BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar...
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Pengkajian terhadap rumpun bahasa Austronesia sudah dilakukan oleh para ahli linguistik
sejak tahun 1784. Rentang waktu yang panjang itu rupanya belumlah cukup mematenkan
pengklasifikasian secara umum mengenai rumpun bahasa Austronesia itu sendiri. Perdebatan
terkait pencabangan masih kerap terjadi terutama pengelompokan terhadap bahasa Austronesia
rumpun bahasa Melayu batasan nya masih belum jelas (Collins, 1983: 83). Hal ini kemudian
dirumitkan lagi dengan belum terbitnya sebuah buku pun yang menyajikan sejarah bahasa
Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura secara komprehensif dan ilmiah. Itulah kemudian
klasifikasi dan pemetaan terhadap bahasa-bahasa yang ada di Indonesia menjadi sangat penting
dan mendesak dilakukan.
Penelitian dialektologi dalam perkembangannya mulai menemukan bentuknya pada akhir
abad ke-19, yang ditandai oleh unculnya dua penelitian yang dilakukan pada dua tempat (negara)
yang berbeda dalam waktu yang relatif bersamaan. Penelitian yang pertama dilakukan di Jerman
oleh Gustav Wenker pada tahun 1876 dan yang kedua dilakukan di Perancis oleh Jules Louis
Gillieron pada tahun 1880 ( Moulton, 1969: 59). Kedua penelitian yang menjadi tonggak awal
munculnya studi dialektologi tersebut secara umum bersifat diakronis (historis). Namun, oleh
karena kedua penelitian itu disasarkan pada upaya pembuktian hukum perubahan bunyi yang
dikemukakan kaum Neogrammarian, yang disebut dengan hukum bunyi tanpa kekecualian, maka
segala kajian yang bersifat diakronis seperti hubungan dialekdialek/subdialek-subdialek dengan
bahasa induk yang menurunkannya; hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu satu
sama lain, serta hubungan antara dialek-dialek/subdialek-subdialek itu dengan dialek-
dialek/subdialek-subdialek dari bahasa lain yang diduga ikut pula membentuk kejatian dialek-
dialek/subdialek-subdialek dari bahasa yang dteliti itu belum mendapat perhatian. Hal yang sama,
yang juga belum mendapat perhatian yang memadai dalam kedua kajian dialektologi di atas adalah
hal yang berkaitan dengan aspek sinkronis. Dalam hal ini yang dimaksudkan berkaitan dengan
bidang kajian linguistic yang dijadikan dasar kajiannya lebih ditekankan pada perbedaan bidang
fonologi daripada bidang linguistic lainnya, seperti bidang morfologi, sintaksis, leksikon, dan
semantic. Hal ini dapat dimaklumi karena sasarannya diutamakan pada pembuktian kebenaran
hukum perubahan bunyi yang diajukan kaum neogrammarian. Dalam pada itu pula , penentuan
status isolek sebagai dialek atau subdialek sepenuhnya tidak didasarkan pada perbedaan yang
terdapat pada semua bidang kajian linguistik di atas.
Selanjutnya, perkembangan penelitian dialektologi pasca Wenker dan Gillieron
memperlihatkan kecenderungan ke arah terbentuknya dua pola penelitian yang berbeda satu sama
lain. Yang pertama, penelitian yang hanya menekannkan aspek sinkronis dan yang kedua
penelitian yang tidak hanya menekankan aspek sinkronis, tetapi juga aspek diakronis. Penelitian
dialektologi dilakukan oleh Teew (1958) untuk bahasa Sasak di pulau Lombok yang menjadi
tonggak awal munculnya penelitian dialektologi di Indonesia merupakan contoh penelitian
dialektologi yang bersifat sinkronis. Tampaknya, dalam perkembangan selanjutnya penelitian
dialek geografis jenis ini mendapat tempat yang subur dalam penelitian dialektologi di Indonesia.
Hal ini berkat munculnya seorang ahli dialektologi yang berkebangsaan Indonesia yaitu
Ayatrohaedi dengan bukunya yang cukup dikenal pada kalangan dialektolog Indonesia adalah
Dialektologi: Sebuah Pengantar (1983)
Jika merujuk ke hasil pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat
Bahasa, kini Badan Pembinaan, Pengembangan dan Perlindungan Bahasa (2008), dan oleh Grimes
(2000) dalam The Languages of The World, di Indonesia terdapat tidak kurang 698 buah bahasa
daerah dan dialeknya (dalam Masinambow dan Haenen: 2000). Bahasa daerah dan dialeknya itu
memiliki jumlah pemakai dan luas daerah pemakaian yang berbeda-beda. Ada yang jumlah
pemakainya sedikit misalnya bahasa Irian Jaya (Papua) dan Nusa Tenggara Timur (lihat
Ayatrohaedi, 1985:1)
Bahasa Muna (BM) adalah salah satu dari 698 bahasa daerah di Indonesia yang disebutkan
di atas yang pemakaian nya tidak hanya terdapat di Kabupaten Muna di Pulau Muna tetapi juga
tersebar/terdapat di Pulau Buton. Kajian geografi dialek terhadap bahasa Muna sama sekali belum
pernah dilakukan. Hal yang sama terjadi pula pada pemakaian bahasa Muna yang ada sebagai
daerah kantong (enclave) di pulau buton tidak pernah pula dilakukan penelitian sebelumnya.
Sejauh ini kerja penelitian terkait bahasa Muna hanya menjangkau identifikasi dan
pengklasifikasiannya saja yang sudah dilakukan oleh Summer Institute of Linguistik (SIL) pada
2006, dan Pusat Bahasa 2008. Menurut Van den Berg (1989), bahasa Muna terdiri atas tiga dialek
yaitu, (1) dialek Muna standar, (2) dialek Tiworo Kepulauan, dan (3) dialek selatan (daerah
Siompu dan Gulamas). Bahasa Muna juga terdapat di kabupaten/pulau Buton. Daerah-daerah
seperti Kamaru, Liabuku, Batauga, Siompu, Gu, Lakudo, Mawasangka, sebagian Lasalimu, Bungi,
sebagian Sampolawa adalah daerah-daerah di Buton yang bahasanya adalah merupakan varian
bahasa Muna. Daerah-daerah enklave Muna di Buton itu mengidentifikasi diri mereka sebagai
Pancana. Pancana adalah komunitas Muna yang tinggal di daerah periveral, daerah pinggiran
Muna, dan di pulau Buton bagian barat. statusPancana karena pengaruh bahasa Wolio yang lebih
berprestise dianggap sebagai bahasa minoritas. Dinamika Muna lebih diberi peluang untuk hidup
daripada bahasa lain disamping bahasa Wolio, karena peranan Muna sebagai benteng penjaga dan
penopang (Barata) kesultanan adalah hal lain yang mungkin bisa menunjang .
Menarik dicermati bahwa jika ditarik mundur kebelakang, pada masa dahulu, Muna adalah
sebuah kerajaan yang tunduk dan di bawah kontrol Kesultanan Buton. Dalam perspektif
Kesultanan Buton, Muna adalah sebuah Barata bersama-sama dengan Kulisusu di Utara, Tiworo
di Barat, dan Kaledupa di Timur. Barata adalah daerah penopang yang bertanggung jawab
menjaga keamanan dan melindungi Kesultanan dari gangguan bajak laut ataupun serangan musuh.
(lihat Zuhdi dalam labu rope labu wana, Sejarah Buton yang Terabaikan. 2005). Sebagai
Kesultanan, Buton mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Wolio, tetapi dapat dilihat kini pada
daerah-daerah di Buton, bahasa Muna justru banyak sekali ditemukan khususnya pada daerah
pesisir pantai barat dan selatan pulau Buton serta pulau-pulau kecil di sekitar lepas pantai pulau
Buton seperti pulau Siompu, Kadatua, dan Talaga.
Charles E. Grimes and Barbara D. Grimes dalam Languages of South Sulawesi (1987: 59)
menyatakan bahwa rumpun Muna-Buton masuk dalam rumpun bahasa-bahasa di Sulawesi
Selatan. Sedangkan La Ode Sidu dkk menyebut bahasa Muna-Buton masuk dalam rumpun
Sulawesi tenggara. Penelitian lain yang dilakukan oleh Summer Institute of Linguistic (SIL) 2006
tidak menyebutkan adanya enklave Muna di Buton. SIL hanya mengidentfikasi dan kemudian
mengklasifikasi bahasa Muna dalam empat dialek, yaitu Muna Utara (daerah Tongkuno, Kabawo,
Lawa), Muna Selatan (daerah Gulamas), Muna Barat (daerah Lohia) Muna Timur (daerah Tiworo
Kepulauan).
Relasi historis menunjukan sangat dekatnya Enklave Muna di Pulau Muna, khususnya di
Muna Selatan (daerah Gu, Lakudo, Mawasangka atau diakronimkan Gulamas) dengan Siompu,
Talaga, Batauga, Kapontori, Todanga, sebagian Kamaru, Lipu, Liabuku, sebagian Sampolawa, dan
sebagian Lasalimu di Pulau Buton.
Untuk melihat hubungan antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada prinsipnya
dapat dibuktikan berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau protobahasa. Secara
genetis pengelompokan bahasa dalam telaah komparatif dapat menyajikan keterangan tentang
hubungan historis bahasa-bahasa sekerabat secara khusus.
Cara kerja komparatif yang digunakan adalah bersifat kualitatif maupun kuantitatif.
Prosedur metode komparatif yang bersifat kuantitatif ditempuh mengawali tahap rekonstruksi
protobahasa dengan menerapkan metode komparatif yang bersifat kualitatif.
Penelitian secara mendalam mengenai enklave bahasa Muna di Buton belum pernah
sebelumnya dilakukan, padahal tema mengenai ini sangat penting diteliti untuk mengetahui dan
memetakan secara visual daerah mana saja di kabupaten/pulau Buton yang masyarakatnya
memiliki bahasa yang merupakan varian bahasa Muna dan sekaligus malanjutkannya pada analisis
secara diakronis. Penelitian yang dilakukan oleh Summer Istitute Linguistic (SIL) 2006 dan Kantor
Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara 2008 hanya menyentuh sedikit saja mengenai ini, tidak masuk
menjangkau hal yang substansial. penelitian kedua lembaga itu baru sebatas pada pemetaan secara
visual saja atau baru secara sinkronis belum mencapai kajian secara diakronis.
Oleh karena itu, kajian terhadap sejumlah enklave Muna yang ada di pulau Buton dari
aspek dialektologi diakronis perlu dilakukan, selain untuk memperkaya pemahaman tentang
variasi bahasa Muna, diharapkan juga tersedianya kajian bahasa Muna secara komprehensif.
Dengan demikian, enclave-enklave Muna yang ada di Pulau Buton dapat turut diperhitungkan
dalam kajian linguistic diakronis (bandingkan dengan Collins, 1983 & 1994; Nothofer, 1995, dan
Fernandez, 1998).
Selain itu, yang menarik adalah penyebab perpindahan orang-orang Muna di pulau Buton
yang berbeda-beda tujuan kedatangan mereka. Ada beberapa bukti yang memperlihatkan secara
signifikan bahwa bahasa Muna juga digunakan di Pulau Buton terutama di Buton bagian Barat
dan Selatan. Sebenarnya kedatangan orang-orang Muna di Pulau Buton itu tidak terjadi secara
serentak, tetapi terjadi secara bertahap. Ditinjau dari perspektif sejarah, perpindahan orang Muna
ke pulau Buton melalui fase sejarah yang berbeda, disebabkan sejumlah faktor yang berbeda pula.
Jauh sebelum Mia Patamiana (si empat orang) datang di Pulau Buton yang kemudian
mendirikan kerajaan Wolio pada sekitar tahun 1300-an, pulau Buton telah berpenghuni manusia.
Adalah manusia-manusia asli tertua yang pernah hidup di dalam goa di daratan pulau Muna pada
sekitar 4000 SM melakukan migrasi ke Pulau Buton. Manusia-manusia yang pernah hidup dalam
goa ini kemudian berdiam tinggal di pulau Buton bagian barat dan selatan. Mereka inilah yang
kemudian menjadi muasal moyang leluhur dan menurunkan suku Wakaokili, suku Kalende, suku
Lipu, suku Lambusango, suku Kolagana, suku Lowu-Lowu, suku Wapancana, dan suku Todanga.
Belakangan suku-suku ini kemudian mengidentifiaksi diri mereka sebagai Pancana. (Mudjur,
2009:60)
Informasi historis yang lain menyebutkan bahwa berdasarkan teori mutakhir tentang
migrasi mahluk Homo Sapiens, dapat diperkirakan bahwa pulau Buton dan Muna sudah pernah
dihuni, atau paling tidak disinggahi oleh mahluk manusia sejak sekitar 50—30 ribu tahun yang
lalu. Kelompok Homo Sapiens yang bermigrasi keluar dari Afrika dan pergi menuju Asia Selatan,
Asia tenggara, dan lalu Australia inilah, dapat diperkirakan yang juga menjadi mahluk manusia
pertama yang ada di pulau Buton dan Muna. Namun migrasi manusia modern ini bukan merupakan
gelombang pertama dan terakhir dari persebaran mahluk manusia di permukaan bumi ini. Ini
merupakan gelombang terawal dan paling kuno dari persebaran mahluk manusia di kawasan asia
Tenggara dan benua Australia termasuk Pulau Buton dan Muna (lihat Maula dkk, 2011:11)
Pada sekitar 2500 SM (Zaman Neolitikum), gelombang migrasi berikutnya datang dari
Cina Selatan melalui Taiwan dan kepulauan Filipina, menuju kepulauan Indo-Melayu. Para migran
ini, yang berasal dari orang Mongoloid Selatan, umumnya dikenal sebagai orang-orang
Austronesia; mereka yang bermukim di kepulauan ini dan Pasifik juga dikenal sebagai Malayo-
Polynesian, untuk membedakan mereka dari kelompok Austronesia lain nya, orang-orang
Formosa, yang bermukim di Taiwan dan bahasanya telah berkembang secara berbeda.
Gelombang-gelombang migrasi Austronesia ini bermigrasi ke arah selatan dari Taiwan melalui
Filipina, dimana mereka kemudian terbagi menjadi dua cabang, (1) cabang yang pertama
meneruskan perjalanan ke arah selatan dan bermukim di Sulawesi dan Kalimantan. Dari
Kalimantan Utara, beberapa kelompok menyeberangi Laut Cina Selatan untuk bermukim di
Vietnam Selatan. Kelompok-kelompok lain melanjutkan perjalanan sampai ke Bali, Jawa,
Sumatera, dan Semenanjung Malaysia. Belakangan migrasi juga terjadi ke Madagaskar. (2) cabang
kedua bermigrasi ke timur dan bermukim di Maluku, dimana mereka terbagi menjadi dua
kelompok lagi, yang pertama terus ke Tonga, Samoa, dan Polinesia, sementara kelompok yang
kedua pergi ke barat dan bermukim di kepulauan Sunda Kecil. Cabang ini jugalah yang sangat
mungkin singgah dan bermukim di Pulau Buton dan Muna (Maula, 2011:14)
Dalam hal arus pergerakan migrasi ini, menarik memperhatikan kesimpulan para ahli,
sebagaimana ditulis oleh Christian Pelras berdasarkan analisis linguistik bahwa penghuni pertama
Austronesia di Sulawesi Selatan memiliki hubungan dengan mereka yang saat ini menghuni bagian
tengah dan tenggara Sulawesi. Mereka itu menggunakan bahasa yang tergolong ke dalam
kelompok bahasa Kaili-Pamona, Bungku-Mori, dan Muna-Wolio (Buton). Bahwa bahasa tersebut
merupaka substratum bagi bahasa-bahasa yang kini digunakan oleh penduduk Sulawesi Selatan
dapat dilihat dari analisis terhadap kata-kata tertentu yang masih ditemukan dalam bahasa
Makassar dan Toraja, serta bahasa Bugis kuno serta bahasa Bugis para pendeta bissu. (lihat Pelras
dalam Manusia Bugis).
Lebih lanjut Pelras menulis bahwa sebelum tarikh masehi, mereka yang tergolong ke dalam
kelompok penutur bahasa Muna-Buton yang keturunannya dewasa ini dapat ditemukan di daerah
Wotu (Luwu), Layolo (Selayar), Kalao (dekat Selayar), Muna, dan Wolio agaknya bermukim di
sekeliling pantai teluk Bone. Sedangkan kelompok penutur bahasa Pamona hidup berpencar di
pedalaman Semenanjung Sulawesi Selatan (Pelras, 2005:42—43)
Berdasarkan tinjauan sejarah dan linguistik di atas, dapat diasumsikan bahwa orang Muna
yang terdapat di beberapa enklave Muna di Pulau Buton menggunakan bahasa Muna dengan dialek
yang berbeda-beda. Sehubungan dengan itu, ada peluang untuk melakukan kajian yang mendalam
terhadap isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton. Alasannya, karena selain belum adanya
kajian yang mendalam dan menyeluruh terhadap isolek-isolek itu melalui pendekatan linguistic
diakronis, sampai saat ini belum ditetapkan bahasa atau dialek apa sebenarnya yang dipakai oleh
desa-desa berpenutur bahasa Muna itu. Walaupun berdasarkan pengakuan sebagian besar penutur
di masing-masing enclave itu bahwa mereka adalah orang-orang Pancana yang muasalnya
datangnya dari pulau Muna. Perlu ditelusuri melalui kajian linguistik (dialektologi diakronis)
muasal mereka ketika terjadi migrasi dari daerah asalnya. Berdasarkan bukti dari uraian sejarah
seperti yang diungkapkan di atas, patron untuk menyimpulkan bahwa suatu bahasa berasal dari
satu bahasa atau kelompok bahasa belum dapat diandalkan dan dipakai sebagai pegangan karena
masih perlu dikaji eksistensi isolek-isolek tersebut melalui penelitian. Penelitian ini akan
memperjelas tidak hanya status bahasa daerah enklave Muna di pulau Buton tetapi juga bagaimana
awal mula mereka bermigrasi serta alasan-alasan mereka melakukan perpindahan itu.
1.2 Rumusan Masalah
Oleh karena alat komunikasi yang digunakan oleh penutur isolek di enckave-enklave Muna
di Pulau Buton diasumsikan bervariasi, maka sebelum pembicaraan terhadap hubungan isolek-
isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna terlebih dahulu perlu dilakukan
identifikasi hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-isolek itu dengan bahasa Muna dialek
Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara. Untuk memudahkan pembicaraan
dalam kajian ini penulis menggunakan istilah isolek yang lebih bersifat netral, karena status media
komunikasi yang digunakan oleh sejumlah enklave tersebut masih belum jelas apakah bahasa
ataukah dialek.
Pembicaraan terhadap sejumlah isolek-isolek tersebut harus diarahkan pada upaya
pembuktian secara linguistis dalam hal ini keeratan hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-
isolek Muna di Pulau Buton dengan bahasa Muna dialek selatan atau Gu Mawasangka, dan bahasa
Muna di daerah Tongkuno (Muna tinggi). Hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa
Muna, dan pengaruh bahasa Muna dialek selatan di Pulau Muna. Dengan demikian permasalahn
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimana hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna yang ada di pulau Buton dengan
dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara?
2. Bagaimana hubungan isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton dengan dialek-dialek
bahasa Muna di Pulau Muna?
3. Bagaimanakah pengaruh bahasa Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) terhadap isolek-
isolek Muna di Pulau Buton?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan hubungan isolek Muna di pulau Buton dengan
bahasa Muna, hubungan isolek-isolek Muna itu dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan
pengaruh bahasa Muna terhadap isolek-isolek Muna di pulau Buton. Jadi tujuan penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna yang ada di pulau Buton
dengan dialek Selatan (Gu Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara
2. Mendeskripsikan hubungan isolek-isolek Muna yang ada di Pulau Buton dengan
dialek-dialek bahasa Muna di Pulau Muna; dan
3. Mendeskripsikan pengaruh bahasa Muna, dialek Selatan (Gu-Mawasangka), terhadap
isolek-isolek Muna di pulau Buton.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan teoritis dan praktis. Kegunaaan teoritis adalah adanya
gambaran yang memadai tentang hubungan kekerabatan isolek-isolek Muna di Pulau Buton
dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara, hubungan isolek-isolek
Muna dengan dialek-dialek bahasa Muna, dan pengaruh dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan
bahasa Muna dialek Utara terhadap isolek-isolek itu.
Kegunaan praktis penelitian ini adalah dengan pengetahuan mengenai keadaan bahasa
yang diteliti, hubungan dengan bahasa-bahasa lain yang sekerabat dengannya diharapkan dapat
memberikan arah bagi penentuan kebijakan politik bahasa nasional khususnya dalam proses
pengembangan dan pembinaan bahasa. Dengan kata lain, menjadi bahan masukan bagi
pembangunan kebinekaantunggalikaan ke kebudayaan nasional Indonesia (lihat Danie, 1991: 8,
dalam Mahsun, 1994:9). Dengan demikian dapat dikatakan sebagai salah satu upaya ikut
memelihara bahasa daerah tersebut sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional. Hal lainnya
adalah sebagai bahan informasi bahwa bahasa-bahasa di Muna-Buton sekerabat yang itu kemudian
dapat menumbuhkan solidaritas bersama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
kedua daerah tersebut dengan membentuk satu provinsi baru tersendiri sebagaimana yang kini
sedang diupayakan yakni Provinsi Buton Raya, atau Provinsi Muna-Buton, atau Provinsi Sulawesi
Tenggara Kepulauan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian lapangan pendahuluan
dipahami bahwa di pulau Buton terutama di daerah pesisir barat dan selatan ditemukan beberapa
enklave Muna yaitu di Batauga, Lipu, Liabuku, Lowu-Lowu (ketiganya terdapat di Kota Bau-Bau,
wilayah pesisir barat pulau Buton), Kapontori, Barangka, Kamaru, Todanga, Matanauwe, dan
Kakenauwe (daerah di Barat Pulau Buton). Dari sekian banyak daerah enklave Muna tersebut
hanya enklave Liabuku, Lipu, dan Laompo yang dijadikan sasaran dalam penelitian ini. Mengenai
tidak diambilnya beberapa enklave lainnya, disebabkan enklave-enklave itu berasal/pindah dari
salah satu enklave yang telah dijadikan sasaran penelitian.
Penentuan hubungan kekerabatan antara isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan bahasa
Muna dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara mencakup penentuan
keeratan dan tingkat kekerabatan antara ketiganya. Penentuan keeratan hubungan dimaksudkan
untuk mendapatkan bukti secara linguistik-kualitatif keeratan hubungan isolek-isolek Muna di
pulau Buton dengan dialek Selatan (Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara melalui
pendekatan Top Down Reconstruction. Hubungan kekerabatan ini diamati melalui sejumlah kata
kerabat yang ditemukan dalam ketiganya dan adanya keterwarisan dari bahasa awal yang lebih
tinggi darinya, baik yang berupa retensi maupun inovasi. Bahasa awal yang dimaksud adalah
Proto-Austronesia (PAN) pada tingkat yang lebih tinggi dan proto Muna-Buton pada tingkat yang
lebih rendah. Adapun penentuan tingkat kekerabatan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran
apakah isolek Muna di pulau Buton lebih dekat hubungannya dengan dialek Selatan (Gu-
Mawasangka), ataukah bahasa Muna dialek Utara. Selanjutnya dalam penentuan itu dapat
dikatakan apakah hubungan isolek-isolek itu dengan kedua bahasa itu bersifat sebagai bahasa
(yang berbeda) atau hanya merupakan variasi (dialek) dari satu bahasa. Secara kuantitatif
penentuan tingkat kekerabatan menggunakan teknik leksikostatistik (lexsicostatistic), sedangkan
secara kualitatif dilakukan dengan memanfaatkan metode inovasi bersama (shared innovation) dan
retensi bersama (shared retention).
Selanjutnya kegiatan penentuan hubungan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan
bahasa Muna di pulau Muna selain mendapatkan gambaran yang memadai secara kualitatif yang
menjelaskan hubungannya dengan prabahasa Muna yang diasumsikan telah menurunkan dialek-
dialek bahasa Muna juga untuk mendapatkan gambaran baik secara kuantitatif maupun kualitatif
hubungan isolek-isolek itu dengan dialek-dialek bahasa Muna. Dalam hubungan ini Prabahasa
Muna dan klasifikasi dialek-dialek bahasa Muna yang dibuat oleh Berg lah yang akan
dimanfaatkan, karena selain penelitian ini merupakan penelitian terakhir, juga menggunakan teori
maupun metodologi mutakhir dibidang kajian dialektologi diakronis yang mencakup aspek
sinkronis dan aspek diakronis dalam bahasa Muna. Pembuktian secara kualitatif atas kedua
persoalan di atas ditekankan pada bidang fonologi dan leksikon.
Adapun pembicaraan tentang pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa
Muna dialek Utara terhadap enclave-enklave itu difokuskan pada pembicaraan unsur-unsur
kebahasaan dan penentuan tingkat pengaruh bahasa-bahasa itu terhadap masing-masing enklave
Muna tersebut.
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai bahasa Muna sudah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik
secara kolektif maupun secara individu. Pada umumnya penelitian bahasa Muna yang sudah
dilakukan itu bersifat sinkronis, sangat jarang, bahkan mungkin tidak pernah telah dilakukan
penelitian secara diakronis. Penelitian sinkronis terkait bahasa Muna sudh dilakukan oleh (1) Rene
van den Berg (1989) dengan judul A Grammar of the Muna Language. (2) J. A. Sande dkk (1986)
dengan judul Morfosintaksis Bahasa Muna. (3) Nurdin Yatim, dkk. (1986) dengan judul Morfologi
Kata Kerja Bahasa Muna.(4) La Ode Sidu Marafad (1986) dengan judul Hubungan Kata Ganti
Diri Bahasa Muna dengan Kata Ganti Diri Bahasa Indonesia. (5) La Ode Sidu Marafad, (1990)
dengan judul Fonologi Generatif Bahasa Muna. (6) La Ode Halaidi, (1986) dengan judul A Study
of Muna Language Affixes.
Di antara penelitian yang sudah dilakukan sebagaimana dituliskan di atas, penelitian
sinkronis yang agak relevan dengan tesis ini adalah penelitian yang dilakukan Sidu (1990) yang
berjudul Fonologi Generatif Bahasa Muna. Dalam temuan hasil penelitian nya, Sidu
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fonologis yang diperlukan dalam menerangkan perubahan
realisasi fonologis menjadi realisasi fonetis dalam bahasa Muna sebanyak tujuh belas kaidah yang
terdiri atas kaidah bersifat wajib dan tak wajib. Kaidah-kaidah itu ialah kaidah alofon istrilisasi
(tak wajib), dekonsonantal, kaidah alofonis peninggian konsonan, kaidah bayangan cermin
penegangan vocal, prenasalisasi konsonan (tak wajib) kaidah minor pengawasuaraan konsonan,
penyelarasan vocal, pelesapan konsonan m pada –mo, penyelarasan pemanjangan vocal u atau o,
pelesapan vocal u dan o pada akhir kata, asimilasi vocal (tak wajib), asimilasi nasal, degeminasi,
pelesapan infiks, penambahan hambat glottal (tak wajib), dan pelesapan o pada –Kao (wajib/tak
wajib)
Sudah seperti yang dituliskan di atas bahwa penelitian secara diakronis bahasa Muna
sangatlah jarang dilakukan. Hanya ada sangat sedikit penelitian yang khusus fokus meneliti bahasa
Muna secara diakronis. Pada tahun 1987, Syahruddin Kaseng dkk, memulai penelitian memetakan
bahasa-bahasa di daerah Sulawesi Tenggara tetapi hasil penelitian tersebut tak cukup memberi
uraian detail yang jelas perihal eksistensi dan relasi bahasa Muna dengan bahasa-bahasa lain di
Sulawesi Tenggara. Dalam penelitian itu, Kaseng dkk menemukan dua puluh bahasa di Sulawesi
Tenggara. Dari dua puluh bahasa itu, terdapat beberapa bahasa yang memperlihatkan hubungan
sangat dekat, dan di antara beberapa bahasa yang memperlihatkan hubungan sangat dekat itu,
bahasa Muna tidak memiliki kedekatan dengan bahasa-bahasa lain nya.
Temuan Kaseng dkk itu berkontras dan tak sejalan dengan apa yang dihasilkan oleh
Summer Institut Linguistic SIL dan Pusat Bahasa. SIL, (2006) meskipun tak tegas mengatakan
adanya relasi Muna dengan bahasa-bahasa lain di Sulawesi Tenggara tetapi mereka tak pula
menafikan adanya relasi itu. Pusat Bahasa, (2008) sedikit lebih tegas dalam melihat relasi bahasa
Muna dengan bahasa-bahasa daerah lain nya di Sulawesi Tenggara, ada pertalian kerabat sangat
dekat antara bahasa Muna dengan beberapa bahasa daerah lain nya di Sulawesi Tenggara, terutama
di Pulau Buton bagian barat, selatan, dan beberapa pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti Siompu,
Kadatua, dan Talaga.
Dengan mempelajari dan menyimak hasil penelitian terdahulu, baik yang secara sinkronis
maupun diakronis, dapat dianggap bahwa penelitian ini merupakan penelitian awal yang dilakukan
secara sinkronis dan diakronis yang mengkaji Enklave Muna di Pulau Buton.
1.7 Kerangka Teori
Setiap bahasa berubah dengan polanya sendiri yang berbeda dengan pola perubahan bahasa
kerabat yang lain (Bynon, 1979:22 dalam Mbete, 1990:27). Dalam perjalanan sejarahnya, suatu
bahasa memiliki kemandirian itu, karena factor-faktor tertentu, bercabang menjadi dua atau lebih
(Jefers dan Lehiste, 1979:27 dalam Mbete 1990:27). Bahasa-bahasa turunan itu mewarisi pula
unsur-unsur bahasa asalnya, baik unsur-unsur yang berubah maupun unsur-unsur yang tidak
berubah. Dengan demikian maka struktur bahasa-bahasa turunan itu berunsur retensi dan inovasi
. Retensi dan inovasi yang dimaksud itu dapat berwujud fonologis leksikal, semantik, dan unsur-
unsur gramatikal (Mbete, 1990:27)
Pemikiran di atas terkait dengan studi komparatif yang pada dasarnya mengkaji hubungan
antara bahasa kerabat. Hal ini didasarkan pula pada pandangan, bahwa dialektologi itu
diasumsikan sebagai alat untuk merekonstruksi sejarah suatu bahasa. Dengan kata lain, bahwa
segmentasi dialektal merupakan akibat dari perkembangan historis (Nothofer, 1990:5 dalam
Mahsun 1994:25).
Hubungan antarbahasa sekerabat dalam telaah komparatif pada dasarnya dapat dibuktikan
berdasarkan unsur-unsur warisan dari bahasa asal atau proto bahasa (proto-language) (Fernandez,
1996:21). Melalui pengamatan terhadap perangkat kognat yang mempunyai relevansi historis
dapat diformulasikan kaidah-kaidah perubahan bunyi yang teratur atau korenspondensi fonem
antar bahasa sekerabat. Dengan demikian, berdasarkan pemahaman terhadap kaidah perubahan
bunyi yang teratur dapat dilakukan pemilihan kata-kata bahasa sekarang yang merupakan
kelanjutan dari bahasa asalnya (Dyen, 1978:34 dalam Fernandez, 1996:21)
Secara genetis, pengelompokan bahasa dalam telaah komparatif dapat menyajikan
keterangan tentang hubungan historis bahasa-bahasa sekerabat secara khusus. Pengelompokan
bahasa sekerabat dapat dilakukan melalui pendekatan kuantitatif disamping kualitatif melalui
prosedur yang sesuai dengan persentase leksikostatistik (Dyen, 1978:50 dan Nothofer, 1986:1
dalam Fernandes, 1996:23). Pendekatan ini menggunakan alat utama berupa daftar Swadesh (dua
ratus kosa dasar yang baku) untuk menelusur padanan perangkat bahasa-bahasa yang diteliti.
Setelah daftar diisi, persentase kognat ditetapkan dengan mengandalkan pemahaman tentang
hukum perubahan bunyi yang teratur antarbahasa tersebut. Garis silsilah kekerabatan atau pohon
kekerabatan (family tree) yang dihasilkan pendekatan kuantitatif menggambarkan kekerabatan
yang lebih erat atau tidak antarbahasa sekerabat dalam usaha pengelompokan tersebut. Gambaran
mengenai kekerabatan antarbahasa yang dicapai berdasarkan perhitungan persentase
leksikostatistik dapat diuji secara lebih seksama dan mendalam melalui pendekatan kualitatif
melalui pengamatan terhadap ciri-ciri inovasi bersama. Dalam kaitannya dengan itu, ada
kecenderungan beberapa sarjana untuk menerapkan pendekatan kuantitatif sebelum pendekatan
kualitatif dilakukan (Dyen, 1978:51-52 dalam Fernandez, 1996:23).
Pengelompokan pendekatan kualitatif harus berdasarkan bukti-bukti berupa inovasi
bersama secara ekslusif (exlusive shared innovation) (Brugmann, 1884 dalam Fernandez, 1996)
sejumlah inovasi yang ditemukan pada bahasa-bahasa turunan, senantiasa memperlihatkan pula
kesamaan pola dan ciri-ciri perubahan .diantara perubahan itu, ada yang hanya ditemukan pada
bahasa atau bahasa-bahasa tertentu, dan perubahan itu bersifat ekslusif. Ciri-ciri perubahan
bersama yang ekslusif baik yang teratur maupun yang tidak teratur ada tataran fonologi dan
perangkat leksikon yang hanya ditemukan pada bahasa-bahasa tertentu, atau juga unsur-unsur
morfologis, dapat dijadikan bukti keeratan hubungan bahasa-bahasa kerabat (Jeffers dan Lehiste,
1979:31; Blust, 1974:39 dalam Mbete, 1990). Dengan demikian semakin banyak kaidah perubahan
yang ditemukan dan dimiliki bersama, maka semakin kuat pula bukti-bukti keeratan hubungan
ke(sub-)kelompokkan bahasa kerabat (Bynon, 1979:64 dalam Mbete, 1990)
Hubungan kekerabatan dan keseasalan bahasa-bahasa dapat dibuktikan melalui fakta-fakta
kebahasaan berupa keteraturan kesepadanan yang ditemukan pada bahasa-bahasa sekerabat.
Kesepadanan-kesepadanan yang teratur melihatkan bukti adanya keaslian bersama yang terwaris
dari moyang yang sama (Bynon, 1979:47). Dengan adanya ciri warisan yang sama, maka keeratan
hubungan keasalan antara bahasa-bahasa kerabat dapat ditemukan.
Menurut Bynon (1979:178 bandingkan dengan Laas, 1991:357) bahwa sebuah perubahan
bunyi itu tidak mempengaruhi kata-kata dalam leksikon secara sekaligus, melainkan satu persatu,
sehingga pada saat perubahan itu terjadi ada kata-kata tertentu yang lain yang belum mengalami
perubahan
Perubahan bunyi yang terjadi pada bahasa-bahasa yang berkerabat atau pada dialek-
dialek/subdialek-subdialek dari suatu bahasa ada yang muncul secara teratur da nada pula yang
muncul secara sporadic atau tidak teratur. Selanjutnya ihwal perubahan yang muncul secara teratur
itu disebut korespondensi, sedangkan untuk perubahan yang muncul secara sporadik atau tidak
tetap disebut variasi (Mahsun, 1994:27)
Kekorespondensian dan kevariasian suatu kaidah berkaitan dengan dua aspek yaitu aspek
linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, perubahan itu disebut korespondensi, jika
perubahan itu terjadi karena persyaratan linguistic tertentu; sebaliknya perubahan itu disebut
variasi jika kemunculan perubahan bunyi itu tidak disyarati oleh lingkungan yang bersifat
linguistiktertentu, maka data tentang kaidah yang berupa korespondensi itu tidak terbatas
jumlahnya; sedangkan data tentang kaidah yang berupa variasi hanya terbatas pada satu atau dua
contoh saja. Adapun dari aspek geografi, kaidah perubahan bunyi disebut korespondensi, jika
daerah sebaran kaidah itu terjadi pada daerah pengamatan yang sama, sebaliknya disebut variasi
jika daerah sebarannya tidak sama. Namun demikian, dapat saja terjadi kaidah korespondensi itu
untuk beberapa contoh memperlihat daerah sebaran tidak sama. Hal itu mungkin disebabkan
adanya pengaruh antar daerah pengamatan dank arena proses pinjaman (Mahsun, 1994:28)
Perubahan bunyi yang muncul secara tidak teratur (berupa variasi) antara lain adalah: (1)
lenisi (pelemahan), (2) epentesis, (3) apokop, (4) sinkop, (5) apheresis, (6) kompresi (perampatan),
(7) asimilasi, (8) disimilasi, (9) metatesis, (10) kontraksi (Lehman, 1973:153-168 dan Hock,
1986:62-110 dalam Mahsun, 1994:29)
Namun demikian, perubahan bunyi yang dikategorikan sebagai perubahan yang muncul
secara tidak teratur di atas, kadang-kadang dalam bahasa tertentu muncul sebagai perubahan yang
teratur (Hock, 1986:11-112 dalam Mahsun, 1994:29). Dalam analisis penentuan bentuk asli atau
inovasi baik inetranal maupun eksternal dari satu makna yang memiliki makna ganda, dilakukan
dengan cara:
a. mengetahui struktur bahasa purba;
b. mengetahui kaidah perubahan bunyi dalam bahasa yang diteliti; dan
c. mengetahui sejarah dan kebudayaan masyarakat, yang bahasanya diteliti. (Mahsun,
1990).
1.8 Hipotesis
1. Isolek-isolek Muna di Pulau Buton dan bahasa Muna di Pulau Muna diturunkan dari satu
bahasa purba yang sama karena keeratan hubungan kekerabatan kedua bahasa tersebut
2. Secara garis besar hubungan keeratan tersebut berdasarkan hipotesis para peneliti
memiliki hubungan dwipilah, artinya bahasa Muna di pulau Muna dan isolek-isolek Muna
di pulau Buton pada masa lampau merupakan bahasa yang sama
1.9 Metode Penelitian
1.9.1 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode yang pernah diterapkan
oleh Nothofer (1981), yaitu peneliti langsung mewawancarai informan disetiap titik pengamatan.
Karena daftar pertanyaan berupa kosa kata dasar, maka pertanyan dilaksanakan secara lisan
dengan menggunakan daftar pertanyaan. Dalam menanyakan sebuah bentuk untuk suatu makna,
oleh Nothofer (1981:13) ditetapkan syarat bahwa pertanyaan itu dilakukan dengan menggunakan
bahasa Indonesia, dapat pula dilakukan dengan bahasa daerah atau bahasa ibu informan. Namun,
untuk penelitian ini, pertanyaan dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini
didasarkan pada pengalaman, bahwa apa yang dikhawatirkan oleh Nothofer akan banyaknya
bentuk baku. Jika pertanyaan menggunakan bahasa daerah benar-benar dialami.Namun demikian,
bukan berarti bahwa peggunaan bahasa daerah dihindari samasekali.Pada tahap awal pertemuan
dengan para informan peneliti menggunakan bahasa daerah untuk memperkenalkan diri.Hal ini
dimaksudkan agar suasana santai, penuh keakraban, dan kekeluargaan, dan tanpa kecurigaan para
informan pada peneliti dapat tercipta.
Kemudian dalam bertanya peneliti menggunakan pula bentuk parafrasa. Seperti yang
dicontohkan Nothofer (1981), jika kita bertanya tentang makna ‘telur’, maka dapat dilakukan
dengan parafrasa: “apa yang dihasilkan oleh ayam betina?”.
Dalam melakukan wawancara faktor kesiapan informan sangat diperhatikan, dalam arti
menjaga jangan sampai terjadi kejenuhan. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa satu kali
wawancara dilakukan dalam selang waktu maksimal dua jam.
Jadi, secara eksplisit dalam penelitian ini digunakan metode cakap, teknik dasar pancingan
dengan teknik lanjutan teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam (Sudaryanto,
1993:137).Teknik cakap semuka, peneliti langsung mendatangi setiap daerah pengamatan dan
melakukan percakapan dengan informan.Teknik ini disejajarkan dengan metode pupuan lapangan
(Ayatrohaedi, 1983:34).Teknik catat dilakukan oleh peneliti sendiri, terutama untuk mengingatkan
bagaimana bunyi dihasilkan. Apapun teknik rekam hanya untuk melengkap teknik catat. Artinya
apa yang dicatat dapat dicek kembali dengan rekaman yang dihasilkan.
1.9.2 Daftar Pertanyaan
Daftar pertanyaan disusun berdasarkan maknanya agar informan berada pada suasana yang
memungkinkannya memberikan jawaban yang langsung dan spontan. Untuk keperluan tersebut
daftar tanyaan disusun berdasarkan tautan arti sesuai dengan bidang masing-masing. Hal-hal yang
mempunyai tautan arti tertentu dikelompokkan sesamanya, seperti pertanyaan tentang bagian
tubuh, bagian alam, system kekerabatan, tanaman, pohon-pohonan, dan pembagian waktu
(Ayatrohaedi, 1979:41). Daftar pertanyaan tidak hanya berisi 200 kosa kata dasar Swadesh yang
direvisi Blust yang dikutip dalam penelitian Fernandez (1996), tetapi diperluas dengan daftar
Nothofer yang disesuaikan dengan kebutuhan data untuk penetapan kaidah bahasa pada isolek-
isolek itu. Dalam hal ini telah dikutip karya Ayatrohaedi (1997) dan Mahsun (1995).
1.9.3 Informan
Jumlah informan yang diambil adalah tiga orang untuk setiap titik pengamatan. Dari tiga
orang ditentukan satu orang sebagai informan utama, sedangkan dua orang informan lainnya
dijadikan sebagai informan pembantu (Samarin, 1988:28). Dalam pemilihan informan digunakan
kriteria:
a. berjenis kelamin pria atau wanita
b. berusia antara 25—45 tahun
c. orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa tersebut
d. berpendidikan maksimal sekolah dasar
e. berstatus sosial menengah (tidak rendah dan tidak tinggi) dengan harapan tidak terlalu
tinggi mobilitasnya
f. pekerjaannya petani atau buruh
g. dapat berbahasa Indonesia (Nothofer, 1981:5) dan
h. sehat jasmani dan rohani. Sehat jasmani maksudnya tidak cacat organ bicaranya,
sedangkan sehat rohani, maksudnya waras, tidak gila (Mahsun, 1995:106)
1.9.4 Penentuan Titik Pengamatan
Karena penelitian ini bertujuan mendeskripsikan isolek Muna di Pulau Buton dari aspek
diakronis, maka titik pengamatan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah daerah yang
diandaikan berpenutur bahasa Muna. Pengandaian berdasarkan informasi awal perihal keberadaan
orang-orang Muna di pulau Buton, misalnya berdasarkan informasi sejarah, hasil penelitian
sebelumnya, instansi pemerintah, ataupun informasi dari masyarakat.
Berdasarkan informasi berbagai pihak tersebut, untuk sementara ditetapkan daerah
pemukiman Muna di pulau Buton terdapat di, Liabuku dan Lipu (di Kota Bau-Bau), Laompo (di
Kabupaten Buton Selatan). Dengan demikian , titik pengamatan yang ditentukan untuk dikunjungi
dalam penelitian ini berjumlah tiga daerah.
1.9.5 Perihal Analisis Data
Metode analisis yang dimasud menyangkut metode analisis yang digunakan dalam
penentuan hubungan kekerabatan antara isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan Dialek Selatan
(Gu-Mawasangka) dan bahasa Muna dialek Utara; penentuan hubungan isolek-isolek itu dengan
dialek-dialek bahasa Muna, dan penentuan pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan
bahasa Muna dialek Utara terhadap masing-masing isolek itu.
Penentuan hubungan kekerabatan, dalam hal ini keeratan hubungan antara isolek Muna
dengan Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna dialek Utara secara kualitatif
menggunakan metode inovasi bersama secara eksklusif (exclusively shared innovation) melalui
pendekatan dari atas ke bawah (top down reconstruction). Sedangkan penentuan tingkat
kekerabatan antara masing-masing isolek itu dengan Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan
bahasa Muna dialek Utara dilakukan selain secara kuantitatif juga secara kualitatif. Secara
kuantitatif memanfaatkan metode leksikostatistik (lexicostatistic), sedangkan secara kualitatif
digunakan untuk menopang simpulan kuantitatif melalui metode inovasi bersama secara eksklusif
(exclusively shared innovation).
Begitu juga penentuan hubungan isolek-isolek Muna di pulau Buton dengan dialek-dialek
bahasa Muna, penetapan awal dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode
leksikostatistik, selanjutnya dilakukan pembuktin secara kualitatif melalui metode inovasi
bersama.Penetapan metode leksikostatistik dilakukan dengan teknik mengumpulkan kosa kata
dasar bahasa (Muna, Gu-Mawasangka, dan isolek Muna di pulau Buton); menetapkan dan
menghitung pasangan-pasangan mana yang merupakan kata kerabat; dan menghubungkan hasil
perhitungan yang berupa persentase kekerabatan dengan kategori kekerabatan. Setelah kosa kata
dasar diperoleh kemudian dilakukan perhitungan jumlah kosa kata yang berkerabat dengan
memperhatikan pedoman (1) mengeluarkan glos yang tidak diperhitungkan yaitu kata-kata kosong
dan kata-kata pinjaman; dan (2) menetapkan kata kerabat, yang dapat berupa kata yang identik
(yaitu kata yang sama makna dan formatifnya); dan kata yang memiliki korespondensi bunyi.
Penerapan metode inovasi bersama bersifat eksklusif untuk mengetahui bentuk-bentuk
kebahasaan yang mengelompokan bahasa turunan ke dalam satu kelompok yang lebih dekat
hubungannya, karena memperlihatkan inovasi yang berciri linguistik eksklusif yang menyebar
pada bahasa-bahasa yang diperbandingkan, termasuk penentuan hubungan kedekatan antardialek
yang ada dalam satu bahasa (periksa Mahsun, 2000)
Sedangkan pembicaraan pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan bahasa Muna
dialek Utara terhadap masing-masing isolek Muna di pulau Buton dilakukan dengan analisis yang
bersifat kualitatif dan analisisi yang bersifat kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk
mengetahui apakah bentuk-bentuk yang terdapat pada dialek, subdialek, atau daerah pengamatan
itu sebagai bentuk-bentuk inovasi atau bentuk yang diwarisi bahasa awal. Analisis kualitatif ini
menggunakan metode padan intralingual dengan teknik hubung banding menyamakan (HBM)
dan teknik hubung banding membedakan (HBB). Adapun analisis kuantitatif, digunakan untuk
melihat frekuensi munculnya bentuk-bentuk pengaruh Dialek Selatan (Gu-Mawasangka), dan
bahasa Muna dialek Utara terhadap isolek Muna di pulau Buton, yang pada gilirannya digunakan
sebagai dasar untuk mengkategorisasikannya sebagai isolek yang mendapat pengaruh kuat,
sedang, atau rendah (Mahsun, 1995:142-143)
1.10. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian disajikan dalam empat bab, dengan rincian sebagai berikut.
Bab 1 Pendahuluan, berisi: Latar Belakang Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan penelitian,
Manfaat penelitian, Ruang Lingkup penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II Sekilas tentang daerah Pengamatan, Berisi
Gambaran Singkat Daerah Penelitian. Bab III Enklave Muna di Pulau Buton Kajian Dialektologi
Diakronis, memuat analisis hubungan dan tingkat kekerabatan isolek-isolek Muna di pulau Buton
dengan bahasa Bahasa Muna Dialek Gu-Mawasangka dan bahasa Muna; Hubungan Isolek-Isolek
Muna di Pulau Buton dengan Dialek-Dialek Bahasa Muna; dan Pengaruh Dialek Gu-Mawasangka
Tehadap isolek-Isolek Muna di Pulau Buton.