BAB I - MUHLISIN PERSONAL'S Site | Hidup … · Web viewSyukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang...
Transcript of BAB I - MUHLISIN PERSONAL'S Site | Hidup … · Web viewSyukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang...
PENDEKATAN DI DALAMMEMAHAMI AGAMA I
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah“Pengantar Studi Islam”
Muhlisin, S.Ag
FAKULTAS TARBIYAHJURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPELSURABAYA
1
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Syukur alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmad
dan taufiq-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Pendekatan Di Dalam Memahami Agama Dengan Baik” yang
mana dalam makalah ini telah kami terangkan dengan jelas mengenai Pendekatan
Di Dalam Memahmi Agama I.
Dan kami juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Pembimbing yang telah memberi dorongan dan aspirasi kepada kami untuk
menyelesaikan makalah kami.
Kami juga menyadari bahwa dalam makalah kami ini ada banyak
kekurangan, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik dari teman-teman
semua.
Dan kami berharap semoga makalah ini berguna dan bermanfaat bagi
semuanya.
Amin-Amin Allahumma Amin.
Surabaya, 20 November 2006
Tim Penyusun
2ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................... 1
A. Latar Belakang..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................ 1
BAB II : PEMBAHASAN....................................................................... 2
A. Islam Dan Sasaran Pendekatan Studi Agama...................... 2
B. Pendekatan Teologi Normatif.............................................. 4
C. Pendekatan Filologi.............................................................. 7
D. Pendekatan Studi Hukum..................................................... 8
E. Pendekatan Antropologis..................................................... 22
BAB III : KESIMPULAN......................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara
aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.
Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambing kesalehan atau berhenti
sekedar disampaikan dalam khutbah, melainkan secara konsepsional
menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala
pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologi
normative dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan
3
pendekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan
jawaban terhadap masalah yang timbul.
B. Rumusan Masalah
1. Islam dan sasaran pendekaan studi agama
2. Pendekatan teologi normative
3. Pendekatan filologi
4. Pendekatan studi hukum
5. Pendekatan antropologis
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam dan Sasaran Pendekatan Studi Agama
1. Islam Sebagai Sasaran Studi Doktrinal
Kata doktrin berasal dari bahasa Inggris dootrine yang berarti
ajaran.1 Dari kata dootrine itu kemudian dibentuk kata doctrinal yang
berarti yang dikenal dengan ajaran atau bersifat ajaran. Sedangkan studi
doctrinal berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang
sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Uraian ini berkenaan
dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal tersebut. Ini
berarti dalam studi doctrinal kali yang dimaksud adalah studi tentang
ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh
Islam.
Islam didefinisikan oleh sebagian ulama adalah wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.2 Berdasarkan pada definisi Islam,
maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud
adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dari keda sumber itulah ajaran Islam
diambil. Namun meski kita mempunyai sumber, ternyata dalam realitasnya
ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerluka keterlibatan
ulama dalam memahami dua smber ajaran tersebut. Keterlibatan tersebut
dalam bentuk Ijtihad.
Dengan Ijtihad maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang
ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang
diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang
berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua
sumber itu didapatkan dengan cara Ijtihad. Studi Islam dari sisi doctrinal
1 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : Gramedia, 1990) hal. 192.
2 M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori Dan Praktek, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998) hal.19.
5
itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu tentang ajaran Islam baik yang ada
di dalam Al-Qur’an maupun yang ada di dalam Al-Sunnah serta apa yang
menjadi penjelasan kedua sumber tersebut dengan melalui Ijtihad.
2. Islam Sebagai Sasaran Studi Sosial
Islam sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai studi
tentang Islam sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan
masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta
berbagai gejala social lainnya yang saling berkaitan.3 Dengan demikian
yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam sebagai sasaran studi
social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah menjadi
fenomena Islam.
Menurut M. Atho Mudzhar agama sebagai gejala social pada
dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama
mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat.
Masyarakat mempengaruhi agama, dan agama mempengaruhi masyarakat.
Jika Islam dijadikan sebagai sasaran studi social, maka harus mengikuti
paradigma positivisme yaitu dapat diambil gejalahnya, dapat diukur, dan
dapat diverifikasi.
3. Islam Sebagai Sasaran Studi Budaya
Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus
melalui dua model yaitu tekstual dan konstekstual. Tektual artinya
memahami Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan
konstekstual berarti memahami Islam lewat realitas social yang berupa
perilaku masyarakat yang memerlukan agama bersangkutan.
Studi budaya diselenggarakan dengan penggunaan cara-cara
penelitian ydiatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh manusia
sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat model-
model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami
3 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1999) hal. 39
6
dan mengiterprestasi lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.4
B. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normative dalam memahami agama secara harfiah
dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan
kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bajwa wujud
empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
disbandingkan dengan yang lainnya.
Menurut informasi yang diberikan The Encyclopaedia Of American
Religion, bahwa di Amerika Serikat saja terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu
diantaranya adalah sekte Davidian yang pada bulan April 1993 dimana
pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut fanatiknya melakukan
bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan pemerintah Amerika
Serikat. Menurut pengamatan Sayyed Hosein Nasr, dalam era kontemporer ini
ada 4 prototip pemikiran keagamaan Islam, yaitu pemikiran keagamaan
fundamentalis, modernis misiani dan tradisionalis. Keempat prototip
pemikiran keagamaan tersebut sudah barang tentu tidak mudah untuk
disatukan dengan begitu saja.
Pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol
keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan
yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik
bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga
memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan
seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun
menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan
demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan
seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dan aliran lainnya tidak
4 Parsudi Suparlan, Kebudayaan Dan Pembangunan Dalam Kapan Agama Dan Masyarakat, (Jakarta : Balibang Agama Departemen Agama, 1991-1992) hal. 85
7
terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan
(eksklusifisme). Sekaligus perlu dikaji lebih lanjut adalah mengapa ketika
archetype atau form keberagaman (religiosity) manusia telah terpecah dan
termanifestasikan dalam “wadah” formal teologi atau agama tertentu, lalu
“wadah” tersebut menuntut bahwa hanya “kebenaran” yang dimilikinyalah
yang paling unggul dan paling benar. Yang disebutkan di atas dengan
mengklaim kebenaran (truth claim), yang menjadi sifat dasar teologi, sudah
barang tentu mengandung implikasi pembentukan mode of thought yang
bersifat partikularistik, ekklusif dan sering kali intoleran.
Berkenaan dengan pendekatan teologi tersebut, Amin Abdullah
mengatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan
masalah esensial pluralitas. Saat sekarang ini terlebih-lebih lagi kenyataan
demikian haru ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang
tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan
social kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Bercampur aduknya
doktrin teologi dengan historisitas institusi social kemasyarakatan yang
menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi
ummat beragama. Tapi, justeru keterlibatan institusi dan pranata social
kemasyarakatan dalam wilayah keberagamaan manusia itulah yang kemudian
menjadi bahan subur bagi peneliti agama. Dari situ, kemudian muncul
terobosan baru untuk melihat pemikiran teologi yang termanifestasikan dalam
“budaya” tertentu secara lebih obyektif lewat pengamatan empirik factual,
serta factual, serta pranata-pranata social kemasyarakatan yang mendukung
keberadaannya.
Berkenaan dengan hal di atas, maka saat itu muncul apa yang disebut
dengan istilah teologi masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami
penghayatan imannya atau penghayatan agamannya, suatu penafsiran atas
sumber-smber aslinya dan tradisinya dalam konteks permasalahan masa kini.
Yaitu teologi yang bergerak antara dua kutub, yaitu teks dan situasi, masa
lampau dan masa kini.
8
Salah satu cirri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya. Sikap
kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanyasendiri (agama sebagai
institusi social dan kemudian juga kepada situasi yang diahadapinya). Teologi
sebagai kritik agama berati antara lain mengungkapkan berbagai
kecenderungan dalam institusi agama yang menghambat panggilannya;
menyelamatan manusia dan kemanusiaan.
Teologi kritis bersifat kritis pula terhadap lingkungan. Hal ini hanya
dapat terjadi kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu social dan
memanfaatkan ilmu tersebut bagi pengembangan teologinya. Penggunaan
ilmu-ilmu social dalam teologi merupakan fenomena baru dalam teologi.
Lewat ilmu-ilmu social dalam itu dapat diperoleh gambaran mengenai situasi
yang ada. Melalui analisis ini dapat diketahui berbagai factor yang
menghambat ataupun yang mendukung realisasi keadilan social dan
emansipasi.
Uraian di atas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi
dalam memahami agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis,
keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas identitas dan
pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melaui mazhab-
mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan
antara lain berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi
sebagai pembentukan karakter pemeluknya dalam rangka membangun
masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Ketika tradisi agama secara
sosiologis mengalami reifikasi atau pengentalan, maka bias jadi spirit agama
yang paling “hanif” lalu terkubur oleh symbol-simbol yang diciptakan dan
dibakukan oleh para pemeluk agama itu sendiri.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan
normative, yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang
pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran
pemikiran manusia. Kebnaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan
sedikitpun dan nampak bersikap ideal.
9
C. Pendekatan Filologi
Tampaknya penelitian agama memang tidak dapat dipiahkan dari
aspek bahasa, karena manusia adalah makhluk berbahasa. Sedangkan doktrin
agama dipahami, dihayati dan disosialisasikan melalui bahasa. Sesungguhnya
pengertian bahasa sangat luas dan beragam seperti bahasa isyarat, bahasa
tanda, bahasa bunyi, bahkan bahasa manusia, bahasa binatang, dan bahasa
alam. Melalui bahasa manusia dan makhluk-makhluk lain dapat
berkomunikasi.
Pembahasan berikut mengenai bahasa yang dipersempit dan diartikan
sebagai kata-kata yang digunakan untuk mengungkapkan perasaan atau
memerintah. Dalam kehidupan sehari-hari kita bias merasakan perbedaan
antara bahasa iklan, bahasa politik, bahasa ilmu pengetahuan maupun bahasa
obrolan penuh persahabatan. Jika kita memahami sebuah wacana hanya dari
segi ucapan literalnya, maka kira bukannya disebut orang jujur dan lugu,
melainkan orang yang bodoh dan tidak komunikatif sebagai makna sebuah
kata ataupun kalimat selalu berkaitan dengan konteks. Istilah bahasa agama
dalam buku ini menunjuk pada tiga macam bidang kajian dan wacana.
Pertama, ungkapan-ungkapan yang digunakan untuk menjelaskan obyek
pemikiran yang bersifat metatis terutama tentang Tuhan.
Kedua, bahasa kitab suci terutama bahasa Al-Qur’an dan ketiga,
bahasa ritual keagamaan.
Penelitian agama dengan menggunakan pendekatan filologi dapat
dibagi dalam tiga pendekatan:
1. Metode Tafsir
Pendekatan filologi terhadap Al-Qur’an adalah pendekatan atau
metode tasir. Metode tafsir merupakan metode tertua dalam pengkajian
agama. Sesuai dengan namanya, tafsir berarti penjelasan, pemahaman dan
perincian atas kitab suci, sehingga isi pesan kita suci dapat dipahami
sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan.
Berkaitan dengan penelitian agama, tujuan tafsir adalah
menjelaskan, menerangkan, menyingkap kandungan kitab suci pesan yang
10
terkandung di dalamnya baik berupa hukum, moral, spiritual, perintah
maupun larangan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dalam rangka
menjelaskan isi pesan kitab suci tafir menggunakan berbagai pendekatan
sesuai dengan disiplin ilmu
a. Pendekatan sastra bahasa
b. Pendekatan filosofis
c. Pendekatan teologis
d. Pendekatan ilmiah
e. Pendekatan fikih atau hukum
f. Pendekatan tasawuf
g. Pendekatan sosiologis
h. Pendekatan kultur
D. Pendekatan Hukum Islam
Istilah “Hukum Islam” merupakan rangkaian kata yang popular dan
dipergunakan dalam bahasa Indonesia. Para ahli hukum Islam mendefiniikan
fikih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
operasional (amaliyah) yang dihasilkan dari dalil-dalil yang terperinci.
Sedangkan syari’at atau hukum syara’ adalah seperangkat urutan dasar tentang
tingkah laku manusia yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan langsung
oleh Allah dan Rasul-Nya. Rasul-Nya yang mengatur tingkahlaku manusia
yang telah terbebani hukum (mukallaf).
Mengingat hukum Allah yang dititahkan melalui wahyu hanya bersifat
aturan dasar dan hukum, maka perlu dirumuskan secara rinci dan operasional,
sehingga dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk maksud ini,
diperlukan usaha optimal penggalian dan perumusan praktis yang disebut
ijtihad, yang dilakukan seorang pakar hukum yang dinamakan mujtahid.
1. Aspek Ibadah
Kata ibadah secara bahasa mempunyai arti merendahkan diri,
tunduk, taat dan mengikuti.sedangkan secara istilah ibahad berarti
ketundukan, ketaatan, kencintaan dan perasaan takut ysempurna ke hadirat
11
Allah SWT. Dengan demikian segala perilaku manusia yang didorong oleh
rasa tunduk, taat dan rendah diri kepada Allah disebut dengan ibadah.
a. Sholat
1. Pengertian Shalat
Secara etimologis, sahalat berarti do’a sebagaimana
difirmankan Allah SWT:
“Berdo’alah untuk mereka, karena sesungguhnya do’a kalian itu menjadikan ketentraman bagi jiwa mereka.” (At-Taubah : 103)
Adapun menurut syari’at, shalat berarti ekspresi dari
berbagai gerakan sebagaimana diketahui. Shalat merupakan
kewajiban yang ditetapkan melaui Al-Qur’an, Al-Hadits dan Ijma’.
Ketetapan dalam Al-Qur’an disebutkan melalui firman-Nya:
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali agar menyembah Allah dengan menurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Yang demikian itulah agam yang lurus.” (Al-Bayyinah :5)
Di dalam sebuah Hadits ydiriwayatkan oleh Ibnu Umar
dinyatakan, bahwa Nabi SAW, pernah bersabda:
“Islam itu didirikan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada illah yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, menuanikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji di Baitullah bagi orang yang mampu” (HR. Multaqum ‘Alaih)
Dan yang menjadi Ijma’; para ulama telah bersepakat
mewajibkan shalat lima waktu dalam satu hari satu malam, yaitu
dzuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh.
2. Hikmah Shalat
Shalat lima waktu mampu membawa pelakunya berbuat
adil dan mensucikan serta mendekatkan diri kepada Allah Azza wa
Jalla, sebagai upaya mempersiapkan diri menghadapi hari kiamat
kelak. Sebagaimana shalat juga mencegah pelakunya dari
12
perbuatan keji dan munkar, dalam hal ini Allah Jalla wa ‘Alaa
berfirman:
“Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalatitu mencegah perbuatan keji dan mungkar” (Al-Ankabut : 43)
3. Hukum bagi Muslim yang meninggalkan Shalat
Menurut ijma’ ulama muslim yang meninggalkan shalat
karena ingkar, maka ia telah kafir dan keluar dari Islam. Sedang
apabila meninggalkan shalat yang masih disertai rasa keimanan
dan keyakinan terhadap hukum wajibnya, dimana ia
meninggalkannya karena malas atau sibut, yang menurut Syari’at
tidak tergolong sebagai alas an yang dapat diterima, maka banyak
hadits yang mengkufurkan dan bahkan mewajibkan untuk
membunuhnya. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dari Nabi SAW,
dimana pada suatu hari beliau pernah berbicara mengenai shalat
seraya bersabda:
“Barang siapa memeliharanya, maka shalatnya itu merupakan cahaya baginya juga sebagai bukti dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barang siapa yang tidak memeliharanya, maka tidak akan mendapatkan cahaya, burhan serta keselamatan pada hari kiamat kelak dan ia akan dikumpulkan bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubai bin Khalat” (HR. Ahmad, Thabrani, Ibnu Hibban dan Isnat Hadits ini Jayyid).
b. Puasa
Menurut bahasa, puasa berarti menahan. Sedangkan menurut
Syari’at, puasa berarti menahan diri secara khusus dan dalam waktu
tertentu serta dengan syarat-syarat tertentu pula. Menahan diri di sini
termasuk ibadah. Karena, harus menahan diri dari makan, minum dan
berhubungan badan sertaseluruh macam syahwat, dari sejak terbit fajar
sampai terbenamnya matahari.
Puasa dilihat dari hukumnya dapat dibagi menjadi 4:
1. Puasa wajib, yaitu ibadah puasa yang telah ditetapkan sebagai
kewajiban seorang muslim, jenis ibadah puasa ini ialah puasa di
13
bulan Ramadhan, puasa Kafarat (sebagai denda dan tebusan),
puasa Nadzar.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian” (Al-Baqarah : 183).
2. Puasa Sunnah, yaitu ibadah puasa ypernah dilakukan atau
diperintahkan oleh Nabi.
a. Puasa pada hari Arafah
Rasulullah SAW, bersabda:
“Puasa pada hari Arafah itu dapat menghapuskan dosa selama dua tahun, satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan dating. Adapun puasa asyura’ dapat menghapuskan dosa selama satu tahun yang telah berlalu” (HR. Muslim)
b. Pada hari Asyura’
Puasa hari Asyura’ pada bulan Muharram merupakan amalan
yang disunnahkan. Puasa pada hari ini dapat menghapuskan
dosa selama satu tahun sebelumnya, hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah SAW:
“Aku memohon kepada Allah untuk menghapuskan dosa yang pernah aku perbuat pada satu tahun sebelumnya” (HR. Muslim)
Sedangkan Ibnu Abbas RadhijAllahu Anhu menceritakan:
“Rasulullah memerintahkan puasa pada hari Asyura’, yaitu tanggal sepuluh dari bulan Muharram” (HR. Termidzi)
Bagi yang menghendaki, tidak ada larangan baginya untuk
berpuasa dan jika tika, maka boleh meninggalkannya
sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits, yang
menceritakan, bahwa Mu’awiyah pernah berkata: Aku pernah
mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya pada hari Asyura’ ini Allah tidak mewajibkan kalian berpuasa. Barang siapa menghendaki maka
14
diperbolehkan baginya berpuasa dan bagi siapa yang tidak menghendaki, maka ia boleh berbuka” (HR. Thabrani)
c. Enam hari pada bulan Syawal
Puasa enam hari pada bulan Syawal didasarkan pada sabda
Rasulullah SAW:
“Barang siapa berpuasa pada Bulan Ramadhan, lalu di lanjutkan dengan puasa enam hari pada bulan Syawal, maka nilainya seperti sepanjang tahun” (HR. Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Puasa enam hari pada bulan Syawal ini boleh dikerjakan secara
berturut-turut dan boleh juga berselang waktunya.
d. Lima belas hari pertama pada bulan Sya’ban
Dari Aisyah RadhiyAllahu Anha, ia menceritakan :
“Aku tidak melihat Nabi SAW menyempurkan puasa satu bulan penuh, selain pada bulan Ramadhan. Dan aku tidak melihat beliau pada bulan-bulan yang lain berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban” (Muttaqun ‘Alaih)
e. Sepuluh hari pertama paa bulan Dzulhijah
Puasa sepuluh hari pertama pada bulan Szulhijjah merupakan
amalan yang disunnahkan. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW :
Tidak ada hari dimana amal shalih di dalamnya lebih dicintai oleh Allah Azza wa Jalla dari pada hari ini (sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya; Wahai Rasulullah, tidak juga Jihad fi sabilillah? Beliau menjawab: “Tidak juga Jihad fi sabilillah, kecuali seorang yang berangkat dengan membawa jiwa dan hartanya, lalu kembali tanpa membawa sedikitpun dari keduanya” (HR. Bukhari)
Di samping itu, juga disunnatkan pada hari-hari mulia ini untuk
bersungguh-sungguh beribadah. Karena, Allah SWT melipat
gandakan pahala padanya.
f. Berselang
Puasa berselang, yaitu satu hari berpuasa dan satu hari
selanjutnya tidak. Hal ini sesuai dengan hadits yang
15
diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash, dimana Nabi
SAW pernah bersabda kepadanya:
“Berpuasalah satu hari dan berbukalah satu hari berikutnya. Yang demikian itu merupakan puasa Nabi Dawud dan merupakan puasa yang baik. Kemudian aku berkata : Sesungguhnya aku mampu melakukan lebih dari itu, maka Nabi pun menjawab : Tidak ada yang lebih baik dari itu” (Muttaqun ‘Alaih)
g. Pada bulan Muharram
Seperti diriwayatkan dari Abu Hurairah RadhiyAllahu Anhu, ia
menceritakan; bahwa Rasulullah bersabda :
“Sebaik-baik puasa setelah bulan Ramadhan adalah pada bulan Allah, yaitu Muharram” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Imam Tirmidzi mengatakan, bahwa hadits ini berstatus hasan
Shahih.
h. Senin Kamis
Berpuasa pada hari senin dan kamis, sesuai dengan hadits yang
diriwayatkan dari Usamah bin Zaid, dimana Rasulullah
senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis. Beliau pernah
ditanya oleh seseorang mengenai hal itu, maka beliau pun
menjawab: “Sesungguhnya amal perbuatan menusia diangkat
menuju Allah pada hari senin dan kamis” (HR. Abu Dawud).
i. Pertengahan bulan Qamariyah
Tanggal 13,14 dan 15 dari setiap bulan qamariyah (tahun
Hijriyah) merupakan tanggal yang dikhususkan oleh Rasulullah
untuk berpuasa sunnat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah
RadhiyAllahu ‘Anhu, ia menceritakan:
“Rasulullah berpesan kepadaku tiga hal, yaitu, berpuasa tiga hari pada setiap bulannya, mengerakan dua raka’at shalat Dhuha serta sholat witir sebelum tidur” (Muttaqun ‘Alaih)
3. Puasa Makruh, Ibadah puasa yang tidak pernah dilakukan Nabi
atau bahkan dibenci Nabi, berikut ini beberapa puasa makruh:
a. Mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa
16
Berpuasa satu bulan penuh pada bulan Rajab merupakan
amalan yang dimakruhkan. Akan tetapi, jika ada yang berpuasa
pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa secara berselang.
Karena ini merupakan bulan yang diagungkan oleh orang-
orang Jahiliyah. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar,
bahwa apabila melihat orang-orang jahiliyah dan semua
persiapan mereka untuk menyambut bulan Rajab, maka ia
(Ibnu Umar) membencinya seraya berkata : “Berpuasa dan
berbukalah pada bulan itu” (HR. Ahmad)
b. Pada hari Jum’at saja
Dimakruhkan berpuasa hanya pada hari Jum’at saja.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW ;
“Sesungguhnya hari Jum’at itu merupakan hari raya bagi kalian. Karena itu, janganlah kalian berpuasa, kecuali apabila juga kalian berpuasa pada hari sebelum dan sesudahnya” (HR. Al-Bazzar)
c. Pada hari Sabtu saja
Nabi SAW bersabda :
“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali yang diwajibkan atas kalian” (HR. Tirmidzi)
d. Pada hari yang diragukan
Sabda Rasulullah SAW :
“Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka ia telah menentang Abdul Qasim (Nabi Muhammad)” (HR. Bukhari)
e. Puasa khusus pada tahun baru dan hari besar orang kafir
f. Puasa Wishal
Puasa wishal merupakan puasa yang dimakruhkan, yaitu puasa
selama dua atau tiga hari tanpa berbuka, Rasulullah SAW
bersabda :
“Janganlah kalian berpuasa wishal” (HR. Bukhari)
17
g. Puasa Dahr, yaitu puasa yang dilakukan selama satu tahun
penuh, Rasulullah SAW bersabda :
“Tidak dianggap berpuasa bagi orang yang berpuasa selamanya” (HR. Muslim)
h. Puasanya seorang istri tanpa seizing suami
Dimakruhkan bagi wanita muslimah yang berpuasa tanpa
seizing suaminya, selain pada bulan Ramadhan, sedang pada
saat itu suaminya tengah berada disisinya. Hal ini sebagaimana
disabdahkan oleh Rasulullah SAW :
“Janganlah seorang wanita berpuasa pada suatu hari, ketika sang suami berada di sisinya, melainkan dengan seizinnya. Kecuali pada bulan Ramadhan” (Muttaqun ‘Alaih)
i. Puasa dua hari terakhir dari bulan Sya’ban
4. Puasa Haram, yaitu melaksanakan ibadah puasa disaat-saat yang
diharamkan. Waktu-waktu yang diharamkan berpuasa:
a. Pada hari raya ‘isul fitri dan ‘idul adhha
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah melarang berpuasa pada
dua hari saja, yaitu hari ‘idul fitri dan ‘idul adha’ (Muttaqun
‘Alaih)
b. Pada hari-hari Tasyrik (11,12,13 Dzulhijjah)
Rasulullah SAW bersabda :
“Hari-hari Tasyriq adalah hari untuk makan, minum, dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Muslim)
c. Zakat
Secara bahasa zakat berasal dari bahasa Arab “Zakat” yang
berarti tumbuh, berkembang, bertambah. Dalam Al-Qur’an kata
tersebut mengandung arti suci. Sedangkan menurut istilah hukum
Islam, zakat adalah sebutan harta tertentu yang wajib dikeluarkan
seorang muslim untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya
dengan syarat-syarat tertentu. Mengeluarkan zakat ini hukumnya wajib
berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi, antara lain:
18
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruh” (Al-Baqarah : 43)
Di lihat dari sasarannya zakat dibagi menjadi dua, yaitu: zakat
fitrah, yaitu zakat diri yang wajib dikeluarkan oleh setiap individu,
baik kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, merdeka maupun
budak sahaya.
a. Emas dan Perak; Wajib dikeluarkan zakatnya bila telah dimiliki
selama satu tahun dan senilai 96 gram emas atau 672 gram perak.
Dan yang dikeluarkan zakatnya 2,5 persen.
b. Harta perdagangan; Wajib wajib di keluarkan zakatnya ketika
telah dimiliki selama satu tahun dan senilai harga emas 96 gram.
Wajib dikeluarkan zakatnya 2.5 persen dari harga dagangan yang
bergerak.
c. Hasil tanaman dan buah-buahan, jenis tanaman dan buah-buahan
yang disebut dalam hadist untuk dikeluarkan zakatnya adalah
gandum, kurma, dan anggur kering. Dikeluarkan zakatnya setiap
panen ketika telah mencapai nilai lima wasaq (653 kg bersih).
Sedang jumlah yang harus dikeluarkan 10 persen bila tanaman itu
tidak menggunakan alat pengairan. Dan 5 persen jika
menggunakan alat pengairan dan terkadang tidak, maka
dikeluarkan 7,5 dari hasil panen. Di Indonesia para ulama
memahami bahwa semua jenis tanaman yang produktif wajib
dikeluarkan zakatnya. Biji-bijian, umbi-umbian, dan sayur-
sayuran, buah-buahan, tanaman hias, tanaman keras, rumput-
rumputan dan daun-daunan seperti the dan tembakau.
d. Hewan ternak; jenis hewan yang wajib dikeluarkan zakatnya
adalah onta, sapi, dan sejenisnya (kuda, kerbau) dan kambing.
Nisab (batas minimal kepemilikan) onta (5 ekor) dikeluarkan 1
ekor onta, sapi (30 ekor) dikeluarkan 1 ekor sapi dan kambing (40
ekor) dikeluarkan 1 ekor sapi dan kambing (40 ekor) dikeluarkan 1
ekor kambing.
19
e. Harta rikaz dan ma’din; harta rikaz adalah harta-harta berharga
yang terpendam atau tersimpan. Sadngkan ma’din adalah harta-
harta berharga yang terbentuk dari benda lain di bumi, misalnya
minyak bumi, batu bara, emas, perak, besi, dan lain-lain. Orang
yang menemukan harta rikaz atau ma’din wajib mengeluarkan
zakat 1/5 dari harta tersebut. Dikeluarkan saat ia menemukan
barang.
Sedangkan kelompok yang berhak menerima zakat
sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’alaf yang dibujuk hatinya, untuk(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (At-Tubah : 60)
d. Haji
Secara bahasa haji memiliki persamaan kata qasdhu yang
berarti tujuan. Sedangkan dalam istilah hukum Islam haji berarti
menuju Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan berbagai kegiatan.
Beribadah haji dijadkan rukun Islam ke lima yang wajib dilakukan
seumur hidup sekali bagi yang telah memenuhi syarat. Sebagaimana
firman Allah SWT:
“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (diantaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia: mengerakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; barang siapa mengikari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (Ali ‘Imran : 108)
2. Aspek Muamalat
Dalam tinjauan bahasa “Mu’amalat” berasal dari kata “Amila”
yang berarti perbuatan atau melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan
dalam istilah ikih, mu’amalat dimaksudkan sebagai suatu ikatan yang
dilakukan manusia untuk saling mendapatkan keuntungan.
20
Al-Qur’an tidak memberikan rincian tentang tehnis melakukan
hubungan perbuatan manusia dengan manusia lainnya (mu’amalat) ini,
namun Al-Qur’an menawarkan prinsip-prinsip dasar yang harus
dipegangi seseorang dalam bermu’amalat.
a. Memenuhi ikatan dan transaksi yang telah disepakati
Dalam melakukan aktifitas bisnis, seseorang melakukannya dengan
penuh kejujuran dan saling menghormati hak orang lain. Makna ini
terkandung dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu, dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (Al-Maidah: 1)
b. Melarang meraih keuntungan dengan cara bahil
Al-Qur’an memberikan indikasi kecenderungan pelaku bisnis
memperoleh keuntungan sepihak untuk dirinya sendiri tanpa
memperdulikan orang lain.
“Dan jangalah sebagian kamu memakan harta bathil dan (jangalah) kamu membawa 9urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (Al-Baqarah : 188)
Reaksi ayat di atas memberi kesan bahwa harta benda adalah milik
semua manusia secara bersama dan Allah yang membaginya antara
mereka secara adil berdasarkan kebijaksanaan-Nya dan melalui
penetapan hukum dan etika, sehingga upaya perolehan dan
pemanfaatannya tidak menimbulkan perselisihan dan kerusakan,
juga memberi kesan bahwa hak dan kebenaran harus berada
diantara mereka, sehingga tidak boleh keseluruhannya ditarik oleh
pihak pertama sehingga kesemuaannya menjadi miliknya, tidak
juga demikian bagi pihak kedua.
21
c. Mengharamkan Riba
Sebagai konsekuensi kejujuran dan keadilan dalam berbisnis, maka
Al-Qur’an mengharamkan riba. Yang dimaksud dengan riba adalah
memperoleh tambahan keberuntungan sepihak dengan tidak wajar.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan Syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat); sesungguhnya jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang diambilnya dahulu (sebelum dating larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya” (Al-Baqarah : 275)
3. Aspek Jinayat
Kata Jinayat merupakan kata dasar dari janaya yang berarti
kejahatan, kesalahan, dan dosa. Islam tidak membenarkan kejahatan di
muka bumi. Sehingga pelaku kejahatan harus diberikan hukuman
setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Namun ancaman bagi
pelaku kejahatan dalam Al-Qur’an kebanyakan bersifat ukharawiy
(akhirat), hanya beberapa hal saja Allah SWT memberikan hukuman
pelaku kejahatan yang dilaksanakan di dunia.
a. Hukum Qishash
Jenis hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan sesuai
dengan jenis kejahatan. Jika ia telah memotong tangan orang lain,
maka ia dihukum dengan potongan tangan. Jika ia telah
mematahkan kaki orang lain, maka ia dihukum dengan dipatahkan
kakinya dan seterusnya.
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telingan dengan telingan, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisasnya), maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara
22
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.
b. Hukum Zina
Kata zina merupakan kata dasar dari zana-yazni yang mempunyai
arti seputar perhiasan, kehormatan, kebaikan. Dalam konteks
hukum Islam zina adalah melakukan hubungan seksual antara laki-
laki dan perempuan yang diharamkan, karena belum atau tidak ada
ikatan pernikahan. Telah ditentukan hukumnya oleh Allah dalam
Al-Qur’an.
Dilihat dari sudut pelakunya, zina terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Zina mukhshan, pelaku zina yang sebelumnya pernah
melakukan hubungan seksual secara halal.
2. Zina ghairu mukhshan, pelaku zina yang belum pernah
melakukan hubungan seksual secara halal.
3. Budak sahaya, yaitu budak sahaya yang melakukan zina dan
hukumannya separuh dari pelaku zin yang merdeka.
Pelaku zina mukhshan baik laki-laki maupun perempuan didera
(dirajam) seratus kali, sebagaimana firman Allah:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”
Pelaku zina ghairu mukhshan akan dicambuk seratus kali dan
diisolir (diasingkan) dari masyarakat selama satu tahun.
c. Hukuman Tuduhan
Islam memberlakukan hukuman bagi seseorang (laki-laki atau
perempuan) yang telah melakukan tuduhan zina tanpa disertai
bukti dengan delapan puluh tuduhan kali dera dan digugurkan
sosialnya sebagai saksi.
23
d. Hukuman Pencurian
Dalam rangka memelihara hak untuk memiliki harta benda bagi
setiap manusia, Islam melarang keras keinginan seseorang untuk
memiliki harta benda dengan cara kekerasan. Oleh karenanya,
Islam memberlakukan hukuman bagi pencuri dengan potong
tangan.
“Laki-laki yang mencuri dan permpuan yang mencuri, potonganlah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(Al-Maidah : 38)
e. Hukuman bagi gerakan pengacau dan teroris
Perlindungan hak hidup individu dan situasi keamanan dan
ketertiban dalam komunikasi Islam mendapat perhatian serius
dalam Islam, sehingga Al-Qur’an secara eksplisit menunjuk jenis
hukuman bagi seseorang yang melakukan gerakan pengacau di
muka bumi ini sesuai dengan bobot kejahatannya, yaitu dibunuh,
dipotong tangan dan kaki, dibuang.
Dalam kehidupan keluarga yang terdiri dari bapak, ibu dan anak,
maka Islam menawarkan bapaklah yang harus banyak mengambil
peran inisiatif untuk menata kehidupan dalam keluarga. Bilamana
dalam struktur keluarga, ternyata bapak kurang memenuhi syarat-
syarat sebagai pemimpin, mkaa siapapun dalam keluarga dapat
mengambil peran sebagai pemimpin keluarga.
4. Aspek Politik
Dalam wacana fiqih, politik diambil dari makna kata
“Siyasah”. Secara bahasa, kata tersebut mempunyai arti mengatur,
menguasai atau kekuasaan.
Islam tidak memberikan petunjuk yang jelas tentang teknis berpolitik,
namun Al-Qur’an maupun Hadits menunjukkan prinsip-prinsip dasar
yang dapat dijadikan pedoman dalam hidup berpolitik
a. Bahwa kekuasaan merupakan kepercayaan dari Allah dan
masyarakatnya.
24
b. Prinsip berkeadilan dalam menentukan hak dan kewajiban
c. Berpedoman pada kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
d. Bermusyawarah dan melibatkan partisipasi masyarakat yang
dipimpinnya.
Prinsip-prinsip di atas merupakan kandungan dari firman Allah dan
sabda Rasulullah, yaitu:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan manta kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lahi Maha Melihat”. (Ali ‘Imron : 159)
E. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melaui
pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun ke
lapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya
membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya
sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-
lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga
memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Karl Marx (1818-1883) sebagai contoh melihat agama sebagai opium
atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk
memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori
pertentangan kelas.
Melalui pendekatan antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata
berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat.
Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini kita juga dapat
melihat hubungan antara agama dan negara (state and religion). Akan selalu
25
menarik melihat fenomena negara agama seperti Vatikan dalam bandingannya
dengan negara-negara sekuler di sekelilingnya di Eropa Barat. Juga melihat
kenyataan negara Turki modern yang mayoritas penduduknya beragama
Islam, tetapi konstitusi negaranya menyebut sekularisme sebagai prinsip dasar
kenegaraan yang tidak dapat ditawar-tawar.
Melalui pendekatan antropologis sebagaimana tersebut di atas terlihat
dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia,
dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai
fenomena kehidupan manusia.
Dengan demikian pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam
memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian
dan informasi yang dapat dijelaskan lewat bantuan ilmu antropologi dengan
cabang-cabangnya.
26
BAB III
PENUTUP
Dari pembahasan yang telah tim penyusun uraikan bahwa
A. Islam dan Sasaran Studi Agama
1. Islam sebagai sasaran studi doctrinal
2. Islam sebagai sasaran studi social
3. Islam sebagai sasaran studi budaya
B. Pendekatan Teologi Normatif
Pendekatan teologi normative dalam memahami agama secara hariyah
dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan rangka
ilmu Ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik
daru suatu keagamaan dianggap suatu yang berat dibandingkan dengan agama
yang lain.
C. Pendekatan Filologi
Penelitian agama yang menggunakan pendekatan filologi dapat dibagi
dalam tiga pendekatan
1. Metode tafsir
2. Pendekatan filologi terhadap As-Sunnah (Al-Hadits)
3. Pendekatan filologi terhadap Teks, Naska, dari Kitab-kitab Hermeneutika
D. Pendekatan Studi Hukum
Mengingat hukum Allah yang dititahkan melalui wahyu hanya bersifat
aturan dasar dan hukum, maka perlu dirumuskan secara rinci dan operasional
sehingga dapat dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
E. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud
praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui
pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
27
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Metodologi studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1999.
IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2005.
Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998.
28