BAB I - IV
-
Upload
win-ndakedan -
Category
Documents
-
view
81 -
download
0
Transcript of BAB I - IV
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skizofrenia merupakan salah satu penyakit gangguan jiwa yang paling
banyak diderita oleh penduduk di belahan dunia, diperkirakan terdapat 450 juta
orang mengalami gangguan jiwa dan 25 juta mengalami skizofrenia. Pada tahun
2000, prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1 %, tahun 2006
menjadi 0,46% penderita atau sekitar 1 juta penduduk (WHO, 2007). Pada tahun
2008, penderita skizofrenia di Indonesia meningkat menjadi sekitar 1-2 %
penduduk (RISKESDAS, 2010).
Isaacs (2005) menyatakan seseorang yang menderita penyakit skizofrenia
sulit disembuhkan dan cenderung menahun. Dampak dari penyakitnya, penderita
tidak saja dapat membebani ekonomi keluarga tetapi juga keluarga sebagai
caregiver atau pemberi perawatan menjadi tidak produktif karena harus merawat
anggota keluarganya. Penyakit skizofrenia ditandai oleh distorsi pikiran dan
persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak wajar atau tumpul
(Depkes RI, 1993). Penyakit ini sering didiagnosis selama awal masa dewasa
(25-45 tahun) (Semiun, 2006). Pasien skizofrenia umumnya mempunyai insight
(daya tilik diri) yang buruk, kondisi ini membuat mereka dibawa berobat ke
rumah sakit secara paksa atau atas kehendak keluarga karena tidak bisa
dipertahankan di rumah dan cenderung menyakiti diri sendiri dan lingkungannya
(Ibrahim, 2011). Insight merupakan pemahaman pasien yang bersifat alami
tentang masalah atau penyakitnya (stuart, 2009).
2
Insight merupakan sebuah konsep yang penting di dalam psikiatri klinis.
Meskipun beberapa tingkat insight telah diamati di dalam kondisi-kondisi ilmu
psikiatrik dan neurobiologi, ketiadaan insight secara umum sering dialami pasien
skizofrenia (Chakraborty & Basu, 2010).
Faget-Agius et al (2011) menyatakan ketiadaan insight pada pasien
skizofrenia telah dihubungkan dengan kerusakan pada kortek prefrontal, area
temporal, dan precuneus. Jaringan ini berhubungan dengan daerah yang
melibatkan pengalaman kesadaran dan kesadaran diri dalam kesehatan individu.
Bintao (2006) menyatakan ketiadaan insight merupakan gejala yang penting
dalam skizofrenia, hal ini berkaitan dengan fungsi kognitif dan strategi koping.
Ketiadaan insight merupakan hendaya kesadaran (awarness) atau pemahaman
atas kondisi psikiatrik dan situasi kehidupan dirinya, yang ditunjukkan dengan
kegagalan mengenali penyakitnya dan gejala-gejala psikiatrik yang lalu maupun
sekarang, menolak kebutuhan perawatan dan pengobatan, yang ditandai oleh
buruknya antisipasi terhadap konsekuensi, serta keputusan rencana jangka pendek
dan jangka panjang yang tidak realistik (Sinaga, 2007).
Ketiadaan insight sering dikaitkan dengan buruknya kepatuhan terhadap
pengobatan (Sadock & Sadock, 2011). Videbeck (2008) mengindikasikan bahwa
penderita skizofrenia yang gagal mengakui atau memahami penyakitnya sebagai
masalah kesehatan akan lebih membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang
yang konsisten, karena penyakit tersebut menyebabkan kesulitan yang kronis.
Aleman & Nolen (2011) menemukan ketiadaan insight terhadap penyakit dapat
berdampak pada penurunan kemampuan menjalin hubungan sosial dengan orang
3
lain, karena insight yang buruk mempengaruhi keterampilan sosial yang dimiliki
penderita. Yen et al. (2008) melalui penelitiannya menemukan ketiadaan insight
dapat mempengaruhi efek dari pengobatan antipsikotik atipikal dan kualitas hidup
penderita skizofrenia. Ketiadaan insight dapat secara pelan-pelan menurunkan
kualitas hidup pasien skizofrenia (Ramadhan & Dodd, 2010).
Penderita skizofrenia yang mempunyai insight baik terhadap penyakit
cenderung mempunyai respons emosional yang stabil dan perilaku yang adaptif
atau konstruktif sehingga mempunyai kualitas hidup yang baik (Kring & Moran,
2008). Memperluas insight penderita pada penyakitnya cenderung mempunyai
sikap yang positif terhadap pengobatan dan dapat memperbaiki gejala,
meningkatkan kualitas hidup dan hasil pengobatan, juga dapat mempercepat
rehabilitasi atau pemulihan (Mohamed et al., 2009). Lincoln (2007)
mengidentifikasi bahwa insight yang baik dapat dihubungkan dengan kepatuhan
pengobatan dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Menurut Calman yang dikutip oleh Hermann (1993) mengungkapkan
bahwa konsep dari kualitas hidup adalah bagaimana perbedaan antara keinginan
yang ada dibandingkan perasaan yang ada sekarang, definisi ini dikenal dengan
sebutan “Calman’s Gap”. Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui
perbedaan antara perasaan yang ada dengan keinginan yang sebenarnya,
dicontohkan dengan membandingkan suatu keadaan antara “dimana seseorang
berada” dengan “dimana seseorang ingin berada”. Jika perbedaan antara kedua
keadaan ini lebar, ketidak cocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup
seseorang tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup tinggi jika perbedaan yang
4
ada antara keduanya kecil. Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang
dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang
dikembangkan oleh WHO (World Health Organization) yaitu WHOQL, bidang
tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas,
hubungan sosial dan lingkungan (WHO, 2004)
Kualitas hidup pasien seharusnya menjadi perhatian penting bagi para
professional kesehatan karena dapat menjadi acuan keberhasilan dari suatu
tindakan / intervensi atau terapi. Data tentang kualitas hidup juga dapat
merupakan data awal untuk pertimbangan merumuskan intervensi / tindakan yang
tepat bagi pasien (Priambodo et.al, 2007). Studi tentang kualitas hidup dan fokus
pada perasaan subyektif kesejahteraan pasien adalah fenomena yang cukup baru
yang telah menarik perhatian profesional hanya dalam dua dekade terakhir.
Masalah kualitas hidup menjadi kunci ketika obat tidak mungkin memaksimalkan
hasil pengobatan. Penyakit yang tidak bisa dihilangkan harus dikelola dan tujuan
pengobatan menjadi menjaga fungsi maksimum dan eksistensi yang berarti.
Sementara ketertarikan telah berkembang dalam memahami bagaimana orang
skizofrenia menilai penyakit mereka dan kebutuhan berikutnya, sifat dampak dari
kesadaran atau pengakuan gangguan pada berbagai domain quality of life (QOL)
tetap menjadi bahan perdebatan yang cukup besar. Pengakuan terhadap penyakit
mereka (skizofrenia) adalah kerugian dan kunci untuk berhasil menyesuaikan diri.
Penerimaan penyakit telah diajukan sebagai kunci untuk membuat keputusan
tentang masa depan seseorang, untuk membebaskan diri dari kesalahan atas
5
kesulitan terkait dengan penyakit dan untuk membentuk ikatan dengan orang lain
yang sadar akan kesulitan seseorang (Ramadan dan Dodd, 2010).
Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Amador & Gorman (1998) dalam
Chakraborty & Basu (2010) menemukan adanya perkiraan bahwa antara 50-80%
dari pasien skizofrenia tidak percaya mempunyai suatu penyakit. Bahkan antara
70%-90% pasien skizofrenia tidak sadar dengan penyakitnya (Fontaine, 2009).
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 16 s/d 18 Juli 2012
terhadap 10 penderita skizofrenia yang dirawat di Ruang Poliklinik RSJ Prof Dr.
Soeroyo Magelang, 8 dari 10 atau 80% menunjukkan ketiadaan insight contohnya
klien mengatakan bahwa dirinya tidak sakit jiwa dan menolak masukan dari orang
lain bahwa dirinya mempunyai gejala sakit jiwa. Dari 80% penderita yang
mengalami ketiadaan insight, semuanya pernah mengalami kekambuhan rata-rata
antara 1-2 kali dalam satu tahun dan 8 penderita skizofrenia tersebut memiliki
kualitas hidup yang rendah seperti mengungkapkan pernah putus obat (tidak taat
minum obat), tidak mempunyai pekerjaan tetap dan hubungan sosial yang kurang
baik dengan masyarakat.
Dua dari 10 atau 20% penderita skizofrenia yang mempunyai insight baik
seperti mengungkapkan bahwa dirinya sakit jiwa dan mampu menerima masukan
dari orang lain, tetapi ternyata semuanya memiliki kualitas hidup yang rendah
seperti tidak minum obat dengan rutin (putus obat), tidak bekerja dan tidak punya
hubungan sosial yang baik dengan masyarakat sehingga tetap mengalami
kekambuhan. Hal ini menunjukkan adanya masalah atau kesenjangan, yaitu
seharusnya dengan insight yang baik maka akan mempunyai kualitas hidup yang
6
baik yang ditunjukkan dengan mempunyai pekerjaan, rutin minum obat dan
mempunyai hubungan sosial yang baik sehingga akan terhindar dari kekambuhan,
akan tetapi pada kenyataan tidak demikian (masih ada yang mau bekerja dan
enggan melakukan hubungan sosial).
Dari hasil studi tanggal 2 Agustus 2012 pada 10 pasien skizofrenia yang
menjalani rawat jalan di poliklinik RSJ Prof Dr Soeroyo Magelang, didapatkan
7orang (70%) mempunyai insight yang buruk contohnya tidak mengakui dirinya
sakit jiwa dan tidak bisa menerima masukan dari orang lain, dan dari 7 orang
pasien tersebut 6 orang bekerja dan tidak mengalami hambatan dalam melakukan
hubungan sosial. Sementara itu dari 10 pasien tersebut, 3 orang mempunyai
insight yang baik seperti control atau berobat atas kemauan sendiri serta tidak
diantar keluarga dan dua diantaranya bekerja serta semuanya mampu menjalani
hubungan sosial seperti orang normal (belum sakit) pada umumnya.
Berdasarkan fenomena di atas penulis tertarik untuk menyusun laporan
penelitian tentang hubungan antara insight (daya tilik diri terhadap penyakit)
dengan kualitas hidup pasien skizofrenia di Ruang Poliklinik RSJ Prof Dr.
Soeroyo Magelang.“
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah “
Adakah hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien skizofrenia di
Ruang Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang ?”.
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien skizofrenia
di Ruang Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui gambaran insight pasien skizofrenia di Ruang Poliklinik RSJ
Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
b. Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien skizofrenia di Ruang
Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
c. Mengetahui hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien
skizofrenia di Ruang Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
bentuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan jiwa
tentang pengaruh insight terhadap kualitas hidup pasien skizofrenia sehingga
ilmu pengetahuan ini dapat disampaikan pada mahasiswa keperawatan
terutama dalam menambah wawasan tentang perawatan penyakit skizofrenia.
2. Profesi keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan dalam
perancangan kompetensi baru yang harus dimiliki perawat jiwa, khususnya
8
tentang tindakan keperawatan yang berhubungan dengan upaya memperbaiki
insight pasien skizofrenia.
3. Perawat jiwa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber
informasi bahwa insight pasien skizofrenia dapat mempengaruhi kualitas
hidup pasien skizofrenia, perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan
pada pasien sehingga pasien skizofrenia dapat mulai termotivasi untuk
mengenali penyakitnya dan kualitas hidup dapat dapat ditingkatkan.
4. Pasien
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai fakta ilmiah
bahwa kesadaran atau penerimaan pasien terhadap penyakit yang dideritanya
dapat berdampak atau mempengaruhi kualitas hidupnya sehingga pasien
diharapkan dapat memperbaiki insightnya untuk meningkatkan kualitas hidup.
5. Keluarga
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai fakta ilmiah
bahwa insight pasien skizofrenia yang tidak baik dapat mencetuskan atau
meningkatkan resiko memburuknya kualitas hidup pasien. Hasil penelitian ini
juga dapat dijadikan oleh keluarga sebagai motivator dalam mencari informasi
tentang penyakit skizofrenia, perawatan dan pengobatannya sehingga dapat
membantu meningkatkan insight atau pengenalan penyakit pada diri anggota
keluarganya sehingga kualitas hidup pasien akan meningkat.
6. Peneliti
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan peneliti tentang hubungan antara insight dengan kualitas hidup
9
pasien skizofrenia sehingga peneliti dapat memberkan asuhan keperawatan
secara komprehensif dan dapat membantu memperbaiki insight pasien
skizofrenia dengan cara yang tepat.
7. Peneliti lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi awal
dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan insight pasien
skizofrenia serta faktor-faktor yang mempengaruhi insight pasien skizofrenia
serta kaitannya dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Skizofrenia
1. Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia merupakan kombinasi gangguan dalam berfikir, gangguan
persepsi, perilaku yang abnormal, gangguan afektif dan terjadi kerusakan
kemampuan sosial. Hal ini berarti orang tersebut menjadi kesulitan dalam
berfikir secara jelas, mengetahui yang realistis, memanajemen perasaan,
mengambil keputusan dan berhubungan dengan orang lain (Fontaine, 2009).
Skizofrenia salah satu gangguan psikotik yang sangat serius dan menetap dari
semua gangguan mental (Fortinash dan Worret, 2006). Sedangkan menurut
Keltner et al (2002). Skizofrenia adalah bentuk diagnosis yang digunakan oleh
profesional kesehatan mental untuk menggambarkan sebuah gangguan
psikotik mayor yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pemikiran,
persepsi sensori (misalnya halusinasi dan delusi), gangguan berfikir dan oleh
kerusakan atau kekacauan fungsi psikososial.
Puri et al (2011) mendefinisikan Skizofrenia sebagai salah satu
gangguan psikiatri yang paling melemahkan, gangguan ini merupakan suatu
psikosis utama yang dapat bermanifestasi dalam berbagai cara yaitu
perubahan dalam berfikir, perubahan dalam persepsi, afek tumpul, dan
penurunan fungsi sosial. Skizofrenia adalah suatu yang mungkin
menghancurkan fungsi otak dan dapat menimbulkan gangguan otak yang
11
berpengaruh pada pemikiran seseorang, bahasa, emosi, perilaku sosial dan
kemampuan untuk berada dalam kenyatan secara akurat (Varcarolis dan
Halter, 2010).
2. Etiologi Skizofrenia
Skizofrenia dapat sebabkan karena beberapa faktor antara lain:
a. Genetik
Kebanyakan penelitian genetik berfokus pada keluarga terdekat,
seperti orang tua, saudara kandung, anak cucu untuk melihat apakah
Skizofrenia diwariskan atau diturunkan secara genetik. Kembar identik
berisiko mengalami gangguan sebesar 50%, sedangkan kembar fraternal
berisiko hanya 15%, Hal ini mengindikasikan bahwa Skizofrenia sedikit
diturunkan. Penelitian penting menunjukkan bahwa anak-anak yang
memiliki satu orang tua biologis menderita Skizofrenia memiliki 15%,
angka ini meningkat sampai 35% jika keduanya menderitas Skizofrenia
(Videbeck, 2008). Menurut Wade dan Tavris (2007) Seorang individu
akan memiliki resiko yang lebih tinggi dalam mengembangkan
kecenderungan Skizofrenia apabila individu tersebut memiliki kembar
identik yang menunjukkan bahwa ia memiliki kecenderungan Skizofrenia,
meskipun saudara kembar tersebut dibesarkan secara terpisah. Anak-anak
dari orang tua yang salah satunya menderita Skizofrenia akan memiliki
risiko sebesar 12% sepanjang hidupnya, dan anak –anak dari orang tua
yang keduanya menderita Skizofrenia akan memiliki risiko sebesar 35-
12
46% sepanjang hidupnya, dibandingkan risiko menderita Skizofrenia pada
populasi umum yang hanya sebesar 1-2%.
b. Stres psikososial
Meskipun tidak ada bukti bahwa stres secara sendirian
menyebabkan Skizofrenia, tetapi tingkat kortisol stres yang terukur,
menghalangi/merintangi pengembangan hypothalamic dan menyebabkan
perubahan-perubahan lain bahwa dapat mempercepat penyakit ini di
dalam individu yang rentan atau berisiko mengalami. Skizofrenia sering
kali dimanifestasikan dan kadang-kadang pengembangan dan stres
keluarga, seperti awal masuk perguruan tinggi pindah tempat pada salah
satu famili. Sosial, psikologis, dan stressor fisik dapat memainkan peran
yang siknifikan atau bermakna dalam menyebabkan gangguan yang berat
dan kualitas hidup orang tersebut (Varcarolis dan Halter, 2011).
Penelitian telah dilakukan dalam usaha menentukan apakah
epsiode psikotik dapat dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh
stres. Tidak ada kejadian yang khas untuk mengindikasikan stres yang
menyebabkan Skizofrenia. Hal ini sangat mungkin, meskipun, stres dapat
memberikan kontribusi untuk beratnya perjalanan penyakit. Kondisi ini
telah diketahui bahwa stres yang ekstrim dapat memicu episode psikotik,
stres dapat sungguh-sungguh memicu gejala dalam individu yang
mempengaruhi seorang yang secara genetik rentan untuk Skizofrenia.
Kejadian kehidupan yang penuh stres juga dapat dihubungkan dengan
13
munculnya kembali gejala Skizofrenia dan meningkat rata-rata
kekambuhan (Townsend, 2011).
c. Faktor lingkungan
Faktor-faktor lingkungan juga dipercaya dapat berperan untuk
pengembangan penyakit Skizofrenia dari orang-orang vunerable atau
orang yang rentan/berisiko. Hal ini termasuk keterpaparan orang dengan
kekurangbaikan sosial (misalnya: kehidupan dengan perumahan yang
kumuh atau dengan tingkat kriminal yang tinggi) dan migrasi pada atau
pertumbuhan dewasa di suatu kultur yang asing (Varcarolis dan Halter,
2011).
Banyak studi-studi telah diselenggarakan bahwa sudah mencoba
untuk menghubungkan Skizofrenia pada kelas sosial. Sungguh-sungguh
epidemiologik statistik sudah menunjukkan angka-angka lebih besar dari
individu dari kelas-kelas ekonomi-sosial yang lebih rendah mengalami
gejala-gejala yang dihubungkan dengan Skizofrenia dibanding mereka
yang dari kelompok ekonomi-sosial yang lebih tinggi (Ho et al, 2003).
Penjelasan untuk kejadian ini termasuk kondisi-kondisi berhubungan
dengan tinggal di kemiskinan, seperti perumahan yang terlampau banyak,
kebutuhan gizi yang tidak cukup, ketidakhadiran dari kepedulian sebelum
melahirkan, sedikitnya sumber daya dalam hubungan dengan situasi-
situasi stressfull, dan perasaan keputusasaan untuk mengubah gaya hidup
kemiskinannya (Townsend, 2011).
14
d. Faktor neuroanatomi dan neurokimia
Baru-baru ini serotonine ditetapkan sebagai faktor neurokimia
utama yang mempengaruhi Skizofrenia. Teori tentang serotonin
memperlihatkan bahwa serotonine memiliki efek modulasi pada
dopamine, yang membantu mengonrol kelebihan dopamine. Kelebihan
serotonine juga diyakini berperan dalam perkembangan Skizofrenia
(Videbeck, 2008).
Gangguan-gangguan komunikasi dalam jaringan di dalam otak
dianggap sebagai Skizofrenia yang berat. Oleh karena itu, hal tersebut
abnormalitas struktur otak dapat diramalkan menyebabkan gangguan
dalam fungsi di otak. Bukti substansial banyak orang dengan Skizofrenia
mempunyai struktur otak yang abnormalitas, melibatkan pelebaran dari
ventrikel serebral sebelah lateral, dilatasi ventrikel ketiga dan atau
ventrikel yang asimetri. Mengurangi selaput kortikal, lobus frontal,
hipocampus dan atau volume serebral. Peningkatan ukuran sulcus (fisura)
pada permukaan otak (Broome et al, 2005 dalam Varcarolis dan halter,
2010). Dengan pemakaian teknologi neuroimaging, kelainan-kelainan
otak struktural telah diamati di dalam individu dengan Skizofrenia.
Pelebaran ventrikel adalah penemuan yang paling konsisten;
bagaimanapun, pelebaran sulcus dan atropi serebral juga dilaporkan (Ho,
Black dan Andreas, 2003 dalam Townsend, 2011).
15
e. Faktor imunovirologi
Ada teori populer yang mengatakan bahwa perubahan pataologi
otak pada individu yang menderita Skizofrenia dapat disebabkan oleh
pajanan virus, atau respon imun tubuh terhadap virus dapat mengubah
fisiologi otak. Infeksi pada ibu hamil sebagai kemungkinan penyebab
Skizofrenia. Endemik flu diikuti dengan peningkatan kejadian Skizofrenia
di Inggris, Wales, Denmark, Finlandia dan negara-negara lain (Videbeck,
2008).
f. Stres perinatal
Suatu sejarah dari kesulitan-kesulitan kehamilan atau kelahiran
dihubungkan dengan satu resiko yang meningkatkan kejadian Skizofrenia.
Faktor-faktor resiko sebelum melahirkan termasuk infeksi/peradangan
karena virus, kurang gizi (miskin, hipoksia, terpapar toksin atau racun).
Trauma psikososial pada ibu selama kehamilan (misalnya, kematian suatu
sanak keluarga) dapat juga berperan pengembangan dari Skizofrenia
(Khashan et.al, 2008 dalam Varcarolis dan halter, 20
10). Sadock and Sadock (2007) dalam Townsend (2011)
melaporkan data epidemiologi yang mengindikasikan insiden yang tinggi
Skizofrenia setelah prenatal terpapar dengan influensa. Data pendukung
yang lain sebuah hipotesis virus meningkatkan jumlah abnormalitas fisik
pada bayi, meningkatkan rata-rata kehamilan dan kelahiran dengan
komplikasi, kelahiran dengan infeksi karena virus.
16
3. Gejala positif dan negatif Skizofrenia
a. Gejala positif
Gejala positif meliputi waham dan halusinasi (Sadock dan Sadock,
2010). Menurut Videbeck (2008) Gejala positif merupakan gejala yang
nyata yang mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara
dan perilaku yang tidak teratur, echopraxia, flight of ideas, perseverasi,
asosiasi longgar, gagasan rujukan dan ambivalens, serta gejala negatif atau
gejala samar seperti apatis, alogia, afek tumpul, anhedonia, katatonia,
tidak memilik kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak
nyaman. Gejala positif dapat dikontrol dengan pengobatan, tetapi gejala
negatif sering kali menetap setelah gejala psikotik berkurang.
Gejala positif yang ditunjukkan pasien dengan Skizofrenia antara
lain berupa: halusinasi (indera pendengar, dapat dirasakan, pencium,
gustatori, visual), delusi (berupa: persecutory, kecemburuan, megah,
religius, somatik, acuan, mahluk yang mengawasi, memikirkan penyiaran,
penyisapan, penarikan), perilaku bizzare (berpakaian yang kurang tepat,
penampilan, dan perilaku sosial/seksual, perilaku agresif, menghasut,
berulang, meniru-niru perilaku orang lain), gangguan atau kekacauan
pemikiran formal positif dan pola bicara (disorganisasi, asosiatif longgar,
pembicaraan melompat idenya, bicara dengan tekanan yang cepat,
tangensial, tidak logis, sirkumtansial, distractibility, pelemahan memori),
afek yang tidak tepat (afek yang tidak sesuai dengan situasi dan afek yang
bizzare) (Varcarolis dan Halter, 2011).
17
b. Gejala Negatif
Gejala-gejala ini secara khas terjadi pada Skizofrenia kronis,
meliputi sikap apatis yang nyata, kemiskinan pembicaraan, kurangnya
dorongan afek yang lambat dan tumpul atau tidak kongruen, dan biasanya
menyebabkan penarikan diri secara sosial dan menurunnya perfoma sosial,
sedangkan gejala positif secara khas terjadi pada Skizofrenia mencakup
waham, halusinasi dan interferensi pikiran (Puri et al, 2011). Menurut
Sadock dan Sadock (2010) gejala negatif yang dialami pasien Skizofrenia
dapat meliputi afek datar atau menumpul, miskin bicara (alogia), atau isi
bicara, blocking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan
penarikan diri secara sosial. Gejala negatif sering kali menetao sepanjang
waktu dan menjadi penghambat utama pemulihan dan perbaikan fungsi
dalam kehidupan sehari-hari klien (Videbeck, 2008).
Menurut Varcarolis dan Halter (2011) gejala negatif yang sering
ditunjukkan pasien Skizofrenia antara lain: afek yang tumpul (afek yang
rata atau blunted, kurang dapat menerima isyarat-isyarat yang ekspresif,
ketiadaan modulasi suara/pembengkokan berkenaan dengan suara), alogia
(misalnya miskin atau tidak ada pembicaraan atau suara keluar, miskin
dari isi yang dibicarakan), avolition, apatis (misalnya: gerakan dan
perilaku tidak secara spontan, kurangnya perhatian, tidak dapat
menyelesaikan tugas di tempat kerja, sekolahan dan kehilangan energi
secara fisik), anhedonia, asosial (misalanya: kontak mata kurang atau tidak
ada, ketertarikan dalam kegiatan rekreasi sedikit, ketertarikan seksual
18
menurun, gangguan dalam memelihara keintiman dan kedekatan yang
lemah, tidak gembira, dan sedikit berhubungan dengan teman atau peer
sebaya), defisit perhatian (misalnya: kerusakan dalam menyelesaikan
pekerjaan dan kurang berhatian dalam aktivitas sosial), yang lain adalah
kurang mampu membaca emosi orang lain secara inten.
4. Penanganan Skizofrenia
Penanganan penderita Skizofrenia secara umum dapat dilakukan
menggunakan dua pendekatan yaitu pengobatan dan perawatan
a. Psikofarmaka
Meskipun penyakit Skizofrenia sering kali sulit dapat diobati,
tetapi dapat ditangani atau dirawat, dan metode penanganan yang ada dan
bersifat efektif. Skizofrenia menjadi lebih dapat ditangani dengan hadirnya
pengobatan antispikotik yang juga dikenal dengan obat neuroleptik. Obat
antipsikotik generasi pertama atau sering disebut dengan obat antipsikotik
konvensional hanya efektif untuk membebaskan gejala-gejala positif tetapi
hanya sedikit atau kurang efektif untuk menghilangkan gejala negatif.
Pemberian pengobaan yang baik maka pemikiran pasien yang tidak
realistis, halusinasi, inkoherensi, ketiadaan motivasi, dan kurangnya
keinginan untuk terlibat dalam aktivitas, isolasi sosial dan perilaku agresif
dapat diatasi (Fortinash dan Worret, 2003).
19
b. Terapi keluarga
Pentingnya dikembangkan peran dari keluarga di dalam perawatan
setelah pulang relatif sudah dikenal oleh penderita Skizofrenia dan
keluarganya, dengan demikian program psikoedukasi dalam perawatan
keluarga sebagai sumber yang dapat mendukung sistem keluarga,
mencegah atau menunda kekambuhan karena keluarga mampu merawat
penderita Skizofrenia saat dirumah (Townsend, 2011).
c. Terapi group atau kelompok
Terapi kelompok untuk orang dengan Skizofrenia umumnya
berfokus pada rencana, masalah dan hubungan dalam kehidupan nyata.
Kelompok dapat berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi
tilikan atau suportif. Sejumlah penelitikan meragukan bahwa intepretasi
dinamik dan terapi tilikan bermanfaat untuk pasien Skizofrenia tipikal,
namun terapi kelompok efektif mengurangi isolasi sosial eningkatkan rasa
keterikatan, serta memperbaiki kemampuan uji realitas untuk pasien
Skizofrenia. Kelompok mengarahkan ke perilaku suportif dan bukannya
cara intepretatif, tampaknya paling berguna untuk pasien Skizofrenia
(Sadock dan sadock, 2010).
d. Terapi kognitif perilaku
Terapi kognitif perilaku telah digunakan pada pasien skizofrenia,
untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distrakbilitas, serta
mengoreksi kesalahan daya nilai. Pasien dengan halusinasi dan waham
juga dapat diatasi dengan metode ini demikian juga dengan pasien yang
20
mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya adalah yang
memiliki tilikan terhadap penyakitnya (Sadock dan Sadock, 2010).
e. Terapi perilaku
Dalam setting penanganan, pemberi layanan kesehatan dapat
menggunakan pujian dan penguatan yang positif lain kepada klien dengan
Skizofrenia untuk mengurangi frekuensi terjadinya perilaku menyimpang
yang maladaptive (Townsend, 2009).
f. Terapi kognitif
Terapi kognitif diperlukan pasien dengan Skizofrenia dengan
asumsi bahwa tingkah laku-tingkah laku dan emosi-emosi yang
bermasalah dapat disebabkan karena proses-proses berpikir dan
kepercayaan-kepercayaan yang salah (Semiun, 2006). Terapi kognitif
berusaha menguraikan distorsi pikiran pasien dan membantunya
mempelajari berbagai macam cara yang berbeda dan lebih realistis untuk
memproses dan menguji-realitas informasi (Nelson-Jones, 2011).
g. Milieu Therapy
Beberapa perawat klinik percaya bahwa terapi lingkungan atau
mileiu therapy dapat tepat untuk menangani klien dengan Skizofrenia,
hasil penelitian menyangkut pengobatan psikotropik akan lebih efektif
pada tingkat perawatan ketika terapi lingkungan digunakan sepanjang
waktu dan terapi lingkungan lebih berhasil digunakan bersama dengan
pengobatan (Sadock dan Sadock, 2007 dalam Townsend, 2011).
21
h. Social Skill Trainning
Social Skill Trainning bertujuan untuk meningkatkan kemampuan-
kemampuan orang-orang untuk melaksanakan performe di dalam sosial
dan hubungan-hubungan interaktif. Pelatihan termasuk adalah penilaian
atas defisit-defisit ketrampilan pelatih yang hubungan antar pribadi dan
kelebihan-kelebihan (yaitu tidak memperhatikan orang-orang atau
menatap terlalu bersungguh-sungguh, pembicaraan terlalu nyaring, dengan
tenang atau secara monoton), analisa dari seberapa baik orang-orang
mengambil dan proses secara teori interpersonal isyarat, dan menilai
praktek dari lisan yang spesifik dan bukan keahlian berkomunikasi lisan
(Barke, 2009).
i. Assertive community Treatment
Assertive Community Treatment (ACT) adalah suatu program dari
manajemen kasus yang mengambil suatu pendekatan tim di dalam
menyediakan perawatan menyeluruh, yang menangani masalah psikiatris
dan berbasis masyarakat, rehabilitasi, dan dukungan kepada orang-orang
dengan penyakit jiwa yang serius dan menetap seperti Skizofrenia. ACT
secara efektif dapat menurunkan risiko perawatan inap kembali bagi orang
dengan Skizofrenia, namun merupakan program yang padat-karya dan
mahal untuk diterapkan (Sadock dan Sadock, 2010).
22
B. Insight
1. Pengertian Insight
Stuart (2009) menyatakan insight merupakan pemahaman pasien yang
bersifat alami tentang masalah atau penyakitnya. Menurut Ibrahim (2011),
kemampuan untuk mengetahui dengan baik tentang keadaan dirinya. Perawat
perlu mengetahui apakah pasien menyalahkan orang lain atau faktor eksternal
(Stuart dan laraia, 2005).
2. Psikopatologi insight
Ketiadaan insight menunjukkan ketidakmampuan mengenal gejala dan
tidak menyepakati perawatan (Fontaine, 2009). Insight berkisar antara denial
komplet, sampai pada pengenalan samar-samar dari penyakit (Chakraborty &
Basu, 2010). Ketiadaan insight dihubungkan pada pertahanan psikologis
terhadap koping strategi, biasanya berkenaan dengan system cortical frontal
(Shad et al., 2007). Hubungan antara insight lemah pada Skizofrenia dan otak
kanan akibat lesi neurologi hemisper kanan (Shad et al., 2006). Pelebaran
ventrikel & volume otak yang mengecil juga dihubungkan dengan ketiadaan
insight (Flashman et al., 2000). Penurunan volume orbito bagian tengah
sebelah kanan berhubungan dengan misattribution pada gejala (Shad et.al,
2006).
Sapara et al. (2007) mengamati hubungan antara volume substansi
prefrontal kelabu yang lebih kecil dan rendahnya insight pada penyakit dan
gejala-gejalanya. Ha et al. (2004) melaporkan suatu hubungan yang negatif
antara insight dan pusat konsentrasi-konsentrasi dan substansi kelabu dari dua
23
belah pihak di dalam (pertengahan) daerah-daerah temporal dan cingulated.
Volume substansi kelabu yang rendah dalam temporal dan parietal regions
yang telah diimplikasikan dalam monitoring diri, kerja memori dan akses
status mental secara internal yang dihubungan dengan insight yang buruk
(Cooke etal., 2008).
3. Aspek klinis insight dalam penyakit Skizofrenia
Insight sangat mempengaruhi aspek klinis penyakit Skizofrenia antara
lain: beratnya penyakit: Ketidaksadaran akan gejala adalah berhubungan
dengan beratnya penyakit Skizofrenia (De Hert et al., 2009). Insight berubah
tergantung tahap penyakit (Smith et al., 1998). Gejala Skizofrenia: Terdapat
hubungan antara insight dan gejala-gejala dari Skizofrenia. Hubungan antara
ketiadaan insight dan gejala-gejala secara global (David et al.,1992), gejala-
gejala positif (Amador et al., 1994) dan gejala-gejala negatif (Amador et al.,
1994).Gejala depresi: gejala depresi meningkat maka insight meningkat.
Insight berhubungan dengan peningkatan ide dan aksi bunuh diri (Kim et al.,
2003). Ketaatan terhadap pengobatan: ada asosiasi yang jelas antara insight
dan ketaatan dan pengobatan / perawatan (Buckley et al., 2007). Kualitas
hidup: Sim et al. (2006) menemukan perasaan kesejahteraan yang lebih luas
pada pasien yang alami perbaikan insight dari waktu ke waktu. Perilaku
kekerasan: Kekerasan sering terjadi selama periode psikotik aktif yang
mempunyai insight lemah (Buckley et al., 2003).
24
4. Cara pengukuran insight
Insight pasien Skizofrenia diukur menggunakan instrumen The Beck
Cognitive Insight Scale (BCIS) yang berisi 15 item pertanyaan tentang
dimensi self-reflectiveness dan dimensi self-certainty (Mohamed et al., 2009).
Menurut Merlin et al. (2012), insight juga dapat diukur menggunakan
instrumen BCIS-T atau Beck Cognitive Insight Scale-Tool yang mengukur
self reflectiveness, keterbukaan menerima feedback dari luar, self certainty
dam kemutlakan self-refrectiveness. Dimensi yang digunakan untuk
mengukur insight antara lain:
a. Self-Reflectiveness
Menurut Gutiérrez-Zotes et al. (2012), Self-Reflectivennes adalah
yang diharapkan dimiliki dengan intensitas yang tinggi karena hal ini
kemampuan merefleksikan diri pada kondisi yang lalu dan pasien harus
mampu menerimanya sebagai suatu kenyataan yang dapat dilihat dari: 1)
Suatu saat, aku salah memahami sikap orang lain terhadapku, 2) Orang
lain memahami penyebab pengalamanku melebihi aku, 3) Aku mengambil
atau membuat kesimpulan terlalu cepat, 4) Banyak yang ideal dariku dan
ku yakini ternyata adalah salah, 5) Pengalamanku terjadi sangat nyata dan
telah aku kaitkan dengan imajinasiku, 6) Aku merasa betul-betul adalah
benar, aku bisa jadi bersalah. 7) Jika seseorang menilai aku keluar dari
yang kuyakini itu salah, 8) Ada beberapa alasan orang lain melakukan
cara seperti itu, 9) Pengalamanku yang tidak biasa berkaitan dengan
perasaanku yang ekstrem, mengganggu dan menekan.
25
b. Self-Certainty
Menurut Gutiérrez-Zotes et al. (2012), Self-certainty merupakan
kemampuan memastikan dirinya sesuai dengan realita yang ada, mampu
menyadari kekeliruan yang diyakini dan mampu menerima masukan dari
orang lain. Self certainty ini dapat diketahui dengan menjawab pernyataan
berikut: 1) Penafsiranku terhadap pengalamanku adalah kepastian, 2) Jika
sesuatu yang aku rasa benar adalah kebenaran. 3)Aku mengetahui lebih
baik dari apa yang diketahui orang lain, 4) Orang tak setuju dengan
pendapatku, adalah salah, 5) Aku tidak percaya pendapat orang lain
tentang pengalamanku, 6) Aku percaya pertimbanganku sendiri yang akan
datang.
5. Terapi untuk memperbaiki insight
Terapi kepatuhan dapat memperbaiki insight (McIntosh et al.,
2006).Rathod et al. (2005) menemukan ketiadaan insight dapat diperbaiki
dengan CBT, efektifitas CBT untuk memperbaiki ketaatan dalam pengobatan
lebih mungkin daripada psychoeducation tradisional secara individu
(Zygmunt et al., 2002).
C. Kualitas Hidup
1. Pengertian kualitas hidup
Kualitas hidup dapat ditentukan oleh beberapa area, salah satunya
adalah kesehatan. Hubungan antara kesehatan dengan kualitas hidup adalah
sebuah konsep sempit (Saarni, 2008 dalam Viertio, 2011). Kualitas hidup
26
dapat ditentukan oleh kesehatan dan perawatan kesehatan. Kesehatan
dianggap dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang karena gangguan
penyakit dapat menyebabkan batasan fungsional dan akhirnya menjadi cacat
(Verbrugge dan Jette, 1994 dalam Viertio, 2011).
Kualitas hidup pada dasarnya mengacu pada kehidupan yang baik
tetapi tidak ada definisi yang ketat. Definisi multi-dimensi mencakup tiga
dimensi dalam kualitas hidup: 1) pengalaman positif dan kebahagiaan yang
subyektif, 2) kemampuan untuk berfungsi dan 3) tersedianya gaya hidup
tertentu dan sumber daya material (Lehman, 1997 dalam Vertio, 2011). WHO
tahun 1998, mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu dari
posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks system budaya dan nilai di
mana mereka hidup dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka, harapan,
standar dan kekhawatiran (Vertio, 2011). Kesehatan yang berhubungan
dengan kualitas hidup (HRQOL) menyempit pertimbangan aspek-aspek
kualitas hidup yang terlibat dampak positif atau negatif oleh kesehatan dan
intervensi kesehatan perawatan medis.
Kualitas hidup dapat berubah setiap waktu (Pitkanen, 2010), konsep
kualitas hidup telah didefinisikan sebagai komponen subyektif dan obyektif.
Komponen subyektif ditujukan secara langsung pada pengalaman hidup,
kemudian sering dihubungkan dengan istilah kebahagian, kesejahteraan dan
kepuasan. Sedangkan kompenen obyektif ditujukan pada fenomen yang
mempengaruhi pengalaman subyektif tersebut antara lain: fungsi sosial,
kondisi kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, keuangan, perubahan dan
27
aktivitas rekreasi. (Barry & Zissi 1997, Haas 1999, Bowling 2005 dalam
Pitkanen, 2010.)
2. Pengukuran kualitas hidup
Ada ratusan instrument untuk mengukur kualitas hidup, meskipun
banyak dari mereka yang jarang digunakan (Garratt et al., 2002 dalam Virteo,
2011). Secara teknis, pengukuran dapat dilakukan secara wawancara
terstruktur maupun diisi oleh pasien sendiri (Garratt et al., 2002dalam Virteo,
2011). Penilaian kualitas memiliki fokus yang berbeda pada masing-masing
instrumen: kesejahteraan emosional, kesejahteraan psikologis, kesejahteraan
sosial, peran sosial, kesehatan fisik, dan fungsi (Bowling 2003 dalam Pitkanen
2010). Bentuk instrumen juga dapat berbeda, ada satu-item skala termasuk
pertanyaan global tunggal, multi-item skala menghasilkan skor tunggal total,
dan multi-item skala menghasilkan profil item (Fayers &Machin2007 dalam
Pitkanen, 2010). Instrumen kualitas hidup yang digunakan dalam penelitian
psikiatri dan pengaturan klinis biasanya multi-item (skala) dan mencakup area
kualitas hidup seperti fisik, fungsi psikologis dan sosial (Danovitch
&Endicott2008 dalam Pitkanen, 2010).
Kualitas hidup pada semua orang yang menderita penyakit kronis tidak
sama. Orang yang satu dengan yang lain mempunyai wilayah penting yang
berbeda dalam kehidupannya, hal ini tergantung pada penyakit mereka dan
cacat yang ditimbulkan serta jenis kelamin (Bowling, 1996 dalam Vertio,
2011).Dalam sebuah survei terhadap rumah tangga di Inggris, Bowling
menemukan bahwa mereka yang melaporkan penyakit kronis dianggap bahwa
28
efek yang paling penting dari penyakit mereka terhadap kehidupan mereka
kemampuan untuk keluar dan pergi berbelanja, mampu bekerja dan efek pada
kehidupan sosial. Subjektif kualitas hidup berarti kepuasan kehidupan global
seperti yang didefinisikan oleh responden. Hal ini diukur dengan meminta
individu untuk menilai kualitas hidup mereka saat ini secara keseluruhan,
pada skala visual analogue (VAS) dari 0 sampai 10, berlabuh dikualitas hidup
terbaik dan terburuk (Vertio, 2011).
Ada dua strategi untuk menilai kualitas hidup, subyektif dan obyektif.
Penilaian subyektif merupakan penilaian individu-nya atau kondisi objektif
kehidupannya. Penilaian obyektif berfokus pada data yang dapat dikumpulkan
tanpa secara langsung mengamati individu yang dinilai, Untuk pekerjaan
misalnya, kontak social dan kemandirian akomodasi (Priebe 2007 dalam
Virteo, 2011).
Validitas penilaian diri pasien dengan Skizofrenia telah dipertanyakan
karena kurangnya wawasan pasien terhadap penyakit dan gangguan kognitif
mereka. Disisi lain, sebagian besar pasien kejiwaan yang mampu menilai
kualitas hidup mereka dengan cara yang kredibel, juga pasien secara klinis
sesuai dan stabil dengan Skizofrenia. Disarankan untuk menggunakan metode
penilaian baik subyektif dan obyektif antara pasien yang menderita gangguan
mental yang berat, terutama ketika menggunakan penilaian kualitas hidup
sebagai kerangka kerja untuk perencanaan perawatan (Bengtsson-Tops etal.
2005 dalam Pitkanen, 2010).
29
3. Domain kualitas hidup
a. Domain pasikologis
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan Skizofrenia
kualitas hidup yang rendah dapat dikaitkan dengan domain psikologis kualitas
hidup. Domain psikologis meliputi berbagai jenis gejala kejiwaan, seperti
kecemasan, depresi, psikosis dan efek samping obat. Selain itu, rendahnya
self-efficacy, harga diri dan stigma dirasakan, serta strategi penanganan yang
negatif, rendahnya kemampuan pemecahan masalah, dan sikap negatif
terhadap obat anti psikotik merupakan penentu dari domain psikologis
kualitas hidup, yang dapat mengganggu kualitas hidup pasien dengan
Skizofrenia (Pitkanen, 2010).
b. Domain fisik
Kualitas hidup yang berkurang di antara pasien dengan Skizofrenia
dapat dikaitkan dengan domain fisik kualitas hidup sebagai keadaan fisik yang
lemah, Kualitas hidup terganggu juga dikaitkan dengan tingkat kemandirian.
Pasien yang memiliki masalah dalam fungsi psikososial, tingginya tingkat
kebutuhan yang tak terpenuhi dan rendahnya jumlah kegiatan sehari-hari.
(Marwaha etal. 2008 dalam Pitkanen, 2010) telah membuktikan pasien
Skizofrenia mengalami gangguan dalam kualitas hidup. Selain itu lamanya
dirawat dirumah sakit jiwa, banyak penerimaan kejiwaan sebelumnya dan
penyalahgunaan alkohol pasien ini berhubungan dengan gangguan kualitas
hidup (Pitkanen, 2010).
30
c. Domain hubungan sosial
Kualitas hidup yang terganggu pada pasien dengan Skizofrenia juga
dapat dikaitkan dengan hubungan sosial, seperti dukungan sosial yang lemah,
kesepian dan jumlah kontak sosial yang memuaskan dengan anggota keluarga.
d. Domain lingkungan
Hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan pasien juga dapat
mengganggu kualitas hidup, tidak punya pekerjaan atau menjadi penganggur
atau ketidakpuasan dengan situasi kerja dan sarana keuangan yang tidak
memadai juga berhubungan dengan gangguan kualitas hidup. Selain itu,
gangguan kualitas hidup berkorelasi dengan kegiatan rekreasi yang berarti dan
hanya sedikit, keselamatan pribadi miskin, dan menjadi korban
kejahatan(Pitkanen, 2010).
4. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tomotake (2011) menunjukkan
depresi dan gejala positif kemungkinan menjadi faktor penting yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien Skizofrenia secara subjektif.
Selain itu, faktor-faktor klinis lain seperti kecemasan, efek samping
ekstrapiramidal, dan tanggap subyektif pasien dan sikap terhadap pengobatan
antipsikotik dan penyakitnya telah secara signifikan berhubungan dengan
kualitas hidup pasien secara subyektif. Faktor klinis berhubungan dengan
kualitas hidup secara obyektif, faktor klinis tersebut antara lain lama sakit,
frekuensi dirawat, dosis neuroleptik, gejala positif, gejala negatif, gejala
31
ekstrapiramidal dan gejala depresi). Ada beberapa studi yang meneliti
hubungan antara keterampilan hidup dan kualitas hidup pada orang dengan
Skizofrenia. Normanetal. Melaporkan signifikan hubungan antara
keterampilan hidup, subyektif QOL dan obyektif QOL pada subyek dengan
Skizofrenia atau gangguan schizoaffective (Tomotake, 2011).
Disfungsi kognitif dianggap terkait dengan kegiatan sosial yang
menurun, akuisisi miskin keterampilan sosial selama progam rehabilitasi
program,dan menurunkan kualitas hidup. Hal ini karena disfungsi kognitif
memungkinkan pasien mengalami gangguan memori, gangguan perhatian,
gangguan kefasihan verbal dan fungsi eksekusi. Beberapa penelitian
sebelumnya kelompok telah meneliti hubungan antara Kualitas hidup dan
fungsi kognitif pada orang dengan Skizofrenia, dan melaporkan korelasi yang
signifikan antara kualitas hidup dan beberapa domain kognitif
berfungsi seperti memori verbal, kosakata, kefasihan kinerja, perhatian,
pengetahuan sosial, dan fungsi eksekutif Fungsi (Tomotake, 2011).
D. Hubungan Insight Dengan Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia
Hasil penelitian Fransisco (2002) menunjukkan adanya korelasi antara
tingkat insight dan fungsi interpersonal, secara klinis dilakukan analisis dan
hasilnya menunjukkan bagaimana kemampuan untuk relabel peristiwa mental
yang tidak biasa sebagai sesuatu yang abnormal sangat terkait dengan
kemampuan untuk memahami kausalitas sosial, yaitu,dengan logika dana kurasi
dari atribusi yang dibuat oleh subyek. Psikopatologi memiliki pengaruh besar
32
pada cara individu berhubungan dengannya atau dengan lingkungannya, dan
bahwa hubungan yang lebih kompleks dan akurat dengan realitas sosial dikaitkan
dengan tingkat yang lebih tinggi dari insight. Hubungan antara insight dan dua
area klinis (psikopatologi dan interaksi sosial), tingkat keparahan dari gejala
positif tampaknya langsung berhubungan dengan kurangnya insight, sedangkan
keparahan gejala negative tampaknya berkorelasi dengan interaksi interpersonal
yang lebih buruk, menyebabkan pasien menerapkan representasi yang kurang
kompleks dalam realitas sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien
(Fransisco, 2002)\
Menurut Gharabawi et al (2007) perubahan insight pasien Skizofrenia
terhadap penyakit dapat berpengaruh terhadap perubahan skore kualitas hidupnya.
Insight yang buruk dapat mempengaruhi cara dimana pasien dengan Skizofrenia
mengevaluasi keadaan hidup mereka. Insight dapat mempengaruhi
kemampuan pasien untuk menilai kualitas subjektif hidup mereka, sehingga
pasien mempunyai kecenderungan kepuasan hidup mereka akan menurun.
Gharabawi et al (2007).
Faktor Predisposisi dan Presipitasi skizofrenia:GenetikStres psikososialFaktor lingkunganFaktor neuroanatomi dan neurokimiaFaktor imunovirologiStres perinatal
Skizofrenia
Gejala negatif:Sikap apatisKemiskinan bicaraKurang motivasiAfek lambat dan tumpulIsolasi sosial
Gambar 3.1. Kerangka Teori Penelitian (Puri et al, 2011, Varcarolis dan halter, 2011; Townsend, 2011; Videbeck, 2008; Gutiérrez-Zotes et al. (2012)
Gejala positif:HalusinasiWahamInterferensi pikiranBicara dan perilaku yang tidak teraturEchopraxia,flight of ideasPerseverasiAsosiasi longgar Penanganan:
PsikofarmakaTerapi keluargaTerapi kelompokTerapi kognitif perilakuTerapi perilakuSocial skill trainingTerapi kognitifMileu terapiAcertive community treatment
Insight:Self reflectionSelf Certainty
Kualitas hidup:SubyektifObyektif
33
BAB III
KERANGKA KERJA PENELITIAN
A. Kerangka Teori Penelitian
: yang akan diteliti
Domain kualitas hidup1. Domain psikologis2. Domain fisik
Variabel bebas Variabel terikat
Insight Kualitas hidup pasien
Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian
34
B. Kerangka Konsep Penelitian
C. Variabel Penelitian
Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebaga ciri, sifat, atau ukuran yang
dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian
tertentu (Notoatmojo, 2005). Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti
adalah:
1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi dan menentukan
variabel terikat (Notoatmodjo, 2005). Variabel bebas pada penelitian ini
adalah insight.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas
(Notoatmodjo, 2005). Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi
atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini
adalah kualitas hidup.
35
D. Hipotesis Penelitian
hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian. Hasil suatu
penelitian pada hakikatnya adalah suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang
telah dirumuskan. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian, maka
hipotesis ini dapat benar atau salah, dapat diterima atau ditolak (setiadi, 2007)
Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara insight dengan
kualitas hidup pasien skizofrenia di Poliklinik RSJ Prof. Dr Soeroyo Magelang
E. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala
Insight Insight merupakan pemahaman pasien tentang masalah atau penyakitnya bagi pemahaman dirinya yang telah mengalami gangguan jiwa maupun kemampuan menerima saran, informasi dan nasehat dari orang lain tentang penyakitnya
Kuesioner yang berasal dari the beck cognitive insight scale yang teah dimodifikasi, berisi 20 item pertanyaan berbentuk skala likert (setuju skor 2, ragu-ragu skor 1 dan tidak setuju skor 0)
Insight baik jika skor 21-40Insight buruk jika skor 0-20
skor tertinggi adalah 40 dan skor terendah adalah 0
Nominal
Kualitas hidup
Persepsi individu dari posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks system budaya dan nilai dimana mereka hidup dan dalam hubungannya
Kuesioner yang berasal dari skala wawancara Lehman modifikasi, berbentuk skala likert berisi 20 item soal berbentuk
Kualitas hidup tinggi 21 – 40Kualitas hidup rendah skor 0-20
Nominal
36
dengan tujuan mereka, harapan, standar dan kekhawatiran yang dapat diukur secara obyektif dan subyektif meliputi dimensi fisik, psikososial, hubungan social
skala likert(setuju skor 2, ragu-ragu skor 1 dan tidak setuju skor 0)
Skor tertinggi adlah 40 dan skor terendah adalah 0
Tabel 3.1. Definisi Operasional
37
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian diskriptif korelasional, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel
atau lebih (Sugiyono, 2007). Desain penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah rancangan cross sectional. Desain cross sectional ini
dipilih karena peneliti ingin mempelajari hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat dengan melakukan pengukuran sesaat
(Sastroasmoro & Ismael, 2006). Desain penelitian ini peneliti pilih karena
ingin mengetahui hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien
skizofrenia di Poliklinik RSJ Prof Dr Soeroyo Magelang.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti, yang harus
dapat mendeskripsikan pertanyaan siapa, di mana, dan kapan penelitian
dilakukan (Wasis, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien
skizofrenia yang sedang melakukan rawat jalan di Poliklinik RSJ Prof. Dr.
Soeroyo Magelang. Jumlah rata-rata pasien rawat jalan yang dihitung berdasar
38
jumlah pasien 3 bulan terakhir (agustus-oktober 2012) yaitu sejumlah 186
orang.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang dipilih dengan sampling
tertentu untuk bisa memenuhi/mewakili populasi (Nursalam & Pariyani,
2001). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Pasien yang datang di poliklinik Rsj. Prof. Dr. Soeroyo Magelang dan
diantar oleh keluarganya.
b. Sudah membaik status mentalnya seperti orientasi terhadap waktu, tempat
dan orang baik.
c. Pernah menjalani pengobatan sebelumnya (baik rawat inap maupun rawat
jalan)
d. Berumur 18 – 55 tahun
e. Dapat membaca dan menulis (tidak buta huruf)
f. Bersedia menjadi responden.
Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
a. Skor BPRS ( Brief psikiatri rating skale ) tinggi
b. Tidak bisa berkomunikasi secara verbal
c. Tidak mempunyai keluarga
d. Mempunyai penyakit fisik yang bisa mempengaruhi dalam bekerja.
Karena jumlah populasi di bawah 10.000 responden, maka penentuan besar
sampel dihitung menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2003, Wasis, 2008).
39
Gambar 4.1. Rumus Penghitungan Sampel
Dimana :
N : Besar Populasi
n : Besar sampel
d : Penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan yaitu sebesar
10% atau 0,1
penghitungan :
n= 1861+186 (0,1)
n=56
Jadi jumlah sampel yang didapatkan berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan rumus tersebut sebanyak 56 responden. Teknik pengambilan
sampel dilakukan dengan cara Consecutive sampling yaitu pemilihan sampel
dengan menetapkan kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai
kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi
(Nursalam, 2003).
C. Tempat dan Waktu Penelitian
n= N
1+N (d2)
40
Penelitian akan dilakukan di poliklinik Rsj. Prof. Dr. Soeroyo Magelang
selama bulan februari 2013
D. Alat Pengumpul Data
Instrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa lembar
kuesioner yang disusun sendiri menggunakan konsep tentang insight dan kualitas
hidup pasien skizofrenia serta kuesioner tentang insight dan kualitas hidup yang
telah ada. Lembar kuesioner yang digunakan terdiri dari: Bagian A terdiri 8
(delapan item pertanyaan tentang karakteristik responden yang meliputi : Jenis
kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan dan lama menderita
skizofrenia, frekuensi dirawat, terapi yang diberikan. Bagian B terdiri dari 10
(sepuluh) item pernyataan tentang insight (Self-Reflection), 10 (sepuluh item
soal) tentang insight (self certainty) dan bagian C terdiri dari 20 item soal tentang
kualitas hidup.
Tabel.4.1 Kisi-Kisi Soal Dalam Kuesioner
NoVariabe
lDimensi Indikator
Jumlah butir & nomor item
1. Insight Self-reflectiveness
a. Pemahaman diri
b. Penilaian terhadap pengalaman diri
c. Perasaan terhadap diri
d. Pengalaman diri
e. Penyimpulan diri
1,2
3,4
5,6
7,8
9,10
Self-certainty a. Kepercayaan 1,2
41
terhadap orang lain
b. Kemampuan menerima feedbeck/informasi
c. Pemahaman terhadap permasalahan diri
d. Pengakuan terhadap kebenaran diri
e. Kemampuan mengambil pertimbangan
3,4
5,6
7,8
9,10
202. Kualitas
hidupSubyektif a. Kepuasan
penghasilanb. Kepuasan
hubungan sosial
c. Kepuasan pekerjaan
1,2
3
4,5
Obyektif a. Pengaturan minum obat
b. Transportasi dan berbelanja
c. Pelaksanaan hubungan sosial
d. Pelaksanaan pekerjaan
6,7,8,9
10,11,12
13,14,15,16
17,18,19,20
20
E. Validitas dan Reliabilitas Pengumpul Data
1. Validitas kuesioner
42
Validitas atau kesahihan isi kuesioner berkaitan dengan permasalahan
“apakah instrumen yang dimaksudkan memang dapat mengukur secara tepat
sesuatu yang akan diukur tersebut” (Nursalam, 2003). Untuk mengetahui
bahwa kuesioner ini dapat mengukur apa yang diukur maka telah dilakukan
uji validitas pada tanggal 2 Februari 2013 yaitu dengan uji validitas dari isi
kuesioner dengan menggunakan 20 penderita skizofrenia yang tidak termasuk
dalam sampel penelitian di Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, yang
kemudian hasil dari kuesioner yang terisi diolah dengan bantuan komputer
program SPSS 17.0 menggunakan uji korelasi product moment.
Hasil perhitungan dikatakan valid apabila nilai r-hitung lebih besar
dari r-tabel (dimana dengan N = 20 dengan taraf signifikansi 5 % adalah
0,444) maka dinyatakan seluruh item soal tentang konflik peran ganda dan
prestasi kerja dalam kuesioner adalah valid atau signifikan (Sugiyono, 2000).
Hasil perhitungan uji validitas didapatkan antara lain: untuk 15 item
soal dalam kuesioner tentang insight penderita skizofrenia mempunyai skor
total berkisar antara 0,525 – 0,832. Hasil pengukuran ini dikonsultasikan
dengan angka kritik tabel korelasi nilai r dengan N=20 adalah taraf
signifikansi 5% nilai r=0,444 dan pada uji coba instrumen 15 item soal
tentang insight pasien skizofrenia mempunyai nilar r di atas 0,444, sehingga
dapat dikatakan bahwa ke-15 item soal dalam kuesioner ini valid pada taraf
signifikansi 5%. Hasil perhitungan uji validitas secara terperinci dapat dilihat
pada Lampiran 5.
43
Hasil perhitungan uji validitas juga didapatkan antara lain: untuk 15
item soal dalam kuesioner tentang kualitas hidup penderita skizofrenia
mempunyai skor total berkisar antara 0,444 – 0,964. Hasil pengukuran ini
dikonsultasikan dengan angka kritik tabel korelasi nilai r dengan N=20 adalah
taraf signifikansi 5% nilai r=0,444 dan pada uji coba instrumen 15 item soal
tentang kualitas hidup pasien skizofrenia mempunyai nilar r di atas 0,444,
sehingga dapat dikatakan bahwa ke-15 item soal dalam kuesioner ini valid
pada taraf signifikansi 5%. Hasil perhitungan uji validitas secara terperinci
dapat dilihat pada Lampiran 5. Jumlah item soal yang digunakan untuk
mengukur kualitas hidup pasien skizofrenia dalam penelitian ini adalah 15
item soal pernyataan.
2. Reliabilitas kuesioner
Uji reliabilitas kuesioner juga telah dilakukan dengan bantuan software
SPSS 17.0. Hasil analisis uji reliabilitas untuk semua item soal dalam
kuesioner insight adalah alpha antara 0,863 - 0,902. Hasil pengukuran ini di
atas alpha 0,60, sehingga dapat dikatakan kuesioner tentang insight pasien
skizofrenia adalah reliabel. Hasil analisis uji reliabilitas untuk semua item soal
dalam kuesioner kualitas hidup adalah alpha antara 0,942 - 0,953. Hasil
pengukuran ini di atas alpha 0,60, sehingga dapat dikatakan kuesioner
tentang kualitas hidup pasien skizofrenia adalah reliabel.
F. Metode Pengumpulan Data
44
Pengumpulan data akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari institusi kepada
Direktur Rumah Sakit Jiwa Prof Dr.Soeroyo Magelang
2. Setelah peneliti mendapatkan surat persetujuan dari Direktur, selanjutnya
surat ijin tersebut digandakan dan ditunjukkan kepada kepala Ruang
Poliklinik tempat pengambilan data akan dilakukan.
3. Dilakukan seleksi menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi, yang masuk
didalam kriteria diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat dari penelitian
atau calon responden yang bersedia menjadi responden penelitian diminta
untuk menandatangani surat persetujuan menjadi responden.
4. Penderita yang bersedia menjadi responden diberikan kuesioner penelitian
kemudian diberi penjelasan tentang cara pengisian kuesioner dan responden
diminta untuk melakukan pengisian kuesioner bagian A, bagian B, dan bagian
C dan D. Pengisian dilakukan oleh responden sendiri
5. Pada saat pengisian lembar kuesioner, peneliti berada di dekat responden.
6. Setelah pengisian kuesioner selesai, peneliti akan menarik atau meminta
kembali kuesioner yang telah terisi untuk kemudian diperiksa kelengkapan
halaman dan kelengkapan jawaban (editing). Editing dilakukan dengan
memeriksa jumlah halaman kuesioner dan kelengkapan isian jawaban
perawat. Jika terdapat halaman kusioner yang tidak lengkap, maka kuesioner
tersebut dinyatakan drop out atau tidak layak dilibatkan dalam pengolahan
data. Jika ada beberapa soal yang belum dijawab, maka perawat segera
diminta untuk melengkapi isian jawaban yang belum lengkap dan jika tidak
45
mau maka langsung diberi tanda drop out, jika ada yang drop out maka
perawat akan mencari pengganti dengan responden yang lain. Kuesioner yang
lengkap halaman maupun jawabannya segera diberikan nomor responden
untuk kemudian akan dilakukan pengolahan data. Kuesioner yang tidak layak
dilakukan pengolahan data akan dimusnahkan dengan cara dibakar.
G. Etika Penelitian
Setelah penyusunan laporan penelitian disetujui oleh kedua pembimbing
dan telah diujikan, Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi
Waluyo membuat surat permohonan kepada Direktur Rumah Sakit Jiwa Prof Dr.
Soeroyo Magelang yang selanjutnya mengeluarkan ijin untuk dapat melanjutkan
penelitian. Peneliti menentukan masalah etika penelitian kepada calon responden
diantaranya yaitu :
1. Informed consent (Lembar persetujuan)
Lembar persetujuan disampaikan kepada responden dan dijelaskan maksud
dan tujuan penelitian, setelah responden menyetujui untuk menjadi responden,
kemudian diminta untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah
disiapkan.
2. Anonymity (Tanpa nama)
Untuk menjamin kerahasiaan subyek penelitian, maka dalam lembar
persetujuan maupun lembar kuesioner nama dan identitas responden tidak
dicantumkan. Peneliti hanya mencantumkan umur, pendidikan, status
perkawinan, pekerjaan dan lama sakit/menderita skizofrenia menggunakan
46
kode tertentu untuk masing-masing responden yang berupa nomor urut
responden pada waktu pengambilan data dilakukan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Informasi ataupun masalah-masalah lain yang telah diperoleh dari responden
disimpan dan dijamin kerahasiaannya, informasi yang diberikan oleh
responden tidak akan disebarluaskan atau diberikan kepada orang lain tanpa
seijin yang bersangkutan.
4. Beneficence
Penelitian yang dilakukan dengan melibatkan pasien sebagai responden
mengandung konsekuensi bahwa semuanya demi kebaikan pasien, guna
mendapatkan suatu metode dan konsep yang baru untuk kebaikan pasien
(Wasis, 2008).
5. Nonmaleficence
Penelitian keperawatan mayoritas menggunakan populasi dan sampel manusia
(pasien). Oleh karena itu, sangat berisiko terjadi kerugian fisik dan psikis
terhadap subjek penelitian. Jika penelitian dilakukan oleh peneliti pemula,
biasanya juga akan timbul rasa cemas, takut dan keraguan pada pasien.
Penelitian yang dilakukan oleh perawat hendaknya tidak mengandung unsur
bahaya atau merugikan pasien, apalagi sampai mengancam jiwa. Penelitian
adalah upaya baik untuk pengembangan profesi. Namun, jika sampai
mengorbankan pasien atau mendatangkan bahaya bagi pasien sebaiknya
penelitian tersebut dihentikan (Wasis, 2008).
6. Veracity
47
Proyek penelitian yang dilakukan oleh perawat hendaknya dijelaskan secara
Jujur tentang manfaatnya, efeknya, dan apa yang didapat jika pasien
dilibatkan dalam proyek tersebut. Penjelasan seperti ini harus disampaikan
kepada pasien karena mereka mempunyai hak untuk mengetahui segala
informasi kesehatannya secara periodik dari perawat (Wasis, 2008).
H. Pengolahan Data
Pengolahan data akan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :
1. Editing
Editing data dilakukan untuk meneliti setiap daftar pertanyaan yang
sudah diisi. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan
konsistensi dari setiap jawaban. Editing dilakukan segera setelah peneliti
menerima kuesioner yang telah diisi oleh responden, sehingga apabila terjadi
kesalahan data dapat segera diperbaiki.
2. scoring
Dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing jawaban
dengan kode berupa angka, selanjutnya dimasukkan ke dalam lembaran tabel
kerja untuk mempermudah pengolahan. Untuk insight setuju skor 2, ragu-
ragu 1 dan tidak setuju 0 dan untuk pertanyaan tentang kualitas hidup setuju
kode 2, ragu-ragu 1 dan tidak setuju 0.
3. Coding
Proses coding dilakukan setelah pemberian skor pada jawaban atas
smua pertanyaan, kemudian dihitung skor total dari insight dan kualitas hidup.
Hasil dari skor total tersebut kemudian dikonsultasikan pada kategori, pada
48
insight jika hasil skor total berada pada range 0-20 maka termasuk dalam
insight buruk dan diberi kode 1, jika skor total skor pada range 21-40 maka
insight baik dan diberi kode 2. Demikian juga pada kualitas hidup, jika hasil
skor total berada pada range 0-20 maka termasuk dalam kualitas hidup rendah
dan diberi kode 1, jika berada hasil berada pada range 21-40 beerarti kualitas
hidup tinggi dan diberi kode 2.
4. Tabulating
Kegiatan atau langkah memasukkan data berupa angka-angka ke
dalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria. Tabulating dilaksanakan setelah
proses coding selesai.
5. Entry data
Entry data adalah kegiatan atau langkah memasukkan data-data hasil
penelitian ke dalam program aplikasi statistik SPSS (Statistical Product
Service and Solutions) untuk pengujian statistik. Entry data dilaksanakan saat
dilakukan analisa data.
6. Cleansing
Cleansing adalah memeriksa ulang data dan melakukan pembersihan
data pada data yang tidak diperlukan
I. Analisis Data
Data yang telah terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data
dengan menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS 17.0. Adapun
analisis data akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut antara lain:
49
1. Analisis univariate
Analisa univariate merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap
variabel dari hasil penelitian, dan pada umumnya hanya menghasilkan
distribusi dan prosentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2003). Analisa akan
dilakukan menggunakan uji distribusi frekuensi. Analisa ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran distribusi frekuensi tentang karakteristik responden
serta untuk mendeskripsikan masing-masing variabel antara lain: insight dan
kualitas hidup pasien skizofrenia dan akan disajikan dalam bentuk tabel dan
narasi.
2. Analisis bivariate
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan atau koefisien
korelasi antar variabel penelitian, yaitu variabel bebas (insight) dan variabel
terikat (kualitas hidup) yang masing-masing berskala data nominall dan
nominal, maka untuk menguji hipotesis akan dilakukan dengan bantuan
komputer dengan menggunakan program SPSS dengan uji Chi-Square (X2).
Dengan pertimbangan penelitian ini termasuk dalam penelitian non
parametrik karena datanya termasuk data kategori, skala pengukuran
keduanya menggunakan nominal-nominal dan jumlah sampel yang digunakan
banyak
Kesimpulan penerimaan uji hipotesis statistik dibuat dengan
ketentutan Ho ditolak, apabila p value (0,004) < α ( 0,05) artinya ada
hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien skizofrenia, dan Ho