BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

42
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu isu penting kota-kota besar di dunia saat ini adalah perembetan daerah kekotaan ke arah pinggiran (urban sprawl). Perembetan daerah kekotaan (urban sprawl) adalah proses merembetnya kenampakan kekotaan (kenampakan morfologis dan kepadatan penduduk) daerah di luar wilayah kota yang terjadi secara tidak terkontrol (Kitchin and Thrift, 2009). Perembetan daerah kekotaan merupakan bagian dari proses perkembangan kota (urban development), yaitu proses kemunculan dominasi kota-kota dan nilai-nilai kekotaan (urban values) di seluruh dunia (Clark, 1982). Perembetan daerah kekotaan juga merupakan bagian dari pertumbuhan kota (urban growth), yaitu proses demografis dan spasial yang merujuk pada peningkatan pentingnya kota- kota sebagai tempat terkonsentrasinya penduduk terkait dengan kondisi sosial ekonomi (Clark, 1982). Perembetan daerah kekotaan memiliki kemiripan proses dengan pemekaran kota, tetapi pemekaran dalam konteks fisik (morfologi) kota. Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan batas-batas administrasi kota atau pertambahan luas kota secara administratif. Secara fisikal proses perembetan daerah kekotaan secara spasial terjadi pada intensitas yang beragam di masing-masing kota, tetapi dampak keruangan yang muncul sebagai akibat dari proses tersebut hampir sama yaitu terjadinya pendesakan maupun konversi lahan kedesaan di pinggiran kota. Untuk memudahkan pemahaman tentang latar belakang penelitian ini maka penulis membagi sub bab latar belakang penelitian yang merupakan bagian awal dari Bab I ini ke dalam sub-sub bab latar belakang material dan latar belakang formal.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Salah satu isu penting kota-kota besar di dunia saat ini adalah

perembetan daerah kekotaan ke arah pinggiran (urban sprawl). Perembetan

daerah kekotaan (urban sprawl) adalah proses merembetnya kenampakan

kekotaan (kenampakan morfologis dan kepadatan penduduk) daerah di luar

wilayah kota yang terjadi secara tidak terkontrol (Kitchin and Thrift, 2009).

Perembetan daerah kekotaan merupakan bagian dari proses perkembangan kota

(urban development), yaitu proses kemunculan dominasi kota-kota dan nilai-nilai

kekotaan (urban values) di seluruh dunia (Clark, 1982). Perembetan daerah

kekotaan juga merupakan bagian dari pertumbuhan kota (urban growth), yaitu

proses demografis dan spasial yang merujuk pada peningkatan pentingnya kota-

kota sebagai tempat terkonsentrasinya penduduk terkait dengan kondisi sosial

ekonomi (Clark, 1982). Perembetan daerah kekotaan memiliki kemiripan proses

dengan pemekaran kota, tetapi pemekaran dalam konteks fisik (morfologi) kota.

Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

batas-batas administrasi kota atau pertambahan luas kota secara administratif.

Secara fisikal proses perembetan daerah kekotaan secara spasial terjadi

pada intensitas yang beragam di masing-masing kota, tetapi dampak keruangan

yang muncul sebagai akibat dari proses tersebut hampir sama yaitu terjadinya

pendesakan maupun konversi lahan kedesaan di pinggiran kota. Untuk

memudahkan pemahaman tentang latar belakang penelitian ini maka penulis

membagi sub bab latar belakang penelitian yang merupakan bagian awal dari

Bab I ini ke dalam sub-sub bab latar belakang material dan latar belakang formal.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

2  

  

Latar belakang material menjelaskan tentang obyek kajian penelitian, sedangkan

latar belakang formal menjelaskan tentang posisi akademis dan landasan

filosofis penelitian ini.

1.1.1. Latar Belakang Material

Laju perpindahan penduduk dari desa ke kota yang terjadi sebagai

dampak industrialisasi mengakibatkan jumlah penduduk daerah perkotaan

meningkat drastis. Peningkatan jumlah penduduk perkotaan menyebabkan

kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan tempat berusaha juga meningkat,

sementara secara administratif luas lahan kota relatif tetap (Yunus, 2006; 2008).

Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah terjadinya invasi pemanfaatan lahan

kekotaan pada lahan agraris (di antaranya sawah, tegalan, kebun campuran,

perkebunan, dan hutan) di sekitar kota. Proses invasi ini bila berlanjut akan

menyebabkan semakin meluasnya daerah urban ke perdesaan yang dikenal

dengan istilah perembetan daerah kekotaan.

Perkembangan ruang fisik kekotaan melampaui batas administrasi kota

menimbulkan dampak konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan

terbangun, menurunnya produksi pertanian, pemborosan energi, peningkatan

polusi, dan problematika sosial di daerah pinggiran kota (Paterson, et al.; 2003).

Konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan terbangun terjadi karena daya

beli sektor perkotaan terhadap lahan lebih tinggi daripada sektor pertanian. Di

sisi lain, marginalisasi petani dan sektor pertanian dalam pembangunan

memberikan dampak kurang atraktifnya pekerjaan sektor pertanian bagi

penduduk. Dampak dari dua fenomena tersebut adalah menurunnya produksi

pertanian karena luas lahan pertanian berkurang dan kualitas sumberdaya

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

3  

  

manusia pada sektor pertanian cenderung semakin menurun (Kahn, 2000; Hess,

2001), dan fenomena ini lebih besar dampak negatifnya pada negara-negara

sedang berkembang yang masih mengandalkan sektor pertanian dalam ekonomi

nasional.

Pertumbuhan penduduk yang tinggi di perkotaan negara-negara sedang

berkembang, baik karena pertumbuhan alamiah maupun migrasi, mengakibatkan

tekanan penduduk terhadap lahan di perkotaan menjadi sangat tinggi.

Konsekuensi dari fenomena tersebut adalah terjadinya aliran penduduk maupun

fungsi kekotaan dari bagian dalam kota menuju pinggiran kota yang masih

memungkinkan tersedianya lahan yang mudah dan murah diperoleh (Yunus,

2000). Aliran penduduk ini semakin meningkat sejalan dengan semakin

membaiknya sarana dan prasarana transportasi yang menghubungkan pusat dan

pinggiran kota.

Perpindahan penduduk dari pusat kota ke arah pinggiran kota membawa

konsekuensi bertambahnya tingkat penggunaan energi (terutama Bahan Bakar

Minyak/BBM) karena semakin banyaknya pemanfaatan moda transportasi

pribadi. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil

pribadi) yang signifikan telah membawa dampak negatif berupa meningkatnya

tingkat polusi, terutama polusi udara (Freeman, 2001; Kahn, 2000; Duncan,

1989; Burchell and Shad, 1999; Frank, 1989). Tingginya polusi udara ini semakin

terasa pada pusat kota maupun selaput inti kota, karena semakin meningkatnya

kecenderungan kemacetan lalu lintas. Kemacetan lalu lintas di pusat kota dan

selaput inti kota tidak hanya berdampak kepada polusi udara, tetapi juga

pemborosan waktu.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

4  

  

Secara sosial, para pendatang di daerah pinggiran kota telah

menimbulkan berbagai problem sosial pada tempat tinggalnya yang baru karena

adanya kecenderungan kesenjangan sosial ekonomi dengan penduduk asli

(Lackey, et al., 1987; Leyden, 2003; Putnam, 2000; Schweitzer, et al., 1999).

Budaya modern kekotaan yang melekat pada penduduk pendatang seringkali

tidak selaras dengan masih kuatnya budaya tradisional penduduk asli

(Surjomihardjo, 2008). Demikian juga dengan strata ekonomi penduduk

pendatang yang relatif lebih tinggi dari penduduk asli telah menyebabkan

kecemburuan sosial (Yunus, 2005d; Squires, 2002). Kriminalitas yang terjadi di

daerah pinggiran kota merupakan fenomena yang umum terjadi pada kota-kota

besar di negara sedang berkembang.

Maraknya perembetan daerah kekotaan ke arah pinggiran menyebabkan

peran inti kota (inner city) cenderung menurun karena investasi dan sumberdaya

manusia lebih banyak mengalir ke daerah pinggiran (Downs, 1998; Frank, 2000).

Penurunan peran inti kota menjadikan tidak optimumnya (inefisiensi) ruang. Hal

ini sangat kontradiktif dengan maraknya fenomena konversi lahan agraris

menjadi lahan terbangun (built up areas) di daerah pinggiran kota. Beberapa kota

di Eropa dan Amerika telah mengalami kondisi ini, dimana pusat kota hanya

ramai, bahkan cenderung macet pada siang hari, tetapi pada malam hari seperti

kota mati (Katz, et al., 2003; Squires, 2002).

Proses pertumbuhan kota-kota di Indonesia pada umumnya meniru atau

mengadopsi kota-kota di negara maju seperti kota-kota di Eropa dan Amerika

Serikat. Dengan melihat fenomena yang terjadi pada kota-kota di Eropa dan

Amerika, perencanaan kota di Indonesia sudah sepantasnya mulai

mengantisipasi dilema perembetan daerah kekotaan yang kemungkinan besar

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

5  

  

akan terjadi juga di kota-kota di Indonesia. Hal ini penting mengingat konversi

lahan pertanian subur menjadi daerah terbangun sangat mudah dilakukan dan

tidak memerlukan waktu lama, sedangkan mengubah lahan terbangun menjadi

daerah pertanian subur sulit dilakukan dan memerlukan waktu lama.

Beberapa fakta empiris yang pernah diteliti diantaranya menurut laporan

Natural Resource Defense Council tahun 2002, di Amerika Serikat antara tahun

1960 hingga 1990 telah muncul lahan terbangun seluas lebih dari dua kali lipat

akibat proses perembetan kota metropolitan, sementara penduduknya hanya

bertambah kurang dari setengahnya (Benfield, et al., 1999; Paterson, et al.,

2003). Kushner, 2006, menyajikan fakta bahwa di Atlanta antara tahun 1975

sampai 1992 telah berkurang 1.540 kilometer persegi lahan bervegetasi menjadi

lahan terbangun sebagai dampak perembetan daerah kekotaan. Atlanta

merupakan kota dengan penduduk paling jarang di antara kota-kota lain di

Amerika (hanya seperempat dari kepadatan kota Los Angeles).

Sierra Club (1999) merilis data bahwa Atlanta merupakan kota sprawl

nomer satu di Amerika, dimana antara tahun 1990-1996 telah bertambah luas

sekitar 47%. Perhitungan kasarnya menunjukkan bahwa 5% lahan pertanian dan

hutan di Atlanta hilang setiap minggunya. Sementara itu, di Richmond antara

tahun 1992 sampai 2001 telah terkonversi menjadi lahan kekotaan seluas kurang

lebih 187 kilometer persegi, padahal jumlah penduduknya justru berkurang

sebanyak 5.266 jiwa. US Census Bureau (2000) merilis bahwa selama 5 tahun

antara 1992-1997, negara bagian Texas, Pennsylvania, dan Georgia mengalami

konversi lahan pertanian menjadi lahan kekotaan sebagai akibat dari perembetan

daerah kekotaan masing-masing seluas lebih dari 4.000 kilometer persegi.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

6  

  

Bagi negara yang mengandalkan industri sebagai basis perekonomian

nasional seperti Amerika Serikat saja hal itu sangat merisaukan, apalagi bagi

negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Departemen Pertanian Amerika

Serikat merasa perlu untuk memerangi perembetan daerah kekotaan karena

berdampak sangat signifikan terhadap produksi dan produktivitas pertanian

(Paterson, et al., 2003). Untuk menjawab permasalahan tersebut, di Amerika

Serikat maupun Eropa cukup banyak dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor,

proses, maupun dampak yang ditimbulkan oleh fenomena perembetan daerah

kekotaan.

Pada kasus di Indonesia, beberapa penelitian juga telah dilakukan terkait

dengan perubahan penggunaan lahan menjadi lahan terbangun. Astuti dan

kawan-kawan melakukan penelitian identifikasi urban sprawl di Kecamatan

Cimanggis, Kota Depok, menghasilkan gambaran tentang pertambahan luas

lahan terbangun dari tahun 1983 seluas 145,8 hektar, meningkat menjadi 520,6

hektar pada tahun 1992, bertambah menjadi 1.279,3 hektar di tahun 2000,

meningkat lagi menjadi 1.612,1 hektar di tahun 2005, dan bertambah lagi

menjadi seluas 1.862,9 hektar di tahun 2010 (Astuti dan kawan-kawan, 2010).

Hasil kalkulasi dari data perkembangan luas tersebut adalah rerata pertambahan

luas lahan terbangun di Kecamatan Cimanggis adalah sebesar 63,6 hektar per

tahun. Angka tersebut cukup tinggi untuk ukuran wilayah administrasi

kecamatan.

Nilayanti dan Brotosunaryo (2012) mengadakan penelitian di SWP III

Kota Gresik dan memberikan informasi bahwa telah terjadi pertambahan luas

lahan terbangun kekotaan seluas 315,8 hektar lahan industri dan 718,4 hektar

permukiman yang mengkonversi lahan pertanian seluas 855,8 hektar, dan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

7  

  

sisanya berupa lahan kosong dari tahun 2004-2011. Hasil kalkulasi dari data

tersebut menunjukkan angka rerata pertambahan lahan terbangun sebesar 147,7

hektar per tahun. Angka rerata tersebut kurang lebih sama dengan hasil kajian di

Kecamatan Cimanggis.

Dari dua contoh kasus di Kota Depok dan Gresik tersebut memberikan

gambaran bahwa laju pertambahan luas lahan terbangun kekotaan di Indonesia

juga cukup besar sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju. Yang

menjadi pertanyaan adalah bahwa sebagian besar wilayah pinggiran kota di

Indonesia merupakan lahan-lahan potensial produksi pangan, sehingga konversi

terhadap lahan-lahan tersebut tentu berimplikasi pada penurunan produksi

pangan.

Perembetan daerah kekotaan merupakan istilah yang mudah

didefinisikan secara konseptual, tetapi tidak mudah diukur secara operasional.

Perlu pendekatan kuantitatif untuk dapat menjelaskan proses pertumbuhan dan

perembetan daerah kekotaan sehingga ada tolok ukur yang pasti. Penentuan

indikator pertumbuhan dan perembetan daerah kekotaan akan memudahkan

para perencana kota untuk menentukan arahan kebijakan penataan kota. Hal ini

menjadi peluang bagi penelitian di bidang perkotaan di negara-negara sedang

berkembang, terutama menyangkut faktor-faktor, proses spasial, maupun

dampak keruangan, lingkungan, dan kewilayahan.

Peluang ini menginspirasi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai

perembetan daerah kekotaan di Indonesia yang merupakan salah satu negara

berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk relatif masih tinggi.

Berdasarkan estimasi Durand, tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia masih

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

8  

  

sebesar 2,4% per tahun (Yunus, 2000). Dari data Sensus Penduduk tahun 2000,

jumlah penduduk Indonesia adalah 205,8 juta jiwa (BPS, 2001), sedangkan data

SUPAS 2005 menunjukkan penduduk Indonesia berjumlah 218,9 juta jiwa (BPS,

2006). Data terbaru hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa

jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 237,6 juta jiwa (BPS, 2011). Jika

dihitung pertumbuhan penduduk dari tahun 2000 ke tahun 2010 menunjukkan

bahwa pertumbuhan rerata penduduk Indonesia sebesar 1,49% per tahun (Tabel

1.1). Angka ini memang lebih kecil dari estimasi Durand, tetapi tetap saja

merupakan angka yang relatif masih tinggi. Untuk daerah perkotaan tentu saja

angka pertumbuhannya lebih tinggi dari angka pertumbuhan penduduk rerata

nasional tersebut.

Tabel 1.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1971 1980 1990 2000 2010

Jumlah Penduduk (dalam juta jiwa) 119,2 147,5 179,4 205,1 237,6

Laju Pertumbuhan (%) 2,30 1,97 1,49 1,49 Sumber: BPS 1972, 1981, 1991, 2001, 2011

Dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237.641.326 jiwa pada tahun

2010, bertempat tinggal di daerah perkotaan sebanyak 118.320.256 jiwa

(49,79%) dan di daerah perdesaan sebanyak 119 321 070 jiwa (50,21%).

Dibandingkan data tahun 2000 yang menunjukkan penduduk perkotaan baru

sebanyak 85 juta jiwa (41,4%), maka telah terjadi peningkatan jumlah dan

pertumbuhan penduduk perkotaan secara signifikan. Hal ini sejalan dengan

prediksi PBB mengenai laju pertumbuhan penduduk perkotaan di dunia (Gambar

1.1). Berdasarkan prediksi PBB tersebut, sekitar tahun 2005 terjadi momentum

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

9  

  

(c) pergeseran persentase penduduk yang semula lebih banyak penduduk

perdesaan (a) menjadi lebih banyak penduduk perkotaan (b).

Gambar 1.1. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Dunia tahun 1950-2050 (disalin dari United Nation http://esa.un.org/unup/p2k0data.asp)

Publikasi tentang jumlah penduduk Indonesia berdasarkan Sensus

Penduduk 1971 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan telah terjadi

peningkatan proporsi penduduk perkotaan berturut-turut 17,5% (1970), 22,2%

(1980), 28,8% (1990), 36,5% (2000), dan 44,5% (2010). Jika dibandingkan

dengan data tingkat urbanisasi dunia, terlihat bahwa momentum (c’)

terlampauinya persentase penduduk perdesaan oleh penduduk perkotaan di

Indonesia lebih lambat sekitar 15 tahun (Gambar 1.2). Namun demikian, laju

tingkat urbanisasi di Indonesia sedikit lebih tinggi dibandingkan laju urbanisasi

dunia.

b a c

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 2020* 2030* 2040* 2050*

% T

otal

Pen

dudu

k D

unia

Tahun* = Angka Prediksi Perkotaan Perdesaan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

10  

  

Gambar 1.2. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)

Menurut data sensus penduduk 2010, sebanyak 57,5% dari jumlah

penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya 6,8% dari luas

total wilayah Indonesia (BPS, 2011). Kondisi ini menjadikan Pulau Jawa menjadi

sangat padat, yaitu mencapai 1.055 jiwa/Km2 yang berarti hampir 9 kali lipat

dibandingkan kepadatan penduduk rerata nasional (124 jiwa/Km2). Kepadatan

penduduk tersebut menjadikan akselerasi urbanisasi dalam konteks spasio-fisikal

di Pulau Jawa cukup tinggi. Gambar 1.3 memberikan gambaran lebih jelas

tentang laju tingkat urbanisasi di Jawa. Momentum terlampauinya persentase

penduduk perdesaan oleh penduduk perkotaan di Jawa (c”) terjadi sekitar 5

tahun lebih awal dibandingkan momentum dunia (c) dan 20 tahun lebih awal

dibandingkan momentum di Indonesia (c’).

b a c’

c

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1970 1980 1990 2000 2010 2020* 2030* 2040* 2050* 2060*

% T

otal

Pen

dudu

k In

done

sia

TahunPerkotaan Perdesaan* = Angka Prediksi

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

11  

  

Sampai dengan tahun 2010 dijumpai fakta bahwa laju tingkat urbanisasi

di Jawa cenderung lebih tinggi dibandingkan data rerata nasional di Indonesia

maupun data rerata global dunia. Jika dicermati data propinsi DIY, pada periode

1980-1990 terjadi peningkatan proporsi penduduk perkotaan dari 22,1%

meningkat menjadi 44,4% atau dua kali lipat dan angka tersebut merupakan

angka tertinggi di antara propinsi lain di Jawa.

Gambar 1.3. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di Pulau Jawa tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)

Berdasarkan data sensus penduduk 2010, jumlah penduduk DIY sebesar

3,457.491 jiwa, 2.297.261 jiwa diantaranya (66,4%) tinggal di perkotaan dan

selebihnya (33,6%) merupakan penduduk perdesaan. Secara lebih jelas

gambaran tentang laju tingkat urbanisasi di DIY disajikan dalam Gambar 1.4.

Momentum terlampauinya persentase penduduk perdesaan oleh penduduk

b a c”

c’ c

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1970 1980 1990 2000 2010 2020* 2030* 2040* 2050* 2060*

% T

otal

Pen

dudu

k Ja

wa

Tahun

Perkotaan Perdesaan* = Angka prediksi

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

12  

  

perkotaan di DIY (c*) terjadi hampir 5 tahun lebih awal dibandingkan momentum

Pulau Jawa, 10 tahun lebih awal dibandingkan momentum dunia, (c) dan 25

tahun lebih awal dibandingkan momentum di Indonesia (c’).

Gambar 1.4. Perkembangan Proporsi Penduduk Perkotaan dan Perdesaan di DIY tahun 1970-2060 (sumber data: BPS 1971, 1980, 1990, 2000, 2010)

Sebagaimana kerisauan mengenai dampak perembetan daerah kekotaan

yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa, Indonesia juga menghadapi problem

serupa. Pulau Jawa memiliki kesuburan tanah paling baik diantara pulau lain

(Yunus, 2000), sehingga produktivitas pertaniannya sangat potensial. Namun,

dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, invasi permukiman dan fungsi

kekotaan sangat mengancam keberadaan lahan pertanian subur di pulau ini.

Untuk mengantisipasi hal ini, diperlukan upaya kebijakan keruangan yang

c’ c

b a c*

c”

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1970 1980 1990 2000 2010 2020* 2030* 2040* 2050* 2060*

% T

otal

Pen

dudu

k D

IY

Tahun

Perkotaan Perdesaan* = Angka prediksi

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

13  

  

komprehensif untuk mengontrol laju perembetan daerah kekotaan. Penelitian ini

dimaksudkan untuk mengembangkan ukuran kuantitatif fenomena perembetan

daerah kekotaan dalam bentuk indeks pemekaran kota yang diharapkan dapat

membantu menakar tingkat perembetan daerah kekotaan yang masih dapat

ditoleransi di Indonesia.

Pemahaman mengenai indeks pemekaran kota penting terutama bagi

pengambil kebijakan tata ruang dan perencanaan kota, maupun semua pihak

yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembangunan

kota. Selama ini kebijakan tata ruang kota seringkali mengabaikan kemunculan

aktivitas kekotaan yang berada di luar wilayah administrasi kota dan

menyebabkan konflik kewenangan antara pemerintah kota dengan pemerintah

kabupaten yang berbatasan dengan kota terkait dengan pengelolaan aktivitas

kekotaan tersebut. Perencanaan kota yang disusun oleh pemerintah kota juga

banyak mengabaikan dampak dari maraknya perkembangan aktivitas kekotaan

di daerah perbatasan antara wilayah administrasi kota dan kabupaten. Kedua

fenomena tersebut salah satunya disebabkan oleh ketiadaan tolok ukur yang

jelas dan akurat yang dapat dijadikan sebagai rujukan bersama antara

pemerintah kota dan kabupaten.

Semua kota memiliki keterbatasan daya dukung dan daya tampung bagi

kegiatan penduduknya yang senantiasa semakin meningkat. Kebutuhan

sumberdaya, terutama sumberdaya lahan untuk permukiman dan bangunan

infrastuktur, tidak mungkin dipenuhi tanpa proses ekstensifikasi lahan kekotaan

ke pinggiran kota maupun perdesaan. Perluasan lahan kekotaan merupakan

suatu keniscayaan bagi kota-kota yang pertumbuhan penduduknya masih tinggi

seperti di Pulau Jawa, namun tentu saja harus ada ukuran kuantitatif sebagai

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

14  

  

ambang batas (threshold) seberapa jauh perluasan kekotaan bagi masing-

masing ukuran kota yang berkembang. Salah satu ukuran yang dimaksud adalah

indeks pemekaran kota. Dengan mendasarkan pada indeks pemekaran kota,

akan diketahui apakah kota tersebut secara spasial berkembang di bawah

ataukah di atas ambang batas yang ditentukan sesuai dengan ukuran kotanya,

sehingga dapat ditentukan kebijakan untuk memperlambat ataukah membiarkan

kota mengalami ekstensifikasi ke wilayah perdesaan di sekitarnya.

Kota merupakan suatu daerah tertentu di dalam suatu negara yang

umumnya ditandai dengan jumlah dan kepadatan penduduk lebih tinggi

dibandingkan daerah perdesaan (Hall, 2006; Herbert and Thomas, 1982;

Johnston, 1984; Yunus, 2005a). Besarnya jumlah dan kepadatan penduduk ini

terutama disebabkan oleh kedudukan kota sebagai pusat kegiatan politik,

pemerintahan, sosial, ekonomi, dan kultural sehingga menjadi daya tarik

sebagian besar orang untuk menetap dan bermatapencaharian di kota (Yunus,

2005d). Dengan kedudukannya yang strategis tersebut menjadikan kota memiliki

potensi sumberdaya tinggi sekaligus potensi masalah juga besar. Hal ini

menyebabkan kota menjadi obyek kajian penting bagi banyak ilmu pengetahuan.

Salah satu ilmu yang mengkaji kota secara khusus dalam cabang keilmuannya

adalah geografi.

1.1.2. Latar Belakang Formal

Di dalam penelitian untuk disertasi, peneliti dituntut untuk dapat

menjelaskan secara akurat posisi akademis peneliti dan landasan filosofis

keilmuan dari penelitiannya. Pada sub sub-bab ini akan diuraikan mengenai

posisi akademis dari subjek ilmu dalam penelitian ini. Sebagaimana telah

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

15  

  

dijelaskan dalam Sub sub-bab 1.1.1 bahwa penelitian ini merupakan penelitian

dalam bidang ilmu geografi perkotaan yang merupakan salah satu cabang ilmu

geografi yang termasuk dalam rumpun ilmu geografi manusia (human

geography).

Geografi merupakan ilmu yang mengkaji mengenai lokasi dan keteraturan

dari fenomena di permukaan bumi dan hubungan timbal baliknya dengan

aktivitas manusia (Hagget, 1983, Bintarto, 1991, Yunus, 2005b). Hagget (1983)

menjelaskan bahwa geografi mengkaji lokasi dan susunan sistematis dari

fenomena di permukaan bumi beserta proses-proses yang membentuk

persebaran fenomena tersebut melalui pendekatan keruangan, kelingkungan,

dan kompleks wilayah. Fenomena di permukaan bumi tersebut adalah litosfer,

pedosfer, hidrosfer, biosfer, atmosfer, dan antroposfer.

Salah satu ciri pendekatan dalam penelitian bidang geografi adalah

pendekatan keruangan. Di dalam pendekatan keruangan dapat dikaji berbagai

aspek keruangan, diantaranya pola keruangan (spatial patern), struktur

keruangan (spatial structure), proses keruangan (spatial process), interaksi

keruangan (spatial interaction), asosiasi keruangan (spatial association),

organisasi keruangan (spatial organization), kecenderungan keruangan (spatial

tendency/trend), perbandingan keruangan (spatial comparison), dan sinergisme

keruangan (spatial synergism) (Yunus, 2005b). Kesembilan pendekatan analisis

tersebut dapat diaplikasikan secara individual maupun gabungan dua atau lebih

dari aspek keruangannya.

Geografi manusia merupakan bagian utama dari disiplin ilmu geografi

sejajar dengan geografi fisik. Geografi manusia adalah ilmu yang memayungi

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

16  

  

cabang-cabang ilmu geografi yang lebih menitikberatkan kajiannya pada

anthropogeography (Johnston, 1984; Kitchin and Thrift, 2009). Geografi manusia

lebih fokus pada kajian mengenai antarhubungan manusia dengan lingkungan

sekitarnya dalam dimensi vertikal, dan dalam dimensi horisontal mengkaji

hubungan antar tempat hidup manusia dalam konteks aliran manusia dan hasil

kegiatan manusia di atas permukaan bumi (Johnston, 1984).

Daerah perkotaan merupakan bagian dari geosfer, dimana antroposfer

lebih dominan perannya dibandingkan fenomena permukaan bumi yang lain.

Suatu kota atau daerah perkotaan terbentuk dari interaksi berbagai sphere dan

membentuk ruang spesifik yang menempatkan manusia (anthropo) sebagai

pusat kajian dan dikelilingi oleh biosfer, hidrosfer, litosfer, pedosfer, maupun

atmosfer. Secara spesifik, kajian mengenai kota dalam lingkup ilmu geografi

dikenal dengan Geografi Perkotaan (Urban Geography). Ciri kajian geografi

perkotaan sebagaimana ditulis oleh Pacione (2005) adalah mengidentifikasi dan

menjelaskan distribusi kota-kota dalam hal kemiripan sosio spasial maupun

perbedaan-perbedaannya yang ada di dalam maupun antar kota tersebut.

Dengan demikian penekanan kajian geografi perkotaan adalah mengidentifikasi

dan menjelaskan agihan kota-kota beserta kesamaan dan perbedaan sosio-

spasialnya. Pada hakikatnya obyek kajian mengenai kota lebih banyak

membahas mengenai urban settlement, dan cabang ilmu yang mengkaji hal itu

adalah Settlement Geography.

Geografi perkotaan merupakan cabang ilmu geografi yang mengkaji

lokasi dan susunan keruangan dari kota-kota, menjelaskan sebaran daerah

perkotaan, dan menguraikan kesamaan dan perbedaan (terutama dalam dimensi

sosial dan ekonomi) antar kota, terutama melalui kajian pola dan proses

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

17  

  

keruangan dari waktu ke waktu. Merujuk pada kesepakatan beberapa ahli

geografi perkotaan, terdapat tiga objek kajian penting dalam geografi perkotaan

(Short, 1984), yaitu (1) struktur internal daerah perkotaan dan proses-proses

yang berjalan di dalamnya; (2) keragaman cara manusia dalam memahami dan

merespon pola-pola dan proses-proses yang terjadi di daerah perkotaan,

termasuk di dalamnya hubungan antar kota; dan (3) asal-usul terbentuknya pola

dan proses keruangan kota sebagai hasil dari proses interaksi sosial dan kondisi

lokal.

Dewasa ini perkembangan studi Geografi Permukiman sudah sangat

maju, baik dari aspek konsep dan teori, metodologi, sampai dengan aplikasinya.

Kemajuan ini tentu saja tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui tahapan

perkembangan keilmuan yang panjang. Perkembangan sejarah keilmuan bidang

Geografi Perkotaan terkait erat dengan perkembangan sejarah peradaban

manusia dan perkembangan ekonomi, sosial, dan teknologi, baik dalam lingkup

lokal maupun global.

Sebagaimana dijelaskan pada bagian awal bahwa penelitian ini bertujuan

mengkaji fenomena perembetan daerah kekotaan untuk pengembangan indeks

pemekaran kota sebagai ukuran kuantitatif dalam mengontrol perkembangan

spasial kota, maka pendekatan keruangan merupakan perangkat penelitian yang

sesuai. Mengingat bahwa ruang merupakan bagian integral dari suatu kota yang

menjadi wadah bagi berbagai aktivitas dan fungsi kekotaan, maka kajian

mengenai kota yang berbasis pada pendekatan spasial akan sangat relevan.

Penelitian ini juga gayut dengan cita-cita “sustainable city” yang telah

dicanangkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan negara-negara di dunia

(Yunus, 2004). Kajian yang dilakukan dalam rencana penelitian ini lebih

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

18  

  

menekankan pada aspek keruangan (spatial aspect), khususnya analisis proses

keruangan, analisis pola keruangan, dan analisis kecenderungan keruangan,

serta dampaknya terhadap ruang fisik dan sosial.

Pacione (2005) menyebutkan ada 7 faktor yang memicu perubahan

global, terutama terkait dengan perkembangan kota-kota di dunia, yaitu: (1)

perubahan ekonomi; (2) perubahan teknologi; (3) perubahan demografi; (4)

perubahan politik; (5) perubahan sosial; (6) perubahan budaya; dan (7)

perubahan lingkungan. Perubahan ekonomi merupakan salah satu faktor penting

dalam mengubah wajah kota-kota di dunia. Diawali dengan era ekonomi

kapitalisme yang mengutamakan kompetisi ekonomi lokal pada periode akhir

abad ke-16 hingga akhir abad ke-19 yang memunculkan kota-kota yang tumbuh

di bawah kebijakan laissez-faire. Era tersebut mulai mengalami perubahan

sampai dengan awal abad ke-20 dengan munculnya era Fordism, yang

mengubah kota-kota besar di dunia menjadi kota mega (megacity) dengan

dukungan kegiatan ekonomi skala trans-nasional.

Saat ini perkembangan kota-kota di dunia ditandai dengan munculnya

sistem kota sebagai dampak ikutan dari perubahan ekonomi dunia ke arah

globalisasi ekonomi. Kota-kota banyak yang bergeser dari kota yang berbasis

industri menjadi kota berbasis jasa (khususnya jasa finansial). Pergeseran

paradigma ekonomi tersebut ternyata diikuti dengan perubahan dalam bidang

teknologi. Loncatan teknologi yang terjadi pada era revolusi industri dan revolusi

pertanian yang muncul bersamaan dengan merebaknya ekonomi kapitalis telah

menghasilkan kota-kota besar yang berbasis industri manufaktur. Era industri

berat tersebut dewasa ini telah mulai digantikan dengan perkembangan yang

sangat pesat dalam teknologi telekomunikasi dan informasi. Fenomena

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

19  

  

perkembangan kota pun mulai bergeser dari kota metropolitan yang terbentuk

sebagai akibat tingginya tingkat urbanisasi, menjadi mega-urban yang terbentuk

sebagai dampak desentralisasi dan sub-urbanisasi.

Disamping perubahan ekonomi dan teknologi, perubahan demografi juga

sangat berpengaruh terhadap perkembangan kota-kota di dunia. Pertumbuhan

penduduk yang tinggi di kota-kota besar yang merupakan produk dari

pertumbuhan alamiah dan migrasi desa-kota, telah memicu kota tumbuh secara

fisikal dengan sangat cepat. Permasalahan yang sekarang banyak dihadapi oleh

kota-kota besar di dunia terkait dengan perubahan demografis ini adalah

fenomena overurbanisasi.

Kota merefleksikan ideologi politik masyarakatnya (Pacione, 2005),

sehingga perubahan politik yang terjadi di suatu negara atau masyarakat akan

memberikan pengaruh terhadap perubahan kota. Perubahan politik dan ideologi

masyarakat juga berkaitan erat dengan perubahan sosial, sehingga

perkembangan kota juga pasti terpengaruh oleh perubahan sosial

masyarakatnya. Kota yang berkembang dalam lingkungan politik demokratis

pada kondisi sosial masyarakat liberal akan sangat berbeda dengan kota yang

berkembang dalam lingkungan politik diktatorian pada kondisi masyarakat

sosialis. Merebaknya gentrifikasi ataupun merebaknya urbanisme postmodern

yang menghasilkan kota-kota industri kreatif adalah hasil dari perubahan sosial

dalam masyarakat di suatu negara.

Faktor perubahan global yang saat ini paling banyak didiskusikan oleh

para ahli di dunia adalah perubahan lingkungan. Dampak perubahan lingkungan

terhadap perubahan kota dapat diamati dalam berbagai skala geografis, baik

global, regional, nasional, maupun lokal. Kebijakan antisipasi kenaikan muka air

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

20  

  

laut yang dilakukan di hampir semua kota pantai (khususnya delta cities)

merupakan contoh dalam skala global, dan menjamurnya permukiman kumuh

dan liar di berbagai kota sebagai dampak bencana banjir dan gempabumi

merupakan contoh pada skala lokal.

Perubahan yang terjadi pada kota-kota tentu saja menggiring terjadinya

pergeseran paradigma kajian tentang perkotaan, termasuk geografi perkotaan.

Sampai saat ini sudah sangat banyak publikasi yang membahas tentang studi

geografi perkotaan. Beberapa kajian dalam sepuluh tahun terakhir banyak yang

mengangkat tema megapolitan dan daerah peri-urban. Kajian tentang

perembetan daerah kekotaan juga banyak dilakukan oleh para ahli geografi

perkotaan.

1.2. Permasalahan Penelitian

Perembetan daerah kekotaan merupakan permasalahan dilematis yang

banyak dihadapi oleh para perencana kota, baik di negara-negara maju

(developed countries), negara-negara sedang berkembang (developing

countries), bahkan negara-negara belum berkembang (underdeveloped

countries) sekalipun. Kontradiksi pemenuhan dua kebutuhan primer manusia,

yaitu kebutuhan pangan (food) dengan kebutuhan papan (housing) terjadi,

bahkan saling berkompetisi satu sama lain. Di satu sisi, untuk pemenuhan

kebutuhan pangan dibutuhkan lahan pertanian yang produktif sehingga mampu

menopang kelangsungan hidup manusia secara aman, di sisi lain untuk

memenuhi kebutuhan papan terpaksa penduduk kota menyerbu lahan pertanian

subur untuk dijadikan permukiman.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

21  

  

Kenyataan yang terjadi selama ini adalah lemahnya posisi tawar

(bargaining position) aktivitas pertanian terhadap harga lahan (land price).

Revolusi industri yang diawali di Inggris pada abad ke-18 telah mengubah

orientasi hampir semua negara di dunia untuk mendudukkan industri sebagai

sektor unggulan perekonomian nasional. Kondisi ini semakin diperparah dengan

dampak ikutan dari revolusi industri berupa mekanisasi pertanian pada akhir

abad ke-18. Mekanisasi pertanian telah mengubah struktur ketenagakerjaan

secara global, dimana sektor pertanian telah kehilangan fleksibilitas penyerapan

tenagakerja (involution) sehingga banyak pekerja sektor pertanian beralih ke

sektor industri (McGee, et al., 1991). Lebih tingginya upah terhadap pekerja pada

sektor industri dibandingkan pada sektor pertanian semakin memperburuk daya

tawar sektor pertanian bagi angkatan kerja.

Akibat langsung dari kondisi tersebut adalah tingginya laju urbanisasi di

hampir semua negara di dunia, meskipun pada kurun waktu yang tidak

bersamaan. Pembangunan industri-industri primer dan sekunder pada skala

menengah dan besar di kota-kota prima di setiap negara telah menyebabkan

membanjirnya tenaga kerja dari daerah perdesaan (rural areas) ke perkotaan.

Industrialisasi telah mengubah wajah kota dari kota kecil dan menengah menjadi

kota besar (metropolitan city dan megacity). Beban kota besar semakin berat

dalam menampung aktivitas penduduknya sehingga memicu terjadinya invasi

yang lebih besar ke daerah pinggiran kota. Secara historis, kota-kota besar di

dunia umumnya berada pada pusat kegiatan aktivitas pertanian dengan tingkat

kesuburan lahan tertinggi. Oleh karenanya, invasi aktivitas kekotaan ke lahan di

daerah pinggiran pada umumnya juga merupakan penyerbuan terhadap lahan

pertanian subur.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

22  

  

Fenomena ini sangat mengkhawatirkan bagi kelestarian pangan secara

nasional, karena pertambahan penduduk yang masih relatif tinggi pada negara-

negara sedang berkembang termasuk Indonesia tidak diimbangi dengan

peningkatan produktivitas pertanian yang memadai. Justru produksi pertanian

semakin menurun akibat lahan pertanian yang sangat produktif diubah menjadi

lahan terbangun. Pembatasan konversi lahan pertanian produktif menjadi lahan

terbangun sudah saatnya dilakukan secara tegas, namun pembatasan itu harus

dilandasi dengan alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Banyak peneliti telah menyoroti mengenai ancaman pemekaran kota

terhadap kelestarian sumber pangan, termasuk juga alternatif pemecahannya.

Namun demikian, konsep pembatasan konversi lahan, baik bersifat legal formal

maupun melalui pendekatan sosiokultur, seringkali tidak dapat berjalan efektif

karena tidak adanya titik temu dalam mengidentifikasi seberapa luas pemekaran

kota dapat ditoleransi, khususnya di negara sedang berkembang. Penelitian-

penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa tidak serta-merta dapat

diaplikasikan di Indonesia, karena latar belakang sosio-kultur dan tingkat

perekonomian yang berbeda.

Salah satu wilayah yang sangat berbeda dengan kondisi di Eropa dan

Amerika adalah Pulau Jawa, karena dilema kesuburan tanah pertanian yang

tinggi di satu sisi, dan di sisi lain tekanan penduduk perkotaan terhadap lahan

pertanian juga tinggi. Keunikan aspek fisik dan sosio-kultural Pulau Jawa ini

dapat diwakili salah satunya oleh Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta secara

hirarkis merupakan kota menengah yang tengah mengalami pemekaran dalam

intensitas yang cukup signifikan. Hal ini ditandai dengan menggejalanya

pertumbuhan permukiman dan lahan terbangun lainnya di kecamatan-kecamatan

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

23  

  

di Kabupaten Sleman dan Bantul yang berbatasan langsung dengan wilayah

administrasi Kota Yogyakarta.

Sebagai bukti dari statemen tersebut adalah hasil penelitian yang pernah

penulis lakukan mengenai perkembangan spasial Kota Yogyakarta dari tahun

1990-2000. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10

tahun Kota Yogyakarta telah mengalami perembetan fisik seluas 18,7 kilometer

persegi (1870 hektar) yang mengkonversi lahan sawah produktif menjadi

permukiman dan bentuk penggunaan lahan kekotaan lain (Marwasta, 2007).

Apabila dihitung rerata kasar dari angka tersebut, maka diperoleh fakta bahwa

setengah hektar sawah terkonversi menjadi lahan terbangun setiap hari. Angka

ini cukup mencengangkan apabila dibandingkan dengan rerata luas kepemilikan

lahan sawah petani DIY. Menurut data statistik, rerata luas kepemilikan lahan

pertanian di Propinsi DIY tahun 2005 seluas 0,35 hektar (BPS, 2005).

Berdasarkan angka tersebut, secara kasar dapat disimpulkan bahwa setiap hari

seorang petani kehilangan sawah di daerah pinggiran Kota Yogyakarta.

Penelitian ini menggunakan rentang waktu dari tahun 1985 (data sebelum tahun

1985 adalah data prediktif karena keterbatasan sumber data) sampai dengan

tahun 2010 dengan pertimbangan historis bahwa sebelum tahun 1985-an

merupakan era pemerintahan orde baru tahap awal, 1985-2000 merupakan

tahap akhir era pemerintahan orde baru, dan 2000-2010 adalah era

pemerintahan reformasi. Dengan menggunakan rentang waktu kajian tersebut

diharapkan dapat diperoleh hasil yang lebih komprehensif dibandingkan

penelitian Marwasta (2007) tersebut. Kondisi perekonomian nasional dan

regional di era awal orde baru, akhir era orde baru, dan pada era reformasi

bervariasi dan memiliki implikasi terhadap perkembangan kota yang bervariasi.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

24  

  

Secara geomorfologis, Kota Yogyakarta terletak pada dataran kaki vulkan

Merapi yang merupakan salah satu vulkan teraktif di Jawa. Aktivitas vulkan

Merapi memungkinkan tersedianya mineral dalam jumlah yang cukup bagi tanah-

tanah di daerah bawahnya (low land), termasuk Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

Dengan kondisi tersebut, lahan pertanian di sekitar Kota Yogyakarta merupakan

lahan pertanian subur dan menjadi andalan bagi penyediaan kebutuhan pangan

di DIY, khususnya di Kota Yogyakarta. Ancaman alih fungsi lahan pertanian

menjadi lahan terbangun sebagai daerah perembetan daerah kekotaan

Yogyakarta merupakan ancaman bagi penyediaan kebutuhan pangan di DIY.

Disamping itu, Kota Yogyakarta merupakan kota pendidikan dan

pariwisata. Fungsi sebagai kota pendidikan dan pariwisata menjadikan kota ini

sangat heterogen dalam hal demografi maupun kegiatan kekotaannya. Aktivitas

pendidikan memberikan rona kota yang berbeda dengan aktivitas wisata, terlebih

lagi tipologi wisata di Yogyakarta adalah wisata internasional. Wajah kota pada

akhir-akhir ini ternyata tidak hanya didominasi dua aktivitas tersebut, tetapi juga

dalam aktivitas ekonomi dengan maraknya pembangunan berbagai pusat

perbelanjaan dan grosir-grosir dalam skala besar. Heterogenitas fungsi kekotaan

tersebut memberi dampak banyaknya konflik kepentingan (conflict of interest) di

dalam memanfaatkan ruang-ruang di dalam kota. Ekstensifikasi fungsi kekotaan

ke arah pinggiran kota merupakan alternatif yang sering dilakukan oleh fungsi

yang daya tawarnya tidak cukup tinggi.

Ekstensifikasi fungsi kekotaan ke pinggiran kota tentu saja akan

berbenturan dengan lahan pertanian. Di satu sisi kota memerlukan lahan untuk

menampung pertumbuhan fungsi kekotaan, di sisi lain lahan pertanian produktif

harus dipertahankan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan penduduk.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

25  

  

Dalam kondisi seperti ini, diperlukan tolok ukur kuantitatif yang bersifat

komprehensif untuk menentukan apakah tingkat perembetan daerah kekotaan

masih bisa ditoleransi. Sampai saat ini belum ada tolok ukur kuantitatif untuk

kepentingan itu, terutama untuk kota-kota menengah di negara berkembang

seperti di Indonesia.

Dari uraian di atas, terdapat dua jenis permasalahan yang dihadapi di

daerah penelitian, yaitu: (1) permasalahan penelitian berupa tidak adanya tolok

ukur/ambang batas (threshold) untuk menentukan tingkat perembetan daerah

kekotaan yang masih dapat ditoleransi, dan (2) permasalahan wilayah berupa

proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta yang mengkonversi lahan

pertanian subur di luar wilayah perkotaan, dalam hal ini lahan di Kabupaten

Sleman dan Bantul. Perembetan ini memunculkan masalah fisik berupa

penurunan luas lahan pertanian subur secara signifikan. Sebagai dampaknya

adalah menurunnya produksi pertanian di Kabupaten Sleman dan Bantul yang

merupakan daerah produktif penghasil komoditas pertanian selama ini.

Fenomena perembetan ini juga memunculkan masalah ekonomi berupa

menyempitnya peluang kerja dan menurunnya pendapatan penduduk di sektor

pertanian. Dampak yang muncul dari fenomena tersebut adalah hilangnya

kesempatan kerja dan menurunnya pendapatan bagi penduduk yang awalnya

bermatapencaharian sebagai petani, sedangkan mereka tidak memiliki

kemampuan yang memadai untuk bekerja di sektor lain. Dampak sosial yang

terjadi adalah semakin menurunnya komitmen petani untuk tetap

mempertahankan lahan pertanian dan pekerjaan mereka di sektor pertanian,

serta semakin maraknya kegiatan spekulasi tanah di daerah pinggiran kota.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

26  

  

Penelitian ini menekankan pada empat substansi, yaitu:

1. proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial;

2. faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses perembetan daerah

kekotaan Yogyakarta secara spasial;

3. dampak perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial terhadap

kondisi fisik, sosio-ekonomi dan kultural masyarakat daerah perembetan;

dan

4. formulasi indeks spasial perembetan daerah kekotaan.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan formula

indeks spasial perembetan daerah kekotaan, dengan mengambil daerah kajian di

daerah kekotaan Yogyakarta. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, penelitian

ini diformulasikan ke dalam beberapa tujuan khusus, meliputi:

1. mengidentifikasi proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara

spasial dari tahun 1985 sampai dengan 2010;

2. mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap proses

perembetan daerah kekotaan secara spasial;

3. mengkaji dampak perembetan daerah kekotaan Yogyakarta secara spasial

terhadap kondisi sosio-ekonomi dan kultural masyarakat daerah perembetan

4. memformulasikan indeks spasial perembetan daerah kekotaan berdasarkan

proses dan dampak perembetan daerah kekotaan.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

27  

  

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat secara ilmiah maupun praktis. Dari

sisi keilmuan, hasil penelitian ini merupakan temuan baru dalam metode

kuantitatif menggunakan pendekatan spasial, khususnya dalam studi geografi

perkotaan (urban geography). Seringkali para peneliti kurang puas dengan

analisis deskriptif kualitatif karena tidak jelasnya ukuran-ukuran yang digunakan

sehingga penggunaan metode kuantitatif banyak dikembangkan bahkan oleh

ilmu-ilmu sosial. Dari sisi praktis diharapkan hasil penelitian ini dapat diterapkan

oleh para perencana kota di Indonesia khususnya dalam menentukan kebijakan

tata ruang kota.

Banyaknya konflik pemanfaatan lahan antar wilayah, khususnya antara

kota dengan kabupaten di sekitar kota, seringkali disebabkan oleh ketiadaan

ukuran yang dapat disepakati bersama. Pemerintah kota dengan beban

penduduk yang besar cenderung memiliki interes untuk memperluas lahan

kekotaannya agar mampu menampung kegiatan penduduknya dengan

menginvasi lahan pertanian di luar wilayah administrasi kota, sementara

pemerintah kabupaten berkepentingan untuk mempertahankan lahan pertanian

subur agar tidak terkonversi menjadi lahan terbangun untuk mengamankan

produksi pertanian dan kesempatan kerja di bidang pertanian bagi penduduk di

wilayahnya. Masuknya spekulan lahan dalam konflik di level pengambil kebijakan

ini menjadikan permasalahan semakin rumit.

Konflik kepentingan ini membutuhkan jalan keluar, dan salah satunya

adalah adanya ukuran kuantitatif yang disepakati bersama oleh semua pihak

mengenai toleransi gejala perembetan daerah kekotaan yang memberikan

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

28  

  

kemanfaatan bagi semua wilayah yang berkepentingan maupun meminimalkan

eksternalitas negatif yang kemungkinan terjadi. Kondisi ini memberi peluang bagi

peneliti untuk mengembangkan ukuran kuantitatif berupa indeks pemekaran kota

yang dapat bermanfaat ganda, baik secara ilmiah maupun prkatis.

Secara ilmiah, indeks pemekaran kota merupakan ukuran kuantitatif yang

penting bagi disiplin ilmu geografi perkotaan, terutama untuk mengembangkan

teknik perencanaan spasial kota, pengembangan metode penentuan daya

dukung dan daya tampung kota, serta kajian urbanisasi. Indeks pemekaran kota

dapat digunakan sebagai salah satu formula dalam teknik perencanaan spasial

kota, juga sekaligus sebagai formula untuk menentukan daya dukung dan daya

tampung suatu kota untuk mengakomodasi aktivitas penduduk dan antisipasi

terhadap pertumbuhan penduduk di masa depan. Indeks pemekaran kota juga

dapat dijadikan sebagai ukuran kuantitatif untuk kajian urbanisasi, dimana

selama ini urbanisasi lebih banyak mendasarkan pada ukuran-ukuran

demografis.

Secara praktis, indeks pemekaran kota penting terutama bagi pemerintah

kota dan kabupaten untuk memiliki ukuran yang sama dalam rangka

pembangunan kota dan wilayah. Sebagai sesuatu yang pasti terjadi, perluasan

lahan kekotaan haruslah didasarkan pada sisi kemanfaatan yang luas bagi kota

maupun bagi daerah perluasannya, dan meminimalkan dampak negatifnya.

Karena didasarkan pada kajian proses dan dampak, maka indeks pemekaran

kota merupakan ukuran kuantitatif sebagai ambang batas (threshold) seberapa

jauh perluasan lahan kekotaan tidak menimbulkan dampak besar bagi pinggiran

kota dan perdesaan. Apabila ukuran kuantitatif ini dapat disepakati oleh

pemerintah kota dan kabupaten, maka siapapun yang mengukur akan

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

29  

  

mendapatkan hasil yang kurang lebih sama, sehingga tidak muncul kecurigaan di

antara pihak-pihak yang berkepentingan yang menimbulkan konflik kepentingan.

1.5. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian sejenis dengan penelitian ini ditunjukkan pada Tabel

1.2. Penelitian-penelitian tersebut sebagian besar dilakukan di negara-negara

maju, sebagaimana dilakukan oleh Bianchin and Bravin (2003), Klinec (2002),

Wilson, et al., (2002), Roca, et al., (2004), dan Moeller (2004). Tiga penelitian

yang dilakukan pada daerah yang sama tetapi topik penelitiannya berbeda

dengan penelitian ini dilakukan oleh Yunus (2000), Suryantoro (2002), dan

Suharyadi (2011).

Dalam hal metode, penelitian ini menggunakan metode atau gabungan

metode dari beberapa peneliti yang melakukan studi pertumbuhan kota dengan

lebih menekankan pada penggunaan pendekatan analisis spasial. Variabel yang

digunakan merupakan gabungan variabel-variabel penelitian yang dilakukan oleh

Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002), ditambah dengan beberapa variabel lain

hasil modifikasi beberapa penelitian eksperimental. Demikian juga metode

analisis yang digunakan merupakan gabungan dari metode yang dilakukan oleh

Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002) ditambah dengan hasil modifikasi model

analisis spasial menggunakan perangkat SIG yang dilakukan oleh Klinec, (2002),

Lee (2002), Moeller (2004) dan Yang and Lo (2003). Perbedaan utamanya

adalah bahwa penelitian-penelitian tersebut tidak satupun yang dilakukan di

negara sedang berkembang, sehingga secara tegas akan berbeda dalam hal

latar belakang sosial, ekonomi, politik, dan budaya.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

Tabel 1.2. Penelitian-penelitian Sejenis yang Pernah Dilakukan

Peneliti Judul penelitian Tujuan penelitian Metode Hasil

Bianchin and Bravin, 2003

Defining And Detecting Changes In Urban Areas

Mendeteksi perubahan penggunaan lahan daerah kekotaan di Veneto Region

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Perubahan penggunaan lahan terjadi dalam intensitas tinggi di Veneto

Foster-Bey, 2002

Sprawl, Smart Growth and Economic Opportunity

Mengkaji hubungan antara social equity dengan urban sprawl di Amerika

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Semakin baik social equity, semakin tinggi derajat urban sprawl

Hasse, 2002 Geospatial Indices Of Urban Sprawl In New Jersey

Mengukur tingkat sprawl dan dampaknya terhadap ekologi dan sosio-ekonomi masyarakat

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Exurban sprawl berdampak pada penngkatan polusi dan kesenjangan sosio-ekonomi penduduk

Moeller, 2004 Remote Sensing For The Monitoring Of Urban Growth Patterns

Aplikasi penginderaan jauh untuk monitoring pola pertumbuhan kota

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Citra satelit sangat handal dalam identifikasi indikator-indikator urban growth

Roca, et al., 2004

Monitoring Urban Sprawl Around Barcelona’s Metro Area With The Aid Of Satellite Imagery

Memantau proses urban sprawl di sekitar Kota Barcelona menggunakan citra satelit

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Proses urban sprawl mengkonsumsi lahan pinggiran kota secara signifikan

Suharyadi, 2011

Interpretasi Hibrida Citra Satelit untuk Kajian Densifikasi Bangunan

Pengembangan teknik hibrida, pemetaan kepadatan bangunan, karakterisasi densifikasi

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Teknik hibrida menghasilkan peta kepadatan dan karakterisasi densifikasi bangunan dengan baik

Suryantoro, 2002

Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 1959-1996

Mengkaji perubahan luas, jenis, frekuensi, dan kecepatan perubahan penggunaan lahan

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Terjadi perubahan luas sebesar 6330 hektar karena faktor pemusatan penduduk dan fasilitas sosial ekonomi

Wang, et al., 2003

Economic Globalization and A Case Study Of The Urban Land Use Growth Of Wuhan, China

Mengkaji Faktor-faktor Perkembangan Penggunaan Lahan Kota Wuhan

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Lahan Industri dan transportasi sangat menentukan bentuk ekspansi lahan kota

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

31  

  

Lanjutan Tabel 1.2. Penelitian-penelitian Sejenis yang Pernah Dilakukan

Peneliti Judul penelitian Tujuan penelitian Metode Hasil

Wilson, 2002 Development Of A Model To Quantify and Map Urban Growth

Membandingkan berbagai tipe pertumbuhan kota dan derajat pemekaran kota

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Perbedaan tipe pertumbuhan kota menyebabkan perbedaan derajat pemekaran kota

Yang and Lo, 2003

Modelling urban growth and landscape changes in the Atlanta metropolitan area

Memprediksi urban growth melalui data penginderaan jauh dan pemodelan spasial dinamik

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Model spasial dinamik memiliki akurasi tinggi dalam memprediksi urban growth

Yunus, 2000 Perubahan Penggunaan Lahan di Daerah Pinggiran Kota: Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta

Mengkaji pola, proses, dan dampak perubahan pemanfaatan lahan pinggiran kota

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Perubahan pemanfaatan lahan berpengaruh terhadap menurunnya komitmen petani

Marwasta, 2013

Proses, Dampak, dan Formulasi Indeks Spasial Perembetan Daerah KeKotaan Yogyakarta

Kajian proses dan dampak perembetan daerah kekotaan, pengembangan Indeks perembetan kota

Survei, sampel, analisis kuantitatif

Analisis faktor dari kajian proses dan dampak menghasilkan formula indeks perembetan daerah kekotaan

Sumber: Bianchin and Bravin, 2003; Foster-Bey, 2002; Hasse, 2002; Moeller, 2004; Roca, et al., 2004; Suharyadi, 2011; Suryantoro, 2002; Wang, et al., 2003; Wilson, 2002; Yang and Lo, 2003; Yunus, 2000.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

32  

  

Bianchin and Bravin (2003) pernah mengadakan penelitian mengenai

deteksi perubahan penutup lahan di daerah perkotaan menggunakan berbagai

data citra satelit dengan resolusi yang berbeda-beda. Pendekatan yang

digunakan adalah statistikal ekologi bentang lahan. Hasil utama yang diperoleh

dari penelitian ini adalah bahwa meskipun resolusi spasial antara citra IKONOS

(1 meter) SPOT (10 dan 20 meter) dan Landsat ETM (30 meter) cukup jauh

perbedaannya, tetapi untuk mendeteksi penutup lahan di daerah perkotaan

dapat digabungkan dengan hasil yang baik melalui pendekatan ekologi bentang

lahan (Bianchin and Bravin, 2003). Berdasarkan penelitian ini, peneliti terinspirasi

untuk memanfaatkan berbagai citra penginderaan jauh yang pernah merekam

Kota Yogyakarta dari tahun 1970 (Landsat MSS), 1980 (Landsat MSS), 1990

(Landsat TM), tahun 2000 (Landsat ETM), dan tahun 2010 (Landsat ETM).

Dengan teknik yang dikembangkan oleh Bianchin dan Bravin, maka perbedaan

resolusi spasial dari berbagai citra satelit tersebut tidak menjadi kendala untuk

memperoleh data dan informasi penggunaan lahan dari tahun ke tahun.

Roca, et al. (2004), Yang and Lo (2003), dan Moeller (2004) secara

terpisah pernah mengadakan penelitian mengenai aplikasi citra penginderaan

jauh untuk memantau perkembangan kota. Metode yang digunakan adalah

analisis citra digital. Roca, et al. (2004) menggunakan Citra SPOT 3 dengan

resolusi spasial 20 meter dan Citra SPOT 5 dengan resolusi spasial 2,5 meter

untuk mengkaji perembetan daerah kekotaan Barcelona. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa meskipun terdapat perbedaan resolusi spasial antara

SPOT 3 dan SPOT 5, tetapi memberikan hasil cukup baik untuk memantau

perembetan daerah kekotaan.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

33  

  

Peneliti lain, Yang and Lo (2003) menggunakan citra Landsat multi waktu

untuk pemodelan pertumbuhan Kota Atlanta tahun 1973-1999. Citra Landsat

MSS, TM dan ETM dijadikan sebagai sumber data utama penggunaan lahan

Kota Atlanta. Yang dan Lo menyimpulkan bahwa penggunaan citra Landsat multi

waktu, cellular modelling, dan penggunaan SIG sangat bermanfaat dalam

perencanaan penggunaan lahan kota. Moeller (2004) meneliti tentang pola

perkembangan Kota Phoenix Metropolitan Area menggunakan citra satelit multi

waktu, yaitu Landsat MSS tahun 1973 dan 1979, Landsat TM tahun 1985, 1991,

dan 1995, Landsat ETM tahun 2000, dan ASTER tahun 2003. Salah satu

kesimpulan dari Moeller adalah bahwa penggunaan berbagai citra satelit sangat

membantu dalam analisis pola perkembangan kota jangka panjang, namun perlu

teknik khusus untuk menyelaraskan perbedaan resolusi spasialnya. Hasil utama

yang diperoleh dari tiga penelitian tersebut adalah bahwa citra satelit mampu

menyajikan informasi lahan terbangun di daerah perkotaan dengan cukup baik

sehingga dengan memanfaatkan citra multiwaktu sangat dimungkinkan

melakukan pemantauan perkembangan kota dengan baik (Roca, et al., 2004;

Yang and Lo, 2003; Moeller, 2004). Penelitian ini semakin memantapkan peneliti

untuk mengkaji pemanfaatan ruang kota menggunakan citra satelit, sehingga

informasi serial waktu dari ruang kota dapat diperoleh dengan lebih baik.

Wilson pada tahun 2002 juga meneliti tentang perkembangan dan

pemekaran kota dengan mengambil lokasi penelitian di Kota Boston dan

sekitarnya. Metode yang digunakan adalah pemodelan spasial. Wilson

menggunakan sumber data citra Landsat TM dan IKONOS sebagai referensi uji

ketelitian hasil. Hasil penelitian menemukan ada lima tipe pertumbuhan kota,

yaitu in-fill, expansion, isolated, linear branching, dan clustered branching. Hasil

37 

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

34  

  

penelitian ini juga menunjukkan bahwa masing-masing tipe pertumbuhan kota

menyebabkan derajat perembetan daerah kekotaan berbeda-beda (Wilson,

2002). Berdasarkan penelitian ini, peneliti mengadopsi metode pembandingan

untuk dikembangkan menjadi indikator yang lebih terukur.

Wang, et al., meneliti mengenai hubungan antara perkembangan

transportasi kota dan industri terhadap perkembangan dan pemekaran kota.

Pendekatan yang digunakan adalah pemodelan spasial dan analisis statistikal.

Dari penelitian ini diperoleh hasil berupa fakta bahwa transportasi dan indutri

merupakan determinan bagi perkembangan dan pemekaran kota (Wang, et al.,

2003). Penelitian ini mengarahkan peneliti untuk mempertimbangkan transportasi

dan industri sebagai faktor penting di dalam mengidentifikasi proses perembetan

daerah kekotaan.

Daerah Kekotaan Yogyakarta pernah diteliti oleh Yunus (2000) dalam

disertasinya berjudul Perubahan Pemanfaatan Lahan di Daerah Pinggiran Kota:

Kasus di Pinggiran Kota Yogyakarta. Tujuan dari penelitian tersebut adalah

mengkaji pola, proses, dan dampak perubahan pemanfaatan lahan. Sebagai

sampel area penelitian dipilih 20 daerah sampel dari 14 desa. Metode penelitian

survai digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Penelitian ini memperoleh

hasil antara lain bahwa pola perubahan pemanfaatan lahan berasosiasi dengan

jalur jalan utama, proses perubahan lebih didominasi oleh kekuatan penarik

gerakan sentrifugal berupa spatial forces dan kekuatan penarik gerakan

sentripetal berupa urban functional forces, serta perubahan pemanfaatan lahan

pinggiran kota berdampak pada menurunnya komitmen petani untuk

mempertahankan lahan pertanian (Yunus, 2000). Penelitian Yunus ini

menginspirasi peneliti untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

35  

  

pengembangan indeks pemekaran kota, dengan mengadopsi daerah penelitian

dan metode untuk mengkaji proses dan dampak.

Suryantoro (2002) juga melakukan penelitian di Kota Yogyakarta, yaitu

meneliti tentang Perubahan Penggunaan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 1959-

1996, menggunakan metode interpretasi foto udara. Secara umum hal yang

dikaji adalah perubahan luas, jenis, frekuensi, dan kecepatan perubahan

penggunaan lahan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam temuannya

disebutkan bahwa sejak 1756 hingga 1996 Kota Yogyakarta secara berangsur-

angsur mengalami pemekaran luas wilayah kota dari 359,55 hektar menjadi

6687,99 hektar. Faktor penyebab perubahan penggunaan lahan tersebut adalah

faktor konsentrasi penduduk (kepadatan penduduk per kecamatan) dan faktor

kebutuhan ketersediaan fasilitas sosial ekonomi (permukiman, transportasi,

perdagangan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, perkantoran, dan hiburan).

Dari penelitian ini penulis terinspirasi mengembangkan model penilaian

perembetan daerah kekotaan secara kuantitatif untuk menjawab permasalahan

perembetan daerah kekotaan.

Peneliti lain yang melakukan penelitian di Kota Yogyakarta adalah

Suharyadi dengan judul Interpretasi Hibrida Citra Satelit Resolusi Spasial

Menengah untuk Kajian Densifikasi Bangunan. Tujuan penelitian ini adalah

pengembangan teknik hibrida, pemetaan kepadatan, dan mengkaji karakteristik

densifikasi. Dengan metode interpretasi hibrida (visual dan digital), data Landsat

TM dan ETM, serta citra ASTER multi waktu dapat menghasilkan peta kepadatan

bangunan dan karakteristik bangunan dengan baik.

Secara terpisah Foster-Bey (2002) dan Hasse (2002) melakukan

penelitian mengenai dampak proses perembetan daerah kekotaan terhadap

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

36  

  

kondisi sosial ekonomi penduduk. Metode yang digunakan sedikit berbeda.

Foster-Bey melakukan analisis data sekunder, sedangkan Hasse menggunakan

analisis spasial. Hasil penelitian Foster-Bey menunjukkan bahwa pertumbuhan

ekonomi yang tinggi di kota menyebabkan pertumbuhan lapangan kerja yang

berdampak pada membaiknya social equity sekaligus meningkatkan proses

sprawling (Foster-Bey, 2002).

Penelitian Hasse menghasilkan 12 variabel untuk mengukur proses

pemekaran kota. Hasse mengaplikasikan variabel tersebut untuk mengkaji kasus

di New Jersey, dan ditemukan berbagai tipe sprawl di daerah penelitian.

Penelitian ini juga menemukan fakta bahwa exurban sprawl memberi dampak

tertinggi terhadap integritas sosial-ekonomi dan ekologis bentanglahan (Hasse,

2002). Dua penelitian ini menjadi dasar pengembangan metode pengukuran

proses dan dampak perembetan daerah kekotaan yang akan dilakukan oleh

peneliti. Variabel yang digunakan oleh Hasse dijadikan sebagai faktor-faktor yang

terindikasi berpengaruh terhadap proses perembetan daerah kekotaan.

1.6. Batasan Operasional Penelitian

Penelitian untuk disertasi adalah sebuah proses panjang yang dimulai

dari studi literatur untuk menemukan masalah yang layak diangkat sebagai

sebuah disertasi, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, sampai dengan

penulisan disertasi. Dalam proses yang panjang tersebut, terlibat berbagai objek

penelitian yang seringkali memiliki berbagai makna dalam berbagai sudut

pandang. Perkembangan keilmuan telah menghasilkan berbagai definisi dari

banyak objek kajian yang seringkali memiliki perbedaan-perbedaan, mulai dari

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

37  

  

rentang yang tidak terlalu berbeda sampai dengan sangat berbeda satu sama

lain.

Untuk menghindari kesalahan pemahaman antara peneliti dengan

pengguna hasil penelitian, perlu dirumuskan suatu kesamaan persepsi tentang

berbagai definisi peristilahan yang digunakan dalam penelitian. Penggunaan

definisi tersebut tentu saja sangat tergantung pada bidang ilmu yang digeluti oleh

peneliti, sehingga perlu dijabarkan batasan operasional yang digunakan di dalam

penelitian. Berikut diuraikan mengenai batasan-batasan operasional yang dipakai

dalam penelitian ini.

1. Kota adalah suatu wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai

kota, memiliki wilayah administrasi tertentu, dan dipimpin oleh seorang

walikota (Yunus, 2000; 2005a).

2. Daerah perkotaan adalah bagian dari wilayah administratif kota yang

memiliki sifat-sifat kekotaan (Yunus, 2000; 2005d).

3. Daerah kekotaan adalah daerah di dalam dan di luar wilayah administrasi

kota, tetapi telah memiliki sifat-sifat kekotaan. Sifat-sifat kekotaan yang

dimaksud dalam batasan operasional ini adalah ciri-ciri fisik dan demografis

suatu daerah (desa dan atau kecamatan di luar wilayah adminstrasi kota)

berupa dominasi lahan terbangun, kepadatan penduduk tinggi, dan aktivitas

penduduk yang lebih dominan di bidang bukan pertanian (Yunus, 2000;

2005d).

4. Perembetan daerah kekotaan (urban sprawl) adalah proses merembetnya

kenampakan kekotaan ke daerah di luar wilayah kota yang terjadi secara

tidak terkontrol (Clark, 1982; Domouchel, 1975; Northam, 1975). Proses

perembetan tersebut dapat secara terkontrol, maupun terjadi secara tidak

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

38  

  

terkontrol (Kitchin and Thrift, 2009). Dalam penelitian ini lebih difokuskan

pada proses perembetan yang tidak terkontrol. Kenampakan kekotaan yang

dimaksud adalah kenampakan morfologis (lahan terbangun kekotaan).

5. Perkembangan kota (urban development) adalah proses kemunculan

dominasi kota-kota dan nilai-nilai kekotaan (urban values) di seluruh dunia

(Clark, 1982).

6. Ruang kota eksisting adalah ruang-ruang di dalam kota maupun di luar

kota yang secara demografis dan morfologis telah menunjukkan sifat-sifat

kekotaan (Clark, 1982).

7. Kepadatan bangunan adalah rerata tutupan bangunan per satuan luas

pada lahan yang memungkinkan untuk dibangun (developable land) di

daerah kekotaan (urbanizing area). Yang dimaksud dengan lahan yang

memungkinkan untuk dibangun adalah lahan yang bukan wilayah lindung

alamiah, sempadan sungai, dan area publik (Galster, et al., 2000).

8. Perkembangan linier adalah perkembangan fisik kekotaan yang

membentuk garis linier, umumnya terjadi karena pengaruh jaringan jalan

utama (Yunus, 2008).

9. Perkembangan lompat katak (leapfrog) adalah bentuk perkembangan fisik

kekotaan yang menyerupai jejak menyerupai lompatan katak, dimana

perkembangan area terbangun fungsi kekotaannya agak jauh dari batas fisik

kota yang telah ada dan berada di tengah-tengah penggunaan lahan

perdesaan (Yunus, 2008).

10. Perkembangan organik (infilling) adalah tipe perkembangan fisik kekotaan

yang terjadi dengan cara mengisi lahan kekotaan yang telah terbentuk

(Galster, et al., 2000).

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

39  

  

11. Perkembangan konsentris (ekspansif) adalah tipe perkembangan fisik

kekotaan yang terjadi ke segala arah secara sinambung (Yunus, 2008).

12. Analisis faktor adalah analisis untuk menemukan hubungan

(interrelationship) antar sejumlah variabel yang saling independen sehingga

menghasilkan beberapa kumpulan variabel yang lebih sedikit dan masing-

masing kumpulan variabel menjadi faktor (Grotenhuis and Weegen, 2009).

13. Proses perembetan daerah kekotaan adalah rangkaian kejadian dalam

tata waktu tertentu untuk memahami fenomena pertambahan luas daerah

kekotaan, dalam penelitian ini lebih ditekankan pada proses keruangan yang

biasanya divisualisasikan pada perubahan ruang (Yunus, 2000)

14. Analisis proses spasial adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap

suatu rangkaian kejadian dalam tata waktu tertentu untuk memahami

fenomena keruangan (Yunus, 2000).

15. Dampak perembetan daerah kekotaan adalah fenomena yang dihasilkan

dari suatu perubahan terhadap ruang atau lingkungan karena terjadinya

proses perembetan daerah kekotaan (Soerjani, 1987).

16. Analisis dampak spasial adalah analisis terhadap fenomena yang

dihasilkan dari suatu perubahan terhadap ruang karena aktivitas yang

terutama dilakukan oleh manusia (Soerjani, 1987). Dalam penelitian ini

analisis dampak lebih difokuskan pada pendekatan “sebelum dan sesudah”

(“before and after”) kejadian atau kegiatan berlangsung. Yang dimaksud

dengan kejadian di dalam penelitian ini adalah perubahan luas lahan

terbangun di luar daerah perkotaan. Kejadian perubahan tersebut dipantau

dalam rentang waktu yang panjang.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

40  

  

17. Indeks Spasial Perembetan Kekotaan adalah angka (harkat) yang

menunjukkan besarnya intensitas perembetan/penjalaran kenampakan sifat

kekotaan ke arah pinggiran kota. Indeks Perembetan daerah kekotaan

dalam penelitian ini digunakan untuk menunjukkan besaran intensitas

perembetan daerah kekotaan. Istilah ini memang belum baku karena belum

pernah ada penelitian yang dilakukan, sehingga peneliti menggunakan istilah

ini dengan mengadopsi dari istilah pada bidang-bidang keilmuan yang lain.

Brueckner (1990), Antoni (2001), Barnes (2001), Ewing, et al., (2002), Hasse

(2002), Burchell, et al., (2005), Angel, et al., (2007), dan Fang, et al., (2007).

1.7. Sistematika Penulisan

Disertasi ini disusun dalam sembilan bab dan masing-masing bab terdiri

dari beberapa sub bab. Bab I memaparkan tentang latar belakang penelitian

yang menunjukkan mengapa penelitian ini penting dan bermanfaat untuk

dilakukan. Secara kronologis di dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang

penelitian, permasalahan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, batasan

operasional penelitian, deskripsi daerah penelitian, dan keaslian penelitian.

Sub bab 1 berisi latar belakang penelitian yang menjelaskan tentang latar

belakang material maupun latar belakang formal dari penelitian ini. Latar

belakang material memaparkan mengenai objek kajian yang menjadi substansi

penelitian, sedangkan latar belakang formal mendeskripsikan posisi dan dasar

filosofis keilmuan peneliti sebagai pijakan untuk mengkaji permasalahan

penelitian. Sub bab ini dilanjutkan dengan Sub bab 2 berisi uraian tentang pokok

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

41  

  

Tujuan dan manfaat penelitian diuraikan pada Sub bab 3 dan 4,

didalamnya menjelaskan mengenai tujuan umum penelitian ini, yang pada

hakikatnya adalah penjelasan secara runtut mengenai rumusan substansi

penelitian, dan manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini, baik secara

teoritis maupun praktis. Sub bab 5 membahas mengenai keaslian (novelty) dari

penelitian ini. Sub bab 6 memuat batasan-batasan istilah yang

dioperasionalisasikan di dalam penelitian ini.

Bab II berisi tentang kajian pustaka dan kerangka teoritis. Di dalam bab ini

diuraikan secara komprehensif mengenai berbagai teori yang mendasari peneliti

sehingga menuntun ke arah penelitian ini, sampai dengan uraian tentang

kerangka teori yang dibangun oleh peneliti dan pertanyaan-pertanyaan yang

harus dijawab. Di dalam sub bab-sub bab awal diuraikan tentang landasan

teoritis mengenai kota, perkotaan dan kekotaan, dilanjutkan dengan determinan

dan dampak proses perkembangan kota.

Bab III menguraikan tentang metode penelitian yang dilaksanakan di

dalam penelitian ini. Bab ini juga disusun dalam beberapa sub bab, dimulai dari

penjelasan mengenai pemilihan daerah penelitian, pendekatan dan langkah-

langkah penelitian, alat dan bahan penelitian, dilanjutkan dengan deskripsi

tentang data dan variabel yang terlibat dalam penelitian, dan uraian tentang

analisis data yang dilakukan. Pada beberapa sub bab akan dirinci lagi menjadi

beberapa anak sub bab yang memuat mengenai uraian lebih detil tentang

metode yang ditempuh. Bab ini ditutup dengan sub bab yang memuat tentang

hasil uji ketelitian interpretasi dan akurasi pemetaan dari data olahan secara

digital terhadap citra satelit Landsat ETM.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitianetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68888/potongan/S3-2014... · Pada beberapa kasus, pemekaran kota banyak dimaknai sebagai perubahan

42  

  

Dalam Bab IV diuraikan tentang deskripsi daerah penelitian. Bab ini

diawali dengan sub bab yang mendeskripsikan tentang letak, luas dan batas-

batas administraitf daerah penelitian. Sub bab tersebut dilanjutkan dengan uraian

mengenai kondisi fisik daerah penelitian (kondisi fisiografis, kondisi lahan,

penggunaan lahan, dan kondisi iklim). Sub bab berikutnya berisi uraian tentang

kondisi kependudukan dan sosial ekonomi daerah penelitian. Bab ini ditutup

dengan sub bab tentang deskripsi mengenai karakteristik responden.

Bab V, VI, VII dan VIII memuat tentang uraian hasil-hasil penelitian dan

disusun secara runtut menyesuaikan tata urutan dari tujuan penelitian. Bab V

menguraikan tentang perkembangan Kota dan Daerah Kekotaan Yogyakarta,

Bab VI menjelaskan tentang faktor-faktor yang terlibat dan memiliki peran dalam

mempengaruhi proses perembetan daerah kekotaan Yogyakarta, Bab VII

menguraikan tentang dampak yang ditimbulkan dari proses perembetan tersebut.

Bab VIII merupakan bab terakhir tentang hasil dan pembahasan hasil penelitian,

memuat tentang penjelasan mengenai formulasi indeks perembetan daerah

kekotaan yang merupakan luaran utama dari penelitian ini.

Bab IX merupakan bab terakhir dari disertasi ini yang memuat tentang

kesimpulan, rekomendasi, dan temuan baru dari hasil penelitian yang telah

dilakukan. Sub bab kesimpulan memuat tentang temuan penting hasil penelitian

yang disesuaikan dengan tujuan dan pertanyaan penelitian. Sub bab

rekomendasi menjabarkan tentang rekomendasi, masukan, dan usulan terkait

temuan-temuan penting tersebut, baik dalam bentuk rekomendasi bagi penelitian

ilmiah lebih lanjut maupun rekomendasi kebijakan yang perlu ditempuh untuk

kepentingan pembangunan. Sub bab temuan baru menjelaskan implikasi teoritis

dan praktis berbagai temuan baru yang dihasilkan dalam penelitian ini.