BAB I
Click here to load reader
-
Upload
antonio-gomes -
Category
Documents
-
view
1.678 -
download
31
Transcript of BAB I
BAB I
PENENTUAN TETAPAN PENGIONAN SECARA
SPEKTROFOTOMETRI
1.1. Tujuan Percobaan
Menentukan tetapan pengionan indikator metil merah dengan
menggunakan spektrofotometer UV/VIS.
1.2. Tinjauan Pustaka
Spektrofotometri merupakan salah satu cabang analisis instrumental yang
mempelajari interaksi antara atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik
Spektrofotometer adalah suatu instrument yang mengukur transmitan
atau absorbans suatu contoh sebagai fungsi panjang gelombang.
(R.A.Day,JR,& A.L.Underwood, 1986)Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari
spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum
dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah pengukur intensitas
cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi spektrofotometri digunakan
untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan,
direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang.
(S.M. Khopkar, 2007)
Bagian-bagian spektofotometer adalah sebagai berikut :
1
1. Sumber
Sumber energi cahaya bias untuk daerah tampak (dari) spektrum itu
maupun daerah ultraviolet dekat dan inframerah dekat adalah sebuah lampu
pijar dengan kawat rambut terbuat dari wolfram. Keluaran suatu lampu pijar
wolfram sebagai fungsi panjang gelombang.
2. Monokromator
Merupakan piranti untuk memencilkan suatu berkas radiasi dari suatu
sumber berkesinambungan, berkas mana mempunyai spektral yang tinggi
dengan panjang gelombang apa saja yang diinginkan. Dengan memutar unsur
prisma atau kisis itu secara mekanis, aneka porsi spketrum yang dihasilkan
oleh unsur dispersi dipusatkan pada celah keluar, dan kemudian lewat jalan
optis lebih jauh, porsi-porsi itu menjumpai sampel.
3. Sampel
Sampel dari spektrometer adalah berupa larutan karena larutan dapat
meneruskan energi dalam daerah spektral yang diminati. Biasanya
ditempatkan pada wadah sampel yang dapat meneruskan cahaya inframerah
4. Detektor
Dalam detektor kita menginginkan kepekaan yang tinggi dalam daerah
spektral yang diminati.
5. Penguat
Dimana dalam penguat ini digunakan untuk mengendalikan suatu
rangkaian yang menarik dayanya dari dalam suatu sumber yang tak
2
bergantung dan yang mempunyai suatu keluaran yang cukup besar untuk
menjalankan suatu alat pengukur atau piranti baca.
(R.A.Day,JR,& A.L.Underwood, 1986)
Macam-macam Spektrofotometer berdasarkan sumber cahaya :
1. Spektrofotometer Sinar Tampak
Sumber cahaya yang digunakan dalam lampu pijar dengan lampu wolfram
( λ sekitar 325-350 nm hingga kira-kira 3 μm).
(R.A.Day,JR,& A.L.Underwood, 1986)
Kelebihan dari lampu wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak
bervariasi pada berbagai panjang gelombang. Jika potenisal tidak stabil, kita
akan mendapatkan energi yang bervariasi.
(S.M. Khopkar, 2007)
2. Spektrofotometer Sinar Inframerah
Spektrofotometer ini merupakan alat rutin untuk mendeteksi gugus
fungsional, mendeteksi senyawaan, dan menganalisis campuran.
Spektrofotometer ini memiliki panjang gelombang (6,5-14) μm.
(R.A.Day,JR,& A.L.Underwood, 1986)
Spektroskopis ini juga digunakan untuk penentuan struktur, khususnya
untuk analisis kuantitatif. Kebanyakan pengunaan spektroskopis inframerah
dalam analisis kuantitatif adalah untuk menganalisis kandungan
udara,misalnya jika udara mengandung polutan seperti CO, methanol, etilen
oksida dan CHCl3.
(S.M. Khopkar, 2007)
3
3. Spektrofotometer ultraviolet
Spektrofotometer ultraviolet tampak yang komersil biasanya beroperasi
dari sekitar 175 atau 200 ke 1000 nm.
Salah satu penggunaan spektrofotometri UV-VIS adalah dapat
menentukan kandungan kimiawi dari suatu bahan.
(R.A.Day,JR,& A.L.Underwood, 1986)
Spektrofotometer UV/VIS adalah alat yang digunakan untuk mengukur
transmitansi, reflektansi dan absorbsi dari cuplikan sebagai fungsi dari
panjang gelombang. Spektrofotometer sesuai dengan namanya merupakan alat
yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan
sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah
alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi
spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi cahaya secara relatif jika
energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi
dari panjang gelombang. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber
spektrum sinar tampak yang sinambung dan monokromatis. Sel pengabsorbsi
untuk mengukur perbedaan absorbsi antara cuplikan dengan blanko ataupun
pembanding.
Spektrofotometer UV/VIS merupakan spektrofotometer yang digunakan
untuk pengukuran didaerah ultraviolet dan didaerah tampak. Semua metode
spektrofotometri berdasarkan pada serapan sinar oleh senyawa yang
ditentukan, sinar yang digunakan adalah sinar yang semonokromatis mungkin.
(http://sentrabd.com/main/info/Insight/Spectrophotometer.htm)
4
4. Spektrofotometer Serapan Atom
Metode ASS berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom
menyerap cahaya tersebut pada panjangan tertentu, tergantung pada sifat
unsurnya. Misalkan natrium menyerap pada 589 nm, uranium 558 nm,
sedangkan kalium pada 766,5 nm. Cahaya pada panjang gelombang ini
mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom.
Kelebihan dari ASS adalah kecepatan analisisnya, ketelitian sampai tingkat
runut, tidak memerlukan pemisahan pendahuluan, dan dapat digunakan pada
61 jenis logam.
(S.M. Khopkar, 2007)
Syarat-syarat cuvet :
- Harus dapat meneruskan cahaya dalam daerah spectral
- Harus diletakkan secara reprodusibel dengan membubuhkan tanda pada satu
sisi tabung dan tanda itu selalu tetap arahnya.
- Lebih baik bila permukaannya datar
- Cuvet harus diisi sedemikian rupa sehingga berkas cahaya menembus
larutan.
(R.A.Day,JR,& A.L.Underwood, 1986)
Besar penyerapan cahaya (absorbansi) dari suatu kumpulan atom/molekul
dinyatakan oleh Hukum Beer-Lambert. Hukum Beer-Lambert dapat
dituliskan sebagai berikut:
%T = (I/I0) x 100 = exp(- ε c l)
5
Atau
A = log (I0/I) = ε b l.
Dimana :
A = absorbsi
I = intensitas cahaya dengan panjang gelombang tertentu yang telah melalui
larutan pada pelarut murni.
I0 = intensitas awal
ε = indeks absorbansi zat terlarut (mol-1 cm-1)
b = panjang atau tebal larutan yang dilewati cahaya (cm)
c = konsentrasi zat terlarut (mol/liter)
Gambar di bawah menunjukkan plot %T vs. konsentrasi dan A vs.
konsentrasi. Bentuk persamaan terakhir menyatakan sebuah hubungan penting,
yakni absorbansi A memiliki hubungan linier dengan konsentrasi c (A x c) dan
dapat ditentukan dengan mengukur ratio antara intensitas cahaya setelah melewati
bahan/medium dan intensitas sebelum melewati bahan/medium.
(http://sentrabd.com/main/info/Insight/Spectrophotometer.htm)
6
Ciri-ciri metil merah :
1. Mempunyai struktur :
2. Rumus molekul : C15H16N3O2
3. Mempunyai berat molekul : 269,299 g/mol
4. Titik lebur : (179-182)°C
5. Mempunyai trayek pH : 4,4 – 6,2
(http://en.wikipedia.org/wiki/image:methyl _red.png)
Reaksi pengionan metil merah adalah sebagai berikut:
HMR H+ + MR-
Ka =
Baik HMR maupun MR- mempunyai peak absorbsi yang kuat dalam daerah
nampak dari spektrum selang perubahan warna dari pH 4 ke pH 6 dapat diperoleh
tanpa kesukaran tanpa sistem buffer natriumasetat- asamasetat.
(Vogel,G. Svehla,1985)
Tetapan kesetimbangan untuk asam lemah dan basa lemah masing-masing
disebut tetapan pengionan asam dan tetapang pengionan basa. Besarnya tetapang
menyatakan kuatnya asam atau basa.Dalam semua larutan elektrolit lemah, derajat
pengionan meningkat jika larutan bertambah, encer namun tetapang pengionan
tidaklah berubah.
7
Ada 2 jenis tetapan pengionan :
Tetapan Pengionan Asam Lemah
Asam Monoprotik Lemah. Suatu kesetimbangan Antara ion dan molekul dapat
ditangani secara matematis dengan cara yang sama seperti suatu kesetimbangn
dalam semua spesies adalah molekul. Pengionan asam monoprotik (perpoton satu)
lemah apa aja, HA,dalam larutan air :
HA + H2O H3O+ + A-
Untuk Kc didasarkan pada persamaan di atas.
Kc = [H3O+][A-] [HA][H2O]
Untuk semua larutan encer, konsentrasi molar dari air, [H2O], yakni sama yaitu
sekitar 55 M, dan untuk perkalian dua tetapan Kc × 55 diungkapkan dengan
tetapan Ka, yang disebut tetapan pengionan asam.
Asam Poliprotik Lemah. Pengionan asam poliprotik berlansung dengan cara
bertahap. Tiap tahap pengionan melibatkan rumus tetapan pengionan yang
berlainan. Tahap- tahap pengionan dapat dirumuskan
Tahap I : H2CO3 H+ + HCO3-
Ka1 = [H+][HCO3-]
[H2CO3]
Tahap II : HCO3- H+ + CO3
-
Ka2 = [H+][CO3-]
[HCO3-]
Tahap-tahap dalam pengionan asam poliprotik berlangsung dalam larutan yang itu
juga. Dalam larutan H2CO3, terdapat hanya satu konsentrasi H+ dan hanya satu
8
konsentrasi HCO3-. Harga numeris yang sama untuk konsentrasi-konsentrasi ini
digunakan dalam menhitung baik ka1 dan ka2.
Tetapan Pengionan Basa Lemah
Rumus untuk tetapan kesetimbangan untuk larutan encer basa lemah dapat
diperoleh dengan cara yang untuk asam lemah.perhatikan larutan encer dalam air
dari basa BrØnsted-Lowry lemah dan tak bermuatan, yang ditandai dengan
lambang B. Persamaan kesetimbangan dan rumus Kc-nya adalah :
B + H2O BH+ + OH-
Kc = [BH+][OH-] [B][H2O]
Untuk larutan encer, dengan konsentrasi H2O sekitar 55 M, maka
Kc × 55 = Kb = [BH+][OH-] [B]
Kb disebut tetapan pengionan basa.
(Keenan. 1984)
1.3. Alat dan Bahan
A. Alat-alat yang digunakan :
- spektrofotometer UV
- kuvet
- labu ukur
- pipet volume
- Beakerglass
- pipet tetes
9
- indikator pH
- karet penghisap
- gelas arloji
- batang pengaduk
- corong kaca
- neraca digital
- botol aquadest
- Erlenmeyer
B. Bahan-bahan yang digunakan :
- metil merah (C15H15N3O2)
- asamklorida (HCl)
- natriumhidroksida (NaOH)
- natriumasetat (CH3COONa)
- asamasetat (CH3COOH)
- aquadest (H2O)
- etanol (C2H5OH)
1.4. Prosedur Percobaan
A. Menentukan λ maksimum larutan metil merah dalam suasana asam
Membuat larutan 100 ppm dengan cara :
- Mengambil 10 mL larutan induk metil merah 1000 ppm dan
mengencerkannya dengan aquadest sampai 100 mL.
10
Membuat larutan 10 ppm dengan cara :
- Mengambil 10 mL larutan metil merah 100 ppm dan mengencerkannya
dengan aquadest sampai 100 mL.
- Membuat larutan 2, 3, 4 dan 5 ppm dari larutan 10 ppm, menambahkan
dengan 5 mL HCl 0,1 N dan mengencerkan dengan aquadest sampai 50
mL.
- Mengukur besar transmitan pada larutan asam 5 ppm dengan
spektofotometer pada panjang gelombang antara 400 nm sampai 550
nm.
- Menentukan panjang gelombang pada absorbansi maksimum larutan
asam 5 ppm (λ1) dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
antara 400 nm sampai 550 nm.
B. Menentukan λ maksimum larutan metil merah dalam suasana basa
Membuat larutan 100 ppm dengan cara :
- Mengambil 10 mL larutan induk metil merah 1000 ppm dan
mengencerkannya dengan aquadest sampai 100 mL.
Membuat larutan 10 ppm dengan cara :
- Mengambil 10 mL larutan metil merah 100 ppm dan mengencerkannya
dengan aquadest sampai 100 mL.
- Membuat larutan 2, 3, 4 dan 5 ppm dari 10 ppm kemudian
menambahkan 12,5 mL NaOH 0,01 N pada masing-masing larutan dan
mengencerkannya dengan aquadest sampai 50 mL.
11
- Mengukur besar transmitan metil merah pada larutan basa 5 ppm dengan
spektofotometer pada panjang gelombang 400-550 nm.
- Menentukan panjang gelombang pada absorbansi maksimum larutan
basa 5 ppm (λ2) dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
antara 400 nm sampai 550 nm.
- Mengukur % T larutan asam dan basa 2, 3, 4 dan 5 ppm pada λ1 dan λ2.
C. Pengukuran transmitan asam basa pada λ1 dan λ2
Membuat larutan I dengan cara :
- Mengambil 5 mL larutan metil merah 1000 ppm, menambahkan 25 mL
larutan natrium asetat 0,04 N dan menambahkan dengan asam asetat
0,02 N sampai 100ml.
Membuat larutan II dengan cara :
- Mengambil 5 mL larutan metil merah 1000 ppm, menambahkan 25 mL
larutan natriumasetat 0,04 N dan menambahkan 50 mL asam asetat
0,02 N lalu mengencerkannya dengan aquadest sampai 100 mL.
Membuat larutan III dengan cara :
- Mengambil 5 mL larutan metil merah 1000 ppm, menambahkan 25 mL
larutan natrium asetat 0,04 N dan 10 mL asam asetat 0,02 N lalu
mengencerkannya dengan aquadest sampai 100 mL (larutan III).
- Menentukan transmitan dengan spektrofotometer pada panjang
gelombang (λ1) dan (λ2) dan menentukan pH larutan 1 sampai 3 di atas.
12
1.5.1 Tabel Pengamatan
Tabel 1.5.1 Data kalibrasi indikator metil merah pada suasana asam dan basa
λ(nm) Asam Basa
% T A % T A
400
410
420
430
440
450
460
470
480
490
500
510
520
530
540
550
96,9
95,5
93,6
90,3
86,1
80,4
73
65,5
59,7
51,8
45,3
40,1
40,4
38,6
40,3
44,3
2,06.10-2
2,09.10-2
2,13.10-2
2,21.10-2
2,32.10-2
2,48.10-2
2,73.10-2
3,05.10-2
3,35.10-2
3,86.10-2
4,41.10-2
4,98.10-2
4,95.10-2
5,18.10-2
4,96.10-2
4,51.10-2
82,3
81,5
79,7
78,9
78,7
78,7
80,23
82,3
86
89,3
93,3
95,6
97,5
98,7
99,2
99,5
2,43.10-2
2,45.10-2
2,5.10-2
2,53.10-2
2,54.10-2
2,54.10-2
2,49.10-2
2,43.10-2
2,32.10-2
2,23.10-2
2,14.10-2
2,09.10-2
2,05.10-2
2,02.10-2
2,016.10-2
2,013.10-2
13
Dari percobaan didapatkan :
- Panjang gelombang maksimum untuk larutan asam, λ1 = 530 nm
- Panjang gelombang maksimum untuk larutan asam, λ2 = 440 nm
Tabel 1.5.2. Pengukuran % Transmitan dan Absorbansi larutan Asam dan Basa
pada λ1 dan λ2
ppm Asam Basa
λ1 =530 nm λ2 = 440 nm λ1 =530 nm λ2 = 440 nm
% T A % T A % T A % T A
2
3
4
5
16,7
14,1
12
38,6
0,119
0,141
0,167
0,0518
20,4
20,1
19,4
86,1
0,098
0,0995
0,103
0,0232
85,5
76,4
25,5
98,7
0,0066
0,0106
0,0145
0,0168
92,5
87,8
16,8
78,7
0,216
0,227
0,107
0,0254
Tabel 1.5.3. Pengukuran % Transmitan dan Absorbansi larutan pada λ1 dan λ2
Larutan pH λ1 = 520 nm λ2 =440 nm
% T A % T A
I
II
III
3
4
4
9,1
8,3
11,6
2,19.10-1
2,4.10-1
1,72.10-1
39,4
36,5
19,2
5,07.10-2
5,97.10-2
1,04.10-1
14
1.6. Hasil Perhitungan
A. Membuat larutan metil merah 100 ppm dari larutan metil merah 1000 ppm
sebanyak 100 mL.
N1 V1 = N2 V2
1000 V1 = 100 100
V1 = 10 mL
Jadi untuk membuat larutan metil merah 100 ppm sebanyak 100 mL
dilakukan dengan memipet 10 mL larutan metil merah 1000 ppm dan
melarutkannya dengan aquadest sampai 100 mL.
B. Membuat larutan metil merah 10 ppm dari larutan metil merah 100 ppm
sebanyak 100 mL.
N1 V1 = N2 V2
100 V1 = 10 100
V1 = 10 mL
Jadi untuk membuat larutan metil merah 10 ppm sebanyak 100 mL
dilakukan dengan memipet 10 mL larutan metil merah 100 ppm dan
melarutkannya dengan aquadest sampai 100 mL.
C. Membuat 100 mL HCl 0,1 N dari HCl 37 %
Diketahui : % HCl = 37 %
ρ HCl = 1,191 g/cm3
BE HCl = 36,5
15
= 12,0730 N
N1 V1 = N2 V2
0,1 N 100 mL = 12,07 N V2
V2 = 0,8280 mL
Jadi, untuk membuat larutan HCl 0,1 N adalah dengan memipet 0,8280
mL HCl 37 % dan melarutkan dengan aquadest sampai 100 mL.
D. Membuat larutan 250 mL NaOH 0,01 N.
BE (NaOH) = 40
W = 0,1 g
Jadi, untuk membuat larutan NaOH 0,01 N ialah dengan menimbang
NaOH sebanyak 0,1 gram dan melarutkan dengan aquadest sampai
volumenya 250 mL.
E. Membuat larutan 250 mL CH3COONa 0,04 N.
BE CH3COONa = 82
16
W = 0,82 g
Jadi, cara untuk membuat larutan CH3COONa 0,04 N ialah dengan
menimbang CH3COONa sebanyak 0,8200 gram dan melarutkan dengan
aquadest sampai larutan menjadi 250 mL.
F. Membuat larutan 250 mL CH3COOH 0,02 N dari CH3COOH 9,99%
Diketahui : % CH3COOH = 99 %
ρ HCl = 1,049 g/cm3
BE CH3COOH = 60
N = 17,31 N
N1 V1 = N 2 V2
0,02 N 250 mL = 17,31 V2
V2 = 0,2888 mL
Jadi, cara membuat larutan CH3COOH 0,02 N ialah dengan memipet
0,2888 mL CH3COOH 99% dan melarutkan dengan aquadest sehingga
larutan menjadi 250 mL.
G. Menentukan regresi linier dari larutan asam basa.
Rumus : y = a + bx
Dimana :
x = konsentrasi larutan (ppm)
y = absorbansi
17
a = intersep
b = slope
Tabel 1.6.1. Data nilai regresi linier larutan asam pada λ1 (530 nm)
(x) (y)
2
3
4
5
0,119
0,141
0,167
0,0518
∑x =14 ∑y = 0,4788
Grafik 1.6.1. Nilai regresi linier larutan asam pada λ1 (530 nm)
y = -0.0176x + 0.1812
0
0.02
0.04
0.06
0.080.1
0.12
0.14
0.16
0.18
1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (ppm)
Abs
orba
nsi
Dari grafik didapat: y = a + bx
= 0,1816 - 0,0176x
18
Tabel 1.6.2. Data nilai regresi linier larutan basa pada λ1 (530 nm)
(x) (y)
2
3
4
5
0,0066
0,0106
0,0145
0,0168
∑x = 14 ∑y = 0,0845
Grafik 1.6.2. Nilai regresi linier larutan basa pada λ2 (530 nm)
y = 0.0035x + 5E-05
R2 = 0.9862
00.0020.0040.0060.008
0.010.0120.0140.0160.018
0.02
0 2 4 6
Konsentrasi (ppm)
Ab
sorb
ansi
Dari grafik didapat: y = a + bx
= 5.10-5 + 0,0035x
19
Tabel 1.6.3. Data nilai regresi linier larutan asam pada λ2 (440 nm).
(x) (y)
2
3
4
5
0,098
0,0995
0,103
0,0232
∑x =14 ∑y = 0,3237
Grafik 1.6.3. Nilai regresi linier larutan asam pada λ1 (440 nm)
y = -0.0221x + 0.1582
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (ppm)
Abs
orba
nsi
Dari grafik didapat: y = a + bx
= 0,1582 - 0,0221x
20
Tabel 1.6.4. Data nilai regresi linier larutan basa pada λ2 (440 nm).
(x) (y)
2
3
4
4
0,216
0,227
0,107
0,0254
∑x =14 ∑y = 0,5754
Grafik 1.6.4. Nilai regresi linier larutan basa pada λ2 (440 nm)
y = -0.0692x + 0.386
R2 = 0.86990
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0 2 4 6
Konsentrasi (ppm)
Ab
sorb
ansi
Dari grafik didapat: y = a + bx
= 0,386 - 0,0692x
21
Tabel 1.6.5. Harga a dan b untuk larutan asam dan larutan basa pada λ1 = 520 nm
dan λ2 = 440 nm.
Asam Basa
λ1(530 nm) λ2(440 nm) λ1(530 nm) λ2(440 nm)
A b a B a b a b
- 0,0176 0,1816 -0,0221 0,1582 0,0035 5.10-5 -0,0692 0,386
H. Menentukan konsentrasi masing-masing slope metil merah.
Rumus : A1 = a1 HMR [HMR] + a1 MR- [MR-]
A2 = a2 HMR [HMR] + a2 MR- [MR-]
Dimana :
A1 = absorbansi molar pada λ1 = 520 nm
A2 = absorbansi molar pada λ2 = 440 nm
a1 HMR = indeks absorbansi HMR pada λ1 (520 nm)
a2 HMR = indeks absorbansi HMR pada λ2 (440 nm)
a1 MR- = indeks absorbansi MR- pada λ1 (520 nm)
a2 MR- = indeks absorbansi MR- pada λ2 (440 nm)
a. Pada larutan 1 : A1 = 2,19.10-1 pada λ1 (520 nm)
A2 = 5,07.10-1 pada λ1 (440 nm)
2,19.10-1 = 0,024 [HMR] + 0,0279 [MR-] x 0,0025
5,07.10-1 = 0,0025 [HMR] - 0,0545 [MR-] x 0,024
5,475.10-4 = 6.10-5 [HMR] + 6,975.10-5 [MR-]
22
1,22.10-2 = 6.10-5 [HMR] – 1,308.10-3 [MR-]
-1,165.10-2 = 1,378.10-3 [MR-]
[MR-] = -8,45.10-6
2,19.10-1 = 0,024 [HMR] + 0,0279 [MR-]
2,19.10-1 = 0,024 [HMR] + 0,0279 [-8,45.10-6]
0,024 [HMR] = 0,219
[HMR] = 9,125
= 3 – (-6.03338) = 9,03338
Ka = 10-9,03338
b. Pada larutan II : A1 = 2,4.10-1 pada λ2 (520 nm)
A2 = 5,97.10-2 pada λ2 (430 nm)
2,4.10-1 = 0,024 [HMR] + 0,0279 [MR-] x 0,0025
5,97.10-2 = 0,0025 [HMR] + - 0,0545 [MR-] x 0,024
6.10-4 = 6.10-5 [HMR] + 6,975.10-5 [MR-]
1,4328.10-3 = 6.10-5 [HMR] + 1,308.10-3 [MR-]
832,8.10-6 = 1,378.10-3 [MR-]
[MR-] = 6,0435.10-7
2,4.10-1 = 0,024 [HMR] + 0,0279 [MR-]
2,4.10-1 = 0,024[HMR] + 0,0279 [6,0435.10-7]
23
0,087 [HMR] = 2,4.10-1 – 16,8614.10-9
[HMR] = 9,9999
= 4 – (-7,21867)
= 11,2187
Ka = 10-11,2187
c. Pada larutan III : A1 = 2,4.10-1 pada λ2 (520 nm)
A2 = 5,97.10-2 pada λ2 (430 nm)
1,72.10-1 = 0,024 [HMR] + 0,0279 [MR-] x 0,0025
1,04.10-1 = 0,0025 [HMR] + - 0,0545 [MR-] x 0,024
430.10-6 = 6.10-5 [HMR] + 6,975.10-5 [MR-]
2,496.10-3 = 6.10-5 [HMR] + 1,308.10-3 [MR-]
2,066.10-3 = 1,378.10-3 [MR-]
[MR-] = 1,4993.10-6
1,72.10-1 = 0,024 [HMR] + 0,0279 [MR-]
1,72.10-1 = 0,024 [HMR] + 0,0279 [1,4993.10-6]
0,024 [HMR] = 1,72.10-1 – 41,8305.10-9
[HMR] = 7,1667
24
= 4 – (-2,06994)
= 6,0699
Ka = 10-6,0699
Dengan cara diatas dapat diperoleh harga [HMR] dan [MR-] pada larutan II dan
III adalah :
Tabel 1.6.6. Data [HMR], [MR-], , pKa dan Ka.
Larutan [HMR] [MR-] pH pKa Ka
I
II
III
9,125
9,9999
7,1667
-8,45.10-6
6,0435.10-7
1,4993.10-6
3
4
4
-6,03338
-7,21867
-2,06994
9,03338
11,2187
6,0699
10-9,03338
10-11,2187
10-4,7335
pKa rata – rata = 8.773993
Tabel 1.6.7. Tabel nilai hubungan pH dengan konsentrasi
missal: - x = pH
- y =
Larutan y x
25
I
II
III
-6,03338
-7,21867
-2,06994
3
4
4
∑ -15,322 11
Tabel 1.6.5. Grafik nilai hubungan pH dengan Absorbansi
y = 1.3891x - 10.201
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
2.5 3 3.5 4 4.5
pH
Ab
sorb
ansi
Dari grafik didapat : y = a + bx
= -10,201 + 1,3891x
1.7. Grafik
26
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
350 400 450 500 550 600
Panjang gelombang
Ab
sorb
ansi
Asam
Basa
Grafik 1.7.1. Hubungan antara Absorbansi (A) dengan panjang gelombang
(λ) pada larutan 5 ppm
y = -0.0176x + 0.1812
0
0.02
0.04
0.06
0.080.1
0.12
0.14
0.16
0.18
1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (ppm)
Abs
orba
nsi
Grafik 1.7.2. Nilai regresi linier larutan asam pada λ1 (530 nm)
27
y = 0.0035x + 5E-05
R2 = 0.9862
00.0020.0040.0060.008
0.010.0120.0140.0160.018
0.02
0 2 4 6
Konsentrasi (ppm)
Ab
sorb
ansi
Grafik 1.7.3. Nilai regresi linier larutan basa pada λ1 (530 nm)
y = -0.0221x + 0.1582
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 1 2 3 4 5 6
Konsentrasi (ppm)
Abs
orba
nsi
Grafik 1.7.4. Nilai regresi linier larutan asam pada λ2 (440 nm)
28
y = -0.0692x + 0.386
R2 = 0.86990
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0 2 4 6
Konsentrasi (ppm)
Ab
sorb
ansi
Grafik 1.7.5. Nilai regresi linier larutan basa pada λ2 (440 nm)
y = 1.3891x - 10.201
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
2.5 3 3.5 4 4.5
pH
Ab
sorb
ansi
Grafikl 1.7.6. Grafik nilai hubungan pH dengan Absorbansi
29
1.8. Pembahasan
Dari data hasil percobaan pengukuran %T untuk larutan metil merah pada
gelombang 400 nm sampai 550 nm, untuk larutan asam diperoleh λ1 = 530 nm,
dan untuk larutan basa diperoleh λ2 = 440 nm.
Berdasarkan grafik 1.7.1 Secara hubungan antara panjang gelombang
dengan absorbansi pada suasana asam didapatkan absorbansi maksimum pada
larutan asam pada panjang gelombang 530 nm. Dan pada suasana basa didapatkan
absorbansi maksimum pada larutan basa pada panjang gelombang 440 nm.
Dimana dalam mendapatkan panjang gelombang maksimum, dengan melihat
absorbansi terbesar atau transmitan terkecil.
Berdasarkan grafik 1.7.2 secara teori hubungan antara absorbansi (A)
dengan konsentrasi (ppm) berbanding lurus, pada percobaan didapatkan hasil
yang sesuai dengan teori, dimana semakin besar absorbansi (A) maka harga
konsentrasi (ppm) akan semakin besar pula. Namun terdapat penyimpangan pada
konsentrasi 5 ppm, hal ini disebabkan karena dalam penentuan panjang
gelombang maksimum yang tidak tepat.
Berdasarkan grafik 1.7.3 secara teori hubungan antara absorbansi (A)
dengan konsentrasi (ppm) berbanding lurus, pada percobaan didapatkan hasil
yang sesuai dengan teori, dimana semakin besar absorbansi (A) maka harga
konsentrasi (ppm) akan semakin besar pula.
Berdasarkan grafik 1.7.4 secara teori hubungan antara absorbansi (A)
dengan konsentrasi (ppm) berbanding lurus, pada percobaan didapatkan hasil
yang sesuai dengan teori, dimana semakin besar absorbansi (A) maka harga
30
konsentrasi (ppm) akan semakin besar pula. Namun terdapat penyimpangan pada
konsentrasi 5 ppm, hal ini disebabkan karena dalam penentuan panjang
gelombang maksimum yang tidak tepat.
Berdasarkan grafik 1.7.5 secara teori hubungan antara absorbansi (A)
dengan konsentrasi (ppm) berbanding lurus, pada percobaan didapatkan hasil
yang sesuai dengan teori, dimana semakin besar absorbansi (A) maka harga
konsentrasi (ppm) akan semakin besar pula. Namun terdapat penyimpangan pada
konsetrasi 4 ppm dan 5 ppm, hal ini disebabkan karena dalam penentuan panjang
gelombang maksimum yang tidak tepat.
Berdasarkan grafik 1.7.6 hubungan antara pH larutan dengan konsentrasi
adalah berbanding lurus, dimana semakin besar pH maka semakin besar harga
perbandingan logaritma asam basanya.
Dari hasil percobaan diketahui bahwa pKa metil merah 8,773993. Dari
literatur harga pKa metil merah adalah 5,0 pada range 4,2-6,3. Dalam praktikum
pKa yang kita dapatkan adalah sebesar 8,773993. Hasil ini tidak sesuai dengan
teori.
Penyimpangan ini disebabkan karena :
- Larutan metil merah mudah teroksidasi.
- Penimbangan bahan yang kurang akurat.
- Pengukuran pH yang kurang akurat.
31
1.9. Kesimpulan
1. Panjang gelombang maksimum untuk larutan metil merah dalam suasana
asam (λ1) adalah 530 nm.
2. Panjang gelombang maksimum untuk larutan metil merah dalam suasana
basa (λ2) adalah 440 nm.
3. Harga pKa rata-rata dari hasil percobaan untuk metil merah adalah 8,773993.
32
BAB II
KINETIKA REAKSI SAPONIFIKASI ETILASETAT
2.1. Tujuan Percobaan
1. Untuk memberikan gambaran bahwa reaksi penyabunan etilasetat oleh
ion hidroksi adalah reaksi orde dua.
2. Menentukan konstanta kecepatan reaksi pada reaksi tersebut.
2.2. Tinjauan Pustaka
Kinetika kimia merupakan bagian dari ilmu Kimia Fisika yang mempelajari
tentang kecepatan reaksi-reaksi kimia dan mekanisme reaksi-reaksi yang
bersangkutan. Tidak semua reaksi kimia dapat dipelajari secara kinetik.
Reaksi-reaksi yang berjalan sangat cepat seperti reaksi-reaksi ion atau
pembakaran dan reaksi-reaksi yang sangat lambat seperti pengkaratan, tidak
dapat dipelajari secara kinetik. Diantara kedua jenis ini, banyak reaksi-reaksi
yang kecepatannya dapat diukur.
Ditinjau dari fase zat yang bereaksi, dikenal dua macam reaksi, yaitu :
a. Reaksi homogen, yaitu reaksi dimana tidak terjadi perubahan fase.
b. Reaksi heterogen, yaitu reaksi dimana terjadi perubahan fase.
33
Kecepatan reaksi adalah kecepatan perubahan konsentrasi terhadap
waktu, jadi tanda negatif menunjukkan bahwa konsentrasi berkurang bila
waktu bertambah.
(Sukardjo, “Kimia Fisika”, hal: 323-324)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi :
1. Sifat dasar pereaksi
Zat-zat berbeda secara nyata dalam lajunya mereka mengalami perubahan
kimia. Molekul hidrogen dan flour bereaksi secara meledak, bahkan pada
temperatur kamar, dengan menghasilkan molekul hidrogen fluorida.
H2 + F2 2HF (sangat cepat pada temperatur kamar)
Pada kondisi serupa, molekul hidrogen dan oksigen bereaksi begitu lambat,
sehingga tak nampak sesuatu perubahan kimia :
2H2 + O2 2H2O (sangat lambat pada temperatur kamar)
2. Temperatur
Laju suatu reaksi kimia bertambah dengan naiknya temperatur. Kenaikan laju
reaksi ini dapat diterangkan sebagian sebagai lebih cepatnya atom-atom
bertabrakan satu sama lain.
3. Katalis
Suatu zat yang meningkatkan kecepatan suatu reaksi kimia tanpa dirinya
mengalami perubahan yang permanen. Suatu katalis diduga mempengaruhi
kecepatan reaksi dengan salah satu jalan :
a. Pembentukan senyawa antara (katalis homogen)
b. Adsorpsi (katalis heterogen)
34
4. Konsentrasi
Laju suatu reaksi dapat dinyatakan sebagai laju berkurangnya konsentrasi
suatu pereaksi, atau sebagai laju bertambahnya konsentrasi suatu produk.
(Keenan, “Kimia Untuk Universitas”, hal: 518-524)
Saponifikasi adalah suatu reaksi yang menghasilkan sabun dan gliserol,
dengan menghidrolisa dengan basa, suatu lemak atau minyak.
(Keenan. “Kimia Untuk Universitas”, hal. 679)
Menurut Hukum Kegiatan Massa, kecepatan reaksi pada temperatur
tetap, berbanding lurus dengan konsentrasi pengikut-pengikutnya dan masing-
masing berpangkat sebanyak molekul dalam persamaan reaksi.
Orde reaksi 1 :
A hasil
Rate = k1.CA.
Orde reaksi 2 :
2A hasil
Rate = k2. C2A.
A + B hasil
Rate = k2.CA.CB
Orde reaksi 3 :
A + 2B hasil
Rate = k3.CA.C2B.
2A + B hasil
Rate = k3.C2A.CB.
(Sukardjo, “Kimia Fisika”, hal: 319-320)
35
Untuk memberikan gambaran bahwa reaksi penyabunan etilasetat oleh ion
hidroksi adalah orde dua yaitu reaksi dibawah ini :
CH3COOC2H5 + OH- CH3COO- + C2H5OH
t = 0 a b - -
x x x x
t = t (a-x) (b-x) x x
(Sukardjo, “Kimia Fisika”, hal. 334)
Reaksi bimolekuler tingkat dua dapat dinyatakan sebagai berikut :
A + B hasil-hasil
t = 0 a b 0
t = t a – x b – x x
Dimana :
a = konsentrasi awal ester (mol/L)
b = konsentrasi awal ion OH- (mol/L)
x = jumlah mol/L ester atau basa yang telah bereaksi
k2 = tetapan laju reaksi (mmol-1.menit-1)
Intregasi :
(Sukardjo, “Kimia Fisika”, hal.331)
36
Untuk dapat menentukan apakah suatu reaksi orde dua atau bukan dapat
diselidiki seperti pada reaksi tingkat satu yaitu :
1. Dengan memasukkan harga a, b, t dan x pada persamaan :
Bila harga-harga k2 tetap maka reaksi orde dua.
2. Secara grafik
Bila reaksi orde dua maka grafik t terhadap log merupakan garis lurus
tangen atau slope :
Untuk konsentrasi sama :
Jadi grafik harus lurus bila reaksi orde dua.
3. Half life period tidak dapat dipakai untuk menyelidiki tingkat reaksi,
dimana konsentrasi A dan B berbeda, karena A dan B akan mempunyai waktu
berbeda untuk bereaksinya setengah jumlah zat tersebut.
(Sukardjo, ”Kimia Fisika”, hal: 332-333)
37
Reaksi-reaksi orde I adalah reaksi-reaksi yang lajunya berbanding langsung
dengan konsentrasi reaktan, yaitu:
yang pada integrasi memberikan
ln [C] = ln [C]0 – kt
atau [C] = [C]0 e-kt
atau k =
[C]0 adalah konsentrasi reaktan pada t = 0. Untuk reaksi-reaksi orde I, plot ln [C]
(atau log [C]) terhadap t merupakan suatu baris lurus. Intersep memberikan
konsentrasi pada t = 0 dan k dapat dihitung dari kemiripan tersebut.
Dalam reaksi orde II, laju reaksi berbanding langsung dengan kuadrat
konsentrasi dari satu reaktan atau dengan hasil kali konsentrasi yang meningkat
sampai pangkat satu atau dua
1. Kasus I
2A Produk
yang pada integrasi memberikan
dimana [A]0 adalah konsentrasi reaktan pada t = 0.
38
2. Kasus II
aA + bB Produk
dimana a ≠ b dan [A]0 ≠ [B]0, persamaan laju diferentsial adalah
dan persamaan laju yang diintegrasi adalah
Jika a = b = 1, persamaan diatas menjadi
Plot kiri dari persamaan diatas terhadap t akan merupakan garis lurus.
Konstanta laju dapat dihitung dari kemiripan dan konsentrasi awal reaktan
dari intersep tersebut.
(S. K. Dogra & S. Dogra. Kimia Fisika dan Soal-soal, hal : 626-629)
Sabun merupakan garam logam alkali dengan rantai asam monocarboxylic
yang panjang. Larutan Alkali yang digunakan dalam pembuatan sabun bergantung
pada jenis sabun tersebut. Larutan alkali yang biasanya digunakan pada sabun
keras adalah natrium hidroksida dan alkali yang biasanya digunakan pada sabun
lunak adalah kalium hidroksida.
Sabun berfungsi untuk mengemulsi kotoran – kotoran berupa minyak
ataupun zat pengotor lainnya. Sabun dibuat melalui proses saponifikasi lemak
minyak dengan larutan alkali membebaskan gliserol. Lemak minyak yang
39
digunakan dapat berupa lemak hewani, minyak nabati, lilin, ataupun minyak ikan
laut.
Pada saat ini, teknologi sabun telah berkembang pesat. Sabun dengan jenis
dan bentuk yang bervariasi dapat diperoleh dengan mudah di pasar mulai dari
sabun mandi, sabun cuci baik untuk pakaian maupun untuk perkakas rumah
tangga, hingga sabun yang digunakan dalam industri. Kandungan zat – zat yang
terdapat pada sabun juga bervariasi sesuai dengan sifat dan jenis sabun. Zat – zat
tersebut dapat menimbulkan efek baik yang menguntungkan maupun yang
merugikan. Oleh karena itu, konsumen perlu memperhatikan kualitas sabun
dengan teliti sebelum membeli dan menggunakannya.
Pada pembuatan sabun, bahan dasar yang biasa digunakan adalah : C12-18.
Jika kurang dari C12 akan menyebabkan iritasi pada kulit dan jika lebih dariC20,
kurang larut (digunakan sebagai campuran).
(www.course.usu.ac.id)
2.3. Alat dan Bahan
A. Alat-alat yang digunakan :
- buret
- statif lengkap
- beakerglass
- labu ukur
- Erlenmeyer
- pipet volume
- pipet tetes
40
- karet penghisap
- gelas arloji
- corong kaca
- botol aquadest
- batang pengaduk
- stopwatch
- timbangan digital
B. Bahan-bahan yang digunakan :
- etilasetat (CH3COOC2H5)
- asamoksalat (C2H2O4.2H2O)
- natriumhidroksida (NaOH)
- indikator phenolphtalien (C20H14O4)
- asamklorida (HCl)
- aquadest (H2O)
2.4. Prosedur Percobaan
1. Menyediakan 250 mL larutan etilasetat dengan konsentrasi 0,04 N.
2. Menyediakan 250 mL larutan HCl dengan konsentrasi 0,04 N.
3. Menyediakan 250 mL larutan NaOH 0,04 N dan 100 mL larutan
asam oksalat 0,04 N, memipet 10 mL asamoksalat dan menambahkan 2 tetes
indikator pp kemudian menitrasi dengan NaOH. Mengulangi percobaan
sebanyak 3 kali.
41
4. Menyiapkan 40 mL larutan NaOH 0,04 N dan 40 mL larutan
etilasetat 0,04 N, masing-masing ke dalam sebuah Erlenmeter. Memasukkan
20 mL larutan HCl 0,04 N ke dalam 6 buah Erlenmeyer.
5. Mencampurkan larutan etilasetat pada larutan NaOH dan
mengocoknya dengan baik, mencatat waktu pada saat kedua larutan
bercampur.
6. Setelah 5 menit, memipet 10 mL dari campuran NaOH dan
etilasetat tersebut kemudian memasukkannya ke dalam salah satu
Erlenmeyer yang berisi 20 mL larutan HCl.
7. Mengaduk dengan baik, kemudian memasukkan 2 tetes indikator
pp dan menitrasinya dengan larutan NaOH 0,04 N.
8. Melakukan pengambilan larutan seperti pengerjaan pada langkah
ke-6 pada
menit ke 10, 15, 20, 25,dan 30.
2.5. Data Pengamatan
Tabel 2.5.1. Data standardisasi larutan NaOH dengan larutan asamoksalat
No Volume asamoksalat (mL) Volume titrasi NaOH (mL)
1.
2.
3.
10
10
10
8,9
9,1
9
42
Tabel 2.5.2. Data volume titrasi larutan NaOH terhadap larutan HCl sisa dalam
berbagai waktu
No Waktu Volume titrasi NaOH (mL)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
5
10
15
20
25
30
19,2
19,9
20,3
21
22,1
22,3
2.6. Persamaan Reaksi
A. Standardisasi NaOH dengan asamoksalat
C2H2O4.2H2O + 2NaOH NaC2O4 + 4H2O(asamoksalat) (natriumhidroksida) (natriumoksalat) (air)
(http//www.titration-question-please-help)
B. Penentuan konstanta laju reaksi
CH3COOC2H5 + 2NaOH CH3COONa + C2H5OH + NaOH sisa
(etilasetat) (natriumhidroksida) (natriumasetat) (etanol) (natriumhidroksida)
(Hart suminar, “Suatu Kuliah Singkat Kimia Organik”, Edisi VI, hal.242)
NaOH sisa + 2HCl NaCl + H2O + HCl sisa
(natriumhidroksida) (asamklorida) (natriumklorida) (air) (asamklorida)
HCl sisa + NaOH NaCl + H2O(asamklorida) (natriumhidroksida) (natriumklorida) (air)
(Vogel, “Analisa Organik Kualitatif”, hal: 29-30)
43
2.7. Hasil Perhitungan
A. Membuat larutan etilasetat 0,04 N sebanyak 250 mL
Diketahui : = 0,894 g/mLCH3COOC2H5 = 100 %
= 10,16 N
V1 N1 = V2 N2
V1 (10,16 N) = (250 mL) (0,04 N)
V1 = 0,9842 mL
Jadi untuk membuat larutan etilasetat 0,04 N sebanyak 250 mL adalah
dengan memipet 0,98 mL etilasetat 100% dan mengencerkan dengan
aquadest sampai volume 250 mL.
B. Membuat larutan HCl 0,04 N sebanyak 250 mL
Diketahui : HCl = 1,19 g/mL
HCl = 37 %
= 12,06N
44
V1 N1 = V2 N2
V1 (12,06 N) = (250 mL) (0,04 N)
V1 = 0,8291 mL
Jadi untuk membuat larutan HCl 0,04 N sebanyak 250 mL adalah dengan
memipet 0,83 mL HCl 37% dan mengencerkan dengan aquadest sampai
volume 250 mL.
C. Pembuatan larutan NaOH 0,04 N sebanyak 250 mL
W = 0,4 g
Jadi untuk membuat larutan NaOH 0,04 N sebanyak 250 mL adalah dengan
menimbang NaOH sebanyak 0,4 g dan melarutkan dengan aquadest sampai
volume 250 mL.
D. Pembuatan larutan asamoksalat 0,04 N sebanyak 100 mL
W = 0,252 g
Jadi untuk membuat larutan asamoksalat 0,04 N sebanyak 100 mL adalah
dengan menimbang asamoksalat sebanyak 0,252 g dan melarutkan dengan
aquadest sampai volume 100 mL.
E. Standardisasi larutan NaOH dengan asamoksalat
45
Volume titrasi : I = 8,9
II = 9,1
III = 9
= 9
(V N)asamoksalat = (V N)NaOH
(10) (0,04) = (9) NNaOH
NNaOH = 0,044 N
Jadi normalitas NaOH adalah 0,044 N.
F. Menentukan jumlah mol HCl awal
Mmol HClawal = N VHCl awal
= (0,04) (20)
= 0,8 mmol
G. Menentukan jumlah mmol HCl titrasi (HCl sisa)
Misal : untuk t = 5 menit
mmol HCl titrasi = N V NaOH penitrasi
= (0,044) (19,2)
= 0,8448 mmol
H. Menentukan jumlah mmol HCl bereaksi
mmol HCl bereaksi = mmol HCl awal - mmol HCl sisa
mmol HCl bereaksi = 0,8 - 0,8448
= 0,0448 mmol
mmol HCl bereaksi = mmol NaOH sisa (dari etilasetat)
46
Dengan cara yang sama didapat mmol NaOH seperti pada tabel berikut :
Tabel 2.7.1. Data perhitungan mmol HCl bereaksi
Waktu (menit) HCl beraksi (mmol) HCl sisa (mmol)
5 0,0448 0,8448
10 0,0756 0,8756
15 0,0932 0,8932
20 0,124 0,924
25 0,1724 0,9724
30 0,1812 0,9812
I. Menghitung jumlah mmol NaOH yang bereaksi
(N V)NaOH awal = mmol NaOH sisa + mmol NaOH bereaksi
(N V) awal = mmol NaOH sisa + mmol NaOH bereaksi
Misal : untuk t = 5 menit
(N V) awal = mmol NaOH sisa + mmol NaOH bereaksi
(0,044) (40) = 0,0448 + mmol NaOH bereaksi
mmol NaOH bereaksi = 1,7152
Jadi mmol NaOH bereaksi = 1,7152 mmol
47
Dengan cara yang sama diperoleh jumlah NaOH yang bereaksi :
Tabel 2.7.2. Hasil perhitungan mmol NaOH yang bereaksi
Waktu (menit) NaOH bereaksi (mmol) NaOH sisa (mmol)
5
10
15
20
25
30
1,7152
1,6844
1,6668
1,636
1,5876
1,5788
0,0448
0,0756
0,0932
0,124
0,1724
0,1812
J. Menghitung konstanta kecepatan reaksi
k =
Dimana :
a = NaOH campuran (mmol)
t = waktu (menit)
x= mmol NaOH yang bereaksi (mmol)
k= konstanta laju reaksi
untuk t = 5 menit :
k =
= 4,3562 mmol-1.menit-1
48
Dengan cara yang sama akan diperoleh harga k seperti pada tabel
berikut :
Table 2.7.3. Data perhitungan konstanta laju reaksi
t (menit)(mmol) (mmol) k =
5
10
15
20
25
30
22,3214
13,2275
10,7296
8,0645
5,8005
5,5188
0,5682
0,5682
0,5682
0,5682
0,5682
0,5682
4,350646
2,531863
2,032283
1,499263
1,046453
0,990113
harga k rata-rata =
= 2,075103 mmol-1.menit-1
K. Menghitung persamaan garis linier
Tabel 2.7.4. Data perhitungan persamaan garis linier
x (waktu) y = (mmol) x.y x2
5 22,3214 111,607 25
49
10
15
20
25
30
13,2275
10,7296
8,0645
5,8005
5,5188
132,275
160,944
161,29
145,0125
165,564
100
225
400
625
900
∑x = 105 ∑y = 65,6623 ∑xy = 876,6925 ∑x2 = 2275
Persamaan garis linier y = a + bx
Dimana : n =6 dan ∑(x)2 =(105)2 = 11025
Rumus :
a =
=
= 21,83963
b =
=
= -0,622623
Maka persamaan garisnya :
y = a + bx
y = 21,83963 – 0,622623x
50
Tabel 2.7.5. Data grafik untuk x (t) dan y (1/a-x)
(x) waktu y = (mmol-1.menit-1)
5
10
15
20
25
30
22,3214
13,2275
10,7296
8,0645
5,8005
5,5188
2.8. Grafik
51
y = -0.6226x + 21.84
0
5
10
15
20
25
0 10 20 30 40
t (menit)
1/(a
-x)(
1/m
mo
l.men
it)
Gambar 2.8.1. Grafik hubungan antara t (menit) dengan (mmol)
2.9. Pembahasan
A. Dari grafik 2.8.1. Hubungan antara konstanta laju reaksi terhadap waktu
adalah berbanding terbalik dimana semakin lama waktu pengocokan maka
konstanta laju reaksi semakin kecil. Hal ini tidak sesuai dengan teori bahwa
semakin lama waktu pengocokan maka konstanta laju reaksi juga semakin
besar. Hal ini disebabkan karena :
- Kekurang telitian dalam penimbangan bahan
- Pembacaan volume titrasi yang kurang akurat
- NaOH mudah menguap karena bersifat higroskopis
- Pengocokkan larutan yang kurang sempurna sehingga menyebabkan
larutan tidak tercampur dengan baik
- HCl mudah menguap sehingga konsentrasi HCl menjadi berkurang .
52
B. Dari hasil percobaan diperoleh harga k sebesar - 0,6225 mmol-1.menit-1,
dimana harga k hasil percobaan berbeda dengan harga k hasil perhitungan
yaitu sebesar 2,0751 mmol-1.menit-1. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya
sifat HCl yang mudah menguap sehingga menyebabkan konsentrasi HCl
berkurang.
2.10. Kesimpulan
Dari hasil percobaan diperoleh harga konstanta kecepatan reaksi sebesar
2,0751 mmol-1.menit-1.
BAB III
53
KELARUTAN SEBAGAI FUNGSI TEMPERATUR
3.1 Tujuan Percobaan
1. Menentukan kelarutan zat pada berbagai suhu.
2. Menentukan kalor pelarutan differensial.
3.2. Tinjauan Pustaka
Larutan adalah Sistem homogen yang mengandung dua atau lebih zat.
Biasanya larutan dianggap sebagai cairan yang mengandung zat terlarut, misalnya
padatan atau gas.
(Suminar, Prinsip-prinsip kimia modern edisi 4, hal.153)
Kelarutan suatu zat tergantung pada sifat zat tersebut, volume pelarut, suhu
dan tekanan. Berdasarkan sifat daya hantar listriknya, larutan dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Larutan elektrolit adalah larutan yang dapat menghantarkan arus listrik.
2. Larutan non elektrolit adalah larutan yang tidak dapat menghantarkan arus
listrik.
Umumnya larutan asam dan basa bersifat elektrolit, sedangkan reaksi antara
asam dan basa akan menghasilkan garam. Dalam pembuatan larutan diperlukan
macam-macam konsentrasi, diantaranya persen berat, persen volume, fraksi mol,
part per million (ppm), molaritas, dan normalitas.
( http://en.wikipedia.org/wiki/kelarutan)
54
Suatu larutan mengandung dua komponen atau lebih yang disebut zat
terlarut (solute) dan pelarut (solvent). Zat terlarut merupakan komponen yang
jumlahnya sedikit, sedangkan pelarut adalah komponen yang terdapat dalam
jumlah banyak. Pada contoh, air merupakan pelarut sedangkan Alkohol
merupakan zat terlarut.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelarutan
1. Temperatur
Pengaruh temperatur tergantung dari panas pelarutan.
Bila panas pelarutan (H) negatif, daya larut turun dengan
naiknya temperatur. Bila panas pelarutan (H) positif maka
daya larut naiknya temperatur.
2. Jenis solut dan solvent.
Jenis zat yang larut dan terlarut sangat mempengaruhi
dan kelarutan suatu zat .
3. Tekanan
Tekanan sangat berpengaruh pada gas tapi untuk
cairan tidak begitu
mempengaruhi.
Konsentrasi Larutan
Konsentrasi dari larutan dapat dinyatakan dengan bermacam-macam cara :a. Persen berat : bagian berat zat terlarut tiap 100 bagian berat larutan.
b. Persen volume : bagian volume zat terlarut tiap 100 bagian volume
larutan.
55
c. Bagian berat zat terlarut tiap berat tertentu pelarut.
d. Bagian berat zat terlarut tiap sebesar tertentu larutan.
e. Molaritas ( M ) : jumlah mol zat terlarut tiap liter larutan.
f. Normalitas ( N ) : jumlah grek zat terlarut tiap liter larutan.
g. Molalitas (m) : jumlah mol zat terlarut tiap 1000 gram pelarut.
h. Fraksi mol (NA) : jumlah mol zat terlarut dibagi jumlah mol larutan.
Konsentrasi atas dasar persen volume, molaritas dan fraksi mol yang berubah
terhadap temperatur.
Jenis Larutana. Larutan gas dalam gas
Gas dengan gas selalu bercampur sempurna membentuk larutan. Sifat-
sifat larutan adalah aditif, asal tekanan total tidak terlalu besar.
b. Larutan cairan atau zat padat dalam gas
Larutan ini terjadi bila cairan menguap atau menyublim dalam gas jadi
larutan uap dalam gas. Jumlah uap yang terjadi terbatas karena tekanan
uap zat cair dan zat padat tertentu untuk tiap temperatur.
c. Larutan gas atau cairan dalam zat padat
Ada kemungkinan gas dan cairan terlarut dalam zat padat, seperti H2
dalam Pd dan benzene dalam iodium.
d. Larutan zat padat dalam zat padat
Larutan zat padat dan larutan zat padat berupa cairan sebagian atau
sempurna. Bila bercampur sempurna tidak dipengaruhi temperatur tetapi
bila sebagian dipengaruhi temperatur
56
Ditinjau dari kelarutan dapat dibagi menjadi:
1. Larutan Jenuh
Bila larutan tidak dapat melarutkan lebih banyak zat
terlarut pada suhu konstan.
2. Larutan tidak jenuh
Bila zat yang terlarut di dalam larutan kurang dari zat
terlarut dalam larutan jenuh.
3. Larutan lewat jenuh
Bila di dalam larutan larutan jenuh di tambahan zat
terlarut sehingga jumlah zat terlarut lebih banyak daripada
jumlah zat terlarut dalam larutan jenuh.
(Soekarjo, Kimia Fisika, hal: 141-144)
Efek temperatur pada kelarutan
1. Zat padat dalam cairan
Kebanyakan zat padat menjadi lebih banyak larut ke dalam suatu cairan,
bila temperatur dinaikkan, namun terdapat beberapa zat padat yang
kelarutannya menurun apabila temperatur dinaikkan.
2. Zat gas dalam cairan
Kelarutan suatu gas dalam suatu cairan biasanya menurun dengan
naiknya temperatur. Contoh bila air ledeng dipanaskan sampai hangat, sedikit
udara yang larut mulai nampak sebagai gelembung kecil
57
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal: 380-383)
Beberapa cara dapat digunakan dalam menyatakan komposisi larutan :
1. Persentase massa yaitu persentase berdasar massa suatu zat dalam larutan.
2. Fraksi mol yaitu jumlah mol zat dibagi jumlah keseluruhan mol yang ada
Dengan persamaan :
Dimana : X1 dan X2 : Fraksi mol
n1 : mol spesies 1
n2 : mol spesies 2.
3. Konsentrasi yaitu jumlah mol per satuan volum.
4. Molaritas yaitu jumlah mol zat terlarut per liter larutan
Dengan persamaan :
Dimana : M : Molaritas
n : Banyaknya mol zat terlarut
V : Volume larutan.
5. Molalitas yaitu jumlah mol zat terlarut per kilogram pelarut
(Suminar, Prinsip-prinsip kimia modern edisi 4, hal.154)
Panas pelarutan ialah banyaknya kalor yang diperlukan atau dilepaskan pada
proses pelarutan. Jika pada proses pelarutan itu dilepaskan panas, maka pelarutan
itu bersifat eksotermis, sebaliknya jika diperlukan panas disebut endotermis.
58
Definisi panas pelarutan diferensial sebagai berikut : bertambahnya panas
pelarutan karena bertambahnya 1 mol solute sedemikian rupa sehingga molalitas
larutan dalam dianggap tetap.
Jika Hd adalah panas pelarutan diferensial, maka:
untuk m → 0 (larutan sangat encer) akan memenuhi ΔHd > ΔHi. Hi tergantung
pada molalitas m, sehingga ΔHd tergantung pula pada m. untuk mengukur ΔHd
larutan dipanaskan ke dalam kalorimeter. Berdasarkan Azas Black :
Dimana :
BM : berat molekul solut
G : berat solut
w : harga air kalorimeter
T2 – T1 : ΔT didapatkan dari grafik
Cp : panas jenis air sama dengan 1 kal/mol
A : berat larutan
Untuk mendapatkan ΔHd dibuat grafik ΔHi terhadap m, kemudian kemiringan
(slope) grafik adalah dimasukkan ke rumus :
(kimia.fmipa.unair.ac.id/kuliah/pkf1/handout/pkf1.pdf , 14 mei
2009)
Hubungan tetapan kesetimbangan suatu proses dan suhu diberikan oleh Van
Hoof sebagai berikut :
59
Untuk gas :
Ka = Kp
d ln Kp = . dT
Dapat di integrasi :
D ln Kp = . dT
ln Kp = - + C
Secara grafik : log Kp =
(Sukardjo, Kimia Fisika hal 232-233)
3.3.Alat dan Bahan
A. Alat-alat yang digunakan :
- tabung reaksi besar
- batang pengaduk
- pipet volume
- pipet tetes
- beakerglass
- labu ukur
- gelas arloji
- buret
- statif dan klem
60
- termometer
- waterbath
- Erlenmeyer
- neraca analitik
- karet penghisap
- corong kaca
B. Bahan-bahan
- asamoksalat (H2C2O4.2H2O)
- natriumhidroksida (NaOH)
- aquadest (H2O)
- es batu
- indikator phenolphthalein (C20H14O4)
3.4.Prosedur Percobaan
A. Standarisasi NaOH dengan asamoksalat
- Membuat larutan NaOH 0,5 N sebanyak 100 mL
- Membuat larutan asamoksalat sebanyak 50 mL
- Memipet 10 mL larutan asamoksalat dalam Erlenmeyer
dan menambahkan 2 tetes indikator phenolphthalein
kemudian menitrasi larutan tersebut dengan larutan
NaOH
- Mengulangi standarisasi diatas sebanyak 3 kali.
61
B. Pengerjaan Contoh
- Menyediakan larutan jenuh asamoksalat dengan cara
mengisikan air ke dalam tabung reaksi besar kira-kira
setengahnya, melarutkan asamoksalat sampai terdapat
endapan.
- Melengkapi tabung reaksi dengan termometer dan
pengaduk, kemudian mengaduk dan memanaskannya
sampai 60ºC dalam waterbath.
- Memasukkan tabung reaksi besar ke dalam beakerglass
yang berisi es .
- Pada saat suhu larutan mencapai 40ºC, memipet 10 mL
larutan dan mengencerkannya hingga 100 mL pada labu
ukur.
- Kemudian memipet 10 mL larutan yang telah diencerkan,
menambahkan indikator phenolphthalein dan
menitrasinya dengan NaOH sampai diperoleh titik akhir.
- Melakukan pengerjaan yang serupa pada saat suhu
larutan 35ºC, 30ºC, 25ºC, 20ºC, 15ºC dan 10ºC.
3.5.Data Pengamatan
Tabel 3.5.1. Data Standarisasi NaOH dengan asamoksalat
62
No
.
Volume asamoksalat (mL) Volume NaOH (mL)
1.
2.
3.
10
10
10
7
10
8
Tabel 3.5.2. Data titrasi NaOH terhadap asamoksalat jenuh pada berbagai suhu
No
.
Suhu
(ºC)
Volume NaOH
(mL)
Volume rata-rata NaOH
(mL)I II
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
40
35
30
25
20
15
10
3,3
3,1
2,9
2,7
2,5
2,1
1,7
3,4
3,2
3,0
2,9
2,7
2,4
1,9
3,35
3,15
2,95
2,8
2,6
2,25
1,8
3.6.Hasil Perhitungan
A. Membuat 100 mL larutan NaOH 0,5 N
Rumus :
N =
Dimana : N = normalitas NaOH
W = berat NaOH
63
BE = berat ekivalen
V = volume NaOH
Penyelesaian :
0,5 =
W = 2 gram
Jadi untuk membuat larutan NaOH 0,5 N sebanyak 100 mL
adalah dengan melarutkan 2 gram NaOH dengan aquadest
sampai volume 100 mL.
B. Membuat 50 mL larutan asamoksalat 0,5 N
N =
W = 1,575 gram
Jadi untuk membuat larutan asamoksalat 0,5 N sebanyak 50
mL adalah dengan melarutkan 1,575 gram asamoksalat
dengan aquadest sampai volume 50 mL.
C. Standarisasi NaOH dengan asamoksalat
V1 = 7 mL
V2 = 10 mL
V3 = 8 mL
V titrasi rata-rata =
(V1N1)NaOH = (V2N2)H2C2O4
64
(8,33)(N)NaOH = (10)(0,5)
N NaOH = 0,6 N
Jadi normalitas NaOH yang dibutuhkan adalah 0,6 N.
D. Menentukan normalitas asamoksalat jenuh pada berbagai
temperatur
Rumus : (V N) H2C2O4 = (V N)NaOH
Pada suhu 40ºC :
(V1N1) H2C2O4 = (V2N2) NaOH
(10)N H2C2O4 = (3,35)(0,6)
N H2C2O4 = 0,201 N
E. Menentukan kelarutan asamoksalat
Pada suhu 40 oC :
N =
W = 0,126 gram
massa H2O = massa larutan – massa solute
= 10 – 0,126
= 9,87 gram
Kelarutan =
=
65
= 1,277
Dengan perhitungan yang sama di peroleh
Tabel 3.6.1. Kelarutan pada berbagai suhu
No. Suhu (oC)
N NaOH
(N)
Volune Titrasi (mL)
Volume asamoksalat
(mL)
Normalitas asamoksalat
( N)
Massa solute
MassaH2O
Kelarutan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
40
35
30
25
20
15
10
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
0,6
3,35
3,15
2,95
2,8
2,6
2,25
1,8
10
10
10
10
10
10
10
0,201
0,189
0,177
0,168
0,156
0,135
0,108
0,12
6
0,119
0,111
0,106
0,098
0,085
0,068
9,87
9,88
9,89
9,894
9,9
9,914
9,931
1,277
1,205
1,122
1,071
0,999
0,857
0,685
E. Menghitung panas kelarutan dan hubungan antara logaritma
kelarutan dengan 1/T
66
Tabel 3.6.2. Panas kelarutan dan hubungan antara logaritma
kelarutan dan 1/T
No
.
Suhu
(ºC)
T (ºK) 1/T (10-3) N = ms log ms = y
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
40
35
30
25
20
15
10
313
308
303
298
293
288
283
3,1949
3,2468
3,3003
3,3557
3,4130
3,4722
3,5336
0,201
0,189
0,177
0,168
0,156
0,135
0,108
-0,697
-0,724
-0,752
-0,775
-0,807
-0,870
-0,967
Tabel 3.6.3. Data untuk perhitungan regresi
No
.
T (ºK) x (10-3) x2 (10-5) y y2 xy(10-3)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
313
308
303
298
293
288
283
3,1949
3,2468
3,3003
3,3557
3,4130
3,4722
3,5336
1,0207
1,0542
1,0892
1,1261
1,1649
1,2056
1,2486
-0,697
-0.724
-0,752
-0,775
-0,807
-0,870
-0,967
0,486
0,524
0,566
0,600
0,651
0,757
0,935
-2,227
-2,351
-2,481
-2,601
-2.755
-3,021
-3,417
x =
23,5165
x2=
7,9093
y = -
5,592
y2 =
4,519
xy =-
18,853
Rumus : ln ms =
67
Perhitungan regresi : y = a + bx
=
= 1,71
=
= -746,50
sehingga persamaan garis lurus : y = 1,71–746,50x
jadi : slope (b) = -746,50
intersept (a) = 1,71
Berdasarkan harga slope yang didapat yaitu -746,50
Maka harga HDS dari kelarutan asamoksalat dapat dihitung
dengan persamaan sebagai berikut :
HDS =
dimana : diperoleh dari perhitungan regresi
linier yaitu slope
HDS = panas kelarutan pada keadaan larutan jenuh
R = konstanta gas ideal (1,987 gcal/gmol ºK)
Sehingga
68
HDS = -slope x R x 2,303
= -(-746,50 x 1,987 x 2,303)
= 3416,03 gcal/gmol ºK
3.7.Grafik
y = 0.0185x + 0.5675
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00
1.25
1.50
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Temperatur
Kel
aru
tan
Grafik 3.7.1. Hubungan antara kelarutan dengan temperatur
69
y = -746.50x +1.71
-1.2
-1
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0
1 2 3 4 5 6 7
1/T
log
mz
Grafik 3.7.2. Hubungan antara konsentrasi asamoksalat (log mz) terhadap
temperatur (1/T)
3.8.Pembahasan
- Dari hasil percobaan didapat normalitas NaOH adalah 0,6 N
sedangkan secara teoritis normalitas NaOH 0,5 N.
Penyimpangan ini disebabkan karena :
1. Kekurang telitian dalam penimbangan bahan.
2. Pembacaan volume titrasi yang kurang akurat.
3. NaOH mudah menguap karena bersifat higroskopis.
- Pada grafik 3.7.1. menunjukkan hubungan antara
temperatur dan kelarutan asamoksalat berbanding lurus.
70
Dimana semakin naik temperatur maka kelarutan
asamoksalat semakin tinggi.
- Panas pelarutan (HDS) dari hasil percobaan 3416,03 gcal/
gmol ºK sedangkan secara teoritis (Perry tabel 3-209 Heat
Of Solution Of Organic Compounds in Water, section 3-159)
yaitu sebesar 8485 kal/gmol.
Penyimpangan ini disebabkan karena :
1. Adanya perubahan suhu pada saat larutan dalam tabung
reaksi dikeluarkan dari pendingin untuk dititrasi.
2. Pada saat pendinginan terdapat zat yang mengkristal dan
kemungkinan pada saat melakukan pemipetan asamok-
salat dari tabung reaksi ada kristal asamoksalat yang
ikut.
3.9.Kesimpulan
%2%. Normalitas NaOH hasil percobaan adalah 0,6 N.
%2%. Larutan asamoksalat mempunyai panas kelarutan
positif sehingga kelarutannya semakin besar pada
suhu tinggi.
71
%2%. Pada percobaan diperoleh panas kelarutan ( HDS) yaitu
3416,03gcal/gmol ºK.
BAB IV
KELARUTAN TIMBAL BALIK
4.1Tujuan Percobaan
72
1. Menentukan temperatur kritik suatu sistem larutan
2. Menentukan kurva kelarutan fenol dalam air
3. Menbandingkan kelarutan beberapa sistem larutan.
4.2Tinjauan Pustaka
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan dinyatakan
dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada
kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat tertentu dapat larut
dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Contohnya adalah etanol di
dalam air. Sifat ini lebih dalam bahasa Inggris lebih tepatnya disebut miscible.
Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni
ataupun campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat.
Kelarutan bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit terlarut,
seperti perak klorida dalam air. Istilah "tak larut" (insoluble) sering diterapkan
pada senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya hanya ada sangat sedikit
kasus yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam beberapa kondisi,
titik kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk menghasilkan suatu larutan
yang disebut lewat jenuh (supersaturated) yang metastabil.
(http//www.wikipedia.com, 18 Mei 2009, 18:09)
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan :
73
1. Temperatur
Pengaruh temperatur tergantung dari panas pelarutan. Bila panas pelarutan
(∆H) negatif, maka daya larut turun dengan turunnya temperatur. Bila panas
pelarutan (∆H) positif, maka daya larut naik dengan naiknya temperatur.
2. Jenis zat terlarut dan pelarut
Zat-zat dengan struktur kimia yang mirip, umumnya dapat saling bercampur
baik, sedang yang tidak biasanya sukar bercampur.
3. Tekanan
Tekanan tidak begitu berpengaruh terhadap daya larut zat padat dan zat cair,
tetapi berpengaruh pada daya larut gas.
(Sukardjo, Kimia Fisika, hal. 142)
Daya larut suatu zat dalam zat lain dipengaruhi oleh :
1. Jenis pelarut dan zat terlarut.
Zat-zat dengan struktur kimia yang mirip, umumnya dapat saling bercampur
baik sedang yang tidak biasanya sukar bercampur. Air dan alkohol bercampur
sempurna (completely misible), air dan eter bercampur sebagian (partially
miscible),sedang air dan minyak sama sekali tidak bercampur (completely
immiscible).
(Sukardjo, Kimia Fisika, hal. 142)
2. Temperatur.
- Zat padat dalam cairan.
Kebanyakan zat padat menjadi lebih banyak larut ke dalam suatu cairan,
bila temperatur dinaikkan, misalnya kaliumnitrat (KNO3) dalam air, namun
74
terdapat beberapa zat padat yang kelarutannya menurun bila temperatur
dinaikkan misalnya pembentukan larutan air dari seriumsulfat (Ce2(SO4)3).
- Gas dalam cairan
Kelarutan suatu gas dalam suatu cairan biasanya menurun dengan naiknya
temperatur.
(Keenan, Charles W, Kimia Untuk Universitas, Jilid I edisi keena, hal. 383)
3. Tekanan
Tekanan tidak begitu berpengaruh terhadap daya larut zat pada zat cair,
tetapi berpengaruh pada daya larut gas.
(Sukardjo, Kimia Fisika, hal. 142)
Jenis-jenis larutan yang penting ada 4 yaitu :
1. Larutan gas dalam gas
Gas dengan gas selalu bercampur sempurna membentuk larutan. Sifat-sifat
larutan adalah aditif, asal tekanan total tidak terlalu besar.
2. Larutan gas dalam cair
Tergantung pada jenis gas, jenis pelarut, tekanan dan temperatur. Daya larut
N2, H2, O2 dan He dalam air, sangat kecil. Sedangkan HCl dan NH3 sangat
besar. Hal ini disebabkan karena gas yang pertama tidak bereaksi dengan air,
sedangkan gas yang kedua bereaksi sehingga membentuk asam klorida dan
ammonium hidroksida. Jenis pelarut juga berpengaruh, misalnya N2, O2, dan
CO2 lebih mudah larut dalam alkohol daripada dalam air, sedangkan NH3 dan
H2S lebih mudah larut dalam air daripada alkohol.
3. Larutan cairan dalam cairan
75
Bila dua cairan dicampur, zat ini dapat bercampur sempurna, bercampur
sebagian, atau tidak sama sekali bercampur. Daya larut cairan dalam cairan
tergantung dari jenis cairan dan temperatur.
Contoh :
a. Zat-zat yang mirip daya larutnya besar.
Benzena-Toluena
Air-Alkohol
Air-Metil
b. Zat-zat yang berbeda tidak dapat bercampur
Air-Nitro Benzena
Air-Kloro Benzena
4. Larutan zat padat dalam cairan
Daya larut zat padat dalam cairan tergantung jenis zat terlarut, jenis pelarut,
temperatur, dan sedikit tekanan. Batas daya larutnya adalah konsentrasi
larutan jenuh. Konsentrasi larutan jenuh untuk bermacam-macam zat dalam
air sangat berbeda, tergantung jenis zatnya. Umumnya daya larut zat-zat
organik dalam air lebih besar daripada dalam pelarut-pelarut organik.
Umumnya daya larut bertambah dengan naiknya temperatur karena
kebanyakan zat mempunyai panas pelarutan positif.
(Sukarjo, Kimia Fisika, hal: 143-146)
Kelarutan timbal balik adalah kelarutan dari suatu larutan yang bercampur
sebagian bila temperaturnya di bawah temperatur kritis. Jika mencapai temperatur
76
kritis, maka larutan tersebut dapat bercampur sempurna (homogen) dan jika
temperaturnya telah melewati temperatur kritis maka sistem larutan tersebut akan
kembali dalam kondisi bercampur sebagian lagi. Salah satu contoh dari temperatur
timbal balik adalah kelarutan fenol dalam air yang membentuk kurva parabola
yang berdasarkan pada bertambahnya % fenol dalam setiap perubahan temperatur
baik di bawah temperatur kritis. Jika temperatur dari dalam kelarutan fenol
aquadest dinaikkan di atas 50°C maka komposisi larutan dari sistem larutan
tersebut akan berubah. Kandungan fenol dalam air untuk lapisan atas akan
bertambah (lebih dari 11,8 %) dan kandungan fenol dari lapisan bawah akan
berkurang (kurang dari 62,6 %). Pada saat suhu kelarutan mencapai 66°C maka
komposisi sistem larutan tersebut menjadi seimbang dan keduanya dapat
dicampur dengan sempurna.
77
Temperatur kritis adalah kenaikan temperatur tertentu dimana akan diperoleh
komposisi larutan yang berada dalam kesetimbangan.
(Olaf A. Hougen, Chemical Process Principles, hal: 167-168)
Ada dua macam larutan, yaitu :
1. Larutan homogen, yaitu apabila dua macam zat dapat membentuk
suatu larutan yang susunannya begitu seragam sehingga tidak dapat diamati
adanya bagian-bagian yang berlainan, bahkan dengan mikroskop optis
sekalipun. Atau larutan dapat dikatakan dapat bercampur secara seragam
(miscible).
2. Larutan heterogen, yaitu apabila dua macam zat yang bercampur
masih terdapat permukaan-permukaan tertentu yang dapat terdeteksi antara
bagian-bagian atau fase-fase yang terpisah.
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal. 372)
78
Larutan heterogen dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Insoluble, yaitu jika kelarutannya sangat sedikit, yaitu kurang
dari 0,1 gram zat terlarut dalam 1000 gram pelarut. Misalnya, kaca dalam
air.
b. Immisable, yaitu jika kedua zat tersebut tidak dapat larut
antara zat satu ke dalam zat yang lain. Misalnya, minyak dalam air.
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal. 376)
Kelarutan adalah banyaknya zat yang melarut dalam suatu kuantitas tertentu
pelarut untuk menghasilkan larutan jenuh (gram zat terlarut/100 cm3 pelarut).
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal. 674)
Sifat-sifat metanol :
a. Tidak bewarna
b. Larut dalam air
c. Bersifat racun
d. Mempunyai rumus molekul CH3OH
e. Mempunyai massa molar 32,04 gr/mol
f. Mempunyai titik didih 65°C
g. Mempunyai titik beku -97,8C
(http://de.wikipedia.org/wiki/Methanol , 21 Mei 2009, 18:25)
Sifat-sifat fenol :
a. Mengandung gugus OH, terikat pada sp2-hibrida
b. Mempunyai titik didih yang tinggi
c. Mempunyai rumus molekul C6H6O atau C6H5OH
d. Fenol larut dalam pelarut organik
79
e. Berupa padatan (kristal) yang tidak berwarna
f. Mempunyai massa molar 94,11 gr/mol
g. Mempunyai titik didih 181,9°C
h. Mempunyai titik beku 40,9°C
(http://de.wikipedia.org/wiki/Phenol, 21 Mei 2009, 18.30)
(Ralph J. Fessenden, Dasar-Dasar kimia Organik, hal 295 & 297)
Sifat NaCl :
a) Berasal dari reaksi antara NaOH dengan HCl menjadi NaCl dan H2O.
b) Biasanya bersifat higroskopis yang artinya zat yang dapat menyerap air.
c) Aplikasi nyata adalah garam dapur, bila tidak disimpan ditempat tertutup
rapat maka lama kelamaan akan basah.
(http//www.yahoo.answer.com, 21 Mei 2009, 18:24)
Sifat-sifat air, yaitu :
Mempunyai rumus molekul H2O. Satu molekul air tersusun atas dua
molekul hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen.
Air bersifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa pada kondisi
standar, yaitu pada tekanan 100 kPa (1 bar) dan temperatur 273,15 K (0°C).
Air merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan
untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya, seperti garam-garam, gula, asam,
beberapa jenis gas dan banyak macam pelarut organik.
Air menempel pada sesamanya (kohesi) karena air bersifat polar.
Air juga mempunyai sifat adesi yang tinggi disebabkan oleh sifat alami
kepolarannya.
80
Air memiliki tegangan permukaan yang besar yang disebabkan oleh
kuatnya sifat kohesi antar molekul-molekul air
Mempunyai massa molar :18,0153 gr/mol
Air mempunyai densitas 0,998 gr/cm3 (berupa fase cairan pada 20°C), dan
mempunyai densitas 0,92 gr/cm3 (berupa fase padatan).
Mempunyai titik lebur : 0°C, 273,15 K, 32°F
Mempunyai titik didih : 100°C, 373,15 K, 212°F
Kalor jenis air yaitu 4184 J/(kg.K) berupa cairan pada 20°C.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Air, 21 Mei 2009, 18:59)
4.3. Alat dan Bahan
A. Alat-alat yang digunakan.
- batang pengaduk
- beakerglass
- botol aquadest
- corong kaca
- gelas arloji
- karet penghisap
- labu ukur
- masker
- neraca analitik
- penjepit kayu
- piknometer
- pipet tetes
81
- pipet volume
- rak tabung reaksi
- sarung tangan
- tabung reaksi
- termometer
- timbangan digital
- waterbath
B. Bahan-bahan yang digunakan.
- fenol (C6H5OH)
- metanol (CH5OH) 1%
- natriumklorida (NaCl) 1%
- aquadest (H2O)
4.1. Prosedur Percobaan
1. Sistem fenol-aquadest
- Menyiapkan campuran fenol dengan aquadest di dalam 5 tabung reaksi
dengan komposisi masing-masing sebagai berikut:
Tabung Fenol (g) Aquadest (mL)
1
2
3
4
5
1
1
2
2
3
5,5
4,5
3,9
1,8
2
82
- Memanaskan tiap campuran tersebut dalam waterbath dengan susunan
seperti di atas.
- Mengaduk campuran dengan perlahan dan mencatat suhu pada saat
campuran berubah dari keruh menjadi jernih.
- Mengeluarkan tabung reaksi dari waterbath lalu membiarkan campuran
menjadi dingin serta mencatat suhu pada saat campuran menjadi keruh
lagi.
- Mencatat suhu pada saat campuran berubah dari keruh menjadi jernih.
2. Sistem fenol-metanol.
- Membuat campuran 2 g fenol dengan 3,9 mL larutan metanol 1% di
dalam tabung reaksi, kemudian memanaskan dalam waterbath.
- Mencatat suhu pada saat campuran berubah dari keruh menjadi jernih.
3. Sistem fenol-NaCl.
- Membuat campuran 2 g fenol dengan 3,9 larutan NaCl 1% di dalam
tabung reaksi, kemudian memanaskan dalam waterbath.
- Mencatat suhu pada saat campuran berubah dari keruh menjadi jernih.
83
4.2. Data Hasil Pengamatan
Tabel 4.5.1. Data Pengukuran Suhu pada Sistem Fenol-Air.
No Fenol
(g)
Aquadest
(mL)
Suhu (C)
Jernih Keruh Rata-rata
1
2
3
4
5
1
1
2
2
3
5,5
4,5
3,9
1,8
2
54
57
59
54
52
51
52
54
51
50
52,5
54,5
56,5
52,5
51
Tabel 4.5.2. Data Pengukuran Suhu pada Sistem Fenol-Metanol.
No Fenol
(g)
Metnol
(mL)
Suhu (C)
Jernih Keruh Rata-rata
1 2 3,9 52 49 50,5
Tabel 4.5.3. Data Pengukuran Suhu pada Sistem Fenol-NaCl.
No Fenol(g) NaCl(mL) Suhu (C)
Jernih Keruh Rata-rata
1 2 3,9 46 39 42,5
4.3. Hasil Perhitungan
A. Sistem fenol-air
1. Mencari densitas (ρ) Air
Berat piknometer kosong : 15,4720 g
Berat piknometer dan air : 39,9669 g
Volume piknometer : 25 mL
84
Rumus :
Dimana :
= Densitas aquadest (g/mL)
W1 = Berat piknometer + aquadest (g)
W2 = Berat piknometer kosong (g)
V = Volume piknometer (mL)
= 0,9798 g/mL
Jadi densitas aqudest() yang di dapat adalah 0,9798 g/mL.
2. Mencari % berat fenol dalam air.
Rumus:
% W fenol =
Untuk tabung I :
% W fenol = = 34,3571 %
Dengan cara yang sama untuk variasi berat fenol dan volume air yang
berbeda diperoleh hasil sebagai berikut :
No fenol (g) aquadest (g) % berat fenol
1
2
3
4
5
1
1
2
2
3
5,5
4,5
3,9
1,8
2
15,6521%
18,4874%
34,3571%
53,1400 %
60,4887%
B. Sistem fenol-metanol
85
1. Membuat metanol 1% sebanyak 50 mL dari metanol
100%
Rumus :
(V1 C1) = (V2 C2)
Dimana : V1 = volume metanol 1 %
V2 = volume metanol 100 %
C1 = konsentrasi metanol 1 %
C2 = konsentrasi metanol 100 %
(V1 C1) = (V2 C2)
50 x 1% = V2 x 100%
V2 = 0,5 mL
Jadi untuk membuat metanol 1% sebanyak 50 mL adalah dengan memipet
0,5 mL metanol 100% dan mengencerkan ke dalam labu ukur 50 mL
dengan aquadest sampai tanda batas.
2. Menentukan densitas metanol
Berat piknometer kosong : 15,4720 g
Berat piknometer dan metanol : 40,572g
Volume piknometer : 25 mL
Rumus :
Dimana:
= Densitas metanol (g/mL)
W1 = Berat piknometer + metanol (g)
W2 = Berat piknometer kosong (g)
V = Volume piknometer (mL)
86
= 1,004 g/mL
Jadi densitas metanol () yang di dapat adalah 0,004 g/mL.
3. Mencari % berat fenol dalam metanol
Rumus :
% W fenol =
% W fenol =
= 33,8090 %
Jadi % berat fenol 33,8090%.
C. Sistem fenol-NaCl
1. Membuat larutan NaCl 1 % sebanyak 50 mL jika
diketahui air = 0,998.
Rumus :
% W NaCl =
1 % =
WNaCl = 0,489 g
Jadi untuk membuat NaCl 1% sebanyak 50 mL adalah dengan menimbang
0,489 g dan melarutkannya ke dalam labu ukur 50 mL dengan aquadest
sampai tanda batas.
2. Menentukan berat jenis () NaCl
Berat piknometer kosong : 15,4720 g
Berat piknometer + larutan NaCl : 40,097 g
87
Volume piknometer : 25 mL
Rumus :
Dimana : = Densitas NaCl (g/mL)
W1 = Berat piknometer + larutan NaCl (g)
W2 = Berat piknometer kosong (g)
V = Volume piknometer (mL)
= 0,985 g/mL
Jadi densitas NaCl () yang didapat adalah 0,985 g/mL.
3. Mencari % berat fenol dalam NaCl
Rumus :
% W fenol =
=
= 34,2378 %
Jadi % berat fenol dalam NaCl 34,2378 %.
88
4.4. Grafik
50
51
52
53
54
55
56
57
0 10 20 30 40 50 60 70
T rata-rata
% b
erat
Grafik 4.7.1. Hubungan antara % berat fenol terhadap suhu pada sistem
fenol-air.
4.5. Pembahasan
1. Sistem fenol-Aqudest
Dari hasil percobaan diperoleh temperatur kritis sistem fenol-Aquadest adalah
56,5C dengan komposisi dalam aquadest sebesar 34,3571 %, sedangkan
menurut Hougen dalam Chemical Process Principles halaman 168
temperatur kritis sistem fenol air adalah 66C dengan komposisi berat fenol
34%. Dari hasil ini dapat diketahui bahwa terjadi penyimpangan yang
disebabkan karena :
a. Kurang cermat dalam menentukan temperatur pada saat larutan berubah
dari keruh menjadi jernih dan dari jernih ke keruh kembali karena
89
perubahan larutan dari keruh menjadi jernih terjadi dalam waktu yang
singkat.
b. Kesalahan pada saat penimbangan fenol, karena fenol teroksidasi sehingga
mudah menguap.
Sedangkan kelarutannya fenol-aquadest lebih tinggi dibandingkan dengan
kelarutan sistem fenol-metanol dan sistem fenol-NaCl. Menurut teori dari
(http//www.wikipedia.com), fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3
gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya ia dapat
melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut
menjadikan anion fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air.
2. Sistem fenol-metanol
Dari percobaan diperoleh temperatur kritis untuk sistem fenol-metanol adalah
50,5ºC dengan % berat fenolnya adalah 33,8090 % sedangkan secara teoritis
temperatur kritis sistem fenol-metanol adalah dibawa temperatur kritik sistem
fenol air seperti dalam buku Kimia Organik Hart Suminar halaman 165 sebab
fenol metanol memiliki titik didih relatif tinggi sebab tidak saja hanya
memasok kalor (energi) yang cukup untuk menguapkan setiap molekul tetapi
juga memasok kalor yang cukup untuk memutus ikatan hidrogen sebelum
setiap molekul dapat diuapkan, dan titik didih metanol secara teoritis adalah
adalah 650C. Dilihat dari percobaan yang dilakukan diketahui bahwa hasil
percobaan tidak sesuai dengan hasil teoritis yang ada hal ini disebabkan
karena :
90
- Perubahan dari keruh menjadi jernih menjadi keruh kembali terjadi dalam
waktu yang singkat sehingga penentuan temperaturnya menjadi kurang
tepat.
- Fenol mudah menguap sehingga komposisi menjadi berkurang.
Sedangkan kelarutan fenol-metanol lebih rendah dibandingkan dengan
kelarutan sistem fenol-aquadest tetapi lebih besar dari kelarutan sistem fenol-
NaCl. Menurut teori dari (http//www.wikipedia.com), fenol memiliki sifat yang
cenderung asam, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya.
Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida C6H5O−, maka metanol
dapat dilarutkan dalam fenol.
3. Sistem fenol-NaCl
Dari percobaan diperoleh temperatur kritis untuk sistem fenol-NaCl adalah
42,5ºC dengan persentase berat fenolnya adalah 34,2378 %. Temperatur kritis
sistem fenol NaCl di atas temperatur kritis sistem fenol dalam air. Sistem
fenol-NaCl membutuhkan temperatur yang lebih tinggi, ini sesuai dengan
teori dalam wikipedia bahwa titik didih NaCl adalah 1465ºC. Hal ini
disebabkan juga karena sifat solute (fenol) dan solvent (NaCl) tidak memiliki
gugus fungsi yang sama dan fenol-NaCl tidak dapat membentuk ikatan
hidrogen sehingga fenol-NaCl sukar larut. Sedangkan kelarutannya lebih
rendah dibandingkan dengan kelarutan sistem fenol-aquadest dan kelarutan
sistem fenol-metanol. Menurut teori dari (http//www.wikipedia.com), fenol
memiliki sifat yang cenderung asam, artinya ia dapat melepaskan ion H+ dari
91
gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan anion fenoksida
C6H5O−, maka NaCl dilarutkan dalam fenol.
4.6. Kesimpulan
1. Temperatur kritis untuk sistem fenol-air adalah 56,5C dengan
komposisi berat fenol sebesar 34,3571 %. Temperatur kritis sistem fenol-
aquadest lebih rendah dibandingkan dengan temperatur kritis sistem fenol-
metanol dan sistem fenol-NaCl, sedangkan kelarutannya lebih tinggi
dibandingkan dengan kelarutan sistem fenol-metanol dan sistem fenol-NaCl.
2. Temperatur kritis untuk sistem fenol-metanol lebih rendah dari pada
temperatur kritis sistem fenol-air dan suhu rata-rata pada sistem fenol-
metanol adalah 50,50C sedangkan komposisi berat fenol sebesar
33,8090%.Temperatur kritis sistem fenol-metanol lebih tinggi daripada
sistem fenol-aquadest dan sistem fenol-NaCl, sedangkan kelarutannya lebih
rendah dibandingkan dengan kelarutan sistem fenol-aquadest tetapi lebih
besar dari kelarutan sistem fenol-NaCl
3. Temperatur kritis untuk sistem fenol-NaCl lebih tinggi daripada
temperatur kritis sistem fenol-air dan suhu rata-ratanya adalah 42,50C
sedangkan komposisi berat fenolnya sebesar 34,2378%. Temperatur kritis
sistem fenol-NaCl lebih tinggi dari pada sistem fenol-metanol dan sistem
fenol-aquadest, sedangkan kelarutannya lebih rendah dibandingkan dengan
kelarutan sistem fenol-aquadest dan kelarutan sistem fenol-metanol.
92
BAB V
KOEFISIEN DISTRIBUSI
5.1. Tujuan Percobaan
1. Menentukan koefisien distribusi.
2. Menetukan pengaruh suhu terhadap besarnya koefisien distribusi.
5.2. Tinjaun Pustaka
Pada sistem heterogen, reaksi berlangsung antara dua fase atau lebih.
Jadi pada sistem heterogen dapat dijumpai reaksi antara padat dan gas, atau
antara padat dan cairan. Cara yang paling mudah untuk menyelesaikan
persoalan pada sistem heterogen adalah menganggap komponen-komponen
dalam reaksi bereaksi pada fase yang sama.
(Tony Bird, “Kimia Fisik untuk Universitas”, hal. 169)
Kesetimbangan heterogen ditandai dengan adanya beberapa fase.
Antara lain fase kesetimbangan fisika dan kesetimbangan kimia.
Kesetimbangan heterogen dapat dipelajari dengan 3 cara :
a. Dengan mempelajari tetapan kesetimbangannya, cara ini
digunakan untuk kesetimbangan kimia yang berisi gas
b. Dengan hukum distribusi nerst, untuk kesetimbangan suatu zat dalam 2
pelarut.
93
c. Dengan hukum fase, untuk kesetimbangan yang umum.
(Soekarjo, “Kimia Fisika”, hal. 234 )
Hal-hal yang mempengaruhi kesetimbangan :
1. Pengaruh perubahan konsentrasi
Perhatikan sistem keseimbangan sebagai berikut:
2SO2+ O2 2 SO3
Bila ke dalam sistem ditambahkan gas oksigen, maka posisi keseimbangan
akan bergeser untuk menetralkan efek penambahan oksigen.
2. Pengaruh tekanan
Bila tekanan dinaikkan, keseimbangan akan bergeser ke kiri yaitu
mengarah pada pembentukan NO2. Dengan bergesernya ke kiri, maka
volume akan berkurang sehingga akan mengurangi efek kenaikkan
tekanan.
3. Pengaruh perubahan suhu
Reaksi pembentukan bersifat endotermik dan eksotermik. Jika suhu
dinaikkan, maka keseimbangan akan bergeser ke kanan, kearah reaksi
yang endotermik sehingga pengaruh kenaikkan suhu dikurangi.
(Tony Bird, “Kimia Fisik untuk Universitas”, hal. 169)
Satu jenis kesetimbangan heterogen yang penting melibatkan
pembagian suatu spesies terlarut antara dua fase pelarut yang tidak dapat
bercampur. Misalkan dua larutan tak tercampur seperti air dan karbon
tetraklorida dimasukkan kedalam bejana. Larutan-larutan ini terpisah
menjadi dua fase dengan zat cair yang kerapatannya lebih rendah, dalam hal
94
ini air berada dibagian atas larutan satunya. Contoh penggunaan hukum
distribusi dalam kimia yaitu dalam proses ekstraksi dan proses kromatografi.
(Oxtoby, Gillis, “Prinsip-prinsip kimia modern edisi 4 jilid 1”, hal : 339-340)
Persamaan hukum distribusi :
GA = GAo + RT ln aA
GB = GBo + RT ln aB
Dalam kesetimbangan maka,
GA = GB
GAo + RT ln aA = GB
o + RT ln aB
Dimana :
GA dan GB = Tenaga bebas zat terlarut dalam pelarut A dan B
GAo dan GB
o = Tenaga bebas Gibbs A dan B
R = Konstanta
T = suhu
aA dan aB = konsentrasi A dan B
Bila larutan encer atau zat terlarut bersifat ideal maka aktifasi (a) dapat
diganti C, hingga :
Dimana : K = koefisien distribusi
CA = konsentrasi zat terlarut pada pelarut organik
95
CB = konsentrasi zat terlarut pada pelarut anorganik
(Sukardjo,”Kimia Fisika”, hal. 242)
Hukum distribusi adalah suatu metode yang digunakan untuk
menentukan aktivitas zat terlarut dalam satu pelarut jika aktivitas zat terlarut
dalam pelarut lain diketahui, asalkan kedua pelarut tidak tercampur sempurna
satu sama lain.
(S. K. Dogra & S. Dogra, “Kimia Fisika dan Soal-soal”, hal : 604)
faktor-faktor yang mempengaruhi koefisien distribusi diantaranya:
1. Temperatur yang digunakan.
Semakin tinggi suhu maka reaksi semakin cepat sehingga volume titrasi
menjadi kecil, akibatnya berpengaruh terhadap nilai k.
2. Jenis pelarut.
Apabila pelarut yang digunakan adalah zat yang mudah menguap maka
akan sangat mempengaruhi volume titrasi, akibatnya berpengaruh pada
perhitungan nilai k.
3. Jenis terlarut.
Apabila zat akan dilarutkan adalah zat yang mudah menguap atau
higroskopis, maka akan mempengaruhi normalitas (konsentrasi zat
tersebut), akibatnya mempengaruhi harga k.
4. Konsentrasi
Makin besar konsentrasi zat terlarut makin besar pula harga k.
(anonymous, http://www.chemicamp.blogspot.com)
96
Harga K berubah dengan naiknya konsentrasi dan temperatur. Harga K
tergantung jenis pelarutnya dan zat terlarut. Menurut Walter Nersnt, hukum
diatas hanya berlaku bila zat terlarut tidak mengalami disosiasi atau asosiasi,
hukum di atas hanya berlaku untuk komponen yang sama.
Hukum distribusi banyak dipakai dalam proses ekstraksi, analisis dan
penentuan tetapan kesetimbangan. Dalam laboratorium ekstraksi dipakai
untuk mengambil zat-zat terlarut dalam air dengan menggunakan pelarut-
pelarut organik yang tidak bercampur seperti eter, CHCl3, CCl4, dan benzene.
Dalam industri ekstraksi dipakai untuk menghilangkan zat-zat yang
tidak disukai dalam hasil, seperti minyak tanah, minyak goreng dan
sebagainya.
(Sukardjo,”Kimia Fisika”, hal : 242-245)
Hukum Distribusi Nernst ini menyatakan bahwa solut akan
mendistribusikan diri di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur,
sehingga setelah kesetimbangan distribusi tercapai, perbandingan konsentrasi
solut di dalam kedua fasa pelarut pada suhu konstan akan merupakan suatu
tetapan, yang disebut koefisien distribusi (KD), jika di dalam kedua fasa
pelarut tidak terjadi reaksi-reaksi apapun. Akan tetapi, jika solut di dalam
kedua fasa pelarut mengalami reaksi-reaksi tertentu seperti assosiasi,
dissosiasi, maka akan lebih berguna untuk merumuskan besaran yang
menyangkut konsentrasi total komponen senyawa yang ada dalam tiap-tiap
fasa, yang dinamakan angka banding distribusi (D).
(www. FMIPA Universitas Negeri Malang\MIPA\ Distribusi nerst 1998a.mht, 5/27/09,09.35 )
97
Contoh dalam penggunaan koefisien distribusi dalam teknik kimia yaitu
pada aplikasi sel elektrik (sel daniel). Dimana dapat dilihat pada gambar
berikut:
Pada sel elektrik seperti gambar diatas elektron akan mengalir dari anoda
tembaga ke katoda seng. Hal ini akan menimbulkan perbedaan potensial
antara kedua elektroda. Perbedaan potensial akan mencapai maksimum ini
dinamakan GGL sel atau Ese. Nilai Esel bergantung pada berbagai faktor. Bila
konsentrasi larutan seng dan tembaga adalah 1.0 M dan suhu system 298oK
(25oC), Esel berada dalam keadaan standart dan diberi simbol Eosel.
Salah satu faktor yang mempengaruhi Esel dalah konsentrasi. Persamaan
yang menghubungkan konsentrasi dengan Esel dinamakan persamaan nernst.
Bentuk persamaan tersebut adalah sebagai berikut:
Esel = Eosel -
98
Gb.V.2.1. sel elektrik (sel Daniel)
adalah aktivitas dipangkatkan dengan koefisien reaksi
F = konsentrasi faraday
n = jumlah elektron yang dipertukarkan dalam reaksi redoks.
(Bird Tony,1987, Penuntun Praktikum Kimia Fisik untuk Universitas, Hal: 67-68)
5.3. Alat dan Bahan
A. Alat-alat yang digunakan :
- batang pengaduk
- beakerglass
- botol aquadest
- buret
- corong kaca
- corong pemisah
- Erlenmeyer
- gelas arloji
- gelas ukur
- karet penghisap
- labu ukur
- pipet tetes
- pipet volume
- statif dan klem
- termometer
- waterbath
99
B. Bahan-bahan yang digunakan
- aquadest (H2O)
- asamasetat (CH3COOH)
- asamoksalat (H2C2O4.2H2O)
- indikator phenolphthalein (C20H14O4)
- kloroform (CHCl3)
- natriumhidroksida (NaOH)
5.4. Prosedur Percobaan
A. Menentukan koefisien distribusi.
- Membuat 500 mL NaOH 0,2 N dan menstandardisasinya dengan
asamoksalat.
- Menyediakan 5 buah Erlenmeyer dan masing-masing diisi dengan
asamasetat 1 N sebanyak 2, 4, 6, 8, dan 10 mL.
- Memasukkan aquadest ke dalam Erlenmeyer tersebut sebanyak 10, 8, 6,
4, dan 2 mL.
- Menambahkan ke dalam Erlenmeyer, masing-masing 10 mL kloroform
dan mengocoknya selama 3 menit.
- Memasukkan larutan tersebut ke dalam corong pemisah, membiarkannya
hingga membentuk 2 lapisan kemudian memisahkannya.
- Masing-masing lapisan diukur volumenya, kemudian menitrasinya
dengan NaOH yang telah distandardisasi.
100
B. Pengaruh suhu terhadap koefisien distribusi.
- Membuat 500 mL NaOH 0,2 N dan menstandardisasinya dengan
asamoksalat.
- Menyediakan 5 buah Erlenmeyer dan masing-masing diisi dengan
asamasetat 1 N sebanyak 2, 4, 6, 8, dan 10 mL.Memasukkan aquadest ke
dalam Erlenmeyer tersebut sebanyak 10, 8, 6, 4, dan 2 mL.
- Menambahkan ke dalam Erlenmeyer, masing-masing 10 mL kloroform
dan mengocoknya selama 3 menit.
- Memanaskan campuran tersebut dalam waterbath sampai 35C.
- Memisahkan campuran tersebut dengan menggunakan corong pemisah.
- Mengeluarkan masing-masing lapisan dan mengukur volumenya,
menitrasinya dengan NaOH yang telah distandardisasi dengan
menggunakan indikator pp.
5.5. Data Pengamatan
A. Standardisasi NaOH dengan asamoksalat
Tabel 5.5.1. Data standardisasi larutan NaOH dengan asamoksalat
No Volume Asam oksalat
(mL)
Volume NaOH
(mL)
1.
2.
3.
10
10
10
13,1
11,3
11,1
101
B. Penentuan volume titrasi antara CH3COOH dalam H2O dan
CH3COOH dalam CHCl3
Tabel 5.5.2 Data volume titrasi antara CH3COOH dalam H2O dan
CH3COOH dalam CHCl3 tanpa perubahan temperatur
(25°C)
Vol.
Air
(mL)
Volume
CH3COOH
(mL)
Volume
CHCl3
(mL)
Lapisan atas
(CH3COOH dan H2O)
Lapisan bawah
(CH3COOH dan CHCl3)
Vlapisan
(mL)
Vtitrasi
(mL)
Vlapisan
(mL)
Vtitrasi
(mL)
10
8
6
4
2
2
4
6
8
10
10
10
10
10
10
13,5
12,5
12,3
12
11,6
62,3
69,8
74,2
78,3
86,1
8,5
9,5
9,7
10
10,4
1,3
1,8
2,5
3,4
5,1
102
Tabel 5.5.3 Data volume titrasi antara CH3COOH dalam H2O dan
CH3COOH dalam CHCl3 dengan perubahan temperatur
(35°C)
Vol.
Air(mL)
Volume
CH3COOH
(mL)
Vol.
CHCl3
(mL)
Lapisan atas
(CH3COOH dan H2O)
Lapisan bawah
(CH3COOH dan CHCl3)
Vlapisan
(mL)
Vtitrasi
(mL)
Vlapisan
(mL)
Vtitrasi
(mL)
10
8
6
4
2
2
4
6
8
10
10
10
10
10
10
12,5
12,5
14,5
14
13,5
10,6
18,4
30,6
36,5
39,5
9
9
9
8,5
9
0,6
1,05
1,65
1,7
2,9
5.6. Hasil Perhitungan
A. Membuat larutan NaOH 0,2 N sebanyak 500 mL
0, 2 N =
W = 4 gram
Jadi, untuk membuat larutan NaOH 0,2 N sebanyak 500 mL adalah
dengan menimbang 4 gram NaOH, kemudian melarutkannya dengan
aquadest hingga volumenya 500 mL dalam labu ukur.
103
B. Membuat larutan asamoksalat 0,2 N sebanyak 50 mL
N =
0,2 N =
W = 0,63 gram
Jadi untuk membuat larutan asamoksalat 0,2 N sebanyak 50 mL dengan
menimbang 0,63 gram asamoksalat, kemudian melarutkannya dengan
aquadest hingga volumenya 50 mL dalam labu ukur.
C. Membuat larutan asamasetat 1 N sebanyak 250 mL
dimana :
= 1,049 gr/mL
V2CH3COOH = 250 mL
N2CH3COOH = 1 N
BECH3COOH = 60 gr/mol
Konsentrasi = 99,9 %
N =
=
=
N =
V1 N1 = V2 N2
V1 17,4658 = 250 1
104
V1 = 14,2891 mL
Jadi, untuk membuat larutan asamasetat 1 N sebanyak 250 mL dengan
cara memipet 14,2891 mL asamasetat kemudian melarutkannya dengan
aquadest hingga volumenya 250 mL dalam labu ukur.
D. Standardisasi NaOH dengan asamoksalat
Vtitrasi rata-rata =
Menentukan konsentrasi larutan NaOH
(V . N)NaOH = (V . N)H2C2O4
11,83 mL x NNaOH = 10 x 0,2
NNaOH = 0,1691 N
Jadi normalitas NaOH hasil standardisasi adalah 0,1691 N
E. Menentukan normalitas larutan CH3COOH
V1 x N1 = V2 x N2
dimana :
V1 = volume lapisan atas
V2 = volume titrasi lapisan atas
N1 = normalitas lapisan atas
N2 = normalitas NaOH
V1 x N1 = V2 x N2
13,5 x N1 = 62,3 x 0,1691
N1 = 0,7804 N
105
Dengan cara yang sama diperoleh normalitas untuk lapisan atas dan
lapisan bawah baik dengan perubahan suhu (25oC) maupun dengan
perubahan suhu (35oC) pada tabel berikut :
Tabel 5.6.1. Data rata-rata normalitas antara CH3COOH dalam H2O dan
CH3COOH dalam CHCl3 tampa pemanas ( 25oC)
Lapisan atas
(CH3COOH dan H2O)
Lapisan bawah
(CH3COOH dan CHCl3)
Vlapisan
(mL)
Vtitrasi
(mL)
Normalitas
(N)
Vlapisan
(mL)
Vtitrasi
(mL)
Normalitas
(N)
13,5
12,5
12,3
12
11,6
62,3
69,8
74,2
78,3
86,1
0,7804
0,9442
1,0201
1,1034
1,2551
8,5
9,5
9,7
10
10,4
1,3
1,8
2,5
3,4
5,1
0,0259
0,0320
0,0436
0,0575
0,0829
106
Tabel 5.6.2. Data rata-rata normalitas antara CH3COOH dalam H2O dan
CH3COOH dalam CHCl3 dengan perubahan suhu ( 35oC)
Lapisan atas
(CH3COOH dan H2O)
Lapisan bawah
(CH3COOH dan CHCl3)
Vlapisan
(mL)
Vtitrasi
(mL)
Normalitas
(N)
Vlapisan
(mL)
Vtitrasi
(mL)
Normalitas
(N)
12,5
12,5
14,5
14
13,5
10,6
18,4
30,6
36,5
39,5
0,1434
0,2489
0,3569
0,4409
0,4948
9
9
9
8,5
9
0,6
1,05
1,65
1,7
2,9
0,0113
0,0197
0,0310
0,0338
0,0545
F. Menentukan harga koefisien distribusi
K =
= 0,0332
Dengan cara yang sama diperoleh harga K untuk CH3COOH dalam CHCl3
dan CH3COOH dalam H2O dengan pemanasan ataupun tanpa perubahan
suhu (25oC) maupun dengan perubahan suhu (35oC) pada tabel 5.6.3 dan
5.6.4
107
Tabel 5.6.3. Harga K rata-rata antara lapisan organik dan lapisan
anorganik tanpa pemanasan 25oC
Lapisan Organik Lapisan anorganik K
0,0259
0,0320
0,0436
0,0575
0,0829
0,7804
0,9442
1,0201
1,1034
1,2551
0,0332
0,0339
0,0427
0,0521
0,0660
Tabel 5.6.4. Harga K rata-rata antara lapisan organik dan lapisan
anorganik tanpa pemanasan 35oC
Lapisan Organik Lapisan anorganik K
0,0113
0,0197
0,0310
0,0338
0,0545
0,1434
0,2489
0,3569
0,4409
0,4948
0,0788
0,0791
0,0869
0,0767
0,1101
108
5.7. Grafik
00.010.020.030.040.050.060.070.080.09
0 0.5 1 1.5
N Lapisan Organik
Koe
fisi
en D
istr
ibu
si
Suhu 25 C
Suhu 35 C
Grafik 5.7.1. Hubungan antara lapisan organik dengan lapisan anorganik
pada suhu 25 oC.
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0 0.2 0.4 0.6
N Lapisan Organik
Koe
fisi
en D
istr
ibu
si
Suhu 35 C
Suhu 25 C
Grafik 5.7.2. Hubungan antara lapisan organik dengan lapisan anorganik
pada suhu 35 oC.
109
5.8. Pembahasan
Dalam buku Perry’s Chemical Hand book edisi 5 pada tabel 15.5 diperoleh
harga K pada suhu 25 oC adalah 0,0865 sedangkan pada percobaan didapatkan
harga K sebesar 0,0456. Harga K percobaan yang kami peroleh lebih kecil
dibanding dengan harga K secara teori, hal ini disebabkan karena kurangnya
ketelitian dalam menimbang zat yang yang akan dianalisis, memipet volume
larutan yang diambil dalam analisa tersebut, volume titran yang banyak keluar
pada saat titrasi berlangsung serta penyimpanan zat yang mudah menguap karena
tutup yang kurang rapat.
Dalam buku Perry’s Chemical Hand book edisi 5 pada tabel 15.5 diperoleh
harga K pada suhu 35 oC adalah 0,1088 sedangkan pada percobaan harga K yang
kami peroleh sebesar 0,0863. Untuk harga Krata-rata pada suhu 35 oC ini belum
sesuai dengan teori. Harga K percobaan yang kami peroleh lebih kecil dibanding
dengan harga K secara teori, penyimpangan ini disebabkan karena kurangnya
ketelitian dalam menimbang zat yang yang akan dianalisis, memipet volume
larutan yang diambil dalam analisa tersebut, volume titran yang banyak keluar
pada saat titrasi berlangsung serta penyimpanan zat yang mudah menguap karena
tutup yang kurang rapat.
Pada grafik 5.7.1. diperoleh harga K tanpa pemanasan (25 oC) lebih kecil
daripada harga K dengan pemanasan (35 oC). Hal ini sesuai dengan teori yang
menyebutkan bahwa semakin tinggi temperatur, maka harga koefisien distribusi
yang di dapat semakin besar.
110
5.9. Kesimpulan
1. Harga Krata-rata dari hasil percobaan pada suhu 25 oC adalah 0,0456 dan
pada suhu 35 oC adalah 0,0863.
2. Semakin tinggi suhu maka koefisien distribusinya semakin besar.
111
BAB VI
ISOTERM ADSORBSI
VI.1 Tujuan Percobaan
Menentukan pengaruh lama pengocokan terhadap jumlah adsorbat yang
diserap pada proses adsorbsi asamklorida (HCl) dengan karbon aktif.
VI.2 Tinjauan Pustaka
Absorbsi adalah suatu proses komponen yang dipindahkan dari aliran gas
oleh perlakuan suatu zat cair.
(Geankoplis, Christie J. (1997). Transport Processes and Unit Operation, third edition,
Halaman. 2)
Adsorbsi adalah suatu proses pemisahan bahan dari campuran gas atau
cair, bahan yang harus dipisahkan ditarik oleh permukaan sorben padat dan diikat
oleh gaya-gaya yang bekerja pada permukaan tersebut. Berkat selektivitasnya
yang tinggi, proses adsorbsi sangat sesuai untuk memisahkan bahan dengan
konsentrasi yang kecil dari campuran yang mengandung bahan lain berkonsentrasi
tinggi. Bahan yang akan dipisahkan tentu saja harus dapat diadsorbsi.
Contoh-contoh adsorbsi :
Pengeringan udara atau gas-gas lain
Pemisahan bahan yang mengandung racun atau yang berbau busuk dari udara
buang
Pengambilan kembali pelarut dari udara buang
112
Pemisahan campuran gas untuk memperoleh komponen-komponen gas
Penghilangan warna larutan
Kecepatan adsorbsi tidak hanya bergantung pada perbedaan konsentrasi
dan pada luas permukaan adsorben, melainkan juga suhu, tekanan, ukuran partikel
dan juga tergantung pada ukuram molekul bahan yang akan disobrsi dan pada
viskositas campuran yang akan dipisahkan.
Adsorben adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang sangat
besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada
padatan tersebut.
Adsorben yang sering digunakan antara lain :
1. Karbon aktif
Karbon aktif dibuat dari bahan organik yang dapat dikarbonisasi, misalnya :
kayu, humus, batu bara coklat, tempurung kelapa.
(Dr. Ir. Lienda Handoyo. M Eng, (1995). Teknologi Kimia bagian 2. Halaman . 205)
a. Sifat-sifat karbon aktif
- Gugus fungsi dapat terbentuk pada karbon aktif
ketika dilakukan aktivasi, yang disebabkan terjadinya interaksi radikal
bebas pada permukaan karbon dengan atom-atom seperti oksigen dan
nitrogen, yang berasal dari proses pengolahan ataupun atmosfer. Gugus
fungsi ini menyebabkan permukaan karbon aktif menjadi reaktif secara
kimiawi dan mempengaruhi sifat adsorbsinya.
- Karbon aktif umumnya memiliki afinitas air
yang rendah. Namun, gugus fungsi pada permukaan karbon tadi bisa
113
berinteraksi dengan air, sehingga menyebabkan naiknya sifat hidrofilisnya
(walaupun sedikit).
- Oksidasi permukaan, yang merupakan perilaku yang tidak terpisahkan
dalam produksi karbon aktif, akan menghasilkan gugus hidroksil,
karbonil,dan karboksilat yang memberikan sifat amfoter pada karbon,
sehingga karbon aktif dapar bersifat sebagai asam maupun basa.
Namun, sifat kimia karbon aktif terpenting yang menentukan jumlah volume
cairan yang bisa diserap per massa karbon aktif adalah kapasitas adsorbsi.
Kapasitas adsorbsi berpengaruh langsung terhadap biaya operasi dan desain dari
peralatan yang akan digunakan. Untuk aplikasi-aplikasi yang spesifik, dibutuhkan
eksperimen untuk menentukan kapasitas adsorbsi ini. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa luas permukaan bukanlah sifat utama. Luas permukaan yang
besar belum tentu berarti memiliki kapasitas adsorbsi yang tinggi, disebabkan
alasan-alasan berikut :
1. Pada adsorbsi hanya luas permukaan yang terbasahi yang nyata-nyata
efektif dimana pada kenyataannya luas permukaan terbasahi tidak pernah
sama dengan luas permukaan total.
2. Pada kebanyakan aplikasi, materi yang mau diadsorb memiliki ukuran
terlalu besar sehingga tidak bisa memasuki pori-pori karbon aktif yang sangat
kecil, yang merupakan area dengan luas permukaan terbesar.
3. Data-data luas permukaan, volume pori-pori, dan sifat permukaan belum
banyak dikorelasikan dengan data materi yang akan diadsorb.
b. Kegunaan Karbon Aktif
114
Karbon aktif adalah adsorben yang multifungsi. Berikut ini beberapa
manfaat dan kegunaan karbon aktif dalam dunia industri :
Tujuan Kegunaan
I. Fasa Gas
1. Pemurnian gas Desulfurisasi, menghilangkangan gas beracun, bau
busuk dan asap, menyerap racun.
2.Pengolahan LNG Desulfurisasi dan penyaringan berbagai bahan
mentah dan rekasi gas.
3. Katalisator Reaksi katalisator atau pengangkutan vinil klorida
dan vinil asetat.
4. Lain-lain Menghilangkan bau dalam kamar dan mobil
berpendingin.
II. Fasa Cair
1.Industri obat dan
makanan
Menyaring dan menghilangkan warna, bau, dan rasa
yang tidak enak pada makanan.
2. Industri minuman Menghilangkan warna, bau, dan rasa pada minuman,
baik minuman ringan maupun minuman keras.
3. Kimia perminyakan Penyulingan bahan mentah dan zat perantara.
4. Pemurnian air Menghilangkan bau, warna, dan zat pencemar dalam
air, sebagai pelindung dan penukar resin dalam
penyulingan air.
5. Pembersih air buangan Mengatur dan membersihkan air buangan dan
pencemar serta menghilangkan warna, bau dan
logam berat.
(Anonymous, http://pangalajo.multiply.com/journal/item/20/25/05/2009. 18.59)
2. Silika gel
115
Silika gel terdiri atas silisiumoksida (SiO2) yang berbentuk klorida, hampir
tidak mengandung air dan banyak sekali pori yang halus. Bahan ini dibuat
secara sintetik dengan mengolah silikat alkali dengan asamsulfat. Kemampuan
adsorbsi terhadap uap air sangat besar dan karena itu seringkali digunakan
untuk pengeringan gas yang lembab, contohnya pada instalasi pengeringan
udara.
3. Tapis molekuler
Tapis molekuler adalah silikat alkali atau silikat aluminium alkali tanah dengan
ukuran lubang dan rongga tertentu sesuai dengan struktur kristal bahan. Tapis
ini dibuat secara sintetik, misalnya dari natrium silikat, tanah liat dan natrium
hidroksida. Setelah air kristal dikeluarkan, bahan akan memiliki struktur yang
sangat berpori.
Tapis molekuler tidak hanya mampu mengadsorbsi bahan tunggal, melainkan
juga dapat memisahkan campuran berdasarkan ukuran molekul, polaritas, jenis
ikatan karbon (jenuh atau tidak jenuh).
(Dr. Ir. Lienda Handoyo. M Eng. (1995).. Teknologi Kimia bagian 2. Halaman : 205-208)
Kriteria adsorben yang baik :
1. Adsorben-adsorben digunakan biasanya dalam wujud butir berbentuk bola,
belakang dan depan, papan hias tembok, atau monolit-monolit dengan garis
tengah yang hidrodinamik antara 05 dan 10 juta.
2. Harus mempunyai hambatan abrasi tinggi.
3. Kemantapan termal tinggi.
4. Diameter pori kecil, yang mengakibatkan luas permukaan yang diunjukkan
116
yang lebih tinggi dan kapasitas permukaan tinggi karenanya untuk adsorbsi.
5. Adsorben-adsorben itu harus pula mempunyai suatu struktur pori yang
terpisah jelas yang memungkinkan dengan cepat pengangkutan dari uap air
yang berupa gas.
(Anonymous, http://id.wikipedia.org/wiki/adsorben)
Isoterm adsorbsi adalah hubungan yang menunjukkan distribusi adsorben antara
fasa teradsorbsi pada permukaan adsorben dengan fasa ruah saat kesetimbangan
pada temperatur tertentu.
(Anonymous, http://smk3ae.wordpress.com/2008/11/30/pembuatan-manisan-bengkuang)
Untuk proses adsorbsi dalam larutan, jumlah zat yang teradsorbsi tergantung pada
beberapa faktor antara lain :
1. Jenis adsorben dan jenis gas
Untuk suatu adsorben tertentu, banyaknya gas yang dapat diserap makin besar
bila temperatur kritis.
2. Luas permukaan adsorben
Semakin luas permukaan adsorben, makin banyak gas yang diserap. Luas
permukaan sukar ditentukan, hingga biasanya daya serap dihitung tiap satuan
massa adsorben.
3. Temperatur gas dan tekanan gas
Pada adsorbsi gas dipermukaan zat padat terjadi kesetimbangan antara zat
yang diserap dengan gas sisa. Makin besar tekanan makin besar daya serap gas
sebaliknya makin tinggi temperatur makin kecil daya serap gas.
Adsorbsi secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
117
1. Adsorbsi fisika
Sifat-sifatnya antara lain :
- Panas adsorbsi rendah (± 10.000 kal/mol).
- Kesetimbangan adsorbsi reversibel dan cepat.
Misalnya : adsorbsi gas pada charcoal
2. Adsorbsi kimia
Sifat-sifatnya antara lain :
- Panas adsorbsi tinggi (20.000-100.000 kal/mol).
- Adsorbsi disini terjadi dengan pembentukan senyawa kimia, sehingga
ikatannya lebih kuat.
Misalnya : Adsorbsi CO pada W
O2 pada Ag, Au, Pt, C
H2 pada Ni
(Prof. Dr. Sukardjo. (1997). Kimia Fisika. Halaman : 190-191)
Ada 4 tipe umum isoterm adsorbsi, yaitu :
Kurva-S Kurva-L Kurva-H Kurva-C
a. Kurva S
Jumlah yang terserap pada awalnya meningkat dengan meningkatnya
kadar ion dalam larutan, kemudian turun dan menjadi nol atau lantai
setelah ruang kosong dalam adsorban sudah terisi. Tipe ini menujukan
118
pada kadar rendah, permukaan memiliki affinitas rendah dan meningkat
saat kadar meningkat.
b. Kurva L
Dicirikan oleh slope yang menurun saat kadar meningkat, karena
jumlah serapan yang kosong menurun akibat terisi oleh adsorbat. Serapan
semacam ini berkaitan dengan tingginyaaffinitas adsorben untuk
menyerap pada kadar rendah, kemudian mengalami penurunan saat kadar
naik.
c. Kurva H
Menunjukkan interaksi yang kuat antara adsorben dan adsorbat yang
kuat, misalnya pada kompleksasi innersphere.
d. Kurva C
Menunjukkan adanya mekanisme penyekatan dengan cara ion atau
molekul yang terserap didistribusikan atau disekat diantara adsorben dan
adsorbat. Mekanisme penyekatan (partitioning) biasanya dilihat dari
isoterm serapan yang linear, adsorbsi atau desorbsi yang dapat balik, suhu
berpengaruh kecilpada serapan, dan tidak ada kompetisi ketika bahan lain
ditambahkan. Koefisien partisi (Kp) diperoleh dari persamaan :
q = KpC
Dimana : q = kadar dalam kondisi terserap, mol/kg
C = kadar dalam kondisi setimbang
Kp = nilai rasio jumlah bahan yang terserap/jumlah
bahan yang ada dalam larutan
119
(Anonymous, http://benito.staff.ugm.ac.id/.htm.20/05/2009. 17.23)
Adsorbat adalah berkurangnya kadar zat yang teradsorbsi oleh material
pengadsorbsi atau adsorben yang terjadi secara kesetimbangan, sehingga secara
teoritis, tidak dapat terjadi penyerapan sempurna adsorbat oleh adsorben. Jika
pada proses adsorbsi ditemukan fenomena reduksi adsorbat hingga 100%, hal itu
dimungkinkan oleh sensitifitas pengukuran konsentrasi adsorbat semata. Besarnya
konsentrasi adsorbat oleh proses adsorbsi tergantung pada mekanisme adsorbsi,
konsentrasi awal adsorbat, temperatur, dosis adsorben, sehingga membandingkan
kemampuan suatu adsorben dari besarnya reduksi setelah adsorbsi bisa menjadi
bias. Karenanya, untuk menguji kuat-lemahnya adsorbsi, yang dibutuhkan adalah
besaran energi adsorbsi (E ads) yang dapat diperoleh dari evaluasi nilai konstanta
adsorbsi-desorbsi ( K) sebagai fungsi temperature
(Anonymous, http://wordpress.org/22/05/2009. 16.23)
Fenolftalein adalah indikator titrasi yang lain yang sering digunakan, dan
fenolftalein ini merupakan bentuk asam lemah yang lain.
Pada kasus ini, asam lemah tidak berwarna dan ion-nya berwarna merah
muda terang. Penambahan ion hidrogen berlebih menggeser posisi kesetimbangan
ke arah kiri, dan mengubah indikator menjadi tak berwarna. Penambahan ion
hidroksida menghilangkan ion hidrogen dari kesetimbangan yang mengarah ke
kanan untuk menggantikannya mengubah indikator menjadi merah muda.
Setengah tingkat terjadi pada pH 9,3. Karena pencampuran warna merah muda
120
dan tak berwarna menghasilkan warna merah muda yang pucat, hal ini sulit untuk
mendeteksinya dengan akurat.
(Anonymous, www.chemis-try.org\Situs Web Kimia Indonesia Belaja.mht/20/05/2009. 8.59)
VI.3 Alat dan Bahan
A. Alat-alat yang digunakan :
- batang pengaduk
- beakerglass
- botol aquadest
- buret
- corong kaca
- Erlenmeyer
- gelas arloji
- karet penghisap
- kertas saring
- labu ukur
- neraca analitik
- neraca digital
- pipet tetes
- pipet volume
- statif dan klem
B. Bahan-bahan yang digunakan :
121
- asamklorida (HCl)
- karbon aktif
- natriumhidroksida (NaOH)
- asamoksalat (H2C2O4. 2H2O)
- aquadest (H2O)
- indikator phenolpthalein (C20H14O4)
VI.4 Prosedur Percobaan
- Membuat larutan HCl 0,2 N sebanyak 500 mL.
- Menimbang larutan NaOH 0,1 N sebanyak 250 mL.
- Membuat larutan asamoksalat (H2C2O4. 2H2O) 0,1 N sebanyak 50 mL.
- Menstandardisasi larutan NaOH 0,1 N dengan asamoksalat 0,1 N
sebanyak 10 mL dengan menambahkan indikator pp sebanyak 3 kali.
- Menimbang 1 gram karbon aktif dan memasukkannya ke dalam
Erlenmeyer, melakukannya sampai 6 kali.
- Menambahkan 50 mL larutan HCl 0,2 N pada masing-masing
Erlenmeyer, kemudian menutup Erlenmeyer tersebut dan mengocoknya
selama 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 menit.
- Menyaring tiap larutan dengan menggunakan kertas saring.
- Memipet 10 mL dari tiap larutan lalu menitrasi dengan larutan standard
NaOH 0,1 N dengan menggunakan indikator pp.
122
VI.5 Data Pengamatan
Tabel VI.5.1 Standardisasi NaOH dengan asamoksalat
No Volume Asamoksalat (mL) Volume NaOH (mL)
1.
2.
3.
10
10
10
11,2
11,1
11,3
Tabel VI.2.5. Data Volume Titrasi NaOH
No Bobot
Arang
Aktif (g)
Waktu
(menit)
Volume
HCl (mL)
Volume
NaOH
(mL)
Normalitas HCl(N)
Awal Setelah
Titrasi
1
2
3
4
5
6
1
1
1
1
1
1
5
10
15
20
25
30
10
10
10
10
10
10
20,5
20
19
18,6
18,1
17,8
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
0,1830
0,1789
0,1697
0,1661
0,1616
0,1590
123
VI.6 Hasil Perhitungan
A. Membuat larutan NaOH 0,1 N sebanyak 250 mL
NNaOH =
0,1 =
WNaOH = 1 gram
Jadi, untuk membuat larutan NaOH 0,1 N sebanyak 250 mL adalah
dengan menimbang 1 gram NaOH dalam labu ukur dan melarutkannya
dengan aquadest sampai 250 mL.
B. Membuat larutan asamoksalat (H2C2O4. 2H2O) 0,1 N sebanyak
50 mL
N H2C2O4. 2H2O = x
0,1 N = x
W H2C2O4. 2H2O = 0,315 gram
Jadi, untuk membuat larutan asamoksalat 0,1 N sebanyak 50 mL adalah
dengan menimbang 0,315 gram asamoksalat dan melarutkannya dalam
labu ukur dengan aquadest sampai 50 mL.
C. Standardisasi NaOH dengan asamoksalat
Pada percobaan I volume NaOH untuk titrasi = 11,2 mL
Pada percobaan II volume NaOH untuk titrasi = 11,1 mL
Pada percobaan III volume NaOH untuk titrasi = 11,3 mL
124
Vtitrasi rata-rata = = 11,2 mL
(V x N) H2C2O4. 2H2O = (V x N)NaOH
10 mL x 0,1 N = 11,2 mL x NNaOH
NNaOH = 0,0893 N
Jadi normalitas NaOH hasil standardisasi adalah 0,0893 N.
D. Membuat larutan HCl 0,2 N sebanyak 500 mL
Diketahui :
HCl = 1,19 g/mL
BE HCl = 36,5
% HCl = 37%
V HCl x N HCl = VHCl 37% x N HCl 37%
0,2 N x 500 mL = V HCl 37% x 12,0630 N
V HCl 37% = 8,2898 mL
Jadi, untuk membuat larutan HCl 0,2 N sebanyak 500 mL adalah dengan
memipet 8,2898 mL HCl dan mengencerkan dalam labu ukur dengan
aquadest sampai 500 mL.
E. Menghitung Normalitas akhir larutan HCl
125
untuk t = 5 menit :
VNaOH untuk titrasi = 20,5 mL
(V x N)NaOH = (V x N)HCl
20,5 mL x 0,0893 N = 10 x NHCl
NHCl = 0,1830 N
Dengan perhitungan yang sama akan diperoleh normalitas HCl akhir
dalam tabel VI.6.1
Tabel VI.6.1 Normalitas akhir
No t(menit) NNaOH (mL) VNaOH (mL) VHCl (mL) NHCl (mL)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
5
10
15
20
25
30
0,0893
0,0893
0,0893
0,0893
0,0893
0,0893
20,5
20
19
18,6
18,1
17,8
10
10
10
10
10
10
0,1830
0,1786
0,1697
0,1661
0,1616
0,1590
F. Menghitung berat zat yang teradsorbsi (x)
x = ( NHCl awal – NHClakhir ) x BEHCl x
Pada t = 5 menit
x = ( 0,2 – 0,1830 ) x 36,5 x
= 0,0062 gram
126
Dengan perhitungan yang sama akan diperoleh harga x (jumlah zat yang
teradsorbsi) dalam tabel VI.6.2
Tabel VI.6.2 Data perhitungan jumlah zat yang teradsorbsi
No. m (g) N awal N akhir
(C)
X (g) (g) log
log C
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1
1
1
1
1
1
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
0,2
0,1830
0,1786
0,1697
0,1661
0,1616
0,1590
0,0062
0,0078
0,0111
0,0124
0,0140
0,0150
0,0062
0,0078
0,0111
0,0124
0,0140
0,0150
-2,2076
-2,1079
-1,9547
-1,9066
-1,8539
-1,8239
-0,7376
-0,7481
-0,7703
-0,7796
-0,7916
-0,7986
G. Menentukan hubungan log dengan log C
Tabel VI.6.3 Data hubungan log dengan log C
Nolog (y)
Log C(x) xy x2
1
2
3
4
5
6
-2,2076
-2,1079
-1,9547
-1,9066
-1,8539
-1,8239
-0,7376
-0,7481
-0,7703
-0,7796
-0,7916
-0,7986
1,6282
1,5770
1,5057
1,4864
1,4675
1,4566
0,5440
0,5597
0,5934
0,6078
0,6266
0,6378
-11,8545 -4,6258 9,1214 3,5692
127
Rumus : y = a + bx
a =
=
= -6,7734
b =
=
= -6,7734
Jadi, persamaan liniernya :
y = a + bx
= -6,7734 - 6,2230 x
y = -6.223x - 6.7734
R2 = 0.9827
-2.3
-2.2
-2.1
-2
-1.9
-1.8
-1.7
-1.6
-0.82 -0.8 -0.78 -0.76 -0.74 -0.72
log C
log
x/m
128
Gambar VI.6.1 Grafik Hubungan log x/m dan log C
H. Menentukan nilai k dan n
misal : x = log C
y = log
a = log k
b = n
log y = log k + n log C
y = -6,7734 - 6,2230 x
Untuk harga log k = a
log k = -6,7734
Untuk harga n = b
n = -6,2230
VI.7 Grafik
129
y = -0.001x + 0.1871
R2 = 0.9696
0.155
0.16
0.165
0.17
0.175
0.18
0.185
0 5 10 15 20 25 30 35
t (menit)
N a
kh
ir H
Cl
Gambar VI.7.1 Grafik Hubungan Normalitas HCl sisa dengan lama waktu
(t) pengocokan
VI.8 Pembahasan
130
Pada percobaan ini menggunakan karbon aktif sebagai adsorben dan
asamklorida (HCl) sebagai adsorbat.
Tujuan dari pengocokan secara periodik, yaitu 5, 10, 15, 20, 25 dan 30
menit adalah untuk memperluas permukaan penyerapan dan karbon
aktif sehingga proses adsorbsi berjalan lebih sempurna.
Berdasarkan grafik VI.7.1 hubungan antara normalitas HCl sisa
dengan lamanya waktu pengocokan adalah berbanding terbalik Hal ini
sesuai dengan teori bahwa semakin lama waktu pengocokan maka
semakin banyak jumlah adsorbat yang terserap (HCl) sehingga
semakin kecil normalitas HCl yang didapat.
VI.9 Kesimpulan
Semakin lama waktu pengocokan maka semakin banyak jumlah adsorbat
(HCl) yang diserap pada proses adsorbsi.
BAB VII
DISTILASI SISTEM BINER
131
VII.1. Tujuan Percobaan
1. Mendefinisikan arti Distilasi.
2. Membuat grafik antara komposisi larutan dengan berat jenis larutan dari
sistem biner.
3. Membuat kurva antara titk didih dengan komposisi dari sistem biner.
VII.2. Tinjauan Pustaka
Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia
berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan.
Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini
kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik
didih lebih rendah akan menguap lebih dulu.
(http://en.wikipedia.org/wiki/distilasiion)
Pada proses distilasi menggunakan aliran air yang berfungsi untuk
mengembunkan uap larutan yang titik didihnya lebih rendah yaitu counter current
dan co-corrent. Counter current distribusi adalah suatu prosedur yang digunakan
untuk merubah dua fase berdasarkan koefisien sekat yang berbeda didalam bahan
pelarut yang arahnya berlawanan dengan arah distilat dengan mengalirkan air
melalui selang dari bagian bawah dan keluar melalui selang bagian atas.
(http://chem-is-try.org/forum/distilasi)
Distilasi dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu :
1. Metode I
132
Dengan cara penguapan dengan mendidihkan campuran larutan yang akan
dipisahkan dan mengembunkannya tanpa ada larutan yang kembali kedalam
bejana.
b. Metode II
Dengan pengembalian sebagian dari kondensat ke bejana didih dalam
kondisi tertentu sehingga larutan tersebut mengalami kontak dengan
uap yang mengalir ke atas.
(Geankoplis, Transport Processes and Unit Operation, halaman: 645-646)
Distilasi campuran biner tergantung dari jenis campurannya. Jenis
campuran I, a, dan b memberikan hasil berbeda. Bila campuran biner jenis I
didistilasi terjadi hasil sebagai berikut : misalkan campuran dengan susunan a
dipanaskan, campuran ini mulai mendidih pada Ta. Uap yang setimbang dengan
larutan mempunyai susunan a1 (Gambar VII.2.1.)
Gambar VII.2.1. Distilasi larutan jenis I
Dengan keluarnya uap ini, titik didih larutan naik, misalnya menjadi Tb
karena larutan berisi lebih banyak komponen A. Pada pemanasan terus, susunan
larutan bergerak menuju TdA dan akhirnya diperoleh A murni sebagai residu.
Bila ditinjau uapnya, uap ini berisi lebih banyak B, kalau uap diembunkan,
kemudian diuapkan, maka susunannya menuju ke TdB. Akhirnya diperoleh B
murni sebagai distilat.
133
Campuran biner jenis II, pada distilasi bertingkat tidak menghasilkan A
dan B murni. Bila campuran terletak antara A dan C diperoleh A murni sebagai
residu dan C sebagai distilat. Untuk campuran air dan alkohol, C mempunyai
susunan 95,57 % dengan titik didih 78,13 °C (minimal).
(a) (b)
Gambar VII.2.2. (a) distilasi larutan jenis II dan (b) distilasi jenis larutan III
Campuran biner jenis III, dengan susunan antara A dan D pada
distilasi akhirnya menghasilkan D sebagai residu dan A sebagai distilat. Untuk
campuran air dan asam klorida (titik didih 85 °C) dengan susunan 20,24 %
(maksimal).
(Sukardjo, Kimia Fisika, halaman: 154-155)
Larutan adalah campuran homogen dari molekul, atom ataupun ion dari
dua zat atau lebih. Disebut campuran karena susunannya dapat berubah-ubah.
Disebut homogen karena susunannya begitu seragam sehinga tak
dapat diamati adanya bagian-bagian yang berlainan.
(Kleinfelter, Kimia Untuk Universitas, hal. 372)
134
Larutan ideal adalah larutan yang gaya tarik antara molekul-molekulnya
sama, artinya gaya tarik antara molekul pelarut dan molekul zat terlarut sama
dengan gaya tarik molekul pelarutnya atau molekul zat terlarutnya.
Larutan ideal mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Pada pengenceran komponennya tidak mengalami perubahan sifat.
2. Tidak terjadi perubahan panas pada pembuatan atau pengenceran.
3. Volume total adalah jumlah volume komponennya.
4. Mengikuti hukum Raoult tentang tekanan uap.
5. Sifat fisiknya adalah rata-rata sifat fisika penyusun.
Larutan non ideal merupakan penyimpangan positif hukum Raoult
(dengan Tekanan uap lebih tinggi dari pada yang diprediksi oleh hukum
Raoult) atau penyimpangan negatif hukum Raoult (dengan tekanan uap lebih
rendah).
(Suminar, Prinsip-Prinsip Kimia Modern edisi 4, hal.165)
Hukum Raoult :
Hukum Roult dapat didefinisikan sebagai fugasitas dari tiap komponen
dalam larutan yang sama dengan hasil kali dari fugasitasnya dalam
keadaan murni pada temperatur dan tekanan yang sama, serta fraksi molnya
dalam larutan tersebut
(http://chem-is-try.org/forum/raoult)
Tekanan parsial uap komponen yang mudah menguap dari larutan, sama
dengan tekanan uap murni kali fraksi molenya.
135
Dimana :
XA = fraksi mol A
XB = fraksi mol B
P˚A = tekanan uap A murni
P˚B = tekanan uap B murni
(Sukardjo, Kimia Fisika hal: 147-148)
Penyimpangan Hukum Raoult
- Penyimpangan negatif Hukum Raoult
Penyimpangan negatif muncul bila zat terlarut menarik molekul pelarut
dengan sangat kuat, sehingga mengurangi kecenderungannya untuk lari ke
fasa uap.
- Penyimpangan positif Hukum Raoult
Penyimpangan positif muncul pada kasus kebalikannya, yaitu bila
molekul pelarut dan zat terlarut tidak saling tertarik satu sama lain.
(Suminar, Prinsip-Prinsip Kimia Modern edisi 4, hal.165-166)
Campuran azeotrop adalah campuran suatu zat dimana zat tersebut
memiliki titik didih minimal atau titik didih maksimal. Susunan campuran
azeotrop tergantung dari tekanan yang dipakai untuk membuat larutan-larutan
dengan konsentrasi tertentu.
(Sukardjo, Kimia Fisika hal. 155)
VII.3. Alat dan Bahan.
136
- Alat-alat yang digunakan.
- Labu distilasi
- Erlenmeyer
- Kawat kasa
- Karet penghisap
- Pipet tetes
- Kompor listrik
- Panci pasir
- Termometer
- Statif dan Klem
- Pipet volume
- Piknometer
- Gelas ukur
- Beakerglass
- Timbangan digital
- Pendingin Leibig
- Bahan-bahan yang digunakan.
- Etanol (C2H5OH).
- Aquadest (H2O).
- Pasir.
- Es batu.
137
VII.4. Prosedur Percobaan.
A. Membuat kurva kalibrasi.
- Menentukan berat kosong dari piknometer.
- Menentukan suhu aquadest menetapkan pada suhu 25 C kemudian
memasukkannya ke dalam piknometer sampai penuh.
- Menentukan berat aquadest dalam piknometer.
- Menentukan volume piknometer.
- Memasukkan larutan etanol dalam piknometer dan menentukan berat
jenisnya.
- Membuat grafik antara berat jenis dengan komposisi larutan etanol.
B. Proses Distilasi.
Mencampurkan 100 mL etanol dengan 4 mL aquadest kemudian
memasukkannya ke dalam labu distilasi.
- Melakukan distilasi pada larutan tersebut kemudian menampung distilat
30 mL (I) dan menetapkan suhunya pada 25 ○C.
- Memasukkan distilat tersebut ke dalam piknometer dan menentukan berat
jenisnya, kemudian distilat dibuang.
- Mengambil residu 30 mL pada distilat (I) mencapai 25 mL,
kemudian mengukur suhu pada labu distilat dan mencatat (T1).
- Menambahkan 16 mL aquadest pada labu distilasi.
- Menetapkan suhu residu pada 25 ○C, kemudian memasukkan residu ke
dalam piknometer dan menentukan berat jenisnya.
138
- Memasukkan kembali residu yang telah ditentukan berat jenisnya ke
dalam labu distilasi.
- Melanjutkan proses distilasi dengan cara seperti di atas dengan
penambahan 30 mL dan 50 mL aquadest.
VII.5. Data Pengamatan.
Tabel VII.5.1 Kurva Kalibrasi.No Komposisi Berat Larutan Berat Jenis Berat Total
139
(%) (g) (g/cm3) (Berat Larutan +
Piknometer)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
24,8273
24,4353
24,1413
23,7813
23,4395
22,9923
22,4353
21,8465
21,1496
20,3306
19,7484
0,9931
0,9774
0,9656
0,9512
0,9375
0,9196
0,8974
0,8738
0,8459
0,8132
0,7899
45,200
44,808
44,514
44,154
43,812
43,365
42,808
42,219
41,522
40,703
40,121
Tabel VII.5.2 Hasil Distilasi.
No MassaDistilat
(g)
BJ Distilat (g/cm3)
MassaResidu (g)
BJ Residu(g/cm3)
Titik didih (°C)
Total massa distilat
(g)
Total massa residu
(g)
140
air
airberat
1
2
3
4
19,9823
20,6443
21,1671
22,4218
0,7992
0,8257
0,8466
0,8968
20,5296
22,6803
23,4473
24,3215
0,8211
0,9072
0,9378
0,9728
75
80
84
93
40,355
41,017
41,5398
42,7945
40,9023
43,053
43,82
44,6942
VII.6. Hasil Perhitungan.
A. Membuat kurva kalibrasi.
Berat piknometer kosong = 20,3727 g.
Berat air dalam piknometer = 45,2 g.
Berat air = berat air dalam piknometer – berat piknometer kosong.
= 45,2 g – 20,3727 g = 24,8273 g.
maka volume air =
=
= 24,9997 mL
berat jenis larutan =
1. Alkohol 0%.
Berat jenis = = 0,9931 g/cm3
141
2. Alkohol 10%.
Berat jenis = = 0,9774 g/cm3
3. Alkohol 20%.
Berat jenis = = 0,9656 g/cm3
4. Alkohol 30%.
Berat jenis = = 0,9512 g/cm3
5. Alkohol 40%.
Berat jenis = = 0,9376 g/cm3
6. Alkohol 50%.
Berat jenis = = 0,9197 g/cm3
7. Alkohol 60%
Berat jenis = = 0,8974 g/cm3
8. Alkohol 70%.
Berat jenis = = 0,8738 g/cm3
9. Alkohol 80%.
Berat jenis = = 0,8459 g/cm3
10. Alkohol 90%.
142
Berat jenis = = 0,8132 g/cm3
11. Alkohol 100%
Berat jenis = = 0,7899 g/cm3
- Menentukan regresi linier
Tabel VII.6.1. Data kurva kalibrasi
No. komposisi (x) berat jenis (y) x2 x.y
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
0,9931
0,9774
0,9656
0,9512
0,9375
0,9196
0,8974
0,8738
0,8459
0,8132
0,7899
0
100
400
900
1600
2500
3600
4900
6400
8100
10000
0
9,774
19.312
28,536
37,5
45,98
53,844
61,166
67,672
73,188
78,99
∑ 550% 9,9646 38500 475,962
B. Proses Distilasi.
Massa piknometer kosong = 20,3727 g.
Volume air = 24,9997 mL.
143
1. Penambahan 4 mL aquadest pada titik didih : 75ºC.
Massa Distilasi = Berat distilasi – Berat piknometer kosong
Massa distilasi = (40,355 – 20,3727) g = 19,9823 g
BJ distilasi = = 0,7992 g/cm3
Massa residu = Massa total residu – Berat piknometer
Massa residu = (40,9023 – 20,3727) g = 20,5296 g
BJ residu = = 0,8211 g/cm3
2. Penambahan 16 mL aquadest pada titik didih : 80ºC.
Massa Distilasi = Berat distilasi – Berat piknometer kosong
Massa distilasi = (41,017 – 20,3727) g = 20,6443 g
BJ distilasi = = 0,8257 g/cm3
Massa residu = Massa total residu – Berat piknometer
Massa residu = (43,053 – 20,3727) g = 22,6803 g
BJ residu = = 0,9072 g/cm3
3. Penambahan 30 mL aquadest pada titik didih : 84ºC.
Massa Distilasi = Berat distilasi – Berat piknometer kosong
Massa distilasi = (41,5398 – 20,3727) g = 21,1671 g
BJ distilasi = = 0,8466 g/cm3
Massa residu = Massa total residu – Berat piknometer
Massa residu = (43,82 – 20,3727) g = 23,4473 g
144
BJ residu = = 0,9378 g/cm3
4. Penambahan 50 mL aquadest pada titik didih : 93ºC.
Massa Distilasi = Berat distilasi – Berat piknometer kosong
Massa distilasi = (42,7945 – 20,3727) g = 22,4218 g
BJ distilasi = = 0,8968 g/cm3
Massa residu = Massa total residu – Berat piknometer
Massa residu = (44,6942 – 20,3727) g = 24,3215 g
BJ residu = = 0,9728 g/cm3
C. Menentukan % komposisi etanol dalam distilat dan residu
Dari grafik VII.7.1. didapatkan persamaan garis :
Rumus : y = a + bx
a =
=
= 1,0071
b =
=
145
= -0,002024
y = a + bx
= 1,0071– 0,002024x
Dimana :
y = berat jenis distilasi atau residu
x = % berat distilasi atau residu
- Pada titik didih 75˚C
y = 1,0071– 0,002024x
Distilasi : y = 1,0071– 0,002024x
0,7992 = 1,0071– 0,002024x
x = 102,72%
Residu : y = 1,0071– 0,002024x
0,8211 = 1,0071– 0,002024x
x = 91,90%
- Pada titik didih 80˚C
y = 1,0071– 0,002024x
Distilasi : y = 1,0071– 0,002024x
0,8257 = 1,0071– 0,002024x
x = 89,62 %
Residu : y = 1,0071– 0,002024x
0,9072 = 1,0071– 0,002024x
x = 49,36
146
- Pada titik didih 84˚C
y = 1,0071– 0,002024x
Distilasi : y = 1,0071– 0,002024x
0,8466 = 1,0071– 0,002024x
x = 79,30 %
Residu : y = 1,0071– 0,002024x
0,9378 = 1,0071– 0,002024x
x = 34,24 %
- Pada titik didih 93˚C
y = 1,0071– 0,002024x
Distilasi : y = 1,0071– 0,002024x
0,8968 = 1,0071– 0,002024x
x = 54,50 %
Residu : y = 1,0071– 0,002024x
0,9728 = 1,0071– 0,002024x
x = 16,95 %
Tabel VII.6.2. % komposisi etanol
No. Titik didih (oC)Komposisi etanol (%)
distilasi residu
147
1
2
3
4
75
80
84
93
102,72
89,62
79,30
54,50
91,90
49,36
34,24
16,95
VII.7. Grafik
148
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
0 20 40 60 80 100 120
Komposisi Etanol
Ber
at J
enis
Lar
uta
n
Grafik VII.7.1 Hubungan antara komposisi etanol (%) dengan berat
jenis larutan (g/cm3)
0
20
40
60
80
100
120
65 75 85 95
% Komposisi
Tit
ik D
idih
Distilat
Residu
Grafik VII.7.2. Hubungan antara komposisi etanol (%) dengan titik didih
(OC).
VII.8. Pembahasan.
149
1. Pada proses Distilasi sistem biner yang pertama keluar sebagai distilasi
adalah etanol. Hal ini disebabkan karena etanol memiliki titik didih yang
lebih rendah dibandingkan air, sehingga etanol menguap terlebih dahulu.
2. Pada percobaan ini menggunakan kondensor yang aliran airnya
berlawanan arah dengan arah aliran uap hasil pemanasan yang berfungsi
untuk menurunkan suhu dan mengubah fase etanol dari uap ke cair.
3. Pada percobaan didapatkan densitas etanol berbeda dengan densitas etanol
secara teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan suhu. Saat
pengambilan etanol suhu ditetapkan 25˚C sedangkan suhu kamar 27˚C.
Hal ini memungkinkan perubahan suhu secara cepat, dikarenakan sifat
etanol yang mudah menguap sehingga mempengaruhi berat jenis etanol.
4. Pada grafik VII.7.1. semakin besar % komposisi etanol maka semakin
rendah berat jenisnya, hal ini disebabkan karena jumlah aquadest yang ada
dalam larutan tersebut semakin sedikit.
5. Pada grafik VII.7.2. yang terlihat bahwa semakin tinggi titik didih maka %
berat larutan akan semakin turun. Hal ini dikarenakan adanya penambahan
aquadest 16 ml, 30 ml, 60 mL ke dalam labu Distilasi tanpa adanya
pengembalian distilasi ke dalam labu Distilasi. Sehingga sebagian besar
komposisi larutan dalam labu Distilasi adalah air.
VII.9. Kesimpulan
150
1. Distilasi sistem biner dapat memisahkan campuran larutan berdasarkan
titik didihnya.
2. Titik didih alkohol 75C dan titk didih air 93C.
3. Berat jenis alkohol lebih rendah dari berat jenis air.
4. Semakin besar % komposisi semakin rendah berat jenisnya
BAB VIII
151
ENERGI AKTIVASI DAN PERSAMAAN TETAPAN
ARRHENIUS
8.1. Tujuan Percobaan
1. Menentukan bagaimana ketergantungan laju reaksi terhadap
suhu.
2. Menghitung energi aktivasi (Ea) dengan menggunakan
persamaan
Arrhenius.
8.2. Tinjauan Pustaka
Dalam kimia, Energi aktivasi juga dinamakan energi permulaan, dalam
bentuk ini diperkenalkan pada tahun 1889 oleh Svante Arrhenius yang
didefinisikan bahwa energi bisa menanggulangi untuk reaksi kimia yang terjadi.
Energi aktivasi sebaliknya bisa dinotasikan sebagai energi minimum yang
dibuthkan untuk reaksi kimia spesifik yang terjadi. Reaksi energi aktivasi
biasanya dinotasikan dalam Ea, dan diberikan dalam satuan kilojoule per mole.
Biasanya dapat menganggap salah satunya energi aktivasi sebagai ketinggian
rintangan potensial (kadang-kadang dinamakan energi rintangan) memisahkan
dua energi potensial (reaktan dan reaksi produk). Untuk reaksi kimia mempunyai
laju nyata, sebaiknya sejumlah molekul nyata dengan energi sama atau lebih besar
daripada energi aktivasi.
152
(http://id.wikipedia.org/wiki/Energi aktivasi, 31 Mei 2009, 19:26)
Tetapan laju bergantung pada suhu dan energi aktivasi seperti yang
ditunjukkan oleh persamaan Arrhenius. Persamaan laju dari suatu reaksi antara
dua senyawa A dan B ditulis seperti dibawah ini:
Dimana, k = rate constant
A, B = concentrations (mol dm-3)
a = order of reaction with respect to A
b = order of reaction with respect to B
Persamaan laju menunjukkan pengaruh dari perubahan konsentrasi reaktan
terhadap laju reaksi. Seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi seperti
suhu dan katalis termasuk didalamnya tetapan laju, dimana sebenarnya tetap bila
kita hanya mengubah konsentrasi dari reaktan. Ketika kita mengubah suhu
maupun katalis, sebagai contoh, tetapan laju akan berubah. Perubahan
ini
digambarkan secara matematis oleh persamaan Arrhenius :
Keterangan:
Temperatur atau suhu (T)
Agar berlaku dalam persamaan, suhu harus diukur dalam kelvin (K).
Konstanta atau tetapan gas (R)
Tetapan ini terbentuk dari persamaan P V = n R T, yang berhubungan
dengan tekanan, volume dan suhu dalam jumlah tertentu dari mol gas.
153
Energi aktivasi (Ea)
Merupakan energi minimum yang diperlukan bagi reaksi untuk berlangsung.
Agar berlangsung dalam persamaan, kita harus mengubahnya menjadi satuan
Joule per mol, bukan kJ mol-1.
Eksponen (e)
Harga dari satuan ini adalah 2,71828 dan ini merupakan satuan matematis
seperti layaknya phi (π).
Ekspresi (e )
Ekspresi ini menghitung fraksi dari molekul yang berada dalam keadaan gas
dimana memiliki energi yang sama atau lebih dari energi aktivasi pada suhu
tertentu.
Faktor frekuensi (A)
Kita juga dapat menyebut ini sebagai faktor pre-eksponensial atau faktor
sterik. Merupakan istilah yang meliputi faktor seperti frekuensi tumbukan dan
orientasinya. A sangat bervariasi bergantung pada suhu walau hanya sedikit.
A sering diangap sebagai konstanta pada jarak perbedaan suhu yang kecil.
Persamaan Arrhenius dapat dikalikan kedua sisinya dengan “ln” sehingga
menjadi persamaan:
Ln k = ln A -
Faktor-faktor yang mempengaruhi Energi aktivasi (Ea):
1. Suhu
154
Kita dapat menggunakan persamaan Arrhenius untuk menggambarkan
pengaruh dari perubahan suhu pada tetapan reaksi dan tentunya laju reaksi.
Jika misalkan tetapan laju berlipat ganda, maka juga laju reaksi akan berlipat
ganda juga. Fraksi molekul-molekul mampu untuk bereaksi dua kali lipat
dengan peningkatan suhu sebesar 10ºC. Hal ini menyebabkan laju reaksi
hampir menjadi berlipat ganda.
2. Faktor frekuensi (A)
Dalam persamaan ini kurang lebih konstan untuk perubahan suhu yang kecil.
Kita perlu melihat bagaimana perubahan e atau energi dari fraksi
molekul sama atau lebih dengan aktivasi energi.
3. Katalis
Katalis akan menyediakan rute agar reaksi berlangsung dengan energi
aktivasi yang lebih rendah.
(www.chem-is-try-org, 31 Mei 2009, 19:56)
Suatu reaksi yang terjadi pada molekul-molekul akan mengalami perubahan
kimia dimana perubahan tersebut molekul akan bertabrakan atau bertumbukan
secara acak. Tetapi untuk banyak reaksi eksoterm pada temperatur kamar
kebanyakan molekul sekedar terpental setelah bertabrakan tanpa reaksi. Dalam
suatu sistem kimia molekul-molekul tidak dapat bereaksi kecuali jika mereka
cukup memiliki energi untuk membentuk keadaan transisi. Energi yang
ditambahkan yang harus dipunyai oleh zat-zat yang bereaksi untuk membentuk
kompleks teraktifkan disebut energi pengaktifan (Ea).
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal. 519)
155
Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbukan adalah temperatur, dengan
naiknya temperatur, maka laju reaksi kimia semakin bertambah. Biasanya
kenaikan sebesar 10ºC akan melipatkan dua atau laju suatu reaksi antara molekul-
molekul. Kenaikan laju reaksi ini dapat diterangkan sebagian sebagai lebih
cepatnya molekul-molekul bergerak pada temperatur yang lebih tinggi dan makin
seringnya molekul-molekul tersebut bertabrakan satu sama lain. Pada temperatur
yang dinaikkan maka presentase tabrakan yang mengakibatkan reaksi kimia akan
lebih besar karena memiliki banyak molekul yang memiliki kecepatan lebih besar
dan karena memiliki energi yang cukup untuk bereaksi.
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal. 521)
Umumnya reaksi menjadi lebih cepat bila dipanaskan, jadi harga k semakin
besar. Hanya reaksi:
2 NO + O2 2 NO2
Yang mempunyai koefisien temperatur negatif.
Menurut Arrhenius, pengaruh temperatur terhadap k dapat dinyatakan
sebagai berikut:
=
(persamaan Arrhenius)
= tenaga aktivasi
( Soekarjo, Kimia Fisika, hal : 342-343)
Laju atau kecepatan reaksi adalah perubahan konsentrasi pereaksi ataupun
produk dalam satu satuan waktu. Laju suatu reaksi dapat dinyatakan sebagai laju
berkurangnya konsentrasi suatu pereaksi, atau laju bertambahnya konsentrasi
suatu produk.
156
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal. 516)
Konstanta laju reaksi didefinisikan sebagai laju reaksi bila konsentrasi dai
masing-masing jenis adalah satu. Satuannya tergantung pada orde reaksi.
(Dogra. Kimia Fisika dan Soal-soal. Hal. 623)
Faktor - faktor yang mempengaruhi laju reaksi:
1. Sifat dasar pereaksi.
Zat-zat berbeda secara nyata, dalam lajunya mereka mengalami perubahan
kimia. Molekul hidrogen dan flour bereaksi secara meledak, bahkan pada
temperatur kamar, dengan menghasilkan molekul hidrogen flourida.
H2 + F2 2HF (sangat cepat pada temperatur kamar)
Pada kondisi serupa, molekul hidrogen dan oksigen bereaksi begitu lambat,
sehinga ttidak nampak suatu perubahan kimia:
2H2 + O2 2H2O (sangat lambat pada temperatur kamar).
2. Temperatur
Laju suatu reaksi kimia bertambah dengan naiknya temperatur. Biasanya
kenaikan sebesar 10 C akan melipatkan dua atau tiga laju suatu reaksi antara
molekul-molekul. Kenaikan laju reaksi ini dapat diterangkan sebagian
sebagai lebih cepatnya molekul-molekul bergerak kian-kemari pada
temperature yang lebih tinggi dan karenanya bertabrakan satu sama lain lebih
sering.
3. Katalis
157
Sebuah katalis adalah suatu zat yang meningkatkan kecepatan suatu reaksi
kimia tanpa dirinya mengalami perubahan kimia yang permanen. Proses ini
disebut katalisis.
Suatu katalis diduga mempengaruhi kecepatan reaksi dengan salah satu jalan:
a. dengan pembentukkan senyawa antara (katalis homogen)
b. dengan adsorpsi (katalis heterogen).
4. Konsentrasi
Laju suatu reaksi dapat dinyatakan sebagai laju berkurangnya konsentrasi
suatu pereaksi, atau sebagai laju bertambahnya konsentrasi suatu produk.
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal: 518-524)
Kalau molekul bereaksi, mula-mula molekul ini bertumbukan terlebih
dahulu. Jadi, kecepatan reaksi sebanding dengan jumlah tumbukan molekul. Dari
hitungan ternyata jumlah tumbukan molekul yang diperoleh dari percobaan lebih
kecil daripada teori. Ini berarti bahwa setiap tumbukan molekul menghasilkan
molekul baru untuk dapat bereaksi, molekul-molekul harus mempunyai tenaga
tertentu. Kalau A = tenaga rata-rata pereaksi, dan C = tenaga rata-rata hasil reaksi,
maka agar A dapat menjadi C, molekul-molekulnya harus melewati tenaga
penghalang ΔE1°. Tenaga ini disebut tenaga aktivasi untuk reaksi ke kanan.
Untuk reaksi ke kiri dibutuhkan tenaga aktivasi ΔE2°.
Selisih keduanya merupakan selisih tenaga dalam atau panas reaksi pada V
tetap.
ΔE = ΔE1° – ΔE2°
= (EB – EA) – (EB – EC)
158
= EC – EA
(Prof. Dr. Sukardjo, Kimia Fisika, Hal. 343)
Aktivasi energi adalah energi minimum yang diperlukan untuk
melangsungkan terjadinya suatu reaksi. Contoh yang sederhana reaksi eksotermal
yang di gambarkan dibawah ini :
8. 2.1 Gambar Kurva EA (Energi Aktivasi)
Jika partikel-partikel bertumbukkan dengan energi yang lebih rendah dari
energi aktivasi, maka tidak akan terjadi reaksi. Mereka akan kembali dalam
keadaan semula, dapat dibayangkan energi aktivasi sebagai tembok dari reaksi.
Hanya tumbukan yang memiliki energi sama atau lebih besar dari energi aktivasi
yang dapat menghasilkan terjadinya reaksi.
(www.chem-is-try-org. materi_kimia/kimia fisika.htm, 27/05/2009, 18.16)
Hubungan konstanta kecepatan reaksi dengan temperatur dalam Kelvin dan
energi aktivasi adalah sebagai berikut :
ln k = ln A -
159
EnergiEnergi Aktivasi : EA
Laju Reaksi
Produk
PanasReaksi
dimana A adalah factor pre-eksponensial atau faktor frekwensi. Jadi, semakin
besar temperatur T maka konstanta kecepatan reaksi K juga akan semakin besar,
artinya reaksinya juga semakin cepat.
(www.xyzbloggers.blogspot.com. 04/2009, 18.34)
Bentuk lain persamaan Arrhenius :
ln k = (-Ea/R) (1/T) + ln A
Jika ln k diplot terhadap 1/T maka akan didapat garis lurus dengan nilai
tangensial –Ea/R.
Bila temperatur meningkat, fraksi molekul yang memiliki energi kinetik pun
meningkat sehingga meningkatkan energi aktivasinya.
8.2.2. Grafik laju pada dua suhu
Keterangan :
(http://chem.-is-try.org, 27 April 2009, 18:29)
Konsentrasi A pada waktu t1 dinyatakan sebagai [A1] dan konsentrasi pada
pada t1 sebagai [A2], dengan tanda kurung siku berarti konsentrasi dalam mol/liter.
160
Fra
ksi m
ol
Energi Kinetik
T1
T2
Ea
T3
Fraksi mol saat T1
Fraksi mol saat T2
Fraksi mol saat T3
T1 > T2 > T3
Laju rata-rata berkurangnya konsentrasi A dinyatakan sebagai :
Laju rata-rata bertambahnya konsentrasi B dan C dinyatakan sebagai :
Laju rata-rata bertambahnya konsentrasi [B] dan [C]
Dalam pernyataan untuk laju rata-rata berkurangnya [A], kuantitas (Δ[A]/Δt)
adalah negatif karena [A2] lebih besar daripada [A2]. Karena laju dinyatakan
sebagai berharga positif menurut perjanjian, maka ditaruh tanda minus didepam
kuantitas ini sehingga –(–) = +.
Hubungan satu sama lain ketiga rumus itu adalah :
(Keenan, Kimia Untuk Universitas, hal : 524-525)
8.3. Alat dan Bahan
A. Alat-alat yang digunakan :
- batang pengaduk
- beakerglass
- botol aquadest
- botol gelap
161
Laju rata-rata berkurangnya [A] =
- corong kaca
- Erlenmeyer
- karet penghisap
- neraca analitik
- neraca digital
- pipet tetes
- pipet volume
- rak tabung reaksi
- stopwatch
- tabung reaksi
- thermometer
B. Bahan-bahan yang digunakan :
- Kaliumperokdisulfat (K2S2O8)
- Larutan kanji 3 %
- Kaliumiodida (KI)
- Natriumtiosulfat pentahydrat (Na2S2O3. 5H2O)
- Aquadest (H2O)
- Es batu
8.4. Prosedur percobaan
162
1. Menyediakan 2 buah tabung reaksi yang berisi
Tabung I Tabung II
S2O82-
(0,04 M)
H2O I-
(0,1 M)
H2O S2O32-
(0,001 M)
Kanji
(3 %)
5 mL 5 mL 10 mL - 1 mL 1 mL
2. Mendinginkan kedua tabung reaksi tersebut dalam beakergelas yang berisi
air dan es (tinggi cairan dalam tabung harus lebih rendah dari cairan dalam
beakergelas) sampai suhu kedua larutan sama,mencatat suhunya (T1)
3. Mencampurkan larutan dalam tabung II ke dalam tabung I dan pada saat
bersamaan menyalakan stopwatch sampai timbul warna biru.
4. Mematikan stopwatch pada saat timbul warna biru dan mencatat waktunya
(t) dan suhu larutan (T2).
5. Mengulangi langkah 1-4 di atas sebanyak 5 kali dengan suhu awal (T1)
yang berbeda.
8.5. Data Pengamatan
163
Tabel 8.5.1. Data Pengamatan Hasil Percobaan Energi Aktivasi pada T (oC).
No. T1 (oC) T2 (oC) Trata-rata
(oC)
Waktu
(s)
ln = ln k
1.
2.
3.
4.
5.
5
10
15
20
25
12
16
19
24
27
8,5
13
17
22
26
0,1176
0,0769
0,0588
0,0454
0,0384
156
134
106
81
61
0,0064
0,0074
0,0094
0,0123
0,0163
-5,0514
-4,9063
-4,6670
-4,3981
-4,1165
Tabel 8.5.2. Data Pengamatan Hasil Percobaan Energi Aktivasi pada T (K).
No T1
(K)
T2
(K)
T rata-rata
(K)
Waktu
(s)
ln = ln k
1.
2.
3.
4.
5.
278,15
283,15
288,15
293,15
298,15
285,15
289,15
292,15
297,15
300,15
281,15
286,65
290,65
295,65
299,15
0,0035
0,0034
0,0034
0,00338
0,00334
156
134
106
81
61
0,0064
0,0074
0,0094
0,0123
0,0163
-5,0514
-4,9063
-4,6670
-4,3981
-4,1165
8.6. Hasil Perhitungan
164
1. Membuat larutan KI 0,1 M sebanyak 100 mL
M =
0,1 =
W = 1,659 gram
Jadi untuk membuat larutan KI 0,1 M sebanyak 100 mL dengan menimbang
KI sebanyak 1,659 gram dan melarutkannya dengan aquadest, pada labu
ukur 100 mL sampai tanda batas.
2. Membuat larutan K2S2O8 0,004 M sebanyak 50 mL
M =
0,04 =
W = 0,5406 gram
Jadi untuk membuat larutan K2S2O8 0,004 M sebanyak 50 mL dengan
menimbang S2O82- sebanyak 0,5406 gram dan melarutkannya dengan
aquadest, pada labu ukur 50 mL sampai tanda batas.
3. Membuat larutan Na2S2O3.5H2O sebanyak 50 mL
M =
165
0,001 =
W = 0,0124 gram
Jadi untuk membuat larutan Na2S2O3.5H2O sebanyak 50 mL dengan
menimbang S2O32- sebanyak 0,0124 gram dan melarutkannya dengan
aquadest, pada labu ukur 50 mL sampai tanda batas.
Tabel 8.6.1. Persamaan Linear.
No. 1/Trata-rata (x) ln k (y) x.y x2
1.
2.
3.
4.
5.
0,0035
0,0034
0,0034
0,00338
0,00334
-5,0514
-4,9063
-4,6670
-4,3981
-4,1165
-0,0177
-0,0167
-0,0159
-0,0149
-0,0137
0,00001225
0,00001156
0,00001156
1,14244.10-5
1,11556.10-5
∑ 0,01702 -23,1392 -0,07884 0,00005795
Rumus : y = a + bx
a =
=
= 14,35611
b =
=
166
= -5576,954
Jadi, persamaan garisnya adalah :
y = a + bx
y = 14,35611 - 5576,954x
Persamaan Arrhenius dari perhitungan :
Rumus : ln k =
b = slope = =
-5576,954 =
Ea = -11.082,52 kal/mol
Ea = -11,08252 kkal/mol
a = intersep = ln A = 14,35611
A = 1717035,817
8.7. Grafik
167
y = -5576,9x + 14,356
-5,5
-5
-4,5
-4
-3,5
3,30E-03 3,35E-03 3,40E-03 3,45E-03 3,50E-03 3,55E-03
ln K
1/T
rat
a-ra
ta
Grafik 8.7.1. Hubungan antara 1/T rata-rata (0C) dengan ln k
8.8. Pembahasan
A. Memperlihatkan ketergantungan laju reaksi pada suhu
Secara teoritis jika suhu dinaikkan akan mempercepat laju reaksi. Dari data
hasil percobaan suhu dinaikkan dari 5-25 oC dan waktu yang diperlukan
adalah 156-61 detik. Jadi, laju reaksi semakin cepat apabila suhu dinaika,
hal ini sesuai dengan teori yang ada.
B. Menentukan energi aktivasi
Pada percobaan ini, makin tinggi suhunya maka makin kecil energi
aktivasinya, sehinga harga aktivasinya tergantung pada temperatur. Grafik
8.7.1 menunjukan bahwa harga ln k berbanding terbalik dengan harga 1/T
rata-rata. Semakin kecil ln k maka haga 1/T rata-rata semakin besar. Ini
membuktikan bahwa semakin tinggi temperatur maka energi aktivasinya
akan semakin kecil, semakin sedikit waktu yang diperlukan sehingga akan
168
memperbesar harga laju reaksi. Hal ini sesuai dengan teori dimana energi
aktivasi berbanding terbalik dengan laju reaksi.
8.9. Kesimpulan
1. Semakin tinggi suhu maka laju reaksi akan semakin cepat.
2. Dari perhitungan diperoleh harga Ea sebesar -11,08252 kkal/mol
dan
A sebesar 1717035,817.
169