BAB I AGAMA
-
Upload
rhadityo-shakti-budiman -
Category
Documents
-
view
132 -
download
0
Transcript of BAB I AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
Kuat atau lemahnya iman seseorang daapt diukur dan diketahui dari perilaku
akhlaknya. Karena iman yang kuat mewujudkan akhlaq yang baik dan mulia, sedng iman
yang lemah mewujudkan akhlaq yang jahat dan buruk laku, mudah terkilir pada perbuatan
keji yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Islam telah menggariskan tentang ibadah dan menetapkan / bernggapan bahwa
ibadah itu merupakan pokok-pokok iman, bukan merupakan upacara agama yang bersifat
abstrak. Islam tidak mengajarkan manusia melakukan perbuatan mungkar yang tidak
mempunyai nilai akhlak yang luhur, tapi sebaliknya Islam mengajar manusia hidup bersahaja
dengan akhlak yang mulia dalam keadaan yang bagaimanapun.
Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul dengan maksud utama membina dan
menyempurnakan akhlak, sebagaimana dinyatakn dalam hadits
Artinya :
“ Bahwasanya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (budi
pekerti). (HR. Ahmad)
Tugas Nabi yang digariskan dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpati manusia
untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran Risalahnya. Karena Risalah yang diajarkan Nabi
memberikan informasi tentang faktor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan menjelaskan
aspek-aspeknya.[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Akhlak
Secara etimologis (Bahasa), kata akhlak berasal dari Bahasa Arab ( ) dalam
bentuk jamak`, sedang mufradnya adalah khuluq ( ) yang di dalam kamus Munjid berarti
budi pekerti, perangai atau tingkah laku.
Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku / perangai atau Tahzib al-Akhlak (filsafat
akhlak-etika), atau al-hikmat-al-amaliyyah, atau al-hikmat al-khuluqiyyat. Yang
dimaksudkan dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa
untuk mensucikannya. Dalam Bahasa Indonesia akhlak dapat diartikan dengan moral, etika,
watak, budi pekerti, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan.
Ilmu akhlaq adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji dan
tercela, tentang perkatan atau perbuatan manusia lahir dan batin dengan lain perkataa. Ilmu
akhlaq adalah :
1. Menjelaskan arti baik dan buruk.
2. Meneruskan apa yang seharusnya dilakukan.
3. Menunjukkan jalan unutk melakukan perbuatan.
4. Menyatakan tujuan di dalam perbuatan.
Jadi, ilmu akhlaq adalah ilmu yang mempersoalkan baik buruknya amal. Amal terdiri
dari perkataan, perbuatan atau kombinasi keduanya dari segi lahir dan batin.
Akhlaq adalah mufrad dari khilqun yang mengandung segi-segi persesuaian dengan
khalqun serta erat hubungannya dengan khaliq dan makhluk. Dari sinilah asal perumusan
ilmu akhlaq yang merupakan koleksi ugeran yang memungkinkan timbulnya hubungan baik
antara makhluk dengan khaliq dan antara makhluk dengan makhluk.3
B. Sumber Ilmu Akhlak
Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk
atau mulia dan tercela. Sebagaiman ajaran Islam, sumber akhlak adalah Al-Qur`an dan
Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan
moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaiman pandangan
Mu`tazilah. Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau
tercela, semata-mata karena syara` (Al-Qur`an dan Sunnah).4 seperti yang tersebut didalam
Al-Qur`an, surat Al Qalam ayat 4 :
y7¯RÎ)ur 4’n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ
4. Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Rasulullah SAW juga bersabda :
Artinya : “ Sesungguhnya saya ini di utus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak
yang mulia.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati posisi kunci dalam
kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk
menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia.5
Tujuan ilmu akhlak adalah supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia,
terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina, dan tercela dan supaya perhubungan kita
dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.
Hasil dari ilmu akhlak adalah dapat mengetahui bats antara yang baik dan yang buruk
dan dapt menempatkan sesuatu pada tempatnya, yaitu menempatkan sesuatu pada proporsi
yang sebenarnya, dan dapat memperoleh irsyaad (petunjuk), taufiq, dan hidayah yang dengan
demikina maka Insya Allah kita akakn berbahagia di dunia dan akhirat.
Puncak dari ilmu akhlak sudah tentu untuk memperoleh yang baik, kita harus dapat
membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan antara keduanya. Setelah kita
dapat membedakan antara yang baik dan buruk, seterusnya kita harus memilih yang baik dan
meninggalkan yang buruk. Seterusnya, kita membiasakan diri pada yang baik, yang pada
akhirnya merupakan kegemaran. Jadi, puncak berakhlak itu adalah guna memperolaeh :
1. Irsyaad : Dapat membedakan antara amal yang baik dan buruk.
2. Taufiq : Perbuatan kita sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan dengan akal
yang sehat.
3. Hidayah : Gemar melakukan yang baik dan terpuji serta menghindari yang buruk dan
tercela.
C. Ruang Lingkup Akhlak
Dalam membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan
bahwa ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap
penciptanya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta
terhadap masyarakatnya.
Ahamd Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan
manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk social, makhluk
penghuni dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk
ciptaan Allah.
Menurut Abdullah Draz ruang lingkup akhlak antara lain :
- Akhlaq pribadi ( Al-Akhlak Al-Fardiyah), terdiri dari yang diperintahkan, dilarang,
diperbolehkan dan akhlak dalam keadaan darurat.
- Akhlaq berkeluarga (Al-Akhlaq Al-Usariyah), terdiri dari kewajiban timbal-balik orangtua
dan anak. Kewajiban suami istri dan kewajiban terhadap karib-kerabat.
- Akhlaq bermasyarakat (Al-Akhlaq Al-Ijma`iyyah) terdiri dari yang dilarang, diperintahkan
dan kaidah-kaidah Arab.
- Akhlaq bernegara (Akhlak ad-Daulah) tediri dari hubungan antara pemimpin dan rakyat
dan hubungan luar negeri.
- Akhlaq beragama (Al-Akhlak ad-Diniyyah) yaitu kewajiban terhadap Allah SWT.
Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan
sangat penting. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa nomor berikut ini :
1. Rasulullah SAW menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok
risalah Islam.
…………………………………………….
“ Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia “. (HR. Baihaqi).
2. Akhlaq merupakan salah satu ajaran agama Islam.
3. Akhlaq yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang pada hari kiamat.
4. Rasulullah SAW menjadikan baik buruknya akhlaq seseorang sebagai ukuran kualitas
imannya.
……………………………………………
“ Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya”. (HR.
Tirmidzi).
5. Islam menjadikan akhlaq yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT.
6. Nabi Muhammad SAW selalu berdoa agar Allah SWT membaikkan akhlaq beliau.
7. Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan akhlaq.
Disamping kedudukan dan keistimewaan akhlaq yang sudah diuraikan, akhlaq dalam
Islam paling kurang juga memiliki 5 ciri-ciri khas, yaitu :
1) Akhlaq Rabbani
Sifat Rabbani dari akhlaq menyangkut tujuannya, yaitu unutk memperoleh kebahagiaan
didunia dan akhirat. Ciri Rabbani juga menegaskan bahwa akhlaq dalam Islam bukanlah
moral yang kondisional dan situasional tetapi akhlaq yang benar-benar memiliki nilai yang
mutlak. Akhlaq Rabbanilah yang mampu menghindari kekacauan nilai morallitas dalam
hidup manusia.
2) Akhlak Manusiawi
Ajaran akhlaq dalam Islam sejalan dan memmenuhi tuntunan fitrah manusia. Kerinduan
jiwa manusia kepada kebaikan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam.
Ajaran akhlaq dalm Islam diperuntukkan bagi manusia yang merindukan kebahagiaan dalam
hati hakiki, bukan kebahagiaan semu.
3) Akhlaq Universal
Ajaran akhlaq dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup
segala aspek hidup manusia, baik yang dimensinya vertikal maupun horizontal.
4) Akhlaq Keseimbangan
Akhlak keseimbangan dalam Islam berada ditengah antara yang menghayalkan manusia
sebagai malaikat yang menitikkan segi kebaikannya dan menghayalkan manusia seperti
hewan yang menitikkberatkan sifat keburukannya manusia menurut pandangan Islam
memiliki dua kekuatan dalam dirinya, kekuatan baik pada hati nurani dan akalnya dan
kekuatan buruk pada hawa nafsunya. Manusia memiliki naluriah hewani dan juga ruhaniah
malaikat. Manusia memiliki unsure rohani dan jasmani yang memerlukan pelayanan masing-
masing secara seimbang.
5) Akhlak Realistik
Ajaran akhlaq dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipun
manusia telah dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan disbanding makhlu-
makhluk yang lain, tetapi manusia mempunyai kelemahan-kelemahan, memiliki
kecendrungan manusiawi dan berbagai macam kebutuhan material dan spiritual. Dengan
kelemahan-kelemahannya itu manusia sangat mngkin melakukan kesalahan-kesalahan dan
pelanggaran. Oleh sebab itu Islam memberikan kesempatan kepada manusia yang melakukan
salah untuk memperbaiki diri dengan bertaubat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Akhlaq dalam anjuran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi
pada sopan santun antar sesame manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Akhlak lebih luas maknaya daripada yang telah dikemukakan terlebih dahulu serta mencakup
pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah.
Dengan akhlaq, Rasulullah telah memenuhi kewajiban dan menunaikan amanah.
Rasulullah mengajak umat manusia untuk bertauhid dan menjauhkan umat dari syirik.
Disamping itu, Rasulullah menghargai kepercayaan dan keyakinan orang lain juga dengan
akhlaq. Dengan akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh di medan perang dan membangun
Negara. Lebih dari itu, Rasulullah dalam kondisi apapun dan berhadapan dengan siapapun
senantiasa mempraktikkan akhlakul karimah secara nyata dan konsisten.
Dengan otoritas yang ada pada akhlakl karimah, seorang muslim akan berpegang
kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan
akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah aqidah yang kokoh.
Akhlaq, pada hakikatnya merupakan manifestasi aqidah. Aqidah yang kokoh berkolerasi
positif dengan akhlakul karimah.
Menurut perspektif Islam, bangsa yang unggul adalah bangsa yang berakhlakul
karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah :
……………………..
Artinya :
“ Sesunnguhnya yang paling unggul diantara kamu adalah orang yang paling baik
akhlaknya” ( HR. Bukhari).
……………………………
Artinya :
Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya”. (HR. Muslim).
CIRI PEMIMPIN YANG BERAKHLAKUL KHARIMAH
Pendahuluan.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah dimuka bumi,dimana manusia telah
diberi petunjuk melalui Qur’an dan Sunnah.
Petunjuk tersebut sangat jelas tentang mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak
diperbolehkan.
Tetapi realitanya ternyata manusia saling “memakan satu sama lain” dimana pihak yang kuat
menguasai pihak yang lemah.
Hal ini tebukti dengan semakin dekatnya pemilu 9 April 2009, dimana satu sama lain saling
menjatuhkan, sudah tidak beretika sama sekali, sehingga membingungkan masyarakat.
Rakyat sebagai posisi pihak yang lemah sangat tidak berdaya disebabkan kalah segala-
galanya, baik dibidang materi, pengetahuan, keterampilan dan lain sebagainya.
Seharusnya seorang pemimpin yang merasa dirinya kuat membela kepentingan pihak yang
lemah.Pihak yang lemah (duafa) dibimbing,dibina diberi perlindungan sehingga benar-benar
menjadi manusia yang bermanfaat, sehingga tidak menjadi beban bagi yang lain.
Ciri-ciri pemimpin yang berakhlakul kharimah.
Memang tidak mudah untuk menjadi pemimpin yang berakhlakul kharimah.
Ada empat ciri pemimpin yang berakhlakul kharimah.
Empat peran ini sangat berkait dengan upaya dalam rangka mengilhami orang lain agar bisa
mengemukakan suara hati nuraninya,menemukan panggilan hidupnya atau visinya.
Ciri pemimpin yang berakhlakul kharimah sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan.
Empat ciri tersebut adalah
a. Peran panutan
Peran untuk menjadi panutan,segala ucapannya,perilakunya menjadi keteladanan atau uswah-
hasanah bagi orang lain.Dimana kehadiran manusia yang berakhlakul kharimah menjadi
penyejuk,sehingga kehadirannya sangat dinanti-nantikan.Peran panutan ini tidak identik
dengan pengkultusan. Peran pengkultusan bersifat membabi buta tidak mengindahkan
kaidah-kaidah atau norma-norma agama.
Covey berpendapat peran panutan ini sebagai “kemudi kecil” (trim-tab) yang mampu untuk
menggerakkan kemudi besar.Peran ini sangat penting dalam rangka membangun kepercayaan
anggota.
b. Peran perintis jalan
Peran kedua adalah peran untuk perintis jalan (pathfinding) dengan cara mengarahkan hidup
dengan visi.Perwujudan peran ini dimulai dari diri sendiri kemudian mengilhami orang lain
untuk melakukan hal yang sama.Peran perintisan sangat penting artinya karena mampu untuk
menciptakan visi dan nilai-nilai bersama sebagai arah yang menunjukkan jalan kemana
seorang pemimpin (pengurus) bersama anggota untuk bergerak.Persis seperti yang
dicontohkan Rasullulah s.a.w. dalam membawa ummatnya kedalam ajaran kebenaran yang
hakiki.
c. Peran penyelaras (aligning)
Artinya dengan nilai disiplin yang tinggi pemimpin atau pengurus bisa membangun sekaligus
memelihara sistem agar tepat mengarah kepada tujuan koperasi itu sendiri sebagai organisasi
ekonomi yang mengutamakan kepentingan para anggotanya.
d. Peran pemberdayaan (empowering)
Bagaimana dia sebagai pengurus mampu untuk membantu anggota serta menggali dan
mengembangkan potensinya.
Sebagaimana dicontohkan oleh Rasullulah s.a.w. dalam memberdayakan ummatnya dari
zaman jahiliah ke zaman yang terang benderang yang di Ridhoi Allah SWT.
Penutup.
Itulah ke empat peran yang dikemukan oleh Covey.
Covey mengaris bawahi bahwa ke empat peran tersebut harus dilalui secara berurutan.
Peran untuk menjadi panutan atau keteladanan merupakan peran sentral yang harus diikuti
oleh peran-peran lainnya.
Lebih lanjut tentang: Ciri PEMIMPIN YANG AKHLAKUL KARIMAH
Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199)
Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi
Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak
yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang
disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji
dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling
dari tindakan yang tidak patut.
Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah
dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai
cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak
umat ini.
Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan
perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur,
sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku
umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf
sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi
Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya
Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di
Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada
periode awal perkembangan Islam.
Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang
mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai
teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan
Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang
beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan
biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.
Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah
Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat
senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar
orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat
umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa
bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi”
(keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai
sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan
untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan
dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja
tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-
terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.
Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya
sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin
Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak
penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali
silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang
yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia
mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”.
Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang
menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan.
Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah
datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada
orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.
Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat
mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata
kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan
kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi
kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi
saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai
Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan
orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-
Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh
saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-
Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Abbas).
Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang
yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika
sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi
kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap,
mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah
Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga
tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap
sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam.
Sunan Gunung Djati-Allah berfirman di dalam al-Quran, “Dan tiadalah Kami mengutus
kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Q.S. al-
Anbiyaa’ : 107).
Maksud dari ayat ini adalah kedatangan Muhammad SAW yang membawa agama Islam
kepada kita mestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ada orang yang mengaku lebih
pintar mengatakan, bahwa seluruh alam maknanya seluruh manusia.
Jadi kedatangan agama Islam itu harus menjadi rahmat bagi seluruh manusia.Tidak hanya
bagi umat muslim saja, bahkan bagi orang-orang kafir. Di sinilah yang perlu kita perhatikan
baik-baik.
Arti Rahmat
Beberapa arti rahmat di antaranya: anugerah, faedah, manfaat, guna. Sehingga sampailah kita
pada kesimpulan, bahwa agama Islam diturunkan Allah kepada kita karena ada manfaatnya,
tidak menyusahkan, dan malah sebaliknya memudahkan (mengenakkan) kita. Dalam Islam
kita mengenal Rukun Islam yang terdiri dari membaca dua kalimah syahadat, menunaikan
shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa, dan menunaikan ibadah haji. Jika kita membaca
syahadat, apakah orang lain mendapatkan manfaatnya atau berguna bagi yang lain.
Jawabannya “tidak”, berarti ayat di atas belum terbukti. Kemudian setiap hari kita shalat,
apakah yang didapatkan orang lain dari shalat itu. “Pahala” hanya untuk kita yang
melaksanakannya, “tidak” untuk orang lain. Zakat ada manfaatnya, tapi “tidak” untuk orang
kafir, apalagi puasa, kita merasakan lapar sementara orang lain tidak mendapatkan apapun.
Dan yang terakhir adalah haji, sama juga. Paling-paling oleh-oleh. Itupun hanya untuk orang-
orang tertentu saja.
Makanya, banyak yang “tidak senang” kepada Islam karena tidak ada gunanya, menurut
sedikit uraian saya tadi. Tapi kita tidak berhenti sampai di sini karena Islam itu harus berguna
bagi siapa saja menurut surat al-Anbiyaa’ : 107 di atas. Islam seharusnya mulia (bersinar)
tetapi malah sebaliknya terkutuk akibat “ulah” orang-orang tertentu seperti “Teroris” (begitu
orang Barat menyebutnya). Karena itu kita kembali lagi kepada pembahasan di atas bahwa,
buah dari pelaksanaan “5 Rukun Islam” ditambah dengan yang lainnya adalah akhlakul
karimah.
Akhlakul karimah inilah yang mampu memberikan manfaat, memberikan guna atau
memberikan faedah untuk semua orang. Sebagai contoh, jika di sebuah kampung yang
penduduknya berakhlak baik meskipun orang-orangnya lupa menutup kunci pintu tapi
mereka merasa aman karena tidak ada barang yang kehilangan atau dicuri. Tetapi jika
sebaliknya (akhlak mereka jelek) maka akan membuat sulit, susah, bahkan kerugian bagi
orang lain.
Menentramkan
Islam sebagai rahmat dan akhlakul karimah ini ibarat pohon dengan buahnya. Kalau kita
ambil bagian dari pohon tersebut misalkan akarnya, maka pohon itu akan mati. Berbeda jika
kita mengambil buahnya, maka pohon tersebut akan tetap berbuah dan bermanfaat terus bagi
orang lain. Akhlakul karimah itulah buah dari pengamalan Islam yang benar. Dengan
akhlakul karimah ini jangan sampai kita “bertengkar” hanya karena perbedaan dalam masalah
ibadah (khilafiyah) misalkan shalatnya tidak memakai “Usholli”. Akhlak yang mulia inilah
yang akan menentramkan dunia. Sekarang ini Indonesia sedang mengalami “Krisis
Kemanusiaan” dalam bahasa Antropologi bukan krisis politik, hukum atau ekonomi.
Hakekatnya adalah krisis akhlak. Imam al-Ghozali menjelaskan akhlak dengan beberapa
tingkatan. Tingkatan pertama (paling rendah) adalah selalu merasa dilihat Allah. Sampai
disini belum muncul akhlakul karimah. Barulah ketika merasa melihat Allah (tingkatan
kedua) akan muncul akhlak tersebut dan tingkatan yang paling tinggi takkala merasa bersatu
dengan Allah, seseorang akan memiliki akhlak yang paling tinggi.
Dzikir jahar dan dzikir khofi kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang
merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat
Allah. Juga dengan berpuasa karena hal ini merupakan ibadah yang merupakan usaha untuk
mencontoh sifat Tuhan seperti tidak makan dan minum, bersetubuh karena Allah pun tidak
makan dan minum dan tidak beranak.
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199)
Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi
Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak
yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang
disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji
dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling
dari tindakan yang tidak patut.
Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah
dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai
cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak
umat ini.
Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan
perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur,
sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku
umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf
sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi
Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya
Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di
Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada
periode awal perkembangan Islam.
Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang
mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai
teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan
Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang
beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan
biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”.
Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah
Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat
senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar
orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat
umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa
bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi”
(keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai
sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan
untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan
dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja
tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-
terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.
Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya
sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin
Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak
penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim
dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu
berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap
orang yang mendzalimimu”.
Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang
menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan.
Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah
datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada
orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.
Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat
mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata
kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan
kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi
kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi
saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai
Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan
orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-
Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh
saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-
Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Abbas).
Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang
yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika
sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi
kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap,
mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah
Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga
tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap
sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam.
: Ketua Yayasan Universitas Hasim Asyari( UNHASY), Tebu Ireng, Jombang, Drs. A.
Cahfidz Ma’shoem mengatakan, IKAHA saat ini tengah melakukan perubahan total, menuju
ke Universitas.
Tak mudah memang, namun ia dan seluruh keluarga UNHASY yakin semua itu dapat
terwujud. Ia menjelaskan, perubahan dari institut ke universitas memerlukan kerjasama dari
semua pihak.
Namun, ia berharap agar akhlak dan aqidah para mahasiswa dan dosen, kelak, baik di dalam
atau di luar kampus dapat dijaga, terlebih dengan banyaknya berita-berita negatif tentang
perilaku moral yang akhir-akhir ini terus terjadi di Kota Santri.
“Metode pembinaan, baik terhadap mahasiswa dan dosen, sangatlah penting, terutama terkait
moral, akhlak dan intelektual. Harus ada rambu-rambu yang mengatur pergaulan mahasiswa,
baik didalam atau diluar kampus, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terutama
dari perkembangan jaman dan teknologi yang sudah ada saat ini. Kita terapkan rambu-rambu,
tapi tidak membatasi,” kata Chafidz Ma’shoem, usai pelantikan dan serah terima jabatan
Rektor, pembantu rektor, dekan dan pembantu dekan di IKAHA, Tebu Ireng, Jombang, Sabtu
(12 Maret 2011).
Langkah-langkah yang akan diterapkan nantinya, kata Chafidz, adalah melalui diskusi
dengan mahasiswa dan dosen, terutama tentang pengenalan akan dampak negatif dan positif
dari perkembangan tekonologi yang tidak bisa dibendung.
“Kesiapan itu memang menjadi tanggung jawab kita bersama. Untuk itu dalam diskusi yang
akan kita gagas dan bahas kedepan, dampak negative dan positif dari perkembangan IT juga
akan kita paparkan. Mungkin langkah ini sedikit tertinggal, tapi tidak ada kata terlambat
untuk memulai sesuatu yang baik,” tambah, pria yang pernah menjadi anggota DPR RI dari
Partai PPP, ini.
Sebagai tindak lanjut dalam bentuk pengabdian IKAHA kepada masyarakat, masih Chafidz,
setiap mahasiswa dan dosen wajib turun ke masyarakat dalam rangka perbaikan moral. “ini
adalah bentuk pengabdian kita sebagai institusi pendidikan, terhadap masyarakat, terutama
yang terkait dengan moral bangsa dan akhlak, sesuai dengan cita-cita KH. Hasyim Asy’ari,”
pungkasnya.
Dalam acara pelantikan dan sertijab tersebut, KH. IR. Sholahuddin Wahid, adik dari mantan
presiden RI Abdurahman Wahid, ditetapkan sebagai Rektor IKAHA 2011-2015.
Acara yang berlangsung khidmad ini dihadiri juga oleh, Wakil Bupati Jombang, Sekda,
Muspida, Rektor dari Universitas yang ada di Jombang, Pengasuh Ponpes dan tokoh
masyarakat serta mahasiswa IKAHA.