BAB I nyeri

45
BAB I PENDAHULUAN Nyeri merupakan kejadian kompleks, secara natural, kejadian nyeri tidak berlangsung lama. Nyeri melibatkan banyak komponen yang saling tumpang tindih, modulasi, pengaturan dan saling menyeberang dari sistem saraf pusat, sehingga sering menimbulkan kesulitan bagi pasien untuk secara obyektif menggambarkan rasa nyeri. Pengaturan dapat meningkatkan intensitas atau menekan rasa nyeri. Proses nyeri dimulai dari perifer, dimana serabut saraf di masing-masing jaringan menerima rangsangan rasa sakit, dan meneruskan informasi ke spinal kord yang berakhir di otak, dan informasi ini akan diinterpretasikan sebagai nyeri. Untuk mengerti proses timbulnya rasa sakit dan perawatan yang akan dilakukan, seorang klinis harus mampu membedakan sumber rasa sakit dengan daerah yang 1

description

makalah tentang nyeri

Transcript of BAB I nyeri

BAB IPENDAHULUAN

Nyeri merupakan kejadian kompleks, secara natural, kejadian nyeri tidak berlangsung lama. Nyeri melibatkan banyak komponen yang saling tumpang tindih, modulasi, pengaturan dan saling menyeberang dari sistem saraf pusat, sehingga sering menimbulkan kesulitan bagi pasien untuk secara obyektif menggambarkan rasa nyeri. Pengaturan dapat meningkatkan intensitas atau menekan rasa nyeri. Proses nyeri dimulai dari perifer, dimana serabut saraf di masing-masing jaringan menerima rangsangan rasa sakit, dan meneruskan informasi ke spinal kord yang berakhir di otak, dan informasi ini akan diinterpretasikan sebagai nyeri. Untuk mengerti proses timbulnya rasa sakit dan perawatan yang akan dilakukan, seorang klinis harus mampu membedakan sumber rasa sakit dengan daerah yang menderita sakit. Walaupun kedua istilah tersebut kelihatan sama, namun pada dasarnya memiliki pengertian yang berbeda. Sumber rasa sakit adalah lokasi di mana rasa sakit berasal, sedangkan daerah yang menderita sakit adalah lokasi di mana pasien merasakan rasa sakit. Pada makalah ini akan dibahas mengenai rasa sakit yang berhubungan dengan gigi .

BAB IIFENOMENA NYERI

Nyeri merupakan pengalaman manusia yang sangat kompleks, tidak hanya meliputi komponen diskriminatif sensorik tetapi juga respons yang ditimbulkan oleh rangsangan yang menimbulkan nyeri yaitu rangsangan noksius. Komponen reaktif meliputi reflex dan lebih jauh lagi respons kompleks somatic dan respons otonom untuk menghindar dan menjauh dari rangsangan noksius. Respons terhadap nyeri, misalnya respons mengejutkan, perubahan tekanan darah dan perubahan tingkah laku (Roth dan Calmes, 1981).Dimensi kognitif, afektif dan motivasi merupakan factor tambahan yang dapat memodifikasi respons tingkah laku yang ditimbulkan oleh rangsangan. Dimensi kognitif berhubungan dengan kemampuan individu untuk memahami dan mengevaluasi arti pengalaman nyeri. Dimensi afektif berhubungan dengan perasaan pasien yang terjadi saat nyeri. Dimensi motivasi berhubungan dengan pengendalian untuk menghindari nyeri (Roth dan Calmes, 1981).Menurut Cilong dan Phipps (1985), nyeri merupakan sensasi yang penting bagi individu yaitu sebagai peringatan terhadap rangsangan yang membahayakan tubuh terhadap rangsanga yang dating dari lingkungan luar dan sebagai tanda terjadinya kerusakan jaringan.Dalam bab ini akan dibahas mengenai definisi nyeri, teori nyeri, mekanisme nyeri, aspek fisiologi nyeri, aspek patologi nyeri, aspek psikologi nyeri.

II. 1 Definisi Nyeri

Nyeri tidak dapat didefinisikan secara tepat karena hanya penderita yang mengalaminya yang dapat mengungkapkan rasa nyeri tersebut dan bukan orang lain yang mengamatinya (Cilong dan Phipps, 1985).Secara fisiologis, nyeri merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap rangsangan yang merugikan tubuh dan hal ini menyebabkan individu bereaksi dengan cara menghindarkan stimulus nyeri (Guyton,1995). Menurut Ingle (1985), nyeri merupakan proses kerusakan jaringan yang menyebabkan substansi kimia antara lain bradikinin, serotonin, asetikolin dan histamine meningkatkan sensitivitas ujung serabut saraf.Menurut Subcommite Taxonomy of Association for study of Pain, nyeri adalah aktivitas sensorik yang tidak menyenangkan dan berbagai pengalaman emosional yang diikuti kerusakan jaringan (Bell,1989).Berdasarkan pendapat para ahli mengenai berbagai definisi nyeri dapat disimpulkan bahwa definisi nyeri dapat bertolak dari dasar fisiologik, patologik dan psikologik. Ahli fisiologi mendefinisikan nyeri sebagai tanda peringatan bagi tubuh terhadap rangsangan yang merugikan tubuh. Ahli patologi mendifinisikan nyeri sebagai proses yang dapat merusak jaringan bila terus berlangsung menimbulkan akibat yang merugikan. Ahli psikologi mendefinisikan nyeri sebagai perasaan yang tidak menyenangkan dan menimbulkan tindakan untuk mengurangi rangsang nyeri.

II. 2 Teori Nyeri

Terdapat beberapa teori yang timbul akibat rangsangan pada reseptor nyeri. Menurut dasar fisiologik, patologik dan psikologis nyeri maka dikemukakan teori nyeri yang terdiri atas:1) Teori SpesifitasTeori Spesifitas dikemukakan oleh Von Frey (1884) yang menganggap bahwa sensasi nyeri seperti modulasi sensorik raba dan suhu dengan organ yang tersebar luas di kulit dan mukosa serta reseptor khusus yang mempunyai jalur khusus ke otak (Thaib,1994 ; Odgen,1997). Teori ini hanya memberikan sedikit perhatian terhadap nyeri yang berkaitan dengan system saraf pusat yaitu melibatkan sumsum spinal dan otak serta mengabaikan pengaruh emosi dan respons motorik (Hertling dan Kessler,1996).2) Teori Pola atau Teori SumasiNyeri tidak hanya tergantung pada jalur khusus tetapi juga banyak rangsang yang diterima dan disampaikan oleh seluruh jenis reseptor pemusatan pada system saraf pusat (Roth dan Calmes,1981). Kehadiran jalur system khusus yang merupakan gabungan dari seluruh jalur sensorik perifer menuju ke pusat otak yang lebih tinggi sehingga memberikan suatu sensasi (Hertling dan Kessler,1996).3) Teori Interaksi SensorikPemusatan rangsangan pada nosiseptor dan penghantaran impuls oleh serabut aferen masuk ke sistem saraf pusat dan menghasilkan interaksi eksitasi dan penghambatan yang penting perannya dalam menerima nyeri (Roth dan Calmes,1981).

4) Teori Kontrol GerbangTeori Kontrol Gerbang dikemukakan oleh Melzack dan Wall pada tahun 1965, yang menerangkan tentang kemampuan system saraf dalam merangsang atau menghambat impuls saraf pada sinaps pertama. Substansi gelatinosa (SG) pada kornu dorsal sumsum spinal, bertindak sebagai gerbang yang mendapat impuls nyeri dari serabut perifer kemudian ke sel transmisi (T) yaitu jenis neron orde kedua yang bertanggungjawab dalam penyaluran impuls nyeri ke system saraf pusat yang lebih tinggi (Hertling dan Kessler, 1996). Menurut teori ini, serabut berdiameter besar dapat meningkatkan efek inhibisi sel SG sedangkan serabut berdiameter kecil menurunkan efek inhibisi sel SG. Dengan demikian bila serabut berdiameter besar lebih aktif, maka akan menghambat kerja sel T sehingga gerbang tertutup dan nyeri tidak dirasakan. Sebaliknya bila serabut berdiameter kecil aktif maka hambatan di sel T tidak terjadi sehingga nyeri dapat dirasakan (Thaib,1994). 5) Teori Hambatan Keseimbangan PusatTeori Hambatan Keseimbangan Pusat merupakan modifikasi dari teori Kontrol Gerbang yang menerangkan bahwa masukan nyeri diatur oleh serabut A delta, serabut C yang seimbangdan menimbulkan pasca-sinaps di sistem saraf pusat (Roth dan Calmes, 1981).

II. 3 Mekanisme Nyeri

Mekanisme nyeri dimulai dari nosiseptor yang hamper ditemui di seluruh jaringan tubuh. Nosiseptor merespons berbagai rangsangan yang timbul akibat perubahan suhu yang ekstrim yang diterima oleh termoseptor, stress mekanik atau kerusakan jaringan yang diterima oleh mekanoreseptor dan substansi kimia endogen seperti bradikinin, serotonin, histamine, yang diterima oleh kemoreseptor (Guyton, 1995).Rangsang noksius yang diterima oleh nosiseptor diubah menjadi impuls saraf. Impuls saraf dihantarkan oleh serabut saraf A delta dan C ke medulla spinal. Serabut saraf A delta yang bermielin dan berdiameter 2-5m menghantarkan impuls pada kecepatan 12-30m/det. Serabut C yang tidak bermielin dan berdiameter 0,4-1,2 m menghantarkan impuls pada kecepatan 0,5-2 m/det.Ketika masuk ke medula spinal dengan melalui kornu dorsal, serabut saraf membentuk sinaps pada lamina I, II, dan V. kemudian berjalan naik melalui traktus spinotalamikus. Traktus spinotalamikus mempunyai dua jalur yaitu:1. Traktus neospinotalamikus yang berjalan naik ke thalamus dan di proses lebih lanjut di korteks serebri (Bary dan Smeltzer, 1992). Jalur ini berperan dalam menentukan lokasi, intensitas dan identifikasi nyeri (Thaib, 1994)2. Traktus palaeospinotalamikus atau spinoretikulotalamikus, yaitu sejumlah traktus serabut panjang oligosinaptik tempat akson saraf menyilang garis tengah dan berjalan naik ke formasio retikularis dan thalamus (Bary dan Smeltzer, 1992). Traktus spinoretikulotalamus berhubungan dengan system limbic sehingga berperan dalam motivasi fungsi afektif nyeri (Thaib, 1994)Korteks serebri berperan dalam persepsi nyeri (Thaib, 1994)

Aspek Fisiologi Nyeri

Aspek fisiologi nyeri meliputi dua proses utama yaitu persepsi dan reaksi.Persepsi nyeri merupakan proses fisioanatomi yang sama pada setiap individu berdasarkan intensitas rangsang dan perjalanan impulsnya yang sampai di pusat persepsi nyeri (sensorik). Sifat fisiologik persepsi nyeri membedakan sensasi nyeri dengan sensasi lainnya (termal, mekanik, kimiawi) yang meliputi:1. Ambang persepsi nyeri yang seragam, relative sama dan stabil pada semua individu.2. Diskriminasi persepsi nyeri antara ambang persepsi dengan intensitas nyeri maksimal.3. Rentang sempit antara ambang persepsi dengan intensitas pada intesitas maksimal membedakan persepsi nyeri dengan sensasi lainnya.4. Tidak terdapat sumasi spatial, bahwa intensitas nyeri tergantung pada intensitas rangsang, bukan luas daerah yang kena rangsang dengan fungsi mencegah penyebaran nyeri melalui reflex fight and flight.5. Mekanisme reseptor nyeri tidak beradaptasi, berlangsung terus dengan menerima rangsang dan menyalurkan impuls secara sinambung selama rangsang diberikan.6. Terjadi modifikasi ambang persepsi nyeri oleh obat-obatan (analgesic, sedative) yang tidak mempengaruhi persepsi lain.

Reaksi nyeri merupakan proses patopsikofisiologik yang menunjukkan reaksi seorang individu terhadap pengalaman yang tidak menyenangkan yang melibatkan ambang nyeri. Ambang nyeri terdiri atas:1. Ambang SensasiAmbang sensasi yaitu tingkatan rangsang terendah yang menimbulkan nyeri. Diduga bahwa sinyal nyeri baru sampai di thalamus dan nyeri dinamakan rasa thalamusthalamic sense karena mungkin sinyal nyeri diangkat ke tingkat rasa yang disadari oleh thalamus, sehingga individu sadar terhadap nyeri. 2. Ambang persepsi nyeriAmbang persepsi nyeri timbul, bila sinyal nyeri dari thalamus diproyeksikan ke korteks serebrum (gurus pascasentral) yang menentukan persepsi nyeri, khususnya dalam lingkungan emosional, penafsiran (interpretasi) nyeri (Noback&Demarest, 1981).3. Ambang toleransi nyeriAmbang toleransi nyeri adalah rentang antara ambang persepsi nyeri dan ambang reaksi nyeri dan individu yang bersangkutan masih dapat mentoleransi nyeri yang dirasakan.

4. Ambang reaksi nyeriAmbang reaksi nyeri timbul pada intensitas rangang tertinggi yang menyebabkan individu tidak dapat lagi menahan nyeri. Ini berarti bahwa jaringan yang bersangkutan sudah mulai mengalami gangguan atau kerusakan. Berarti pula bahwa reaksi nyeri sudah merupakan aspek patologis.

Reaksi nyeri merupakan proses akhir yang mengikuti proses persepsi nyeri dan merupakan interpretasi masing-masing individu terhadap sinyal nyeri yang sampai di pusat sensorik nyeri.Reaksi nyeri berbeda antara satu individu lainnya, dari waktu ke waktu, (Bary dan Smeltzer, 1992) dan dipengaruhi oleh factor berikut:1) Usia Faktor usia mempengaruhi reaksi terhadap nyeri. Perubahan respons nyeri seiring dengan pertambahan umur (Bellack dan Bamford,1984). Anak-anak yang mengalami nyeri, memperlihatkan reaksi berupa takut atau menangis. Usia dewasa saat mengalami nyeri, lebih toleran terhadap nyeri dan berusaha mengatasi nyeri (Cilong dan Phipps, 1985). Pada orang lanjut usia lebih toleran terhadap nyeri dibandungkan anak-anak dan dewasa karena orang lanjut usia telah mengalami degenarasi sel saraf (Bary dan Smeltzer, 1992).2) Jenis KelaminPerempuan mempunyai ambang nyeri lebih rendah daripada laki-laki. Laki-laki mempunyai ambang nyeri lebih tinggi dan tidak mengungkapkan nyerinya secara verbal. Selain itu perasaan yang menganggap dirinya lebih kuat menahan nyeri dapat menjadi faktor dalam mentoleransi nyeri (Cilong dan Phipps,1985).3) Kondisi FisikKondisi fisik pasien dapat menaikkan atau menurunkan reaksi nyeri. Pada pasien dalam keadaan istirahat yang cukup dan tidak dalam keadaan lelah memiliki ambang nyeri yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien dalam keadaan lelah (Bary dan Smeltzer, 1992) 4) Pengaruh KebudayaanLingkungan sangat mempengaruhi seseorang. Seorang pasien belajar untuk menyikapi rangsang nyeri yang dialaminya sesuai dengan tingkah laku orang lain di sekitarnya yang dipengaruhi oleh kepercayaan dan kebiasaan. Oleh karena kepercayaan dan kebiasaan berbeda dari suatu budaya dengan budaya yang lain, maka pasien tersebut mengalami pengalaman nyeri yang tidak sama intensitasnya, kemungkinan mengungkapkan atau merespons nyeri tidak sama (Bary dan Smeltzer, 1992). Anak laki-laki sejak dini diajarkan untuk tidak menangis saat mengalami nyeri (Gas dan Dymond, 1985) 5) Pengalaman NyeriPasien yang pernah mengalami nyeri lebih toleran dan akan merasakan sedikit rasa nyeri yang berkurang dibandingkan dibandingkan pasien yang belum merasakan nyeri dan lebih takut terhadap akibat yang ditimbulkan nyeri sehingga segera mencari pertolongan (Bary dan Smeltzer, 1992).

Aspek Patologi NyeriAspek Patologi nyeri menimbulkan beberapa kriteria nyeri tergantung dari lokasi sumber nyeri yang terdiri atas:1) Nyeri AlihSumber nyeri terutama timbul dari bagian tubuh profunda seperti otot dan visera dapat berpindah ke bagian lain yang jauh dari sumbernya baik ke daerah profunda lainnya maupun ke daerah superfisialis (Roth dan Calmes, 1981; Guyton, 1995). Nyeri alih disebabkan oleh pemusatan serabut aferen somatic dan visera sering dihantarkan pada lintas nyeri yang sama. Eksitasi serabut somatic biasanya lebih banyak, sehingga terjadi pengalihan aktivitas reseptor ke daerah somatic meskipun sumber nyeri berasal dari daerah visera (Vander dan Sherman, 1998)2) Nyeri DalamNyeri dalam bersifat tumpul, menyebar dan lokasinya sukar ditentukan. (Walton dan Torabinejad, 1998). Nyeri ini sering diikuti oleh perubahan tekanan darah, berkeringat dan nausea. Pada percobaan, nyeri dapat dibangkitkan pada periosteum dan ligamentum dengan menyuntikkan larutan salin hipertonik di dalamnya. Nyeri yang dihasilkan dalam bentuk ini dimulai oleh reflex kontraksi otot rangka yang berdekatan. Kontraksi ini serupa dengan spasme otot yang menyertai trauma tulang, tendo dan sendi. Otot yang berkontraksi terus menerus menjadi iskemik dan iskemik merangsang reseptor nyeri di dalam otot (Ganong, 1995)3) Nyeri ViseraNyeri visera berasal dari organ tubuh. Pada umumnya, nyeri visera sulit ditentukan lokasinya karena lebih sedikit memiliki serabut saraf nyeri dibandingkan dengan kulit (Gas dan Dymond, 1985). Visera tidak mempunyai reseptor sensorik untuk modalitas sensasi lain kecuali reseptor nyeri. Jenis kerusakan yang sangat terlokalisasi pada visera jarang menyebabkan nyeri. Sebaliknya berbagai jenis rangsang dapat menyebabkan rangsangan pada reseptor nyeri yang tersebar di seluruh suatu viskus dalam menyebabkan nyeri (Guyton, 1995).

Aspek Psikologi Nyeri

Perjalanan nyeri meliputi nyeri akut dan nyeri kronis yang selanjutnya menimbulkan tingkah laku yang berbeda selama indivdu tersebut merasakan nyeri.Nyeri akut dapat menimbulkan pengaruh terhadap respons biologis berupa tanda peringatan bahaya bagi tubuh menimbulkan aktivitas simpatis seperti peningkatan tekanan darah, dilatasi dan berkeringat disertai perubahan psikis pasien seperti ansietas dan takut (Hertling dan Kessler, 1996). Selain itu nyeri akut secara langsung menimbulkan respons untuk menghindari dan melindungi sumber nyeri (Simons dan Pardes, 1981; Taylor, 1995). Stres merupakan faktor yang dapat mempengaruhi toleransi nyeri sehingga menimbulkan reaksi mengeluh, menangis, atau marah (Simons dan Pardes, 1981).Nyeri kronis biasanya disebabkan oleh proses patologik yang kronis di daerah visera atau struktur somatic akibat disfungsi sepanjang system saraf perifer, system saraf pusat atau kombinasi keduanya. Nyeri pada kerusakan jaringan kurang dirasakan individu yang bersangkutan. Tubuh berusaha beradaptasi terhadap reaksi yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama, biasanya lebih dari enam bulan (Hertling dan Kessler, 1996). Nyeri kronis relatif jarang dilakukan perawatan bila tidak terasa nyeri. Sewaktu-waktu nyeri ini dapat kambuh kembali dan biasanya diikuti oleh stress (Taylor, 1995). Stres terjadi bila perhatian dan pikirannya tertumpu pada penyakit, sehingga menjadi beban pikiran (Ingle, 1985) dan mulai menimbulkan perubahan tingkah laku seperti: menghindar dari kebisingan, mengurangi aktivitas dan kontak social (Taylor, 1995).

II. 4. Mekanisme Penjalaran Nyeri dari Daerah OrofasialRangsang yang diterima oleh reseptor di daerah orofasial diubah menjadi impuls. Impuls nyeri dihantarkan ke susunan saraf pusat oleh dua tipe serabut saraf, yaitu serabut A- kecil bermielin, berdiameter 2-5 m, yang menghantarkan impuls nyeri dengan kecepatan 12-30 m/dtk. Serabut A- bereaksi terhadap rangsang mekanik dan termal yang melebihi nilai ambangnya, berhubungan dengan rasa nyeri tajam. Serabut yang lain adalah serabut tipe C tidak bermielin, berdiameter 0,4-1,2 m. Serabut tipe C diaktifkan oleh rangsang mekanik, termal, dan kimia yang melebihi nilai ambangnya, berhubungan dengan nyeri bakar yang lama (Guyton, 1994; Thaib, 1994; Ganong, 1999).Jalur yang digunakan untuk mengirimkan impuls nyeri tergantung pada lokasi sumber asal input sensorik (Okeson, 1996). Pada daerah orofasial, impuls dibawa oleh saraf utama yang mensuplai struktur tersebut, yaitu saraf trigeminal, fasial, akustik, glosofaringeal, vagus dan saraf servikal atas (Okeson, 1996).Saraf trigeminal (saraf cranial V) merupakan saraf terbesar pada struktur orofasial yang mensarafi kulit wajah, kornea, mukosa oral, mukosa hidung, gigi, lidah, otot pengunyahan, dan lapisan meningeal. Saraf trigeminal bersifat campuran yang terdiri dari serabut sensorik dan motorik. Saraf trigeminal terbagi menjadi tiga divisi, yaitu saraf optalmikus, maksilaris, dan mandibularis.Saraf optalmikus menyediakan persarafan sensorik untuk mata, kecuali untuk penglihatan, juga untuk membran mukosa hidung, sinus paranasal, kulit kepala depan (forehead), kelopak mata, dan hidung. Saraf maksilaris mensuplai kulit wajah bagian tengah, kelopak mata bagian bawah, hidung, bibir atas, membran mukosa nasofaring, membran mukosa pipi, sinus maksilaris, palatum, tonsil, atap mulut, gigi, dan gusi rahang atas. Saraf mandibularis mempunyai serabut sensorik dan motorik. Serabut sensorik mensarafi kulit pelipis, aurikula bagian bawah wajah, meatus akustikus eksternal, pipi, bibir bawah, membran mukosa pipi, lidah, gigi dan gusi rahang bawah, serta sendi temporomandibular.Saraf fasial (saraf cranial VII), sebagian besar terdiri dari komponen motorik dan sebagian kecil komponen sensorik. Komponen motorik mensuplai otot ekspresi wajah, platisma, stapedius telinga tengah dan beberapa otot kulit kepala. Komponen sensorik membawa sensasi kecap dari bagian anterior lidah dan sensasi dari glandula parotis.Saraf akustik (saraf cranial VIII) atau saraf vestibulokokhlearis mensuplai sensasi keseimbangan dan pendengaran.Saraf glosofaringeal (saraf cranial IX) merupakan saraf campuran serabut sensorik dan motorik. Serabut sensorik mensuplai membran mukosa faaring, tonsil palatine, bagian posterior lidah, dan membran mukosa telinga tengah. Saraf motorik mensuplai otot faring dan palatum lunak, serta taste bud bagian posterior lidah. Saraf vagus (saraf cranial X) mempunyai serabut aferen visera, serabut aferen somatic, serabut eferen visera umum, dan serabut eferen visera khusus. Serabut aferen visera mensuplai membran mukosa faring, laring, bronkus, jantung, paru-paru, esophagus, perut, usus, dan ginjal. Serabut aferen somatik mensuplai kulit permukaan posterior telinga luar, dan meatus akustikus eksternal. Serabut eferen visera umum mensuplai jantung, esophagus, trakea, perut, bronkus, traktus biliaris, dan sebagian besar usus. Serabut eferen visceral khusus mensuplai otot voluntar laring, faring, dan palatum.Saraf servikal atas dibentuk oleh dua radiks, yaitu radiks ventral atau anterior, dan radiks dorsal atau posterior. Radiks ventral membawa serabut motorik, sedangkan radiks dorsal membawa serabut sensorik. Empat atau lima saraf servikal atas penting dalam nyeri orofasial sebab mensarafi bagian belakang kepala, wajah bawah dan leher. Saraf servikal atas berkumpul di batang otak di nukleus trigeminal.Saraf-saraf yang mensuplai daerah orofasial membawa informasinya ke ganglion trigeminal, kemudian masuk ke batang otak untuk bersinaps di nukleus spinal trigeminal sebelum masuk ke nukleus sensorik utama trigeminal. Nukleus sensorik utama trigeminal dan nukleus spinal trigeminal merupakan kompleks nukleus trigeminal yang terletak di batang otak. Nukleus spinal trigeminal terdiri dari tiga bagian, yaitu subnukleus oralis, subnukleus interpolaris, dan subnukleus kaudalis. Subnukleus oralis merupakan daerah kompleks batang otak trigeminal yang mengatur mekanisme nyeri oral, sedangkan subnukleus kaudalis dilibatkan dalam mekanisme.Nonsiseptif trigeminal. Impuls nyeri dari serabut aferen nosiseptif fasial diproyeksikan ke subnukleus kaudalis, kemudian dibawa oleh neron orde ke dua menyilang batang otak ke anerolateral jalur spinotalamikus yang naik ke pusat yang lebih tinggi. Impuls melewati bagian medula yang dikenal dengan formasio retikular yang berperan penting dalam memonitor dan menyaring impuls nyeri yang masuk ke batang otak ( Okeson, 1995 ; Okeson, 1996 ). Impuls nyeri yang naik ke talamus dinilai oleh talamus, kemudian impuls dikirim ke pusat yang lebih tinggi yaitu girus pascasentral korteks serebri yang menghasilkan interpretasi nyeri ( Okeson, 1995 ).

II. 5. Mekanisme Nyeri Alih ke Daerah Orofasial

Nyeri alih adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan struktur visera, otot atau struktur dalam lainnya dan dirasakan pada struktur lain yang jauh dari sumber nyeri, umumnya dialihkan ke permukaan tubuh ( Greger dan Windhorst, 1996; Tydelsey dan Field, 1997). Nyeri alih sering ditemukan pada struktur orofasial. Terdapat beberapa teori yang menjelaskan fenomena nyeri alih, diantaranya adalah teori konvergensi. Subnukleus oralis, interpolaris, dan kaudalis menerima konvergensi luas dari input aferen orofasial dan otot. Neron pada subnukleus kaudalis menunjukan konvergensi input aferen saraf hipoglosal dan pulpa gigi dan hampir semua neron dengan input dari sendi temporomandibular menerima tambahan input aferen yang berasal dari kulit wajah dan struktur intra oral. Input aferen dari sendi temporomandibular dan dari otot maseter berkumpul pada neron orde ke dua pada saraf yang dirasakan di subnukleus kaudalis. Aferen dari struktur dalam mengalami konvergensi lebih banyak daripada struktur kulit. Hal ini mungkin menjelaskan nyeri dari struktur dalam dirasakan lebih difus dan kurang terlokalisir daripada nyeri dari struktur kulit. Menurut penelitian Sessle dan kawan-kawan (1986), diperoleh hasil bahwa neron trigeminal primer tidak hanya merespons rangsangan yang berlokasi di ruang lingkup reseptifnya tetapi sebagian neron nosiseptif orde ke dua juga diaktivasi oleh rangsangan listrik yang diaplikasikan pada daerah di luar ruang lingkup reseptifnya. Neron yang teraktivasi dianggap merespons input dari struktur bagian dalam mulut dan wajah. Jalur trigeminospinal juga menerima input konvergensi dari saraf cranial VII, IX, X, dan saraf servikal atas. Konvergensi saraf trigeminal dan servikal menjelaskan sumber nyeri alih dari daerah servikal ke daerah trigeminal (Okeson, 1996).

BAB IIINYERI YANG BERHUBUNGAN DENGAN GIGI

III.1 Nyeri Odontogenik Nyeri odontogenik berasal dari pulpa atau jaringan periradikular. Strukturnya mempunyai perbedaan fungsional dan embriologi, dan nyeri yang berasal dari masing masing struktur tersebut menimbulkan sensasi nyeri berbeda.

Gambar 1. Pasien menderita nyeri odontogenik

III.2 Nyeri Pulpa Ada dua tipe diagnosa dari pulpa yaitu yang berdasarkan pada penemuan secara klinis dan yang berdasarkan pada penemuan secara histologis. Diagnosa secara klinis, menggunakan informasi klinis untuk menetapkan gigi yang paling responsif terhadap rangsang. (Brannstorm, M. 1981) Tanda, gejala dan test diagnostik dalam beberapa kasus sebenarnya tidak berhubungan dengan status histologi dari pulpa. Satu alasan adanya perbedaan ini adalah bahwa inflamasi pulpa dan inflamasi periapikal bersifat asimtomatik. Ketika gejala timbul, kondisi histopatologi di dalam pulpa masih spekulasi. Secara klinis, pulpa dapat didiagnosa tingkat kerusakannya, tapi setelah semua iritan hilang pulpa mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri (reversibel pulpitis), atau kerusakan berjalan terus tanpa perbaikan (ireversibel pulpitis atau nekrosis ). Secara histologis, pulpitis digambarkan sebagai reaksi yang akut, khronik atau hiperplastik. III. 3 Pulpa yang sehat

Pulpa yang sehat adalah pulpa yang vital dan bebas dari inflamasi. Bila ada rangsangan dingin atau panas pada tes sensitivitas, pulpa memberikan respon dengan memberikan rasa nyeri yang ringan yang dapat berakhir tidak lebih dari satu atau dua detik setelah rangsangan dihilangkan. Terutama hal ini dilakukan oleh saraf yang bermielin (delta A) dan yang tidak bermielin (delta C) yang menyalurkan nosiseptif masuk ka dalam otak. Perbedaan antara kedua serabut saraf sensorik ini memungkinkan pasien untuk mendiskripsikan dan mengkarakteristikkan kualitas, intensitas, dan durasi dari respon nyeri. (Grossman, L.I. 1988).

Gambar 2. Anatomi gigi

III. 4 Dentin hipersensitif

Istilah dentin hipersensitif untuk menggambarkan kondisi spesifik yang nyeri yang timbul akibat dentin yang terekspos. Secara khusus nyeri ini timbul akibat respon terhadap rangsangan suhu, kimia, taktil atau rangsangan osmotik dan tidak disebabkan oleh keadaan patologi. Rangsangan ini memberikan respon terhadap kompleks dentin pulpa normal dan menimbulkan nyeri yang berat dan tajam, tidak hilang saat rangsangan hilang. (Walton, R.E&M. Torabinejad. 1996) Dentin hipersensitif merupakan gejala yang kompleks karena ada transmisi rangsangan dari dentin yang terekspos. Mekanisme yang pasti belum diketahui. Teori hidrodinamik dari Brannstrom dapat menjelaskan mekanisme dentin hipersensitif, yaitu terjadi pergerakan cairan dalam tubulus dentin secara mendadak, yang merusak bentuk mekanosensitif serabut saraf di dalam ruang antar pulpa dentin. Sebagai akibatnya, ujung saraf akan terangsang, menyebabkan rasa nyeri singkat, terlokalisir dan tajam.

III. 5 Pulpitis reversibel

Pulpitis Reversibel dapat dilihat dari gejala klinis, dan test, dengan tanda-tanda pulpa vital disertai inflamasi tapi mempunyai kemampuan untuk melakukan perbaikan kembali setelah iritan dihilangkan. Perbedaan antara pulpa yang normal dan pulpitis reversibel sangat sulit ditentukan. Nyeri pulpa sering timbul setelah perawatan restorasi. Prosedur preparasi kavitas dan preparasi mahkota, dapat membuat gigi menjadi sensitif. Kerusakan pulpa disebabkan perubahan panas, tekanan, efek dari bahan restorasi, dan terutama adanya kebocoran tepi disertai timbulnya koloni bakteri. pasca penambalan amalgam, gigi sensitif terhadap rangsangan suhu untuk beberapa minggu. Kontraksi awal pada amalgam terjadi setelah kondensasi, menimbulkan 10 sampai 15 celah antara amlgam dan dentin. Cairan celah memberikan tempat bagi pertumbuhan bakteri dan dentin menjadi hipersensitif sehingga timbu nyeri sampai terjadi pulpitis. (Walton, R.E&M. Torabinejad. 1996) Pasca restorasi komposit sering mengalami nyeri tekan, yang disebabkan cairan dentin bergerak di dalam tubulus dentin dan menyebabkan rangsangan. Cairan tersebut dapat menjadi jalan bagi masuknya mikroorganisme mengakibatkan inflamasi pulpa.

III.6 Pulpitis irreversibel

Pulpa dilingkupi oleh jaringan yang bermineralisasi dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan volumenya selama terjadinya proses inflamasi. Pada saat lingkungan menurun, intensitas respon inflamasi mempunyai peranan penting meningkatkan tekanan jaringan melebihi kemampuan mekanisme pulpa untuk mereduksinya. Proses inflamasi dapat menyebar secara circumferensial dan incremensial di sepanjang pulpa, dan merupakan proses yang destruktif. Dengan adanya provokasi, misalnya terjadi cedera pada pulpa yang vital dengan inflamasi lokal dapat menimbulkan gejala nyeri yang diperantarai oleh serabut saraf delta A.

Gambar 3. Pulpitis irreversible

Pada saat timbul proses inflamasi terjadi respon yang berlebihan dan berada di luar kemampuan pulpa untuk merespon rangsangan suhu tersebut. Mediator inflamasi menginduksi bahwa tipe inflamasi ini termasuk hiperalgesia, dan merupakan satu dari gejala klasik dari ireversibel pulpitis yang menimbulkan rasa nyeri yang tidak hilang hilang akibat adanya rangsangan suhu. Rasa nyeri yang tidak hilang hilang itu diperantarai oleh serabut saraf delta A, dengan gejala rasa nyeri yang ringan sampai sakit berdenyut yang kemungkinan bersifat menetap. Dengan meningkatnya proses inflamasi di dalam jaringan pulpa, nyeri dari serabut saraf denta C menjadi satu satunya nyeri yang utama. Rasa nyeri dapat berlangsung singkat, tetapi lama kelamaan dapat berlangsung lebih lama intensitasnya, konstan dan menyebar disertai nyeri berdenyut. Rasa nyeri timbul spontan dan merupakan gejala yang khas dari ireversibel pulpitis. Bila nyeri serabut C mendominasi dari nyeri serabut A, rasa nyeri menjadi semakin menyebar dan kemampuan dokter gigi untuk mendiagnosa nyeri menjadi berkurang. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi dokter gigi untuk menentukan diagnosa terutama bila ditemukan pulpa disertai ireversibel pulpitis tanpa kelainan periradikular . Bila serabut saraf proprioseptif periradikular tidak mengalami inflamasi, dan gigi tidak memberikan reaksi terhadap perkusi dan gejalanya kemungkinan sulit untuk ditentukan lokasi nyerinya.(Grossman, L.I. 1988). Kadang kadang peredaran darah pada reaksi inflamasi menjadi responsif terhadap perubahan suhu dingin, terjadi vasokontriksi dari pembuluh darah yang melebar dan mengurangi tekanan pada jaringan. Serabut nyeri C memberikan gejala yang tidak menyenangkan menandakan bahwa terjadi kerusakan lokal dari jaringan sudah terjadi. Pulpitis ireversibel secara klinis menandakan adanya proses inflamasi, tetapi pulpa yang vital mempunyai kemampuan untuk kembali menjadi sehat tetapi bila rangsangan terlalu besar pulpa mempunyai keterbatasan untuk memperbaikinya. Perawatan yang diindikasikan adalah perawatan saluran akar atau ekstraksi gigi. (Walton, R.E&M. Torabinejad. 1996)

III.7 Nekrosis pulpa

Tidak ada gejala yang sebenarnya pada nekrosis pulpa, sebab saraf sensoris pulpa telah rusak. Bagaimanapun, nyeri akan tetap ada dari jaringan periradikular yang mungkin mengalami inflamasi karena pulpa mengalami degenerasi. Nekrosis pulpa bisa sebagian atau keseluruhan, dengan keluhan timbul bermacam-macam. Hal ini dapat menyebabkan keraguan, sebab adanya sisa sebagian jaringan yang vital pada sistem saluran akar. Kondisi ini sering terjadi pada gigi dengan saluran akar yang multipel . Pada sebagian besar kasus tidak ada respon termal atau elektrik pada tes sensitivitas namun demikian respon vital kadang-kadang masih dapat terjadi. Gambaran radiografi mungkin memperlihatkan tidak adanya kelainan, tetapi ligamen periodontal melebar, atau menunjukkan gambaran radiolusen pada periradikular. Oleh karena itu untuk mengetahui potensial dari pulpa dilakukan tes vitalitas gabungan antara tes termal dan radiografi sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosa.

Gambar 4. Nekrosis pulpa

III.8 Mekanisme Nyeri pada Periodontitis

Tidak seperti nyeri karena pulpitis, nyeri yang disebabkan kelainan pada jaringan periodontal lebih mudah untuk dilokalisir. Mekano-reseptor banyak terdapat pada ligamen periodontal, dan lebih padat pada daerah sepertiga apikal gigi. Sumber rasa nyeri lebih dapat dilokalisir pada kelainan periodontal, baik pada kasus pulpitis atau infeksi pulpa yang telah meluas ke ligamen periodontal, atau pada kasus marginal periodontitis. Ligamen periodontal, yang merupakan bagian dari struktur muskuloskeletal, memberikan respon terhadap stimulus noksius secara bertahap. Tahap atau derajat rasa nyeri yang dirasakan bergantung dari sensitivitas perifer masing-masing individu dan jumlah provokasi yang terjadi pada struktur ini. Ligamen periodontal yang mengalami ganguan atau inflamasi akan terasa tidak nyaman ketika dilakukan tes perkusi, dan tingkat ketidaknyamanan tersebut bergantung dari sekeras apa perkusi dilakukan. Tingkatan sensitivitas inilah yang disebut graded response. Oleh karena itu pada dental examination sangat penting untuk dilakukan tes perkusi dan palpasi untuk menentukan derajat kelainan yang mungkin terjadi pada gigi atau jaringn periodontal. Gigi, termasuk pulpa dan struktur muskuloskeletalnya yaitu ligamen periodontal, merupakan jaringan somatis yang dalam; sehingga seringkali stimilus yang terus menerus dapat memproduksi efek central excitatory, seperti hiperalgesia sekunder, nyeri alih, ko-kontraksi sekunder dari otot-otot sekitarnya, titik pemicu nyeri myofascial, dan perubahan otonom. Efek-efek ini menambah kompleksitas proses diagnosa dari nyeri pada gigi, dan mempersulit dalam membedakan nyeri yang disebabkan oleh gigi atau nyeri dari sumber lain pada daerah tersebut. Peridontitis merupakan inflamasi yang terjadi pada jaringan periodontal, terdiri atas periodontitis marginal; yang diakibatkan oleh adanya infeksi bakteri dalam plak atau kalkulus, dan periodontitis apikalis; yang biasanya merupakan perluasan dari infeksi bakteri pada jaringan pulpa. Gangguan atau rasa tidak nyaman pada ligamen periodontal juga dapat disebabkan oleh obat-obatan yang diberikan pada perawatan endodontik yang bersifat kaustik, ataupun akibat adanya debris yang keluar dari foramen apikal pada waktu perawatan. Produk bakteri yang biasanya merangsang reseptor nyeri dari nosiseptor trigeminal adalah lipopolisakarida. Reseptor nyeri yang biasanya berhubungan dengan yeri odontogenik (pulpa dan ligamen periodontal) disebut TRL 4 dan CD 14 yang dilepaskan oleh human TG neuron, termasuk subklas capsaicin-sensitive dari nosiseptor.

Gambar 5. Periodontitis

Nyeri pada ligamen periodontal (marginal periodontitis) biasanya terasa lebih rendah dan tidak berdenyut seperti nyeri pada pulpitis. Hal ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya pengaruh lingkungan yang menghambat stimulasi lipopolisakarida terhadap nosiseptor. Mekanisme inhibitor dari stimulasi tersebut adalah: (1) Bakteri patogen pada marginal periodontitis dapat menginaktivasi reseptor nyeri dengan adanya pelepasan peptida; (2) Produk lipopolisakarida yang terus menerus (pada kasus kronis) dapat menyebabkan penurunan jumlah pelepasan reseptor nyeri oleh nosiseptor; dan (3) inervasi atau fungsi nosiseptor dapat berpindah ke differing target tissue, seperti pulpa gigi vs poket periodontal. (Carranza, F. A & M.G. Newman. 1996)

III.9 Referred Pain

Adakalanya, nyeri dirasakan di daerah yang tidak mengalami luka, misalnya nyeri hebat di daerah visceral bergerak dari daerah di spinal cord yang dapat menstimulasi interneuron dari spinotlamic sehingga sensory cortex terpengaruh sehingga menimbulkan nyeri di bagian tertentu permukaan tubuh. Gejala ini dikenal pada nyeri di bagian kiri lengan kerena serangan jantung. Penyebab terbanyak sakit di daerah orofasial adalah adanya penyakit inflamasi, pada pulpa atau jaringan pendukung gigi. Sakit yang berasal dari gigi dapat menjalar (referred) atau meluas ke jaringan lain, sebaliknya, sakit dari jaringan di luar gigi dapat menjalar ke gigi. (Hertling, D. & R.M. Kessler. 1996) Referred Pain terdiri dari kombinasi input jaringan yang rusak dengan jaringan lain yang tidak rusak, dengan demikian nyeri akan mengarah dan dirasakan berawal dari jaringan yang tidak terdapat kerusakan. Neuron di bagian belakang (dorsal) horn gate mengumpul, saat sistem tranmisi teraktivasi dan impuls saraf bergerak melalui sensory discriminative pathway, reaksi di otak tidak siap mengenali asal stimulus, sehingga otak salah menginterpretasi stimulus.( Hertling, D. & R.M. Kessler. 1996)

Gambar 6. Mekanisme Referred pain. Saraf afferent dari berbagai jaringan mengumpul di T Cell di otak yang menstimulasi action system. Saat T-Cell aktivasi, terjadi kesulitan di SSP untuk mendeteksi sumber awal terjadinya nyeri sehingga terjadi kesalahan penandaan.

Pola ini menjelaskan gejala yang tidak biasa dari keluhan nyeri gigi yang direstorasi. Nyeri dapat timbul dan sama dengan gigi yang lain yang tidak direstorasi. Nyeri gigi dapat muncul dengan dimulai dari jaringan di luar gigi, atau lawannya, gigi sebagai penyebab nyeri di jaringan luar gigi. Contohnya sinusitis sering dikaitkan dengan gigi molar rahang atas. (Brannstorm, M. 1981) Nyeri odontogenik dapat dihubungkan dengan proses penyerahan dari jaringan lain jika nyerinya terjadi secara terus menerus. Intensitas gabungan ini menjadikan SSP hyperexcitability (central sensitization), menyebabkan ekspansi di daerah penerima. Nyeri tidak akan menjalar melewati midline, tapi bisa terjadi dari satu lengkung rahang ke lengkung lain. (Hertling, D. & R.M. Kessler. 1996)

DAFTAR PUSTAKA

1. Bary, B. & S. Smeltzer. 1992. Medical surgical nursing. Philadelphia. JB. lippincott2. Bell, W.E. 1989. Orofacial pain classification, diagnosis, management. 4th.ed. Chicago, London. Year Book Medical Pub. Inc.3. Brannstorm, M. 1981. Dentin and Pulp in Restorative dentistry. London. Wolfe Medical Pub. Ltd.4. Carranza, F.A. & M.G. Newman. 1996. Clinical periodontology. Philadelphia. WB. Saunders Co.5. Cilong, B. & W. Phipps. 1985. Essential of Medical Surgical Nursing. Toronto. Mosby Co. 6. Cohen, S., K. M. Hargreaves, and K. Keiser. 2006. Pathways of The Pulp. 6th ed. Mosby Year Book, Inc. h.35-377. Ganong, W.F. 1999. Review of medical pgysiology. Stamford. Appleton & Lange.8. Guyton, A.C. 1995. Edisi 7. Fisiologi Kedokteran. Terjemahan K. Ariata. Jakarta. EGC.9. Grossman, L.I. 1988. Ilmu Endodontik dalam praktek. Terjemahan R. Abiyono dan S. Suryo. Jakarta. EGC10. Hertling, D. & R.M. Kessler. 1996. Management of common mucoskeletal disorders. The temperomandibular joint. Philadelphia. JB. Lippincott Co.11. Holland, Rex G. 2002. Differential Diagnosis of Orofacial Pain. dalam Principle and practice of Endodontics oleh Walton dan Torabinejad. 3rd ed. Philadelphia : Saunders. h. 520-52512. Ingle, J.I. Endodontics, 3rd. Philadelphia. Lea & Febiger.13. Martini, F.H. 2001. Fundamentals of Anatomy and Physiology. 5th ed. New Jersey : Upper Sadle River. h. 48514. Okeson, J.P. 1995. Orofacial Pain. Guidelines for assessment, diagnosis, and management. Chicago. Quintessense Pub. Co. Inc15. Rensburg, B.G.J. 1995. Oral Biology. Chicago. Quintessense Pub. Co. Inc.16. Roth, G.I. & R. Calmes. 1981. Oral Biology. St. Louis. Mosby Co.17. Thaib, M.S. 1994. Nyeri, reapresiasi teori, pendekatan klinik dan penanggulangannya. Majalah Kedokteran Bandung. 26, 1, 21-28.18. Wadachi, R., and K. M. Hargreaves. 2006. Trigeminal Nociceptors Express TLR-4 dan CD 14. Journal of Dent Rest, 85(1 ), 49-53.19. Walton, R.E. & M. Torabinejad. 1996. Prinsip dan Praktek ilmu Endodontik. Terjemahan Sumawinata. Jakarta. EGC.

21