BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar...

21
1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Kota-kota di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat, hal ini tidak terlepas dari pengaruh pertumbuhan penduduk sebagai dampak dari arus urbanisasi. Kenyataan tersebut tentu akan membebani kota-kota ke depan, karena semakin banyaknya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan maka kebutuhan akan kawasan-kawasan hunian baru meningkat. Kawasan-kawasan hunian tersebut pada kenyataannya membutuhkan prasarana dan sarana dasar seperti, permukiman, jalan, fasilitas pendidikan, air bersih, sanitasi, persampahan, listrik, telekomunikasi dan sebagainya. Pemenuhan sarana dan prasarana di atas memerlukan lahan untuk pembangunan dan pengembangannya. Kebutuhan lahan yang semakin tinggi di kota menyebabkan tekanan atas lahan semakin tinggi. Samsoedin, et al., (2006) menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur perkotaan di Indonesia menunjukkan perencanaan yang kurang baik. Pembangunan gedung perkantoran, perbelanjaan, sekolah, perumahan, pabrik, dan sebagainya kurang memperhatikan aspek tata ruang kota. Kebutuhan akan pembangunan infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan tampaknya akan menjadi salah satu faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Konsekuensi logis atas keadaan tersebut adalah menyempitnya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH). Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota. Pembangunan tersebut dilakukan karena lebih memberikan keuntungan secara ekonomis dibandingkan dengan keberadaan vegetasi, sehingga posisi RTH dikesampingkan dan kadangkala RTH yang ada di perkotaan hanya mengisi lahan- lahan sisa yang ada di perkotaan. Menurut Irwan (2005) pembangunan fisik yang ada di perkotaan setiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan semakin berkurangnya RTH di perkotaan dan bahkan mengalami kecenderungan gejala pembangunan “antiruang” di perkotaan. RTH merupakan aspek yang perlu diperhitungkan dan diprioritaskan dalam pembangunan di kawasan perkotaan, hal ini dimaksudkan supaya tidak terancam

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Kota-kota di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat, hal ini tidak terlepas

dari pengaruh pertumbuhan penduduk sebagai dampak dari arus urbanisasi.

Kenyataan tersebut tentu akan membebani kota-kota ke depan, karena semakin

banyaknya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan maka kebutuhan akan

kawasan-kawasan hunian baru meningkat. Kawasan-kawasan hunian tersebut pada

kenyataannya membutuhkan prasarana dan sarana dasar seperti, permukiman, jalan,

fasilitas pendidikan, air bersih, sanitasi, persampahan, listrik, telekomunikasi dan

sebagainya. Pemenuhan sarana dan prasarana di atas memerlukan lahan untuk

pembangunan dan pengembangannya. Kebutuhan lahan yang semakin tinggi di kota

menyebabkan tekanan atas lahan semakin tinggi.

Samsoedin, et al., (2006) menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur

perkotaan di Indonesia menunjukkan perencanaan yang kurang baik. Pembangunan

gedung perkantoran, perbelanjaan, sekolah, perumahan, pabrik, dan sebagainya

kurang memperhatikan aspek tata ruang kota. Kebutuhan akan pembangunan

infrastruktur dan terbatasnya ketersediaan lahan tampaknya akan menjadi salah satu

faktor terjadinya disintegrasi dalam pembangunan di perkotaan. Konsekuensi logis

atas keadaan tersebut adalah menyempitnya lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH).

Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada penggunaan

lahan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota.

Pembangunan tersebut dilakukan karena lebih memberikan keuntungan secara

ekonomis dibandingkan dengan keberadaan vegetasi, sehingga posisi RTH

dikesampingkan dan kadangkala RTH yang ada di perkotaan hanya mengisi lahan-

lahan sisa yang ada di perkotaan. Menurut Irwan (2005) pembangunan fisik yang ada

di perkotaan setiap tahunnya mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan

semakin berkurangnya RTH di perkotaan dan bahkan mengalami kecenderungan

gejala pembangunan “antiruang” di perkotaan.

RTH merupakan aspek yang perlu diperhitungkan dan diprioritaskan dalam

pembangunan di kawasan perkotaan, hal ini dimaksudkan supaya tidak terancam

2

eksistensinya. RTH mempunyai peranan yang penting dalam tata ruang kota karena

manfaatnya yang besar untuk kenyamanan kota, kesehatan penduduk, masa depan

kota beserta keberlangsungannya dan sekaligus sebagai penyedia oksigen. Menurut

Fandeli (2004) RTH kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang

berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan

kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan

olahraga, kawasan hijau pekarangan. RTH diklasifikasi berdasarkan status

kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya. Menurut Undang-

undang R I No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dinyatakan bahwa proporsi

RTH pada wilayah perkotaan paling sedikit 30% dari luas wilayah keseluruhan.

Keberadaan undang-undang mengenai penataan ruang tersebut kenyataannya

belum sepenuhnya menjadikan RTH sesuai dengan proporsi yang sudah ditetapkan.

Permasalahan RTH yang terjadi bisa dilihat di beberapa kota besar yakni Jakarta,

Semarang, Bandung dan Surabaya. Kondisi yang sangat memprihatinkan yang

dialami Kota Jakarta yakni ketersediaan RTH hanya 9,8% dari luas wilayahnya

(66.152 ha) (Kompas, tanggal 25 April 2011). Berkurangnya RTH ini dipicu oleh

pesatnya perkembangan Kota Jakarta sebagai urban life. Kondisi RTH lebih

memprihatinkan lagi terjadi pada Kota Semarang, luas RTH hanya menempati area

seluas 7,5% dari luas wilayahnya (37.370, 39 ha) (Koran Tempo 12 Desember 2012).

Berkurangnya RTH di Kota Semarang disebabkan oleh alih fungsi lahan yakni

menjadi lahan industri antara tahun 2003-2007 sebanyak 9,45%, konversi RTH

menjadi perumahan sebanyak 29,59% (Sri Hartini, Harintaka dan Istarno, 2008).

Sementara menurut Ernady Syaodih dan Weisyaguna (2011) RTH di Kota Bandung

menempati area seluas 1,678.27 ha (10,03%) dari luas wilayah (16,729 ha).

Permasalahan utama dalam penaatan, pemeliharaan dan pengembangan RTH di Kota

Bandung adalah minimnya sarana dan prasarana pemeliharaan, keterbatasan jumlah

sumber daya manusia (SDM), khususnya petugas lapangan, mengingat luasnya Kota

Bandung dan kompleksitas permasalahan di Kota Bandung. Di Kota Bandung telah

terjadi konversi hutan lindung menjadi lahan permukiman sebanyak 12,9% pada

tahun 2008. Fenomena lain terjadi di Kota Surabaya, dimana untuk luasan RTH baru

mencapai 20,18% dari total luas wilayahnya yakni seluas 1.479,18 ha. Penyebab

utama kurangnya RTH ini karena adanya pembangunan untuk sarana prasarana

3

penduduk sehingga RTH terkesampingkan peranannya (www.kompas.com, tanggal 24

Juli 2013 ).

Gejala sebagaimana diuraikan di atas bahwa keberadaan RTH di kota

seringkali tergeserkan oleh pembangunan fisik kota dan masih kurangnya luasan

RTH, terjadi pula di kota-kota lainnya, oleh karena itu perlu dilakukan kajian

penelitian serupa di daerah lain terkait dengan RTH. Permasalahan nyata terkait

dengan RTH juga terjadi di Kota Yogyakarta, sehingga perlu dilakukan penelitian

mengingat Yogyakarta menjadi kota tujuan wisata dan pendidikan dengan luas

wilayah 32,5 Km2

(3.250 ha) dan jumlah penduduk pada tahun 2009 sebesar 462.752

orang. Terjadi peningkatan jumlah penduduk pada tahun 2009 yaitu sebesar 1,27%

(BPS DIY 2009). Konsekuensi dari pertambahan penduduk dan pemenuhan

kebutuhan hunian adalah terjadinya perubahan penggunaan lahan. Penggunaan lahan

untuk perumahan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 1,981 ha

sehingga jumlahnya mencapai 2.106,338 ha. Sementara lahan pertanian pada tahun

2009 seluas 130,029 ha dan mengalami pengurangan sebesar 4,023 ha. Terjadi

konversi lahan pertanian ke non pertanian pada tahun 2009 sebesar 19,01% (BPN

Kota Yogyakarta, 2009).

Perubahan keruangan ini juga terjadi pada daerah pinggiran Kota Yogyakarta,

dimana daerah tersebut secara fisik mempunyai ciri kekotaan. Kabupaten Bantul dan

Sleman, pada tahun 2010 terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian

menjadi lahan non pertanian. Terjadi kenaikan perubahan penggunaan lahan di

Kabupaten Bantul, dari yang semula 39,419 ha naik menjadi 52,2708 ha (24,54%).

Sementara di Kabupaten Sleman mengalami kenaikan sebesar 58,11% yakni dari

21,002 ha menjadi 50,225 ha. Berbeda dengan Kota Yogyakarta, terjadi perubahan

penggunaan lahan yang relatif lebih kecil, yakni hanya 2,55% (dari 5,865 ha menjadi

6,0182 ha) (sumber: BPN Yogyakarta, 2012).

Dinamika penduduk Kota Yogyakarta yang cukup tinggi mempengaruhi

dinamika penggunaan lahan kota dan harus diantisipasi oleh pemerintah dengan

berbagai langkah pembangunan. Penduduk kota yang tumbuh dengan cepat

memerlukan tempat tinggal dan sarana pendukungnya. Dampak dari kebutuhan lahan

untuk permukiman penduduk adalah konversi lahan pertanian, pekarangan, lahan

4

kosong, dan lain-lain yang pada umumnya berupa RTH. Antisipasi perlu dilakukan

supaya perkembangan lahan non pertanian tidak mengurangi fungsi RTH.

Salah satu dampak dari berkurangnya RTH di kawasan perkotaan adalah

berkurangnya suplai oksigen karena salah satu fungsi RTH adalah mengubah

karbondioksida menjadi oksigen. Jika penduduk yang terus tumbuh dengan jumlah

yang semakin besar, tetapi tidak diimbangi oleh RTH yang mencukupi, maka

penduduk kota akan merasa tidak nyaman. Jumlah oksigen yang dihasilkan oleh

RTH dan jumlah oksigen yang dibutuhkan sangat penting diketahui guna menunjang

kualitas hidup penduduk kota. Semakin banyak jumlah RTH berimplikasi pada

jumlah oksigen yang dihasilkan menjadi bertambah banyak. Informasi mengenai

oksigen yang dihasilkan oleh RTH tersebut dapat digunakan untuk mengetahui

apakah RTH yang sudah ada dapat memenuhi kebutuhan oksigen saat ini dan tahun-

tahun yang akan datang atau belum.

Untuk mengetahui kondisi RTH aktual secara cepat dan akurat pada kawasan

perkotaan maka diperlukan teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi

Geografis (SIG). Citra penginderaan jauh membantu pengelolaan atau pengambil

keputusan dibidang tata ruang kota, khususnya dalam pengelolaan RTH

untuk menganalisis secara cepat dan akurat terhadap sebaran, luasan, dan model

biofisik RTH. Data penginderaan jauh yang diintegrasikan dengan SIG berperan

penting dalam perencanaan dan pengelolaan RTH yang aktual dan akurat. Indeks

vegetasi MODIS menghasilkan informasi spasial dan perbandingan temporal dari

kondisi vegetasi secara global sehingga dapat digunakan untuk kegiatan pemantauan

kondisi vegetasi daratan dalam mendukung proses perkembangan, deteksi perubahan

dan interpretasi biofisika. Permodelan dengan menggunakan SIG menawarkan suatu

mekanisme yang mengintegrasikan berbagai jenis data (biofisik) yang digunakan

dalam penelitian RTH. Monitoring kondisi RTH dalam satu decade dan prediksi

ketercukupan luasan RTH berperan penting dalam menganalisis kondisi kesehatan

masyarakat kota. Informasi kondisi RTH yang akurat dan aktual sangat dibutuhkan

instansi terkait.

Dalam penelitian ini citra yang akan digunakan adalah citra ALOS AVNIR-

2. Citra ALOS AVNIR-2 (Advanced Land Observing Satellite) adalah satelit milik

Jepang yang merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS-1 dan ADEOS yang

5

dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju, untuk memberikan kontribusi bagi

dunia penginderaan jauh, terutama bidang pemetaan, pengamatan tutupan lahan

secara lebih presisi dan akurat. Citra ini memiliki resolusi spasial 10 meter (resolusi

menengah) diharapkan dapat memberikan informasi yang akurat mengenai RTH

meskipun belum diketahui tingkat akurasinya dalam menyadap informasi RTH di

Kota Yogyakarta dan sekitarnya sesuai kebutuhan penelitian. Untuk dapat

memperoleh informasi mengenai suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH

diperlukan setidaknya data mengenai luasan dan jenis RTH di daerah penelitian.

Perolehan informasi melalui interpretasi data citra ALOS AVNIR-2 diharapkan dapat

digunakan sebagai pijakan dalam perhitungan suplai oksigen yang dihasilkan oleh

vegetasi RTH, karena di daerah penelitian belum ada informasi yang memadai

mengenai oksigen yang diproduksi RTH apakah terus memenuhi kebutuhan oksigen

penduduk secara proporsional atau belum dan kalaupun suplainya kurang, tetapi

belum diketahui seberapa kurangnya. Informasi tersebut dapat dijadikan dasar oleh

pemerintah kota untuk menyusun program pengadaan RTH secara bertahap pada

setiap tahunnya.

Hal penting yang perlu diperhatikan dari eksistensi RTH adalah

distribusinya, disamping keterpenuhan luasnya. Akan kurang optimal artinya jika

luasan terpenuhi akan tetapi letaknya hanya terpusat di satu titik, untuk itu kajian

tentang distribusi spasial eksistensi RTH ini penting dilakukan, disamping itu

mengetahui jumlah luasan RTH yang tersebar di seluruh bagian kota juga dalam

rangka mengetahui kondisi ideal RTH menurut pedoman.

Informasi yang telah diperoleh dari hasil interpretasi citra, cek lapangan dan

dukungan data sekunder dapat digunakan untuk mengetahui suplai oksigen yang

dihasilkan oleh RTH aktual, untuk mengetahui kebutuhan oksigen dan untuk

mendukung kualitas kehidupan penduduk Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Informasi

tersebut belum cukup untuk dijadikan acuan oleh pemerintah kota untuk menyusun

rencana tata ruang kota, khususnya rencana penyediaan RTH, untuk itu perlu disusun

estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen.

6

1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

a. Rumusan Masalah

Peningkatan jumlah penduduk, kegiatan perekonomian, pengembangan dan

pembangunan telah menyebabkan berbagai permasalahan dalam kawasan perkotaan.

Pembangunan dan pengembangan kota cenderung mengarah pada pemanfaatan lahan

untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pelayanan pada penduduk kota. Jika

pemanfataan lahan tersebut di atas tidak memperhatikan daya dukung lingkungan

atas berbagai sarana yang dibangun maka akan berdampak pada penurunan kualitas

lingkungan. Pembangunan yang bersifat fisik di kawasan perkotaan seringkali

berorientasi pada keuntungan ekonomi semata dan terkadang RTH semakin

terkesampingkan. Apabila hal tersebut terjadi maka kebutuhan akan RTH akan

semakin terancam eksistensinya dan semakin menyempit jumlahnya.

RTH merupakan aspek penting dalam tata ruang kota dan kehidupan penduduk

di kota karena manfaatnya yang besar untuk kenyamanan kota, kesehatan penduduk

dan masa depan kota. Kecukupan RTH di wilayah perkotaan dirasa sangat penting,

salah satu manfaat dari RTH adalah sebagai sumber penyedia oksigen. Sempitnya

RTH di perkotaan akan berdampak pada kecilnya produksi oksigen yang dihasilkan.

Dengan mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH tersebut, diharapkan

dapat diketahui informasi mengenai kecukupan kebutuhan RTH di wilayah

perkotaan.

Untuk mengetahui informasi mengenai luas RTH yang ideal sesuai dengan

pedoman, jumlah oksigen yang dihasilkan oleh RTH serta kebutuhan oksigen oleh

konsumen maka diperlukan data penginderaan jauh berupa citra ALOS (Advanced

Land Observing Satellite). Citra ALOS merupakan satelit jenis baru yang dimiliki

oleh Jepang setelah dua satelit pendahulunya yaitu JERS-1 dan ADEOS. Satelit

ALOS dengan sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer

type-2) memiliki resolusi spasial 10 meter. Citra ini memiliki empat saluran (merah,

hijau, biru dan inframerah dekat). Saluran inframerah dekat ini merupakan saluran

yang peka terhadap vegetasi, sehingga bagus untuk kajian vegetasi. Penelitian

mengenai RTH dengan memanfaatkan citra ALOS AVNIR-2 belum banyak

dilakukan, oleh karena itu dalam penelitian ini akan mencoba mengkaji bagaimana

kemampuan dan seberapa akurat citra tersebut dalam mengkaji informasi RTH

7

khususnya RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Untuk keperluan kajian ini, citra

ALOS AVNIR-2 belum dapat dipastikan tingkat akurasinya, oleh karena itu

berdasarkan metode-metode tertentu dalam penelitian penginderaan jauh harus

diketahui terlebih dahulu akurasinya, sebelum digunakan untuk analisis selanjutnya.

Mengingat bahwa jumlah penduduk bersifat dinamis progresif, maka

ketersediaan luas RTH harus pula dinamis progresif. Kecukupan luasan RTH

menurut peraturan Undang-undang R.I No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

adalah sebesar 30% dari luas wilayah kota yang bersangkutan. Besarnya luasan RTH

yang sebesar 30% dari luas wilayah tersebut belum tentu dapat mencukupi kebutuhan

wilayah perkotaan yang memerlukanya untuk menciptakan suatu kondisi lingkungan

yang nyaman, sehingga kebutuhan RTH dalam penelitian ini memperhitungkan

kebutuhan oksigen bagi penduduk. Selain kebutuhan untuk penduduk, kebutuhan

oksigen juga mempertimbangkan kebutuhan berdasarkan jumlah kendaraan

bermotor, dan industri, sedangkan untuk mengetahui jumlah oksigen yang dihasilkan

oleh RTH aktual melalui pendugaan besarnya biomasa. Dengan mengetahui jumlah

oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh

konsumen, maka dapat diperkirakan apakah RTH yang ada sudah tercukupi atau

belum keberadaannya.

Adakalanya keberadaan RTH di suatu kota terpusat pada lokasi tertentu,

sehingga bagian lain dari wilayah kota tidak dapat menikmati kebermanfaatan RTH

secara optimal. Keberadaan RTH di wilayah Kota Yogyakarta dan sekitarnya perlu

diperhatikan sehingga distribusinya dapat diketahui secara jelas dan berdasarkan peta

tersebut selanjutnya pemerintah kota dapat mempertimbangkan lokasi RTH baru di

bagian wilayah kota yang belum tercukupi kebutuhan RTHnya.

Informasi yang telah diperoleh mengenai luasan, sebaran, suplai oksigen yang

dihasilkan oleh RTH dan kesesuaian RTH berdasarkan kebutuhan oksigen

merupakan informasi aktual, tetapi belum dapat memberikan informasi bagaimana

kondisinya pada masa mendatang, oleh karena itu perlu dilakukan prediksi. Prediksi

RTH yang dilakukan dalam penelitian ini adalah 10 tahunan atau 1 dekade. Hal ini

ditetapkan atas dasar pertimbangan bahwa dalam periode tersebut terjadi berbagai

macam perubahan kondisi biofisik yang dapat mempengaruhi kondisi RTH.

Perubahan tersebut terjadi karena berbagai macam program pembangunan yang

8

dijalankan oleh pemerintah daerah selama 2 periode pemerintahan. Jadi penentuan

waktu prediksi lebih didasarkan pada satuan periode pembangunan oleh pemerintah

daerah. Dalam masa 1 periode pemerintahan atau 5 tahun secara teoretik tidak akan

terjadi perubahan yang signifikan, tetapi dalam masa 2 periode akan lebih tampak

perubahannya. Mengingat dalam 1 dekade terdapat 2 macam keputusan pemda yang

terkait dengan RTH, yakni keputusan politik yang disebut peraturan daerah mengenai

Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selanjutnya berdasarkan data yang

telah diperoleh dapat disusun estimasi kebutuhan RTH dengan luas tertentu untuk

memenuhi kebutuhan oksigen Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

b. Pertanyaan Penelitian

Dari uraian permasalahan penelitian di atas maka dapat dirumuskan

pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan penelitian, antara lain :

1. Bagaimana kemampuan citra ALOS AVNIR-2 dalam menyadap informasi RTH

di Kota Yogyakarta dan sekitarnya, dilihat dari akurasinya?

2. Seberapa suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan seberapa besar

kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya?

3. Bagaimana distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta

kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah?

4. Bagaimana estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji kemampuan citra ALOS AVNIR-2 untuk menyadap informasi RTH

di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dilihat dari akurasinya.

2. Memperoleh informasi tentang suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual

dan kebutuhan oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

3. Menyusun peta distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya serta

kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah.

4. Menyusun estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018.

9

1.4. Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain:

1. Informasi citra ALOS AVNIR-2 dalam menyadap informasi RTH dilihat dari

akurasinya.

2. Informasi suplai oksigen yang dihasilkan oleh RTH aktual dan kebutuhan

oksigen di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

3. Peta distribusi spasial RTH di Kota Yogyakarta dan sekitarnya skala 1:100.000

dan kesesuaiannya dengan pedoman berdasarkan luas wilayah.

4. Rumusan estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018.

1.5. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan yang telah dikemukantkan di atas, maka dalam

melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:

1. Meningkatkan nilai terapan penginderaan jauh dan SIG dalam kajian tata ruang

kota khususnya RTH dengan memanfaatkan citra resolusi sedang

2. Memberikan informasi mengenai suplai oksigen yang dihasilkan serta

kebutuhan oksigen pada RTH kawasan perkotaan bagi pihak terkait dengan

menggunakan penginderaan jauh dan SIG di Kota Yogyakarta dan sekitarnya.

3. Memberikan informasi kepada pemerintah Kota Yogyakarta dan sekitarnya

mengenai karakteristik RTH Kawasan Perkotaan aktual dilihat dari aspek tingkat

ketersediaan, pola distribusinya.

4. Memberikan informasi estimasi kebutuhan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen

di Kota Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2018 sehingga dapat digunakan

sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rencana tata ruang kota.

1.6. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai kajian RTH dengan menggunakan citra penginderaan

jauh sudah banyak dilakukan dan pada umumnya menggunakan citra Landsat,

Quickbird, dan Ikonos, SPOT. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh

Septriana, et.al (2004) menggunakan citra Landsat TM. Ketersediaan oksigen dari

data Citra Landsat TM diklasifikasikan menjadi hutan (pohon), semak belukar,

sawah, dan kebun campuran. Penentuan luas hutan kota berdasarkan kebutuhan

10

oksigen menggunakan Metode Gerakis (Wissesa, 1988). Parameter yang digunakan

untuk menghitung kebutuhan oksigen adalah layer penduduk, layer kendaraan

bermotor, layer hewan ternak, layer industri, data kondisi biofisik (jumlah dan laju

pertumbuhan penduduk, hewan ternak, kendaraan bermotor, industri besar).

Sementara Assyfael, et al (2005) menggunakan citra Ikonos dan citra SPOT

untuk mengetahui luas hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen. Perhitungan luas

hutan kota berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Wissesa,

1988). Penentuan luas hutan kota dengan dengan mempertimbangkan data jumlah

penduduk, jumlah ternak, jumlah kendaraan bermotor dan jumlah industri per

kelurahan. Ketersediaan oksigen diperoleh dari pendugaan jumlah oksigen per satuan

luas pada masing-masing tutupan lahan hijau yang diperoleh dari hasil klasifikasi.

Penentuan kelas penutup lahan menggunakan interpretasi visual. Kelas-kelas

penutupan lahan yang diperoleh dari interpretasi visual, yaitu pemukiman, jalan,

sungai, tanah kosong, kebun, rumput, pohon dan sawah, juga ditentukan kelas

tambahan, yaitu awan dan bayangan awan.

Apriyanto (2010) menggunakan peta pre- disaster 2006 dari Unosat, peta RTH

aktual 2006 hasil karya Ginting (2006) untuk mengetahui luas hutan kota. Luas hutan

berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Fandeli, et al., 2004)

dengan menggunakan data sekunder, kemudian untuk mengetahui jumlah oksigen

yang dihasilkan oleh pohon menggunakan Metode Volumetrik. Pada perhitungan

volume oksigen dipilih 9 spesies pohon terbanyak berdasarkan data dari Dinas

Lingkungan Hidup.

Ohira (2013) dalam penelitiannya untuk menghitung luas hutan kota

berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan Metode Gerakis (Kunto, 1986 dalam

Dahlan, 2003). Dalam menentukan tutupan hijau atau penggunaan lahan menggunaan

transformasi NDVI dan SAVI. Perhitungan oksigen didasarkan pada luas masing-

masing per penggunaan lahan dengan klasifikasi multispektral (Maximum

Likelihood). Kelas-kelas penggunaan lahan yang diperoleh berupa RTH sawah, RTH

lapangan rumput, RTH pohon/campuran, bangunan industri, bangunan permukiman

atau campuran, tubuh air, jalan, lahan terbuka, lahan sawah basah.

Yanua (2012) dalam perhitungan biomasa menggunakan parameter seperti

ketebalan tajuk vegetasi, kerapatan tajuk vegetasi, persentase tutupan tajuk dan

11

persentase vegetasi bawah. Sementara dalam menentukan kelas tutupan hijau

menggunakan transformasi NDVI dan estimasi oksigen yang dihasilkan berdasarkan

jenis penggunaan lahan. Jenis penggunaan lahan vegetasi dibedakan menjadi RTH

permukiman, RTH jalur hijau jalan, taman, hutan, sawah, kebun campuran dan

semak belukar.

Penelitian yang akan dilakukan ini memiliki perbedaan dengan penelitian

terdahulu. Untuk mengetahui luas RTH yang ada di lokasi penelitian menggunakan

hasil klasifikasi multispektral (Maximum Likelihood) yang dikombinasikan dengan

berbagai indeks vegetasi. Adapun indeks vegetasi yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), EVI

(Enhancement Vegetation Index), SAVI (Soil Adjusted Vegatation Index), MSAVI

(Modified Soil Advanced Vegetation Index), GEMI (Global Environmental Modelling

Index) dan ARVI (Atmospherically Resistant Vegetation Index). Penggunaan

berbagai indeks vegetasi ini diharapkan mampu memberikan informasi kelas tutupan

vegetasi (RTH) yang memiliki akurasi yang baik dari citra ALOS AVNIR-2. Analisis

indeks vegetasi ini juga digunakan sebagai acuan dalam penentuan titik sampel

yakni untuk modeling perhitungan biomasa dan sebagai uji akurasi.

Penyediaan kebutuhan RTH dihitung berdasarkan kebutuhan oksigen dengan

menggunakan metode Gerakis (Fandeli dan Muhammad, 2009). Perhitungan oksigen

disamping untuk manusia maka perlu dipertimbangkan juga pendugaan oksigen

berdasarkan jumlah kendaraan dan industri. Sementara untuk mengetahui jumlah

oksigen yang dihasilkan oleh RTH dengan menggunakan besarnya jumlah

biomasanya, yaitu persamaan allometrik (Brown, 1997) untuk menduga besar

produksi oksigen pada vegetasi yang memiliki diameter at breast heigh (DBH).

Terdapat persamaan dan perbedaan rencana penelitian ini dengan penelitian

yang terdahulu. Kesamaan yang pada umumnya digunakan dalam perhitungan

kebutuhan oksigen yakni menggunakan Metode Gerakis. Persamaan dan perbedaan

penelitian yang akan dilakukan dengan yang sudah dilakukan disajikan pada Tabel

1.1 di bawah ini.

12

Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya dan Penelitian yang Dilakukan

Pembanding Lokasi

Penelitian

Tujuan Jenis Data Variabel

Penelitian

Hasil yang Diharapkan

Diana Septriana, Andry

Indrawan, Endes

Nurfilmarasa Dahlan,

Dan I Nengah Surati

Jaya, (2004)

Kota Padang Mengetahui kebutuhan luas

hutan kota

Landsat TM tahun 2002,

peta administrasi, peta

tata guna lahan,

Kebutuhan

oksigen

Luas hutan kota berdasarkan

kebutuhan oksigen dan analisis

pengembangan RTH

Feber Antarius Ginting

(2006)

Kota

Yogyakarta

1. Membangun basisdata spasial

lingkungan kota

menggunakan SIG dan PJ

2. Menyusun model agihan

optimal RTH Kota

Yogyakarta

3. Menerapkan model agihan

optimal RTH dalam bentuk

peta

Citra Quickbird, data

sekunder, data lapangan

Indeks

kenyamanan,

pencemaran

udara,

kebutuhan

oksigen

penduduk,

RTH aktual,

lahan potensial

bagi RTH

Model agihan optimal RTH

kota, Peta agihan optimal RTH

Kota Yogyakarta

Muchammad Chusnan

Apriyanto

(2010)

Kota

Yogyakarta

Menentukan konsumsi dan

produksi kebutuhan oksigen,

karbon, dan kebutuhan air di

Kota Yogyakarta

Peta pre- disaster 2006

dari Unosat, Peta RTH

aktual 2006, peta

administrasi, data

Kebutuhan

oksigen, karbon

dan kebutuhan

air dan prediksi

Luas hutan kota dan prediksi

luas hutan kota tahun 2010,

kebutuhan oksigen, cadangan

karbon dan kebutuhan air

13

sekunder luas hutan kota.

R. Assyfael Lestari dan

I Nengah Surati Jaya

(2005)

Kota Bogor 1. Mengetahui luas minimal

hutan kota yang

dibutuhkan serta

distribusinya di Kota

Bogor

2. Mengetahui lokasi

pengembangan hutan kota.

Citra IKONOS rekaman

tahun 2003 dan Citra

SPOT rekaman tahun

2003

Penutup lahan,

Indeks Vegetasi

(NDVI)

Kebutuhan oksigen dan hutan

kota per kelurahan tahun 2003

dan tahun 2020

Ohira (2013) Kota

Surakarta

1. Mengkaji efektifitas citra

ALOS AVNIR-sebagai

sumberdaya informasi

yang update dapat

digunakan untuk

mengindentifikasi

karakteristik ruang terbuka

hijau kawasan perkotaan

dan melakukan validasi

terhadap hasil pengukuran

2. Menganalisa

keseimbangan ruang

tutupan hijau kawasan

perkotaan dibeberapa tipe

tutupan hijau.

3. Mengevaluasi kondisi

iklim mikro Kota

Surakarta.

4. Menganalisa kebutuhan

Citra ALOS AVNIR-2

Perekaman tahun 2009,

Peta RBI, data sekunder,

data lapangan

Penutup/penggu

naan lahan,

Indeks

kenyamanan, ,

kebutuhan

oksigen

penduduk,

RTH aktual.

Pengembangan Ruang

Terbuka Hijau

Kota Surakarta

14

dan identifikasi lokasi

potensial Ruang Terbuka

Hijau Kawasan Perkotaan

(RTHKP) Kota Surakarta.

Yanua Pristya Putri,

2012

Kecamatan

Magelang

Selatan

1. menginterpretasi ruang

hijau di Kecamatan

Magelang Selatan dengan

menggunakan citra

WorldView-2

2. mengetahui keakurasian

citra WorldView-2 dalam

menginterpretasi

penggunaan lahan vegetasi

dan bukan vegetasi

3. mengestimasi volume

oksigen yang dihasilkan

ruang hijau di Kecamatan

Magelang Selatan dengan

citra WorldView-2

Citra WorldView-2

Perekaman Tahun 2012

Penggunaan

lahan, ketebalan

tajuk vegetasi,

kerapatan

vegetasi,

persentase

tutupan tajuk,

persentase

vegetasi bawah,

estimasi oksigen

tiap jenis

penggunaan

lahan

1. Distribusi ruang hijau

menggunakan citra

WorldView-2?

2. Akurasi citra WorldView-2

dalam membedakan lahan

vegetasi dan bukan

vegetasi

3. Estimasi volume oksigen

yang dihasilkan ruang hijau

di Kecamatan Magelang

Selatan dengan

menggunakan citra

WorldView-2

15

Melania Swetika Rini

(2015)

Kota

Yogyakarta

dan

sekitarnya

1. Mengkaji kemampuan

citra ALOS AVNIR-2

untuk RTH di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya

dilihat dari akurasinya.

2. Memperoleh informasi

tentang suplai oksigen

yang dihasilkan oleh RTH

aktual dan kebutuhan

oksigen di Kota

Yogyakarta dan

sekitarnya.

3. Menyusun peta distribusi

spasial RTH di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya

dan kesesuaiannya dengan

pedoman berdasarkan luas

wilayah.

4. Menyususun estimasi

kebutuhan RTH

berdasarkan kebutuhan

oksigen di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya

pada tahun 2018.

Citra ALOS AVNIR- 2

tahun 2009, RBI digital

Wilayah Kota

Yogyakarta dan

sekitarnya, data

sekunder, data lapangan

Penggunaan

lahan, RTH

aktual, kelas

tutupan hijau

kebutuhan

oksigen.

1. Tingkat akurasi atau

kemampuan citra ALOS

AVNIR-2 dalam menyadap

informasi RTH dilihat dari

akurasinya,

2. Informasi suplai oksigen

yang dihasilkan oleh RTH

aktual dan kebutuhan

oksigen di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya

3. Peta distribusi spasial RTH

di Kota Yogyakarta dan

sekitarnya skala 1:100.000

dan kesesuaiannya dengan

pedoman berdasarkan luas

wilayah.

4. Rumusan estimasi

kebutuhan RTH

berdasarkan kebutuhan

oksigen di Kota

Yogyakarta dan sekitarnya

pada tahun 2018.

16

1.7 Kajian Penelitian

1.7.1 Kondisi Geografis

Kajian daerah penelitian adalah Kota Yogyakarta dan sekitarnya yang

terletak antara 1100

24’19" - 1100

28’53" Bujur Timur dan antara 07049’26" -

07015’24" Lintang Selatan. Adapun batas administratif Kota Yogyakarta adalah

sebagai berikut:

Batas Utara : Kabupaten Sleman

Batas Selatan : Kabupaten Bantul

Batas Timur : Kabupaten Bantul dan Sleman

Batas Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman

Luas wilayah Kota Yogyakarta adalah 32,5 Km2

(3.250 ha). Kota

Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan, 45 kelurahan dan 616 RW. Kecamatan

Umbulharjo merupakan kecamatan yang paling luas diantara kecamatan yang

lainnya, yakni seluas 812 ha, sementara kecamatan yang tersempit adalah

Kecamatan Pakualam (0,63 Km2).

Selain Kota Yogyakarta (sebagai wilayah kajian), penelitian ini juga

mengambil beberapa kecamatan di pinggiran Kota Yogyakarta yang memiliki

sifat kekotaan, yakni 3 kecamatan di Kabupaten Bantul dan 3 kecamatan di

Kabupaten Sleman. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1. Wilayah Kajian untuk Pinggiran Kota Yogyakarta

Kabupaten Kecamatan

Kajian

Luas Wilayah

(km2)

Sleman Gamping 29,25

Mlati 28,55

Depok 35,55

Bantul Sewon 27,16

Kasihan 32,38

Banguntapan 28,48

Sumber : Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman dalam Angka Tahun

2011

1.7.2. Topografi

Kota Yogyakarta terletak di daerah dataran lereng aliran Merapi dengan

kemiringan lahan yang relatif datar (antara 0-2 %) dan berada pada ketinggian rata-

17

rata 114 meter dari permukaan air laut (dpa). Sebagian wilayahnya yakni dengan

luas 1.657 hektar terletak pada ketinggian kurang dari 100 meter dan luas wilayah

1.593 hektar berada pada ketinggian antara 100-199 meter dpa (Yogyakarta Dalam

Angka 2012)

1.7.3 Keadaan Iklim

Kota Yogyakarta beriklim tropis dengan memiliki dua musim yaitu,

musim kemarau dan musim penghujan. Pada tahun 2011 rata-rata curah hujan

tertinggi terjadi pada bulan Januari yakni sebanyak 351,3 mm dan terendah terjadi

pada bulan Juni sebesar 1,5 mm. Rata-rata hari hujan per bulan adalah 9,56 hari.

Kelembaban udara rata-rata cukup tinggi. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan

April sebesar 85% dan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 67,3%.

Tekanan udara rata-rata 995,83 mb dan suhu rata-rata 26o C.

1.7.4 Penggunaan Lahan

Penggunaan lahan di Kota Yogyakarta sebagian besar didominasi oleh

perumahan/permukiman. Secara rinci pemanfaatan lahan Kota Yogyakarta dapat

dilihat pada tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2. Pemanfaatan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011

Tahun Perumahan

(ha)

Jasa

(ha)

Perusahaa

n

(ha)

Industri

(ha)

Pertanian

(ha)

Lahan

Kosong (ha)

Lain-

Lain

(ha)

Jumlah

Total

(ha)

2007 2.103,272 272,629 263,525 52,234 145,403 24,781 388,160 3.250

2008 2.103,982 274,021 272,109 52,234 137,593 21,246 388,160 3.250

2009 2.104,357 275,467 275,617 52,234 134,052 20,113 388,160 3.250

2010 2.106,338 275,562 277,565 52,234 130,029 20,041 388,160 3.250

2011 2.108,728 275,996 279,824 52,234 127,672 19,798 388,160 3.250

Sumber: BPS Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011

Penggunaan lahan permukiman pada tahun 2011 sebesar (64,884%) telah

melampaui kondisi optimal untuk peruntukan lahan, yang menurut (Odum, 1985

dalam Fandeli, 2004) lahan maksimal untuk perumahan sebesar 40%. Kebutuhan

perumahan ini akan meningkat seiring dengan arus urbanisasi. Penambahan

penduduk oleh arus urbanisasi menyebabkan ruang gerak penduduk menjadi

sempit, udara yang bersih yang dinikmati oleh penduduk juga semakin sedikit.

18

Penggunaan lahan yang setiap tahunnya mengalami penurunan adalah

penggunaan lahan untuk pertanian dan lahan kosong.

1.7.5. Penduduk

Jumlah penduduk Kota Yogyakarta pada tahun 2011 adalah 490.550 jiwa

(BPS Kota Yogyakarta 2011), dengan jumlah penduduk terbanyak ditempati oleh

Kecamatan Umbulharjo (77.127 jiwa) dan penduduk paling sedikit berada di

Kecamatan Pakualam (9.362 jiwa). Berikut ini adalah jumlah penduduk Kota

Yogyakarta dari tahun 2005-2011.

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta Tahun 2005-2011

Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2)

2005 435.236 13,391

2006 443.112 13,634

2007 451.118 13,880

2008 456.915 13,881

2009 462.752 14,238

2010 488.627 15,034

2011 490.550 15,093

Sumber: BPS DIY

Sementara jumlah penduduk pada tahun 2011 untuk kecamatan yang juga menjadi

kajian penelitian adalah sebagai berikut:

Tabel 3.2 Jumlah Penduduk di Pinggiran Kota Yogyakarta Dalam Wilayah Kajian

Tahun 2005-2011

Kabupaten Kecamatan Jumlah Penduduk

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Bantul Banguntapan 80.209 86.053 87.057 88.979 90.477 120.015 122.510

Sewon 77.679 78.142 78.453 79.984 81.151 104.368 105.701

Kasihan 79.424 80.159 80.354 85.343 91.849 110.871 112.708

Sleman Gamping 72.871 86.818 75.394 88.166 89.293 96.820 98.486

Mlati 72.318 90.214 75.213 91.450 92.601 101.031 102.812

Depok 118.872 180.243 121.411 182.151 184.407 181.490 182.705

Sumber : BPS DIY

1.7.6. Kondisi Ruang Terbuka Hijau

Besarnya luasan RTH di Kota Yogyakarta ternyata masih belum

memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-undang No. 26

Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan

19

besarnya 30%, yakni 20% untuk ruang terbuka publik dan 10% untuk ruang

terbuka privat. Luasan RTH di Kota Yogyakarta masih kurang 12,83 % pada

tahun 2010, artinya yang tersedia hanya 17,17% (total 557,90 ha) dari luas seluruh

Kota Yogyakarta. (Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta tahun 2010). Dari

557, 90 ha RTH, wilayah yang memiliki RTH paling luas berada pada

Kecamatan Umbulharjo, yakni sebesar 148,22 ha, sementara RTH paling rendah

berada di Kecamatan Pakualaman (4,73 ha).

RTH di wilayah perkotaan mempunyai peranan yang sangat penting untuk

menjaga kualitas lingkungan hidup. Sebagai fungsi ekologis, peran RTH disini

adalah sebagai menyerap karbon, yang merupakan salah satu zat polutan,

kemudian mengubahnya menjadi oksigen dalam proses fotosintesis. Kendaraan

bermotor dan kegiatan industri merupakan sumber polutan udara. Kendaraan

bermotor mengasilkan gas CO2, NOx, HC, Sox dan Pb sementara kegiatan

industri menggunakan bahan bakar fosil dan minyak menghasilkan gas Sox, HC

dan asap. Walaupun sebagai sumber polutan, kendaraan bermotor dan industri

dalam proses pembakaran membutuhan oksigen. Oksigen hasil fotosintesis inilah

yang digunakan oleh kendaraan bermotor dan industri untuk aktivitas pembakaran

bahan bakar fosil menjadi tenaga mekanik. Yang tidak kalah penting adalah

manfaat oksigen bagi manusia untuk keberlangsungan hidupnya.

Jumlah kendaraan yang mengalami peningkatan signifikan, banyaknya

industri serta pertumbuhan penduduk menyebabkan permintaan akan kebutuhan

oksigen juga bertambah. Tercatat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir jumlah

kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta mengalami laju peningkatan secara cepat

yakni sebesar 162.854 kendaraan dengan total kendaraannya sebesar 331.332

kendaraan (tahun 2010), (http://www.pustral.ugm.org/). Jumlah penduduk dilihat

dari persentasenya juga mengalami kenaikan dari tahun 2005-2011 (lihat tabel 3.1

dan 3.2), sementara jumlah industri mengalami kenaikan yang tidak berarti

(relatif tetap).

Dari pemaparan di atas diketahui bahwa tidak hanya manusia yang

membutuhkan oksigen untuk keberlangsungan hidup, tetapi kendaraan bermotor

dan industri juga membutuhkan oksigen untuk proses pembakaran. Kebutuhan

20

oksigen yang semakin besar harus diimbangi dengan jumlah RTH yang ada agar

terjadi keseimbangan antara oksigen yang dihasilkan dengan oksigen yang

dibutuhkan.

21

Gambar 1.1. Peta Daerah Penelitian