BAB I - IV

80
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Skizofrenia merupakan salah satu penyakit gangguan jiwa yang paling banyak diderita oleh penduduk di belahan dunia, diperkirakan terdapat 450 juta orang mengalami gangguan jiwa dan 25 juta mengalami skizofrenia. Pada tahun 2000, prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1 %, tahun 2006 menjadi 0,46% penderita atau sekitar 1 juta penduduk (WHO, 2007). Pada tahun 2008, penderita skizofrenia di Indonesia meningkat menjadi sekitar 1-2 % penduduk (RISKESDAS, 2010). Isaacs (2005) menyatakan seseorang yang menderita penyakit skizofrenia sulit disembuhkan dan cenderung menahun. Dampak dari penyakitnya, penderita tidak saja dapat membebani ekonomi keluarga tetapi juga keluarga sebagai caregiver atau pemberi perawatan menjadi tidak produktif karena harus merawat anggota keluarganya.

Transcript of BAB I - IV

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan salah satu penyakit gangguan jiwa yang paling

banyak diderita oleh penduduk di belahan dunia, diperkirakan terdapat 450 juta

orang mengalami gangguan jiwa dan 25 juta mengalami skizofrenia. Pada tahun

2000, prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1 %, tahun 2006

menjadi 0,46% penderita atau sekitar 1 juta penduduk (WHO, 2007). Pada tahun

2008, penderita skizofrenia di Indonesia meningkat menjadi sekitar 1-2 %

penduduk (RISKESDAS, 2010).

Isaacs (2005) menyatakan seseorang yang menderita penyakit skizofrenia

sulit disembuhkan dan cenderung menahun. Dampak dari penyakitnya, penderita

tidak saja dapat membebani ekonomi keluarga tetapi juga keluarga sebagai

caregiver atau pemberi perawatan menjadi tidak produktif karena harus merawat

anggota keluarganya. Penyakit skizofrenia ditandai oleh distorsi pikiran dan

persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh efek yang tidak wajar atau tumpul

(Depkes RI, 1993). Penyakit ini sering didiagnosis selama awal masa dewasa

(25-45 tahun) (Semiun, 2006). Pasien skizofrenia umumnya mempunyai insight

(daya tilik diri) yang buruk, kondisi ini membuat mereka dibawa berobat ke

rumah sakit secara paksa atau atas kehendak keluarga karena tidak bisa

dipertahankan di rumah dan cenderung menyakiti diri sendiri dan lingkungannya

(Ibrahim, 2011). Insight merupakan pemahaman pasien yang bersifat alami

tentang masalah atau penyakitnya (stuart, 2009).

2

Insight merupakan sebuah konsep yang penting di dalam psikiatri klinis.

Meskipun beberapa tingkat insight telah diamati di dalam kondisi-kondisi ilmu

psikiatrik dan neurobiologi, ketiadaan insight secara umum sering dialami pasien

skizofrenia (Chakraborty & Basu, 2010).

Faget-Agius et al (2011) menyatakan ketiadaan insight pada pasien

skizofrenia telah dihubungkan dengan kerusakan pada kortek prefrontal, area

temporal, dan precuneus. Jaringan ini berhubungan dengan daerah yang

melibatkan pengalaman kesadaran dan kesadaran diri dalam kesehatan individu.

Bintao (2006) menyatakan ketiadaan insight merupakan gejala yang penting

dalam skizofrenia, hal ini berkaitan dengan fungsi kognitif dan strategi koping.

Ketiadaan insight merupakan hendaya kesadaran (awarness) atau pemahaman

atas kondisi psikiatrik dan situasi kehidupan dirinya, yang ditunjukkan dengan

kegagalan mengenali penyakitnya dan gejala-gejala psikiatrik yang lalu maupun

sekarang, menolak kebutuhan perawatan dan pengobatan, yang ditandai oleh

buruknya antisipasi terhadap konsekuensi, serta keputusan rencana jangka pendek

dan jangka panjang yang tidak realistik (Sinaga, 2007).

Ketiadaan insight sering dikaitkan dengan buruknya kepatuhan terhadap

pengobatan (Sadock & Sadock, 2011). Videbeck (2008) mengindikasikan bahwa

penderita skizofrenia yang gagal mengakui atau memahami penyakitnya sebagai

masalah kesehatan akan lebih membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang

yang konsisten, karena penyakit tersebut menyebabkan kesulitan yang kronis.

Aleman & Nolen (2011) menemukan ketiadaan insight terhadap penyakit dapat

berdampak pada penurunan kemampuan menjalin hubungan sosial dengan orang

3

lain, karena insight yang buruk mempengaruhi keterampilan sosial yang dimiliki

penderita. Yen et al. (2008) melalui penelitiannya menemukan ketiadaan insight

dapat mempengaruhi efek dari pengobatan antipsikotik atipikal dan kualitas hidup

penderita skizofrenia. Ketiadaan insight dapat secara pelan-pelan menurunkan

kualitas hidup pasien skizofrenia (Ramadhan & Dodd, 2010).

Penderita skizofrenia yang mempunyai insight baik terhadap penyakit

cenderung mempunyai respons emosional yang stabil dan perilaku yang adaptif

atau konstruktif sehingga mempunyai kualitas hidup yang baik (Kring & Moran,

2008). Memperluas insight penderita pada penyakitnya cenderung mempunyai

sikap yang positif terhadap pengobatan dan dapat memperbaiki gejala,

meningkatkan kualitas hidup dan hasil pengobatan, juga dapat mempercepat

rehabilitasi atau pemulihan (Mohamed et al., 2009). Lincoln (2007)

mengidentifikasi bahwa insight yang baik dapat dihubungkan dengan kepatuhan

pengobatan dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.

Menurut Calman yang dikutip oleh Hermann (1993) mengungkapkan

bahwa konsep dari kualitas hidup adalah bagaimana perbedaan antara keinginan

yang ada dibandingkan perasaan yang ada sekarang, definisi ini dikenal dengan

sebutan “Calman’s Gap”. Calman mengungkapkan pentingnya mengetahui

perbedaan antara perasaan yang ada dengan keinginan yang sebenarnya,

dicontohkan dengan membandingkan suatu keadaan antara “dimana seseorang

berada” dengan “dimana seseorang ingin berada”. Jika perbedaan antara kedua

keadaan ini lebar, ketidak cocokan ini menunjukkan bahwa kualitas hidup

seseorang tersebut rendah. Sedangkan kualitas hidup tinggi jika perbedaan yang

4

ada antara keduanya kecil. Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang

dipakai untuk mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang

dikembangkan oleh WHO (World Health Organization) yaitu WHOQL, bidang

tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan aktivitas,

hubungan sosial dan lingkungan (WHO, 2004)

Kualitas hidup pasien seharusnya menjadi perhatian penting bagi para

professional kesehatan karena dapat menjadi acuan keberhasilan dari suatu

tindakan / intervensi atau terapi. Data tentang kualitas hidup juga dapat

merupakan data awal untuk pertimbangan merumuskan intervensi / tindakan yang

tepat bagi pasien (Priambodo et.al, 2007). Studi tentang kualitas hidup dan fokus

pada perasaan subyektif kesejahteraan pasien adalah fenomena yang cukup baru

yang telah menarik perhatian profesional hanya dalam dua dekade terakhir.

Masalah kualitas hidup menjadi kunci ketika obat tidak mungkin memaksimalkan

hasil pengobatan. Penyakit yang tidak bisa dihilangkan harus dikelola dan tujuan

pengobatan menjadi menjaga fungsi maksimum dan eksistensi yang berarti.

Sementara ketertarikan telah berkembang dalam memahami bagaimana orang

skizofrenia menilai penyakit mereka dan kebutuhan berikutnya, sifat dampak dari

kesadaran atau pengakuan gangguan pada berbagai domain quality of life (QOL)

tetap menjadi bahan perdebatan yang cukup besar. Pengakuan terhadap penyakit

mereka (skizofrenia) adalah kerugian dan kunci untuk berhasil menyesuaikan diri.

Penerimaan penyakit telah diajukan sebagai kunci untuk membuat keputusan

tentang masa depan seseorang, untuk membebaskan diri dari kesalahan atas

5

kesulitan terkait dengan penyakit dan untuk membentuk ikatan dengan orang lain

yang sadar akan kesulitan seseorang (Ramadan dan Dodd, 2010).

Studi sebelumnya yang dilakukan oleh Amador & Gorman (1998) dalam

Chakraborty & Basu (2010) menemukan adanya perkiraan bahwa antara 50-80%

dari pasien skizofrenia tidak percaya mempunyai suatu penyakit. Bahkan antara

70%-90% pasien skizofrenia tidak sadar dengan penyakitnya (Fontaine, 2009).

Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan tanggal 16 s/d 18 Juli 2012

terhadap 10 penderita skizofrenia yang dirawat di Ruang Poliklinik RSJ Prof Dr.

Soeroyo Magelang, 8 dari 10 atau 80% menunjukkan ketiadaan insight contohnya

klien mengatakan bahwa dirinya tidak sakit jiwa dan menolak masukan dari orang

lain bahwa dirinya mempunyai gejala sakit jiwa. Dari 80% penderita yang

mengalami ketiadaan insight, semuanya pernah mengalami kekambuhan rata-rata

antara 1-2 kali dalam satu tahun dan 8 penderita skizofrenia tersebut memiliki

kualitas hidup yang rendah seperti mengungkapkan pernah putus obat (tidak taat

minum obat), tidak mempunyai pekerjaan tetap dan hubungan sosial yang kurang

baik dengan masyarakat.

Dua dari 10 atau 20% penderita skizofrenia yang mempunyai insight baik

seperti mengungkapkan bahwa dirinya sakit jiwa dan mampu menerima masukan

dari orang lain, tetapi ternyata semuanya memiliki kualitas hidup yang rendah

seperti tidak minum obat dengan rutin (putus obat), tidak bekerja dan tidak punya

hubungan sosial yang baik dengan masyarakat sehingga tetap mengalami

kekambuhan. Hal ini menunjukkan adanya masalah atau kesenjangan, yaitu

seharusnya dengan insight yang baik maka akan mempunyai kualitas hidup yang

6

baik yang ditunjukkan dengan mempunyai pekerjaan, rutin minum obat dan

mempunyai hubungan sosial yang baik sehingga akan terhindar dari kekambuhan,

akan tetapi pada kenyataan tidak demikian (masih ada yang mau bekerja dan

enggan melakukan hubungan sosial).

Dari hasil studi tanggal 2 Agustus 2012 pada 10 pasien skizofrenia yang

menjalani rawat jalan di poliklinik RSJ Prof Dr Soeroyo Magelang, didapatkan

7orang (70%) mempunyai insight yang buruk contohnya tidak mengakui dirinya

sakit jiwa dan tidak bisa menerima masukan dari orang lain, dan dari 7 orang

pasien tersebut 6 orang bekerja dan tidak mengalami hambatan dalam melakukan

hubungan sosial. Sementara itu dari 10 pasien tersebut, 3 orang mempunyai

insight yang baik seperti control atau berobat atas kemauan sendiri serta tidak

diantar keluarga dan dua diantaranya bekerja serta semuanya mampu menjalani

hubungan sosial seperti orang normal (belum sakit) pada umumnya.

Berdasarkan fenomena di atas penulis tertarik untuk menyusun laporan

penelitian tentang hubungan antara insight (daya tilik diri terhadap penyakit)

dengan kualitas hidup pasien skizofrenia di Ruang Poliklinik RSJ Prof Dr.

Soeroyo Magelang.“

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah “

Adakah hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien skizofrenia di

Ruang Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang ?”.

7

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien skizofrenia

di Ruang Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui gambaran insight pasien skizofrenia di Ruang Poliklinik RSJ

Prof. Dr. Soeroyo Magelang.

b. Mengetahui gambaran kualitas hidup pasien skizofrenia di Ruang

Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang.

c. Mengetahui hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien

skizofrenia di Ruang Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu

bentuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu keperawatan jiwa

tentang pengaruh insight terhadap kualitas hidup pasien skizofrenia sehingga

ilmu pengetahuan ini dapat disampaikan pada mahasiswa keperawatan

terutama dalam menambah wawasan tentang perawatan penyakit skizofrenia.

2. Profesi keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan dalam

perancangan kompetensi baru yang harus dimiliki perawat jiwa, khususnya

8

tentang tindakan keperawatan yang berhubungan dengan upaya memperbaiki

insight pasien skizofrenia.

3. Perawat jiwa

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber

informasi bahwa insight pasien skizofrenia dapat mempengaruhi kualitas

hidup pasien skizofrenia, perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan

pada pasien sehingga pasien skizofrenia dapat mulai termotivasi untuk

mengenali penyakitnya dan kualitas hidup dapat dapat ditingkatkan.

4. Pasien

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai fakta ilmiah

bahwa kesadaran atau penerimaan pasien terhadap penyakit yang dideritanya

dapat berdampak atau mempengaruhi kualitas hidupnya sehingga pasien

diharapkan dapat memperbaiki insightnya untuk meningkatkan kualitas hidup.

5. Keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai fakta ilmiah

bahwa insight pasien skizofrenia yang tidak baik dapat mencetuskan atau

meningkatkan resiko memburuknya kualitas hidup pasien. Hasil penelitian ini

juga dapat dijadikan oleh keluarga sebagai motivator dalam mencari informasi

tentang penyakit skizofrenia, perawatan dan pengobatannya sehingga dapat

membantu meningkatkan insight atau pengenalan penyakit pada diri anggota

keluarganya sehingga kualitas hidup pasien akan meningkat.

6. Peneliti

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan peneliti tentang hubungan antara insight dengan kualitas hidup

9

pasien skizofrenia sehingga peneliti dapat memberkan asuhan keperawatan

secara komprehensif dan dapat membantu memperbaiki insight pasien

skizofrenia dengan cara yang tepat.

7. Peneliti lain

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi awal

dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan insight pasien

skizofrenia serta faktor-faktor yang mempengaruhi insight pasien skizofrenia

serta kaitannya dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Skizofrenia

1. Pengertian Skizofrenia

Skizofrenia merupakan kombinasi gangguan dalam berfikir, gangguan

persepsi, perilaku yang abnormal, gangguan afektif dan terjadi kerusakan

kemampuan sosial. Hal ini berarti orang tersebut menjadi kesulitan dalam

berfikir secara jelas, mengetahui yang realistis, memanajemen perasaan,

mengambil keputusan dan berhubungan dengan orang lain (Fontaine, 2009).

Skizofrenia salah satu gangguan psikotik yang sangat serius dan menetap dari

semua gangguan mental (Fortinash dan Worret, 2006). Sedangkan menurut

Keltner et al (2002). Skizofrenia adalah bentuk diagnosis yang digunakan oleh

profesional kesehatan mental untuk menggambarkan sebuah gangguan

psikotik mayor yang dikarakteristikkan dengan gangguan dalam pemikiran,

persepsi sensori (misalnya halusinasi dan delusi), gangguan berfikir dan oleh

kerusakan atau kekacauan fungsi psikososial.

Puri et al (2011) mendefinisikan Skizofrenia sebagai salah satu

gangguan psikiatri yang paling melemahkan, gangguan ini merupakan suatu

psikosis utama yang dapat bermanifestasi dalam berbagai cara yaitu

perubahan dalam berfikir, perubahan dalam persepsi, afek tumpul, dan

penurunan fungsi sosial. Skizofrenia adalah suatu yang mungkin

menghancurkan fungsi otak dan dapat menimbulkan gangguan otak yang

11

berpengaruh pada pemikiran seseorang, bahasa, emosi, perilaku sosial dan

kemampuan untuk berada dalam kenyatan secara akurat (Varcarolis dan

Halter, 2010).

2. Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia dapat sebabkan karena beberapa faktor antara lain:

a. Genetik

Kebanyakan penelitian genetik berfokus pada keluarga terdekat,

seperti orang tua, saudara kandung, anak cucu untuk melihat apakah

Skizofrenia diwariskan atau diturunkan secara genetik. Kembar identik

berisiko mengalami gangguan sebesar 50%, sedangkan kembar fraternal

berisiko hanya 15%, Hal ini mengindikasikan bahwa Skizofrenia sedikit

diturunkan. Penelitian penting menunjukkan bahwa anak-anak yang

memiliki satu orang tua biologis menderita Skizofrenia memiliki 15%,

angka ini meningkat sampai 35% jika keduanya menderitas Skizofrenia

(Videbeck, 2008). Menurut Wade dan Tavris (2007) Seorang individu

akan memiliki resiko yang lebih tinggi dalam mengembangkan

kecenderungan Skizofrenia apabila individu tersebut memiliki kembar

identik yang menunjukkan bahwa ia memiliki kecenderungan Skizofrenia,

meskipun saudara kembar tersebut dibesarkan secara terpisah. Anak-anak

dari orang tua yang salah satunya menderita Skizofrenia akan memiliki

risiko sebesar 12% sepanjang hidupnya, dan anak –anak dari orang tua

yang keduanya menderita Skizofrenia akan memiliki risiko sebesar 35-

12

46% sepanjang hidupnya, dibandingkan risiko menderita Skizofrenia pada

populasi umum yang hanya sebesar 1-2%.

b. Stres psikososial

Meskipun tidak ada bukti bahwa stres secara sendirian

menyebabkan Skizofrenia, tetapi tingkat kortisol stres yang terukur,

menghalangi/merintangi pengembangan hypothalamic dan menyebabkan

perubahan-perubahan lain bahwa dapat mempercepat penyakit ini di

dalam individu yang rentan atau berisiko mengalami. Skizofrenia sering

kali dimanifestasikan dan kadang-kadang pengembangan dan stres

keluarga, seperti awal masuk perguruan tinggi pindah tempat pada salah

satu famili. Sosial, psikologis, dan stressor fisik dapat memainkan peran

yang siknifikan atau bermakna dalam menyebabkan gangguan yang berat

dan kualitas hidup orang tersebut (Varcarolis dan Halter, 2011).

Penelitian telah dilakukan dalam usaha menentukan apakah

epsiode psikotik dapat dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh

stres. Tidak ada kejadian yang khas untuk mengindikasikan stres yang

menyebabkan Skizofrenia. Hal ini sangat mungkin, meskipun, stres dapat

memberikan kontribusi untuk beratnya perjalanan penyakit. Kondisi ini

telah diketahui bahwa stres yang ekstrim dapat memicu episode psikotik,

stres dapat sungguh-sungguh memicu gejala dalam individu yang

mempengaruhi seorang yang secara genetik rentan untuk Skizofrenia.

Kejadian kehidupan yang penuh stres juga dapat dihubungkan dengan

13

munculnya kembali gejala Skizofrenia dan meningkat rata-rata

kekambuhan (Townsend, 2011).

c. Faktor lingkungan

Faktor-faktor lingkungan juga dipercaya dapat berperan untuk

pengembangan penyakit Skizofrenia dari orang-orang vunerable atau

orang yang rentan/berisiko. Hal ini termasuk keterpaparan orang dengan

kekurangbaikan sosial (misalnya: kehidupan dengan perumahan yang

kumuh atau dengan tingkat kriminal yang tinggi) dan migrasi pada atau

pertumbuhan dewasa di suatu kultur yang asing (Varcarolis dan Halter,

2011).

Banyak studi-studi telah diselenggarakan bahwa sudah mencoba

untuk menghubungkan Skizofrenia pada kelas sosial. Sungguh-sungguh

epidemiologik statistik sudah menunjukkan angka-angka lebih besar dari

individu dari kelas-kelas ekonomi-sosial yang lebih rendah mengalami

gejala-gejala yang dihubungkan dengan Skizofrenia dibanding mereka

yang dari kelompok ekonomi-sosial yang lebih tinggi (Ho et al, 2003).

Penjelasan untuk kejadian ini termasuk kondisi-kondisi berhubungan

dengan tinggal di kemiskinan, seperti perumahan yang terlampau banyak,

kebutuhan gizi yang tidak cukup, ketidakhadiran dari kepedulian sebelum

melahirkan, sedikitnya sumber daya dalam hubungan dengan situasi-

situasi stressfull, dan perasaan keputusasaan untuk mengubah gaya hidup

kemiskinannya (Townsend, 2011).

14

d. Faktor neuroanatomi dan neurokimia

Baru-baru ini serotonine ditetapkan sebagai faktor neurokimia

utama yang mempengaruhi Skizofrenia. Teori tentang serotonin

memperlihatkan bahwa serotonine memiliki efek modulasi pada

dopamine, yang membantu mengonrol kelebihan dopamine. Kelebihan

serotonine juga diyakini berperan dalam perkembangan Skizofrenia

(Videbeck, 2008).

Gangguan-gangguan komunikasi dalam jaringan di dalam otak

dianggap sebagai Skizofrenia yang berat. Oleh karena itu, hal tersebut

abnormalitas struktur otak dapat diramalkan menyebabkan gangguan

dalam fungsi di otak. Bukti substansial banyak orang dengan Skizofrenia

mempunyai struktur otak yang abnormalitas, melibatkan pelebaran dari

ventrikel serebral sebelah lateral, dilatasi ventrikel ketiga dan atau

ventrikel yang asimetri. Mengurangi selaput kortikal, lobus frontal,

hipocampus dan atau volume serebral. Peningkatan ukuran sulcus (fisura)

pada permukaan otak (Broome et al, 2005 dalam Varcarolis dan halter,

2010). Dengan pemakaian teknologi neuroimaging, kelainan-kelainan

otak struktural telah diamati di dalam individu dengan Skizofrenia.

Pelebaran ventrikel adalah penemuan yang paling konsisten;

bagaimanapun, pelebaran sulcus dan atropi serebral juga dilaporkan (Ho,

Black dan Andreas, 2003 dalam Townsend, 2011).

15

e. Faktor imunovirologi

Ada teori populer yang mengatakan bahwa perubahan pataologi

otak pada individu yang menderita Skizofrenia dapat disebabkan oleh

pajanan virus, atau respon imun tubuh terhadap virus dapat mengubah

fisiologi otak. Infeksi pada ibu hamil sebagai kemungkinan penyebab

Skizofrenia. Endemik flu diikuti dengan peningkatan kejadian Skizofrenia

di Inggris, Wales, Denmark, Finlandia dan negara-negara lain (Videbeck,

2008).

f. Stres perinatal

Suatu sejarah dari kesulitan-kesulitan kehamilan atau kelahiran

dihubungkan dengan satu resiko yang meningkatkan kejadian Skizofrenia.

Faktor-faktor resiko sebelum melahirkan termasuk infeksi/peradangan

karena virus, kurang gizi (miskin, hipoksia, terpapar toksin atau racun).

Trauma psikososial pada ibu selama kehamilan (misalnya, kematian suatu

sanak keluarga) dapat juga berperan pengembangan dari Skizofrenia

(Khashan et.al, 2008 dalam Varcarolis dan halter, 20

10). Sadock and Sadock (2007) dalam Townsend (2011)

melaporkan data epidemiologi yang mengindikasikan insiden yang tinggi

Skizofrenia setelah prenatal terpapar dengan influensa. Data pendukung

yang lain sebuah hipotesis virus meningkatkan jumlah abnormalitas fisik

pada bayi, meningkatkan rata-rata kehamilan dan kelahiran dengan

komplikasi, kelahiran dengan infeksi karena virus.

16

3. Gejala positif dan negatif Skizofrenia

a. Gejala positif

Gejala positif meliputi waham dan halusinasi (Sadock dan Sadock,

2010). Menurut Videbeck (2008) Gejala positif merupakan gejala yang

nyata yang mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara

dan perilaku yang tidak teratur, echopraxia, flight of ideas, perseverasi,

asosiasi longgar, gagasan rujukan dan ambivalens, serta gejala negatif atau

gejala samar seperti apatis, alogia, afek tumpul, anhedonia, katatonia,

tidak memilik kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak

nyaman. Gejala positif dapat dikontrol dengan pengobatan, tetapi gejala

negatif sering kali menetap setelah gejala psikotik berkurang.

Gejala positif yang ditunjukkan pasien dengan Skizofrenia antara

lain berupa: halusinasi (indera pendengar, dapat dirasakan, pencium,

gustatori, visual), delusi (berupa: persecutory, kecemburuan, megah,

religius, somatik, acuan, mahluk yang mengawasi, memikirkan penyiaran,

penyisapan, penarikan), perilaku bizzare (berpakaian yang kurang tepat,

penampilan, dan perilaku sosial/seksual, perilaku agresif, menghasut,

berulang, meniru-niru perilaku orang lain), gangguan atau kekacauan

pemikiran formal positif dan pola bicara (disorganisasi, asosiatif longgar,

pembicaraan melompat idenya, bicara dengan tekanan yang cepat,

tangensial, tidak logis, sirkumtansial, distractibility, pelemahan memori),

afek yang tidak tepat (afek yang tidak sesuai dengan situasi dan afek yang

bizzare) (Varcarolis dan Halter, 2011).

17

b. Gejala Negatif

Gejala-gejala ini secara khas terjadi pada Skizofrenia kronis,

meliputi sikap apatis yang nyata, kemiskinan pembicaraan, kurangnya

dorongan afek yang lambat dan tumpul atau tidak kongruen, dan biasanya

menyebabkan penarikan diri secara sosial dan menurunnya perfoma sosial,

sedangkan gejala positif secara khas terjadi pada Skizofrenia mencakup

waham, halusinasi dan interferensi pikiran (Puri et al, 2011). Menurut

Sadock dan Sadock (2010) gejala negatif yang dialami pasien Skizofrenia

dapat meliputi afek datar atau menumpul, miskin bicara (alogia), atau isi

bicara, blocking, kurang merawat diri, kurang motivasi, anhedonia, dan

penarikan diri secara sosial. Gejala negatif sering kali menetao sepanjang

waktu dan menjadi penghambat utama pemulihan dan perbaikan fungsi

dalam kehidupan sehari-hari klien (Videbeck, 2008).

Menurut Varcarolis dan Halter (2011) gejala negatif yang sering

ditunjukkan pasien Skizofrenia antara lain: afek yang tumpul (afek yang

rata atau blunted, kurang dapat menerima isyarat-isyarat yang ekspresif,

ketiadaan modulasi suara/pembengkokan berkenaan dengan suara), alogia

(misalnya miskin atau tidak ada pembicaraan atau suara keluar, miskin

dari isi yang dibicarakan), avolition, apatis (misalnya: gerakan dan

perilaku tidak secara spontan, kurangnya perhatian, tidak dapat

menyelesaikan tugas di tempat kerja, sekolahan dan kehilangan energi

secara fisik), anhedonia, asosial (misalanya: kontak mata kurang atau tidak

ada, ketertarikan dalam kegiatan rekreasi sedikit, ketertarikan seksual

18

menurun, gangguan dalam memelihara keintiman dan kedekatan yang

lemah, tidak gembira, dan sedikit berhubungan dengan teman atau peer

sebaya), defisit perhatian (misalnya: kerusakan dalam menyelesaikan

pekerjaan dan kurang berhatian dalam aktivitas sosial), yang lain adalah

kurang mampu membaca emosi orang lain secara inten.

4. Penanganan Skizofrenia

Penanganan penderita Skizofrenia secara umum dapat dilakukan

menggunakan dua pendekatan yaitu pengobatan dan perawatan

a. Psikofarmaka

Meskipun penyakit Skizofrenia sering kali sulit dapat diobati,

tetapi dapat ditangani atau dirawat, dan metode penanganan yang ada dan

bersifat efektif. Skizofrenia menjadi lebih dapat ditangani dengan hadirnya

pengobatan antispikotik yang juga dikenal dengan obat neuroleptik. Obat

antipsikotik generasi pertama atau sering disebut dengan obat antipsikotik

konvensional hanya efektif untuk membebaskan gejala-gejala positif tetapi

hanya sedikit atau kurang efektif untuk menghilangkan gejala negatif.

Pemberian pengobaan yang baik maka pemikiran pasien yang tidak

realistis, halusinasi, inkoherensi, ketiadaan motivasi, dan kurangnya

keinginan untuk terlibat dalam aktivitas, isolasi sosial dan perilaku agresif

dapat diatasi (Fortinash dan Worret, 2003).

19

b. Terapi keluarga

Pentingnya dikembangkan peran dari keluarga di dalam perawatan

setelah pulang relatif sudah dikenal oleh penderita Skizofrenia dan

keluarganya, dengan demikian program psikoedukasi dalam perawatan

keluarga sebagai sumber yang dapat mendukung sistem keluarga,

mencegah atau menunda kekambuhan karena keluarga mampu merawat

penderita Skizofrenia saat dirumah (Townsend, 2011).

c. Terapi group atau kelompok

Terapi kelompok untuk orang dengan Skizofrenia umumnya

berfokus pada rencana, masalah dan hubungan dalam kehidupan nyata.

Kelompok dapat berorientasi perilaku, psikodinamis atau berorientasi

tilikan atau suportif. Sejumlah penelitikan meragukan bahwa intepretasi

dinamik dan terapi tilikan bermanfaat untuk pasien Skizofrenia tipikal,

namun terapi kelompok efektif mengurangi isolasi sosial eningkatkan rasa

keterikatan, serta memperbaiki kemampuan uji realitas untuk pasien

Skizofrenia. Kelompok mengarahkan ke perilaku suportif dan bukannya

cara intepretatif, tampaknya paling berguna untuk pasien Skizofrenia

(Sadock dan sadock, 2010).

d. Terapi kognitif perilaku

Terapi kognitif perilaku telah digunakan pada pasien skizofrenia,

untuk memperbaiki distorsi kognitif, mengurangi distrakbilitas, serta

mengoreksi kesalahan daya nilai. Pasien dengan halusinasi dan waham

juga dapat diatasi dengan metode ini demikian juga dengan pasien yang

20

mungkin memperoleh manfaat dari terapi ini umumnya adalah yang

memiliki tilikan terhadap penyakitnya (Sadock dan Sadock, 2010).

e. Terapi perilaku

Dalam setting penanganan, pemberi layanan kesehatan dapat

menggunakan pujian dan penguatan yang positif lain kepada klien dengan

Skizofrenia untuk mengurangi frekuensi terjadinya perilaku menyimpang

yang maladaptive (Townsend, 2009).

f. Terapi kognitif

Terapi kognitif diperlukan pasien dengan Skizofrenia dengan

asumsi bahwa tingkah laku-tingkah laku dan emosi-emosi yang

bermasalah dapat disebabkan karena proses-proses berpikir dan

kepercayaan-kepercayaan yang salah (Semiun, 2006). Terapi kognitif

berusaha menguraikan distorsi pikiran pasien dan membantunya

mempelajari berbagai macam cara yang berbeda dan lebih realistis untuk

memproses dan menguji-realitas informasi (Nelson-Jones, 2011).

g. Milieu Therapy

Beberapa perawat klinik percaya bahwa terapi lingkungan atau

mileiu therapy dapat tepat untuk menangani klien dengan Skizofrenia,

hasil penelitian menyangkut pengobatan psikotropik akan lebih efektif

pada tingkat perawatan ketika terapi lingkungan digunakan sepanjang

waktu dan terapi lingkungan lebih berhasil digunakan bersama dengan

pengobatan (Sadock dan Sadock, 2007 dalam Townsend, 2011).

21

h. Social Skill Trainning

Social Skill Trainning bertujuan untuk meningkatkan kemampuan-

kemampuan orang-orang untuk melaksanakan performe di dalam sosial

dan hubungan-hubungan interaktif. Pelatihan termasuk adalah penilaian

atas defisit-defisit ketrampilan pelatih yang hubungan antar pribadi dan

kelebihan-kelebihan (yaitu tidak memperhatikan orang-orang atau

menatap terlalu bersungguh-sungguh, pembicaraan terlalu nyaring, dengan

tenang atau secara monoton), analisa dari seberapa baik orang-orang

mengambil dan proses secara teori interpersonal isyarat, dan menilai

praktek dari lisan yang spesifik dan bukan keahlian berkomunikasi lisan

(Barke, 2009).

i. Assertive community Treatment

Assertive Community Treatment (ACT) adalah suatu program dari

manajemen kasus yang mengambil suatu pendekatan tim di dalam

menyediakan perawatan menyeluruh, yang menangani masalah psikiatris

dan berbasis masyarakat, rehabilitasi, dan dukungan kepada orang-orang

dengan penyakit jiwa yang serius dan menetap seperti Skizofrenia. ACT

secara efektif dapat menurunkan risiko perawatan inap kembali bagi orang

dengan Skizofrenia, namun merupakan program yang padat-karya dan

mahal untuk diterapkan (Sadock dan Sadock, 2010).

22

B. Insight

1. Pengertian Insight

Stuart (2009) menyatakan insight merupakan pemahaman pasien yang

bersifat alami tentang masalah atau penyakitnya. Menurut Ibrahim (2011),

kemampuan untuk mengetahui dengan baik tentang keadaan dirinya. Perawat

perlu mengetahui apakah pasien menyalahkan orang lain atau faktor eksternal

(Stuart dan laraia, 2005).

2. Psikopatologi insight

Ketiadaan insight menunjukkan ketidakmampuan mengenal gejala dan

tidak menyepakati perawatan (Fontaine, 2009). Insight berkisar antara denial

komplet, sampai pada pengenalan samar-samar dari penyakit (Chakraborty &

Basu, 2010). Ketiadaan insight dihubungkan pada pertahanan psikologis

terhadap koping strategi, biasanya berkenaan dengan system cortical frontal

(Shad et al., 2007). Hubungan antara insight lemah pada Skizofrenia dan otak

kanan akibat lesi neurologi hemisper kanan (Shad et al., 2006). Pelebaran

ventrikel & volume otak yang mengecil juga dihubungkan dengan ketiadaan

insight (Flashman et al., 2000). Penurunan volume orbito bagian tengah

sebelah kanan berhubungan dengan misattribution pada gejala (Shad et.al,

2006).

Sapara et al. (2007) mengamati hubungan antara volume substansi

prefrontal kelabu yang lebih kecil dan rendahnya insight pada penyakit dan

gejala-gejalanya. Ha et al. (2004) melaporkan suatu hubungan yang negatif

antara insight dan pusat konsentrasi-konsentrasi dan substansi kelabu dari dua

23

belah pihak di dalam (pertengahan) daerah-daerah temporal dan cingulated.

Volume substansi kelabu yang rendah dalam temporal dan parietal regions

yang telah diimplikasikan dalam monitoring diri, kerja memori dan akses

status mental secara internal yang dihubungan dengan insight yang buruk

(Cooke etal., 2008).

3. Aspek klinis insight dalam penyakit Skizofrenia

Insight sangat mempengaruhi aspek klinis penyakit Skizofrenia antara

lain: beratnya penyakit: Ketidaksadaran akan gejala adalah berhubungan

dengan beratnya penyakit Skizofrenia (De Hert et al., 2009). Insight berubah

tergantung tahap penyakit (Smith et al., 1998). Gejala Skizofrenia: Terdapat

hubungan antara insight dan gejala-gejala dari Skizofrenia. Hubungan antara

ketiadaan insight dan gejala-gejala secara global (David et al.,1992), gejala-

gejala positif (Amador et al., 1994) dan gejala-gejala negatif (Amador et al.,

1994).Gejala depresi: gejala depresi meningkat maka insight meningkat.

Insight berhubungan dengan peningkatan ide dan aksi bunuh diri (Kim et al.,

2003). Ketaatan terhadap pengobatan: ada asosiasi yang jelas antara insight

dan ketaatan dan pengobatan / perawatan (Buckley et al., 2007). Kualitas

hidup: Sim et al. (2006) menemukan perasaan kesejahteraan yang lebih luas

pada pasien yang alami perbaikan insight dari waktu ke waktu. Perilaku

kekerasan: Kekerasan sering terjadi selama periode psikotik aktif yang

mempunyai insight lemah (Buckley et al., 2003).

24

4. Cara pengukuran insight

Insight pasien Skizofrenia diukur menggunakan instrumen The Beck

Cognitive Insight Scale (BCIS) yang berisi 15 item pertanyaan tentang

dimensi self-reflectiveness dan dimensi self-certainty (Mohamed et al., 2009).

Menurut Merlin et al. (2012), insight juga dapat diukur menggunakan

instrumen BCIS-T atau Beck Cognitive Insight Scale-Tool yang mengukur

self reflectiveness, keterbukaan menerima feedback dari luar, self certainty

dam kemutlakan self-refrectiveness. Dimensi yang digunakan untuk

mengukur insight antara lain:

a. Self-Reflectiveness

Menurut Gutiérrez-Zotes et al. (2012), Self-Reflectivennes adalah

yang diharapkan dimiliki dengan intensitas yang tinggi karena hal ini

kemampuan merefleksikan diri pada kondisi yang lalu dan pasien harus

mampu menerimanya sebagai suatu kenyataan yang dapat dilihat dari: 1)

Suatu saat, aku salah memahami sikap orang lain terhadapku, 2) Orang

lain memahami penyebab pengalamanku melebihi aku, 3) Aku mengambil

atau membuat kesimpulan terlalu cepat, 4) Banyak yang ideal dariku dan

ku yakini ternyata adalah salah, 5) Pengalamanku terjadi sangat nyata dan

telah aku kaitkan dengan imajinasiku, 6) Aku merasa betul-betul adalah

benar, aku bisa jadi bersalah. 7) Jika seseorang menilai aku keluar dari

yang kuyakini itu salah, 8) Ada beberapa alasan orang lain melakukan

cara seperti itu, 9) Pengalamanku yang tidak biasa berkaitan dengan

perasaanku yang ekstrem, mengganggu dan menekan.

25

b. Self-Certainty

Menurut Gutiérrez-Zotes et al. (2012), Self-certainty merupakan

kemampuan memastikan dirinya sesuai dengan realita yang ada, mampu

menyadari kekeliruan yang diyakini dan mampu menerima masukan dari

orang lain. Self certainty ini dapat diketahui dengan menjawab pernyataan

berikut: 1) Penafsiranku terhadap pengalamanku adalah kepastian, 2) Jika

sesuatu yang aku rasa benar adalah kebenaran. 3)Aku mengetahui lebih

baik dari apa yang diketahui orang lain, 4) Orang tak setuju dengan

pendapatku, adalah salah, 5) Aku tidak percaya pendapat orang lain

tentang pengalamanku, 6) Aku percaya pertimbanganku sendiri yang akan

datang.

5. Terapi untuk memperbaiki insight

Terapi kepatuhan dapat memperbaiki insight (McIntosh et al.,

2006).Rathod et al. (2005) menemukan ketiadaan insight dapat diperbaiki

dengan CBT, efektifitas CBT untuk memperbaiki ketaatan dalam pengobatan

lebih mungkin daripada psychoeducation tradisional secara individu

(Zygmunt et al., 2002).

C. Kualitas Hidup

1. Pengertian kualitas hidup

Kualitas hidup dapat ditentukan oleh beberapa area, salah satunya

adalah kesehatan. Hubungan antara kesehatan dengan kualitas hidup adalah

sebuah konsep sempit (Saarni, 2008 dalam Viertio, 2011). Kualitas hidup

26

dapat ditentukan oleh kesehatan dan perawatan kesehatan. Kesehatan

dianggap dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang karena gangguan

penyakit dapat menyebabkan batasan fungsional dan akhirnya menjadi cacat

(Verbrugge dan Jette, 1994 dalam Viertio, 2011).

Kualitas hidup pada dasarnya mengacu pada kehidupan yang baik

tetapi tidak ada definisi yang ketat. Definisi multi-dimensi mencakup tiga

dimensi dalam kualitas hidup: 1) pengalaman positif dan kebahagiaan yang

subyektif, 2) kemampuan untuk berfungsi dan 3) tersedianya gaya hidup

tertentu dan sumber daya material (Lehman, 1997 dalam Vertio, 2011). WHO

tahun 1998, mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu dari

posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks system budaya dan nilai di

mana mereka hidup dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka, harapan,

standar dan kekhawatiran (Vertio, 2011). Kesehatan yang berhubungan

dengan kualitas hidup (HRQOL) menyempit pertimbangan aspek-aspek

kualitas hidup yang terlibat dampak positif atau negatif oleh kesehatan dan

intervensi kesehatan perawatan medis.

Kualitas hidup dapat berubah setiap waktu (Pitkanen, 2010), konsep

kualitas hidup telah didefinisikan sebagai komponen subyektif dan obyektif.

Komponen subyektif ditujukan secara langsung pada pengalaman hidup,

kemudian sering dihubungkan dengan istilah kebahagian, kesejahteraan dan

kepuasan. Sedangkan kompenen obyektif ditujukan pada fenomen yang

mempengaruhi pengalaman subyektif tersebut antara lain: fungsi sosial,

kondisi kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, keuangan, perubahan dan

27

aktivitas rekreasi. (Barry & Zissi 1997, Haas 1999, Bowling 2005 dalam

Pitkanen, 2010.)

2. Pengukuran kualitas hidup

Ada ratusan instrument untuk mengukur kualitas hidup, meskipun

banyak dari mereka yang jarang digunakan (Garratt et al., 2002 dalam Virteo,

2011). Secara teknis, pengukuran dapat dilakukan secara wawancara

terstruktur maupun diisi oleh pasien sendiri (Garratt et al., 2002dalam Virteo,

2011). Penilaian kualitas memiliki fokus yang berbeda pada masing-masing

instrumen: kesejahteraan emosional, kesejahteraan psikologis, kesejahteraan

sosial, peran sosial, kesehatan fisik, dan fungsi (Bowling 2003 dalam Pitkanen

2010). Bentuk instrumen juga dapat berbeda, ada satu-item skala termasuk

pertanyaan global tunggal, multi-item skala menghasilkan skor tunggal total,

dan multi-item skala menghasilkan profil item (Fayers &Machin2007 dalam

Pitkanen, 2010). Instrumen kualitas hidup yang digunakan dalam penelitian

psikiatri dan pengaturan klinis biasanya multi-item (skala) dan mencakup area

kualitas hidup seperti fisik, fungsi psikologis dan sosial (Danovitch

&Endicott2008 dalam Pitkanen, 2010).

Kualitas hidup pada semua orang yang menderita penyakit kronis tidak

sama. Orang yang satu dengan yang lain mempunyai wilayah penting yang

berbeda dalam kehidupannya, hal ini tergantung pada penyakit mereka dan

cacat yang ditimbulkan serta jenis kelamin (Bowling, 1996 dalam Vertio,

2011).Dalam sebuah survei terhadap rumah tangga di Inggris, Bowling

menemukan bahwa mereka yang melaporkan penyakit kronis dianggap bahwa

28

efek yang paling penting dari penyakit mereka terhadap kehidupan mereka

kemampuan untuk keluar dan pergi berbelanja, mampu bekerja dan efek pada

kehidupan sosial. Subjektif kualitas hidup berarti kepuasan kehidupan global

seperti yang didefinisikan oleh responden. Hal ini diukur dengan meminta

individu untuk menilai kualitas hidup mereka saat ini secara keseluruhan,

pada skala visual analogue (VAS) dari 0 sampai 10, berlabuh dikualitas hidup

terbaik dan terburuk (Vertio, 2011).

Ada dua strategi untuk menilai kualitas hidup, subyektif dan obyektif.

Penilaian subyektif merupakan penilaian individu-nya atau kondisi objektif

kehidupannya. Penilaian obyektif berfokus pada data yang dapat dikumpulkan

tanpa secara langsung mengamati individu yang dinilai, Untuk pekerjaan

misalnya, kontak social dan kemandirian akomodasi (Priebe 2007 dalam

Virteo, 2011).

Validitas penilaian diri pasien dengan Skizofrenia telah dipertanyakan

karena kurangnya wawasan pasien terhadap penyakit dan gangguan kognitif

mereka. Disisi lain, sebagian besar pasien kejiwaan yang mampu menilai

kualitas hidup mereka dengan cara yang kredibel, juga pasien secara klinis

sesuai dan stabil dengan Skizofrenia. Disarankan untuk menggunakan metode

penilaian baik subyektif dan obyektif antara pasien yang menderita gangguan

mental yang berat, terutama ketika menggunakan penilaian kualitas hidup

sebagai kerangka kerja untuk perencanaan perawatan (Bengtsson-Tops etal.

2005 dalam Pitkanen, 2010).

29

3. Domain kualitas hidup

a. Domain pasikologis

Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa orang dengan Skizofrenia

kualitas hidup yang rendah dapat dikaitkan dengan domain psikologis kualitas

hidup. Domain psikologis meliputi berbagai jenis gejala kejiwaan, seperti

kecemasan, depresi, psikosis dan efek samping obat. Selain itu, rendahnya

self-efficacy, harga diri dan stigma dirasakan, serta strategi penanganan yang

negatif, rendahnya kemampuan pemecahan masalah, dan sikap negatif

terhadap obat anti psikotik merupakan penentu dari domain psikologis

kualitas hidup, yang dapat mengganggu kualitas hidup pasien dengan

Skizofrenia (Pitkanen, 2010).

b. Domain fisik

Kualitas hidup yang berkurang di antara pasien dengan Skizofrenia

dapat dikaitkan dengan domain fisik kualitas hidup sebagai keadaan fisik yang

lemah, Kualitas hidup terganggu juga dikaitkan dengan tingkat kemandirian.

Pasien yang memiliki masalah dalam fungsi psikososial, tingginya tingkat

kebutuhan yang tak terpenuhi dan rendahnya jumlah kegiatan sehari-hari.

(Marwaha etal. 2008 dalam Pitkanen, 2010) telah membuktikan pasien

Skizofrenia mengalami gangguan dalam kualitas hidup. Selain itu lamanya

dirawat dirumah sakit jiwa, banyak penerimaan kejiwaan sebelumnya dan

penyalahgunaan alkohol pasien ini berhubungan dengan gangguan kualitas

hidup (Pitkanen, 2010).

30

c. Domain hubungan sosial

Kualitas hidup yang terganggu pada pasien dengan Skizofrenia juga

dapat dikaitkan dengan hubungan sosial, seperti dukungan sosial yang lemah,

kesepian dan jumlah kontak sosial yang memuaskan dengan anggota keluarga.

d. Domain lingkungan

Hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan pasien juga dapat

mengganggu kualitas hidup, tidak punya pekerjaan atau menjadi penganggur

atau ketidakpuasan dengan situasi kerja dan sarana keuangan yang tidak

memadai juga berhubungan dengan gangguan kualitas hidup. Selain itu,

gangguan kualitas hidup berkorelasi dengan kegiatan rekreasi yang berarti dan

hanya sedikit, keselamatan pribadi miskin, dan menjadi korban

kejahatan(Pitkanen, 2010).

4. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tomotake (2011) menunjukkan

depresi dan gejala positif kemungkinan menjadi faktor penting yang

mempengaruhi kualitas hidup pasien Skizofrenia secara subjektif.

Selain itu, faktor-faktor klinis lain seperti kecemasan, efek samping

ekstrapiramidal, dan tanggap subyektif pasien dan sikap terhadap pengobatan

antipsikotik dan penyakitnya telah secara signifikan berhubungan dengan

kualitas hidup pasien secara subyektif. Faktor klinis berhubungan dengan

kualitas hidup secara obyektif, faktor klinis tersebut antara lain lama sakit,

frekuensi dirawat, dosis neuroleptik, gejala positif, gejala negatif, gejala

31

ekstrapiramidal dan gejala depresi). Ada beberapa studi yang meneliti

hubungan antara keterampilan hidup dan kualitas hidup pada orang dengan

Skizofrenia. Normanetal. Melaporkan signifikan hubungan antara

keterampilan hidup, subyektif QOL dan obyektif QOL pada subyek dengan

Skizofrenia atau gangguan schizoaffective (Tomotake, 2011).

Disfungsi kognitif dianggap terkait dengan kegiatan sosial yang

menurun, akuisisi miskin keterampilan sosial selama progam rehabilitasi

program,dan menurunkan kualitas hidup. Hal ini karena disfungsi kognitif

memungkinkan pasien mengalami gangguan memori, gangguan perhatian,

gangguan kefasihan verbal dan fungsi eksekusi. Beberapa penelitian

sebelumnya kelompok telah meneliti hubungan antara Kualitas hidup dan

fungsi kognitif pada orang dengan Skizofrenia, dan melaporkan korelasi yang

signifikan antara kualitas hidup dan beberapa domain kognitif

berfungsi seperti memori verbal, kosakata, kefasihan kinerja, perhatian,

pengetahuan sosial, dan fungsi eksekutif Fungsi (Tomotake, 2011).

D. Hubungan Insight Dengan Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia

Hasil penelitian Fransisco (2002) menunjukkan adanya korelasi antara

tingkat insight dan fungsi interpersonal, secara klinis dilakukan analisis dan

hasilnya menunjukkan bagaimana kemampuan untuk relabel peristiwa mental

yang tidak biasa sebagai sesuatu yang abnormal sangat terkait dengan

kemampuan untuk memahami kausalitas sosial, yaitu,dengan logika dana kurasi

dari atribusi yang dibuat oleh subyek. Psikopatologi memiliki pengaruh besar

32

pada cara individu berhubungan dengannya atau dengan lingkungannya, dan

bahwa hubungan yang lebih kompleks dan akurat dengan realitas sosial dikaitkan

dengan tingkat yang lebih tinggi dari insight. Hubungan antara insight dan dua

area klinis (psikopatologi dan interaksi sosial), tingkat keparahan dari gejala

positif tampaknya langsung berhubungan dengan kurangnya insight, sedangkan

keparahan gejala negative tampaknya berkorelasi dengan interaksi interpersonal

yang lebih buruk, menyebabkan pasien menerapkan representasi yang kurang

kompleks dalam realitas sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup pasien

(Fransisco, 2002)\

Menurut Gharabawi et al (2007) perubahan insight pasien Skizofrenia

terhadap penyakit dapat berpengaruh terhadap perubahan skore kualitas hidupnya.

Insight yang buruk dapat mempengaruhi cara dimana pasien dengan Skizofrenia

mengevaluasi keadaan hidup mereka. Insight dapat mempengaruhi

kemampuan pasien untuk menilai kualitas subjektif hidup mereka, sehingga

pasien mempunyai kecenderungan kepuasan hidup mereka akan menurun.

Gharabawi et al (2007).

Faktor Predisposisi dan Presipitasi skizofrenia:GenetikStres psikososialFaktor lingkunganFaktor neuroanatomi dan neurokimiaFaktor imunovirologiStres perinatal

Skizofrenia

Gejala negatif:Sikap apatisKemiskinan bicaraKurang motivasiAfek lambat dan tumpulIsolasi sosial

Gambar 3.1. Kerangka Teori Penelitian (Puri et al, 2011, Varcarolis dan halter, 2011; Townsend, 2011; Videbeck, 2008; Gutiérrez-Zotes et al. (2012)

Gejala positif:HalusinasiWahamInterferensi pikiranBicara dan perilaku yang tidak teraturEchopraxia,flight of ideasPerseverasiAsosiasi longgar Penanganan:

PsikofarmakaTerapi keluargaTerapi kelompokTerapi kognitif perilakuTerapi perilakuSocial skill trainingTerapi kognitifMileu terapiAcertive community treatment

Insight:Self reflectionSelf Certainty

Kualitas hidup:SubyektifObyektif

33

BAB III

KERANGKA KERJA PENELITIAN

A. Kerangka Teori Penelitian

: yang akan diteliti

Domain kualitas hidup1. Domain psikologis2. Domain fisik

Variabel bebas Variabel terikat

Insight Kualitas hidup pasien

Gambar 3.2. Kerangka Konsep Penelitian

34

B. Kerangka Konsep Penelitian

C. Variabel Penelitian

Variabel adalah sesuatu yang digunakan sebaga ciri, sifat, atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang sesuatu konsep pengertian

tertentu (Notoatmojo, 2005). Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti

adalah:

1. Variabel Bebas

Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi dan menentukan

variabel terikat (Notoatmodjo, 2005). Variabel bebas pada penelitian ini

adalah insight.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas

(Notoatmodjo, 2005). Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi

atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel terikat pada penelitian ini

adalah kualitas hidup.

35

D. Hipotesis Penelitian

hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian. Hasil suatu

penelitian pada hakikatnya adalah suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang

telah dirumuskan. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian, maka

hipotesis ini dapat benar atau salah, dapat diterima atau ditolak (setiadi, 2007)

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara insight dengan

kualitas hidup pasien skizofrenia di Poliklinik RSJ Prof. Dr Soeroyo Magelang

E. Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala

Insight Insight merupakan pemahaman pasien tentang masalah atau penyakitnya bagi pemahaman dirinya yang telah mengalami gangguan jiwa maupun kemampuan menerima saran, informasi dan nasehat dari orang lain tentang penyakitnya

Kuesioner yang berasal dari the beck cognitive insight scale yang teah dimodifikasi, berisi 20 item pertanyaan berbentuk skala likert (setuju skor 2, ragu-ragu skor 1 dan tidak setuju skor 0)

Insight baik jika skor 21-40Insight buruk jika skor 0-20

skor tertinggi adalah 40 dan skor terendah adalah 0

Nominal

Kualitas hidup

Persepsi individu dari posisi mereka dalam kehidupan dalam konteks system budaya dan nilai dimana mereka hidup dan dalam hubungannya

Kuesioner yang berasal dari skala wawancara Lehman modifikasi, berbentuk skala likert berisi 20 item soal berbentuk

Kualitas hidup tinggi 21 – 40Kualitas hidup rendah skor 0-20

Nominal

36

dengan tujuan mereka, harapan, standar dan kekhawatiran yang dapat diukur secara obyektif dan subyektif meliputi dimensi fisik, psikososial, hubungan social

skala likert(setuju skor 2, ragu-ragu skor 1 dan tidak setuju skor 0)

Skor tertinggi adlah 40 dan skor terendah adalah 0

Tabel 3.1. Definisi Operasional

37

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian diskriptif korelasional, yaitu

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel

atau lebih (Sugiyono, 2007). Desain penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah rancangan cross sectional. Desain cross sectional ini

dipilih karena peneliti ingin mempelajari hubungan antara variabel bebas

dengan variabel terikat dengan melakukan pengukuran sesaat

(Sastroasmoro & Ismael, 2006). Desain penelitian ini peneliti pilih karena

ingin mengetahui hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien

skizofrenia di Poliklinik RSJ Prof Dr Soeroyo Magelang.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti, yang harus

dapat mendeskripsikan pertanyaan siapa, di mana, dan kapan penelitian

dilakukan (Wasis, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien

skizofrenia yang sedang melakukan rawat jalan di Poliklinik RSJ Prof. Dr.

Soeroyo Magelang. Jumlah rata-rata pasien rawat jalan yang dihitung berdasar

38

jumlah pasien 3 bulan terakhir (agustus-oktober 2012) yaitu sejumlah 186

orang.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang dipilih dengan sampling

tertentu untuk bisa memenuhi/mewakili populasi (Nursalam & Pariyani,

2001). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Pasien yang datang di poliklinik Rsj. Prof. Dr. Soeroyo Magelang dan

diantar oleh keluarganya.

b. Sudah membaik status mentalnya seperti orientasi terhadap waktu, tempat

dan orang baik.

c. Pernah menjalani pengobatan sebelumnya (baik rawat inap maupun rawat

jalan)

d. Berumur 18 – 55 tahun

e. Dapat membaca dan menulis (tidak buta huruf)

f. Bersedia menjadi responden.

Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :

a. Skor BPRS ( Brief psikiatri rating skale ) tinggi

b. Tidak bisa berkomunikasi secara verbal

c. Tidak mempunyai keluarga

d. Mempunyai penyakit fisik yang bisa mempengaruhi dalam bekerja.

Karena jumlah populasi di bawah 10.000 responden, maka penentuan besar

sampel dihitung menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2003, Wasis, 2008).

39

Gambar 4.1. Rumus Penghitungan Sampel

Dimana :

N : Besar Populasi

n : Besar sampel

d : Penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan yaitu sebesar

10% atau 0,1

penghitungan :

n= 1861+186 (0,1)

n=56

Jadi jumlah sampel yang didapatkan berdasarkan perhitungan dengan

menggunakan rumus tersebut sebanyak 56 responden. Teknik pengambilan

sampel dilakukan dengan cara Consecutive sampling yaitu pemilihan sampel

dengan menetapkan kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai

kurun waktu tertentu, sehingga jumlah pasien yang diperlukan terpenuhi

(Nursalam, 2003).

C. Tempat dan Waktu Penelitian

n= N

1+N (d2)

40

Penelitian akan dilakukan di poliklinik Rsj. Prof. Dr. Soeroyo Magelang

selama bulan februari 2013

D. Alat Pengumpul Data

Instrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa lembar

kuesioner yang disusun sendiri menggunakan konsep tentang insight dan kualitas

hidup pasien skizofrenia serta kuesioner tentang insight dan kualitas hidup yang

telah ada. Lembar kuesioner yang digunakan terdiri dari: Bagian A terdiri 8

(delapan item pertanyaan tentang karakteristik responden yang meliputi : Jenis

kelamin, umur, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan dan lama menderita

skizofrenia, frekuensi dirawat, terapi yang diberikan. Bagian B terdiri dari 10

(sepuluh) item pernyataan tentang insight (Self-Reflection), 10 (sepuluh item

soal) tentang insight (self certainty) dan bagian C terdiri dari 20 item soal tentang

kualitas hidup.

Tabel.4.1 Kisi-Kisi Soal Dalam Kuesioner

NoVariabe

lDimensi Indikator

Jumlah butir & nomor item

1. Insight Self-reflectiveness

a. Pemahaman diri

b. Penilaian terhadap pengalaman diri

c. Perasaan terhadap diri

d. Pengalaman diri

e. Penyimpulan diri

1,2

3,4

5,6

7,8

9,10

Self-certainty a. Kepercayaan 1,2

41

terhadap orang lain

b. Kemampuan menerima feedbeck/informasi

c. Pemahaman terhadap permasalahan diri

d. Pengakuan terhadap kebenaran diri

e. Kemampuan mengambil pertimbangan

3,4

5,6

7,8

9,10

202. Kualitas

hidupSubyektif a. Kepuasan

penghasilanb. Kepuasan

hubungan sosial

c. Kepuasan pekerjaan

1,2

3

4,5

Obyektif a. Pengaturan minum obat

b. Transportasi dan berbelanja

c. Pelaksanaan hubungan sosial

d. Pelaksanaan pekerjaan

6,7,8,9

10,11,12

13,14,15,16

17,18,19,20

20

E. Validitas dan Reliabilitas Pengumpul Data

1. Validitas kuesioner

42

Validitas atau kesahihan isi kuesioner berkaitan dengan permasalahan

“apakah instrumen yang dimaksudkan memang dapat mengukur secara tepat

sesuatu yang akan diukur tersebut” (Nursalam, 2003). Untuk mengetahui

bahwa kuesioner ini dapat mengukur apa yang diukur maka telah dilakukan

uji validitas pada tanggal 2 Februari 2013 yaitu dengan uji validitas dari isi

kuesioner dengan menggunakan 20 penderita skizofrenia yang tidak termasuk

dalam sampel penelitian di Poliklinik RSJ Prof. Dr. Soeroyo Magelang, yang

kemudian hasil dari kuesioner yang terisi diolah dengan bantuan komputer

program SPSS 17.0 menggunakan uji korelasi product moment.

Hasil perhitungan dikatakan valid apabila nilai r-hitung lebih besar

dari r-tabel (dimana dengan N = 20 dengan taraf signifikansi 5 % adalah

0,444) maka dinyatakan seluruh item soal tentang konflik peran ganda dan

prestasi kerja dalam kuesioner adalah valid atau signifikan (Sugiyono, 2000).

Hasil perhitungan uji validitas didapatkan antara lain: untuk 15 item

soal dalam kuesioner tentang insight penderita skizofrenia mempunyai skor

total berkisar antara 0,525 – 0,832. Hasil pengukuran ini dikonsultasikan

dengan angka kritik tabel korelasi nilai r dengan N=20 adalah taraf

signifikansi 5% nilai r=0,444 dan pada uji coba instrumen 15 item soal

tentang insight pasien skizofrenia mempunyai nilar r di atas 0,444, sehingga

dapat dikatakan bahwa ke-15 item soal dalam kuesioner ini valid pada taraf

signifikansi 5%. Hasil perhitungan uji validitas secara terperinci dapat dilihat

pada Lampiran 5.

43

Hasil perhitungan uji validitas juga didapatkan antara lain: untuk 15

item soal dalam kuesioner tentang kualitas hidup penderita skizofrenia

mempunyai skor total berkisar antara 0,444 – 0,964. Hasil pengukuran ini

dikonsultasikan dengan angka kritik tabel korelasi nilai r dengan N=20 adalah

taraf signifikansi 5% nilai r=0,444 dan pada uji coba instrumen 15 item soal

tentang kualitas hidup pasien skizofrenia mempunyai nilar r di atas 0,444,

sehingga dapat dikatakan bahwa ke-15 item soal dalam kuesioner ini valid

pada taraf signifikansi 5%. Hasil perhitungan uji validitas secara terperinci

dapat dilihat pada Lampiran 5. Jumlah item soal yang digunakan untuk

mengukur kualitas hidup pasien skizofrenia dalam penelitian ini adalah 15

item soal pernyataan.

2. Reliabilitas kuesioner

Uji reliabilitas kuesioner juga telah dilakukan dengan bantuan software

SPSS 17.0. Hasil analisis uji reliabilitas untuk semua item soal dalam

kuesioner insight adalah alpha antara 0,863 - 0,902. Hasil pengukuran ini di

atas alpha 0,60, sehingga dapat dikatakan kuesioner tentang insight pasien

skizofrenia adalah reliabel. Hasil analisis uji reliabilitas untuk semua item soal

dalam kuesioner kualitas hidup adalah alpha antara 0,942 - 0,953. Hasil

pengukuran ini di atas alpha 0,60, sehingga dapat dikatakan kuesioner

tentang kualitas hidup pasien skizofrenia adalah reliabel.

F. Metode Pengumpulan Data

44

Pengumpulan data akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Peneliti mengajukan surat permohonan ijin penelitian dari institusi kepada

Direktur Rumah Sakit Jiwa Prof Dr.Soeroyo Magelang

2. Setelah peneliti mendapatkan surat persetujuan dari Direktur, selanjutnya

surat ijin tersebut digandakan dan ditunjukkan kepada kepala Ruang

Poliklinik tempat pengambilan data akan dilakukan.

3. Dilakukan seleksi menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi, yang masuk

didalam kriteria diberi penjelasan tentang tujuan dan manfaat dari penelitian

atau calon responden yang bersedia menjadi responden penelitian diminta

untuk menandatangani surat persetujuan menjadi responden.

4. Penderita yang bersedia menjadi responden diberikan kuesioner penelitian

kemudian diberi penjelasan tentang cara pengisian kuesioner dan responden

diminta untuk melakukan pengisian kuesioner bagian A, bagian B, dan bagian

C dan D. Pengisian dilakukan oleh responden sendiri

5. Pada saat pengisian lembar kuesioner, peneliti berada di dekat responden.

6. Setelah pengisian kuesioner selesai, peneliti akan menarik atau meminta

kembali kuesioner yang telah terisi untuk kemudian diperiksa kelengkapan

halaman dan kelengkapan jawaban (editing). Editing dilakukan dengan

memeriksa jumlah halaman kuesioner dan kelengkapan isian jawaban

perawat. Jika terdapat halaman kusioner yang tidak lengkap, maka kuesioner

tersebut dinyatakan drop out atau tidak layak dilibatkan dalam pengolahan

data. Jika ada beberapa soal yang belum dijawab, maka perawat segera

diminta untuk melengkapi isian jawaban yang belum lengkap dan jika tidak

45

mau maka langsung diberi tanda drop out, jika ada yang drop out maka

perawat akan mencari pengganti dengan responden yang lain. Kuesioner yang

lengkap halaman maupun jawabannya segera diberikan nomor responden

untuk kemudian akan dilakukan pengolahan data. Kuesioner yang tidak layak

dilakukan pengolahan data akan dimusnahkan dengan cara dibakar.

G. Etika Penelitian

Setelah penyusunan laporan penelitian disetujui oleh kedua pembimbing

dan telah diujikan, Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Ngudi

Waluyo membuat surat permohonan kepada Direktur Rumah Sakit Jiwa Prof Dr.

Soeroyo Magelang yang selanjutnya mengeluarkan ijin untuk dapat melanjutkan

penelitian. Peneliti menentukan masalah etika penelitian kepada calon responden

diantaranya yaitu :

1. Informed consent (Lembar persetujuan)

Lembar persetujuan disampaikan kepada responden dan dijelaskan maksud

dan tujuan penelitian, setelah responden menyetujui untuk menjadi responden,

kemudian diminta untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah

disiapkan.

2. Anonymity (Tanpa nama)

Untuk menjamin kerahasiaan subyek penelitian, maka dalam lembar

persetujuan maupun lembar kuesioner nama dan identitas responden tidak

dicantumkan. Peneliti hanya mencantumkan umur, pendidikan, status

perkawinan, pekerjaan dan lama sakit/menderita skizofrenia menggunakan

46

kode tertentu untuk masing-masing responden yang berupa nomor urut

responden pada waktu pengambilan data dilakukan.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Informasi ataupun masalah-masalah lain yang telah diperoleh dari responden

disimpan dan dijamin kerahasiaannya, informasi yang diberikan oleh

responden tidak akan disebarluaskan atau diberikan kepada orang lain tanpa

seijin yang bersangkutan.

4. Beneficence

Penelitian yang dilakukan dengan melibatkan pasien sebagai responden

mengandung konsekuensi bahwa semuanya demi kebaikan pasien, guna

mendapatkan suatu metode dan konsep yang baru untuk kebaikan pasien

(Wasis, 2008).

5. Nonmaleficence

Penelitian keperawatan mayoritas menggunakan populasi dan sampel manusia

(pasien). Oleh karena itu, sangat berisiko terjadi kerugian fisik dan psikis

terhadap subjek penelitian. Jika penelitian dilakukan oleh peneliti pemula,

biasanya juga akan timbul rasa cemas, takut dan keraguan pada pasien.

Penelitian yang dilakukan oleh perawat hendaknya tidak mengandung unsur

bahaya atau merugikan pasien, apalagi sampai mengancam jiwa. Penelitian

adalah upaya baik untuk pengembangan profesi. Namun, jika sampai

mengorbankan pasien atau mendatangkan bahaya bagi pasien sebaiknya

penelitian tersebut dihentikan (Wasis, 2008).

6. Veracity

47

Proyek penelitian yang dilakukan oleh perawat hendaknya dijelaskan secara

Jujur tentang manfaatnya, efeknya, dan apa yang didapat jika pasien

dilibatkan dalam proyek tersebut. Penjelasan seperti ini harus disampaikan

kepada pasien karena mereka mempunyai hak untuk mengetahui segala

informasi kesehatannya secara periodik dari perawat (Wasis, 2008).

H. Pengolahan Data

Pengolahan data akan dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1. Editing

Editing data dilakukan untuk meneliti setiap daftar pertanyaan yang

sudah diisi. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan

konsistensi dari setiap jawaban. Editing dilakukan segera setelah peneliti

menerima kuesioner yang telah diisi oleh responden, sehingga apabila terjadi

kesalahan data dapat segera diperbaiki.

2. scoring

Dilakukan dengan memberi tanda pada masing-masing jawaban

dengan kode berupa angka, selanjutnya dimasukkan ke dalam lembaran tabel

kerja untuk mempermudah pengolahan. Untuk insight setuju skor 2, ragu-

ragu 1 dan tidak setuju 0 dan untuk pertanyaan tentang kualitas hidup setuju

kode 2, ragu-ragu 1 dan tidak setuju 0.

3. Coding

Proses coding dilakukan setelah pemberian skor pada jawaban atas

smua pertanyaan, kemudian dihitung skor total dari insight dan kualitas hidup.

Hasil dari skor total tersebut kemudian dikonsultasikan pada kategori, pada

48

insight jika hasil skor total berada pada range 0-20 maka termasuk dalam

insight buruk dan diberi kode 1, jika skor total skor pada range 21-40 maka

insight baik dan diberi kode 2. Demikian juga pada kualitas hidup, jika hasil

skor total berada pada range 0-20 maka termasuk dalam kualitas hidup rendah

dan diberi kode 1, jika berada hasil berada pada range 21-40 beerarti kualitas

hidup tinggi dan diberi kode 2.

4. Tabulating

Kegiatan atau langkah memasukkan data berupa angka-angka ke

dalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria. Tabulating dilaksanakan setelah

proses coding selesai.

5. Entry data

Entry data adalah kegiatan atau langkah memasukkan data-data hasil

penelitian ke dalam program aplikasi statistik SPSS (Statistical Product

Service and Solutions) untuk pengujian statistik. Entry data dilaksanakan saat

dilakukan analisa data.

6. Cleansing

Cleansing adalah memeriksa ulang data dan melakukan pembersihan

data pada data yang tidak diperlukan

I. Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data

dengan menggunakan bantuan komputer dengan program SPSS 17.0. Adapun

analisis data akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut antara lain:

49

1. Analisis univariate

Analisa univariate merupakan analisis yang dilakukan terhadap tiap

variabel dari hasil penelitian, dan pada umumnya hanya menghasilkan

distribusi dan prosentase dari tiap variabel (Notoatmodjo, 2003). Analisa akan

dilakukan menggunakan uji distribusi frekuensi. Analisa ini dilakukan untuk

mendapatkan gambaran distribusi frekuensi tentang karakteristik responden

serta untuk mendeskripsikan masing-masing variabel antara lain: insight dan

kualitas hidup pasien skizofrenia dan akan disajikan dalam bentuk tabel dan

narasi.

2. Analisis bivariate

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan atau koefisien

korelasi antar variabel penelitian, yaitu variabel bebas (insight) dan variabel

terikat (kualitas hidup) yang masing-masing berskala data nominall dan

nominal, maka untuk menguji hipotesis akan dilakukan dengan bantuan

komputer dengan menggunakan program SPSS dengan uji Chi-Square (X2).

Dengan pertimbangan penelitian ini termasuk dalam penelitian non

parametrik karena datanya termasuk data kategori, skala pengukuran

keduanya menggunakan nominal-nominal dan jumlah sampel yang digunakan

banyak

Kesimpulan penerimaan uji hipotesis statistik dibuat dengan

ketentutan Ho ditolak, apabila p value (0,004) < α ( 0,05) artinya ada

hubungan antara insight dengan kualitas hidup pasien skizofrenia, dan Ho

50

diterima jika p value (0,004) > α (0,05) artinya tidak ada hubungan antara

insight dengan kualitas hidup pasien skizofrenia.