BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang...
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan
Kehidupan sebuah agama tidak mungkin dilepaskan dari identitasnya. Identitas1
hidup keagamaan adalah spiritualitas, yaitu iman kepercayaan yang mewujud
dalam praktek beserta motivasi-motivasi yang mendorong terwujudnya praktek
keagamaan tersebut. Sehubungan dengan hal itu, menurut Jan Hendriks2, Gereja
yang memiliki identitas dan konsepsi identitas yang jelas akan membuat suatu
gereja menjadi menarik dan vital. Menurut Chr De Jonge dan Jan Aritonang,
Gereja adalah organisasi dan organisme yang mengantar keselamatan Allah
didalam Yesus Kristus kepada manusia (segi obyektif). Di situ orang-orang
percaya datang ke gereja untuk mendengarkan Firman yang disampaikan dalam
kotbah atau ajaran serta menerima sakramen-sakramen yang dilayankan. Gereja
juga sekaligus merupakan tempat persekutuan manusia yang menjawab, memberi
dan mengungkapkan iman dan ibadah kepada Allah (segi subyektif). Selain itu
Gereja adalah persekutuan orang percaya yang diutus untuk mengantar
keselamatan Allah kepada seluruh dunia (segi apostoler atau segi ekstravert).
Dengan demikian, Gereja tidak hanya merupakan jembatan antara Allah dan
orang-orang percaya, tetapi juga jembatan antara Allah dan dunia3. Sehingga
1 Identitas adalah kekhasan organisasi, menunjuk pada sesuatu yang mencirikan dan membedakannya dari grup lain. Identitas adalah definisi diri grup tertentu tentang siapa saya? Apa misi saya dalam kultur dan masyarakat ini? 2 J.Hendriks, Jemaat Yang Vital Dan Menarik. Kanisius.Yogyakarta 3 Dr. Chr. De Jonge dan Dr. Jan S.Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja? (Pengantar Sejarah Eklesiologi). BPK Gunung Mulia. Jakarta.1997, hal 5. Didalalam buku tersebut, disebutkan bahwa
Gereja secara terus-menerus ditantang untuk merumuskan identitas dan konsepsi
identitasnya dalam konteks kultur dan masyarakatnya. Menurut Jan Hendriks4,
identitas Gereja hendaknya bersifat pasti dan utuh, namun berdasarkan sejarah
dapat dilihat bahwa penekanan dari ketiga segi obyektif, subyektif dan ektravert
tersebut tidaklah selalu sama. Selama berabad-abad, Gereja telah bergumul untuk
mencari keseimbangan antara segi institusional atau obyektif, segi subyektif dan
segi ekstravert. Sebagai contoh, dalam pengamatan penulis adalah bahwa Gereja
kerap kali memberi penekanan kepada pembinaan spiritualitas yang sifatnya ke
dalam (perjumpaan dengan Tuhan) dan mengabaikan pelayanan-pelayanan sosial
(aspek ekstravert), demikian juga terjadi sebaliknya. Padahal 3 (tiga) aspek
tersebut merupakan pengejawantahan iman Kristen yang menyatu yaitu relasi
vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan relasi horisontal (hubungan dengan
sesama) yang semestinya diseimbangkan, menyatu dan tak terpisahkan. Gereja
dalam melaksanakan aspek ekstravert dengan melakukan pelayanan-pelayanan
sosial seharusnya juga selalu dibarengi dengan internalisasi diri dan refleksi
dalam terang hidup iman, sehingga tidak terjebak pada aktivisme dan dilema cara
berpikir yang bias dari iman Kristen. Dan pada gilirannya dengan mudah Gereja
sebagai lembaga yang memiliki kumpulan ajaran, ritus dan kultus akan dipakai
untuk kepentingan-kepentingan ideologis tertentu. Sebaliknya jika aspek obyektif
dan subyektif lebih ditekankan, maka itu berarti bahwa fungsi domestik
(memenuhi kebutuhan jemaat sifatnya ke dalam) sebagai salah satu fungsi agama
menjadi fungsi yang lebih ditonjolkan daripada fungsi kritis inovatifnya yang
berdasarkan teologis sistematis gereja memiliki beberapa segi yaitu: segi obyektif, segi subyektif dan segi apostoler (ekstravert). 4 J. Hendriks, Jemaat Yang Vital dan Menarik, Kanisius. Yogyakarta.
mengharuskan gereja memainkan peran katalisator bagi perubahan-perubahan
sosial. Oleh karena itu demi sebuah kesimbangan Hendriks mengusulkan 3 (tiga)
unsur identitas Gereja yaitu: doa, persahabatan, dan pelayanan kepada kaum yang
paling miskin. Sedangkan Jim Herrington5 menambahkan ketiga unsur identitas
Gereja yaitu spiritualitas dan relasi yang vital. Menurut Herrington, spiritualitas
dan relasi yang vital adalah jantung dan sumber energi dari suatu proses
transformasi. Tanpa sebuah tingkatan spiritualitas dan vitalitas yang cukup, maka
suatu gereja tidak akan mampu mendukung proses transformasi. Jemaat yang
tidak memiliki komitmen untuk mentaati Allah atau mengalami perpecahan-
perpecahan serius juga tidak akan dapat melaksanakan transformasi, karena
sesungguhnya antara spiritualitas dan proses transformasi memiliki keterkaitan
erat. Proses transformasi adalah segala daya upaya Gereja untuk mewujudkan
Kerajaan Allah dan dalam melaksanakan proses transformasi, Gereja
membutuhkan kekuatan atau Roh untuk tahan uji. Spiritualitas transformatif
berarti menyatukan sikap dan praktek iman sebagai pelaksana tugas perutusan
Gereja menjadi mitra Allah dalam mewujudkan Kerajaan Allah. Penulis
menduga bahwa salah satu penyebab adanya pemisahan antara spiritualitas dan
pelayanan sosial disebabkan tidak jelasnya gereja dalam memahami istilah
spiritualitas dalam sebuah pemahaman yang utuh dan padu. Hal ini juga
merupakan bukti bahwa makna spiritualitas mengalami berbagai penyempitan dan
pendangkalan arti, dalam cara berpikir yang dikotomis. Menurut Banawiratma
5 Jim Herrington Cs, Leading Congregational Change Wordbook, Jossey-Bass A Willey Company. New York. Th 2000. Lihat dalam pendahuluan.
dkk6 spiritualitas sebenarnya mempunyai pengertian yang lebih luas yang
harusnya terwujud dalam kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Spiritualitas merupakan kesadaran dan sikap hidup manusia untuk tahan uji dalam
mewujudkan tujuan dan pengharapan perwujudan Kerajaan Allah7. Dengan
demikian yang dimaksud dengan spiritualitas transformatif adalah iman
kepercayaan yang terwujud dalam praktek beserta motivasi yang mendorong
praksis gereja dan masyarakat.
1.1 Sejarah Pergulatan Spiritualitas dan Maknanya
Menurut Juergen Moltmann8 memahami spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari
sejarah yang membentuknya. Kenyataan secara historis membuktikan bahwa
pemahaman tentang spiritualitas mengalami dinamika dalam makna dan
cakupannya, misalnya: pada abad ke V, pemahaman spiritualitas Kristen dilihat
sebagai pemisahan antara yang rohani dan yang materi dalam praktek hidup
asketis serta anti materi. Pada abad XII sampai abad XVI, pemahaman
spiritualitas Kristen bergeser ke suatu bidang teologi yang terkait dengan
kesempurnaan hidup dan cara-cara untuk mencapainya. Selanjutnya pada abad
XVII, usaha hidup kudus semakin mendapat perhatian yang besar khususnya di
6 JB. Banawiratma (Editor) Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekumenis. Penerbit Kanisius. 1990. Jogjakarta, hal 58 7 Menurut Penulis, Gereja tidak identik dengan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah dimulai oleh Allah yang menunjuk pada pemerintahan Allah yaitu kawasan dimana kehadiran dan kuasa Allah berlaku dan dialami. Sedangkan Gereja adalah perhimpunan atau persekutuan yang mengalami kuasa Allah. Kerajaan Allah menciptakan gereja dan bekerja melalui gereja untuk mewartakannya. Gereja adalah saksi, alat dan sekaligus pemelihara Kerajaan Allah. 8 Lihat dalam Bab IV The Spirit of live: Spirituality or Vitality? Dalam buku karangan Juergen Moltmann: The Spirit of live: A Universal Affirmation. Fortress Press. Minneapolis.1992. p 84-85. Dalam buku ini Moltmann menegaskan bahwa spiritualitas yang sesungguhnya meliputi dimensi-dimensi kehidupan yang utuh dan luas yang digerakkan oleh Roh Kudus sebagai Roh kehidupan.
kalangan Moravian dan Methodis. Penekanan hidup ilahi dan kudus
mencerminkan adanya tradisi-tradisi spiritualitas yang lebih merupakan
pengalaman mistis, meskipun ada juga yang memandang spiritualitas sebagai
ilmu yang mempelajari anugerah-anugerah dalam doa-doa mistis di kalangan
orang-orang percaya9. Lebih lanjut Juergen Moltmann10 mengatakan bahwa
dalam sejarahnya spiritualitas sering diartikan sebagai cara hidup yang
meninggalkan dunia, secara khusus menekankan pengalaman akan Allah yang
dihubungkan dengan hidup asketis, meditasi dan kontemplasi. Setiap corak
spiritualitas yang dipilih oleh Gereja pasti tidak terpisahkan dari konteks
masyarakatnya dan zamannya. Sejarah membuktikan bahwa Gereja pernah
menempatkan tujuan-tujuan spiritualitas terpisah dengan panggilan kehidupan
Kristen di dunia dan kepada dunia. Bertolak dari deskripsi sejarah tersebut,
nampaknya Gereja jaman sekarang mempunyai tugas untuk mengintegrasikan
spiritualitas dengan panggilan Kristen di dunia dan kepada dunia. Salah satunya
adalah mengintegrasikan spiritualitas dan pelayanan-pelayanan sosial sebagai
wujud karya dan pelayanan di tengah-tengah konteksnya.
1.2 Antara Hambatan dan Peluang
Pada abad ke XXI ini, sesungguhnya telah terjadi perubahan paradigma dalam
dunia ilmu pengetahuan yang melihat dunia termasuk manusia secara keseluruhan
9 Aristarkhus Sukarto, Modernitas dan Spiritualitas: Refleksi Misi atas Pergumulan Untuk Memahami Spiritualitas Kristen dan Aplikasinya dalam Era ini. Paper bahan kuliah Misi Gereja Dalam Konteks. Tanpa tanggal dan tahun, hal 2 10 Juergen Moltamann, The Spirit of Live: A Universal Affirmation. Fortress Press. Minneapolis.1992. p-85
dari pada sebagai bagian yang terpisah-pisah11. Danah Zohar dan Ian Marshall
memperkenalkan satu model kecerdasan yaitu kecerdasan spiritual, (SQ) yaitu
kemampuan manusia untuk memecahkan masalah-masalah tentang makna dan
nilai-nilai. Dengan kecerdasan spiritual diyakini manusia dapat menempatkan
tindakan dan hidupnya di dalam konteks yang paling luas dan kaya makna, yaitu
suatu kecerdasan yang dapat membuat tindakan dan bagian hidup manusia
menjadi lebih bermakna. Menurut keyakinan Zohar dan Marshall, SQ akan
mendasari efektivitas berfungsinya IQ dan EQ. Zohar dan Marshal mengutip
Webster’s dictionary yang mendefinisikan spirit sebagai daya hidup atau prinsip-
prinsip vital yang memberikan hidup kepada organisme fisikal yang berbeda
pada dirinya dengan elemen-elemen material. Harus diakui bahwa manusia
secara esensial adalah pencipta spiritual karena diarahkan oleh kebutuhan
pertanyaan yang fundamental atau pertanyaan yang mendasar. Manusia selalu
diarahkan dan akhirnya harus mendifinisikan harapan untuk menemukan makna
dan nilai di dalam karya dan pengalamannya12. Dengan demikian menurut Zohar
dan Marshall dalam bukunya Spiritual Quotient melihat spiritualitas sebagai
kemampuan manusia yang berfungsi sebagai pendorong menciptakan nilai atau
makna yang disebut “God Spot”. Karena perspektif pendekatannya yang lebih
bersifat psikologis, maka pengertian spiritualitas yang dimaksudkan dalam buku
itu tidak terkait dengan pemahaman iman agama tertentu. Jika diperbandingkan
11 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ Spiritual Intellegence The Ultimate Intellegence. Bloomsbury Publishing. New York and London.2000, hal 18 dibab 2 (dua) yang membahas tentang krisis makna dikutip dari sebuah pernyataan Viktor Frankyl. 12 Ibid, hal 4
dengan pengertian spiritualitas Kristen menurut McGrath13 adalah sesuatu yang
memberi hidup dan memberi semangat, gairah, daya juang kepada manusia.
Spiritualitas terkait dengan kehidupan iman dan segala variabel-variabel yang
mendorong dan memotivasi kehidupan iman. Juga segala sesuatu yang
dieksplorasi untuk menolong, menyokong dan mengembangkan kehidupan iman.
Spiritualitas bekerja dalam kehidupan nyata iman seseorang, yang berkenaan
dengan tindakan dan kepercayaan. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya
sekedar ide, meskipun ide-ide dasar tentang iman Kristen penting untuk
memperjelas spiritualitas Kristen. Hal ini berkenaan dengan cara hidup Kristen
yang dipahami dan dihidupi serta pengertian penuh terhadap realitas Allah.
Selanjutnya McGrath14 mengatakan bahwa spiritualitas Kristen sebagai refleksi
dari keseluruhan “Christian enterprise of achieving and sustaining a relationship
with God, which icludes both public worship and private devotion, and the results
of these in actual Christian life”. Spiritualitas Kristen merujuk kepada cara hidup
Kristen yang dipahami dan secara eksplisitit menunjuk pada latihan-latihan rohani
dan penyembahan kepada Allah untuk mengembangkan dan mendukung cara
hidup yang berhubungan dengan Kristus. Spiritualitas Kristen dipahami sebagai
cara Orang Kristen secara pribadi atau kelompok berkenaan dengan pengalaman
perjumpaan dengan Allah. Kekristenan paling tidak terdiri dari 3 (tiga) elemen
pokok15: pertama, suatu sistem kepercayaan (a set of belief) bagian-bagiannya
adalah doktrin, kredo, pernyataan iman. Kedua, suatu sistem nilai-nilai (a set of
values). Kekristenan secara kuat menekankan kehidupan etis iman. Nilai-nilai itu
13 Alister E McGrath, Christian Spirituality. Blackwell Publishers. Malden Massachusetts USA.1999, hal 2 14 Alister E. McGrath, ibid, hal 3 15 Ibid, hal 3
dihubungkan dengan karakter dan pribadi Kristus dari Nazaret yang dihormati dan
diteladani sebagai dasar hidup iman dan teladan utama sebagai pengikut Allah.
Ketiga, suatu cara hidup ( a way of life). Kekristenan tidak hanya berisi
kepercayaan dan nilai-nilai, namun kehidupan nyata yang mengekspresikan ide-
ide dan nilai-nilai dalam suatu cara hidup.
1.3 Wacana tentang Spiritualitas dan Hubungannya dengan Pelayanan
Sosial
Wacana tentang spiritualitas dan hubungannya dengan pelayanan sosial menarik
minat kaum Liberatif. Spiritualitas menurut pandangan liberatif dapat dilihat dari
salah satu tokohnya yaitu Aloysius Pieris yang memberi apresiasi terhadap
Konsili Vatican II yang membuka pintu bagi perumusan komprehensif dari hal
yang secara tradisional telah dikotak-kotakan seperti liturgi, spiritualitas, dan
keterlibatan sekular (sosio-politis). Meskipun ketiga hal tersebut ditempatkan
sejajar, menurut Pieris bisa bergeser kepada pemisahan rangkap tiga yaitu16:
pertama, litugi berhadapan dengan spiritualitas. Kedua, spiritualitas berhadapan
dengan keterlibatan sekular. Ketiga, keterlibatan sekular berhadapan dengan
liturgi. Selanjutnya Pieris mengatakan bahwa ketiga unsur tersebut seharusnya
tidak dilihat secara dikotomis, melainkan sebagai kesatuan yang saling mencakup
dari satu kehidupan Kristiani sejati seperti lingkaran yang tak terputus. Menurut
Pieris, spiritualitas adalah masuknya kawasan Roh ke dalam penghayatan orang
beragama, yang membawa ke dalam kawasan yang melampaui ajaran-ajaran dan
mendekatkannya kepada sesama manusia dan alam, maka selanjutnya manusia 16 Aloysius Pieris SJ, Berteologi Dalam Konteks Asia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, 1996, hal 21
memberi respon dan penyerahan diri yang total, akrab dan intim, personal dan
hangat, dan penuh bakti darinya kepada Roh. Dengan menemukan kembali
hakikat spiritualitas, maka agama dan umat beragama akan memberi sumbangan
yang positif bagi usaha-usaha pembangunan masyarakat yang terarah kepada
persaudaraan dan cinta kasih semesta17. Selain Pieris, seorang teolog Indonesia
Eka Darmaputra18 juga turut mempertanyakan inti atau sari pati agama. Dengan
mengutip pendapat William James (lihat bukunya The Varietes of Religious
Experience: A Study in Human Nature) bahwa yang paling inti dan paling hakiki
dari agama adalah pengalaman, khususnya pengalaman yang unik, lain dari pada
yang lain, yang dasyat dan mengurung, mencengkeram sepenuhnya
(overwhelming) orang yang mengalaminya dan mengubahnya secara total dan
radikal. Jadi inti dari agama adalah religious experience (pengalaman religius)
yang pada akhirnya mampu mengubah orang yang mengalaminya. Namun
menurut Eka Darmaputra harus diakui bahwa kemampuan untuk mengubah ini
bisa mengalami penurunan atau bersurut. Menurut E.Darmaputra, penerusan dan
pewarisan pengalaman keagamaan dilakukan dalam proses, yang mengambil 3
(tiga) bentuk19: pertama, pengalaman agamaniah yang diberi bentuk kognitif yang
selanjutnya direfleksikan dalam bentuk mitos, doktrin dan dogma. Kedua,
pengalaman agamaniah yang diberi bentuk ekspresif, untuk memenuhi kebutuhan
emosional manusia yang diterjemahkan, didramakan, dan diperagakan dalam
bentuk ritus-ritus, upacara-upacara ibadah. Ketiga, pengalaman agamaniah yang
17 Catatan Redaksi, lihat dalam pengantar dengan tema Agama dan Spiritualitas Jurnal Penuntun (Jurnal Teologi dan Gereja) Vol 3, No.12, Juli 1997. Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat. Jakarta.1997 18 Lihat “Agama dan Spiritualitas: Suatu Perspektif Pengantar” Eka Darmaputra dalam Ibid, hal 388 19 Ibid, hal 390-391
diberi bentuk praktis, guna memenuhi kebutuhan fungsional manusia.
Pengalaman agamaniah yang dijabarkan dalam bentuk norma-norma dan aturan-
aturan praktis untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu etika.
Menurut Eka Darmaputera penerusan dan pewarisan pengalaman melalui ketiga
proses tersebut bisa menurun atau surut, maka dari itu ia mengusulkan bahwa
upaya untuk mengatasi penurunan dalam kemampuan agama untuk mengubah
manusia adalah dengan merevitalisasikan spiritualitas 20. Dan yang dimaksudkan
yaitu revitalisasi spiritualitas yang mampu memadukan ketaatan yang mutlak
kepada Allah dan kasih yang total kepada sesama21
1.4 Pergulatan Spiritualitas GKI Manyar Surabaya
GKI Manyar mengalami pergulatan spiritualitas yang agak menonjol untuk
dieksplorasi, khususnya dalam perspektif pembangunan jemaat. Pergulatan
spiritualitas di GKI Manyar sempat menimbulkan pro-kontra karena menekankan
pada aspek-aspek tertentu dalam spiritualitasnya22. Pro-kontra tersebut terbagi dalam
2 (dua) kelompok, pertama: yaitu kelompok jemaat yang ingin bertahan dengan corak
spiritualitas model GKI dan warisan tradisinya serta identitasnya. Kedua, kelompok
yang ingin mengembangkan spiritualitas yang lebih bebas (dalam terminologi
liturgis), menekankan karya Roh Kudus, memberikan tempat pada pengalaman iman
dan unsur perasaan atau emosi, menonjolkan kehidupan doa dan kekudusan hidup dan
sebagainya. Dalam pergulatan spiritualitas GKI Manyar terjadi penekanan pada
20 Ibid, hal 393. 21 Ibid, hal 395 22 Hasil wawancara dengan Pendeta GKI Manyar DS, pada tanggal 3 Januari 2005
aspek pengalaman yang menimbulkan “perpecahan”23 karena hanya hal yang bersifat
supranatural semata yang dikejar24. Sedangkan dampak positif pergulatan spiritualitas
yaitu terjadi pengembangan spiritualitas jemaat. GKI Manyar memiliki aktivitas dan
pembinaan spiritualitas kepada jemaat dengan mengadakan 2 (dua) persekutuan doa
di hari Selasa (dalam bentuk doa kontemplatif/Taize) dan doa malam pada setiap hari
Kamis dalam corak Kharismatik25. Penulis berminat untuk melihat, sejauh mana
aktivitas doa-doa tersebut mentransformasi jemaat baik secara personal maupun
komunal, khususnya hingga dorongan imperatif untuk melakukan aksi pelayanan
sosial.
Sedangkan secara geografis, lokasi GKI Manyar dapat dikategorikan
berada dalam suatu lokasi perumahan “elit”, namun di sekitarnya dikelilingi oleh
perkampungan masyarakat miskin. Posisi demografi yang demikian penting untuk
dieksplorasi, sejauh mana spiritualitas jemaat menjawabi masalah-masalah sosial
masyarakat, khususnya konteks kemiskinan yang ada disekitarnya. Penulis berminat
23 Hal ini tercermin dari visi GKI Manyar yaitu menjadi keluarga besar Allah yang harmonis, bertumbuh dalam iman dan mampu berbagi dengan lingkungan 24 Hasil wawancara dengan aktivis pemuda GKI Manyar PT, pada tanggal 20 Februari 2005. Realita ini juga dicerminkan dengan visi dan misi GKI Manyar 2005-2007 dimana GKI Manyar diibaratkan sebagai keluarga besar Allah yaitu masing-masing anggotanya diikat oleh sebuah komitmen untuk saling peduli, menerima dan saling mendidik. Pentingnya komitmen ini karena ia bersifat mengikat dan memberikan ciri khas yang membedakan gereja dari organisasi sosial lainnya. Realita seluruh keluarga besar adalah adanya keragaman keluarga besar Allah menerima keragaman sebagai kekayaan yang indah. Keragaman meliputi karakter, temperamen, latar belakang pendidikan, suku bangsa dan lain-lain. Untuk itu diperlukan sikap dan pandangan positif serta pengorbanan diri pada satu sisi, serta upaya penataan dan pertanggung jawaban pada nilai yang lain. Keharmonisan dipandang sebagai keseimbangan antara menerima perbedaan dan mendorong supaya penataan dan pertanggung jawaban. Ciri sebuah warga dimanapun adalah adanya pertumbuhan masing-masing anggotanya. 25 GKI Manyar merupakan GKI di Surabaya yang pertama kali mengadakan Persekutuan Doa Taize. Model doa kontemplatif atau Taize dilakukan dengan cara menyanyi lagu-lagu pendek tetapi dalam maknanya secara diulang-ulang, doa dalam keadaan hening, tidak ada khotbah, hanya pembacaan ayat alkitab tanpa ada penjelasan. Penerangan menggunakan lilin-lilin dan lampu diredupkan. Peserta doa ini rata-rata 15-25 orang. Sedangkan doa malam, hari Kamis yang bercorak kharismatik, suasana persekutuan doa lebih semarak. Nyanyian diiringi dengan musik, lagu riang sambil bertepuk tangan, ada khotbah yang disampaikan, beberapa jemaat berdoa dan menyembah Tuhan dengan menggunakan bahasa roh, doa-doa juga diucapkan dengan kalimat-kalimat yang terdengar. Dihadiri rara-rata 30 orang jemaat. (Hasil pengamatan/live-in di GKI Manyar mulai tanggal 1 Januari-31 Maret 2005)
untuk meneliti relasi spiritualitas jemaat dengan realitas masyarakat di sekitar Gereja
sebagai konteksnya. Penulis menfokuskan pada isu tersebut.
1.5 Keunikan Pergulatan Spiritualitas GKI Manyar dalam Konteks Corak
Spiritualitas GKI Sinwil Jatim (Mainstream)
Berdasarkan wawancara26, diperoleh informasi bahwa nampaknya sulit untuk
menentukan secara pasti corak spiritualitas GKI Sinwil Jatim yang uniform. Hal
tersebut disebabkan oleh banyaknya zending yang mempengaruhi dengan bermacam-
macam corak yang ikut membentuk dan mempengaruhi spiritualitas GKI Sinwil Jatim
yaitu THKTH, Misionaris dari Belanda, dari Amerika (Hudson Tylor), John Sung,
Pietisme dan sebagainya. Maka tidak mengherankan jika pluriformitas corak
spiritualitas terbawa sampai sekarang ini. Berdasarkan wawancara27 juga, pluriformitas
corak spiritualitas di GKI Sinwil Jatim dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) corak
yaitu: corak spiritualitas Liberal, corak spiritualitas Injili dan corak spiritualitas
Kharismatik28. Namun demikian sejauh yang penulis ketahui, dari ketiga corak di atas
belum pernah diteliti sejauh mana corak spiritualitas di atas mampu mentransformasi
jemaat dan masyarakatnya.
GKI Manyar sebagai bagian dari GKI Sinwil Jatim melakukan pelayanan-
pelayanan sosial kepada warga jemaat dan masyarakat umum sebagai bagian dari
spiritualitasnya. Menurut penulis idealnya, pelayanan-pelayanan sosial merupakan
perwujudan dan dampak nyata dari keyakinan dan praktek iman dalam menjawabi
26 Hasil wawancara dengan pendeta GKI Sinwil Jatim inisial ST 27 Hasil Wawancara dengan pendeta GKI Sinwil Jatim inisial YS 28 Menurut Penulis ketiga corak spiritualitas tersebut memiliki ciri khas yang berbeda. Dan perbedaannya yang paling mencolok adalah dalam pada pemahaman dan penekanan pada transformasi. Misalnya corak spiritualitas Injili lebih menekankan bahwa transformasi personal/pribadi melalui lahir baru.
masalah-masalah sosial sesuai konteks masyarakat dimana gereja berada. Pelayanan
sosial merupakan salah satu barometer untuk mengukur apakah spiritualitas jemaat
sudah transformatif atau belum. Dalam konteksnya sesungguhnya terdapat segudang
masalah sosial di Jawa Timur yang menjadi tantangan utama dan konteks GKI Manyar
adalah29:
1. Kependudukan: Jumlah penduduk 35 Juta orang, 60% berada dibawah usia 30
tahun; penduduk miskin 10 %. Orang miskin di Jatim berdasarkan data BPS pusat
adalah 7.312.475 jiwa.
2. Pendidikan masih jauh dari ideal; penduduk berpendidikan SD ke bawah masih
besar. Motivasi sekolah masih belum konstruktif, mutu SDM memprihatinkan.
3. Pekerjaan: sebagian besar masih bekerja tanpa perlindungan organisasi; struktur
hubungan, musiman, ketrampilan terbatas. Persentetase tertinggi masih bekerja
sendiri: pekerja struktural masih sangat terbatas. Diperlukan investasi besar untuk
membangun kesempatan kerja.
4. Kesehatan: kondisi lingkungan ikut memperburuk, pengeluaran untuk kesehatan
sangat besar. Tidak ada perlindungan dan dukungan publik: indikator kematian
bayi, kematian ibu hamil dan angka sakit masih cukup tinggi. Masih banyak
pekerja formal belum punya jaminan kesehatan.
5. Kondisi sosial lainnya: perkawinan usia dini masih tinggi, angka perceraian dan
perkawinan dibawah usia dewasa makin besar. Pekerjaan asusila antara lain: judi,
narkoba, korupsi merajalela dan sebagainya.
Menurut penulis, masalah-masalah di atas merupakan konteks yang berkaitan erat dengan
panggilan dan perutusan Allah kepada GKI Manyar sebagai gerejaNya. GKI Manyar 29 Kresnayana Yahya, Tantangan Layanan Gereja, dalam bentuk makalah, hal 9
merupakan komunitas umat Allah yang dipanggil sebagai mitra Allah dalam mewujudkan
transformasi di jemaat dan masyarakat demi perwujudan Kerajaan Allah.
1.6 Pentingnya Spiritualitas Dalam Pembangunan Jemaat
Secara umum GKI merumuskan misinya tahun 2002-2010 adalah “membangun
spiritualitas yang berpusat pada hubungan yang hidup dengan Allah30”. Menurut penulis
hal ini penting, karena hal tersebut mencerminkan sebuah kesadaran tentang pentingnya
spiritualitas dalam proses pembangunan jemaat di kalangan GKI Sinwil Jatim. Kesadaran
itu tercermin dengan komentar seorang pendeta GKI mengatakan31 bahwa
“pembangunan jemaat akan sia-sia tanpa pembangunan spiritualitas jemaat itu sendiri”.
Menurut penulis pernyataan ini sungguh tepat dan patut direnungkan. Merujuk tokoh
teologi praktika yaitu Rob Van Kessel32 yang paling peduli dengan masalah spiritualitas,
karena menurutnya umat Kristiani dewasa ini sedang ditantang serta diancam oleh proses
perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seperti modernisasi dan sekularisasi. Di
tengah-tengah kondisi seperti itu Gereja diharapkan untuk berpartisipasi kreatif dalam
perkembangan jaman sedangkan di sisi lain warga jemaat merasakan juga efek-efek
negatif dari perubahan tersebut. Pembangunan jemaat menawarkan bermacam-macam
usaha-usaha yang diharapkan dapat menangani proses itu dengan tepat. Pembangunan
jemaat ingin menyediakan program yang menginspirasikan harapan dengan tujuan sentral
30 Dalam penjelasan misi tersebut adalah bahwa pertumbuhan spiritualitas anggota GKI merupakan dasar pelaksanaan keseluruhan misi. Dan untuk mendorong terlaksananya pengembangan spiritualitas yang berpusat pada hubungan yang hidup dengan Allah perlu dilakukan berbagai kegiatan seperti doa, khotbah, pemahaman Alkitab dan katekisasi. Dengan cara bersama-sama pula perlu dilaksanakan membudayakan pembacaan Alkitab, melakukan kebaktian keluarga, berperan serta aktif dalam pemahaman Alkitab dan berdoa bersama. Lihat dalam Visi dan Misi GKI Th 2002-2010 . Badan Pekerja Majelis Sinode GKI. Tahun 2004, hal 2 31 Hasil wawancara dengan Pendeta GKI dengan inisial WA 32 Rob van Kessel, 6 Tempayan Air, Penerbit Kanisius. Yogyakarta
vitalisasi karena fokusnya pada kehidupan yang baru, pemancaran terang yang baru dan
daya tarik yang baru. Pembangunan jemaat mau ikut membangun Gereja dimana orang
dengan semangat baru mau berdiam dan bekerja. Apapun yang dipikirkan tentang gereja
jika tidak ada pengalaman bersama yang distrukturkan dalam salah satu bentuk institusi
nyata maka segala yang baik yang ada dalam pengalaman Kristen lambat laun akan
lenyap dalam sejarah. Inilah keyakinan yang mendasari Pembangunan Jemaat.
Pembangunan Jemaat berarti mencari cara berpikir serta bertindak fungsional untuk
bereaksi terhadap permasalahan yang sedang dialami dewasa ini. Pembangunan Jemaat
mempergunakan metode-metode bertindak yang baru yang tampaknya akan membawa
pemecahan. Metode-metode tersebut harus diuji validitasnya secara kritis melalui
penelitian empiris. Setiap masalah dalam gereja harus dideskripsikan sejelas-jelasnya
sehingga ditemukan relasi antara masalah dan harapan-harapan yang ada. Selanjutnya
dikaji sebab-sebab permasalahan sambil dicari perspektif baru dan metode pemecahan
yang mempunyai arti dan fundamental tentang kesejahteraan manusia. Itu berarti dalam
teologi, tujuan pembangunan jemaat perlu dirumuskan dengan jelas dan teliti dalam
kerangka kebijakan Kristiani yang lebih luas dan diselaraskan dengan pengertian manusia
tentang yang baik dan membahagiakan yang diperoleh dari refleksi pengalaman bersama
Allah berdasarkan Alkitab dan keikutsertaannya pada Yesus Kristus demi sebuah
pencapaian Gereja yang vital. Tapi bagaimanakah mengukur vitalitas gereja? Apa yang
menjadi ciri-cirinya dan sifat-sifatnya? Kriteria itu dapat dibagi dalam tiga kelompok33:
pertama, vitalitas itu tergantung pada apakah dan sejauh manakah jemaat beriman
menemukan dirinya dalam penghayatan Injil? (maka kriteria pertama adalah menanyakan
identitas jemaat). Kedua, sejauh mana struktur intern, dan pemenuhan fungsi dalam 33 Rob van Kessel, ibid, hal 7
jemaat berlangsung? Bagi vitalitas, perlu bahwa relasi-relasi intern, tugas-tugas dan
kompetensi-kompetensi diorganisasikan secara efesien. Pembangunan jemaat harus
memperhatikan pengorganisasiannya dengan seksama. Bukan hanya caranya tapi juga
efisiensinya. Ketiga, sejauh mana Injil relevan, bermakna dan mencolok dalam
penampilan serta penghayatan anggota jemaat sendiri secara de facto. Selain itu, juga
mempertanyakan sejauh manakah jemaat termotivasi untuk berpartisipasi dalam
perwujudan Gereja kedalam dan keluar (Kriteria ini mempertanyakan spiritualitas pribadi
orang beriman yang bersangkutan). Menurut Rob van Kessel34 vitalitas Gereja terkait
dengan spiritualitas. Menurutnya, spiritualitas adalah keseluruhan hidup yang terdiri dari
kata, gambaran dan perbuatan. Keseluruhan itu berasal dari tradisi Gerejawi maupun dari
pengalaman dan penemuan mengenai segala sesuatu yang baik dan membahagiakan
dalam cara berpikir, merasa dan bertindak. Pengalaman itu memberi motivasi.
Menurut van Kessel, istilah spiritualitas identik dengan model etis. Ada banyak
model etis yang telah dipakai gereja menjadi perwujudan keseluruhan yang konsisten
tentang norma-norma kelakuan yang oleh gereja dijadikan keharusan bagi anggotanya
agar sebagai persekutuan bisa bertahan dan berkembang. Pertanyaannya adalah model
spiritualitas seperti apakah yang dapat menjadikan gereja menjadi vital dan menarik?
Gereja adalah vital dan mempunyai identitas kalau anggota dan pemimpinnya membuka
mata, telinga dan hati terhadap penderitaan disekelilingnya, kongkret, dekat dan lebih
jauh dalam terlibat dalam mencurahkan kekuatannya untuk membebaskan manusia dari
penderitaan. Spiritualitas yang diperlukan disini adalah spiritualitas yang melihat,
merasakan dan mengerti kehadiran Allah dalam orang yang mengalami penderitaan dan
ketidak-adilan. Dalam mereka yang walaupun menderita mempunyai keberanian dan 34 Ibid, hal 9
harga diri untuk tetap mau hidup secara manusiawi. Itulah spiritualitas yang mengabdikan
dirinya kepada manusia yang tersalib. Menurut van Kessel dalam sebuah proses
pembangunan jemaat, spiritualitas salib merupakan dasar yang fundamental. Sebab tanpa
itu, maka pembangunan jemaat bisa terjebak dalam aktivisme dan dilema cara berpikir
liberalistis dan sosialistis, tanpa kemungkinan untuk merefleksikan didalamnya identitas
etis sendiri. Dalam konteks GKI Manyar corak spiritualitas seperti apa yang dihidupi dan
dipraktekan oleh jemaat dalam rangka menjawabi konteksnya?
II. Perumusan Masalah
1. Dengan latar belakang tersebut, sebenarnya pertanyaan yang mau dijawab dalam
tesis ini adalah bagaimana hubungan spiritualitas jemaat dengan pelayanan-
pelayanan sosial dalam konteks pembangunan jemaat di GKI Manyar? Apakah
ada kausalitas atau berdiri sendiri secara terpisah? Apakah diintegrasikan atau
diceraikan? Bagaimana membangun spiritualitas yang transformatif dalam
konteks pembangunan jemaat GKI Manyar? Dalam hal ini yang penulis maksud
adalah apakah GKI Manyar yang telah merumuskan misinya untuk membangun
spiritualitas yang hidup, masih dipengaruhi oleh warisan tradisinya dan teologi
yang merupakan hasil dari para zending? atau dalam perkembangannya GKI
Manyar mereformulasikan model spiritualitasnya? Khususnya dalam konteks
pembangunan jemaat di GKI Manyar, sudahkah pergulatan spiritualitas yang
terjadi di GKI Manyar diarahkan kepada proses transformasi secara luas dari aras
personal ke komunal bahkan sosial dimana pengalaman pribadi diakui dan
difungsikan dalam pembangunan jemaat dan praksis masyarakat?
2. Penulis menganggap bahwa spiritualitas adalah sesuatu yang penting dalam
kehidupan gereja, akan tetapi sejauh yang penulis ketahui spiritualitas yang
transformatif belum terdefinisikan, khususnya yang merangkum praksis gereja
dan praksis masyarakat. Oleh karena itu, penulis menganggap perlu
mengupayakan mendefinisikan spiritualitas transformatif dalam ranah dua praksis
tersebut. Penulis berangkat dari Teologia Praktika, khususnya ilmu-ilmu
Pembangunan Jemaat untuk mengangkat pergulatan spiritualitas yang terjadi di
GKI Manyar Surabaya.
III. Perumusan Topik/Judul
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dan pertimbangan diatas, maka penulis memilih
topik/judul bagi tesis ini dengan:
Merajut Spiritualitas Transformatif:
Studi Pembangunan Jemaat Tentang Spiritualitas di GKI Manyar Surabaya
IV. Hipotesa:
1. GKI Manyar mengalami pergulatan spiritualitas yang menonjol, namun
diduga pergulatan spiritualitas GKI Manyar belum sepenuhnya
mentransformasi masyarakatnya. Salah satu penyebabnya diduga karena
dipengaruhi oleh model spiritualitasnya yang dihidupi khususnya model
spiritualitas yang memisahkan diri dengan dunia melalui keterlibatan dalam
pelayanan-pelayanan sosial.
2. Diduga bahwa pergulatan spiritualitas yang terjadi di GKI Manyar belum
sepenuhnya diarahkan kepada proses transformasi secara luas dari aras
pengalaman personal ke pembangunan jemaat secara komunal hingga praksis
sosial dimana pengalaman pribadi diakui dan ditempatkan dalam konteks
pembangunan jemaat dan praksis masyarakat. Karena pengalaman merupakan
unsur yang penting dalam spiritualitas.
V. Metode Penulisan
1. Rancangan Penelitian
Lokasi penelitian empiris dilaksanakan di GKI Manyar yang berlokasi di Jalan
Manyar Tirtoasri VII/2 Surabaya (wilayah Surabaya Timur), berada dalam kompleks
perumahan Tompotika di wilayah Surabaya Timur. Perumahan tersebut tergolong
perumahan ”elite” dan dikelilingi perkampungan yang dapat dibagi menjadi 4 (empat)
bagian, yaitu: sebelah selatan (Manyar sabrangan), sebelah barat (Mleto), sebelah
timur (Kedung Tomas) dan Utara (Klampis Ngasem). Perkampungan tersebut rata-
rata berada dalam kehidupan ekonomi masyarakat kelas menengah kebawah.
2. Cara memperoleh Data dan Alasan Pemilihan Sampel
Cara untuk mendapatkan data yaitu melalui pengamatan langsung35 untuk menggali
informasi yang bersifat lisan maupun tertulis dan wawancara36 dengan beberapa
35 Penulis melakukan pengamatan langsung dengan cara tinggal didalam (live in) di gereja GKI Manyar. Antara Januari 2005-Maret live in di GKI Manyar, (surat ijin penelitian dan live in dilampiran) 36 Menurut John Mansford Prior dalam bukunya Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partispatoris dikatakan bahwa wawancara merupakan kelanjutan metode pengamatan yang menjelaskan dan menempatkan apa yang kita lihat dan alami dalam konteks yang lebih luas. Dari wawancara kepada subjek, kita memperoleh data (kisah yang merupakan sudut pandang kelompok sosial tertentu atau pelaku tertentu. Dalam hal ini
tokoh, aktivis serta pendeta-pendetanya. Pengamatan yang penulis lakukan di GKI
Manyar didasarkan suatu pemilihan. Pemilihan gereja tersebut untuk menunjukkan
gambaran mengenai corak spiritualitas dan berdasarkan beberapa pertimbangan yang
terkait dengan judul dan tujuan tesis ini.
3. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan-pendekatan kualitatif
lebih bersifat induktif dan fenomenologis dengan memberi tekanan utama pada
pemahaman akan kerangka yang unik (khas), lewat penemuan pemahaman dan
makna terhadap perasaan-perasaan, pikiran, kepercayaan dan tingkah laku. Strategi-
strategi demikian memperhatikan cakrawala atau lingkup yang lebih luas dari
pengalaman37. Teknik penelitian melalui obsevasi partisipan dan menggunakan
wawancara terbuka38 sifatnya kepada beberapa informan. Metodologi adalah sebuah
cara untuk menjawab dan memecahkan masalah-masalah yang ada. Berkenaan
dengan subyek yang penulis pilih adalah masalah spiritualitas dalam ranah theologia
praktika dan pembangunan jemaat, maka penulis akan memakai teori Gerben
Heitink39 khususnya lingkaran hermenutis. Menurut Heitink, Teologia Praktika
adalah teori teologis yang berorientasi empiris tentang perantaraan tradisi Kristen
dalam praksis masyarakat. Dalam masalah ini, Heitink mendekati dalam tiga
kita tidak pernah bisa memperoleh data yang bebas nilai, yang penting menyadari sisi atau sudut mana yang terungkap dalam data yang kita peroleh itu. Penerbit Grasindo. Jakarta.1997, hal 93 37 Angela Hope, Psikologi dan Penelitian, Majalah Gema Duta Wacana No.42 Tahun1992, hal 106 38 Wawancara terbuka merupakan tipe wawancara dengan mengajukan pertanyaan untuk ditanggapi, diolah dan diperbaiki, dianalis. Sifatnya fleksibel untuk menemukan kategori pemahaman budaya stempat (emik, memahami pandangan orang dan membandingkannya dengan persepsi orang lain. Yang selanjutnya membantu kita untuk menemukan nilai-nilai yang dimiliki bersama untuk mengarahkan tingkah laku. John Mansford Prior, Meneliti Jemaat: Pedoman Riset Partisipatoris. Grasindo. Jakarta. 1997, hal 96 39 Gerben Heitink, Teologi Praktis (Pastoral dalam Era Modernitas dan Postmodernitas). Kanisius. Yogyakarta, 1999, hal 36
perspektif yaitu perspektif hermeneutis, empiris dan strategis. Penulis akan memakai
ketiga perspektif tersebut dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Perspektif hermeunutis (memahami). Penulis akan mengadakan studi literatur
tentang spiritualitas dari teori Alister Mc Grath, mengeksplorasi teorinya dan
merumuskan item-item pokok dan melakukan analisa kritis untuk melakukan
penelitian empiris.
2. Perspektif empiris (menjelaskan). Penulis akan mengadakan penelitian lapangan
melalui wawancara dan penelitian kualitatif (live in) GKI Manyar Surabaya untuk
mengamati secara langsung corak spiritualitas yang dihidupi jemaat dan
pelayanan sosial-sosial yang dilaksanakan sesuai dengan konteksnya. Selain itu
penulis akan melihat adakah kausalitas keduanya, apakah disatukan atau
diceraikan? Mengapa sebuah jemaat memilih corak spiritualitas tertentu dan
sejauh mana sudah mentransformasi jemaat dan masyarakatnya?
3. Perspektif strategis (mengubah). Penulis akan mengadakan refleksi hermeunutis
dan selanjutnya mengajukan usulan-usalan perbaikan untuk membangun
spiritualitas yang transformatif kepada GKI Manyar dalam rangka revitalisasi.
Dalam studi literatur Penulis mendalami teori McGrath40 yang melihat beberapa faktor
yang membentuk spiritualitas yaitu:
1. Faktor Personal
Faktor personal khususnya menyoroti hubungan spiritualitas dan kepribadian (aspek
personal dan pengalaman). Tiap orang Kristen memiliki latar belakang, kepribadian,
40 Alister E. McGrath, Christian Spirituality. Blackwell Publishers. Malden Massachusetts USA.1999, hal 8-9
lokasi sosiologis, penekanan pada tema-tema iman Kristen secara berbeda-beda. Hal-
hal yang bersifat pribadi memiliki relasi penting sebagai pembentuk spiritualitas.
2. Hubungan spiritualitas dan denominasi (teologi, doktrin atau ajaran)
Kekristenan bukanlah entitas tunggal. Sebab masing-masing komunitas terbagi dalam
denominasi karena melakukan penekanan pada teologi, doktrin atau ajaran tertentu
yang membedakan satu dendan yang lainnya. Dalam penelitian lapangan penulis
berfokus pada penekanan-penekanan teologi dan pengajaran di GKI Manyar yang
mempengaruhi corak spiritualitasnya. Demikian pula corak spiritualitas denominasi
yang memberi warna pada pergulatan spiritualitasnya.
3. Hubungan spiritualitas dan sikap terhadap dunia
Beberapa corak spiritualitas secara kuat memiliki sikap meninggalkan dunia.
Mendukung pilihan bahwa kekristenan sejati adalah meninggalkan dunia. Akan tetapi
corak spiritualitas lainnya terlibat dengan dunia dan kepada dunia.
Sedangkan perspektif Pembangunan Jemaat, penulis menggunakan gagasan-gagasan
Rob van Kessel yang mengatakan bahwa spiritualitas sebagai indikator untuk mengukur
vitalitas sebuah jemaat. Menurut Kessel ada beberapa hal yang dapat ditanyakan dalam
melihat spiritualitas jemaat yaitu:
1. Penghayatan Kenyataan
Segala yang hidup ditempatkan dan menempatkan diri dalam ruang dan waktu. Pada
diri manusia, hal itu terjadi melalui kesadaran yang berbeda-beda dan dalam
hubungan timbal-balik yang terus menerus antara pengalaman dan pilihan, antara
pengamatan dan penentuan diri. Adakalanya sebagai manusia, kita ditempatkan pada
fakta yang sudah ada dan tidak bisa kita pilih. Meski fakta penting, akan tetapi
penghayatan terhadap fakta juga penting. Maka, patut dipertanyakan bagaimana
penghayatan jemaat terhadap kenyataan yang dialami?
2 Penebusan dan Pembebasan
Apakah Gereja menarik diri dari keseluruhan kenyataan manusia dan hanya mengurus
kenyataan adikodrati? Apakah jemaat mengalami pendewasaan eksistensial dan moril
(belajar) serta bertindak-tanduk bersama untuk mengalahkan penderitaan dan
kemiskinan (pelayanan)? Apakah Gereja menyelenggarakan pelayanan pemeliharaan
manusia? Bagaimana diakonia dijalankan? Menurut Kessel, diakonia adalah
termasuk inti vitalitas gereja.
3. Gambaran-gambaran Mengenai Allah:
Bagaimanakah Allah hadir pada manusia? Apakah pergaulan dengan Allah dalam doa
dianggap sebagai praktek yang bermakna oleh jemaat? Bagaimanakah bentuk-bentuk
doa dipraktekkan dalam liturgi, kelompok belajar jemaat dan wujudnya dalam
pelayanan? Bagaimana dan dimana jemaat mengalami kehadiran Kristus dan
RohNya? Apakah dalam praksis hidup, dalam perhimpunan orang beriman, dalam
orang-orang miskin dan menderita, atau dalam sabda (warta) dan tanda (sakramen)?
Bagaimanakah keempat cara itu dikombinasikan dalam proses pembangunan jemaat
melalui fungsi, struktur, tujuan dan tugas serta kompetensi-kompetensi yang dimiliki
jemaat?
4. Pewahyuan dan Komunikasi Iman
Relasi antara manusia (di dunia modern) dengan Allah adalah hal yang patut
dicermati. Sebab relasi itu telah mengalami pergeseran dari relasional kepada
obyektif, lalu kepada kebimbangan hingga penyangkalan. Dalam kondisi seperti itu
bagaimana sarana-sarana gerejawi dapat ditransformasikan kepada bertindak
komunikatif?
5. Hubungan Gereja dan Masyarakat
Konteks sosial yang menyekitari gereja merupakan faktor yang perlu
dipertimbangkan karena turut menentukan dan mempengaruhi gereja. Demikian pula
gambaran dan model gereja merupakan aspek yang penting untuk didiskusikan karena
konsep eklesiologi sedang mengalami pergumulan dan dilema. Khususnya tarik ulur
antara pemahaman gereja tradisional dan modern antara struktur hirarki dan
kongregational dan seterusnya.
6. Fungsi dan Jabatan
Gereja secara kongkret dapat dilihat secara keseluruhan mengacu pada jemaat
setempat. Di dalam jemaat nampak struktur yang memperlihatkan garis-garis yang
disebut fungsi. Fungsi terbagi dalam sejumlah tugas yang berbeda-beda. Dalam
jemaat fungsi–fungsi tersebut dilaksanakan oleh banyak orang diantaranya ada yang
disebut pejabat gerejawi (yaitu orang yang melalui penahbisan atau diangkat dan
diakui untuk melaksanakan fungsi dan tugas tertentu secara professional dan
mendampingi pemenuhan fungsi dan tugas tertentu bersama orang lain).
VI. Sistematika Penulisan
Tesis ini akan dipaparkan dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan
7. Latar Belakang
8. Perumusan Pokok Permasalahan
9. Perumusan topik/judul
10. Hipotesa
11. Metode Penulisan
12. Sistematika Penulisan
Bab II: Kerangka Teoritis Spiritualitas Kristen
8. Latar Belakang ketertarikan terhadap tema spiritualitas
9. Tesis Allister McGrath tentang spiritualitas
10. Faktor-Faktor Pembentuk spiritualitas
Faktor Kepribadian
Faktor Denominasi
Sikap Terhadap Dunia
11. Dasar-Dasar Teologis Spiritualitas
12. Gambaran-Gambaran Biblis Spiritualitas
13. Tinjauan Kritis
14. Kesimpulan
Bab III: Penelitian Empiris Spiritualitas GKI Manyar Surabaya
1. Penjabaran Alat Penelitian
2. Sampel
3. Hasil Penelitian
4. Analisa Penelitian
5. Kesimpulan
Bab IV: Pergumulan Iman
1. Pergumulan Iman
1.1 Refleksi atas subyektifitas pengalaman pribadi sehingga menimbulkan
pengelompokan
Refleksi atas interaksi dan pengaruh antar berbagai corak spiritualitas denominasi
Refleksi atas sikap terhadap orang miskin dan motif pelayanan sosial
2. Dari refleksi ke aksi
2.1 Mewujudkan kehadiran Allah dan perjumpaan dengan Allah dalam semua
dimensi kehidupan
2.2 Memperluas pemahaman tentang pengalaman dan sharing pengalaman
2.3 Membangun spiritualitas yang kontekstual dengan menggali pemahaman
dan penghayatan jemaat terhadap realitas dan konteks
2.4 Merajut spiritualitas transformatif
2.5 Memberi arahan –arahan teologis dan operatif yang mendukung
pengembangan spiritualitas
Bab V: Kesimpulan