BAB I 8/SKRIPSI KAKAK... · Web viewKegunaan secara tradisional dari lumut adalah untuk penyembuhan...

39
5 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tumbuhan Lumut (Bryophyta) Lumut merupakan tumbuhan yang termasuk dalam divisio Bryophyta. Tumbuhan ini belum menunjukkan diferensiasi tegas antara organ penyerap hara dan organ fotosintetik namun belum memiliki akar dan daun sejati. Kelompok tumbuhan ini juga belum memiliki pembuluh sejati (Arnold, 2008). Lumut merupakan tumbuhan yang berukuran lebih kecil dari 1 mm hingga beberapa cm tingginya. Pertumbuhannya mendatar (flat) di atas tanah, batuan atau menempel di pohon. Sebagian besar lumut mempunyai batang dan daun. Kelompok tumbuhan ini memiliki klorofil sehingga dapat melakukan fotosintesis untuk memperoleh makanannya sendiri. Semua lumut memperbanyak diri dengan spora, fragmentasi, dan struktur khusus yang disebut gemmae (kuncup). Di dalam siklus hidupnya kelompok tumbuhan ini mempunyai dua generasi yaitu generasi gametofit dan generasi sporofit. Generasi gametofit meliputi rhizoid, batang dan daun. Pada bagian ujung batang biasanya akan dihasilkan archegonium (alat perkembangan betina) dan antheredium (alat perkembangbiakan jantan). Apabila telah terjadi pembuahan maka terbentuklah zygote yang akan

Transcript of BAB I 8/SKRIPSI KAKAK... · Web viewKegunaan secara tradisional dari lumut adalah untuk penyembuhan...

5

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tumbuhan Lumut (Bryophyta)

Lumut merupakan tumbuhan yang termasuk dalam divisio Bryophyta.

Tumbuhan ini belum menunjukkan diferensiasi tegas antara organ penyerap hara

dan organ fotosintetik namun belum memiliki akar dan daun sejati. Kelompok

tumbuhan ini juga belum memiliki pembuluh sejati (Arnold, 2008).

Lumut merupakan tumbuhan yang berukuran lebih kecil dari 1 mm

hingga beberapa cm tingginya. Pertumbuhannya mendatar (flat) di atas tanah,

batuan atau menempel di pohon. Sebagian besar lumut mempunyai batang dan

daun. Kelompok tumbuhan ini memiliki klorofil sehingga dapat melakukan

fotosintesis untuk memperoleh makanannya sendiri. Semua lumut memperbanyak

diri dengan spora, fragmentasi, dan struktur khusus yang disebut gemmae

(kuncup). Di dalam siklus hidupnya kelompok tumbuhan ini mempunyai dua

generasi yaitu generasi gametofit dan generasi sporofit. Generasi gametofit

meliputi rhizoid, batang dan daun. Pada bagian ujung batang biasanya akan

dihasilkan archegonium (alat perkembangan betina) dan antheredium (alat

perkembangbiakan jantan). Apabila telah terjadi pembuahan maka terbentuklah

zygote yang akan membelah dan kemudian berkembang membentuk seta, kapsul

(peristome, annulus, operculum) dan calyptra yang sering disebut sebagai generasi

sporofit (Windadri, 2004).

6

Pada semua tumbuhan yang tergolong dalam Bryophyta terdapat

kesamaan bentuk dan susunan gametangiumnya (baik mikrogametangium =

anteredium, maupun makrogametangium = arkegonium) (Tjitrosoepomo, 1986).

Kebanyakan Bryophyta terlihat tanpa kutikula yang dalam tumbuhan

berpembuluh erat dengan hubungannya dengan adanya stomata yaitu lubang

khusus yang berfungsi dalam pertukaran gas (Muzayyinah, 2005).

a. Klasifikasi Tumbuhan Lumut

Menurut Conard dan Redfearn, Bryophyta terdiri atas 3 kelas yaitu:

1. Anthocerotae/Anthocerotopsida (Lumut Tanduk)

2. Hepaticae/Hepaticopsida (Lumut Hati)

3. Musci/Bryopsida (Lumut Sejati) (Damayanti, 2006).

Penjelasan singkat mengenai ciri-ciri yang dimiliki masing-masing kelas :

1. Anthocerotae/Anthocerotopsida (Lumut Tanduk)

Anthocerotae merupakan kelompok terkecil dari divisi Bryophyta.

Lumut ini memiliki kurang dari 100 jenis di seluruh dunia yang terbagi ke

dalam 8-9 genus (Damayanti, 2006). Diduga tumbuhan ini berkerabat

dekat dengan Chlorophyta, tidak memiliki sel pengangkut, tetapi memiliki

stomata (Muzayyinah, 2005). Beberapa anggotanya yang umum dijumpai

di daerah tropis adalah Anthoceros, Dendroceros, Folioceros, Megaceros,

Notothylas dan Phaeoceros (Hasan dan Ariyanti, 2004). Struktur

tubuhnya tidak memiliki daun dan batang. Gametofitnya berupa talus

tanpa tulang daun, berbentuk pipih dorsoventral. Sel-selnya memiliki

kloroplas yang besar dengan atau tanpa pyrenoid. Badan lumut melekat

7

dengan bantuan rhizoid yang biasanya terdiri atas satu sel. Organ

reproduksinya (arkegonium dan antheridium) berada di dalam talus

(tenggelam) (Damayanti, 2006). Lumut tanduk biasanya tumbuh di tempat

yang agak terbuka di tanah atau batu di tepi sungai atau tepi jalan (Hasan

dan Ariyanti, 2004). Contoh jenis lumut yang termasuk dalam kelas

Anthocerotae dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Contoh jenis lumut Anthocerotae a. Anthoceros punctatus Lac. b. Anthoceros formosae Lac. (Glime, 2007)

2. Hepaticae/Hepaticopsida (Lumut Hati)

Kelompok ini sering disebut lumut hati yang memiliki anggota

sekitar 5000 jenis. Struktur tubuhnya ada dua macam bentuk, ada yang

memiliki daun dan ada yang memiliki talus. Kelompok yang memiliki

daun disebut lumut hati berdaun, sedangkan kelompok dengan struktur

talus disebut lumut hati bertalus (Damayanti, 2006). Umumnya lumut hati

tumbuh merayap, tegak atau ada beberapa jenis yang menggantung. Lumut

hati melekat pada substrat dengan struktur menyerupai akar disebut

a b

8

rhizoid. Rhizoid ini hanya terdiri satu sel, jarang sekali bersel banyak

(Hasan dan Ariyanti, 2004).

Talus masih berbentuk lembaran, tumbuh secara epifit, bisa tegak

ke atas, menjuntai ke bawah, menempel atau merayap di permukaan

substrat (Damayanti, 2006). Talus yang tebal terdiri dari sekitar 30 sel dan

bagian yang tipis bisa 10 sel, bagian dorsal kaya akan klorofil dan tebal,

bagian ventral tidak berwarna (Muzayyinah, 2005).

i. Lumut Hati Berdaun

Lumut hati berdaun lebih banyak ditemukan di alam

dibandingkan dengan lumut hati bertalus. Umumnya lumut hati berdaun

dijumpai sebagai epifit di batang dan cabang-cabang pohon di tempat-

tempat yang tinggi. Beberapa lumut hati berdaun tumbuh menempel pada

daun-daun (epifit) di hutan hujan basah dataran rendah (Hasan dan

Ariyanti, 2004).

Lumut ini memiliki rhizoid yang terdiri atas 1 sel (uniseluler),

berfungsi sebagai alat untuk melekatkan diri pada substrat. Beberapa

spesies memiliki 2-3 baris daun yang melekat pada batang, terbagi atas

dua baris daun dorsal (lobe), satu baris daun ventral (under leaf) yang

biasanya memiliki ukuran lebih kecil daripada daun dorsal, atau bahkan

tidak ada (Damayanti, 2006; Hasan dan Ariyanti, 2004). Pada beberapa

spesies, daunnya memiliki modifikasi membentuk cuping yang disebut

lobul. Lobul adalah perluasan daun yang bisa menangkap/menampung air

yang berada di bagian ventral (Damayanti, 2006).

9

Pada lumut hati, sel-sel daun dapat mengalami penebalan pada

sudutnya, yang disebut trigon. Sel-sel lumut hati memiliki banyak

kloroplas. Selain itu, terdapat badan minyak (oil body) yang berfungsi

untuk melindungi sel dari kekeringan. Jika dalam keadaan kering, badan

minyak ini akan pecah. Jumlah dan bentuk badan minyak ini sangat

penting untuk identifikasi yang berguna dalam taksonomi. Pada beberapa

spesies, terdapat sel yang memiliki badan minyak yang besar, tanpa

kloroplas, sel ini disebut oselli. Sel ini ukurannya lebih besar dibanding sel

daun lainnya (Damayanti, 2006). Contoh jenis lumut hati berdaun dapat

dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh jenis lumut hati berdaun a. Geocalyx graveolens Vaxlar. b. Diplophyllum albicans Lac.

(Lind, 2008)

ii. Lumut Hati Bertalus

Kelompok ini melekat dan membentuk hamparan pada permukaan

substrat dengan percabangan menggarpu. Talusnya melekat dengan

bantuan rhizoid (Damayanti, 2006).

a b

10

Bagian permukaan talus yang berhubungan langsung dengan

substrat disebut ventral, sedangkan permukaan lainnya disebut dorsal.

Pada bagian permukan ventral, selain dijumpai rhizoid uniseluller yang

halus, pada beberapa lumut hati ini juga dijumpai sisik-sisik dalam satu,

dua, atau empat baris berwarna ungu tua sampai hitam atau tidak berwarna

(Hasan dan Ariyanti, 2004; Sofa, 2008). Contoh jenis lumut hati bertalus

dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Contoh jenis lumut hati bertalus a. Marchantia sp. b. Riccia crystallina L.emend.Raddi

(Heino, 2008)

3. Musci/Bryopsida (Lumut Sejati)

Kelompok ini memiliki anggota lebih banyak daripada kelas

lainnya. Diperkirakan terdapat sekitar 8000 jenis dalam 900 marga. Lumut

sejati mempunyai struktur gametofit dan sporofit lebih kompleks

dibandingkan dengan kelompok lainnya (Hasan dan Ariyanti, 2004).

Lumut sejati tumbuh di tempat-tempat yang lembab dan ternaungi,

melekat pada substrat dengan rhizoid multiseluler. Lumut ini merupakan

tumbuhan yang kosmopolitan, dapat tumbuh di berbagai tempat, misalnya

a

a b

11

menempel pada pohon, tunggul kayu, batu, tanah, tembok, bata, dan

hampir semua tempat (Damayanti, 2006).

Lumut sejati dapat dengan mudah dibedakan dengan lumut hati

berdaun dari susunan daunnya yang spiral dan bentuk sporofitnya. Selain

itu, kelompok ini lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan

anggota lumut hati (Damayanti, 2006). Contoh jenis lumut daun dapat

dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Contoh jenis lumut daun a. Polytrichum commune Mýrhaddur. b. Sphagnum

teres Bleytuburi. (Kops, 2008)

b. Siklus Hidup Tumbuhan Lumut

a b

12

Lumut dapat memperbanyak diri dengan menggunakan spora.

Spora tersebut akan berkecambah menjadi protonema dan tumbuh menjadi

tumbuhan lumut baru yang disebut gametofit, biasanya berwarna hijau,

memiliki daun atau talus (Tjitrosoepomo, 1986). Masing-masing gametofit

menghasilkan gamet yang berupa sperma dan sel telur. Jika keduanya

bertemu (sperma membuahi sel telur), maka pada tubuh arkegonium akan

berkembang dan terbentuk struktur yang disebut sporofit. Siklus hidup

tumbuhan lumut dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Siklus hidup tumbuhan lumut (Suwoto, 2008)

13

Sporofit merupakan organ penghasil spora. Sporofit

memperoleh makanan dari gametofit daun. Ukuran sporofit biasanya lebih

kecil daripada gametofit. Sporofit melekat pada gametofit di bagian

reseptakel/kaki, dan biasanya didukung oleh seta (tangkai). Di ujung seta,

terdapat kapsul yang di dalamnya merupakan tempat penghasil spora. Jika

spora matang, kadar air dalam kapsul berkurang dan penutup kapsul

(operkulum) akan lepas atau kapsul akan pecah, sehingga spora akan

keluar dengan dibantu oleh gerakan higroskopis dari beberapa organ yang

terdapat di dalam kapsul (Damayanti, 2006).

c. Manfaat dan Potensi Tumbuhan Lumut

Lumut dapat digunakan sebagai bahan untuk hiasan rumah tangga,

obat-obatan, bahan untuk ilmu pengetahuan dan sebagai indikator biologi

untuk mengetahui degradasi lingkungan. Beberapa contoh lumut yang dapat

digunakan tersebut adalah Calymperes, Campylopus dan Sphagnum

(Damayanti, 2006). Sphagnum mengandung zat Sphagnol digunakan untuk

perawatan bisul dan gigitan nyamuk (Glime, 2007).

Kegunaan secara tradisional dari lumut adalah untuk penyembuhan

penyakit jantung, radang, demam, penyakit kurap, diuretik, obat pencuci

perut, obat pembedahan dan luka, masalah pencernaan, infeksi, penyakit paru-

paru, masalah kulit, penyakit tumor dan sebagai filter serta sebagai agen

pembersih untuk mengurangi polusi udara. Lumut, terutama lumut hati,

14

mempunyai bau khas, yang memberi kesan komponen aromatik seperti fenol

(Glime, 2007).

Beberapa contoh tumbuhan lumu yang digunakan sebagai bahan obat-

obatan antara lain adalah Ceratodon purpureus (Hedw.) Brid. dan Bryum

argenteum Silfurhnokki. Kedua jenis lumut tersebut digunakan untuk

penyembuhan infeksi jamur pada kuda. Beberapa penyembuhan digunakan

sebagai antileukemia dan antikanker (Glime, 2007). Para ahli sudah mulai

banyak meneliti komposisi zat yang dikandung lumut, beberapa di antaranya

mengandung antibiotik dan zat lain yang berkhasiat obat (Damayanti, 2006).

Lumut juga berpotensi sebagai pestisida dan fungisida yang dapat

membunuh serangga dan jamur. Potensi lumut yang lain yaitu sebagai bahan

obat-obatan untuk mengobati gatal-gatal dan penyakit lain yang disebabkan

oleh bakteri dan jamur. Lumut mempunyai banyak komponen yang sangat

berguna, termasuk oligosakarida, polisakarida, alkohol, asam amino, asam

lemak, komponen alifatik, fenilquinon, senyawa aromatik dan alifatik (Glime,

2007; Hasan dan Ariyanti, 2004).

Secara ekologi Bryophyta merupakan tumbuhan perintis dalam

menciptakan habitat primer dan sekunder setelah adanya perusakan

lingkungan. Bryophyta merupakan rumah bagi invertebrata, sebagai material

pembuatan sarang burung serta memiliki peran yang penting dalam menjaga

porositas tanah dan mengatur tingkat kelembaban ekosistem, karena

kemampuannya dalam menahan dan menyerap air (Damayanti, 2006).

15

Bryophyta dapat digunakan sebagai indikator pencemaran udara. Jika

udara sudah penuh dengan polutan, lumut tidak dapat tumbuh dengan baik

bahkan dapat mati (Damayanti, 2006). Selain sebagai indikator lingkungan,

keberadaan lumut di dalam hutan hujan tropis sangat memegang peranan

penting sebagai tempat tumbuh organisme seperti serangga dan waduk air

hujan (Hasan dan Ariyanti, 2004).

2. Koleksi dan Dokumentasi Data Tumbuhan Lumut

Koleksi lumut diperoleh melalui pengamatan lingkungan terutama di

tempat-tempat yang lembab. Apabila ditemukan lumut yang sudah

mempunyai generasi sporofit, diambil seluruh bagian lumut tersebut

secukupnya sedangkan lumut yang menempel cukup kuat, maka contohnya

diambil dengan cara disayat menggunakan pisau dan mengikutsertakan sedikit

habitatnya. “Handlens” (lup) digunakan untuk mengamati dan memastikan

bahwa lumut tersebut tidak tercampur dengan jenis lumut lainnya. Apabila

ditemukan lumut campuran, lumut yang satu dengan lainnya dipisahkan

dengan menggunakan pinset berujung runcing. Setelah itu masing-masing

dimasukkan ke dalam kantong lumut atau kertas koran, setiap kantong

diusahakan berisi satu jenis dan dilengkapi dengan nomor dan tanggal koleksi

yang ditulis pada label kecil (Windadri, 2004).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan koleksi lumut

antara lain:

16

1. Pengambilan sampel diusahakan lengkap mencakup kedua generasi. Hal

ini penting karena daun memegang peranan penting dalam pengenalan

keanekaraganan jenis lumut khususnya lumut daun (Musci). Pada

pengamatan daun, karakter yang penting antara lain bentuk keseluruhan

daun: tepi, ujung, tipe pengggulungan daun; costa (midrib); bentuk sel-sel

daun yang meliputi sel akar pada bagian pangkal daun dan sel-sel pada

helaian daun. Sedangkan pada generasi sporofit peristom (pada Musci) dan

tempat asal munculnya generasi sporofit merupakan dasar dalam

pengelompokan pada tingkatan ordo (bangsa) (Windadri, 2004).

2. Setelah melakukan koleksi, semua spesimen harus dikeringkan untuk

menghindari kerusakan spesimen. Ini dapat dilakukan dengan membuka

spesimen tersebut dan dikeringkan dalam ruangan (Windadri, 2004).

Data yang terkumpul pada waktu koleksi dan label hasil koleksi perlu

didokumentasikan sehingga tidak hilang. Informasi-informasi inilah yang

menjadi sumber data yang dapat didokumentasikan dalam komputer

(Windadri, 2004).

1. Dokumentasi Data Lapangan

Koleksi herbarium dikatakan baik apabila pemakainya

mendapatkan informasi secara lengkap. Data yang direkam di lapangan

adalah informasi dasar dari lokasi, yang meliputi data: ketinggian tempat,

posisi koordinat, tipe habitat, kelimpahan dan asosiasi dengan tumbuhan

sekitarnya, tanggal koleksi, nama dan nomor kolektor. Selain itu semua

karakter atau informasi yang mudah hilang pada proses pengeringan juga

17

dicatat seperti perawakan, bau, warna, rasa, getah, struktur organ generatif

diamati setelah kering. Kolektor pada umumnya merekam data lapangan

dengan memberikan nomor identitas setiap spesimen, kemudian mencatat

semua informasi tersebut ke dalam buku lapangan. Untuk efisiensi waktu,

banyak kolektor yang mempersiapkan tabel yang berpola dasar. Hasil

identifikasi koleksi juga merupakan data identitas ilmiah suatu koleksi.

Apabila material tersebut digunakan untuk pengamatan di laboratorium,

biasanya dibutuhkan label lain sebagai informasi tambahan yang

menyatakan bahwa spesimen tersebut telah dipakai untuk analisis

laboratorium (Windadri, 2004).

Data informasi yang harus diperoleh baik untuk spesimen koleksi

tumbuhan tinggi maupun rendah, yaitu: nama kolektor, nomor kolektor,

tanggal koleksi, nama ilmiah, lokasi, habitat, substrat, ekologi, habitus,

catatan lapang/field note, nama lokal, nama umum yang dikenal oleh

masyarakat lokal, pemanfatan tumbuhan oleh masyarakat lokal,

identifikator dan tanggal identifikasi (Windadri, 2004).

2. Dokumentasi Data Laboratorium

Data yang diperoleh dari pengamatan laboratorium untuk peneliti

taksonomi hanya dimanfaatkan apabila terdapat permasalahan taksonomi

yang memerlukan data pendukung. Penelitian laboratorium yang sering

dilakukan adalah pengamatan anatomi (daun, batang/kayu, biji, embrio

dan lain-lain), sitologi (jumlah kromosom, kariotipe), polen (bentuk,

struktur polen, porus dan lain-lain), kimia (kandungan hasil metabolit

18

primer: protein, dan kandungan kimia metabolit sekunder: fenol, alkaloid),

isozim (pola pita enzim) dan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), analisis pola

pita hasil RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), RFLP

(Restriction Fragment Lengt Polymorphism), maupun hasil sequencing).

Hasil pengamatan ini selalu terkait dengan spesimen bukti yang dikoleksi,

sehingga data yang diperoleh merupakan data tambahan yang

informasinya dapat juga disimpan dalam bentuk tersendiri dan

dihubungkan dengan data yang diperoleh di lapangan (Windadri, 2004).

3. Peranan Ciri Morfologi dalam Taksonomi

Morfologi tumbuhan adalah ilmu yang mengkaji berbagai organ

tumbuhan, baik bagian-bagian, bentuk maupun fungsinya. Morfologi tumbuhan

mempelajari bentuk dan susunan tubuh tumbuhan, menentukan fungsi masing-

masing bagian dalam kehidupan tumbuhan dan mengetahui dari mana asal bentuk

dan susunan tubuh (Tjitrosoepomo, 1986). Morfologi dapat menggunakan teori-

teori yang berlaku dalam Ilmu Hayat, misalnya:

1. Berdasar teori evolusi tubuh tumbuhan akan mengalami perubahan bentuk dan

susunannya, hingga suatu alat atau bagian tubuh dapat dicari asal

filogenetiknya.

2. Diterimanya anggapan bahwa bentuk dan susunan tubuh tumbuhan selalu

disesuaikan dengan fungsinya serta alam sekitarnya (Tjitrosoepomo, 1986).

Taksonomi merupakan studi tentang pertelaan ciri-ciri (determinasi),

klasifikasi (penggolongan) dan penamaan (nomenklatur). Asas dari kegiatan

19

tersebut secara khusus dipelajari dalam botani taksonomi yang merupakan bagian

dari botani sistematika. Sistematik merupakan studi taksonomi percobaan

(experimental taxonomy) atau biosistematika. Pada studi kajian biosistematik

tidak terbatas pada tingkat morfologi saja, namun menggunakan ciri lebih dalam,

seperti anatomi, fisiologi, sitologi, geografi, ekologi, paleontologi sampai tingkat

molekuler. Obyek utama dalam biosistematik atau taksonomi percobaan adalah

hubungan kekerabatan atau kedekatan antar organisme apakah pemilikan ciri tetap

sehingga dapat dikenali kemiripan dan perbedaannya ditinjau dari struktur luar

sampai ke dalam. Hasilnya dapat dipergunakan untuk menganalisa dan

mensintesis dalam menata hirarki dari suatu organisme (Batoro, 2007).

Dalam bidang farmasi, taksonomi dibutuhkan untuk mengetahui jenis-jenis

tumbuhan yang berguna sebagai obat-obatan dalam hal nama dan batasan ciri,

sehingga apabila dibutuhkan jenis tumbuhan yang sama pada waktu yang berbeda,

maka tidak akan terjadi kesalahan. Dalam kasus kelangkaan satu jenis tumbuhan

tertentu yang bermanfaat sebagai obat, maka jenis yang berkerabat dekat dapat

dijadikan sebagai alternatif pengganti, untuk diuji kesamaan kandungannya.

Untuk mengetahui kekerabatan ini dibutuhkan peranan taksonomi tumbuhan

(Rohman, 2007 dan Purwantoyo et al., 2005).

Dalam bidang kehutanan, misalnya dalam hal reboisasi hutan, dibutuhkan

jenis-jenis kayu yang mempunyai ciri seperti: perakaran kuat, daun lebat, cepat

tumbuh dan sebagainya. Peran taksonomi dibutuhkan untuk mendapatkan jenis-

jenis tumbuhan yang memiliki ciri tersebut. Termasuk juga untuk menentukan

jenis-jenis kayu hutan yang berkualitas dengan batasan ciri tertentu, sehingga jika

20

diminta jenis yang sama pada waktu yang akan datang, tidak akan terjadi

kerancuan (Sungkar, 2006).

Klasifikasi tumbuhan adalah proses pengaturan tumbuh-tumbuhan ke

dalam takson tertentu berdasarkan persamaan dan perbedaan. Hasil proses

pengaturan ini ialah suatu sistem klasifikasi, yang sengaja diciptakan untuk

menyatakan hubungan kekerabatan jenis-jenis makhluk hidup satu sama lainnya.

Semua klasifikasi bertujuan agar peneliti mengingat sedikit mungkin, tetapi dalam

ingatan tersebut mengandung informasi sebanyak-banyaknya (Sofa, 2008).

Untuk mendeterminasi tumbuhan yang pertama kali dilakukan adalah

mempelajari ciri morfologi tumbuhan tersebut (seperti posisi, bentuk, ukuran dan

jumlah bagian-bagian daun, bunga, buah dan lain-lainnya). Langkah berikut

adalah membandingkan atau mempersamakan ciri-ciri tumbuhan tadi dengan

tumbuhan lainnya yang sudah dikenal identitasnya atau dengan menggunakan

ingatan, bantuan, spesimen acuan atau pustaka (Sutomo, 2008).

4. Kemotaksonomi

Kemajuan dalam ilmu kimia semakin banyak mengungkapkan kandungan

senyawa kimia apa saja yang terkandung dalam tumbuh-tumbuhan atau organ-

organnya. Hal ini yang menyebabkan timbulnya usaha agar klasifikasi tumbuhan

didasarkan pula atas kesamaan atau kekerabatan kandungan senyawa kimia yang

terkandung di dalamnya. Inilah yang merupakan awal dan landasan bagi

terciptanya suatu sistem klasifikasi yang dinamakan kemotaksonomi.

Kemotaksonomi sering disebut juga sistematika biokimiawi yang didefinisikan

21

sebagai aplikasi data kimiawi untuk memecahkan masalah-masalah taksonomi

(Harborne, 1987).

Kandungan kimia yang terdapat dalam suatu suku tumbuhan dapat

mempunyai beberapa arti. Pertama adalah golongan kandungan kimia selalu

terdapat pada setiap tumbuhan dari suku tersebut, tetapi tidak khas atau terdapat

juga pada suku lain. Kedua adalah golongan kandungan kimia yang khas hanya

terdapat pada suku tersebut. Ketiga adalah golongan kandungan kimia yang

dikandung oleh tumbuhan lain sesuku tetapi terdapat dalam tumbuhan dari suku

lain. Adapun yang terakhir adalah kandungan kimia yang khas hanya terdapat

dalam satu tumbuhan dan tidak ditemukan dalam tumbuhan lain baik sesuku

maupun tidak sesuku. Di samping itu terdapat pula kandungan kimia yang

tersebar luas dalam berbagai tumbuhan yang tidak memberi arti yang besar dalam

pendekatan kemotaksonomi (Pramono, 1988).

Kemotaksonomi berkembang pesat sejalan dengan penemuan baru dalam

metode kimia, khususnya kromatografi (Harborne, 1987). Kemotaksonomi dapat

menggunakan berbagai macam senyawa metabolit sekunder, seperti flavanoid

(fenol), terpen, alkaloid, lignan, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, getah, suberin,

resin, karotenoid dan lain-lain, namun golongan senyawa yang paling sering

digunakan adalah fenol, alkaloid, terpenoid dan asam amino non-protein yang

memiliki bermacam fungsi. Ciri kimia memiliki kelebihan daripada ciri morfologi

dan anatomi, karena bahan yang dianalisis tidak harus segar dan lengkap. Bahan

kering dan remuk sekalipun dapat dianalisis dan ditempatkan secara tepat dalam

sistem klasifikasi, selama tidak ada kontaminasi mikrobia atau bahan lain.

22

Spesimen herbarium berumur ratusan tahun tetap dapat diuji kandungan metabolit

sekundernya dengan tepat (Harborne, 1987).

5. Senyawa Metabolit Sekunder

Metabolit sekunder didefinisikan sebagai suatu senyawa yang hanya

ditemukan secara terbatas pada kelompok tumbuhan tertentu, atau ditemukan

dalam konsentrasi yang lebih tinggi dari kelompok tumbuhan yang lain, dan tidak

merupakan sumber makanan yang penting bagi herbivora (Wibowo, 2008).

Metabolit sekunder merupakan sumber utama senyawa obat. Sekitar 60%

penduduk dunia menggunakan tumbuhan untuk pengobatan (Setyawan, 2002).

Proses ini dimulai dengan fotosintesis dan berakhir dengan terbentuknya

senyawa-senyawa kimia metabolit sekunder (Setyawan, 1996).

Senyawa sekunder mempunyai sifat :

1. Hanya dapat dibentuk oleh spesies tertentu.

2. Pembentukannya dipengaruhi lingkungan fisik dan kimia.

3. Strukturnya mirip antara satu dengan lainnya.

4. Fungsinya dalam sel seolah-olah tidak penting (Setyawan, 1996).

Metabolit sekunder biasanya diperoleh dari proses samping sebagai

sampah dan tidak memiliki fungsi khusus dalam metabolisme. Secara ekologi,

matabolit sekunder sangat penting sebagai alelopati, feromon, pertahanan dari

herbivora atau mikroba dan lain-lain. Hingga kini telah diidentifikasi lebih dari

30.000 senyawa sekunder. Kebanyakan spesies tidak memiliki struktur khusus,

karena mensintesis senyawa metabolit sekunder dalam jumlah yang sangat sedikit

23

sebagai aroma bunga atau tanggapan terhadap lingkungan seperti patogen dan

herbivora (Setyawan, 1999).

Penelitian bahan alam terdiri dari beberapa tahap, yaitu mulai dari tahap

ekstraksi, fraksinasi dengan metode kromatografi sampai diperoleh senyawa

murni, identifikasi unsur dari senyawa murni yang diperoleh dengan metode

spektroskopi, dilanjutkan dengan uji aktivitas biologi, baik dari senyawa murni

ataupun ekstrak kasar. Setelah struktur molekulnya diketahui dilanjutkan dengan

modifikasi struktur untuk mendapatkan senyawa dengan aktivitas dan kestabilan

yang diinginkan (Husna, 2008).

6. Ekstraksi

Ekstraksi adalah pengambilan bahan aktif dari tumbuhan dengan

menggunakan pelarut tertentu. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua

komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Tumbuhan dapat dikeringkan

sebelum diekstraksi. Pengeringan harus dilakukan dalam keadaan terawasi untuk

mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak. Bahan harus

dikeringkan secepat-cepatnya, tanpa menggunakan suhu tinggi, lebih baik dengan

aliran udara yang baik. Setelah betul-betul kering, tumbuhan dapat disimpan

untuk jangka waktu lama sebelum digunakan untuk analisis. Analisis flavanoid,

alkaloid, kuinon dan terpenoid telah dilakukan dengan berhasil pada herbarium

yang telah disimpan bertahun-tahun (Harborne, 1987).

Ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur dan kandungan bahan

air tumbuhan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi. Pada umumnya

24

jaringan tumbuhan harus dimatikan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim

atau hidrolisis. Memasukkan jaringan daun segar atau bunga yang telah dipotong-

potong ke dalam etanol mendidih adalah suatu cara yang baik untuk mencapai

tujuan itu. Alkohol adalah pelarut serba guna yang baik untuk ekstraksi

pendahuluan. Selanjutnya bahan dapat dimaserasi dalam suatu bejana, lalu

disaring (Harborne, 1987).

Metode dasar ekstraksi yang digunakan antara lain ekstraksi menggunakan

pelarut organik seperti maserasi, perkolasi dan sokletasi, dan ekstraksi

menggunakan air seperti infusa dan decocta. Pemilihan metode ekstraksi ini

berdasarkan atas kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang baik. Pemilihan

proses ekstraksi sangat penting mengingat komposisi kandungan kimia yang

cukup kompleks dari material sehingga tergantung pada tujuan ekstraksi, penyari

bersifat non polar digunakan untuk menyari zat-zat yang bersifat non polar.

Sebaliknya penyari bersifat polar untuk menyari zat-zat yang bersifat polar

sehingga diharapkan semua zat yang diinginkan dalam bahan alam tersari

sempurna sesuai penyari yang digunakan. Pemilihan metode ekstraksi yang

kurang tepat akan menyebabkan proses isolasi senyawa akan mengalami

kegagalan sehingga senyawa yang diinginkan tidak dapat tersari secara

memuaskan dari matriks (Rakhmawati, 2006).

Maserasi adalah cara penyarian sederhana yang dilakukan dengan cara

merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada

temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode maserasi digunakan untuk

menyari simplisia yang mengandung komonen kimia yang mudah larut dalam

25

cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks dan lilin. Keuntungan dari

metode ini adalah peralatannya sederhana. Kerugiannya antara lain waktu yang

diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang

digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang

mempunyai tekstur keras seperti benzoin, tiraks dan lilin (Dinda, 2008).

Perkolasi adalah cara penyarian dengan mengalirkan penyari melalui

serbuk simplisia yang telah dibasahi. Keuntungan metode ini adalah tidak

memerlukan langkah tambahan yaitu sampel padat (marc) telah terpisah dari

ekstrak. Kerugiannya adalah kontak antara sampel padat tidak merata atau terbatas

dibandingkan dengan metode refluks, dan pelarut menjadi dingin selama proses

perkolasi sehingga tidak melarutkan komponen secara efisien (Dinda, 2008).

Soxhletasi merupakan ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru

yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Anonim,

2000).

Keuntungan Soxhletasi adalah dapat digunakan untuk sampel dengan

tekstur yang lunak dan tidak tahan terhadap pemanasan secara langsung,

digunakan pelarut yang lebih sedikit dan pemanasannya dapat diatur (Dinda,

2008).

Kerugian Soxhletasi adalah karena pelarut didaur ulang, ekstrak yang

terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga

dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas, jumlah total senyawa-senyawa

yang diekstraksi akan melampaui kelarutannya dalam pelarut tertentu sehingga

26

dapat mengendap dalam wadah dan membutuhkan volume pelarut yang lebih

banyak untuk melarutkannya dan bila dilakukan dalam skala besar, mungkin tidak

cocok untuk menggunakan pelarut dengan titik didih yang terlalu tinggi, seperti

metanol atau air, karena seluruh alat yang berada di bawah kondensor perlu

berada pada temperatur ini untuk pergerakan uap pelarut yang efektif (Dinda,

2008).

Metode ini terbatas pada ekstraksi dengan pelarut murni atau campuran

azeotropik dan tidak dapat digunakan untuk ekstraksi dengan campuran pelarut,

misalnya heksan :diklormetan = 1 :1, atau pelarut yang diasamkan atau dibasakan,

karena uapnya akan mempunyai komposisi yang berbeda dalam pelarut cair di

dalam wadah (Dinda, 2008).

7. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi adalah metode pemisahan fisiokimia (Stahl, 1985).

Pemisahan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan sifat fisik campuran, yaitu

kecenderungan molekul zat untuk menguap, larut dalam cairan dan terserap butir-

butir zat padat yang halus dengan permukaan luas. Hasil dari analisa kromatografi

adalah terbentuknya daerah pemisahan pada fase diam yang berupa plat silika gel.

Proses analisa ini disebut proses analisa kromatografi, karena pemisahan tiap

komponennya dapat dilihat dari perbedaan warna komponen-komponen dari suatu

zat yang dianalisa (Adnan, 1986; Edward, 1991).

Kromatografi lapis tipis bekerja berdasarkan pada distribusi fase cair-

padat. Sebagai fase padat atau absorbannya berupa lapis tipis bubur alumina atau

27

silika gel yang menempel pada permukaaan selembar lempengan kaca atau

selembar plastik kaku, sedangkan sebagai fase cairnya adalah eluen yang

digunakan untuk membawa zat yang dianalisis bergerak melalui zat padat.

Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan metode ini adalah memberikan

pemisahan yang sangat baik, cepat serta menggunakan alat-alat yang sederhana

(Hosttman, 1995).

KLT dilakukan dengan cara pengembangan naik di dalam suatu bejana

yang dindingnya dilapisi kertas saring sehingga atmosfer di dalam bejana jenuh

dengan fase pelarut (Harborne, 1987).

Keuntungan dari Kromatografi lapis tipis adalah peralatan yang diperlukan

sedikit, murah, sederhana, waktu analisis cepat dan daya pemisahan cukup baik

serta pemakaian pelarut dan cuplikan yang jumlahnya sedikit (Gritter, et al.,

1991).

8. Taksonomi Numerik dan Hubungan Kekerabatan

Taksonomi numerik adalah ilmu pengetahuan empirik yang berguna untuk

memantapkan kedudukan taksa dan menyusun klasifikasi berdasarkan hubungan

fenetik melalui pelaksanaan metodologi secara bertahap. Taksonomi tidak hanya

mengandalkan sifat dari sumber-sumber tertentu saja, data-data yang diperoleh

dari cabang botani yang berbeda-beda diberi nilai yang sama (Shukla dan Misra,

1982). Posisi atau kedudukan dasar dari taksonomi berdasarkan angka dirangkum

dalam keikutsertaan satu prinsip (Sneath dan Sokal, 1973).

Unsur dasar sistematika biologi adalah spesimen individual pada waktu

tertentu dalam siklus hidupnya. Individu-individu tersebut merupakan unit dasar

28

dan biasanya berupa jenis (unit taksonomi dengan nama binomial). Dalam

taksonomi numerik taksa terbawah adalah satuan taksonomi operasional

(Operational Taxonomy Unit = OTUs). Unit ini dapat mewakili genus atau jenis.

Untuk mengestimasi kemiripan di antara dua OTUs, data disusun dalam bentuk

matriks n x t, di mana ”t” merupakan jumlah OTUs yang dioperasikan dan ”n”

merupakan jumlah input yang digunakan. Karakter-karakter OTUs yang

diperkirakan memiliki persamaan secara kuantitatif disebut koefisien similaritas.

Koefisien similaritas dikelompokkan menjadi:

a. Koefisien jarak: jarak antara OTUs dalam suatu ruang tertentu

dengan berbagai cara.

b. Koefisien asosiasi: bagian dari dua kolom data dari dua OTUs yang

diperbandingkan.

c. Koefisien korelasi: estimasi yang proporsional dan bebas antara

pasangan-pasangan vektor OTUs.

d. Koefisien similaritas-probabilitas: mengukur homogenitas sistem

dengan statistik yang membagi kelompok OTUs menjadi beberapa bagian atau

sebagian (Shukla dan Misra, 1982).

Pengoperasian dari taksonomi berdasar pada angka dan dicatat kemiripan

dalam penghitungannnya dan organisasi taksa berdasar pada kemiripan utama,

yang pada umumnya dibuat tentang taksa (seperti pemberian keterangan tentang

filogeni, pilihan dari tokoh-tokoh, dan lain-lain) (Sneath dan Sokal, 1973).

Taksonomi pada umumnya dapat dibuat setelah diketahui taksonnya, di

mana takso tidak dapat diketahui sebelum kemiripan-kemiripan di antara jenis-

29

jenis dapat diketahui. Beberapa langkah telah menjadi efek kombinasi dalam

metode-metode yang pasti, atau proses yang diulang-ulang untuk kedua kalinya

dalam beberapa kelas (Sneath dan Sokal, 1973).

Dendogram filogeni dapat dibuat dengan metode koefisien asosiasi. Di

mana indeks similaritas ditentukan dengan rumus (Sneath dan Sokal, 1973):

Dengan : m = jumlah sifat yang berpasangan (++/--)

µ = jumlah sifat yang tidak berpasangan (+-/-+)

n = m + µ

Is = indeks similaritas

Tingkatan persamaan harga-harga koefisien assosiasi ditentukan dengan

analisis klaster. Pada metoda ini unit operasional taksonomi (OTUs)

dikelompokkan berdasarkan kemiripannya, kemudian disusun dalam suatu

dendogram hierarki taksonomi (Pielou, 1984).

B. Kerangka Pemikiran

Keanekaragaman jenis tumbuhan lumut di Indonesia sangatlah banyak,

tetapi penelitian tentang tumbuhan lumut sangat sedikit. Keanekaragaman jenis

tumbuhan lumut dapat dilihat melalui ciri morfologi dan kandungan senyawa

metabolit sekunder.

Morfologi tumbuhan mempelajari bentuk dan susunan tubuh tumbuhan. Di

dalam pengklasifikasian tumbuhan, selain menggunakan ciri morfologi, ciri

kandungan senyawa metabolit sekunder juga dapat digunakan. Kemotaksonomi

IS = m/n X 100%

30

tumbuhan adalah cara pengklasifikasian tumbuhan berdasarkan kandungan

senyawa kimianya (senyawa metabolit sekunder yang khas).

Lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah yang umumnya menyukai

tempat-tempat yang basah dan lembab yang tersebar luas di dataran rendah

sampai dataran tinggi. Ciri morfologi tumbuhan lumut diketahui dengan cara

mengambil potongan spesimen secukupnya, kemudian potongan tersebut

direndam dalam air, setelah itu dibuat preparat basah supaya lumut dapat diamati

di bawah mikroskop. Kandungan senyawa kimia pada lumut diketahui melalui

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan untuk mengetahui komposisi

golongan kimia metabolit sekunder yang dikandung oleh lumut. Hasil data ciri-

ciri morfologi dan komposisi serta golongan kimia metabolit sekunder ini

kemudian dianalisis numerik dengan menggunakan metode koefisien asosiasi

yang dikomputasikan dalam program Numerical Taxonomy and Multivariate

Analysis System (NTSYS) versi 1.80 untuk mengetahui hubungan kekerabatan di

antara jenis-jenis tumbuhan lumut. Kerangka pemikiran dari penelitian ini

diperlihatkan pada Gambar 6.

31

Kandungan senyawa metabolit sekunder (Rf)

Analisis NumerikDendogram hubungan kekerabatan

jenis lumut

Jenis tumbuhan lumut yang menempel pada dinding tembok di daerah Surakarta

Ekstraksi dengan kloroform

Hubungan kekerabatan antar jenis-jenis lumut

Identifikasi berdasarkan ciri

morfologi

Analisis profil kandungan senyawa kimia

menggunakan KLT

Golongan senyawa metabolit sekunder

Identifikasi berdasarkan ciri senyawa metabolit sekunder

32

Gambar 6. Skema Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah :

1. Jenis-jenis tumbuhan lumut yang menempel pada dinding tembok di

daerah Surakarta mempunyai perbedaan ciri morfologi dan komposisi

kandungan senyawa metabolit sekundernya.

2. Golongan senyawa kimia dari komponen metabolit sekunder di antara

jenis-jenis tumbuhan lumut yang menempel pada dinding tembok di

daerah Surakarta dapat ditentukan.

3. Jenis-jenis tumbuhan lumut yang mempunyai ciri morfologi dan

senyawa metabolit sekunder yang sama atau hampir sama berkerabat

lebih dekat sedangkan jenis-jenis lumut yang mempunyai ciri morfologi

dan senyawa metabolit sekunder yang berbeda berkerabat lebih jauh.

33