BAB I AGAMA

27
BAB I PENDAHULUAN Kuat atau lemahnya iman seseorang daapt diukur dan diketahui dari perilaku akhlaknya. Karena iman yang kuat mewujudkan akhlaq yang baik dan mulia, sedng iman yang lemah mewujudkan akhlaq yang jahat dan buruk laku, mudah terkilir pada perbuatan keji yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Islam telah menggariskan tentang ibadah dan menetapkan / bernggapan bahwa ibadah itu merupakan pokok-pokok iman, bukan merupakan upacara agama yang bersifat abstrak. Islam tidak mengajarkan manusia melakukan perbuatan mungkar yang tidak mempunyai nilai akhlak yang luhur, tapi sebaliknya Islam mengajar manusia hidup bersahaja dengan akhlak yang mulia dalam keadaan yang bagaimanapun. Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul dengan maksud utama membina dan menyempurnakan akhlak, sebagaimana dinyatakn dalam hadits Artinya : “ Bahwasanya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (budi pekerti). (HR. Ahmad) Tugas Nabi yang digariskan dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpati manusia untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran Risalahnya. Karena Risalah yang diajarkan Nabi memberikan informasi tentang faktor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan menjelaskan aspek-aspeknya.[1]

Transcript of BAB I AGAMA

Page 1: BAB I AGAMA

BAB I

PENDAHULUAN

Kuat atau lemahnya iman seseorang daapt diukur dan diketahui dari perilaku

akhlaknya. Karena iman yang kuat mewujudkan akhlaq yang baik dan mulia, sedng iman

yang lemah mewujudkan akhlaq yang jahat dan buruk laku, mudah terkilir pada perbuatan

keji yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

Islam telah menggariskan tentang ibadah dan menetapkan / bernggapan bahwa

ibadah itu merupakan pokok-pokok iman, bukan merupakan upacara agama yang bersifat

abstrak. Islam tidak mengajarkan manusia melakukan perbuatan mungkar yang tidak

mempunyai nilai akhlak yang luhur, tapi sebaliknya Islam mengajar manusia hidup bersahaja

dengan akhlak yang mulia dalam keadaan yang bagaimanapun.

Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul dengan maksud utama membina dan

menyempurnakan akhlak, sebagaimana dinyatakn dalam hadits

Artinya :

“ Bahwasanya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (budi

pekerti). (HR. Ahmad)

Tugas Nabi yang digariskan dalam sejarah hidupnya cukup menarik simpati manusia

untuk mengikuti dan melaksanakan ajaran Risalahnya. Karena Risalah yang diajarkan Nabi

memberikan informasi tentang faktor-faktor keutamaan akhlak, lengkap dengan menjelaskan

aspek-aspeknya.[1]

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Pengertian Ilmu Akhlak

 Secara etimologis (Bahasa), kata akhlak berasal dari Bahasa Arab (         ) dalam

bentuk jamak`, sedang mufradnya adalah khuluq (    ) yang di dalam kamus Munjid berarti

budi pekerti, perangai atau tingkah laku.

Akhlak disebut juga ilmu tingkah laku / perangai atau Tahzib al-Akhlak (filsafat

akhlak-etika), atau al-hikmat-al-amaliyyah, atau al-hikmat al-khuluqiyyat. Yang

dimaksudkan dengan ilmu tersebut adalah pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa

Page 2: BAB I AGAMA

untuk mensucikannya. Dalam Bahasa Indonesia akhlak dapat diartikan dengan moral, etika,

watak, budi pekerti, tingkah laku, perangai, dan kesusilaan.

Ilmu akhlaq adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji dan

tercela, tentang perkatan atau perbuatan manusia lahir dan batin dengan lain perkataa. Ilmu

akhlaq adalah :

1.      Menjelaskan arti baik dan buruk.

2.      Meneruskan apa yang seharusnya dilakukan.

3.      Menunjukkan jalan unutk melakukan perbuatan.

4.      Menyatakan tujuan di dalam perbuatan.

Jadi, ilmu akhlaq adalah ilmu yang mempersoalkan baik buruknya amal. Amal terdiri

dari perkataan, perbuatan atau kombinasi keduanya dari segi lahir dan batin.

Akhlaq adalah mufrad dari khilqun yang mengandung segi-segi persesuaian dengan

khalqun serta erat hubungannya dengan khaliq dan makhluk. Dari sinilah asal perumusan

ilmu akhlaq yang merupakan koleksi ugeran yang memungkinkan timbulnya hubungan baik

antara makhluk dengan khaliq dan antara makhluk dengan makhluk.3

B.  Sumber Ilmu Akhlak

Yang dimaksud dengan sumber akhlak adalah yang menjadi ukuran baik dan buruk

atau mulia dan tercela. Sebagaiman ajaran Islam, sumber akhlak adalah Al-Qur`an dan

Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan

moral. Dan bukan pula karena baik atau buruk dengan sendirinya sebagaiman pandangan

Mu`tazilah. Dalam konsep akhlak, segala sesuatu itu dinilai baik atau buruk, terpuji atau

tercela, semata-mata karena syara` (Al-Qur`an dan Sunnah).4 seperti yang tersebut didalam

Al-Qur`an, surat Al Qalam ayat 4 :

y7¯RÎ)ur 4’n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ  

4. Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Rasulullah SAW juga bersabda :

Artinya : “ Sesungguhnya saya ini di utus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak

yang mulia.”

Page 3: BAB I AGAMA

Hadits tersebut menunjukkan bahwa karena akhlak menempati posisi kunci dalam

kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk

menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia.5

Tujuan ilmu akhlak adalah supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia,

terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina, dan tercela dan supaya perhubungan kita

dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.

Hasil dari ilmu akhlak adalah dapat mengetahui bats antara yang baik dan yang buruk

dan dapt menempatkan sesuatu pada tempatnya, yaitu menempatkan sesuatu pada proporsi

yang sebenarnya, dan dapat memperoleh irsyaad (petunjuk), taufiq, dan hidayah yang dengan

demikina maka Insya Allah kita akakn berbahagia di dunia dan akhirat.

Puncak dari ilmu akhlak sudah tentu untuk memperoleh yang baik, kita harus dapat

membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan antara keduanya. Setelah kita

dapat membedakan antara yang baik dan buruk, seterusnya kita harus memilih yang baik dan

meninggalkan yang buruk. Seterusnya, kita membiasakan diri pada yang baik, yang pada

akhirnya merupakan kegemaran. Jadi, puncak berakhlak itu adalah guna memperolaeh :

1. Irsyaad : Dapat membedakan antara amal yang baik dan buruk.

2. Taufiq : Perbuatan kita sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW dan dengan akal

yang sehat.

3. Hidayah : Gemar melakukan yang baik dan terpuji serta menghindari yang buruk dan

tercela.

C. Ruang Lingkup Akhlak

 Dalam membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan

bahwa ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap

penciptanya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta

terhadap masyarakatnya.

Ahamd Azhar Basyir menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan

manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk social, makhluk

penghuni dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk

ciptaan Allah.

Page 4: BAB I AGAMA

Menurut Abdullah Draz ruang lingkup akhlak antara lain :

-       Akhlaq pribadi ( Al-Akhlak Al-Fardiyah), terdiri dari yang diperintahkan, dilarang,

diperbolehkan dan akhlak dalam keadaan darurat.

-       Akhlaq berkeluarga (Al-Akhlaq Al-Usariyah), terdiri dari kewajiban timbal-balik orangtua

dan anak. Kewajiban suami istri dan kewajiban terhadap karib-kerabat.

-       Akhlaq bermasyarakat (Al-Akhlaq Al-Ijma`iyyah) terdiri dari yang dilarang, diperintahkan

dan kaidah-kaidah Arab.

-       Akhlaq bernegara (Akhlak ad-Daulah) tediri dari hubungan antara pemimpin dan rakyat

dan hubungan luar negeri.

-       Akhlaq beragama (Al-Akhlak ad-Diniyyah) yaitu kewajiban terhadap Allah SWT.

Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan

sangat penting. Hal itu dapat dilihat dalam beberapa nomor berikut ini :

1.    Rasulullah SAW menempatkan penyempurnaan akhlaq yang mulia sebagai misi pokok

risalah Islam.

…………………………………………….

“ Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia “. (HR. Baihaqi).

2.    Akhlaq merupakan salah satu ajaran agama Islam.

3.    Akhlaq yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang pada hari kiamat.

4.     Rasulullah SAW menjadikan baik buruknya akhlaq seseorang sebagai ukuran kualitas

imannya.

……………………………………………

“ Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang baik akhlaqnya”. (HR.

Tirmidzi).

5.    Islam menjadikan akhlaq yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT.

6.    Nabi Muhammad SAW selalu berdoa agar Allah SWT membaikkan akhlaq beliau.

7.    Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan  akhlaq.

Disamping kedudukan dan keistimewaan akhlaq yang sudah diuraikan, akhlaq dalam

Islam paling kurang juga memiliki 5 ciri-ciri khas, yaitu :

1)      Akhlaq Rabbani

Sifat Rabbani dari akhlaq menyangkut tujuannya, yaitu unutk memperoleh kebahagiaan

didunia dan akhirat. Ciri Rabbani juga menegaskan bahwa akhlaq dalam Islam bukanlah

moral yang kondisional dan situasional tetapi akhlaq yang benar-benar memiliki nilai yang

Page 5: BAB I AGAMA

mutlak. Akhlaq Rabbanilah yang mampu menghindari kekacauan nilai morallitas dalam

hidup manusia.

2)      Akhlak Manusiawi

Ajaran akhlaq dalam Islam sejalan dan memmenuhi tuntunan fitrah manusia. Kerinduan

jiwa manusia kepada kebaikan akan terpenuhi dengan mengikuti ajaran akhlaq dalam Islam.

Ajaran akhlaq dalm Islam diperuntukkan bagi manusia yang merindukan kebahagiaan dalam

hati hakiki, bukan kebahagiaan semu.

3)      Akhlaq Universal

Ajaran akhlaq dalam Islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup

segala aspek hidup manusia, baik yang dimensinya vertikal maupun horizontal.

4)      Akhlaq Keseimbangan

Akhlak keseimbangan dalam Islam berada ditengah antara yang menghayalkan manusia

sebagai malaikat yang menitikkan segi kebaikannya dan menghayalkan manusia seperti

hewan yang menitikkberatkan sifat keburukannya manusia menurut pandangan Islam

memiliki dua kekuatan dalam dirinya, kekuatan baik pada hati nurani dan akalnya dan

kekuatan buruk pada hawa nafsunya. Manusia memiliki naluriah hewani dan juga ruhaniah

malaikat. Manusia memiliki unsure rohani dan jasmani yang memerlukan pelayanan masing-

masing secara seimbang.

5)      Akhlak Realistik

Ajaran akhlaq dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipun

manusia telah dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan disbanding makhlu-

makhluk yang lain, tetapi manusia mempunyai kelemahan-kelemahan, memiliki

kecendrungan manusiawi dan berbagai macam kebutuhan material dan spiritual. Dengan

kelemahan-kelemahannya itu manusia sangat mngkin melakukan kesalahan-kesalahan dan

pelanggaran. Oleh sebab itu Islam memberikan kesempatan kepada manusia yang melakukan

salah untuk memperbaiki diri dengan bertaubat.

Page 6: BAB I AGAMA

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Akhlaq dalam anjuran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi

pada sopan santun antar sesame manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.

Akhlak lebih luas maknaya daripada yang telah dikemukakan terlebih dahulu serta mencakup

pula beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah.

Dengan akhlaq, Rasulullah telah memenuhi kewajiban dan menunaikan amanah.

Rasulullah mengajak umat manusia untuk bertauhid dan menjauhkan umat dari syirik.

Disamping itu, Rasulullah menghargai kepercayaan dan keyakinan orang lain juga dengan

akhlaq. Dengan akhlak pula Rasulullah menghadapi musuh di medan perang dan membangun

Negara. Lebih dari itu, Rasulullah dalam kondisi apapun dan berhadapan dengan siapapun

senantiasa mempraktikkan akhlakul karimah secara nyata dan konsisten.

Dengan otoritas yang ada pada akhlakl karimah, seorang muslim akan berpegang

kuat pada komitmen nilai. Komitmen nilai inilah yang dijadikan modal dasar pengembangan

akhlak, sedangkan fondasi utama sejumlah komitmen nilai adalah aqidah yang kokoh.

Akhlaq, pada hakikatnya merupakan manifestasi aqidah. Aqidah yang kokoh berkolerasi

positif dengan akhlakul karimah.

Menurut perspektif Islam, bangsa yang unggul adalah bangsa yang berakhlakul

karimah. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah :

……………………..

Artinya :

“ Sesunnguhnya yang paling unggul diantara kamu adalah orang yang paling baik

akhlaknya” ( HR. Bukhari).

……………………………

Artinya :

Yang disebut bagus adalah bagus akhlaknya”. (HR. Muslim).

Page 7: BAB I AGAMA

CIRI PEMIMPIN YANG BERAKHLAKUL KHARIMAH

Pendahuluan.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifah dimuka bumi,dimana manusia telah

diberi petunjuk melalui Qur’an dan Sunnah.

Petunjuk tersebut sangat jelas tentang mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak

diperbolehkan.

Tetapi realitanya ternyata manusia saling “memakan satu sama lain” dimana pihak yang kuat

menguasai pihak yang lemah.

Hal ini tebukti dengan semakin dekatnya pemilu 9 April 2009, dimana satu sama lain saling

menjatuhkan, sudah tidak beretika sama sekali, sehingga membingungkan masyarakat.

Rakyat sebagai posisi pihak yang lemah sangat tidak berdaya disebabkan kalah segala-

galanya, baik dibidang materi, pengetahuan, keterampilan dan lain sebagainya.

Seharusnya seorang pemimpin yang merasa dirinya kuat membela kepentingan pihak yang

lemah.Pihak yang lemah (duafa) dibimbing,dibina diberi perlindungan sehingga benar-benar

menjadi manusia yang bermanfaat, sehingga tidak menjadi beban bagi yang lain.

Ciri-ciri pemimpin yang berakhlakul kharimah.

Memang tidak mudah untuk menjadi pemimpin yang berakhlakul kharimah.

Ada empat ciri pemimpin yang berakhlakul kharimah.

Empat peran ini sangat berkait dengan upaya dalam rangka mengilhami orang lain agar bisa

mengemukakan suara hati nuraninya,menemukan panggilan hidupnya atau visinya.

Ciri pemimpin yang berakhlakul kharimah sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan.

Empat ciri tersebut adalah

a. Peran panutan

Peran untuk menjadi panutan,segala ucapannya,perilakunya menjadi keteladanan atau uswah-

hasanah bagi orang lain.Dimana kehadiran manusia yang berakhlakul kharimah menjadi

penyejuk,sehingga kehadirannya sangat dinanti-nantikan.Peran panutan ini tidak identik

dengan pengkultusan. Peran pengkultusan bersifat membabi buta tidak mengindahkan

kaidah-kaidah atau norma-norma agama.

Covey berpendapat peran panutan ini sebagai “kemudi kecil” (trim-tab) yang mampu untuk

menggerakkan kemudi besar.Peran ini sangat penting dalam rangka membangun kepercayaan

anggota.

b. Peran perintis jalan

Peran kedua adalah peran untuk perintis jalan (pathfinding) dengan cara mengarahkan hidup

Page 8: BAB I AGAMA

dengan visi.Perwujudan peran ini dimulai dari diri sendiri kemudian mengilhami orang lain

untuk melakukan hal yang sama.Peran perintisan sangat penting artinya karena mampu untuk

menciptakan visi dan nilai-nilai bersama sebagai arah yang menunjukkan jalan kemana

seorang pemimpin (pengurus) bersama anggota untuk bergerak.Persis seperti yang

dicontohkan Rasullulah s.a.w. dalam membawa ummatnya kedalam ajaran kebenaran yang

hakiki.

c. Peran penyelaras (aligning)

Artinya dengan nilai disiplin yang tinggi pemimpin atau pengurus bisa membangun sekaligus

memelihara sistem agar tepat mengarah kepada tujuan koperasi itu sendiri sebagai organisasi

ekonomi yang mengutamakan kepentingan para anggotanya.

d. Peran pemberdayaan (empowering)

Bagaimana dia sebagai pengurus mampu untuk membantu anggota serta menggali dan

mengembangkan potensinya.

Sebagaimana dicontohkan oleh Rasullulah s.a.w. dalam memberdayakan ummatnya dari

zaman jahiliah ke zaman yang terang benderang yang di Ridhoi Allah SWT.

Penutup.

Itulah ke empat peran yang dikemukan oleh Covey.

Covey mengaris bawahi bahwa ke empat peran tersebut harus dilalui secara berurutan.

Peran untuk menjadi panutan atau keteladanan merupakan peran sentral yang harus diikuti

oleh peran-peran lainnya.

Lebih lanjut tentang: Ciri PEMIMPIN YANG AKHLAKUL KARIMAH

Page 9: BAB I AGAMA

Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah

daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199)

Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi

Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak

yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang

disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji

dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling

dari tindakan yang tidak patut.

Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah

dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai

cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak

umat ini.

Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan

perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur,

sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku

umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf

sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi

Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya

Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di

Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada

periode awal perkembangan Islam.

Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang

mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai

teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan

Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang

beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan

Page 10: BAB I AGAMA

biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu”.

Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah

Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat

senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar

orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap

mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri

dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah

membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat

umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa

bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi”

(keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai

sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan

untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan

dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja

tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-

terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.

Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya

sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin

Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak

penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali

silaturahim dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang

yang selalu berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia

mema’afkan terhadap orang yang mendzalimimu”.

Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang

menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan.

Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah

Page 11: BAB I AGAMA

datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada

orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.

Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat

mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata

kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan

kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi

kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi

saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai

Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan

orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-

Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh

saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-

Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari

dan Muslim dari Ibnu Abbas).

Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang

yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika

sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi

kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap,

mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah

Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga

tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap

sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam.

Page 12: BAB I AGAMA

Sunan Gunung Djati-Allah berfirman di dalam al-Quran, “Dan tiadalah Kami mengutus

kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Q.S. al-

Anbiyaa’ : 107).

Maksud dari ayat ini adalah kedatangan Muhammad SAW yang membawa agama Islam

kepada kita mestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ada orang yang mengaku lebih

pintar mengatakan, bahwa seluruh alam maknanya seluruh manusia.

Jadi kedatangan agama Islam itu harus menjadi rahmat bagi seluruh manusia.Tidak hanya

bagi umat muslim saja, bahkan bagi orang-orang kafir. Di sinilah yang perlu kita perhatikan

baik-baik.

Arti Rahmat

Beberapa arti rahmat di antaranya: anugerah, faedah, manfaat, guna. Sehingga sampailah kita

pada kesimpulan, bahwa agama Islam diturunkan Allah kepada kita karena ada manfaatnya,

tidak menyusahkan, dan malah sebaliknya memudahkan (mengenakkan) kita. Dalam Islam

kita mengenal Rukun Islam yang terdiri dari membaca dua kalimah syahadat, menunaikan

shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa, dan menunaikan ibadah haji. Jika kita membaca

syahadat, apakah orang lain mendapatkan manfaatnya atau berguna bagi yang lain.

Jawabannya “tidak”, berarti ayat di atas belum terbukti. Kemudian setiap hari kita shalat,

apakah yang didapatkan orang lain dari shalat itu. “Pahala” hanya untuk kita yang

melaksanakannya, “tidak” untuk orang lain. Zakat ada manfaatnya, tapi “tidak” untuk orang

kafir, apalagi puasa, kita merasakan lapar sementara orang lain tidak mendapatkan apapun.

Dan yang terakhir adalah haji, sama juga. Paling-paling oleh-oleh. Itupun hanya untuk orang-

orang tertentu saja.

Makanya, banyak yang “tidak senang” kepada Islam karena tidak ada gunanya, menurut

sedikit uraian saya tadi. Tapi kita tidak berhenti sampai di sini karena Islam itu harus berguna

Page 13: BAB I AGAMA

bagi siapa saja menurut surat al-Anbiyaa’ : 107 di atas. Islam seharusnya mulia (bersinar)

tetapi malah sebaliknya terkutuk akibat “ulah” orang-orang tertentu seperti “Teroris” (begitu

orang Barat menyebutnya). Karena itu kita kembali lagi kepada pembahasan di atas bahwa,

buah dari pelaksanaan “5 Rukun Islam” ditambah dengan yang lainnya adalah akhlakul

karimah.

Akhlakul karimah inilah yang mampu memberikan manfaat, memberikan guna atau

memberikan faedah untuk semua orang. Sebagai contoh, jika di sebuah kampung yang

penduduknya berakhlak baik meskipun orang-orangnya lupa menutup kunci pintu tapi

mereka merasa aman karena tidak ada barang yang kehilangan atau dicuri. Tetapi jika

sebaliknya (akhlak mereka jelek) maka akan membuat sulit, susah, bahkan kerugian bagi

orang lain.

Menentramkan

Islam sebagai rahmat dan akhlakul karimah ini ibarat pohon dengan buahnya. Kalau kita

ambil bagian dari pohon tersebut misalkan akarnya, maka pohon itu akan mati. Berbeda jika

kita mengambil buahnya, maka pohon tersebut akan tetap berbuah dan bermanfaat terus bagi

orang lain. Akhlakul karimah itulah buah dari pengamalan Islam yang benar. Dengan

akhlakul karimah ini jangan sampai kita “bertengkar” hanya karena perbedaan dalam masalah

ibadah (khilafiyah) misalkan shalatnya tidak memakai “Usholli”. Akhlak yang mulia inilah

yang akan menentramkan dunia. Sekarang ini Indonesia sedang mengalami “Krisis

Kemanusiaan” dalam bahasa Antropologi bukan krisis politik, hukum atau ekonomi.

Hakekatnya adalah krisis akhlak. Imam al-Ghozali menjelaskan akhlak dengan beberapa

tingkatan. Tingkatan pertama (paling rendah) adalah selalu merasa dilihat Allah. Sampai

disini belum muncul akhlakul karimah. Barulah ketika merasa melihat Allah (tingkatan

kedua) akan muncul akhlak tersebut dan tingkatan yang paling tinggi takkala merasa bersatu

dengan Allah, seseorang akan memiliki akhlak yang paling tinggi.

Dzikir jahar dan dzikir khofi kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang

merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat

Allah. Juga dengan berpuasa karena hal ini merupakan ibadah yang merupakan usaha untuk

mencontoh sifat Tuhan seperti tidak makan dan minum, bersetubuh karena Allah pun tidak

makan dan minum dan tidak beranak.

Page 14: BAB I AGAMA

“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah

daripada orang-orang yang bodoh”. (Al-A’raaf: 199)

Ayat ini menurut Az-Zamaksyari dan Ibnu Asyur termasuk kategori “Ajma’u Ayatin fi

Makarimil Akhlak”, ayat yang paling komprehensif dan lengkap tentang bangunan akhlak

yang mulia, karena bangunan sebuah akhlak yang terpuji tidak lepas dari tiga hal yang

disebutkan oleh ayat diatas, yaitu mema’afkan atas tindakan dan prilaku yang tidak terpuji

dari orang lain, senantiasa berusaha melakukan dan menyebarkan kebaikan, serta berpaling

dari tindakan yang tidak patut.

Imam Ar-Razi pula memahami ayat ini sebagai manhaj yang lurus dalam bermu’amalah

dengan sesama manusia yang jelas menggambarkan sebuah nilai akhlak yang luhur sebagai

cermin akan keluhuran ajaran Islam, terutama di tengah ketidak menentuan bangunan akhlak

umat ini.

Secara tematis, mayoritas tema surah Al-A’raaf memang berbicara tentang prilaku dan

perbuatan tidak bermoral dan jahil orang-orang musyrik, maka menurut Ibnu ‘Asyur,

sesungguhnya ayat ini merupakan solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an atas perilaku

umumnya orang-orang musyrik. Bahkan posisi ayat ini yang berada di akhir surah Al-A’raaf

sangat tepat dijadikan sebagai penutup surah dalam pandangan Sayid Quthb dalam tafsir Fi

Dzilalil Qur’an karena merupakan arahan dan taujih langsung Allah swt kepada Rasul-Nya

Muhammad saw dan orang-orang yang beriman bersama beliau saat mereka berada di

Makkah dalam menghadapi kebodohan dan kesesatan orang-orang jahiliyah di Makkah pada

periode awal perkembangan Islam.

Berdasarkan tematisasi ayat yang berbicara tentang akhlak mema’afkan, maka ayat yang

Page 15: BAB I AGAMA

mengandung perintah mema’afkan ternyata ditujukan khusus untuk Rasulullah SAW sebagai

teladan dalam sifat ini. Dalam surah Al-Baqarah: 109 misalnya, Allah swt memerintahkan

Nabi Muhammad saw agar tetap menjunjung tinggi akhlak mema’afkan kepada setiap yang

beliau temui dalam perjalanan dakwahnya. Allah swt berfirman, “Maka ma’afkanlah dan

biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya Sesungguhnya Allah Maha

Kuasa atas segala sesuatu”.

Bahkan dalam surah Ali Imran: 159, Allah menggambarkan rahasia sukses dakwah

Rasulullah saw yang dianugerahi nikmat yang teragung dari Allah swt yaitu nikmat

senantiasa bersikap lemah lembut, lapang dada dan mema’afkan terhadap perilaku kasar

orang lain , “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap

mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri

dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan

bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah

membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai

orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Secara redaksional, perintah mema’afkan dalam ayat Makarimil Akhlak di atas bersifat

umum dalam segala bentuknya. Ibnu ‘Asyur menyimpulkan hal tersebut berdasarkan analisa

bahasa pada kata “Al-Afwu” yang merupakan lafadz umum dalam bentuk “ta’riful jinsi”

(keumuman dalam jenis dan bentuk mema’afkan). Mema’afkan disini bisa diartikan sebagai

sikap berlapang dada, tidak membalas prilaku buruk orang, bahkan mendoakan kebaikan

untuk mereka. Namun tetap keumuman Al-Afwu disini tidak mutlak dalam setiap keadaan

dan setiap waktu, seperti terhadap orang yang membunuh sesama muslim dengan sengaja

tanpa alasan yang benar, atau terhadap orang yang melanggar aturan Allah swt secara terang-

terangan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadits yang mengecualikan keumuman tersebut.

Demi keutamaan dan keagungan kandungan ayat diatas, Rasulullah saw menjelaskannya

sendiri dalam bentuk tafsir nabawi yang tersebut dalam musnad Imam Ahmad dari Uqbah bin

Amir, bahwa Rasulullah saw pernah memberitahukan kepadanya tentang kemuliaan akhlak

penghuni dunia. Rasulullah saw berpesan: “Hendaklah kamu menghubungkan tali silaturahim

dengan orang yang justru berusaha memutuskannya, memberi kepada orang yang selalu

berusaha menghalangi kebaikan itu datang kepadamu, serta bersedia mema’afkan terhadap

orang yang mendzalimimu”.

Page 16: BAB I AGAMA

Penafsiran Rasulullah saw terhadap ayat diatas sangat jelas korelasinya. Seseorang yang

menghubungkan silaturahim kepada orang yang memutuskannya berarti ia telah mema’afkan.

Seseorang yang memberi kepada orang yang mengharamkan pemberian berarti ia telah

datang kepadanya dengan sesuatu yang ma’ruf. Serta seseorang yang memaafkan kepada

orang yang telah berbuat aniaya berarti ia telah berpaling dari orang-orang yang jahil.

Bahkan secara aplikatif, perintah ayat ini mampu membendung emosi Umar bin Khattab saat

mendengar kritikan pedas Uyainah bin Hishn atas kepemimpinan Umar. Uyainah berkata

kepada Umar, “Wahai Ibnu Khattab, sesungguhnya engkau tidak pernah memberi kebaikan

kepada kami dan tidak pernah memutuskan perkara kami dengan adil”. Melihat reaksi

kemarahan Umar yang hendak memukul Uyainah, Al-Hurr bin Qays yang mendampingi

saudaranya Uyainah mengingatkan umar dengan ayat Makarimil Akhlak, “Ingatlah wahai

Umar, Allah telah memerintahkan nabi-Nya agar mampu menahan amarah dan mema’afkan

orang lain. Sungguh tindakan engkau termasuk prilaku orang-orang jahil”. Kemudian Al-

Hurr membacakan ayat ini. Seketika Umar terdiam merenungkan ayat yang disampaikan oleh

saudaranya. Dan semenjak peristiwa ini, Umar sangat mudah tersentuh dengan ayat-ayat Al-

Qur’an yang menegur tindakan atau prilakunya yang kurang terpuji. (Hadits riwayat Bukhari

dan Muslim dari Ibnu Abbas).

Sungguh dalam keseharian kita, di sekeliling kita, tipologi orang-orang jahil, orang-orang

yang mengabaikan aturan, norma dan nilai-nilai kebaikan Islam akan sering kita temui. Jika

sikap yang kita tunjukkan kepada mereka juga mengabaikan aturan Allah swt, maka bisa jadi

kita memang termasuk kelompok orang-orang jahil seperti mereka. Namun kita berharap,

mudah-mudahan nilai spritualitas dan moralitas yang telah tertanam selama proses madrasah

Ramadhan masih tetap membekas dan mewarnai sikap dan prilaku kehidupan kita, sehingga

tampilan akhlak yang mulia senantiasa menyertai ucapan, sikap dan tindakan kita terhadap

sesama, untuk kebaikan bersama umat. Allahu A’lam.

Page 17: BAB I AGAMA

: Ketua Yayasan Universitas Hasim Asyari( UNHASY), Tebu Ireng, Jombang, Drs. A.

Cahfidz Ma’shoem mengatakan, IKAHA saat ini tengah melakukan perubahan total, menuju

ke Universitas.

Tak mudah memang, namun ia dan seluruh keluarga UNHASY yakin semua itu dapat

terwujud. Ia menjelaskan, perubahan dari institut ke universitas memerlukan kerjasama dari

semua pihak.

Namun, ia berharap agar akhlak dan aqidah para mahasiswa dan dosen, kelak,  baik di dalam

atau di luar kampus dapat dijaga, terlebih dengan banyaknya berita-berita negatif tentang

perilaku moral yang akhir-akhir ini terus terjadi di Kota Santri.

“Metode pembinaan, baik terhadap mahasiswa dan dosen, sangatlah penting, terutama terkait

moral, akhlak dan intelektual. Harus ada rambu-rambu yang mengatur pergaulan mahasiswa,

baik didalam atau diluar kampus, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terutama

dari perkembangan jaman dan teknologi yang sudah ada saat ini. Kita terapkan rambu-rambu,

tapi tidak membatasi,” kata Chafidz Ma’shoem, usai pelantikan dan serah terima jabatan

Rektor, pembantu rektor, dekan dan pembantu dekan di IKAHA, Tebu Ireng, Jombang, Sabtu

(12 Maret 2011).

Langkah-langkah yang akan diterapkan nantinya, kata Chafidz, adalah melalui diskusi

dengan mahasiswa dan dosen, terutama tentang pengenalan akan dampak negatif dan positif

dari perkembangan tekonologi yang tidak bisa dibendung.

“Kesiapan itu memang menjadi tanggung jawab kita bersama. Untuk itu dalam diskusi yang

akan kita gagas dan bahas kedepan, dampak negative dan positif dari perkembangan IT juga

akan kita paparkan. Mungkin langkah ini sedikit tertinggal, tapi tidak ada kata terlambat

untuk memulai sesuatu yang baik,” tambah, pria yang pernah menjadi anggota DPR RI dari

Page 18: BAB I AGAMA

Partai PPP, ini.

Sebagai tindak lanjut dalam bentuk pengabdian IKAHA kepada masyarakat, masih Chafidz,

setiap mahasiswa dan dosen wajib turun ke masyarakat dalam rangka perbaikan moral. “ini

adalah bentuk pengabdian kita sebagai institusi pendidikan, terhadap masyarakat, terutama

yang terkait dengan moral bangsa dan akhlak, sesuai dengan cita-cita KH. Hasyim Asy’ari,”

pungkasnya.

Dalam acara pelantikan dan sertijab tersebut, KH. IR. Sholahuddin Wahid, adik dari mantan

presiden RI Abdurahman Wahid, ditetapkan sebagai Rektor IKAHA 2011-2015.

Acara yang berlangsung khidmad ini dihadiri juga oleh, Wakil Bupati Jombang, Sekda,

Muspida, Rektor dari Universitas yang ada di Jombang, Pengasuh Ponpes dan tokoh

masyarakat serta mahasiswa IKAHA.