BAB I
Transcript of BAB I
![Page 1: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang paling sering dijumpai setelah
presbikusis. Lebih dari 28 juta orang Amerika mengalami ketulian dengan berbagai
macam derajat, dimana 10 juta orang diantaranya mengalami ketulian akibat terpapar
bunyi yang keras pada tempat kerjanya. Oetomo, A dkk (Semarang, 1993) dalam
penelitiannya terhadap 105 karyawan pabrik dengan intensitas bising antara 79 s/d 100
dB didapati bahwa sebanyak 74 telinga belum terjadi pergeseran nilai ambang, sedangkan
sebanyak 136 telinga telah mengalami pergeseran nilai ambang dengar, derajat ringan
sebanyak 116 telinga ( 55,3% ), derajat sedang 17 ( 8% ) dan derajat berat 3 (1,4% ).
Nasution, AK ( 1991 ) melakukan penelitian terhadap pandai besi yang berada di
sekitar kota Medan. Ia mendapatkan sebanyak 92,30 % dari pandai besi tersebut
menderita sangkaan NIHL. Sedangkan Harnita, N (1995) dalam suatu penelitian terhadap
karyawan pabrik gula mendapati sebanyak 32,2% menderita sangkaan NIHL.
B. TUJUAN
Mengetahui dampak kebisingan pada pekerja uasaha furniture kayu di Kelurahan Tritih
Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap.
![Page 2: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/2.jpg)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kebisingan
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki. Definisi
ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergantung dari masing-
masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara audiologi, bising
adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekwensi (Soetirto, 1990).
Cacat pendengaran akibat kerja (occupational deafness/noise induced hearing loss)
adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat
permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus
dilingkungan tempat kerja. Dalam lingkungan industri, semakin tinggi intensitas
kebisingan dan semakin lama waktu pemaparan kebisingan yang dialami oleh para
pekerja, semakin berat gangguan pendengaran yang ditimbulkan pada para pekerja
tersebut.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebisingan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan:
1. Intensitas kebisingan
2. Frekwensi kebisingan
3. Lamanya waktu pemaparan bising
4. Kerentanan individu
5. Jenis Kelamin
6. Usia
7. Kelainan di telinga tengah (Rambe, 2003).
![Page 3: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/3.jpg)
C. Jenis Kebisingan
Berdasarkan sifat dan spektrum bunyi, bising dapat dibagi atas :
1. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekwensi yang luas. Bising ini relati tetap
dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-turut. Misalnya mesin,
kipas angin, dan dapur pijar.
2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekwensi yang sempit. Bising ini juga relatif
tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekwensi tertentu saja (pada frekwensi 500,
1000 dan 4000 Hz). Misalnya gergaji serkuler, katup gas.
3. Bising terputus-putus (Intermiten). Bising disini tidak terjadi secara terus- menerus,
melainkan ada periode relatif tenang. Misalnya suara lalu lintas dan kebisingan di
lapangan terbang.
4. Bising Impulsif. Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB
dalam waktu yang sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarannya. Misalnya
tembakan, suara ledakan petasan dan meriam.
5. Bising impulsif berulang. Sama dengan bising impulsif, hanya saja disini terjadi
secarra berulang-ulang (Buchari, 2007).
Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia, bising juga dapat dibagi atas beberapa
golongan, yaitu:
1. Bising yang mengganggu (Irritating Noise). Intensitas tidak terlalu keras. Misalnya
mendengkur.
2. Bising yang menutupi (Masking Noise). Merupakan bunyi yang menutupi
pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung bunyi ini akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, karena teriakan atau isyarat tanda bahaya
dari sumber lain kurang terdengar.
![Page 4: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/4.jpg)
3. Bising yang merusak (Damaging/Injury Noise). Adalah bunyi yang intensitasnya
melampaui NAB. Bunyi jenis ini akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran
(Buchari, 2007).
D. Pengukuran Kebisingan
Pengukuran paras pendedahan kebisingan adalah penting untuk menentukan tahap
pendedahan kebisingan pekerja. Terdapat 3 alat yang digunakan untuk mengukur paras
kebisingan iaitu Meter Paras Bunyi (Sound Level Meter), Penganalisa Jalur Oktav dan
Dosimeter untuk mengukur padas bunyi berterusan dan bunyi impuls .
1. Sound Level Meter
SLM adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan yang
terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit “attenuator” dan beberapa alat lainnya. Alat
ini mengukur kebisingan antara 30 – 130 dB dan dari frekwensi 20 – 20.000 Hz.
SLM dibuat berdasarkan standar ANSI (American National Standard Institute) tahun
1977 dan dilengkapi dengan alat pengukur 3 macam frekwensi yaitu A, B dan C
yang menentukan secara kasar frekwensi bising tersebut. Jaringan frekwensi A
mendekati frekwensi karakteristik respon telinga untuk suara rendah yang kira-kira
dibawah 55 dB . Jaringan frekwensi B dimaksudkan mendekati reaksi telinga untuk
batas antara 55 – 85 dB. Sedangkan jaringan frekwensi C berhubungan dengan
reaksi telinga untuk batas diatas 85 dB.
2. Penganalisa Jalur Oktav
Alat ini mempunyai penapis elektronik yang boleh mengukur intensiti bunyi pada
jalur berkuensi yang dikehendaki.
3. Dosimeter
Dosimeter digunakan untuk mengukur dos pendedahan pekerja di dalam jangka
waktu terentu. Sangat berguna untuk mengukur kebisingan yang sangat
![Page 5: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/5.jpg)
berkfluktuasi (tidak tetap). Dosimeter akan mengintegrasikan semua bising di antara
80 – 130 dB(A) (Rambe, 2003).
E. Dampak Kebisingan
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori
yaitu:
1. Noise Induced Temporary Threshold Shift ( NITTS )
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi
pada frekwensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai “notch“ yang
curam pada frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch. Pada tingkat awal
terjadi pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga
NITTS. Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat
kembali normal.
2. Noise Induced Permanent Threshold Shift (NIPTS)
Dalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran akibat
suara bising, dan hal ini disebut dengan “occupational hearing loss“ atau kehilangan
pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising industri.
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu bekerja
di lingkungan bising selama 10 – 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada
tingkat suara bising dan kepekaan seseorang terhadap suara bising. NIPTS biasanya
terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan menyebar ke
frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah
menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah (2000 dan 3000 Hz ) keluhan akan
![Page 6: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/6.jpg)
timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan
pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekwensi yang
lebih rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah.
Notch bermula pada frekwensi 3000 – 6000 Hz, dan setelah beberapa waktu
gambaran audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi. Kehilangan
pendengaran pada frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10
tahun dan kemudian perkembangannya menjadi lebih lambat (Rambe, 2003).
F. Pencegahan
Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah
terjadinya NIHL yang disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Program ini
terdiri dari 3 bagian yaitu:
1. Pengukuran pendengaran
Test pendengaran yang harus dilakukan ada 2 macam, yaitu:
a. Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja.
b. Pengukuran pendengaran secara periodik.
2. Pengendalian suara bising
Dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a. Melindungi telinga para pekerja secara langsung dengan memakai ear muff (tutup
telinga), ear plugs (sumbat telinga) dan helmet (pelindung kepala).
b. Mengendalikan suara bising dari sumbernya, dapat dilakukan dengan cara:
memasang peredam suara
menempatkan suara bising ( mesin ) didalam suatu ruangan yang terpisah dari
pekerja
3. Analisa bising
![Page 7: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/7.jpg)
Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekwensi bising,
lama dan distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat utama dalam
pengukuran kebisingan adalah sound level meter.
G. Penatalaksanaan
Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari
lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung
telinga yaitu berupa sumbat telinga (ear plug), tutup telinga (ear muffs) dan pelindung
kepala (helmet). Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat
menetap (irreversible), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan
berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan Alat Bantu
Dengar (ABD). Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan
memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan
psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya.
Latihan pendengaran (auditory training) juga dapat dilakukan agar pasien dapat
menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca
ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat untuk
dapat berkomunikasi (Nasution, 1991).
![Page 8: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/8.jpg)
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Usaha Furniture Kayu
Usaha furniture kayu yang akan dibahas dalam makalah ini UD Jati Mulya. Usaha
ini beralamat di Jl. Trembesi No.23, Kelurahan Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara,
Kabupaten Cilacap. Usaha ini merupakan usaha kecil yang memproduksi lemari, meja,
kursi, tempat tidur dan meja rias sebagai produk utama. Namun, produsen juga tidak
menutup kemungkinan pesanan dari pelanggan di luar produk yang mereka buat. Pemilik
usaha mempekerjakan 3 orang tukang kayu untuk membantu pekerjaannya.
Pengusaha memfungsikan rumah tempat tinggal mereka sebagai tempat
produksi/bekerja juga. Bagian depan rumah yang berupa balai, dijadikan tempat usaha
dan sebagian juga digunakan sebagai show room beberapa produk yang sudah jadi.
B. Proses Produksi Furniture Kayu
Memproduksi furniture kayu tentunya membutuhkan bahan baku dan peralatan
yang digunakan. Bahan baku usaha ini tentu saja adalah kayu (jati, mahoni, dll).
Sedangkan peralatan yang digunakan oleh produsen adalah:
1. Peralatan mekanis dengan tenaga listrik yang digunakan antara lain adalah mesin
gergaji kayu, mesin bor kayu, mesin serut, mesin ampelas, obeng listrik dan
kompresor untuk pewarnaan dan finishing politur.
2. Sedangkan peralatan manual terdiri dari gergaji manual, palu atau pukul besi, tang,
tatah atau pahat, tatah ukir, pisau raut, mistar, meteran serta peralatan politur, cat, dsb.
Proses produksi pada usaha kecil furniture kayu ini menggunakan teknologi proses
sederhana secara manual untuk pekerjaan kecil dan rinci. Pada pekerjaan yang lebih
berat sudah menggunakan teknologi proses semi modern, yaitu dalam proses penyerutan
![Page 9: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/9.jpg)
dan penghalusan untuk bidang-bidang yang lebih luas. Proses pembuatan dilakukan
melalui beberapa tahapan yaitu pemotongan kayu gelondongan menjadi bentuk kaso,
papan dan balok yang dilakukan di tempat penjual kayu. Selanjutnya bahan tersebut
dilakukan pemotongan sesuai dengan ukuran produk, pembentukan model-model produk
dengan mesin bubut, pengukiran bentukan produk jadi, pengampelasan, pewarnaan dan
finishing.
C. Kebisingan pada Usaha Furniture Kayu
Dari rangkaian proses produksi yang telah dijelaskan di atas, salah satu prses yang
menimbulkan kebisingan adalah pada tahap penyerutan kayu. Proses penyerutan kayu
menggunakan mesin serut listrik yang dioperasikan dengan tangan. Saat mesin beradu
dengan kayu, mesin akan mengeluarkan suara bising yang memekakan telinga. Radius
suara tersebut dapat mencapai 500 meter. Penggunaan mesin serut dalam sehari berkisar
antar 1-3 jam, tergantung dari jumlah dan jenis pesanan furniture.
Kebisingan yang diasilkan dari proses penyerutan kayu ini termasuk ke dalam jenis
kebisingan bersela. Kebisingan ini akan berhenti apabila mesin serut berhenti beroperasi
atau sedang tidak dipakai untuk menyerut kayu. Mesin penyerut kayu yang digunakan ini
masih dioperasikan secara mnual, meskipun sudah menggunakan mesin elektrik.
Dampak dari kebisingan yang diakbatkan mesin penyerut kayu cukup dirasakan
oleh pekerja. Saat mesin beroperasi atau digunakan, pekerja yang mengoperasikannya
mengalami penurunan pendengaran. Hal ini membuat ia tidak bisa mendengar dengan
jelas perintah atau peringatan dari atasan dan teman-teman di tempat kerjanya. Bahkan
bukan hanya pekerja yang memegang mesin saja yang mengalami penurunan
pendengaran. Pekerja lain yang berdekatan dengan penggunaan mesin serut juga
mengalami hal yang sama. Selain itu, karena posisi tempat kerja atau tempat pembuatan
furniture juga berfungsi sebagai tempat tinggal, keluarga dari produsen juga ikut
![Page 10: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/10.jpg)
merasakan kebisingan yang sama. Saat mesin beroperasi, mereka juga tidak dapat
mendengar dengan jelas. Namun, keparahan dari penurunan pendengaran ini masih
dalam tahap belum terlalu parah. Saat mesin berhenti beroperasi, pendengaran akan
kembali seperti semula. Meskipun untuk itu perlu beberapa saat untuk istirahat dan
mengembalikan fungsi pendengarannya.
Meski penurunan fungsi pendengaran saat ini masih belum signifikan,
kewaspadaan terhadap ketulian akibat kerja tetap harus ada. Paparan bising yang sering
dalam jangka waktu lama dapat menjadi faktor resiko yang besar untuk terjadi ketulian.
![Page 11: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/11.jpg)
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulaan
Kebisingan adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki.
Pengertian kebisingan secara audiologi adalah campuran bunyi nada murni dengan
berbagai frekwensi. Kebisingan di tempat kerja dapat disebabkan karena penggunaan
mesin dalam proses usahanya. Kebisingan dapat mengakibatkan kecacatan akibat kerja
yaitu tuli akibat kerja.
Usaha furniture kayu merupakan salah satu bidang kerja yang mempunyai resiko
kebisingan. Kebisingan pada usaha ini salah satunya berasal dari penggunaan mesin
penyerut kayu. Dampak dari kebisingan yang dihasilkan adalah menurunnya fungsi
pendengaran dari pekerja dan keluarga produsen. Hal ini karena tempat produksi bersatu
dengan tempat tinggal. Meski dampak yang dirasa belum begitu besar, kewaspadaan
terhadap ketulian permanen akibat kerja harus tetap ada.
B. Saran
Melihat resiko ketulian akibat kebisingan di tempat pembuatan furniture kayu yang
bersumber dari mesin penyerut kayu, maka perlu dilakukan upaya pengendalian dan
pencegahan untuk meminimalkan resiko tersebut. Upaya yang dapat dilakukan antara
lain:
1. Menyediakan jeda waktu yang cukup setiap kali penggunaan mesin serut. Mesin
sebaiknya jangan dioperasikan terus-menerus dalam menyerut kayu, karena suara
bising akan sangat mengganggu telinga.
2. Membuat penyekat antara tempat kerja dengan rumah. Hal ini untuk mengecilkan
resiko keluarga produsen menerima dampak kebisingan.
![Page 12: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/12.jpg)
3. Memberi perdam di tempat kerja, terutama di tempat yang berdekatan dengan
penggunaan mesin serut (tempat penyerutan kayu).
4. Menggunakan ear muff atau ear plugs bagi pekerja, terutama pekerja yang
mengoperasikan mesin serut pada saat pengoperasiannya.
![Page 13: BAB I](https://reader036.fdocuments.net/reader036/viewer/2022082703/5571fb2f4979599169942bbf/html5/thumbnails/13.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Buchari, 2007. Kebisingan Industri dan hearing Conservation Program. Artikel. USU Digital Library. Diakses tanggal 23 Oktober 2010.
Harnita N. 1995. Pengaruh Suara Bising pada Pendengaran Karyawan Pabrik Gula Sei Semayang di Kabupaten Deli Serdang. Skripsi. Bagian THT FK USU. USU Digital Library. Diakses tanggal 13 Oktober 2010.
Nasution AK. 1991. Pengaruh Kebisingan pada Pendengaran Pandai Besi. Skripsi. Bagian THT FK USU. USU Digital Library. Diakses tanggal 13 Oktober 2010.
Oetomo A, Suyitno S. 1993. Studi Kasus Gangguan Pendengaran Akibat Bising di Beberapa Pabrik di Kota Semarang. USU Digital Library. Diakses tanggal 13 Oktober 2010.
Rambe, AYM. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. USU Digital Library. Diakses tanggal 13 Oktober 2010.
Soetirto, I. 1990. Tuli Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit THT Edisi ke-3. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.