bab i ii edit 12 okt

download bab i ii edit 12 okt

of 48

Transcript of bab i ii edit 12 okt

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Konteks Penelitian Pada tanggal 24 Mei 2011, harian pagi Tribun Jabar memuat berita tentang perkembangan dugaan kasus suap Wisma Atlet yang melibatkan M. Nazaruddin selaku Bendahara Umum Partai Demokrat dan di hari yang sama Tribun jabar juga memuat pemberitaan tentang pertemuan tertutup antara Ketua Komite Normalisasi, Agum Gumelar, dan sejumlah tokoh pendukung George ToisuttaArifin Panigoro. Pertemuan tersebut merupakan langkah yang dilakukan Menpora sebagai upaya mediasi dan dengar pendapat mengenai kisruh yang terjadi pada kongres 20 Mei 2011. 1 Pada terbitan selanjutnya, 25 Mei 2011, Tribun Jabar memberitakan tentang perkembangan kasus M. Nazaruddin kembali. Isi dari pemberitaan tersebut yakni tentang perbedaan pandangan atau pendapat antara Andi Mallarangeng dan Nazaruddin. Tribun Jabar memilih judul berita Andi Mallarangeng Tantang Nazaruddin dan sub-judul Perang Saudara Goyang Demokrat. Sedangkan disaat yang sama, kembali Tribun Jabar memberitakan tentang perkembangan PSSI pasca kisruh 20 Mei 2011. Isi pemberitaan yakni tentang kendala yang ditemui PSSI untuk melobi FIFA agar tidak memberikan

1

Tribun Jabar, 24 Mei 2011

2

sanksi serius. FIFA menganggap kericuhan kongres PSSI merupakan sebuah pelanggaran berat dan penghinaan terhadap perwakilan FIFA.2 Kedua isu pemberitaan tersebut, menurut penulis, merupakan dua permasalahan serius yang sedang dihadapi bangsa. Mengingat, M. Nazaruddin itu sendiri merupakan elit kader partai berkuasa saat ini yang begitu mengedepankan pemberantasan segala permasalah korupsi, dan sanksi yang akan dikeluarkan oleh FIFA pun merupakan permasalahan yang serius karena menyangkut masa depan persepakbolaan di Indonesia. Namun, ada perbedaan yang diperlihatkan oleh Tribun Jabar terhadap kedua pemberitaan ini. Perbedaannya adalah penempatan kedua berita tersebut. Pemberitaan tentang dugaan kasus suap oleh M. Nazaruddin ditempatkan sebagai headline, sedangkan pemberitaan tentang PSSI dan FIFA ditempatkan dihalaman selanjutnya. Tentunya, Tribun Jabar memberikan pandangan tersendiri terhadap kedua pemberitaan tersebut. Mengenai hal ini, penulis berasumsi bahwa penempatan berita tentang dugaan kasus suap Wisma Atlet SEA Games pada halaman depan cukup beralasan, kasus tersebut dianggap cukup serius karena menyangkut pencemaran nama baik partai. Pemberitaan dugaan kasus suap Wisma Altet SEA Games 2011 terhadap M. Nazaruddin di media massa akan menimbulkan dampak negatif bagi citra positif Partai Demokrat, termasuk diantaranya para jajaran elit Partai Demokrat, pun sejumlah kader partai yang diduga ada keterkaitan dengan kasus suap tersebut. Menurut pengamatan penulis, Tribun Jabar merupakan salah satu media surat kabar yang memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pemberitaan2

Tribun jabar, 25 Mei 2011

3

kasus Nazaruddin ini. Seperti pada terbitan tanggal 27 Mei 2011, Tribun Jabar memuat berita dengan judul Nazaruddin Kabur Ke Singapura. Pada pemberitaan ini, Tribun Jabar memaparkan kronologis kepergian Nazaruddin ke Singapura sebelum keluarnya surat permohonan pencekalan Nazaruddin oleh KPK. Namun, pada sisi lain, Tribun Jabar juga memuat pernyataan-pernyataan tentang pembelaan Nazaruddin. Mengenai hal itu, penulis berasumsi bahwa Harian Tribun Jabar sebagai media massa juga memiliki penafsiran tersendiri dalam memandang pemberitaan kasus M. Nazaruddin, sehingga penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana pembingkaian berita pada surat kabar Tribun Jabar. Dalam penelitian ini, penulis berusaha mengungkap unsur-unsur yang ditonjolkan dalam pemberitaan kasus M. Nazaruddin melalui analisis framing di Tribun Jabar. Analisis framing dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas dikonstruksi oleh media. Dengan cara dan teknik apa peristiwa ditekankan dan ditonjolkan. Apakah dalam berita itu ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan dalam pemberitaan. Sebagai pembaca surat kabar, pendengar radio, atau pemirsa televisi, kita seringkali dibuat bingung kenapa peristiwa yang satu ditonjolkan oleh media, sedangkan peristiwa lain tidak? Kenapa bagian tertentu lebih ditekankan oleh media, sedangkan bagian lain disamarkan. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut tentu saja melalui proses konstruksi. Di sini realitas sosial dimaknai dan dikonstruksi dengan makna

4

tertentu. Peristiwa dipahami dengan makna tertentu. Hasilnya, pemberitaan media massa pada sisi tertentu atau wawancara dengan orang-orang tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya bagian dari teknik jurnalistik, tetapi menandakan bagaimana peristiwa dimaknai dan ditampilkan, (Eriyanto, 2002:3). Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut, (Eriyanto, 2002:290). Dalam penelitian ini, penulis memilih analisis framing dengan menggunakan model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki sebagai teknik penelitian. Karena, menurut Pan dan Kosicki, pertama, teks berita terdiri dari berbagai simbol yang disusun melalui perangkat simbolik yang dipakai, yang akan dikonstruksi dalam memori khalayak. Kedua, analisis framing tidak melihat teks berita sebagai suatu pesan yang hadir begitu saja. Sebaliknya, teks berita dilihat sebagai teks yang dibentuk melalui struktur dan formasi tertentu, melibatkan proses produksi dan konsumsi dari suatu teks. Ketiga, validitas dari analisis framing tidaklah diukur oleh objektivitas dari pembacaan peneliti atas teks berita. Tetapi lebih dilihat dari bagaimana teks menyimpan kode-kode yang dapat ditafsirkan dengan jalan tertentu oleh peneliti, (Eriyanto, 2002:289-290).

5

1.2.Fokus Penelitian Berdasarkan pemaparan dari konteks penelitian diatas, maka penulis memfokuskan masalah penelitian ini pada bagaimana Harian Pagi Tribun Jabar membingkai pemberitaan kasus M. Nazaruddin.

1.3. Pertanyaan Penelitian Untuk memberikan batasan kajian dari fokus penelitian, maka pertanyaan penelitian yang akan dibahas adalah ; 1) Bagaimana Tribun Jabar membingkai kasus Nazaruddin melalui perangkat framing sintaksis? 2) Bagaimana Tribun Jabar membingkai kasus Nazaruddin melalui perangkat framing skrip? 3) Bagaimana Tribun Jabar membingkai kasus Nazaruddin melalui perangkat framing tematik? 4) Bagaimana Tribun Jabar membingkai kasus Nazaruddin melalui perangkat framing retoris?

6

1.4. Tujuan Penelitian Terdapat beberapa tujuan penelitian yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini, yaitu; 1) Untuk mengetahui bagaimana Tribun Jabar membingkai kasus Nazaruddin melalui perangkat framing sintaksis. 2) Untuk mengetahui bagaimana Tribun Jabar membingkai kasus Nazaruddin melalui perangkat framing skrip. 3) Untuk mengetahui bagaimana Tribun Jabar membingkai kasus Nazaruddin melalui perangkat framing tematik. 4) Untuk mengetahui bagaimana Tribun Jabar membingkai kasus Nazaruddin melalui perangkat framing retoris.

1.5. Kegunaan Penelitian 1.5.1. Kegunaan Teoretis Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan positif dalam mengembangkan ilmu komunikasi terutama dalam hal pencitraan seseorang atau organisasi dalam media massa.

7

1.5.2. Kegunaan Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi perusahaan dalam penulisan berita. 2. Dapat berguna bagi khalayak umum, terutama pembaca dalam memahami makna tersembunyi dibalik penulisan berita dan informasi. 3. Meningkatkan kemampuan dalam memahami karakteristik media. 4. Melatih kemampuan mengetahui maksud tersembunyi di balik penulisan.

1.6. Kerangka Pemikiran Media massa dan pers adalah salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan. Pers adalah salah satu bagian yang penting dari media untuk dapat memberikan informasi faktual kepada masyarakat luas. Dengan begitu pers, melalui medium media cetak atau elektronik, dapat menjangkau lapisan yang heterogen. Media massa bekerja untuk menyampaikan informasi. Media massa mempengaruhi persepsi khalayak tentang apa yang dianggap penting. Dengan memilih isu tertentu dan mengabaikan yang lain, media membentuk citra atau gambaran dunia seseorang seperti disajikan dalam media massa. Media massa mampu menimbulkan perubahan kognitif diantara individu-individu. Penonjolan-

penonjolan tentang sesuatu, baik dalam hal pemilihan narasumber, panjang ruang dalam rubrik, frekuensi pemuatan, semuanya akan membuat pembaca

menganggap hal itu penting, (Skripsi Yulianti, 2009:8).

8

Menurut Eriyanto, (2002:195) media massa pada dasarnya adalah media diskusi publik tentang suatu masalah yang melibatkan tiga pihak: wartawan, sumber berita, dan khalayak. Ketiga pihak itu mendasarkan keterlibatannya pada peran sosial masing-masing dan hubungan diantara mereka terbentuk melalui operasional teks yang mereka konstuksi. Analisis framing merupakan strategi konstruksi dalam memproses berita; perangkat kognisi yang dipergunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita, (Pan dan Kosciki, dalam Eriyanto 2002). Ide tentang framing pertama kali dilontarkan oleh Baterson, 1955. Frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas (Sudibyo, 2001 :219). Menurut Pan dan Kosicki, ada dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan. Pertama, dalam konsepsi psikologis. Framing dalam konsepsi ini lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi dalam dirinya. Framing berkaitan dengan struktur dan proses kognitif, bagaimana seseorang mengolah sejumlah informasi dan ditunjukkan dalam skema tertentu. Framing di sini dilihat sebagai penempatan informasi dalam suatu konteks yang unik/khusus dan menempatkan elemen tertentu dari suatu isu dengan penempatan lebih menonjol dalam kognisi seseorang. Elemen-elemen yang diseleksi dari suatu isu/peristiwa tersebut menjadi lebih penting dalam mempengaruhi pertimbangan dalam membuat keputusan tentang realitas. Kedua, konsepsi sosiologis. Kalau

9

pandangan psikologis lebih melihat pada proses internal seseorang, bagaimana individu secara kognitif menafsirkan suatu peristiwa dalam cara pandang tertentu, maka pandangan sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas realitas. Frame di sini dipahami sebagai proses bagaimana seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya. Frame di sini berfungsi membuat suatu realitas menjadi teridentifikasi, dipahami, dan dapat dimengerti karena sudah dilabeli dengan label, (Eriyanto, 2002 : 291). Di sini tampak ada dua konsepsi yang agak berlainan mengenai framing. Di satu sisi framing dipahami sebagai struktur internal dalam alam pikiran seseorang, di sisi lain framing dipahami sebagai perangkat yang melekat dalam wacana sosial/politik. Pan dan Kosicki membuat suatu model yang

mengintegrasikan secara bersama-sama konsepsi psikologis yang melihat frame semata sebagai persoalan internal pikiran dengan konsepsi sosiologis yang lebih tertarik melihat frame dari sisi bagaimana lingkungan sosial dikonstruksi seseorang. Bagi Pan dan Kosicki, framing pada dasarnya melibatkan kedua konsepsi tersebut. Dalam media, framing karenanya dipahami sebagai perangkat kognisi yang digunakan dalam informasi untuk membuat kode, menafsirkan, dan menyimpannya untuk dikomunikasikan dengan khalayak yang semuanya dihubungkan dengan konvensi, rutinitas, dan praktek kerja professional wartawan. Framing lalu dimaknai sebagai suatu strategi atau cara wartawan dalam mengkonstruksi dan memproses peristiwa untuk disajikan kepada khalayak.

10

Tabel 1.1 Kerangka Framing Pan dan Kosicki Struktur Sintaksis Cara wartawan menyusun fakta Kerangka Framing 1. Skema berita Unit yang Diamati Headline, lead letter, latar informasi, kutipan sumber, pernyataan, penutup 5W+1H

Skrip Cara wartawan mengisahkan fakta Tematik Cara wartawan menulis fakta

2. Kelengkapan berita

3. 4. 5. 6.

Detail Koherensi Bentuk kalimat Kata ganti

Paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antara kalimat

Retoris Cara wartawan menekankan fakta

7. Leksikon Kata, idiom, 8. Grafis gambar/grafik 9. Metafora Sumber: Eriyanto, 2007:256

1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Metode adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban, (Mulyana, 2002:145). Metode penelitian sebagai suatu metode ilmiah tidak harus menggunakan analisis statistik terhadap data yang ditemukan, metode ilmiah adalah metode penelitian yang digunakan secara ilmiah dan penelitian tersebut bisa berbentuk deskriptif, eksperimental, kuantitatif, kualitatif, krisis, analitis, histories, fenomenologis, dan lain-lain.

11

Metode penelitian kualitatif ini lebih menekankan pada pengamatan terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Pendekatan ini menurut Nasution bertujuan untuk memperoleh pemahaman dan menggambarkan realitas yang kompleks, (Nasution,1992:13). Metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka atau metode statistik. Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia, dan menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitasentitas kualitatif.

1.7.2. Subjek Penelitian Pada penelitian kualitiatif tidak dikenal populasi dan sampel. Yang dimaksud sampel pada riset penelitian kualitatif disebut informan atau subjek penelitian, (Kriyantono, 2006:161). Faisal, (1992:109) menjelaskan istilah subjek penelitian merujuk pada orang/individu atau kelompok yang dijadikan unit atau satuan (kasus) yang diteliti. Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Dalam penelitian ini yang ditetapkan sebagai subjek penelitiannya adalah wartawan Tribun Jabar yang meliput berita tentang Nazaruddin dan redaktur Harian Tribun Jabar.

12

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data 1) Dokumentasi Dilakukan dengan mendokumentasikan pemberitaan dugaan kasus suap Wisma Atlet SEA Games 2011 terhadap M. Nazaruddin yang dimuat dalam Harian Pagi Tribun Jabar yang terbit pada tanggal 18, 24, 25, 27 Mei, dan 15 Juni 2011 dan data tersebut diteliti dengan menggunakan analisis framing yang dikemukakan oleh Pan dan Kosicki. 2) Wawancara Dalam penelitian ini sumber data yang akan diwawancara adalah redaktur dan wartawan Harian Pagi Tribun Jabar. 3) Studi Kepustakaan Memanfaatkan teori-teori yang terdapat dikepustakaan berupa; sumber bacaan, buku referensi, atau hasil penelitian lain, untuk menunjang hasil penelitian.

1.7.4. Validitas dan Keabsahan Data Salah satu cara agar hasil penelitian dapat dipercaya adalah dengan menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. (Moleong 2004:330) Denzim (dalam Moleong 2004:330) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksan dan memanfaatkan penggunaan sumber,

13

metode, penyidik, dan teori. Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi teori dengan paradigma yang dipakai. Triangulasi sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat berbeda dalam metode penelitian kualitatif. (Patton dalam Moleong 2004:331) Teknik triangulasi merujuk pada pengumpulan informasi atau data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian, pada waktu berlainan dengan metode berlainan. Tujuan dari triangulasi adalah melihat lebih tajam hubungan antara berbagai data dan memeriksa kebenaran data tertentu dengan membandingkannya. Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik berbeda, yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi. Pada dasarnya, pemeriksaan keabsahan data adalah unsur yang penting dalam penelitian kualitatif yang juga dapat digunkan untuk menyanggah tuduhan bahwa penelitian kualitatif tidak ilmiah. Berdasarkan paradigma konstruksionis dan tradisi penelitian kualitatif yang digunkan dalam penelitian ini, seperti yang dikemukakan diatas. Maka untuk menetapkan keabsahan data, diperlukan teknik pemeriksaan yang didasarkan atas kriteria, (Moleong, 2004:173-175) 1. Derajat Kepercayaan (Credibility) Kriteria ini pada dasarnya menggantikan konsep validitas internal dari penelitian kuantitatif. Kriteria ini menunjukkan derajat kepercayaan hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang diteliti.

14

2. Keteralihan (Transferability) Konsep ini menyatakan bahwa generalisasi suatu penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh pada semua sampel yang secara representatif mewakili populasi itu. Untuk melakukan pengalihan tersebut, seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks. 3. Ketergantungan (Dependability) Kriteria ini merupakan substitusi istilah reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Pengertian ketergantungan disini, yaitu kemampuan dapat diulanginya kembali sebuah riset analisis framing dengan hasil yang sama. Dalam konteks itu, sebuah riset analisis framing dapat diulangi kembali dengan hasil yang sama jika pengulangan tersebut menggunakan pendekatan teori yang sama, paradigma penelitian yang sama, serta tipe dan metode analisis yang sama 4. Kepastian (Confirmability) Konsep ini berasal dari konsep objektivitas dalam penelitian kuantitatif. Pemastian dalam penelitian kualitatif, objektif atau tidak bergantung pada persetujuan beberapa orang terhadap pandangan, pendapat, dan penemuan seseorang. Maka jika sesuatu itu objektif, berarti dapat dipercaya, faktual, dan dapat dipastikan.

15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kajian Pustaka Kajian pustaka dipaparkan dengan maksud untuk memberikan gambaran tentang kaitan upaya pengembangan dengan upaya-upaya lain yang mungkin sudah dilakukan para ahli atau peneliti lain untuk mendekati permasalahan yang sama atau relatif sama. Dengan demikian pengembangan yang dilakukan memiliki landasan empiris yang kuat. Kajian pustaka dalam penelitian ini menggunakan kajian beberapa penelitian terdahulu berkaitan dengan pemberitaan suatu peristiwa oleh media massa yang merupakan kajian empiris sebagai landasan untuk berfikir dan sekaligus untuk mengetahui dan mempelajari berbagai metode analisis yang digunakan dan dapat diterapkan oleh peneliti dalam penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penelitian yang berjudul: Pemberitaan Keluarga Eks Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) Di Majalah Berita Mingguan Tempo Jakarta, Studi Analisis Framing Mengenai Pemberitaan Keluarga Eks Partai Komunis Indomnesia Di MBM Tempo Edisi 2-9 Oktober 2005.3 Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tempo dalam struktur sintaksisnya menyusun latar informasi, opini dan kutipan sumber yang mendukung tercapainya tujuan atau gagasan tertentu. Bahkan sudah mengarah kepada pendramatisiran keadaan yang pernah dialami eks Tapol. Dari struktur Skrip, unsur 5w+1H-nya cukup terinci. Dalam struktur tematiknya, Tempo3

Surya Pratama, Pemberitaan Keluarga Eks PKI di MBM Tempo Jakarta (Jatingngor: Skripsi Unpad, 2007)

16

mengungkapkan tema dengan jelas yang tersusun secara lengkap dan sarat informasi. Dalam struktur retorisnya, Tempo memainkan banyak unsur leksikon. Tempo membingkai pemberitaan eks anggota PKI sebagai sebuah kenyataan yang bertujuan untuk menumbuhkan citra positif eks Tapol di masyarakat dengan menunjukkan keahlian yang menjadi modal hidup mereka sampai sukses seperti saat ini. 2. Penelitian yang berjudul: Pemberitaan Mengenai Sengketa Nuklir Iran Pada Harian Kompas dan Republika, Studi Analsis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.4 Hasil penelitian menunjukkan, bahwa Kompas dan Republika memiliki bingkai yang memiliki keberpihakan yang berbeda dalam memberitakan sengketa nuklir Iran. Harian Kompas yang dikenal dengan misi Humanisme-nya mengupas isu nuklir Iran dari sisi negara barat dan memandang Iran sebagai pemicu masalah dengan mengetengahkan juduljudul berita Iran Tangguhkan Pembicaraan Dengan Rusia, serta Usulan Rusia Diwacanakan Lagi dengan sub-judul Efektivitas Sanksi PBB Atas Iran Diragukan. Sementara itu, Harian Republika yang dikenal dengan Pers Islaminya berkaitan dengan dasar pendirian media ini oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (CMI), memilih untuk menempatkan diri di posisi kaum muslim dengan menganggap Iran sebagai pihak yang tertindas, menyajikan berita-berita yang berjudul AS Dikabarkan Akan Serang Iran dan Terkait Isu Nuklir Iran: Rusia Siap Abstain. Kompas dengan visi humanismenya, memuat berita-membuat yang berisi bujukan agar Iran mengikuti keinginan negara-negara Barat, yaitu menghentikan program nuklirnya unuk mempertahankan kedamaian dunia. Sebaliknya, republika memuat berita-berita yang berisi dukungan agar Iran mempertahankan keputusannya untuk memulai kembali program nuklir mereka. 3. Penelitian yang berjudul: Analisis Framing Headline Harian Kompas dan Media Indonesia tentang Pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar (Edisi Juli-Agustus 2007).5 Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa Kompas lebih mengampanyekan suara warga terhadap calon gubernur baru. Sedangkan Media Indonesia lebih mengampanyekan suara Gubernur Fauzi Bowo, hal itu terlihat pada hasil analisa yang menunjukkan Fauzi Bowo dicitrakanAnindhita, Pemberitaan Mengenai Sengketa Nuklir Iran Pada Harian Kompas dan Republika (Jakarta: Skripsi UI, 2007) 5 Asep Sugiarto, Analisis Framing Headline Harian Kompas dan Media Indonesia tentang Pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang Daradjatun-Dani Anwar, (Jatinangor: Skripsi UNPAD, 2008)4

17

secara positif, sedangkan calon gubernur Adang dicitrakan secara negatif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Harian Kompas tidak berpihak kepada kedua calon gubernur, melainkan berpihak kepada suara warga Jakarta. Sedangkan harian Media Indonesia lebih berpihak kepada calon Gubernur Fauzi Bowo. 4. Penelitian yang berjudul: Pemberitaan Tokoh Megawati Terkait Dengan Pemilihan Presiden 2009 Pada Harian Jawa Post dan Surabaya Post, Studi Analsis Framing Model Entmant Pada Straight News dan Depth Reporting Berita Tokoh Megawati Harian Jawa Post dan Surabaya Post Periode 1 Januari 31 Maret 2008.6 Hasil penelitian dan analisis data menyimpulkan bahwa dalam mengonstruksi tokoh Megawati, Jawa Post lebih menonjolkan berita seputar kritik Megawati dalam pemerintahan SBY sehingga yang didapat adalah sosok Megawati yang kritis terhadap pemerintahan yang ada, Megawati tidak terima kekalahan Pilpres 2004 dan Megawati yang tidak introspeksi diri sebelum mengkritik. Hal ini lebih dikaitkan dengan persaingan politik antara SBY dan Megawati pada Pilpres 2009. Selain itu, Jawa Post dalam pemberitaannya memfungsikan diri sebagai issue intensifier dan membentuk opini publik. Sedangkan Surabaya Post lebih mengaitkan isu Megawati dengan mantan penguasa Orde Baru, sehingga yang didapat adalah sosok Megawati yang dibatasi ruang geraknya dalam bidang politik dan tertindas pada masa pemerintahan Orde Baru. Dalam pemberitannya, Surabaya Post memposisikan diri sebagai pembentuk opini publik. Hal ini lebih diarahkan untuk memberi ruang gerak kepada Megawati untuk berpartisipasi pada Pilpres 2009 sama dengan Pilpres 2004.

5. Penelitian yang berjudul: Analisis Framing Mengenai Pemberitaan Perubahan Iklim Pada Majalah Tempo7. Hasil penelitian dan analisis data menyimpulkan bahwa Majalah Tempo Edisi 3-9 Desember 2007 membingkai realitas perubahan iklim sebagai suatu tindak kelalaian pemerintah dalam menjaga kelestarian hutan Indonesia, dimana penulisan berita tersebut bertujuan untuk mengingatkan pemerintah Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan6

Kristin Suciatik, Pemberitaan Tokoh Megawati Terkait Dengan Pemilihan Presiden 2009 Pada Harian Jawa Post dan Surabaya Post, Studi Analsis Framing Model Entmant Pada Straight News dan Depth Reporting Berita Tokoh Megawati Harian Jawa Post dan Surabaya Post Periode 1 Januari 31 Maret 2008 (Surabya: Skripsi Universitas Airlangga, 2008) 7 Vivi Media Yulianti, Analisis Framing Mengenai Pemberitaan Perubahan Iklim Pada Majalah Tempo (Jatinangor: Universitas Padjadjaran, 2009)

18

hutan dan berhenti merusak hutan dengan mengangkat pemberitaan mengenai kerusakan hutan Indonesia. Tabel 2.1 Matriks Kajian Pustaka Peneliti Surya Pratama (KIA02040), Mahasiswa Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu komunikasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 2007 Judul Pemberitaan Keluarga Eks Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) Di Majalah Berita Mingguan Tempo Jakarta Objek Penelitian Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 2-9 Oktober 2005 Unit Analisis Segi sintaksis, skrips, tematik, dan retoris pada Pemberitaan Keluarga Eks Anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) Di Majalah Berita Mingguan Tempo Jakarta Struktur sintaksis artikel (bagaimana wartawan menyusun fakta) Struktur skrip artikel (bagaimana wartawan mengisahkan fakta) Struktur tematik artikel (bagaimana wartawan menulis fakta) Struktur retoris Metode Penelitian Metode kualitatif dengan metode analisis framing menurut Pan dan Kosicki

Anindhita, Mahasiswa Jurusan Humas, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI, Jakarta, 2007

Pemberitaan Mengenai Sengketa Nuklir Iran Pada Harian Kompas dan Republika

Kompas dan Republika

Penelitian kualitatif dengan Studi Analsis Framing Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

19

Asep Sugiarto, Program Pendidikan Magister Program Studi Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama Ilmu Komunikasi, Bandung 26 April 2008

Kristin Suciatik, makasiswa Fakultas Ilmu Komuniikasi, Unair Surabaya, 2008

Analisis Framing Headline Harian Kompas dan Media Indonesia tentang Pasangan Calon Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo-Prijanto dan Adang DaradjatunDani Anwar Pemberitaan Tokoh Megawati Terkait Dengan Pemilihan Presiden 2009 Pada Harian Jawa Post dan Surabaya Post

Harian Kompas dan Media Indoneisa Edisi JuliAgustus 2007

(bagaimana wartawan menekankan fakta) Teks berita headline kampanye dua pasangan Calon Gubernur DKI

Metode deskriptif komparatif analisis model Entmant dengan pendekatan teori konstruktivis dan teori ruang redaksi Shoemaker Reese

Jawa Post dan Surabaya Post Periode 1 Januari 31 Maret 2008

Vivi Media Yulianti, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran Jatinangor 2009

Analisis Edisi 3-9 Kualitatif Analisis Framing Desember Framing menurut Mengenai 2007 Pan dan Kosicki Pemberitaan Perubahan Iklim Pada Majalah Tempo Persamaan dengan penelitian penulis Perbedaan 1. Menggunakan tradisi penelitian kualitatif, Perbedaan unit analisis teknik analisis data dengan metode analisis framing, menggunakan model Pan dan Kosicki 2. Menggunakan tradisi penelitian kualitatif, Menggunakan studi komparatif teknik analisi data dengan metode

Teks berita Harian Jawa Post dan Surabaya Post tentang pemberitaan tokoh Megawati terkait dengan Pemilihan Presiden 2009 Sintaksis, skrip, tematik, retoris.

Penelitian kualitatif dengan metode analisis framing model Entman dengan rujukan Teori Konstruktivis Sosial atas realitas dan lima level media (Teori Ruang Redaksi)

20

analisis framing, menggunakan model framing Pan dan Kosicki dengan pendekatan perspektif yang sama yaitu konstruksionis 3. Menggunakan tradisi penelitian kualitatif, teknik analisis data dengan metode analisis framing, menggunakan rujukan dan kajian teori yang sama yaitu, teori konstruksionis dan teori ruang redaksi 4. Menggunakan tradisi penelitian kualitatif, teknik analisis data dengan metode analisis framing, menggunakan rujukan atau kajian teori yang sama yaitu teori konstruksionis dan ruang redaksi 5. Menggunakan tradisi penelitian kualitatif, teknik analisis data dengan metode analisis framing, menggunakan rujukan atau kajian teori yang sama yaitu teori konstruksionis dan ruang redaksi

Model analisis framing yang digunakan adalah model Robert Entman

Model framing yang digunkan adalah model Robert Entman

2.2. Perspektif Teoretis Suatu teori adalah seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan memerinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu, (Kerlinger, 1992:14). Batasan teori, ungkap Kerlinger, mengandung tiga hal. Pertama, sebuah teori adalah seperangkat proposisi yang terdiri atas konstruk-konstruk yang terdefinisikan dan saling terhubung. Kedua, teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel (konstruk) dan dengan demikian merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomena-fenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu. Ketiga, teori itu menjelaskan fenomena. (Elvinaro Ardianto

21

dan bambang Q-Anees, Filsafat Ilmu Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007): 56) Teori adalah pernyataan abstrak yang memberikan pemahaman atau penjelasan tentang sesuatu yang teramati di dunia sosial. Teori berfungsi menjawab pertanyaan empiris, konseptual, dan praktis dan kualitas teori bisa dinilai dalam artian sangat umum dalam hal jawaban yang diberikan pada pertanyaan tersebut. Jadi, teori berfungsi untuk menyelesaikan masalah empiris, konseptual, dan praktis. Sedangkan fungsi kerangka teoretis pada penelitian ini adalah sebagai acuan dari kerangka penelitian dengan penggunaan teori sebagai dasar penelitian.

2.2.1. Teori Konstruksi Sosial Jika kita telaah terdapat beberapa asumsi dasar dari Teori Konstruksi Sosial Berger dan Luckmann. Adapun asumsi-asumsinya tersebut adalah: a. Realitas merupakan hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuataan konstruksi sosial terhadap dunai sosial di sekelilingnya b. Hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial tempat pemikiran itu timbul, bersifat berkembang dan dilembagakan c. Kehidupan masyarakat itu dikonstruksi secara terus menerus d. Membedakan antara realitas dengan pengetahuan. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam kenyataan yang diakui sebagai

22

memiliki keberadaan (being) yang tidak bergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

Berger dan Luckman mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya. Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi. a. Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.

23

b. Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai objective reality misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di filmfilm. c. Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru, (Skripsi Edelweis, 2007:34). Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi. 1. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Society is a human product. 2. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. Society is an objective reality. 3. Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-

lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. Man is a social product, (Skripsi Edelweis, 2007:35).

24

Jika teori-teori sosial tidak menganggap penting atau tidak memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini menyebabkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam

(internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif. Konstrusi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yang menonjol melihat realitas peran media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi, (Skripsi Edelweis, 2007:37). a. Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga. b. Sementara legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif. Hal ini mengacu kepada dua

25

tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. Kedua keseluruhan individu (termasuk di dalam media ), yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama, dimana lembaga itu sekedar fakta yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila berbagai obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan kepada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal nilai-nilai ia juga selalu mengimplikasikan pengetahuan.

2.3. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran ini merupakan landasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian, yaitu: 2.3.1. Penilaian Media dan Berita Dalam Pandangan Konstruksionis Dibandingkan dengan pandangan positivis, pandangan konstruksionis memiliki penilaian tersendiri terhadap media, wartawan dan berita (Eriyanto, 2007:19-35), yaitu: 1. Fakta merupakan konstruksi atas realitas Menurut pandangan positivis, realitas yang ada bersifat eksternal dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Pandangan ini sangat bertolak

26

belakang

dengan

pandangan

konstruksionis.

Menurut

pandangan

konstruksionis, realitas bersifat subjektif. Realitas hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan, dan tercipta melalui konstruksi dan sudut pandang tertentu dari wartawan. 2. Media sebagai agen konstruksi pesan Pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran yang murni, tempat bagaimana transaksi pesan dari semua pihak yang terlibat dalam berita. Media adalah sarana bagaimana pesan disebarkan dari komunikator ke penerima (khalayak) dan sebagai sarana netral. Namun dalam pandangan konstruksionis, media dilihat sebaliknya. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Pandangan semacam ini menolak argumen yang menyatakan media seolah-olah sebagai tempat saluran bebas. Lewat berbagai instrument yang dimilikinya, media ikut membentuk realitas yang terjadi dalam pemberitaan. Pada pandangan konstruktivis, media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. 3. Berita bukanlah refleksi dari realitas, melainkan konstruksi dari realitas. Pandangan positivis berpendapat bahwa berita dalam mirror of reality, karena itu berita harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Berita dihadirkan kepada khalayak sebagai representasi dari kenyataan, dan kenyataan itu ditulis kembali dan ditransformasikan lewat berita. Tetapi dalam pandangan konstruksionis, berita dianalogikan seperti sebuah

27

drama. Berita tidak menggambarkan realitas, tetapi merupakan hasil dari konstruksi sosial dimana selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilainilai dari wartawan atau media. 4. Berita bersifat subjektif Pada pandangan positivis, berita haruslah bersifat objektif, artinya opini dan pandangan pembuat berita harus disingkirkan. Bias pada berita harus dihindarkan. Sedangkan pendekatan konstruksionis menganggap bahwa berita bersifat subjektif. Hal ini disebabkan bahwa opini tidak akan dapat dihilangkan oleh pembuat berita karena ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif. Penempatan sumber berita yang menonjol dibandingkan sumber lain atau liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihal lain, bukanlah kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan wartawan. 5. Wartawan bukanlah pelapor, melainkan agen konstruksi realitas. Pandangan positivis melihat wartawan seperti layaknya seorang pelapor (observer), karena itu wartawan hanya bertugas memberikan atau mentransfer apa yang ia lihat dan ia rasakan di lapangan. Realitas yang dilaporkan haruslah sama dengan realitas yang sesungguhnya. Hal ini sangat berbeda dengan pandangan konstruksionis yang melihat wartawan layaknya agen atau aktor pembentuk realitas. Realitas bukanlah sesuatu yang objektif, melainkan dibentuk dan diproduksi tergantung pada bagaimana proses konstruksi berlangsung. Realitas bersifat subjektif dan terbentuk melalui pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan.

28

6. Etika, pilihan moral dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Sebagai pelapor, pendekatan positivis menekankan agar nilai, etika dan keberpihakkan wartawan dihilangkan dalam proses pembuatan berita. Intinya, realitas haruslah didudukkan dalam fungsinya sebagai realitas yang faktual, yang tidak boleh dikotori oleh pertimbangan subjektif. Pada pendekatan konstruksionis, aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media, etika dan moral yang didalam bayak hal berarti keberpihakkan pada satu kelompok atau nilai tertentu-umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas. Wartawan bukan hanya pelapor, karena disadari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. 7. Nilai, etika, dan pilihan moral peneliti menjadi bagian yang integral dalam penelitian. Pada pandangan positivis, peneliti haruslah bebas menilai, ini berarti etika dan pilihan moral peneliti tidak boleh ikut dalam penelitian. Campur tangan penelitian yang dalam benyak hal bisa berupa keberpihakkan atau pilihan moral, sedikit-banyak akan mempengaruhi bagaimana realitas itu dimaknai dan dipahami. Karena itu, nilai, etika dan pilihan moral harus berada diluar proses penelitian. Sedangkan penelitian yang berkategori konstruksionis, pilihan moral dan keberpihakan justru sukar dihilanghkan

29

dalam penelitian. Peneliti adalah entitas dengan berbagai nilai dan keberpihakkannya yang berbeda-beda, karenanya bisa jadi objek penelitian yang sama akan menghasilkan temuan yang berbeda di tangan peneliti berbeda. Peneliti dengan konstruksionisnya masing-masing akan

menghasilkan temuan yang berbeda pula. 8. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Pandangan positivis melihat bahwa khalayak dianggap pasif, sedangkan pembuat berita dianggap aktif. Apabila pembuat berita menulis mengenai perkosaan, pesan yang diterima khalayak seharusnya juga berita mengenai perkosaan. Dengan kata lain, berita yang diterima oleh khalayak sama dengan yang dimaksudkan oleh pembuat berita. Sedangkan pandangan konstruksionis melihat bahwa khalayak dianggap sebagai subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang ia baca. Hal ini disebabkan bahwa makna dari suatu teks selalu mempunyai banyak arti. Karena itu, khalayak mempunyai penafsiran tersendiri, yang mungkin bisa jadi berbeda dari pembuat berita.

2.3.2. Objektivitas Berita Dalam Pandangan Konstruksionis Independen dan objektif, merupakan dua kata kunci yang menjadi kiblat dan klaim setiap jurnalis. Dalam melaporkan sebuah peristiwa atau berita, seorang jurnalis harus objektif dan laporan beritanya harus bersifat dua pihak. Berita yang baik juga harus berdasarkan fakta, ini umumnya dilakukan dengan memberi pemisahan yang tegas antara fakta di satu sisi dengan opini di sisi lain. Meskipun

30

sikap independen dan objektif menjadi kiblat setiap jurnalis, pada kenyataannya sering kali kita mendapatkan suguhan berita yang beraneka warna dari sebuah peristiwa yang sama. Berangkat dari sebuah peristiwa yang sama, media tentu mewartakan dengan cara menonjolkan sisi atau aspek tertentu, sedangkan media lainnya meminimalisir atau bahkan menutupi sisi atau aspek tersebut, dan sebagainya. Apabila kita membandingkan berita atau peristiwa yang sama antara media yang satu dengan yang lain, sangat mugkin kita akan menemukan kesimpulan bahwa media apa pun tidak lepas dari bias-bias, baik yang berkaitan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Tidak ada satu pun media yang memiliki sikap independensi dan objektivitas yang absolut. Terjadi perdebatan mengenai objektivitas jurnalis. Perdebatan antara dua kubu tersebut misalnya diwakili oleh pakar jurnalistik Everette E. Dennis dengan John C. Merril (Dennis dan Merril, 1984:103-119). Dennis beranggapan bahwa sebuah berita dapat benar-benar objektif, mendasarkan asumsi bahwa pada dasarnya semua kerja jurnalistik dapat diukur dengan nilai-nilai objektif. Misalnya dengan mengisahkan fakta dengan opini, menghindari pandangan emosional dalam melihat peristiwa, memberikan prinsip keseimbangan dan keadilan, serta melihat peristiwa dari dua sisi. Objektivitas jurnalisme dimungkinkan kalau mengadopsi metode dan prosedur yang dapat membatasi subjektivitas wartawan / editor. Prosedur ini diterapkan pada tingkat peristiwa yang akan diliput (ada pertimbangan objektif dan rasional mengapa meliput suatu peristiwa), penulisan

31

(kata apa yang dipakai), editing tulisan (apa alasan penempatan berita), dan sebagainya. Sementara Merril (yang beranggapan bahwa objektivitas jurnalisme adalah hal mustahil) beralasan bahwa pada dasarnya semua kerja jurnalistik adalah subjektif, mulai dari pencarian berita, peliputan, hingga editing berita. Nilai-nilai subjektif si wartawan turut memberi pengaruh dalam semua proses kerja jurnalistik. Contoh dari subjektivitas wartawan ialah penempatan sumber berita yang menonjol dibandingkan dengan sumber lain, menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain, liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain dan secara nyata memihak satu kelompok. Pada pendekatan positivis, hal tersebut merupakan kekeliruan atau bias wartawan atau media yang bersangkutan. Tetapi pada pendekatan konstruksionisme, hal tersebut merupakan praktik yang lazim dan manusiawi untuk dijalankan oleh wartawan. Sudibyo, 2001:75, menjelaskan ada dua persyaratan utama untuk mencapai objektivitas berita. Pertama, dipersonalisasi, yaitu menurut reporter untuk tidak melibatkan ideologi mereka sendiri ke dalam pemahaman tentang berita atau penilaian-penilaian yang berkaitan dengan substansi berita. Yang

kedua ialah aspek keseimbangan untuk mencapai posisi yang netral. Disini reporter harus menyajikan semua sisi pandangan dalam suatu peristiwa dan memberikan perhatian yang sama kepada pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Namun pada kenyataannya, hal ini sulit untuk dijalankan.

32

Kemudian bagaimana objektivitas harus dinilai menurut pendekatan konstruksionis? Pada titik inilah pendekatan konstruksionis memperkenalkan konsep ideologi. Konsep ini membantu menjelaskan bagaimana wartawan membuat liputan berita memihak satu pandangan, menempatkan pandangan satu kelompok lebih menonjol dibandingkan kelompok lain dan sebagainya. Praktikpraktik mencerminkan ideologi dari si wartawan atau media tempat ia bekerja. Disini, media dipandang sebagai instrumen ideologi, melalui mana satu kelompok menyebarkan pengaruh dan dominasinya kepada kelompok lain. Media bukanlah ranah yang netral dimana berbagai kepentingan dan pemaknaan berbagai kelompok akan mendapatkan perlakuan yang sama dan seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya untuk disebarkan kepada khalayak. Dalam hal ini, ada dua peran yang dimainkan oleh media (Sudibyo, 2001:55). Pertama media adalah sumber kekuasaan homogenik, dimana kesadaran khalayak dikuasai. Kedua, media juga dapat menjadi sumber legitimasi, dimana lewat media mereka berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak absah dan benar. Pemberitaan tertentu tersebut tidak dianggap sebagai bias atau distorsi, tetapi sebagai akibat dari ideologi tersebut. Kecenderungan atau ideologi itulah yang menentukan bagaimana fakta itu dipahami, fakta apa yang diambil dan mana yang dibuang atau disembunyikan.

33

2.3.3. Konstruksi Realitas Pada Media Massa Menurut pendekatan konstruksionis, wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya. Etika, moral, atau keyakinan pada nilai tertentu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas. Wartawan disini bukan hanya pelapor, karena didasari atau tidak ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektivitas dalam publik. Menurut Mathew Kieran (Eriyanto, 2007:130), berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetisi tertentu. Menggunakan paradigma Peter D. Moss (Eriyanto, 2007:x), wacana media massa, temasuk berita surat kabar, merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi. Karena, sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial. Moss mengartikan ideologi sebagai seperangkat asumsi budaya yang menjadi normalitas alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi. Pandangan ini sejalan dengan dipotesis Sapir-Whorf yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu tidak sekedar deskriptif, yakni sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Implikasinya, bahasa juga dapat digunakan untuk memberikan aksen tertentu terhadap suatu peristiwa atau tindakan, misalnya dengan menekankan, memperlembut, mengagungkan,

membelokkan, atau mengaburkan peristiwa atau tindakan tersebut.

34

Seperti dikatakan Peter Dahlgren (Eriyanto, 2007:xi), realitas sosial menurut pandangan konstruksionis, setidaknya sebagian, adalah hasil produksi manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa. Maka, makna suatu peristiwa, yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media, sebenarnya adalah suatu konstruksi makna. Peristiwa yang dilaporkan oleh media, berita sekalipun, jelas bukan peristiwa yang sebenarnya. Ketika mengontruksi berita perubahan iklim, yang diteliti penulis pada penelitian ini, wartawan bisa jadi mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa. Karenanya, sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara bebeda (Eriyanto, 2007:17). Bagan 2.1 Model Konstruksi Realitas

Faktor Internal

PROSES KONSTRUKSI REALITAS OLEH MEDIA MASSA

WACANA SEBAGAI HASIL KONSTRUKSI REALITAS

PUBLIK

Hasil: makna, opini, citra, motif

Faktor Eksternal

Sumber: Skripsi Yulianti, 2009:35

35

2.3.4. Proses Framing Pembangunan konstruksi realitas pada masing-masing media berbeda, meskipun realitas faktanya sama. Pengonstruksian fakta tergantung pada kebijakan redaksional yang dilandasi politik media. Salah satu cara yang dipakai atau digunakan untuk menangkap cara masing-masing media membangun sebuah realitas adalah dengan framing. Framing adalah strategi konstruksi dan memproses berita: perangkat kognisi yang digunkan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita (Pan dan Kosicki, dalam Eriyanto : 2007). Pan dan kosicki mengemukakan bahwa, framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut, (Eriyanto, 2002:290). Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisa teks media. Analisis framing mewakili tradisi yang mengedepankan pendekatan atau perspektif multidisipliner untuk menganalisa fenomena atau aktivitas komunikasi, (Sobur, 2002:101). Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain, dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, penempatan yang mencolok (di headline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap

36

simbol budaya, generalisasi dan simplikasi. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak. Dengan framing kita juga bisa mengetahui bagaimana kebijakan dan politik suatu media yang akan membawa tersembunyi di balik sebuah penulisan. Dalam pemahaman beberapa ahli, framing adalah cara untuk melihat bagaimna realitas itu dibentuk dan dikonstruksikan oleh media. Secara praktis framing dapat dipahami sebagai cara bagaimana peristiwa atau realitas disajikan oleh media. Seperti yang diugkapkan oleh Frank D. Durha, framing membuat dunia lebih diketahui dan lebih dimengerti. Dengan framing realitas yang begitu rumit dan kompleks disederhanakan oleh media sehingga mudah dipahami, diingat dan realitas tersebut lebih bermakna dan dimengerti, (Skripsi Yulianti, 2009). Pan dan Kosicki, ahli analisis framing yang menggabungkan sisi psikologis dan sosiologis dalam konsep framing, menyebut cara pandang itu sebagai frame yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide. Proses pemberitaan dalam organisasi media akan sangat mempengaruhi frame berita yang akan diprosuksinya. Frame yang akan diproses dalam organisasi media tidak lepas dari latar belakang pendidikan wartawan sampai ideologi institusi media tersebut. Ada tiga proses framing dalam organisasi media. Proses tersebut adalah:

37

1. Proses framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibalikkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja, dengan mengguakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnnya. 2. Proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses

penyuntingan yang melibatkan semua bekerja di bagian keredaksian media cetak. Redaktur, dengan atau tanpa konsultasi dengan redaktur pelaksana, menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat ataukah tidak, serta menentukan judul yang akan diberikan. 3. Proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tetapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masingmasing berusaha menampilkan sisi informasi yang ingin ditonjolkannya (sambil menyembunyikan sisi lain). Proses framing menjadikan media sebagai arena dimana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangannya didukung pembaca, (Skripsi Edelweis, 2007:38).

2.3.5. Efek Framing Dalam proses framing pada akhirnya akan membawa efek. Karena sebuah realitas bisa jadi dibingkai dan dimaknai berbeda oleh media, bahkan pemaknaan

38

itu bisa jadi akan sangat berbeda. Realitas sosial yang kompleks penuh dimensi dan tidak beraturan, disajikan dalam berita sebagai sesuatu yang sederhana, beraturan dan memenuhi logika tertentu. Berdasarkan penyederhanaan atas kompleksinya, realitas yang disajikan media menimbulkan efek framing, yaitu: Pertama : framing yang dilakukan media akan menonjolkan aspek tertentu dan mengaburkan aspek lainnya. Framing pada umumnya ditandai dengan menonjolnya aspek tertentu dari realitas, akibatnya ada aspek lain yang tidak mendapat perhatian memadai. Kedua : framing dilakukan oleh media akan menampilkan sisi tertentu dan melupakan sisi lain. Dengan menampilkana sisi tertentu dalam berita ada sisi yang terlupakan, menyebabkan aspek lain yang penting dalam memahami realitas tidak mendapat liputan dalam berita. Ketiga : framing yang dilakukan media akan menampilkan aktor tertentu dan menyembungikan aktor lain. Efek yang segera terlihat dalam pemberitaan yang memfokuskan pada satu pihak menyebabkan pihak lain yang mungkin relevan dalam pemberitaan menjadi tersembunyi. (Eriyanto, 2002:165-168).

2.4. Surat Kabar 2.4.1. Surat Kabar Sebagai Media Komunikasi Massa Surat kabar merupakan media massa yang paling tua dibandingkan dengan media massa lainnya. Selain itu, surat kabar juga merupakan media massa paling

39

yang aling banyak dan paling luas penyebarannya dan paling dalam daya tamungnya dalam merekam kejadian sehari-hari sepanjang sejarah di negara maupun dunia. Perkembangan media komunikasi massa seperti pers, radio, televisi, dan lain-lain begitu cepat. Hal ini berlangsung seiring dengan meningkatnya pers media massa sebgai institusi penting di dalam kehidupan masayarakat. Bila dilihat dari perspektif komunikasi, media massa merupakan channel of mass communication, yakni merupakan saluran (alat, medium) yang digunnakan dalam proses komunikasi massa yaitu komunikasi yang diarahkan dan ditunjukkan kepada masyarakat banyak. Dalam lingkup studi komunikasi, surat kabar sebagai media komunikasi massa tidak data diragukan lagi kemampuannya dalam menyebarkan informasi sebagai media pendidikan dan pembentuk opini publik. Hal ini telah dibuktikan sejak tahun 1833 dengan lahirnya New York Sun, sedangkan kehadiran surat kabar yang khas untuk kaum elit terjadi hampir 17 abad pertama sampai tahun 1798. Bahkan menurut Bittner, 1959 tahun Sebelum Masehi produk jurnalistik yang pertama sudah ada yaitu ada zaman Romawi ketika Julius Cesar berkuasa yaitu tepatnya di kota Roma telah terbit sebuah bulletin untuk warga kota yang disebut dengan Acta Diurna yang membuat berbagai pengumuman yang datangnya dari pemerintah pada saat itu dan diletakkan di pendopo balai kota Roma (Liliweri, 1991 : 12).

40

Sebuah surat kabar berbeda dengan tipe publikasi lain karena karena kesegeraannya, karakteristik headline-nya, dan keanekaragaman liputan yang menyangkut berbagai topik, isu, dan peristiwa. Hal ini terkait dengan kebutuhan pembaca akan sisi menerima informasi yang ingin dibacanya. Setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala pernak-pernik kejadian. Dari bekal informasi, setiap orang dapat turut urun-rembung berpartisipasi di dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan kepastian informasi dan kemampuan urun rembung itu, setia orang membutuhkan wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil masyarakat untuk mencari dan memberi tahu tentang segala peristiwa yang terjadi yang dibutuhkan masyarakat. Pada sisi inilah, mengapa wartawan memiliki hak untuk tahu pada segala informasi publik, dan diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun informasi itu berada. Surat kabar harian sendiri terbit untk mewadahi keperluan masyarakat tersebut. Informasi menjadi instrument penting dari masyarkat industri. Oleh sebab itu, surat kabar harian bisa disebut sebagai produk dari insdustri masyarkat. Di samping itu dalam bentuknya yang independen, surat kabar biasanya integral dengan perkembangan paham demokrasi di sebuah masyarakat. Hal tersebut bisa dilihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat di sebuah masyarakat, dan tingkat keberaksaraan masyakarat (Kurnia, 2005:87). Perkembangan surat kabar, menurut Encyclopedia Brittanica bisa dilihat dari tiga fase:

41

1. Fase pertama, fase para pelopor yang mengawali penerbitan surat kabar yang muncul secara sporadis, dan secara gradual kemudian menjadi penerbitan yang teratur waktu terbit dan materi pemberitaan serta khalayak pembacanya. 2. Fase kedua, sistem otokrasi yang masih menguasai masyarakat membuat surat kabar kerap ditekan kebebasan menyampaikan laporan pemberitaannya. Penyensoran terhadap berbagai subyek materi informasinya kerap diterima surat kabar. Setiap pendirian surat kabar mesti memiliki izin dari berbgai pihak yang berkuasa. Semua itu akhirnya mengurangi independensinya sebagai instrument media informasi. 3. Fase ketiga, ialah masa penyensoran telah tiada namun berganti dengan berbagai bentuk pengendalian. Kebebasan pers memang telah didapat. Berbagai pemberitaaan sudah luas disampaikan. Namun sistem kapitalisasi industri masyarakat kerap menjadi pengontrol. Ini dilakukan antara lain melalui pajak, penyuapan, dan sanksi hukum yang dilakukan kepada berbagai media dan pelaku-pelakunya. (Kurnia, 2005: 87-88)

42

2.4.2. Ciri-Ciri Surat Kabar Effendi, (Effendi, 2000: 90), menyebutkan ciri-ciri surat kabar sebagai berikut: 1. Publisitas Yang dimaksud publisitas (publicity) ialah penyebaran kepada publik atau khalayak. Karena diperuntukkan khalayak, maka sifat surat kabar adalah umum dan isi surat kabar terdiri dari berbagai hal yang erat kaitannya dengan kepentingan umum. Oleh karenyanya, maka penerbitan yang meskipun bentuk fisiknya sama dengan surat kabar, tidak dapat disebut surat kabar apabila diperuntukkan bagi sekelompok atau segolongan orang. 2. Periodesitas Periodesitas menunjuk pada keteraturan terbitnya. Bisa harian, mingguan atau dwi-mingguan. Sifat periodesitas sangat penting dimiliki surat kabar. Bagi penerbit surat kabar, selama ada dana dan tenaga yang terampil, tidaklah sulit untuk menerbitkan surat kabar secara periodik. 3. Universalitas Menunjuk bahwa surat kabar harus memuat aneka berita mengenai kejadian-kejadian di seluruh dunia dan tentang segala aspek kehidupan manusia. Untuk memenuhi ciri ini maka perusahaan penerbitan surat kabar idealnya melengkapi diri dengan wartawan-wartawan khusus mengenai bidang tertentu (ekonomi, politik, sosial budaya, dan lainnya), serta

menempatkan koresponden di kota-kota penting, baik di dalam negeri ataupun di luar negeri.

43

4. Aktualisasi Aktualisasi berkaitan erat dengan kecepatan menyampaikan informasi. Menurut Ardianto dan Erdiyana (2004:106), laporan tercepat menunjuk pada kekinian atau terbaru dan masih hangat. Fakta dan peristiwa penting atau menarik setiap hari berganti serta perlu untuk dilaporkan kepada khalayak.

2.4.3. Sifat Surat Kabar Dalam menyampaikan beberapa informasi kepada khalayak, ada beberapa sifat dari surat kabar yang berbeda dengan media massa lainnya seperti radio dan televisi, Effendi (1984: 155-157) mengemukakan beberapa sifat surat kabar adalah sebagai berikut: 1. Terekam Terekam berarti bahwa berita-berita yang terdapat dalam surat kabar tersusun dalam alinea, kalimat, dan kata-kata yang terdiri atas huruf-huruf, yang dicetak pada kertas. Dengan demikian, setiap peristiwa atau hal yang diberitakan terekam sedemikian rupa sehingga dapat dibaca setiap saat dan dapat dikaji ulang, bisa dijadikan sebagai dokumentasi dan bisa dipakai sebagai bukti untuk keperluan tertentu. 2. Menimbulkan perangkat mental secara aktif Karena berita surat kabar yang dikomunikasikan kepada khalayak menggunakan bahasa yang tercetak mati di atas kertas maka untuk dapat

44

mengerti maknanya pembaca harus menggunakan perangkat mentalnya secara aktif. Kenyataan tersebut berbeda dengan proses penyiaran berita radio atau televisi, dimana setiap berita dibacakan oleh penyiar, dan para pendengar serta pemirsa tinggal menangkapnya saja dengan perangkat mental yang pasif. Lebih-lebih lagi radio dapat didengarkan oleh para pendengar sambil beraktivitas lain. 3. Pesan menyangkut kebutuhan komunikan Dalam proses komunikasi, pesan yang akan disampaikan menyangkut teknik transmisinya agar mengenai sasarannya dalam mencapai

tujuannnya. Sifat media massa adalah satu arah (one-way traffic communication) dan tidak memungkinkan diketahuinya tanggapan pembaca pada konsekuensinya, saat wartawan menyampaikan pesannya. Sebagai para wartawan harus melakukan perencanaan

jurnalistiknya (communication planning) secara matang.

2.4.4. Fungsi Surat Kabar Dari empat fungsi media massa (informasi, edukasi, hiburan dan persuasif), fungsi yang paling menonjol pada surat kabar adalah informasi. Hal ini sesuai dengan tujuan utama khalayak membaca surat kabar, yaitu keingintahuan akan setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Fungsi hiburan dapat ditemukan pada rubrik artikel ringan, feature, komik atau kartun seta cerita bersambung. Fungsi mendidik dan mempengaruhi akan ditemukan pada artikel ilmiah, tajuk

45

rencana atau editorial dan rubrik opini. Fungsi pers bertambah, yiatu sebgai alat kontrol sosial yang konstruktif, (Skripsi Edelweis, 2007:40). Adapun penjelasan khusus tentang fungsi surat kabar yaitu: 1) Publishing The News (menerbitkan atau menyiarkan berita) Beritanya harus dilaporkan secara lengkap agar pembaca puas

membacanya. Hal ini dimaksudkan untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan sesuai dengan pernyataan bahwa berita harus diterbitkan secara teliti. 2) Commenting On The News (memberikan komentar terhadap suatu berita) Fungsi ini memungkinkan si pembaca menemukan maksud dari suatu berita dan apa yang dikatakan orang lain tentang berita itu. 3) Entertaining Readers (menghibur pembaca) Bahwa hasil dari artikel-artikel dalam surat kabar banyak dibaca oleh pembaca karena artikel-artikel itu dapat memberikan hiburan kepada pembaca. 4) Helping Readers (menolong pembaca bagaimana cara menggunakan sesuatu) George Fox Mott dalam buku New Survey Of Journalism menyatakan bahwa surat kabar membantu dalam hal pemimpin dan pelayanan, juga resensi film dan buku.

46

5) Publishing Advertising (menerbitkan atau menyiarkan barang dan jasa yang ditawarkan kepada publik dengan menyewa ruang dan waktu) Dimana surat kabar menyediakan kolom yang digunakan sebagai tempat iklan barang-barang yang dikeluarkan oleh beberapa perusahaan sebagai ajang promosi, keuntungan dari iklan inilah surat kabar mampu menjual surat kabarnya dengan harga murah. Sebab salah satu penghasilan dari surat kabar adalah pemasukan dari iklan yang ditampilkan (Diktat Jurnalistik 1999:1718). 2.4.5. Sejarah Singkat Surat Kabar di Indonesia Pada zaman penjajahan Belanda, di Jakarta terbit Javasche Courant tahun 1828 isinya tentang berita resmi pemerintah, berita lelang dan berita kutipan harian di Eropa. Surat kabar pada masa itu tidak mempunyai arti secara politis karena lebih merupakan surat kabar periklanan. Tirasnya mencapai 1000-1200 eksemplar setiap kali terbit. Pada tahun 1885 terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda dan 12 surat kabar berbahasa Melayu satu berbahasa Jawa yang terbit di Solo. Pada zaman penjajahan Jepang, surat kabar diambil alih secara pelanpelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan untuk menghemat alat-alat, tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar. Kantor Berita Antara pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor Berita Yashima. Surat kabar bersifat propaganda dan memuji-muji pemerintah dan tentara Jepang.

47

Pada zaman kemerdekaan, surat kabar yang diterbitkan pada masa itu merupakan tandingan dari surat kabar yang diterbitkan pemerintahan Jepang. Pada zaman ini, banyak sekali pembredelan surat kabar karena isi bersifat propaganda bagipemeritnah pada waktu itu, seperti surat kabar Berita Indonesia, Harian rakyat, Soera Indonesia. Pada zaman Orde Lama, setelah dekrit 5 Juli 1959, terdapat larangan kegiatan politik, termasuk pers. Persyaratan mendapatkan SIT dan Surat Izin Cetak diperketat. Kemudian zaman Orde baru, pertumbuhan pers cukup marak di satu pihak cukup menggembirakan, tapi di pihak lain perlu diwaspadai. Pertumbuhan pers yang bebas dan merdeka, suatu pertanda bahwa kehidupan demokrasi terjamin. Penggunaan hak kebebasan pers yang kurang wajar dan bertanggung jawab, masih banyak surat kabar yang terdorong oleh tujuan komersil ataupun motif lainnya menyajikan berita-berita sensasional yang pada gilirannya akan dapat merusak stabilitas nasional. Pemerintah memberikan ganjaran berupa pencabutan Surat Izin Terbit, dan Surat izin Usaha Penerbitan Pers, seperti Sinar Harapan, tabloid Monitor dan Detik, majalah Tempo dan Editor. Menurut Agee, surat kabar memiliki tiga fungsi utama dan fungsi sekunder. Fungsi utama media adalah : (1) to inform (menginformasikan kepada pembaca secara objektif tentang apa yang terjadi dalam suatu komunitas, negara dan dunia, (2) to comment (mengomentari berita yang disampaikan dan mengembangkannya ke dalam fokus berita, (3) to provide (menyediakan keperluan informasi bagi pembaca yang membutuhkan barang dan jasa melalui

48

pemasangan iklan di media. Fungsi Sekunder media adalah : (1) untuk mengampanyekan proyek-proyek yang bersifat kemasyarakatan, yang diperlukan sekali untuk membantu kondisi-kondisi tertentu, (2) memberikan hiburan kepada pembaca dengan sajian cerita komik,kartun dan cerita-cerita khusus, (3) melayani pembaca sebagai konselor memperjuangkan hak.8

yang ramah,

menjadi agen

informasi dan

8

http://hsutadi.blogspot.com/2009/03/sejarah-kelahiran-suratkabar.html diakses 1 Agustus, pukul 08.20 WIB