BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/44225/2/jiptummpp-gdl-kusnulkoti-49849... ·...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangeprints.umm.ac.id/44225/2/jiptummpp-gdl-kusnulkoti-49849... ·...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berembang yang memiliki angka statistik
pernikahan usia dini secara nasional mencapai lebih dari seperempat. Berdasarkan
data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun
2015, terungkap angka perkawinan dini di Indonesia peringkat kedua teratas di
kawasan Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di
bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah itu nantinya akan
diperkirakan naik menjadi 3 juta orang pada 2030.
Sepertiga dari pernikahan yang terjadi di beberapa daerah adalah merupakan
pernikahan dini tepatnya di Jawa Timur 39,43 %, Kalimantan Selatan 35,480 % ,
Jambi 30,63% dan Jawa Barat 36 %. Pada masyarakat pedesaan, pernikahan usia
dini banyak terjadi terutama pada golongan ekonomi menengah kebawah juga
adanya tradisi pada masyarakat desa seperti tidak diperbolehkan menolak lamaran
karena khawatir jodohnya terhambat dan sebagainya. Sedangkan di masyarakat
perkotaan dan masyarakat sub urban, pernikahan usia dini umumnya terjadi karena
“kecelakaan” (married by accident) atau hamil diluar nikah akibat salah pergaulan
oleh remaja. Pernikahan dini merupakan fenomena yang sudah sejak lama dam
masih marak terjadi, hal itu menimbulkan dampak salah satunya perceraian dini
karena berbagai faktor salah satunya kondisi sosial psikologis pasangan yang belum
matang.
2
Angka perceraian di Kabupaten Malang masih yang tertinggi kedua setelah
Indramayu. Salah satu faktor penyebab perceraian meski bukan faktor utama,
karena tingginya pernikahan dini. Berdasarkan data di Pengadilan Agama (PA)
Kabupaten Malang, setiap tahunnya lebih dari 300 remaja yang mengajukan
Dispensasi Kawin (DK) (Malang Post, 2016 : 8). Pernikahan dini versi Badan
Keluarga Berencana (BKB) Kabupaten Malang, berbeda lagi. BKB mematok usia
di bawah 20 tahun untuk perempuan, sebagai pernikahan dini (Malang Post, 2016 :
8). Karena itulah, data yang dimiliki menjadi sangat tinggi. Pada 2014, pernikahan
dini versi BKB Kabupaten Malang mencapai 7.732, lalu 2015 naik menjadi 7.809
dan hingga Oktober 2016 mencapai 6.425. Jumlah ini hampir mendekati separuh
dari total angka pernikahan yang ada, sekitar 14 ribu dalam periode Januari sampai
Oktober 2016. Pernikahan usia dini memberi risiko yang lebih besar pada remaja
khususnya pada aspek kesehatan reproduksinya bagi perempuan dan pada aspek
sosiologis bagi keduanya (perempuan dan laki-laki). Selain itu, Pernikahan usia dini
juga akan berimplikasi pada keterbelakangan pengetahuan akibat terhambatnya
proses pendidikan disebabkan pernikahan yang dilakukan di usia dini tersebut.
Desa Ngenep merupakan salah satu Desa di Kabupaten Malang yang
memiliki angka pernikahan dini dengan usia pengantin dibawah 20 tahun cukup
tinggi. dari tahun 2014 hingga 2016 yakni pada tahun 2014 dari total 76 pasangan,
sebanyak 49 pasangan merupakan pasangan pernikahan dini, tahun 2015 dari total
72 pasangan yang menikah, sebanyak 46 pasangan merupakan pasangan
pernikahan dini, tahun 2016 dari total 79 pasangan sebanyak 42 pasangan yang
merupakan pasangan pernikahan dini. Pernikahan dini pada masyarakat Desa
Ngenep yang merupakan masyarakat sub urban, terjadi cukup banyak. Berbagai
3
faktor penyebab yang melatar belakangi hal tersebut bahkan dianggap sebagai
rahasia umum bagi masyarakat tersebut. Sehingga tak jarang, masyarakat akan
bersikap acuh pada faktor penyebabnya dan bersikap tidak peduli akibat kontrol
sosial yang lemah. Masih adanya pandangan masyarakat bahwa perempuan yang
menikah di usia muda atau usia dini itu “laku” sedangkan yang belum menikah
hingga usia 20 tahun ke atas dianggap “tidak laku” turut mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai makna pernikahan dini tersebut.
Aspek sosial budaya masyarakat memberi pengaruh terhadap pelaksanaan
pernikahan dan tidak terlepas pula pada pernikahan usia dini. Masalah lain yang
ditimbulkan dari pernikahan dini ialah kontribusi fenomena ini pada tingginya
kasus perceraian dini dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kematangan diri
remaja yang belum tercapai mendorong terjadinya percekcokan antara suami-istri
yang berujung pada perceraian dini. Oleh sebab itu, tidak jarang ditemui gadis
remaja yang sudah menjanda pada usia yang masih muda.
Kontrol sosial berperan penting dalam kehidupan manusia. Apabila kontrol
sosial lemah maka pengaruh negatif pada diri manusia akan tinggi sedangkan
apabila kontrol sosial tinggi maka pengaruh negatif pun akan lemah. Pernikahan
dini yang tentunya berhubungan dengan remaja sebagai pelakunya, tentu berangkat
dari berbagai alasan sehingga akhirnya memutuskan untuk menikah pada usia dini.
Kontrol sosial pada masyarakat yang hubungannya dengan pergaulan remaja,
terjadi dalam berbagai bentuk peraturan-peraturan sebagai fungsi kontrol juga
penghakiman sosial atas perilaku yang tidak diharapkan oleh masyarakat sehingga
dengan adanya hal tersebut maka kontrol sosial akan berjalan.
4
Kasus pernikahan dini dalam masyarakat sub urban yang memiliki ciri-ciri
masyarakat yang bertempat tinggal di desa tetapi memiliki aktivitas keseharian atau
pekerjaan di kota, lingkungan tentu memberikan pengaruh penting pada pergaulan
sehingga berimbas pada pola pikir dan tingkah laku individu pada masyarakat
tersebut. Selain itu, misalnya pada lokasi penelitian ini, adanya norma sosial dan
norma agama seperti tidak diperbolehkannya (secara tersirat) berhubungan seksual
sebelum menikah karena dapat mengakibatkan kasus hamil diluar nikah dan
imbasnya adanya hukuman secara sosial yang tersirat dari masyarakat seperti
dikucilkan dan sebagainya. Meski masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi
terjadinya pernikahan dini tersebut. Adapula ada kasus pernikahan dini yang
dilatarbelakangi married by accident. Adanya pandangan mengenai keabsahan dan
kewajiban peran pada pernikahan.
Pernikahan dini sering kali menjadi pilihan terakhir karena takut apabila
terjadi married by accident lalu anak lahir tanpa orangtua lengkap sehingga dampak
sosialnya dikucilkan. Jika anak tidak mempunyai ayah yang sah, atau ayah yang
“salah” kewajiban-kewajiban itu menjadi kacau atau tidak dijalankan, atau
bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan. Anak yang orang
tuanya tidak menikah, tidak diakui oleh keluarga ayahnya, dan baik ayah maupun
keluarganya hanya mempunyai sedikit kewajiban hukum terhadap si anak.
Kedudukan si anak meragukan, dan pengalaman sosialisasinya tentu tidak lengkap
(Goode, 1995 : 41). Atas dasar itulah maka banyak pasangan yang melakukan
pernikahan dini. Juga salah satunya berkaitan dengan pandangan negatif
masyarakat apabila ada perempuan yang hamil diluar nikah.
5
Selain kasus yang marak terjadi akibat pernikahan dini, secara sosiologis
dampak pernikahan dini mencangkup berbagai aspek sosial diantaranya, kurang
kuatnya pondasi dalam rumah tangga akibat masih adanya pola pikir kekanak-
kanakan pada pasangan pernikahan dini menyebabkan adanya peselisihan diantara
anggota keluarga sebagai sistem masyarakat terkecil, belum memiliki kematangan
mental sehingga ketahanan lembaga keluarga menjadi lemah, derajat celaan
masyarakat akibat pernikahan dini dengan alasan tertentu misalnya married by
accident, juga dampak perceraian di usia pernikahan yang masih dini perlu
diutarakan beberapa tambahan pada hubungan latar belakang sosial dan perceraian.
Salah satu ialah kecenderungan kuat untuk bercerai jika perkawinan itu terjadi pada
usia yang muda (15 sampai 19 tahun). Selain itu secara sosial psikologis, seseorang
yang berusia remaja menuju dewasa yakni 15 sampai 19 tahun belum memiliki
kematangan mental sehingga pada aspek sosiologis ketahanan lembaga keluarga
pun menjadi rentan.
Penanganan pernikahan dini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh
pemerintah, salah satu diantaranya adalah melalui pembatasan usia pernikahan.
Batasan usia minimal seseorang untuk melangsungkan pernikahan telah diatur
dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 bab II pasal 7 ayat 1 dan ayat 2
yang berbunyi ;
“Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun (ayat 1). Dalam hal
penyimpangan terhadap ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak
maupun pihak wanita (ayat 2)”.
Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
6
Selebihnya perkawinan dilakukan dibawah batas minimal ini disebut pernikahan
dini. Namun, fakta di lapangan menunjukan bahwa kebijakan tersebut tidak
memberikan banyak pengaruh pada penekanan keberlangsungan pernikahan dini.
Kondisi masyarakat sub urban tentu rentan akan ketidakjelasan identitas
sosial. Hal ini dikarenakan, berbagai faktor seperti kondisi geografis yang secara
tidak langsung mempengaruhi kondisi sosial masyarakat desa yang
“terkontaminasi” oleh gaya hidup perkotaan. Pengaruh tersebut menjadikan pola
masyarakat desa yang “ke kota-kotaan”, mulai mengalami ketidakjelasan identitas.
Pergaulan sosial masyarakat desa bergeser pada pola pergaulan masyarakat kota
yang modern namun letaknya hanya ditengah-tengah tanpa ada kejelasan antara
masyarakat desa ataukah masyarakat kota. Hal ini menimbulkan berbagai dampak
negatif yang salah satunya adalah pergaulan bebas pada remaja yang berada pada
masyarakat sub urban. Pergaulan bebas tersebut yang dapat menimbulkan kasus-
kasus seperti married by accident yang pada akhirnya mengharuskan adanya
pernikahan dini, penyalahgunaan narkoba, putus sekolah dan sebagainya.
Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa keberadaan Undang-Undang
Perkawinan 1974 yang didalamnya mengandung pembatasan usia untuk melakukan
pernikahan secara umum masih belum berjalan efektif bagi remaja. Bahkan, Badan
Keluarga Berencana (BKB) membatasi usia yang disebut dengan pernikahan dini
yakni 20 tahun kebawah. Oleh sebab itu, masih banyak ditemui adanya praktik
pernikahan dini yang marak terjadi pada remaja Desa Ngenep. Pernikahan dini ini
pun disebut sebagai cara masyarakat dalam mengaktualisasikan dirinya dalam
status sosial dengan adanya stigma masyarakat mengenai “laku” dan “tidak laku”
pada remaja dengan usia-usia tertentu dengan mengesampingkan faktor penyebab
7
serta pandangan hidup kedepan. Meski hal ini dapat membawa dampak pada
kondisi sosiologis para pelaku pernikahan dini tersebut namun masyarakat Desa
Ngenep masih banyak yang menganggap bahwa pernikahan dini merupakan suatu
hal yang lumrah. Sehingga perlu diketahui bagaimana rasionalitas pernikahan dini
pada keluarga pasangan pernikahan dini di Desa Ngenep sebagai masyarakat sub
urban, serta apa saja hal-hal yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini pada
masyarakat Desa Ngenep sebagai masyarakat sub urban.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka batasan permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana rasionalitas pernikahan dini bagi pasangan
pernikahan dini di Desa Ngenep sebagai masyarakat sub urban?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rasionalitas seperti apa yang
mendasari terjadinya pernikahan dini bagi pasangan pernikahan dini pada
masyarakat Desa Ngenep sebagai masyarakat sub urban.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Mengembangkan Ilmu Pengetahuan Sosiologi khususnya dalam
kajian sosiologi keluarga. Khususnya terkait keluarga yang terbentuk
dengan latar belakang pernikahan dini serta rasionalitas subyek penelitian
yang ditemukan pada penelitian ini.
8
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Jurusan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur bagi akademisi yang
ingin mengkaji lebih jauh mengenai rasionalitas pernikahan dini bagi
masyarakat sub urban
b. Bagi Badan Keluarga Berencana (BKB) Kecamatan Karangploso
Penelitian ini diharapkan dapat menambah rujukan dalam menganalisis
faktor-faktor pernikahan dini dilihat dari rasionalitas pasangan yang
menikah pada usia dini. Tujuannya untuk membuat kebijakan yang
tepat terkait penekanan jumlah pernikahan dini dalam rangka
meningkatkan jumlah keluarga sejahtera, dan meminimalisir tingkat
perceraian akibat pernikahan dini.
1.5 Definisi Konsep
1.5.1 Rasionalitas
Rasionalitas adalah pola pikir untuk bertindak sesuai dengan nalar
atau logika manusia. Rasionalitas merupakan konsep normatif yang
mengacu pada kesesuaian keyakinan seseorang dengan alasan seseorang
untuk percaya atau tindakan seseorang dengan alasan seseorang untuk
bertindak. (Ritzer, 2011 : 392)
1.5.2 Pernikahan Dini
Pernikahan dini menurut Badan Keluarga Berencana (BKB)
Kecamatan Karangploso adalah pengantin yang menikah dibawah usia 20
tahun (Malang Post, 2016 : 9). Sedangkan berdasarkan UU Perkawinan
tahun 1974 bab II pasal 7 yang berbunyi :
9
“Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun (ayat 1). Dalam hal penyimpangan terhadap
ayat 1 pasal itu dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orangtua pihak maupun pihak wanita (ayat 2)”.
Sehingga, pernikahan dibawah usia yang ditetapkan oleh undang-
undang perkawinan tesebut dikatakan sebagai pernikahan dibawah umur
atau pernikahan dini yang berlangsung dengan usia pengantin pria yang
belum mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan belum mencapai
umur 16 tahun. Atau perempuan yang berusia dibawah 16 tahun meskipun
pria berusia diatas 19 tahun dan atau perempuan berusia diatas 16 tahun
sedangkan pria berusia dibawah 19 tahun. Penelitian ini menggunakan
batasan usia yang dianggap pernikahan dini menurut BKB Kecamatan
Karangploso yakni 20 tahun baik bagi perempuan maupun laki-laki.
1.5.3 Masyarakat Sub Urban
Masyarakat sub urban adalah masyarakat yang mempunyai rumah
dan tinggal dipinggiran kota (bukan kota besar) namun mereka mencari
nafkah diwilayah kota besar. karakteristik atau ciri-ciri wilayah sub urban
ini adalah percampuran desa dan kota, beberapa daerah akan menunjukkan
bentuk kota tetapi disisi lain manunjukkan ciri khas pedesaan. Ini karena
awalnya wilayah ini adalah merupakan wilayah pedesaan yang mengalami
proses transisi menjadi daerah perkotaan (Voluntir, 2014 : 294).
1.6 Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang dilakukan secara
sistematis, mempunyai tujuan tertentu dengan menggunakan metode yang
tepat, dimana data yang dikumpulkan harus ada relevansinya dengan
10
masalah yang dihadapi. Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk
mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis.
Sedangkan metodologi ialah suatu pengkajian dalam mempelajari
peraturan-peraturan suatu metode. Sehingga metodologi penelitian ialah
suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan yang terdapat
dalam penelitian. Ditinjau dari sudut filsafat, metodologi penelitian
merupakan epistimologi penelitian yaitu yang menyangkut bersama kita
mengadakan penelitian (Usman, 2004 : 42).
1.6.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
kualitatif. Metode kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna
suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu
menurut perspektif peneliti sendiri. Penelitian kualitatif merupakan suatu
penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan hipotesis dan analisisnya
bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif juga merupakan suatu penelitian
yang dicirikan oleh tujuan penelitian yang ingin memahami gejala-gejala
yang tidak memerlukan kuantifikasi atau gejala-gejala yang tidak
memungkinkan untuk diukur secara tepat atau kuantitatif (Usman, 2004 :
81).
1.6.2 Jenis Penelitian
Jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Fenomenologi.
Penelitian dengan berlandaskan fenomenologi melihat objek penelitian
dalam satu konteks naturalnya (Idrus, 2009 : 59). Peneliti menggunakan
dasar fenomenologi dengan melihat fenomena tidak secara parsial, tidak
11
lepas dari konteks sosialnya karena satu fenomena yang sama dalam situasi
yang berbeda akan pula memiliki makna yang berbeda. untuk itu, dalam
mengobservasi data di lapangan, peneliti tidak dapat melepas konteks atau
situasi yang menyertainya yakni melihat pola pikir secara rasional pasangan
yang tergolong “pernikahan dini” dari suatu fenomena yang disebut sebagai
“pernikahan dini” dalam konteks masyarakat sub urban.
Terdapat ciri yang khas dalam studi fenomenologi yang didasari
pada ilmu humoria diantaranya:
a. Penekanan pada fenomena yang hendak dieksploitasi
berdasarkan sudut pandang konsep atau ide tunggal.
b. Eksplorasi fenomena pada kelompok individu yang semuanya
telah mengalami fenomena tersebut.
c. Pembahasan filosofis tentang ide dasar yang dilibatkan dalam
studi fenomenologi.
d. Pada sebagian bentuk fenomenologi, peneliti menggurung
dirinya diluar dari studi tersebut dengan membahas pengalaman
pribadi dengan fenomena tersebut.
e. Prosedur pengumpulan data secara khas melibatkan wawancara
terhadap individu yang telah mengalami fenomena tersebut.
f. Analisa data yang megikuti prosedur sistematika yang bergerak
dari satuan analisis yang sempit menuju satuan yang luas
kemudian menuju deskripsi yang detail merangkum unsur “apa”
yang dialami oleh individu dan bagaimana mereka
mengalaminya”.
12
g. Fenomenologi diakhiri dengan bagian deskripsi yang membahas
esensi dari pengalaman yang dialami oleh individu tersebut
dengan melibatkan “apa” yang telah mereka alami dan
“bagaimana” mereka mengalaminya. Esensi atau intisari adalah
aspek puncak dari studi fenomenologi.
1.6.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Ngenep Kecamatan Karangploso
Kabupaten Malang. Desa Ngenep terdiri dari 7 (tujuh) Dusun yakni : Dusun
Ngenep, Dusun Baba’an, Dusun Curah Kembang, Dusun Genitri, Dusun
Tumpangrejo, Dusun Lowoksari, dan Dusun Mojosari. Desa Ngenep
merupakan salah satu desa yang secara geografis terletak diantara jalur
alternatif ke arah Kota Surabaya disebelah utara dan jalur alternatif dari
Surabaya menuju ke arah Kota Batu disebelah selatan. Namun demikian,
meski diapit oleh jalur menuju kota besar, Desa Ngenep masih merupakan
desa yang lokasinya di Kabupaten Malang yang tergolong pedesaan serta
mata pencaharian penduduk rata-rata adalah sebagai buruh pabrik di Kota
Malang, buruh tani dan atau petani. Sehingga, Desa Ngenep menjadi Desa
dengan masyarakat Sub Urban. Desa Ngenep juga merupakan desa yang
angka pernikahan dini tertinggi se Kecamatan Karangploso oleh sebab itu
peneliti tertarik untuk meneliti di Desa Ngenep.
1.6.4 Subyek Penelitian
Pemilihan subyek terfokus pada pasangan yang melakukan
pernikahan dini di Desa Ngenep yang tersebar dalam tujuh Dusun.
Pemilihan subyek atau pasangan yang melakukan pernikahan dini ini
13
dibatasi oleh data pada buku catatan kehendak nikah Desa Ngenep dari
tahun 2014 hingga tahun 2016. Selanjutnya penelitian ini menggunakan
teknik Purposif Sampling. Purposif sampling adalah teknik pengambilan
sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang tersebut
dianggap paling tahu tentang apa yang diharapkan, atau mungkin sebagai
penguasa sehingga memudahkan untuk menjelajahi obyek atau situasi sosial
yang ingin diteliti (Sugiyono, 2010 : 210). Peneliti harus mengambil sampel
berdasarkan tujuan tertentu, dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi
sebagai berikut:
a) Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat, karakteristik
tertentu.
b) Subjek yang dipilih harus sesuai dengan ciri-ciri.
Subjek penelitian yang dipilih adalah pasangan yang termasuk menikah dini
di Desa Ngenep. (yakni pada saat menikah, laki-laki atau perempuan berusia
20 tahun).
1. Pasangan yang menikah dini diantara tahun 2014 – 2016.
2. Masih dalam status perkawinan.
3. Berdomisili di Desa Ngenep.
4. Baik suami maupun istri adalah masyarakat Desa Ngenep.
Alasan peneliti mengambil kriteria subjek tersebut untuk
mendapatkan data terkait rasionalitas pernikahan dini menurut pasangan
yang menikah pada usia dibawah 20 tahun dan bekerja di kota untuk melihat
rasionalitasnya sebagai masyarakat sub urban.
14
Berdasarkan kriteria pengambilan sampel penelitian diatas, peneliti
memperoleh enam pasangan pernikahan dini. Sehingga keenam pasangan
yakni terdiri dari enam orang laki-laki dan enam orang perempuan itu
menjadi subyek dalam penelitian ini.
1.6.5 Sumber Data
Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai semua hal yang
berkaitan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian, tidak semua
informasi atau keterangan merupakan data penelitian. Data hanyalah
sebagian saja dari informasi, yakni hanya hal-hal yang berkaitan dengan
penelitian (Idrus, 2009 : 61). Peneliti pada penelitian ini menggunakan
sumber data (informasi) yang menjadi perhatian atau kunci informasi
untuk memperoleh data yang diperlukan, maka terdapat 2 sumber yakni :
a. Data Primer
Sumber data primer yang diperoleh secara langsung dari objek yang
diteliti dengan cara wawancara mendalam serta observasi di lokasi
penelitian. Data-data diperoleh dari keterangan informan atau
narasumber yakni pasangan yang tergolong pasangan pernikahan
dini di Desa Ngenep Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh dari arsip-arsip atau dokumen
seperti catatan kehendak nikah dari mudin Desa Ngenep, data
pasangan yang menikah pada usia dibawah 20 tahun (selama tahun
2014 – 2016) dari Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan
Karangploso, Data pernikahan dini dari Badan Keluarga Berencana
15
(BKB) Kecamatan Karangploso. Selain itu, sumber-sumber data
sekunder didapatkan dengan mencari dan mengumpulkan data
melalui informasi secara tertulis atau gambar-gambar yang
berhubungan dengan fakta dan kondisi di lapangan.
1.6.6 Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi sebagai teknik pengumpulan data mempunyai ciri
spesifik karena tidak terbatas hanya pada orang, namun obyek-obyek
alam yang lain juga. Observasi digunakan apabila, penelitian berkenaan
dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam, dan bila
responden yang diamati tidak terlalu besar (Sugiyono, 2012 : 145).
Obyek yang akan diobservasi nantinya adalah keluarga pasangan
pernikahan dini. Sehingga, data yang nantinya diperoleh dalam
observasi misalnya cara komunikasi sehari-hari dalam keluarga
tersebut, cara mengambil keputusan, cara bertindak dalam menghadapi
masalah, perilaku keseharian didalam rumah tangga seperi pola asuh
terhadap anak, bertetangga dan sebagainya.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila
peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan
permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam. (Sugiyono,
2012 : 231) Peneliti menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur
yakni wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan
16
pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap
untuk pengumpulan datanya. Peneliti melakukan wawancara mendalam
berkaitan dengan rasionalitas pernikahan dini yang dilakukan oleh
subyek penelitian misalnya terkait dengan apa yang membuatnya
memilih untuk menikah dini, bagaimana pernikahan dini dari sudut
pandangnya, bagaimana orangtua menyikapi pilihannya melakukan
pernikahan dini dan sebagainya.
c. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berupa tulisan, gambar,
atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2012 : 240).
Dengan cara melakukan teknik pengumpulan data dokumentasi, peneliti
mendatangi lokasi penelitian untuk mengambil data-data berupa
dokumen tulisan atau foto-foto yang berhubungan dengan judul
penelitian.
1.6.7 Teknik Analisa Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan.
Analisis telah mulai sejak merumuskan dan mejelaskan masalah, sebelum
terjun ke lapangan, dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian
(Sugiyono, 2012 : 245). Proses analisa data ini merupakan proses
penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan
diinterpretasikan. Kegiatan analisa data dalam penelitian ini menggunakan
17
model analisa interaktif Miles dan Huberman melalui empat tahapan
(Sugiyono, 2012 : 247). Tahapan tersebut antara lain sebagai berikut :
Skema 1.1 Model analisa data oleh Miles dan Huberman (1992)
a. Reduksi Data
Data yang diperoleh dilapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Semakin lama peneliti ke
lapangan maka jumlah data akan semakin banyak, kompleks dan rumit.
Untuk itu perlu dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi
data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan
pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian
data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas
dan mempermudah peneliti untuk mengumpulkan data selanjutnya dan
mencarinya bila diperlukan.
Pengumpulan
Data Penyajian
Data
Reduksi Data
Penarikan
Kesimpulan
18
b. Penyajian Data
Pada penelitian Kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart, dan
sejenisnya. Dalam hal ini menurut Miles dan Huberman, yang paling
sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif
adalah dengan teks yang bersifat naratif.
c. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila
kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-
bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan
kesimpulan yang kredibel.
d. Validitas Data
Penelitian ini menggunakan validitas data triangulasi yang artinya
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif. Hal itu dapat dicapai dengan jalan :
a) Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara.
b) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan
apa yang dikatakannya secara pribadi.
19
c) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang
pemerintahan. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu
dokumen yang berkaitan.
Peneliti menggunakan berbagai jenis sumber data dan bukti dari
situasi yang berbeda. Ada 3 sub jenis yaitu orang, waktu dan ruang.
Orang, data-data dikumpulkan dari orang-orang berbeda yang
melakukan aktivitas sama. Waktu, data-data dikumpulkan pada waktu
yang berbeda. Ruang, data-data dikumpulkan di tempat yang berbeda
(Sugiyono, 2012 : 273). Bentuk paling kompleks triangulasi data yaitu
menggabungkan beberapa sub-tipe atau semua level analisis. Jika data-
data konsisten, maka validitas ditegakkan.