BAB I Pendahuluaneprints.umm.ac.id/53575/2/BAB I.pdf · Dalam mengatasi hal tersebut, China...
Transcript of BAB I Pendahuluaneprints.umm.ac.id/53575/2/BAB I.pdf · Dalam mengatasi hal tersebut, China...
1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Lingkungan merupakan salah satu aspek terpenting dalam keberlangsungan
hidup manusia. Keterkaitan antara hidup manusia dan lingkungan dilandasi
dengan hubungan timbal balik dalam memenuhi kebutuhan manusia. Seiring
dengan perkembangan zaman, kebutuhan manusia semakin meningkat hingga
pada akhirnya berujung kepada eksploitasi alam dan berkembangnya industri
secara global. Hingga saat ini kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia
mengarah kepada pemanasan global, pencemaran udara, banjir dll.
Efek yang dirasakan secara global, menjadikan isu lingkungan menjadi salah
satu isu kontemporer dan diperlukan kerjasama dalam menangani permasalahan
tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan diadakannya pertemuan dan konfrensi yang
bertujuan khusu untuk membahas masalah lingkungan seperti pertemuan Stockhol
1972, Konvensi Wina 1985, Protokol Montreal 1987, pertemuan Rio 1992 dan
juga yang bertahan hingga saat ini adalah pertemuan Kyoto atau Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto merupakan sebuah perjanjian internasional yang terhubung
langsung dengan salah satu badan PBB yaitu United Nations Framework
Convention on Climate Change ( UNFCC ) dengan tujuan menurunkan tingkat
gas karbon dalam jumlah tertentu bagi negara yang telah meratifikasinya.1
1 Kyoto Protokol, http://unfccc.int/Kyoto_Protokol/items/2830.php, diakses pada tanggal 26
september 2017
2
Dalam perkembangannya, Protokol Kyoto menawarkan 3 mekanisme untuk
mengurangi gas rumah kaca diantaranya International Emisions Trading (ET),
Clean Development Project (CDM), Joint Implementation (JI). Selain 3
mekanisme tersebut, Protokol Kyoto membagi kelompok negara menjadi dua
bagian yaitu anggota ANNEX I dan anggota non-ANNEX I ( negara-negara
berkembang ). Dalam Protokol Kyoto telah disepakati bahwa seluruh negara
ANNEX I wajib menurunkan emisi GRK mereka rata-rata sebesar 5,2% dari
tingkat emisi tersebut di tahun 1990 dan negara non- ANNEX I tidak diwajibkan
untuk menurunkan emisi GRK. Protokol Kyoto dapat mengikat secara hukum
dengan syarat sekurang-kurangnya Protokol harus diratifikasi oleh 55 negara dan
jumlah emisi total dari negara-negara ANNEX I peratifikasi Protokol minimal
55%.2
Sebagai salah satu Protokol yang mengikat, tentunya Protokol Kyoto
memberikan konsekuensi tertentu bagi negara-negara yang meratifikasinya.
Secara positif dengan meratifikasi Protokol Kyoto akan terbentuk lingkungan
yang lebih sehat dalam level individu, namun akan sangat mempengaruhi dalam
level politik maupun ekonomi sehingga perlu adanya pertimbangan khusus bagi
setiap negara untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Sebagai contoh, negara maju
seperti amerika sebagai salah satu negara yang menyumbang GRK cukup besar
secara global, meskipun ikut menandatangani Protokol Kyoto pada 1998 namun
2 Sekilas tentang protokol Kyoto, http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusikami/negotiation_Kyoto_
p.cfm, diakses pada tanggal 26 september 2017.
3
kemudian menolak untuk meratifikasinya dengan alasan kondisi ekonomi dalam
negeri merka akan terganggu.3
China merupakan salah satu negara yang dalam beberapa tahun terakhir
menjadi sorotan dunia internasional dalam hal ekonomi maupun lingkungan. Pada
tahun 1978, China telah merubah sistem pasar yang lebih terbuka. Sebagai salah
satu negara berkembang, hingga saat ini China telah berubah menjadi salah satu
negara industry terbesar didunia. Perkembangan positif ditunjukkan dengan
meningkatnya ekonomi China dalam 3 dekade terakhir hingga tahun 2010 dengan
mencapai rata-rata 10% diatas negara maju eropa dan jepang.4 Kemajuan ekonomi
tersebut pada kenyataannya telah mengeluarkan 800 juta orang dari kemiskinan.5
Seiring dengan perkembangan positif dalam aspek ekonomi, China
menghadapi permasalahan lingkungan yang serius dengan menyumbang gas emisi
terbesar dunia sebanyak 27% dari total gas emisi dunia hingga 2011.6 Sebagai
negara berpenduduk terbesar di dunia, pemerintah China diharuskan untuk
memenuhi seluruh kebutuhan masyarakatnya ditambah konsumsi energy oleh
beberapa industry raksasa China. Batubara merupakan alternative yang murah
namun memberikan polusi yang cukup tinggi bagi China. Tercatat 60% sumber
energy berasal dari batu bara dan menjadikan China sebagai konsumen terbesar
3 Negara maju lepas dari Protokol Kyoto, http://www.mongabay.co.id/2012/12/10/cop-18-doha-
negara-negara-maju-lepas-tangan-dari-protokol-Kyoto/, diakses pada tanggal 26 september 2017. 4 Pertumbuhan pesat ekonomi China dalam Angka, http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/09/150910_majalah_ekonomi_cina, diakses pada
tanggal 26 september 2017. 5 China Overview, http://www.worldbank.org/en/country/China/overview, diakses pada tanggal 26
september 2017 6 Each Country’s Share of CO2 Emissions,
http://www.ucsusa.org/global_warming/science_and_impacts/science/each-countrys-share-of-
co2.html#.WXmXEDm26FI, diakses pada tanggal 26 september 2017
4
batu bara hingga mencapai 46% dari total seluruh dunia.7 Hal tersebut menjadikan
batubara sebagai sumber yang mengahsilakn polusi terbesar China.
Berawal dari masa pemerintah di bawah Deng Xiao Ping dengan selogan
gaige kaifang ( reformasi dan membuka diri ), China berusaha mengurangi
intervensi negara dan memberikan kebebasan kepada sektor swasta. Menjamurnya
industry di China hingga produksi barang yang dieksport memberikan masalah
baru dalam aspek lingkungan. Dalam mengatasi hal tersebut, China mengambil
salah satu langkah penting yaitu dengan menandatangani Protokol Kyoto pada
tahun 1998 dan mulai meratifikasinya pada tanggal 30 agustus 2002.8 Beberapa
hal yang akan didapatkan China dengan meratifikasi Protokol tersebut
diantaranya, pertama penerapan proyek ramah lingkungan dan proyek hemat
energi. Kedua, China bisa lebih menghemat biaya karena adanya investasi dari
negara maju. Ketiga, adanya transfer teknologi dari negara maju dengan biaya
yang relatif murah dan adanya pembangungan yang berkelanjutan.9 Namun
dengan target penurunan GRK yang telah ditentukan, tentu hal tersebut akan
mengganggu kegiatan ekonomi hingga kesejahteraan bagi masyarakat China.
Sebagai negara non-ANNEX I, China tidak diwajibkan untuk berpartisipasi
dalam Protokol Kyoto karena China hingga tahun 2002 masih dianggap sebagai
negara berkembang. Secara rasional, dengan meratifikasi Protokol tersebut China
akan menurunkan dominasinya dari segi ekonomi dengan mengurangi industry
7 Negara-negara pengguna batu bara, http://www.hijauku.com/2012/11/24/negara-negara-
pemuja-batu-bara/, diakses pada tanggal 26 september 2017. 8 Status of Ratification, http://unfccc.int/Kyoto_Protokol/status_of_ratification/items/2613.php,
diakses pada tanggal 26 september 2017. 9 Bunga Ayu Swastika, 2014, Upaya Pemerintah China dalam Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
melalui CDM (Clean Development Mechanism) sebagai Bentuk Implementasi Protokol Kyoto,
ilmu Hubungan Internasional, Fisip, Universitas Jember
5
yang telah ada di China sehingga mempengaruhi jumlah eksport barang China.
Tidak menutup kemungkinan adanya pengurangan tenaga kerja bagi industry yang
dianggap mencemari lingkungan.
Langkah China dalam meratifikasi porotokol Kyoto dianggap sebagai salah
satu keputusan yang cukup berani mengingat tren ekonomi positif yang saat ini
sedang dialami oleh China. Langkah tersebut dipercaya merupakan salah satu
pengaruh yang diberikan oleh nilai konfusianisme. Konfusianisme sendiri
merupakan salah satu nilai ajaran tertua yang hingga saat ini bertahan dalam
menghadapi pengaruh globalisasi. Ajaran konfusianisme memiliki tujuan untuk
mendidik dan menanamkan nilai kepada individu agar memiliki etika sosial
sehingga terbentuk masyarakat yang harmonis dan terwujudnya perdamaian dunia
tanpa mempertimbangkan nilai materi. Seperti kepercayaan lain, konfusianisme
dapat dipelajari melalui kitab bakti, kitab Wu Jing ( kitab yang lima ), kitab
perubahan dll.
Pada akhirnya topic ini dipilih karena menarik perhatian penulis untuk
dicermati dan diteliti lebih lanjut, untuk itu dengan ini penulis mengambil masalah
partisipasi China dalam Protokol Kyoto dengan judul Analisa Alasan China
dalam Meratifikasi Protokol Kyoto.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjabaran latar belakang di atas penulis dapat menarik rumusan masalah
yaitu: Mengapa China meratifikasi Protokol Kyoto ?
6
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang menjadi alasan
China meratifikasi protokol Kyoto. Sebagaimana kita tahu konsekuensi dalam
meratifikasi protokol tersebut bagi China.
1.3.2 Manfaat penelitian
a. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana dan referensi dalam isu
hubungan internasional, khususnya mengenai alasan dibalik China meratifikasi
protokol Kyoto.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menganalisa
tentang alasan yang melatarbelakangi China dalam meratifikasi protokol Kyoto,
selain itu diharapkan juga dapat berguna sebagai referensi dan bahan
pertimbangan dalam merespon masalah-masalah lain yang terkait atau memiliki
konteks yang sama.
1.4 Penelitian Terdahulu
Penelitian pertama diambil dari jurnal yang berjudul “ China’s
Environmental Challenge and Implication for The World “ oleh Jianguo Liu
dan Peter H. Raven.10 Penelitian ini membahas mengenai perkembangan ekonomi
maupun masyarakat China yang sangat pesat, dimulai dari pertumbuhan ekonomi
10 Jianguo Liu and Peter h. Raven, 2010, “China’s Environmental Challenge and Implication for
The World’, Michigan State University
7
China yang saat ini menempati tempat kedua setelah Amerika. Namun dibalik
perkembangan positif yang dirasakan oleh China, ada resiko juga yang harus
ditanggung oleh China khususnya mengenai permasalahan lingkungan. Terbukti
China menjadi salah satu negara penyumbang gas emisi terbesar didunia. Hal
tersebut dipicu oleh perkembangan industri hingga kebutuhan massyarakat China
dalam hal mengkonsumsi energi.
Sebagai salah satu negara terbesar, China memberikan dampak yang cukup
banyak bagi negara lain. Dimulai dari kegiatan ekonomi seperti ekspor-impor
yang dilakukan oleh China, hingga pengaruh yang diberikan China akibat
keterlibatannya dalam organisasi internasional. Pengaruh yang diberikan oleh
China diharapkan dapat diterapkan juga dalam permasalahan lingkungan dengan
keterbukaannya dalam menerima bantuan teknologi lingkungan hingga investasi
sehingga negara maju yang lain seperti amerika dapat menyadari betapa
pentingnya permasalahan lingkungan yang saat ini sedang dihadapi.
Penelitian kedua dilakukan oleh Guo x dan D. Marinova, berjudul “
Environmental Awareness in China : Facilitating the greening of the
economy “.11 Penelitian ini membahas mengenai posisi China dalam menghadapi
permasalahan lingkungan. pencemaran yang terjadi di China tidak hanya melalui
udara, bahkan telah menyebar hingga pencemaran air. Hal tersebut menandakan
keseriusan pencemaran yang terjadi di China. Dalam menanggapi hal tersebut,
China merasa perlunya keterlibatan berbagai elemen masyarakat tidak terkecuali
pemerintah dalam membuat kebijakan mengenai penggunaan energi.
11 Guo x dan D. Marinova, 2011, “Environmental Awareness in China : Facilitating the greening
of the economy “, Curtin University Sustainibility Policy, Curtin University.
8
Kampanye mengenai lingkungan juga dilakukan melalu media massa,
pendidikan, hingga keterlibatan NGO’s. Kesadaran tentang pentingnya
keberlangsungan hidup juga telah dipelajari melalui ajaran konfusianisme.
Konfusianisme mengajarkan tentang keterkaitan antara manusia dan alam,
sehingga menciptakan keharmonisan dalam kehidupan.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Bunga Ayu Swastika dengan judul “
Upaya Pemerintah China dalam Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca melalui
CDM ( Clean Development Mechanism ) sebagai Bentuk Implementasi
Protokol Kyoto “. 12 Penelitian ini menjelaskan penerapan mekanisme CDM
sebagai salah satu bentuk partisipasi China dalam implementasi protokol Kyoto.
Adanya CDM dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi, diantaranya
adanya investasi, pembangunan berkelanjutan, dan transfer teknologi. Teknologi
yang diterapkan diantaranya : desulfurusasi gas buang, pembakaran rendah Nox,
Ultra Clean Coal.
Keterlibatan pemerintah China diperlihatkan melalui kebijakan yang
diterapkan diantaranya : kebijakan upgrade brown coal pada batu bara, penerapan
teknologi bersih sebelum pembakaran,n penerapan teknologi bersih setelah
pembakaran, upaya penangkapan dan penyimpanan karbon, penutupan pabrik, dan
pembatasan penggunaan plastik.
Penelitian keempat berjudul Kebijakan Luar Negeri China dalam The
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada
Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen Tahun 2009, oleh Nova
12 Bunga Ayu Swastika, 2014 “ Upaya Pemerintah China dalam Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca melalui CDM ( Clean Development Mechanism ) sebagai Bentuk Implementasi Protokol
Kyoto “, Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Jember.
9
Febriyani. 13 penelitian ini membahas mengenai kebijakan China menandatangani
hasil dari konferensi tersebut dimana terdapat beberapa poin dimana negara
peserta UNFCCC harus berkomitmen dalam penanggulangan perubahan iklim.
Kebijakan luar negeri Cina dalam United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC) pada konferensi perubahan iklim ke-lima belas di
Copenhagen, Denmark, mengacu pada empat prinsip diplomasi lingkungan hidup
yang ditentukan oleh pemerintah Cina. Prinsip pertama adalah prinsip kedaulatan
yang berarti bahwa semua negara sama sehingga tidak ada pemisahan antara
negara besar dan kecil, serta tidak adanya dominasi dan intervensi dalam
pelaksanaan konferensi. Prinsip kedua adalah setiap negara harus mandiri serta
tidak bergantung kepada negara lain, diaplikasikan dengan cara menentukan nasib
sendiri. Prinsip ketiga adalah hak untuk membangun perekonomian dan
mensejahterakan rakyatnya. Kemudian, prinsip terakhir yaitu perubahan iklim
yang diakibatkan oleh negara industri maju, sehingga mereka harus bertanggung
jawab secara penuh dengan menjadi aktor utama sebagai donatur utama dalam
upaya memperbaiki lingkungan yang rusak dan transfer teknologi ke negara-
negara berkembang. Keempat prinsip diplomasi lingkungan tersebut diaplikasikan
pada saat konferensi Copenhagen dimana China pada akhirnya menyetujui untuk
terlibat dalam pengurangan dampak perubahan iklim dunia.
Penelitian selanjutnya oleh Jhen Reski Nugrah Toalla yang berjudul
“Efektivitas Peran Intergovernment Panel On Climate Change (IPCC) dalam
13 Nova Febriyani, 2011. “Kebijakan Luar Negeri China dalam The United Nations Framework
Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen
Tahun 2009”, Ilmu Hubungan Internasional, FISIP, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Hal Policy Making untuk Menanggulangi Isu Perubahan Iklim”.14 Membahas
mengenai upaya untuk mengatasi perubahan iklim adalah dengan dibentuknya
Intergovernmental panel on climate change (IPCC). IPCC merupakan lembaga
yang dibentuk untuk menyediakan informasi dan hasil penelitian terkait
perubahan iklim yang dilakukan ribuan ilmuan dari seluruh dunia. Pada setiap
konferensi lingkungan IPCC hanya diberikan tempat/waktu untuk memaparkan
assessment reportnya tentang perubahan iklim tanpa turut serta dalam proses
perundingan.
Para pihak dalam IPCC hanya memaparkan laporan-laporan berdasarkan
kajian dari para peneliti dalam konferensi UNF CCC, tanpa adanya keikut sertaan
dalam melakukan negosiasi maupun pengambilan keputusan yang dihasilkan oleh
konferensi. Oleh karena itu IPCC tidak mempunyai kewenangan dalam
mempengaruhi para pemimpin suatu negara seperti misalnya untuk mengurangi
pembuangan emisi sehingga dianggap tidak efektif itu dalam hal mempengaruhi
negara – negara dalam menanggulangi isu perubahan iklim.
Sebagai tambahan oleh Angga Andria Saputra dengan judul “ Alasan
China dalam Meratifikasi Protokol Kyoto “. Keterlibatan setiap dalam sistem
Internasional tentu dilandasi oleh berbagai pertimbangan. Eksistensi China yang
didapat oleh China saat ini dimulai dari keterbukaan pasar China hingga menjadi
salah satu raksasa ekonomi dunia melalui industrinya.
Bergabungnya China dalam protokol Kyoto memberikan dampak tersendiri
bagi China, mulai dari aktifitas ekonomi hingga aktifitas sosial. China sebagai
14 Jhen Reski Nugrah Toalla, 2013. “Efektivitas Peran Intergovernment Panel On Climate Change
(IPCC) dalam Hal Policy Making untuk Menanggulangi Isu Perubahan Iklim”, Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum, Universitas Hasanudin.
11
negara lahirnya aliran taoisme tentu sedikit atau banyak, kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan akan didasari oleh kepercayaan tersebut. Hal tersebutlah yang
mendasari China untuk meratifikasi protokol Kyoto dipandang melalui
konstruktivisme.
Tabel 1.1 Posisi Penelitian
No Nama ( Judul
)
Metodolog
i
Kerangka
Penelitian Hasil
1
Jianguo Liu
dan Peter H.
Raven
(China’s
Environmenta
l Challengen
and
Implication
for The World
)
Deskriptif Kerjasama
Internasional
Dalam mencapai
keseimbangan alam perlu
adanya kerjasama melalui
pendekatan sistem dan adanya
kesadaran negara maju
unutuk menyediakan green
technology dan teknologi
yang efisien untuk China.
2
Guo x dan D.
Marinova (
Environmenta
l Awarness in
China (
Facilitating
the Greening
of The
Economy )
Deskriptif Kebijakan
Publik
Untuk mengurangi GRK di
China, perlu adanya kebijakan
dari pemerintah China dalam
penggunaan energy dan perlu
adanya keterlibatan NGO
dengan memberikan edukasi
kepada masyarakatn
mengenai permasalahan
lingkungan.
3 Bunga Ayu Deskriptif Kebijakan Melalui penerapan Clean
12
Swastika (
Upaya
Pemerintah
China dalam
Penurunan
Emisi Gas
Rumah Kaca
Melalui CDM
( Clean
Development
Mechanism )
sebagai
Bentuk
Implementasi
Protokol
Kyoto )
Publik Development Mechanism (
CDM ), China menerapkan
pembatasan penggunaan
kantong plastic untuk
sejumlah tipe, pembatasan
kepemilikan jumlah
kendaraan pribadi dan
pengaturan plat nomor ganjil
dan genap
4
Nova
Febriyani (
Kebijakan
Luar Negeri
China dalam
The United
Framework
Convention on
Climate
Change
(UNFCCC)
pada
Konfrensi
Perubahan
Iklim di
Copenhagen
Tahun 2009 )
Deskriptif
Analitis
Kebijakan
Luar Negeri
China dalam UNFCCC
mengacu pada 4 prinsip
diplomasi lingkungan yakni
kedaulatan, kemandirian, hak
dalam membangun ekonomi,
dan tanggung jawab terhadap
kegiatan industry dalam
negeri
5
JhenReski
Nugrah Toalla
( Efektivitas
peran
Intergovernme
nt Panel On
Climate
Change
(IPCC) dalam
Hal Policy
Making untuk
Menanggulan
gi Isu
Deskriptif
Analitis
Organisasi
Internasional
Peran IPCC dalam membantu
UNFCCC dan belum
efektivnya peran IPCC dalam
hal pembuatan kebijakan (
policy making ) untuk
menanggulangi isu-isu
perubahan iklim
13
Perubahan
Iklim )
6
Angga Andria
Saputra (
Alasan China
dalam
Meratifikasi
Protokol
Kyoto )
Eksplanati
f
Konstruktivis
me
Bergabungnya China dalam
protokol Kyoto dilandasi oleh
ajaran taoisme jika dipandang
melalui teori kunstruktivisme
1.5 Teori dan Konsep
1.5.1 Konstruktivis
Protokol Kyoto merupakan salah satu bentuk kerjasama internasional yang
dilakukan oleh Negara – Negara dalam bidang lingkungan. Protokol Kyoto berisi
mengenai komitmen Negara dalam mengurangi GRK melalui metode-metode
yang telah ditentukan. Dalam menyetujui atau meratifikasi kerjasama tersebut
bukan merupakan keputusan yang mudah, karena permasalahan utama penyebab
diadakannya protokol Kyoto adalah meningkatnya aktifitas industri di berbagai
Negara yang menjadi penyebab meningkatnya GRK di bumi.
Pengambilan kebijakan oleh China untuk meratifikasi Protokol Kyoto
bukanlah hal mudah, meski berstatus sebagai Negara berkembang, perekonomian
China dianggap naik dengan pesat dan hal tersebut didukung oleh kegiatan
industrinya. Pada tahun 2002 China meratifikasi Protokol Kyoto yang menjadi
awal dari komitmen China dalam isu lingkungan.
14
Dalam menjelaskan permasalahan diatas, penulis menggunakan
Constructivism dalam menganalisa penelitian ini. Penggunaan teori tersebut
dinilai mampu untuk mengetahui dan mengukur alasan pengambilan kebijakan
luar negeri China dalam meratifikasi protokol Kyoto. dimana teori tersebut
berargumen bahwa perilaku negara selayaknya difahami melalui substansi atau
ide yang terbentuk secara sosial, menurut Alexander Wendt, dalam menganalisa
perilaku sebuah negara dapat diindentifikasi melalui empat jenis identitas yaitu :
Identitas personal, atribut yang membentuk eksistensi sebuah
negara sehingga negara tersebut memiliki ciri khas yang berbeda
dengan negara lain. Identitas personal dapai dilihat melalui wilayah
territorial, lambing negara, lagu kebangsaan, nasionalisme dll.
Identitas yang menggolongkan negara ke dalam kategori tertentu
atau disebut juga sebagai type identity. Kategorisasi ini merupakan
sebuah bentukan secara personal tanpa adanya pengaruh terhadap
lingkungan eksternal
Identitas peran (role identity), dipengaruhi oleh posisi atau
kedudukan aktor (negara) dalam sistem internasional. Hal tersebut
berkenaan dengan tanggung jawab negara mengenai apa yang
harus dilakukan sebuah negara ketika dihadapkan oleh situasi
tertentu. Pemahaman suatu negara terhadap posisi atau
kedudukannya ditentukan oleh factor domestic dan internasional.
Factor domestic bisa berupa nilai yang dianut, letak geografis,
kapabilitas yang dimiliki, opini public, persepsi elit dll. Sedangkan
15
factor eksternal berupa struktur internasional, nilai dan norma yang
berlaku, serta persepsi negara lain.
Identitas kolektif, adanya kesamaan pikiran dan perasaan antar
aktor. Berdasarkan rasa solidaritas, negara mengidentifikasi satu
sama lain sebagai ‘teman’.15
Bagan 1.1 Konstruktivisme
Sumber : The Power of Ideas
Menurut keterangan di atas, konstruktivis memandang sebuah identitas
dan kepentingan sebagai sesuatu yang dibangun oleh struktur sosial dan bukan
sebagai sesuatu yang muncul berdasarkan karakter aktor maupun kondisi politik
dalam negeri.
15 Mohamad rosyidin, 2015, The Power of Ideas, Yogyakarta ; Tiara Wacana.
Identitas
Kepentingan Tindakan
16
Konstruktivisme menitik beratkan pada konstruksi sosial yang membentuk
sebuah sistem Internasional. Menurut Alexander Wendt (1999) sistem
internasional yang ada bukanlah sesuatu yang given melainkan hasil dari
konstruksi sosial. Wendt juga menentang posisi neorealisme yang mengatakan
bahwa sistem anarki berdar dari sistem self-help, bagi konstruktivisme sistem
anarki tergantung dari adanya interaksi antar aktor. 16
Konsep mengenai identitas juga didukung oleh K.J. Holsti yang
mendefinisikan peran nasional sebagai:
Definisi para pembuat kebijakan tentang macam kebijakan,
komitmen, aturan dan tindakan yang sesuai untuk negaranya, serta
peranan, kalaupun ada, yang menuntun bagaimana seharusnya
berperilaku dalam sistem internasional atau regional. Hal itu
merupakan gambaran tentang tujuan yang hendak dicapai atau
peranan negaranya terhadap lingkungan eksternal.17
Pengertian tersebut dapat disederhanakan melalui kalimat “ Apa yang kita
inginkan dan kita lakukan muncul dari apa yang kita pikirkan tentang siapa kita,
ingin menjadi apakah kita, dan apa yang seharusnya kita lakukan “.18
Protokol Kyoto pertama kali digagas pada tahun 1997 sebagai bentuk
action step dari hasil konvensi perubahan iklim yang telah diselenggarakan pada
tahun 1992, dimana 180 negara setuju untuk menandatangani UN Framework on
Climate Change, yang menyatakan mengenai kebutuhan Negara – Negara untuk
16 Iris Dian Susmita, “Konstruktivisme: Pendekatan Berdasarkan Konstruksi Sosial” diakses di
http://irisds-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-81546-SOH-Teori-Hubungan-Internasional-THI-
Individu-Konstruktivisme-Pendekatan-Berdasarkan-Konstruksi-Sosial.html, Pada 21 September
2017 17 Mohamad rosyidin, 2015, The Power of Ideas, Yogyakarta ; Tiara Wacana. 18 Ibid.
17
mengurangi gas emisi rumah kaca sebagai bentuk global respon terhadap
perubahan iklim.19
Pada tahun awal terbentuknya protokol Kyoto, india dan China tidak
memiliki kewajiban untuk melakukan pengurangan emisi dikarenakan pada masa
tersebut emisi rumah kaca India dan China jauh lebih rendah daripada Negara
maju seperti AS dan Rusia, serta perekonomian Negara berkembang pada saat itu
dianggap belum siap untuk mengikuti peralihan penggunaan bahan bakar untuk
kebutuhan industry yang lebih ramah lingkungan.20
Berdasarkan fakta yang telah disebutkan diatas pada awal dibentuknya
protokol Kyoto China tidak memiliki kewajiban untuk berkomitmen terhadap
pengurangan emisi GRK. Namun pada tahun 2002 China akhirnya turut
meratifikasi sebagai bentuk komitmennya untuk turut aktif mengurangi GRK.
Dalam press rilisnya China menyatakan, "China has completed the
domestic procedure for the approval of the Kyoto Protocol with a view to taking
an active part in multilateral environmental cooperation,'' dan juga "The approval
manifests China's positive stance towards international environmental
cooperation and world sustainable development.'' 21
Dapat dikatakan bahwa diratifikasinya Protokol Kyoto oleh China
merupakan tindakan yang didasarkan kepada nilai-nilai yang dianut oleh China
19 Eric Bond “The Kyoto Protokol” diakses di http://climatechange.sea.ca/Kyoto_Protokol.html,
pada 22 September 2017 20 “Kyoto Protokol Fast Facts” diakses di http://edition.cnn.com/2013/07/26/world/Kyoto-
Protokol-fast-facts/index.html, pada 22 September 2017 21 “China Ratifies Kyoto Protokol” diakses di http://www.China.org.cn/english/China/41661.html,
pada 22 September 2017
18
salah satunya adalah nilai-nilai konfusianisme. selain adanya nilai domestic,
dengan meratifikasi Protokol Kyoto China berusaha membangun image sosial di
dunia internasional.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Variabel Penelitian dan Level Analisa
Untuk lebih mempermudahan dalam penelitian ini maka penulis
menentukan lebih variabel-variabelnya, dan dalam penilitian ini penulis
menggunakan dua variabel yaitu variabel dependen dan variabel independen.
Dalam penelitian ini variabel dependennya, Analisis Alasan China dalam
Meratifikasi Protokol Kyoto, yang juga sebagai unit analisa. Sedangkan variabel
independen, yaitu Ratifikasi Protokol Kyoto oleh China.
Setelah mengetahui variabel penelitian maka level analisa harus diketahui
agar mempermudah suatu penelitian, Dalam penelitian ini penulis menggunakan
level analisis Induksionis, dimana unit eksplanasinya lebih tinggi dibanding unit
analisisnya.
1.6.2 Metode / Tipe penelitian
Penulis menggunakan metode / tipe penelitian eksplanatif dalam penelitian
yang berjudul Analisis alasan China dalam Meratifikasi Protokol Kyoto. Penulis
berusaha untuk menganalisa alasan China dalam mengambil keputusan untuk
meratifikasi Protokol Kyoto, di mana komitmen China sebagai salah satu
penyumbang GRK terbesar secara global.
19
1.6.3 Teknik Analisa Data
Penulis menggunakan teknik induksi dalam menganalisa data penelitian
yang berjudul Analisis alasan China dalam Meratifikasi Protokol Kyoto. Di mana
data mengenai fenomena dikumpulkan, dipilah, dikelompokkan, dianalisis secara
lengkap, rigid dan kronologis yang kemudian mempengaruhi proses pembentukan
generalisasi sebagai hasil akhir dari pada riset.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah teknik
pengumpulan data secara sekunder. Diperoleh dengan studi pustaka dari buku-
buku yang ada kaitannya dengan judul yang diambil, surat kabar dan hasil
seminar, dokumen- dokumen resmi dan jurnal yang terdapat dari situs internet dan
library research.
1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian
a. Batasan Waktu
Untuk membatasi pembahasan agar tidak terlalu jauh dari tujuan penulisan
yang ingin dicapai, maka penulis memberikan batas-batasan. Di antaranya adalah
memberikan gambaran tentang proses ratifikasi China dalam Protokol Kyoto pada
tahun 2002 dan alasan-alasan yang melatar belakangi China dalam meratifikasi
protoko Kyoto.
b. Batasan Materi
Dalam membatasi pembahasan materi agar tidak terlalu jauh dari tujuan
penulisan yang ingin dicapai, maka penulis memberikan batasan-batasan di
20
antaranya adalah dengan memberikan gambaran tentang pertimbangan yang
dilakukan oleh China dalam meratifikasi protokol Kyoto.
1.7 Argumen Dasar
China merupakan salah satu negara yang menjadi sorortan dengan
perkembangan ekonomi yang cukup pesat. Keberhasilan industri China dimulai
dari keterbukaan pasar China hingga membanjirnya produk-produk China di
berbagai negara. Namun seiring dengan perkembangan positif tersebut, nyatanya
China dihadapkan dengan permasalahan lingkungan yang mengancam bagi negara
China sendiri maupun mengancam negara lain. Hingga pada akhirnya protokol
Kyoto menawarkan solusi untuk mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.
Bergabungnya negara dengan organisasi maupun porotokol
internasional,merupakan salah satu langkah China dalam mengkonstruksi identitas
China yang berkaitan dengan nilai-nilai dan ajaran konfusianisme. Tujuan utama
konfusianisme adalah terbentuknya masyarakat yang harmonis sehingga terbentuk
perdamaian di masyarakat. Hal tersebut merupakan landasan dari terbentuknya
komitmen China yang dituangkan dalam peaceful rise of China. Dengan adanya
komitmen tersebut, China berharap dapat membentuk identitas China yang damai
dan China yang tidak mengancam bagi negara lain maupun sistem internasional.
21
Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Terdiri dari penjelasan latar belakang masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka konsep dan teori, model analisis, metode penelitian dan
hipotesa sementara.
BAB II : Protokol Kyoto dan Revolusi Industri China
Pada bab ini berisi penjelasan mengenai sejarah beserta penjelasan
mengenai Protokol Kyoto secara umum dan juga khususnya permasalahan
lingkungan yang saat ini sedang dihadapi oleh China. Diratifikasinya Protokol
Kyoto oleh China membuktikan bahwa adanya nilai-nilai yang ingin ditunjukkan
atau diterapkan oleh China yang dianggap sejalan oleh visi dan misi China.
BAB III : Pengaruh Nilai Konfusianisme dalam Meratifikasi Protokol Kyoto
Pada bab ini menjelaskan mengenai keterkaitan antara nilai dan ajaran
konfusianisme dengan langkah China dalam mengkonstruksi identitas China
sebagai negara yang cinta damai
BAB IV : Penutup
Berisi kesimpulan dari penelitian Analisis Alasan China dalam
meratifikasi Protokol Kyoto.
BAB IV : Kesimpulan dan Saran