Sub bab berikutnya berisi uraian tentang
kondisi kependudukan dan sosial ekonomi daerah penelitian. Bab ini ditutup
dengan sub bab tentang deskripsi mengenai karakteristik responden.
Bab V, VI, VII dan VIII memuat tentang uraian hasil-hasil penelitian dan
disusun secara runtut menyesuaikan tata urutan dari tujuan penelitian. Bab V
menguraikan tentang perkembangan Kota dan Daerah Kekotaan Yogyakarta,
Bab VI menjelaskan tentang faktor-faktor yang terlibat dan memiliki peran dalam
mempengaruhi proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta, Bab VII
menguraikan tentang dampak yang ditimbulkan dari proses perembetan tersebut.
Bab VIII merupakan bab terakhir tentang hasil dan pembahasan hasil penelitian,
memuat tentang penjelasan mengenai formulasi indeks perembetan daerah
kekotaan yang merupakan luaran utama dari penelitian ini.
Bab IX merupakan bab terakhir dari disertasi ini yang memuat tentang
kesimpulan, rekomendasi, dan temuan baru dari hasil penelitian yang telah
dilakukan. Sub bab kesimpulan memuat tentang temuan penting hasil penelitian
yang disesuaikan dengan tujuan dan pertanyaan penelitian. Sub bab
rekomendasi menjabarkan tentang rekomendasi, masukan, dan usulan terkait
temuan-temuan penting tersebut, baik dalam bentuk rekomendasi bagi penelitian
ilmiah lebih lanjut maupun rekomendasi kebijakan yang perlu ditempuh untuk
kepentingan pembangunan. Sub bab temuan baru menjelaskan implikasi teoritis
dan praktis berbagai temuan baru yang dihasilkan dalam penelitian ini.