BAB I

139
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Communicable disease atau yang disebut dengan “penyakit menular” adalah istilah yang merujuk pada suatu penyakit dimana agen infeksius mampu menyebarkan penyakit dari satu hospes ke hospes lain dengan menggunakan berbagai mediator yang ada di sekitarnya. Beberapa penyakit communicable disease diantaranya adalah penyakit cacing, protozoa, arthropoda, bacterial, virus dan jamur. Penyebabnya disesuaikan dengan penyakitnya. Prevalensi kejadian luar biasa atas penyakit ini cukup besar di indonesia dan menyababkan jatuhnya banyak korban yang akhirnya berujung pada kematian. Suatu study penelitian menunjukan bahwa angka kematian oleh demam dengue dan demam hemorragic dengue cukup besar di wilayah kota maupun pedessan di indonesia sebagai sampel. Tingkat penyebaran penyakit menular ini pun tebilang cukup pesat berdasarkan survei yang dicatat WHO pada tahun 2000. Tindakan pecegahan secara dini sangatlah penting dalam mengurangi dampak dari banyak penyakit menular ini, 1

Transcript of BAB I

Page 1: BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Communicable disease atau yang disebut dengan “penyakit

menular” adalah istilah yang merujuk pada suatu penyakit dimana agen

infeksius mampu menyebarkan penyakit dari satu hospes ke hospes lain

dengan menggunakan berbagai mediator yang ada di sekitarnya.

Beberapa penyakit communicable disease diantaranya adalah

penyakit cacing, protozoa, arthropoda, bacterial, virus dan jamur.

Penyebabnya disesuaikan dengan penyakitnya. Prevalensi kejadian luar

biasa atas penyakit ini cukup besar di indonesia dan menyababkan jatuhnya

banyak korban yang akhirnya berujung pada kematian. Suatu study

penelitian menunjukan bahwa angka kematian oleh demam dengue dan

demam hemorragic dengue cukup besar di wilayah kota maupun pedessan

di indonesia sebagai sampel. Tingkat penyebaran penyakit menular ini pun

tebilang cukup pesat berdasarkan survei yang dicatat WHO pada tahun

2000. Tindakan pecegahan secara dini sangatlah penting dalam mengurangi

dampak dari banyak penyakit menular ini, selain itu telah banyak ditemukan

metode peng-eliminasian yang tepat dan sangat berkontribusi banyak dalam

mengurangi prevalensi angka kematian akibat penyakit ini.

Mengingat indonesia adalah negara tropis dimana banyak penyakit

bisa menyerang penduduknya dan penularan melalui berbagai vektor yang

tak terduga, oleh karena itu sangatlah penting bagi setiap individu

khususnya tenaga kesehatan untuk memahami mengenai berbagai aspek

pembahasan dan topik mengenai penyakit menular ini, sehingga akan

memberikan referensi dan sumber rujukan mengenai tindakan tepat yang

akan dilakukan untuk menangani kejadian penyakit menular ini.

1

Page 2: BAB I

I.2. Tujuan dan Manfaat

I.2.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui communicable desease yang terjadi pada

masyarkat, jenis penyakit yang termasuk communicable disease,

mekanisme communicable disease, dampak dari communicable disease

serta program eliminasi communicable disease.

I.2.2. Tujuan Khusus

a. Memberi wawasan tentang communicable disease

b. Memberi gambaran secara ringkas tentang communicable disease

c. Sebagai syarat untuk mengukuti Ujian Akhir Blok.

I.2.3. Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah

mampu memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas mengenai

communicable disease.

2

Page 3: BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pendekatan Communicable Deisease

II.1.1. Pengertian Communicable Disease

Communicable disease atau yang disebut dengan “penyakit

menular” adalah istilah yang merujuk pada suatu penyakit dimana agen

infeksius mampu menyebarkan penyakit dari satu hospes ke hospes lain

dengan menggunakan berbagai mediator yang ada di sekitarnya.

II.1.2. Penyebaran Communicable Disease

Penularan penyakit parasit, bakteri, virus, maupun jamur

dipengaruhi tiga faktor, yaitu adanya sumber infeksi, cara penularan parasit,

dan adanya hospes yang peka atau sensitif. Kombinasi faktor-faktor tersebut

menentukan tingginya penyebaran dan prevalensi parasit di suatu daerah

pada tempat dan waktu tertentu. Selain itu adaptasi alami parasit terhadap

manusia selaku hospes, kebiasaan hidup dan hbungan dalam populasi

manusia serta tingginya daya tahan tubuh individu manusia, mempengaruhi

cepatnya kejadian penularan penyakit parasitis.

Penyakit menular yang menginfeksi penderita pada awal infeksi

umumnya tidak menunjukan gejala. Sesudah itu akan timbul gambaran

klinis yang jelas dalam perjalanan penyakitnya kemudian bisa berkembang

menjadi penyakit yang akut dan berat yang akan menimbulkan kematian

penderita. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang tinggi, penyakit

akan menyembuh atau akan berkembang menjadi penyakit yang menahun

atau kronis dengan gejala atau keluhan yang ringan. Dalam hal ini meskipun

penderita masih mengidap mikroorganisme tidak menunjukan gejala atau

keluhan, sehingga karier ini merupakan sumber penularan potensial

penyakit menular bagi orang lain yang sehat. Karier karena antara hospes

3

Page 4: BAB I

dan parasit terdapat keseimbangan dalam kehidupan masing-masing. Karier

misalnya ditemukan pada penularan malaria, amubiasis, filariasis dan

penyakit-penyakit akibat infeksi virus atau bakteri usus.

Penyebaran mikrorganisme penyebab penyakit dari satu individu

penderita ke individu yang peka dapat terjadi secara langsung atau melalui

penularan tidak langsung. Pada penularan tidak langsung, untuk dapat

menginfeksi hospes yang peka parasit harus melewati tahapan stadium

perkembangan sebelum menjadi stadium yang infektif. Penularan stadium

infektif dapat terjadi secara kontak langsung atau tidak langsung, bersama

makanan, minuman, tanah, hewan vertebrata, dan vector serangga, atau dari

ibu ke bayi melalui plasenta pada waktu proses persalinan.

II.1.3. Jenis-Jenis Penyakit Communicable Deiseasse

Penyakit menular di indonesia dapat diakibatkan berbagai faktor,

seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, antripoda dan helminth. Berikut ini

adalah jenis-jenis penyakit infeksi menular, mekanisme, dampak dan proses

eliminasinya.

A. Comunicable Diseases yang Disebabkan Oleh Helminth

1. Ascaris lumbricoides

Hospes dan nama penyakit

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit

yang disebabkannya disebut askariasis.

Mekanisme Daur hidup

Telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk aktif selama kurang lebih 3

minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia menetas di usus halus.

Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran

limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di

paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga

alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea 4

Page 5: BAB I

larva ini menuju ke faring. Pendeita batuk karena rangsangan ini dan larva akan

tertelan ke dalam esofagus, lalu meuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah

menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur

diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.

Tabel 1. Karakteristik Ascaris lumbroides

Gambar 1. Daur Hidup Ascaris Lumboides

Patologi dan Gejala Klinis

Gangguan karna larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada

orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul

gangguan pada paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto

5

Page 6: BAB I

toraks tampak infiltrate yang mengilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan

tersebut disebut sindrom loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa

biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami ganguuan usus

ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. (Sutanto,

2008)

Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi mal absorbs

sehingga menyebabkan mal nutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing

menggumpal diusus sehingga terjadinya obstruksi usus (ileus). Pada

keadaan tentu cacing mengembara ke saluran empedu, appendiks, atau ke

bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat.

1. Trichuris trichiura

Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyakit yang disebabkannya

disebut trikuriasis.

Morfologi dan Daur Hidup

Panjang cacing betina kira-kixa 5 cm, sedangkan cacing j an tan kira-

kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira

3/5 dari panjang seluruh tubiih. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk,

pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing jantan

melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon

asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk masuk ke

dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur

setiap hari antara 3000 -20.000 butir .Telur berbentuk seperti tempayan

dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur

bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur

yang dibuahi di-keluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi

matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai,

yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang

berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung bila

6

Page 7: BAB I

secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding

telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun

ke usus bagiartdistal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi

cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur

tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur ±30-90 hari.

Tabel 3. Karakteristik Trichuris trichiura

Gambar 4. Daur Hidup Trichuris trichiura

7

Page 8: BAB I

Patologi dan Gejala Klinis

Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi

dapat juga ditemukan di kolon asendens Pada infeksi berat, terutama pada anak,

cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa

rektum yang mengalami prolapsus akibat menge-jannya penderita pada waktu

defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga

terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di

tempat per-lekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini juga

mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menye-babkan anemia.

Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan

menahun, menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindrom disentri,

anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.

Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya

atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang

jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasit ini sering ditemukan pada

pemeriksaan tinja secara rutin.

2. Strongyloides stercoralis

Hospes dan Nama Penyakit

Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat

menyebabkan strongiloidiasis.

Morfologi dan Daur Hidup

Hanya cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan

yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berawrna dan

panjangnya 2 mm.

8

Page 9: BAB I

Cara berkembang biaknya diduga secara partenogenesis. Telur bentuk parasitik

diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva

rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Parasit

ini mempunyai tiga macam daur hidup:

Siklus langsung

Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 x 16 mikron,

berubah menjadi larva filafirm berbentuk langsing dan merupakan bentuk

infektif, panjangnya ± 700 mikron. Bila larva filaform menembus kulit

manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena, kemudian

melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi

dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea, dan laring. Sesudah sampai

dilaring terjadi reflek batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus

halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur

ditemukan ± 28 hari sesudah infeksi.

Siklus tidak langsung

Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing

jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk dari bentuk

parasitik. Cacing betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran

0,75 mm x 0,004 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum.

Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi

larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi

larva filaform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva

rabditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini

terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan

keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini.

9

Page 10: BAB I

3. Communicable Disease yang Disebabkan Oleh Virus dan Bakteri

1. Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu pertanda dimana ada bakteri yang meninfeksi

usus halus di saluran penceraan manusia. Masuknya kuman Salmonella typhi

(S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia

terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan

selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus

kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan

selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan

difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan

berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri

ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya

melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke

dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan

menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.

Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian

berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam

sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan

disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman

masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu

diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman

dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah

teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala

reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,

sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam

plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. 10

Page 11: BAB I

typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,

hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat

terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang

mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di

dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke

lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat

menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi

seperti gangguan neuropsikiatnk, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan

organ lainnya. Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar

bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan gejala. Penularan penyakit

adalah melalui air dan makanan. Kuman salmonela dapat bertahan lama dalam

makanan. Penggunaan air minum secara masal yang tercemar bakteri sering

menyebabkan terjadinya kejadian luar biasa. Vektor berupa serangga juga

berperan dalam penularan penyakit ( Sudoyo, 2011)

Demam lebih dari tujuh hari adalah gejala yang paling menonjol. Demam

ini biasa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare, anoreksia atau

batuk. Pada keadaan yang parah bisa disertai gangguan kesadaran. Komplikasi

yang bisa terjadi adalah perforasi usus, perdarahan usus, dan koma. Diagnosis

ditegakan berdasarkan adanya salmonela dalam darah melalui kultur. Karena

isolasi salmonela relatif sulit dan lama, maka pemeriksan serologi widal utuk

mendeteksi antigen O dan H ( somatik dan flagel ) sering digunakan sebagai

alternative ( Sudoyo, 2011)

Dampak dari penyakit ini menghasilkan beberapa komplikasi, yakni

komplikasi instenstinal dan komplikasi ekstra intenstinal.

KOMPLIKASI INTESTINAL

Perdarahan Intestinal

Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat

terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus.

11

Page 12: BAB I

Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi

perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi

dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena

gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25%

penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak

membutuhkan transfusi darah. Perdarahan liebat dapat terjadi hingga penderita

mengalami syok. Secara klinis perdaiaiian akut darurat bedah ditegakkan bila

terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam

batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-

32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan

tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu

dipertimbangkan.( Sudoyo, 2011)

Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul

pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain

gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan

perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan

bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda

ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak

ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi

lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.

Leukositosis dengan pergeseran Ke kin dapat menyokong adanya perforasi.

Bila puda gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukLn udara

pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan

nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah

umur (biasanya be"mr 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, ber^r -

penyakit, dan mobilitas pende *.&. Antibiotik diberikan secara selektif bukan

12

Page 13: BAB I

ham L mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk me kuman yang bersifat

fakultatif dan anaerobik pac -usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas

deagat kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. 'Czssm. kontaminasi

usus dapat diberikan gentam.s:! metronidazol. Cairan harus diberikan

dalam jumlah v cukup serta penderita dipuasakan dan dir nasogastric

tube. Transfusi darah dapat diberik-terdapat kehilangan darah akibat

perdarahan intesntinal.( Sudoyo, 2011)

KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL

Komplikasi Hematologi

Komplikasi hematologik berupa trombositopenia hipofibrino-genemia,

peningkatan prothrombin peningkatan partial thromboplastin time,

peningkatan degradation products sampai koagulasi intravask^jr diseminata

(KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pass. demam tifoid. Trombositopenia

saja sering dijumpai. ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit

di sumsum tulang selama proses infeksi. Bila terjadi KID

dekompensata dapat diberik?x tranfaK darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-

faktc koagulas bahkar heparin, meskipun ada pula yang tidak sependaps tentang

inanfaat pemberian hepann pada demam tifoid. ( Sudoyo, 2011)

Hepatitis Tifosa

Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pacx 50% kasus

dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumra. karena S. typhi daripada

S.paratyphi. Untuk membeds'iri.-apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus,

malaria, a^. amuba makaperlu diperhatikan kelainan fisik, parameter

laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pica demam tifoid kenaikan

enzim transaminase tidak rele^z; dengan kenaikan serum bilirubin (untuk

membedaifar dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa d»pE: terjadi

13

Page 14: BAB I

pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun ysri kurang. Meskipun sangat

jarang, komplikis: hepatoensefalopati dapat terjadi. ( Sudoyo, 2011)

Pankreatitis Tifosa

Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid.

Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus,

bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan

lipase serta ultrasonograafi/CT-5ca« dapat membantu diagnosis penyakit

ini dengan akurat.

Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan

pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik

intravena seperti seftriakson atau kuinolon. ( Sudoyo, 2011)

Miokarditis

Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan

kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan

miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan

sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan

perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap

disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan

kerusakan miokardium oleh kuman S. typhi dan miokarditis sering sebagai

penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan

akut dan fulminan. ( Sudoyo, 2011)

Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik

Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa

kejang, semi-koma atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism,

sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia

14

Page 15: BAB I

sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,

polineuritisperifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. ( Sudoyo, 2011)

Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa

gangguan atau penumnan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,

delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai

kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam

batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut

sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan

demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan

toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat

pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan

kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya

hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. Semua kasus

tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat,

langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg

ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. ( Sudoyo, 2011)

Metode eliminasi yang dapat digunakan untuk kasus ini yakni

mencangkup pengobatan dan pencegahan.

A. Tindakan pencegahan dan kontrol penularan :

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan

karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan

kematian akibat demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi

maupun negara, mendatangkan devisa negara yang berasal dari wisatawan

mancanegara karena telah hilangnya predikat negara endemik dan

hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di

daerah kunjungan wisata. Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan

penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup

banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agenpenyakit

dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3

15

Page 16: BAB I

strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu 1. Identifikasi dan

eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier

tifoid, 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut

maupun karier, 3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi. Identifikasi dan

eradikasi S. Typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan akut. Tindakan

identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup sulit dan

memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional.

Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif

menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran

aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana

makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai

pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan

pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan,

pengelola sarana umum lainya. Pencegahan transmisi langsung dari penderita

terinfeksi S. Typhi akut maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit,

klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui

pengidap kuman S. typhi. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular

dan terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara

vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi

tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu

berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta

golongan individu berisiko, yaitu golongan imunokompromais maupun

golongan rentan.

Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:

• Daerah non-endemik. Tanpa ada kej adian outbreak atau epidemi

- Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

- Penyaringan pengelola pembuatan/distfibutor/penjualan makanan-

minuman

- Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier bila ada kejadian epidemi 16

Page 17: BAB I

tifoid

- Pencarian dan eliminasi sumber penularan

- Pemeriksaanairminumdanmandi-cuci-kakus

- Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

• Daerah endemik

- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang

memenuhi standar prosedur kesehatan( perebusan > 570C, iodisasi,

dan klorinisasi )

- Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi

makanan segar (sayur/buah)

- Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun

pengunjung.

VAKSINASI

Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960

efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88%

(WHO) dan sebesar 67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi

tidak mampu proteksi bila terpapar 107 bakteri. Vaksinasi tifoid belum

dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah lain. Indikasi vaksinasi

adalah bila 1). hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam

tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika),

2). orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). petugas

laboratorium/mikrobiologi kesehatan. (Widyono, 2008)

17

Page 18: BAB I

Jenis Vaksin

• Vaksin ora l:

-Ty21a (vivotif Berna). belum beredar di Indonesia.

• Vaksin parenteral :

- ViCPS (Typhim WPasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida.

Pemilihan Vaksin

Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara

bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama

3 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens

turun 53% pada anak > 10 tahun sedangkan anak usia 5-9 th insidens turun 17%.

Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek

samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral.

Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya

ViCPS (Typhim Vi). (Widyono, 2008)

Indikasi vaksinasi

Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko

yang berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi

epidemiologisnya:

• Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personilmiliter, petugas rumah

sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.

• Individual : pengunjung/wisatawan ke daerah endemik,orang yang kontak erat

dengan pengidap tifoid (karier). Anak usia 2-5 tahun toleransi dan

responsimunologisnya sama dengan anak usia lebih besar.

18

Page 19: BAB I

Kontraindikasi Vaksinasi

Vaksin hidup oral Ty21 a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran

yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan

(karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria

(klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru

dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan

obat sulfonamid atau antimikroba lainnya. (widyono,2008)

Efek Samping vaksinasi

Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-

5%, sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil

(demam 0,25%; malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal

17%). Efek samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol

inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri

dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok

dilaporkan pernah terjadi meskipun sporadis dan sangat jarang terjadi.

(widyono,2008)

Efektivitas Vaksinasi

Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan

ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari -3 minggu dan 90% bertahan

selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik

(Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik. (widyono,2008)

A. Tindakan Pengobatan :

Istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan

mempercepat penyembuhan.

19

Page 20: BAB I

Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dengan tujuan

mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.

Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah

penyebaran kuman :

- Pemberian kloramfenikol 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 14 hari.

- Pemberian amoksilin 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis

- Pemberian kotrimoksazole atau tiamfenikol.

- Pemberian sefalosporin generasi ketiga atau golongan fluorokuinolon.

20

Page 21: BAB I

2. Tetanus

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan

meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,

suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetcmi.

Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus

neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. Tetanus

disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di

mana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari

kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan

bakteri gram posotif berbentuk batang yang sclalu bergerak, dan merupakan

bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak

berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini

dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan

terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai

desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan

secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieliminasi dengan

autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120°C selama 15 menit. Sel yang

terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif

terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan lainnya). Bakteri

ini jarang dikuitur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium

tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat.

Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah keiidali

plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan

autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk

heterodimer yang terdiri dari rantai berat (1 OOkDa) yang memediasi

pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan

rantai ringan (50kDa) berperan untuk meblokade perlepasan neurotransmiter.

Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino

dari dua toksin yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin

botulinum dan toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin 21

Page 22: BAB I

tetanus dalam tubuh organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini

terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan

infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyakpenelitian

tentang sensitifitas antimikrobial bakteri ini. Sering terjadi kontaminasi luka

oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak menyebabkan inflamas dan port

d'entrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada infeksi

oleh mikroorganisme yang lain. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada

jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin:

tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak

jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan

mengoptimalkan kondisi yang memungkinkari multiplikasi bakteri.

Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin

mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupai' in

polipeptida rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif.

Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh

suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease

jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua

rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan

ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan

bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari

neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar

pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GDlb dan GTlb pada

membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat

memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-

ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan

ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam badan sel di

batang otak dan saraf spinal. Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik,

lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia

akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di

dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala 22

Page 23: BAB I

tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi

dengan menyebaraya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini

meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak

jelas. Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang

menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan

rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotrans-

mitter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk

keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai

ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah

sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan

neurotransmitter. Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori,

di mana setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia

akan memblokade perlepasan neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan asam

aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa

yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi

inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik

preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi.

Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan

asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan

aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun

demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh

daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan

hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek

konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini berperan

terhadap spasme intermiten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek

prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara

dua spasrae dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada

tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang

lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid. Aliran

eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan 23

Page 24: BAB I

menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai

konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan

otot-otot agonis dan antagonis berkonstraksi secara simultan. Spasme otot

sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang,

wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya

lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot

perifer tangan dan kaki relatifj arang terlibat. Aliran impuls otonomik yang

tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol otonomik dengan aktifitas

berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan. (Sudoyo,

2011)

Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan

membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa

tetanus berdurasi lama.

Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot

yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang

dilepaskan ' di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar

luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya

toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa

waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang

pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini

menjelaskan urutan keterlibatan srabut saraf di kepala, tubuh dan

ekstremitas pada tetanus generalisata. (Sudoyo, 2011)

Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka

dengan tanah, kotorac binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan

tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren,

luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik,

persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. Trauma yang menyebabkan

tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi di

24

Page 25: BAB I

dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan

medis. Pada 15-25% pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.

(Sudoyo, 2011)

Tetanus Generalisata

Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang

ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa

inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada

Tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi

dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari. (Sudoyo, 2011)

Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi

otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka

mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter

menyebabkan trismus atau 'rahang terkunci'. Spasme secara progresif

meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas,

'risus sardonicus' dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan

disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat

berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher

menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan

gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks

tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak,

sedangkan kesadaran tidak terpengaruh. Di samping peningkatan tonus otot,

terdapat spasme otot yang bersifat episodik. Konstraksi tonik ini tampak seperti

konvulsi yang terjadi pada kelompok otot agonis dan antagonis secara

bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus

berupa sentuhan, stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang

terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi

dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau ruptur tendon Spasme

yang terjadi dapat sangat berat, terus-menerus, nyeri bersifat generalisata

25

Page 26: BAB I

sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi

berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal

sering diikuti dengan spasme laringea! dan berkaitan dengan terjadinya

aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa. Pada bentuk

yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di

seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya

pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk

mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya mencakup infeksi

orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin, dan

histeria. Akibat trauma perifer dan sediicitnya toksin yang dihasilkan,

tetanus lokal dijumpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu.

Mortalitas sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik

di mana tetanus lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf

kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya, daripada spasme.

Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi.

Tetanus neonatorum menyebabkan Iebih dari 50% kematian akibat tetanus di

seluruh dunia, tetapi sangat jarang terjadi di negara-negara maju. Neonatus,

usia di bawah 1 minggu dengan riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan

tidak dapat menerima tninuman. Kejang, meningitis dan sepsis merupakan

diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat generalisata dan mortalitasnya

tinggi. Higiene umbilikal yang buruk merupakan penyebabnya, namun

kesemuanya dapat dicegah dengan vaksinasi maternal, bahkan selama

kehamilan. (Sudoyo, 2011)

Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat yang

meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan perawatan intensif,

menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas

otonomik yang nyata. Sistem saraf simpatetiklah yang paling jelas

dipengaruhi. Secara klinis, peningkatan tonus simpatik menyebabkan

26

Page 27: BAB I

takikardia persisten dan hipertensi. Dijumpai vasokonstriksi yang tampak

jelas, hiperpireksia, keringat berlebihan. (Sudoyo, 2011)

Badai autonomik terjadi dengan adanya innstabilitas kardiovaskular yang

tampak nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan

hipotensi berat, bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini Iebih

merupakan akibat perubahan resistensi vaskular sistemik daripada

perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung. Selama 'badai' ini, kadar

katekolamin plasma meningkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip

dengan yang dijumpai pada feokromositoma. Norepinefrin Iebih

terpengaruh daripada epinefrin. Hiperaktivitas neuronal Iebih mendominasi

daripada hiperaktivitas medula adrenal. Henti jantung mendadak kadang-

kadang terjadi, tapi mekanisme yang mendasarinya belumlah jelas.

Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi

profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal

ginjal curah tinggi {high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan

otonomik.

Telah jelas adanya keterlibatan sistem saraf simpatis. Peranan sistem saraf

parasimpatis kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada

nukleus vagus, di mana pada saat yang bersamaan terpapar toksin sehingga

menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan. Hipotensi, bradikardia dan asistol

dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas vagal. (Sudoyo, 2011)

Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur, ruptur

otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan

rabdomiolisis.

27

Page 28: BAB I

Tetanus Neonatorum

Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan

biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada

anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat,

terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko

infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungsn, dan

kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2

minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme

merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang

terinfeksi, 90 % meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan

hidup. (Sudoyo, 2011)

Tetanus Lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya

terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi

akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya

bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke

tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya

baik. (Sudoyo, 2011)

Tetanus Sefalik

Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang

terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari.

Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau Iebih saraf kranial, yang tersering

adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi.

Mortalitasnya tinggi. (Sudoyo, 2011)

28

Page 29: BAB I

Perjalanan Klinis

Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-

rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala

pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset

yang Iebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang Iebih

berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin

parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme

dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu

tetapi kekakuan tetap bertahan Iebih lama. Pemulihan terjadi karena

tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa

memerlukan waktu sampai 4 minggu. (Sudoyo, 2011)

Derajat Keparahan

Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Philllips, Dakar,

Udwadia) yang dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem

yang paling sering dipakai.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:

Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas

generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa

disfagia

Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme

singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan

frekuensi pernafasan Iebih dari 30, disfagia ringan.

Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generaisata, spasme refleks

berkepanjangan, frekuensi peraafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat

dan takikardia lebih daril20.

29

Page 30: BAB I

Derajat FV (sangat berat): Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat

melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi

berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

Dampak dari terserangnya seseorang oleh tetanus antara lain yaitu terjadi

perubahan kardiovaskular, perubahan fisiologi respirasi, perubahan pada sistim

ginjal sampai terjadi komplikasi. (Sudoyo, 2011)

Perubahan Fisiologi Kardiovaskular

Terdapat relatif sedikit penelitian tentang efek tetanus pada sistem

kardiovaskular. Suatu problem adalah bahwa efek hemodinamik dari

komplikasi dan terapi dapat menutupi efek sesungguhnya dari tetanus itu

sendiri. Udwadia meneliti 27 pasien dengan Ablett derajat III/IV yang stabil

dan tanpa terapi yang mempengaruhi hemodinamik. Sembilan belas di

antaranya dengan tetanus tanpa komplikasi, sedangkan delapan yang lain

dengan komplikasi (dengan pneumonia, sepsis, ARDS). Penelitiannya yang

berskala luas meliputi gambaran kardiovaskular dari tetanus, perubahan-

perubahan yang :erjadi selama spasme yang tidak terkontrol, selama rsiaksasi

yang intensif, selama pemulihan dan pengaruh p^emberian cairan pada tetanus

dibandingkan dengan sukarelawan sehat. la juga meneliti pasien-pasien selama

periode instabilitas kardiovaskular akibat 'badai oionomik'. Tetanus berat

tanpa komplikasi ditandai dengan isi hiperkinetik. Takikardia bersifat

universal disertai meningkatnya indeks volume sekuncup jantung dan

meningkatnya indeks kardiak. Penemuan yang lain

adalah resistensi vaskular sistemik yang normal rendah

dan tekanan pengisian sisi kiri dan kanan jantung yang

abnormal. Penemuan-periemuan ini mirip dengan yang

ditemukan oleh James dan Manson. Kondisi hiperkinetik

memperberat selama peningkatan aktivitas spasme dan

kurangnya relaksasi. Abnormalitas hemodinamik kurang

30

Page 31: BAB I

selama periode relaksasi muskuler penuh tetapi

pengukuran-pengukuran itu hanya secara bertahap

kembali ke nilai normalnya selama masa pemulihan.

pemberian cairan sebanyak 2000 ml meningkatkan tekanan

pesgisian jantung kiri dan indeks jantung, tapi efek ini

hanya bersifat sementara. Selama 'badai otonomik',

dengan instabilitas kardiovaskular yang jelas, pasien

mengalami fluktuasi dari kondisi hiperstimulasi dari

(tekanan arterial mencapai 220/120mmHg) dan

nadinya (denyut jantung 13O-19Ox/menit) . Terdapat sedikit perubahan pada

indeks jantung dan tekanan pengisian jantung. Apabila dibandingkan dengan

derajat yang lebih berat, pasien dengan derajat IV kurang mungkin menaikkan

indeks kardiak atau indeks-indeks kerja jantung sebagai respons terhadap

pemberian cairan atau selama peubahan resistensi vaskular yang dijumpai

selama 'badai otonomik'.Satu pasien dengan hipertensi berat berkepanjangan

dijumpai menunjukkan peningkatan resistensi vaskuler masif dengan SVRI

lebih tinggi dari 4500 dine cm'5 nr2- Pada tetanus tanpa komplikasi,

pengukuran-pengukuran tersebut di atas bervariasi luas dengan tanpa

konsistensi. Sirkulasi hiperkinetik terutama disebabkan peningkatakn

aktivitas simpatetik basal dan peningkatan aktivitas otot dengan efek yang

lebih lemah dari meningkatnya temperatur. SVRI yang normal rendah

disebabkan venodilatasi ekstensif dalam otot yang aktis secara metabolik. Rasio

ekstraksi oksigen tidak berubah pada tetanus dan peningkatan kebutuhan

oksigen dipenuhi dengan meningkatnya aliran darah. Kontrol spasme yang

buruk memperberat efek-efek ini. Pemberian cairan menyebabkan hanya

peningkatan sementara tekanan pengisian jantung, indeks kardiak dan

LVSWI, karena sirkulasi secara luas mengalami venodilatasi dan oleh karena

itu merupakan sistem kapasitansi yang tinggi apabila dibandingkan dengan

kontrol normal. Pada tetanus tanpa komplikasi, sistem kardiovaskular, oleh

karena itu menyerupai pasien normal yang melakukan aktivitas fisik intensif. 31

Page 32: BAB I

Pasien derajat IV tampak kurang menunjukkan peningkatkan kemampuan

jantung dan oleh karena itu lebih rentan terhadap hipotensi berat dan shok

selama 'badai vasodilatori akut'. Mekanismenya tidak jelas, tapi mungkin

berkaitan dengan berkurangnya stimulasi katekolamin secara mendadak atau

efek langsung toksin tetanus terhadap myokardium. Perubahan fungsi

myokardium mungkin disebabkan peningkatan kadar katekolamin yang

menetap, tatapi fungsi yang abnormal mungkin terjadi bahkan pada kondisi

tanpa sepsis atau kadar katekolamin yang tinggi. (Sudoyo, 2011)

Perubahan Fisiologi Respirasi

Rigiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diagfragma dan

abdomen menyebabkan adanya defek restriktif. Adanya spasme faringeal

dan laringeal merupakan pertanda adanya gagal nafas dan obstruksi jalan

nafas yang mengancam jiwa. Ketidakmampuan pasien untuk batuk, akibat

rigiditas, spasme dan sedasi mengakibatkan atelektasis dan resiko tinggi

terjadinya pneumonia. Ketidakmampuan untuk menelan yang berlebih,

sekresi bronkial yang profus, spasme faringeal, peningkatan tekanan

intrabdominal dan stasis gaster, semuanya meningkatkan resiko aspirasi yang

umum terjadi pada pasien tetanus. Gangguan ventilasi/perfusi umum terj adi.

Akibamya hipoksia merupakan keadaan yang umum dijumpai pada tetanus

sedang dan berat bahkan pada keadaaan dimana gambaran foto thorax bersih.

Tekanan oksigen, udara pernafasan antara 5,3-6,7 kPa umum dijumpai. Pada

pasien yang diberikan pernafasan buatan, peningkatangradien A-a bersifat

menetap. Penghantaran oksigen dan penggunaannya dapat terganggu bahkan

tanpa perubahan patologis paru tambahan. Sindroma distress pernafasan akut

mungkin terjadi sebagaui komplikasi spesifik tetanus. Perubahan ventilasi

ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang bervariasi. Hiperventilasi dapat

terjadi karena ketakutan, gengguan otonomik, atau perubahan fungsi batang

otak. Hipokarbia (PC02 4.0-4.6 kPa) umum terjadi pada tetanus ringan sampai

32

Page 33: BAB I

sedang. 'Badai hiperventilasi' dapat berakibat hipokarbia berat (PCO2<3,3

kPa). Pada tetanus berat, hipoventilasi akibat spasme berkepanjangan dan

apneu terjadi. Sedasi, kelelahan dan perubahan fungsi batang otak mungkin

juga berakibat gagal nafas. Kemampuan respirasi dapat berkurang yang

berakibat terjadinya periode apnea yang mengancamjiwa. (Sudoyo, 2011)

Perubahan Fisiologi Ginjal

Pada tetanus ringan, fungsi ginjal tidak teganggu. Pada tetanus yang berat,

sering terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dan gangguan fungsi tubulus

ginjal. Penyebab tambahan gagal ginjal pada tetanus mencakup dehidrasi,

sepsis, rabdomyolisis dan perubahan dalam aliran darah ke ginjal yang terjadi

secara sekunder akibat peningkatkan mendadak kadar katekolamin. Gagal ginjal

dapat oligourik atau poliurik. Gangguan ginjal yang penting secara Minis

berkaitan dengan instabilitas otonomik dan gambaran histologisnya normal

atau menunjukkan nekrosis tubular akut. (Sudoyo, 2011)

Komplikasi

Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme,

atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang

mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari

perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator. (Sudoyo,

2011)

Metode eliminasi yang dapat digunakan adalah beberapa tindakan seperti

dibawah ini :

A. Pecegahan

Dengan upaya pencegahan yang baik maka angka kesakitan dan angka

kematian yang disebabkan oleh tetanus dapat diturunkan. Upaya-upaya tersebut

adalah :

33

Page 34: BAB I

1. Imunisasi aktif dengan toksoid. Diharapkan semua wanita usia subur sudah

mendapatkan suntikan toksoid sebanyak 5 kali sebelum ia hamil. Status

imunisasi yang demikian disebut tetanus toksoid (TT) 5 dosis yang akan

memberi perlindungan terhadap tetanus selama 25 tahun. Juga kepada pasien

yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif di imunisasi karena

imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan

tetanus.

2. Perawatan luka. Dilakukan dengan pemberian hidrogen peroksida (H2O2)

untuk oksigenasi luka di jaringan tubuh.

3. Persalinan yang bersih. Persalinan dengan 3 bersih (yaitu bersih tempat,

alat, dan tangan penolong persalinan) dengan perhatian pada saat

pemotongan tali pusat. ( Widyono, 2008)

B. Pengobatan

Setiap penderita tetanus harus dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan

pelayanan dengan fasilitas tertentu. Setelah menemukan kasus ini, petugas

lapangan perlu segera merujuk penderita ke rumah sakit terdekat. Kecepatan

merujuk sangat berpengaruh pada angka kematian kasus. Pengobatan di rumah

sakit umumnya meliputi :

1. Pemberian antibiotik untuk membunuh bakteri, biasanya dengan pensilin

atau tetrasiklin.

2. Pemberian antikejang.

3. Perwatan luka atau penyakit penyebab infeksi.

4. Pemberian antitetanus serum (ATS)

C. Program Pemberantasan

1. Tujuan

Sesuai dengan kesepakatan global, departemen kesehatan menetapkan tujuan

umum tercapainya target maternal neonatal tetanus elimination di setiap

kabupaten atau kota, sementara tujuan khsunya yaitu : 34

Page 35: BAB I

a. Semua WUS pada kabupaten berisiko tinggi mendpatkan TT 5 dosis.

b. Semua WUS di SMA dan tempat kerja mendapatkan TT 5 dosis.

1. Kebijakan

a. Imunisasi TT pada WUS dimaksudkan untuk memberi perlindungan seumur

hdup terhadap tetanus.

b. Imunisasi TT pada WUS dilaksanakan terpadu lintas program.

c. Kegiatan akselerasi imunisasi di kabupaten/kota dihentikan bila status TT 5

dosis pada WUS sudah mencapai > 80%.

d. Pemberian TT dilakukan berdasarkan hasil skrining status TT.

2. Strategi

a. Priorotas imunisasi WUS oada daerah beresiko tinggi.

b. Diarahkan pada WUS yang terkelompok (misalnya pada industri,

perdagangan, atau perkebunan).

c. Imunisasi TT pada anak SMA.

d. Imunisasi pada calon pengantin dan ibu hamil tetap diteruskan.

e. Promosi kesehatan.

3. Kegiatan

a. Pertemuan lintas sektor.

b. Pendataan semua WUS berusia 15-39 tahun.

c. Pemetaan dengan sistem skoring.

d. Pembuatan jadwal pelaksanaan imunsasi (Januari-februari)

e. Pelaksaan imunisasi. ( Widyono, 2008)

35

Page 36: BAB I

4. HIV dan AIDS

Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam

Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO yang

mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia

pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang

terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara

bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,

krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain

HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan,

AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan

pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. (Sudoyo, 2008)

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai

kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan

tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang

termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Kasus

pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari

beberapa literatur sebelumnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi

surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Sampel

jaringan potong beku dan serum dari seorang pria berusia 15 tahun di St. Louis,

AS, yang dirawat dengan dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi diseminata

dan agresif pada 1968, menunjukkan antibodi HIV positif dengan Western

Blot dan antigen HIV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi ke

luar negeri sebelumnya, sehingga diduga penularannya berasal dari orang lain

yang juga tinggal di AS pada tahun 1960-an, atau lebih awal. Virus penyebab

AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu

itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus) sedangkan Robert Gallo

menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-

III. Sedangkan tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara Elisa

baru tersedia pada tahun 1985. (Sudoyo, 2008)

36

Page 37: BAB I

Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan

HIV/AIDS) lebih dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi,

sebagai subjek dan tidak dianggap sebagai sekadar objek, sebagai pasien.

Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen

Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali.

Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang

secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga kali

diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu

dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai

kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS

Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia dan termasuk jenis non-

progessor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17

tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta

masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002. (Sudoyo,

2008)

Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HTV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi

mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yangpenting. Hilangnya fungsi

tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif. Kejadian infeksi

HTV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency

Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada tnukosa

vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening

regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening makaka

dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang

mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7

sampi 14 hari setelah inokulasi. Viremia SFV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi.

Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening

berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang

mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat

37

Page 38: BAB I

dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik.

Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit

CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit

CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV

berada pada keadaan ''steady-state' beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini

bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat

bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan

demikan juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas

kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu. Antibodi muncul

di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum

dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke

level 'steady- state'. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas

netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat

mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan

melakukan adaptasi pada amplop-nya, termasuk kemampuannya

mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah

sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi. (Sudoyo,

2008)

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,

sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap

terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk

tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS

sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi

HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit

tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan

perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. Infeksi HIV tidak akan

langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan

gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala

yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah

38

Page 39: BAB I

bening, fuam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV

asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung

selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan

penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang

perjalanannya lambat (non-progressor), Seiring dengan makin memburuknya

kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi

oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,

pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes,

dll. Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak

menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang

terinfeksi" HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala

klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten

secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut

penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh

adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV

yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi

in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di

peredaran darah tepi. Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa

sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV

yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan

mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan

replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh

masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10' sel

setiap hari. Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih

dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup

jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika dan

biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya

penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan dengan infeksi pneumonia

dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan,

makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara 39

Page 40: BAB I

bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman

penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat

sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan

reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya

biasanya lebih progresif. Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada

pengguna narkotika ini juga tercermin dari hasil penelitian di RS dr. Cipto

Mangunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik yang berasal dari

pengguna narkotika, dengan kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm3. Ternyata 56,14%

mempunyai jumlah virus dalam darah {viral load) yang melebihi 55.000

kopi/ml, artinya penyakit infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif

masih cukup baik. (Sudoyo, 2008)

Penularan penyakit ini bisa melalui betbagai cara, antara lain melalui cairan

tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus terdapat juga dalam saliva,

air mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat dalam air mata

dan keringat. Pria yang sudah disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil

dibandingakan dengan pria yang tidak disunat. (Sudoyo, 2008)

Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui :

a. Ibu hamil

Secara intrauterin, intrapartum, dan postpartum (ASI)

Angka transmisi mencapai 20-50%

Bayi normal memperoleh antibodi HIV (dari ibu yang tekena HIV) selama 6-

15 bulan.

b. Jarum suntik

Prevalensi 5-10%

Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena

penyalahgunaan obat.

c. Transfusi darah

Risiko penularan sebesar 90%

40

Page 41: BAB I

Prevalensi 3-5%

d. Hubungan seksual

Prevalensi 70-80%

Kemungkinan tertular adalah 1 kali dalam 200 kali hubungan intim

Gejala klinis pada seseorang yang positif mengidap HIV antara lain yaitu:

Menurunnya daya tahan tubuh secara berangsur angsur, dengan masa inkubasi

6 bulan sampai 5 tahun.

Window period selama 6-8 minggu, adalah waktu saat tumbuh terinfeksi HIV

tetapi belum terdeteksi oleh pemeriksaan labolatorium.

Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika tidak

diobati, maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS.

Gejala klinis muncul sebagai penyakit yang khas seperti:

a) Diare kronis

b) Kandidiasis mulut yang luas

c) Pneumocystis carinii

d) Pneuonia interstinalis limfositik

e) Ensefalopati kronik.

Metode eliminasi yang digunakan pada kasus HIV dan AIDS meliputi :

A. Pengobatan dan pencegahan

Pengobatan pada penderita HIV/AIDS meliputi :

1. Pengobatan suportif

2. Penanggulangan penyakit oportunistik

3. Pemberian obat antivirus

4. Penanggulangan dampak psikososial

41

Page 42: BAB I

Pencegahan penyakit HIV/AIDS antara lain :

1. Menghindari hubungan seksual dengan penderita AIDS atau tersangka

penderita AIDS.

2. Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau

dengan orang yang mempunyai banyak pasangan.

3. Menghindari hubungan seksual dengan pecandu narkotika dan obat suntik.

4. Melarang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok berisiko tinggi

untuk melakukan donor darah.

5. Memberikan transfusi darah hanya untuk pasien yang benar-benar

memerlukan.

6. Memastikan sterilitas alat suntik.

Obat antivirus HIV/AIDS adalah :

1. Didanosin (ddl)

Dosis : 2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg)

2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB > 60 kg)

2. Zidovudin

Dosis : 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100 mg, pada saat

penderita tidak tidur.

3. Lamivudin (3TC)

4. Stavudin (d4T)

Obat ARV (antiretrovirus) masih merupakan terapi pilihan karena :

Obat ini bisa memperlambat progresitifitas penyakit dan dapat

memperpanjang daya tahan tubuh.

Obat ini aman, mudah dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan

sampai mendekati nol melalui indentifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif

dan pengelolaan klinis yang agresif.

Hasil penelitian dalam hal upaya pencegahan dengan imunisasi belum

memuaskan.42

Page 43: BAB I

B. Program pemberantasan

Komisi penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) tahun 2006 menentukan

kebijakan penanggulangan penyakit HIV/AIDS secara nasional.

A. Arah kebijakan

1. Peningkatan upaya pencegahan

Pengurangan dampak buruk (harm reduction) penasun (pengguna NAPZA

suntik).

Peningkatan program pemakaian kondom 100% pada setiap hubungan seksual

yang beresiko.

Pencegahan penularan ibu ke bayi (PMTCT, prevention of mother-to child

transmission).

Transfusi darah yang aman.

Kewaspadaan universal (UP, universal precaution)

2. Peningkatan jumlah dan mutu

Pelayanan pengobatan IMS (infeksi menular seksual)

Peningkatan jumlah dan fungsi klinik VCT

Perawatan, dukungan, dan pengobatan (CST, care, support, and treatment)

pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS)

3. Penguatan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) di semua tingkat.

4. Peningkatan peraturan perundang-undangan dan anggaran.

5. Peningkatan KIE (komunikasi,informasi, dan edukasi)

6. Memperkuat monitoring dan evaluasi.

7.

B. Target

Target yang ditetapkan sesuai dengan delapan target kunci menuju 2010 yaitu :

43

Page 44: BAB I

1. 80% populasi yang paling beresiko, terjangkau oleh program pencegahan

yang komperhensif.

2. Perubahan perilaku pada 60% populasi paling beresiko.

3. 80% dari mereka yang memenuhi syarat, menerima pegobatan dengan ARV.

4. Sumber daya dan dana memenuhi estimasi kebutuhan pada tahun 2008.

5. Presentase ibu hamil dengan HIV dan yang menerima profilaksis HIV.

C. Kegiatan

Kegiatan disesuaikan dengan 8 kegiatan yang tercantum dalam SPM (standar

pelayanan minimal) yang sudah ditetapkan oleh KPAN, meliputi :

1. Komunikasi perubahan prilaku.

2. Promosi pemakaian kondom (PPK) 100%

3. Klinis IMS

4. VCT

5. Harm reduction

6. CST

7. PMTCT

8. Komunikasi publik

6. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)

Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi

saluran napas yang disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala

klinis yang berat. SARS berpotensi untuk menyebar dengan sangat cepat

sehingga menimbulkan implikasi yang besar bagi para tenaga kesehatan.

Selanjutnya, dengan meningkatnya jumlah penerbangan internasional selama

beberapa dekade terakhir, memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi SARS

yang luas hingga lintas benua dan menjadi suatu ancaman internasional.

44

Page 45: BAB I

Saat SARS muncul pada Maret 2003 di Guangzhou, SARS digambarkan

sebagai suatu pneumonia yang atipik. Pada saat itu, etiologi penyakit ini masih

belum diketahui, sehingga pemeriksaan diagnostik yang sesuai pun belum

tersedia. Satu-satunya alat penunjang diagnostik yang tersedia dan digunakan

sebagai pedoman definisi kasus oleh World Health Organization (WHO) dan

Center for Disease Control (CDC) hanyalah dari tampilan gejala klinis dan

riwayat kontak dengan pasien SARS. Saat ini penyebab SARS sudah berhasil

diketahui, yaitu berupa infeksi virus yang tergolong ke dalam Genus

Coronavirus (CoV). CoV SARS biasanya bersifat tidak stabil bila berada di

lingkungan. Namun virus ini mampu bertahan selama berhari-hari pada suhu

kamar. Vims ini juga mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik bila

masih berada di dalam feses. (Sudoyo, 2008)

Genus Coronavirus berasal dari ordo Nidovirales, yaitu golongan virus

yang memiliki selubung kapsul dan genom RNA rantai tunggal. Berdasarkan

studi genetik dan antigenisitas, CoV terbagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu; 1).

Kelompok 1, human CoV 229E dan porcine transmissible gastroenteritis virus;

2). Kelompok 2, human Co V OC34, bovine coronavirus, mice hepatitis virus;

dan 3). Kelompok 3, virus bronkhitis infeksiosa. Menurut berbagai penelitian

yang telah dilakukan, CoV SARS diketahui memiliki reaktivitas silang

dengan anti serum yang diproduksi oleh CoV 229E. Namun pada analisa

sequences genom, CoV SARS memiliki struktur genom yang berbeda dengan

genom CoV yang ada. Sehingga disimpulkan, bahwa CoV yang muncul baru-

baru ini dan menyebabkan outbreak SARS pada tahun 2003 adalah jenis baru

yang sama sekali belum pernah muncul sebelumnya (novel coronavirus).

Cara penularan CoV SARS yang utama ialah melalui kontak langsung membran

mukosa (mata , hidung dan mulut) dengan droplet pasien yang terinfeksi. Kasus-

kasus SARS terutama dilaporkan pada orang-orang yang memiliki riwayat

kontak langsung dengan pasien SARS yang sakit berat, sehingga kelompok

yang memiliki risiko terbesar untuk tertular virus ini ialah para tenaga medis yang

45

Page 46: BAB I

bekerja di rumah sakit. Kenyataan ini mengharuskan pemberlakuan pengendalian

infeksi yang optimal di seluruh rumah sakit sebagai proteksi bagi para tenaga

medis dan pengendalian infeksi di komunitas untuk mengurangi terjadinya

penularan di masyarakat. Selain kontak langsung dengan droplet pasien yang

terinfeksi, berbagai prosedur aerosolisasi di rumah sakit (intubasi, nebulisasi,

suction dan ventilasi) dapat meningkatkan risiko penularan SARS oleh

karena kontaminasi alat yang digunakan, baik droplet, maupun materi

infeksius lainnya seperti partikel feses dan urin. Selain itu, kemungkinan

penularan virus melalui benda-benda yang menyerap debu dan sulit untuk

dibersihkan, seperti karpet, juga masih perlu diselidiki lebih lanjut. Peran jalur

fekal-oral dalam penularan CoV SARS masih belum diketahui. Saat terjadinya

outbreak SARS di Hong Kong, dilaporkan 20%-73% kasus SARS memberikan

gejala diare. Begitu juga dengan kasus SARS yang terjadi di Vietnam,

Guangzhou, hingga Ontario, diare pada SARS telah dilaporkan di masing-

masing daerah dengan prevalensi yang bervariasi. Meskipun demikian,

masih belum ada laporan yang menguatkan bilamana diare tersebut muncul

sebagai akibat dari penularan melalui jalur fckal oral, sehingga rute ini tetap

menjadi tanda tanyabesar di dalam penularan CoV SARS. Namun dengan

diketahuinya jumlah virus yang banyak terdapat di dalam feses pasien-pasien

SARS, serta dengan kemungkinan munculnya diare, maka kedua hal tersebut

tetap harus menjadi perhatian khusus para tenaga medis di dalam alteraatif

penularan CoV SARS selama belum ada hasil evidence based yang

menyangkal. (Sudoyo, 2008)

SARS secara klinis lebih banyak melibatkan saluran napas bagian bawah,

dibandingkan dengan saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah,

sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena daripada trakea ataupun

bronkus. Menurut hasil pemeriksaan post mortem yang dilakukan, diketahui

bahwa SARS memiliki 2 fase di dalam patogenesisnya. Fase awal terjadi selama

10 hari pertama penyakit, pada fase ini terjadi proses akut yang mengakibatkan

46

Page 47: BAB I

diffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif. Fase ini dicirikan dengan

adanya infiltrasi dari campuran sel-sel inflamasi serta edema dan pembentukan

membran hialin. Membran hialin terbentuk dari endapan protein plasma serta

debris nukleus dan sitoplasma sel-sel epitel paru (pneumosit) yang rusak.

Dengan adanya nekrosis sei-sel epitel paru maka barrier antara sirkulasi darah

dan jalan udara menjadi hilang sehingga cairan yang berasal dari pembuluh

darah kapiler paru menjadi bebas untuk masuk ke dalam ruang alveolus.

Namun demikian, karena keterbatasan jumlah pasien SARS yang meninggal

untuk diautopsi, maka masih belum dapat dibuktikan apakah kerusakan sel

epitel paru tersebut disebabkan oleh efek toksik virus secara langsung atau

sebagai akibat dari respon imun tubuh. Pada tahap eksudatif ini, RNA dan

antigen virus dapat diidentifikasi dari makrofag alveolar dan sel epitel paru

dengan menggunakan mikroskop elektiron. Fase selanjutnya dimulai tepat

setelah 10 hari perjalanan penyakit dan ditaridai dengan perubahan pada DAD

eksudatif menjadi DAD yang terorganisir. Pada periode ini, terdapat

metaplasia sel epitel skuamosa bronkial, bertambahnya ragam sel dan fibrosis

pada dinding dan lumen alveolus. Pada fase ini tampak dominasi pneumosit tipe

2 dengan pembesaran nukleus, serta nukleoli yang eosinofilik. Selanjutnya,

seringkali ditemukan sel raksasa dengan banyak nukleus {multinucleated giant

cells) di dalam rongga alveoli. Seperti infeksi CoV lainnya, maka sel raksasa

tersebut awalnya diduga sebagai akibat langsung dari CoV SARS. Tetapi

setelah dilakukan pemeriksaan imunoperoksidase dan hibridisasi in situ,

didapatkan bahwa CoV SARS justru berada di dalam jumlah yang rendah. Maka

disimpulkan, bahwa pada fase ini berbagai proses patologis yang terjadi tidak

diakibatkan langsung oleh karena replikasi virus yang terus menerus, melainkan

karena beratnya kerusakan sel epitel paru yang terjadi pada tahap DAD eksudatif

dan diperberat dengan penggunaan ventilator. (Sudoyo, 2008)

Gejala prodromal. SARS memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 14 hari dengan

rata-rata waktu sekitar 4 hari. Gejala prodromal SARS dimulai dari gejala infeksi

47

Page 48: BAB I

sistemikyang tidak spesifik seperti demam, myalgia, menggigil dan rasa kaku-

kaku di tubuh, batuk non-produktif, nyeri kepala dan pusing. Demam dengan suhu

tubuh >38 °C termasuk dalam definisi kasus awal {initial case definition).

Gejala ini tergolong gejala tipikal yang dilaporkan pada hampir seluruh

pasien SARS. Meskipun demikian, tidak semua pasien SARS menunjukkan

gejala demam. Misalnya pada pasien-pasien usia lanjut, demam mungkin

menjadi gejala yang tidak menonjol. Demam tinggi yang naik turun seringkali

berhubungan dengan rasa menggigil dan kaku-kaku di tubuh. Selain itu pasien

juga sering merasa sangat lelah disertai dengan nyeri otot yang dirasakan di

sekujur tubuh. Pada beberapa kasus, demam menghilang dengan sendirinya

pada hari ke-4 hingga ke-7, tetapi ini tidak mengindikasikan adanya perbaikan

dari gejala-gejala yang ada. Kenaikan ulang suhu tubuh dan perburukan dari

gejala-gejala penyakit seringkali muncu Gejala penyakit yang tidak spesifik

lainnya seperti pusing, nyeri kepala dan malaise juga umum ditemukan pada

pasien-pasien SARS. Gejala pusing yang sangat berat telah dilaporkan pada

pasierj-pasien yang berusia muda, diantaranya bahkan mengalami pingsan

saat mencoba bangun dari tempat tidur. Hal ini mungkin berkaitan dengan

munculnya hipotensi pada pasien-pasien tersebut. Banyak pasien mengalami

batuk-batuk kering saat fase awal penyakit. Nyeri tenggorok dan sekresi

lendir hidung yang berlebih (coryza) jarang ditemukan.l pada minggu ke-2.

Pada fase ini suara nafas akan terdengar jernih pada saat auskultasi. Tergantung

dari waktu kedatangan, 80% pasien SARS menunjukkan gambaran radiologis

foto dada yang normal pada saat kunjungan pertama. Namun hal ini tentunya tidak

dapat digunakan untuk mengeksklusi diagnosis SARS dan foto radiologis

ulangan perlu dilakukan. (Sudoyo, 2008)

Manifestasi pernapasan. Penyakit paru adalah manifestasi klinis yang utama

dari SARS. Gejala berupa batuk-batuk kering, terdapat pada 60-85% kasus dan

biasanya pasien akan merasa sesak ketika batuk. Pada auskultasi sering

didapatkan ronki di basal paru. Mengi biasanya tidak ditemukan. Sekitar akhir

48

Page 49: BAB I

minggu pertama dan awal minggu kedua, gejala-gejala tersebut dapat mengalami

perburukan. Pasien akan mengalami sesak napas yang semakin lama semakin

berat, dan pada akhirnya dapat membatasi kemampuan aktivitas fisik mereka.

Saturasi oksigen darah didapatkan semakin berkurang seiring dengan perjalanan

penyakit, Pada pencitraan, terdapat konsolidasi ruang udara yang fokal dan

unilateral pada tahap awal penyakit, yang kemudian segera berlanjut menjadi

multifokal dan semakin meluas pada minggu kedua. Meskipun proses ini dapat

mengenai seluruh lapang paru, namun terdapat kecenderungan predileksi di

daerah lobus bawah. Kadang-kadang didapatkan gambaran infiltrat paru yang

berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain dalam satu atau dua had.

Perubahan gambaran radiologis tersebut, sehubungan dengan penurunan viral

load, dapat digunakan sebagai dugaan kerusakan paru yang lebih cenderung

disebabkan oleh imunitas tubuh dibandingkan efek sitolisis virus secara langsung.

Gambaran CT scan toraks menunjukkan gambaran bronchiolitis obliterans

organizing pnemunia (BOOP), yakni suatu penyakit yang diperantarai oleh

sistem imunitas dan bersifat responsif terhadap terapi kortikosteroid. Sekitar

20-25% pasien mengalami progresi yang buruk ke arah gagal napas berat dan

acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga mengharuskan

perawatan ICU. Ventilasi mekanik dibutuhkan ketika suplementasi oksigen

dengan aliran tinggi tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan saturasi oksigen

tubuh. Pasien-pasien yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik memiliki

angka mortalitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien-pasien

yang tidak menggunakan. Kemudian, faktor-faktor lain yang berkaitan dengan

keluaran klinis yang buruk adalah usia lanjut, riwayat penyakit kardio-

pulmoner, infiltrat paru bilateral, jumlah netrofil yang tinggi, peningkatan

kreatinin kinase serum (CPK) dan peningkatan laktat dehidrogenase. Pada saat

terjadinya outbreak SARS, kebanyakan pasien-pasien SARS meninggal di

tempat perawatan ICU. Penyebab dari kematian tersebut adalah ARDS berat,

kegagalan fungsi multiorgan, infeksi sekunder dan septikemia, serta

komplikasi tromboembolik. (Sudoyo, 2008)49

Page 50: BAB I

Pheumotoraks dan pneumomediastinum telah banyak dilaporkan pada kasus-

kasus SARS yang berat. Hal ini dapat muncul spontan sebanyak 12%, atau

sebagai akibat dari penggunaan ventilator di ICU pada 20% lainnya.

Manifestasi pencernaan. Selain keluhan pernapasan, diare adalah gejala yang

penting dan paling sering dikeluhkan. Sebanyak 20% dari pasien-pasien SARS

mengalami diare pada saat kedatangan pertama dan 70% menunjukkan gejala

ini selama masa perjalanan penyakitnya. Biasanya diare yang terjadi ialah cair

dengan volume yang banyak tanpa disertai lendir maupun darah. Pada kasus

yang berat banyaknya cairan yang keluar mengakibatkan

ketidakseimbangan elektrolit dan deplesi cairan tubuh yang berlebih. Pada

beberapa kasus yang tidak disertai pneumonia, diare dan demam adalah satu-

satunya gejala yang tampak. Sementara, pada kasus-kasus yang lain, diare mulai

terjadi pada minggu kedua sakit, bersamaan dengan gejala demam yang rekurens

dan perburukan di paru. Namun demikian, diare pada SARS umumnya swasiraa

{self limiting) sehingga belum pernah ditemukan kasus SARS yang meninggal

karena diare. (Sudoyo, 2008)

Manifestasi hematologis. Berbagai kelainan yang ditemukan dari darah

pasien SARS penting untuk digunakan di dalam penegakkan diagnosis

penyakit. Limfopenia (<1000/mm3) ditemukan pada hampir semua pasien

SARS, dan pada kebanyakan kasus lebih sering mencapai kadar terendah

pada minggu ke dua sakit. Manifestasi limfopenia ini menjadi sangat penting,

bahkan tanpa disertai limfopenia yang progresif, maka diagnosis SARS

dipertanyakan. Peningkatan kadar limfosit umumnya terjadi pada minggu ketiga

dan hal ini dapat mencerminkan perbaikan keadaan klinis pasien. Namun

demikian 30% pasien SARS tetap mengalami keadaan limfopenik sampai dengan

minggu kelima sakit. (Sudoyo, 2008)

Leukositosis, yang terutama disebabkan oleh neutrofilia, juga sering

ditemukan pada pasien SARS. Neutrofilia kemungkinan berhubungan

50

Page 51: BAB I

dengan terapi kortikosteroid, namun pada pemeriksaan darah perifer beberapa

pasien lainnya, neutrofilia sudah didapatkan saat kedatangan pertama.

Tatalaksana sepsis hams dilakukan segera pada pasien-pasien SARS dengan

neutrofilia dan pemberian antibiotika spektrum luas secara empiris harus

dipertimbangkan. Kerusakan jaringan paru yang luas juga diduga sebagai

penyebab lain dari neutrofilia. Pasien-pasien yang datang sudah dengan

keadaan neutrofilia memiliki keluaran klinis yang lebih buruk. Trombositopenia

didapatkan pada lebih dari 50% kasus-kasus SARS. Tidak seperti demam

berdarah, diatesis hemoragik oleh karena rendahnya kadar trombosit sangat

jarang terjadi. Kadar trombosit akan kembali meningkat pada fase pemulihan.

. Trombositopenia ini dapat disebabkan oleh mekanisme imunologis atau

sebagai efek langsung virus pada megakariosit. Kadang-kadang

trombositopenia muncul sebagai akibat dari DIC. Dari tampilan klinis, petekie

dan ekimosis dapat ditemukan. (Sudoyo, 2008)

Meskipun manifestasi perdarahan sangat jarang terjadi, sebaliknya trombosis

vena tenyata lebih sering ditemukan. Kelainan ini paling banyak

bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam pada tungkai, yang semakin

diperkuat oleh pemeriksaan postmortem dengan ditemukannya

tromboemboli. (Sudoyo, 2008)

Manifestasi hati. Sebanyak 25% dari pasien-pasien SARS mengalami

peningkatan SGPT pada saat kedatangan pertama dan 70% mengalami

peningkatan tersebut selama perjalanan penyakit. Pada kebanyakan pasien,

peningkatan SGPT mulai terjadi hingga akhir minggu pertama sakit dan mencapai

puncak pada akhir minggu kedua. Tingginya kadar SGPT dapat digunakan untuk

menduga kemungkinan keluaran klinis yang lebih buruk dan derajat penyakit

yang lebih berat. Mayoritas pasien mengalami peningkatan SGPT secara

bertahap dan kembali secara spontan ke kadar yang normal seiring dengan

pemulihan dari penyakit. Penyebab dari peningkatan kadar SGPT ini tidak

diketahui dengan pasti. Namun, nampaknya peningkatan enzim hati ini 51

Page 52: BAB I

merupakan respon terhadap infeksi CoV SARS pada tubuh manusia dan bukan

diakibatkan oleh infeksi CoV yang spesifik di hepar (hepatitis). (Sudoyo, 2008)

Manifestasi kardiovaskular. Gejala-gejala yang terkait dengan sistem

kardiovaskular jarang ditemukan. Dari seri kasus yang didapatkan di Hong

Kong, kurang lebih 50% dari pasien SARS mengalami hipotensi (sistolik <100

mmHg dengan atau tanpa distolik < 50 mmHg) selama masa perawatan di rumah

sakit. Rendahnya tekanan darah ini berakibat timbulnya rasa pusing pada

banyak pasien. Takikardia yang persisten didapatkan pada 40% pasien SARS.

Manifestasi kardiovaskular yang terjadi pada pasien SARS umumnya tidak

memerlukan pengobatan dan bersifat asimtomatik. Hanya sebagian kecil pasien

SARS yang mengalami peningkatan kadar CK, dan kenaikan kadar enzim ini

ternyata tidak berhubungan dengan organ jantung. (Sudoyo, 2008)

Manifestasi neurologis. Keluhan pada sistem saraf juga jarang ditemukan

pada SARS. Kasus epilepsi dan disorientasi yang ditemukan pada SARS

pernah dilaporkan. Defisit neurologis fokal tidak pernah ditemukan, sementara dari

CT-Scan dan MRI juga tidak didapatkan gambaran abnormalitas struktur. Pada

pungsi lumbal dan analisa cairan serebrospinal juga tidak didapatkan

kelainan. Sehingga, sangat sulit untuk menentukan bila manifestasi pada sistem

saraf memang berhubungan langsung dengan CoV SARS atau oleh karena terapi

yang diberikan. (misal: kortikosteroid atau antibiotika). (Sudoyo, 2008)

Namun tenaga medis tetap harus waspada terhadap kemungkinan manifestasi

SARS pada sistem saraf, sebab pernah dilaporkan satu kasus SARS yang

menunjukkan status epileptikus selama perjalanan penyakitnya. Pada kasus

tersebut CoV SARS ditemukan di dalam CSS dan serum darah dalam kadar

yang cukup signifikan. Selanjutnya menurut hasil pemeriksaan lebih lanjut,

CoV SARS diketahui dapat menyebabkan demyelinisasi dari saraf otak.

Manifestasi atipik. SARS dapat memberikan gejala-gejala yang atipik terutama

pada pasien-pasien usia lanjut dan pasien-pasien imunokompromais, 52

Page 53: BAB I

sehingga membuat diagnosis SARS semakin sulit ditentukan. Sebagai contoh,

demam tinggi yang naik turun sebagai gejala yang paling sering ditemukan

pada pasien SARS, mungkin sulit didapatkan pada pasien usia lanjut meskipun

mereka sudah terkena pneumonia yang progresif. Pasien usia lanjut memiliki

masa inkubasi yang lebih lama sekitar 14-21 hari. Lebih lamanya rentang waktu

inkubasi, disebabkan oleh kesulitan dalam mendeteksi gejala sewaktu onset

karena gejala yang muncul tidak khas. Selain itu, pasien-pasien usia lanjut

seringkali memiliki berbagai macam permasalahan infeksi yang muncul

bersamaan sehingga semakin mengacaukan gejala SARS sendiri. Hal ini

menimbulkan berbagai kesulitan dalam diagnostik, penelusuran riwayat

kontak, pencegahan transmisi virus, dan pengendalian infeksi baik di rumah

sakit maupun komunitas. Oleh karena berbagai permasalahan tersebut, maka di-

agnosis SARS pada pasien usia lanjut dan pasien imunokompromais sangat

membutuhkan kewaspadaan dan ketelitian tenaga medis terhadap kemungkinan

SARS dan riwayat kontak, disertai dengan pengetahuan yang baik mengenai

permasalahan infeksi pada geriatri dan imunokompromais. Selain itu

mutlak diperlukan pengetahuan menyeluruh mengenai korelasi usia dengan

berbagai perubahan yang terjadi pada fisik dan kemampuan fungsi tubuh,

serta pengetahuan terkini yang terus berkembang mengenai SARS. (Sudoyo,

2008)

Metode eliminasi yang dilakukan yaitu :

A. Pencegahan :

Mencegah penularan melalui udara, droplet, atau kontak.

Penderita yang dicurigai SARS harus menggunakan masker sampai

dinyatakan bukan SARS

Mengupayakan perwatan penderita yang dicurigai SARS pada ruang isolasi.

53

Page 54: BAB I

B. Pengobatan :

Suportif : vitamin C dan B kompleks.

Simtomatik : analgesik, antitusif, mukolitik.

Profilaktik : antibiotik terapeutik dan profilaksis sesuai indikasi

Pemberian oksigen yang adekuat beserta penggunaan antivirus (ribavirin) sangat

membantu, tetapi mengingat persediaan dan harganya yang mahal, obat ini

belum bisa direkomendasikan secara luas.

7. Demanam Dengue

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic

/ever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan

manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,

ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi

perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan

hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue

(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh

renjatan/syok. Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh

virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae.

Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat

rantai tunggal dengan berat molekul 4x 106. Terdapat4 serotipe virus yaitu DEN-1,

DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue

atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia

dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara

serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese

encehphalitis dan West Nile virus. Dalam laboratoriurn virus dengue dapat

bereplikasi padahewan mamalia seperii tikus, kelinci, kelinci, anjing, kelelawar

dan primate. Survei epidemilogi pada hewan lernak didapatkan antibodi

54

Page 55: BAB I

terhudap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelilian pada

artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes

(Slc^itmyici) dan Toxorhynchiies. (Sudoyo, 2008)

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat

dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh

wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000

penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa

hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD

cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. (Sudoyo, 2008)

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes

(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya

berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan

bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng

bekas dan tempat penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi

biakan virus dengue yaitu: 1). vektor: perkemBangbiakan vektor, kebiasaan

menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat

ke tempat lain; 2). pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga,

mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3).

lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk. (Sudoyo,

2008)

Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saal ini inusih

diperdebatkan.Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa

mekanisme imunopatologis bcrperan dalam terjadinya demam berdarah

dengue dan sindrom renjatan dengue. Respons imun yang diketahui berperan

delam patogenesis DBD adalah: a), respons humoral berupa pembentukan

antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi

55

Page 56: BAB I

komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus

dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau

makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b).

limfosit T baik T-helper (CD4) dan T- sitotoksik (CD8) berperan dalam respon

imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan

memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi

IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis

virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan

peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu

aktivasi komplemen oleh kompleks imun meyebabkan terbentuknya

terbentuknya C3a dan C5a. (Sudoyo, 2008)

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous

infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang

virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi

amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang

tinggi. Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead

dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi

makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga

virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue

menyababkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin

dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit

sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-oc, IL-1, PAF

{platelet activating/actor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya

disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a

terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan

terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi

melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum tulang, dan 2). destruksi dan

pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase

awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi

56

Page 57: BAB I

megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan

proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin

dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan,

hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai

mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi

trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,

konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.

Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan

ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan

petanda degranulasi trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi

virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai

penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah

dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi

melalui aktivasi jalur ekstrinsik {tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga

berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak

{kalikrein Cl-inhibitor complex). (Sudoyo, 2008)

Program pemberantasan pada demam dengue

1. Tujuan

a) Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBD

b) Mencegah dan menanggulangi KLB

c) Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dala pemberantasan sarang

nyamuk (PSN)

2. Sasaran

Sasaran nasional (2000) :

a) Morbidilitas di kecamatan endemik DBD <2 per 10.000 penduduk.

b) CFR <2,5%

57

Page 58: BAB I

3. Strategi

a) Kewaspadaan dini

b) Penanggulangan KLB

c) Peningkatan keterampilan petugas

d) Penyuluhan

4. Kegiatan

a) Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis, PE) yaitu kegiatan

mendatangi rumah-rumah dari kasus yang diaporkan (indeks kasus) untuk

mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius 100 m dari

rumah indeks.

b) Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain.

Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan

kasus termasuk merujuk ke unit pelayanan kesehatan (UPK)

c) Abatisasi selektif (AS), yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida

(malation, losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radisu 1 RW per

400 rumah per dukuh.

d) Pemeriksaan jentik berkala (PJB), yaitu kegiatan reguler tiga bulan sekali,

dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan

sampel dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan

rumah di tengah sebagai pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan kegiatan ini

akan didapatkan angka kepadatan jentik atau HI ( house index)

e) Fogging focus (FF), yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida

(malation losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per

400 rumah per dukuh.

f) Pembentuka kelompok kerja (pokja) DBD di semua level administrasi, mulai

dari desa, kecamatan sampai tingkat pusat.

58

Page 59: BAB I

g) Menutup dan menguras tempat tempat penampungan air bersih, mengubur

barang bekas, dan membersihkan tempat yang berpotensi bagi

perkembangbiakan nyamuk.

h) Penyuluhan tentang gejala awal penyakit, pencegahan, dan rujukan

penderita.

5. Pencegahan

Kegiatan ini meliputi :

a) Pembersihan jentik

Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN)

Larvadisasi

Menggunakan ikan

b) Pencegahan gigitan nyamuk

Menggunakan kelambu

Menggunakan obat nyamuk

Tidak melakukan kebiasaan beresiko

Penyemprotan

C. Communicable Disease yang Disebabkan Oleh Artropoda

Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite)

Sarcoptes scabei, yang termasuk dalam kelas Arachnida. Tungau ini

berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat

mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut kutu badan. Penyakit ini juga

mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia dan

sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau melalui

sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui

baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah dipergunakan

penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya.59

Page 60: BAB I

Skabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti disela-sela jari,

siku, selangkangan. Skabies identik dengan penyakit anak pondok pesantren,

penyebabnya adalah kondisi kebersihan yang kurang terajaga, sanitasi yang

buruk, kurang gizi dan kondisi ruangan terlalu lembab dan kurang mendapat

sinar matahari secara langsung. Penyakit kulit scabies menular dengan cepat

pada suatu komunitas yang tinggal bersama sehingga dalam pengobatannya

harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh pada semua orang dan

lingkungan pada komunitas yang terserang skabies, karena apabila dilakukan

pengobatan secara individual maka akan mudah tertular kembali penyaki

tskabies (Yosefw, 2007).

Gambar 1.1. Sarcoptes scabei (Sumber: fcps.edu)

Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi

juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau

bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit

timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh

sensitisasi  terhadap sekret dan ekskret  tungau yang memerlukan waktu kira-

kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai

dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan

garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan

kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Handoko,

2001).60

Page 61: BAB I

Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun

kontak tak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung yang saling

bersentuhan atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk,

dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan

seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika Serikat

dilaporkan, bahwa skabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual

meskipun bukan merupakan akibat utama (Brown, 1999).

Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan

lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama

disatu  tempat yang relative sempit. Apabila  tingkat kesadaran yang dimiliki

oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan

penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang,

kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan

terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan

program kesehatan yang masih sering kita  jumpai, akan menambah panjang

permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada (Benneth, 1997).

Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu

tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang

menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas

kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas. Di Jerman terjadi peningkatan

insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak langsung seperti  tidur

bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di

lingkungan padat penduduk (Meyer, 2000).

Gejala klinis yang terdapat antara lain :

a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan

karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab

dan panas.

b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam

sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi.

Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya,61

Page 62: BAB I

serta kehidupan di pondok pesantren, sebagian besar tetangga yang

berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan

hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak

memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).

c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang

bewarna putih keabu-abuan, berbentuk garis  lurus atau berkelok, rata-

rata panjang satu cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau

vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf

(pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya

merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela

jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak bagian

depan, aerola mame (wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna

(pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak

tangan dan telapak kaki.

d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik dapat

ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

e. Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal

pada kulit yang umumnya muncul disela-sela  jari,  siku,  selangkangan

dan lipatan paha, dan muncul gelembung berair pada kulit.

(Mawali, 2000).

Pengobatan skabies dapat dilakukan dengan delousing yakni showerdengan 

air yang telah dilarutkan bubuk DDT (Diclhoro Diphenyl

Trichloroetan). Pengobatan lain adalah dengan mengolesi salep yang

mempunyai daya miticid baik dari zat kimia organic maupun non organic

pada bagian kulit yang terasa gatal dan kemerahan dan didiamkan selama 10

jam. Alternatif lain adalah mandi dengan sabun sulfur/belerang karena

kandungan pada sulfur bersifat antiseptik dan antiparasit, tetapi pemakaian

sabun sulfur tidak boleh berlebihan karena membuat kulit menjadi kering.

62

Page 63: BAB I

Akariasis

Akariasis adalah infestasi oleh artropoda, yaitu caplak dan tungau yang

dapat menimbulkan kelainan lokal maupun gangguan sistemik.

Caplak termasuk ordo Acarina yang tubuhnya terdiri dari segmen abdomen dan

segmen sefalotorak yang mengalami fusi menjadi satu sehingga bentuk

badannya mirip kantung. Caplak dapat dilihat dengan mata tanpa alat pembesar,

kulit dan badannya tebal dan tidak tembus sinar. Mulut caplak mudah dilihat

dengan sejumlah gigi untuk menggigit (Soedarto, 2009).

Akariasis dilaporkan dari seluruh dunia karena manusia dan berbagai

jenis hewan dapat menjadi tuan rumah tempat hidup artropoda ini (Soedarto,

2009).

Akibat gigitan caplak penderita dapat mengalami kelumpuhan saraf,

kelainan kulit dan anemia (pada hewan). Kelumpuhan saraf pada penderita

manusia umumnya terjadi pada anak berumur dibawah 10tahun, sedagkan

ganguan kulit dapat terjad akibat gigitan caplak(Soedarto, 2009).

Jika terjadi gigitan caplak, maka caplak harus dilepaskan pelan-pelan

dan hati-hati, dengan menetesi badan caplak dengan bahan iritan misalnya eter,

yodium, kloroform atau benzene.Caplak dapat diberantas dengan insektisida

yang sesuai. Untuk mencegah penularan akariasis, caplak harus diberantas dari

lingkungan peukiman dengan mengunakan insektisida.Kontak dengan hewan

harus dihindari.Lingkungan hidup harus dijaga kebersihannya agar tidak

menjadi tempat hidup caplak (Soedarto, 2009).

Pedikulosis

Pedikulosis disebabkan oleh ektoparasit yang hidup parasitik pada

manusia yaitu family Pediculidae yang termasuk dalam ordo Anoplura.Tiga

speses penting yang hanya hidup parasitik pada manusia adalah Pediculus

humanus, P.humanus corporis dan Phitrus pubis.Penyakit pedikulosis yang

ditimbulkannya mudah ditularkan melalui hubungan antar individu atau melalui

benda-benda pribadi yang digunakan bersama-sama (Soedarto, 2009).63

Page 64: BAB I

Infestasi Anoplura pada manusia disebut pedikulosis.Gigitan parasit ini

menyebabkan iritasi kulit yang terjadi akibat air liur yang dikeluarkan pada

waktu menghisap darah mangsanya.Akibat gigitan parasit ini terbentuk papul

merah yang terasa sangat gatal.Kulit membengkak dan berair.Infestasi berulang

menyebabkan terjadinya pengerasan kulit disertai pigmentasi.Keadaan ini

disebut morbus errorum atau vagabond’s disease (Soedarto, 2009).

Pengobatan pedikulosis ditujukan untuk mengobati rasa gatal dan

terhadap parasitnya dapat diberikan insektisida atau benzoas benzylus

emulsion.

1. Pedikulus Humanus Corporis

DDT bedak 10% dalam pyrophyllite untuk badan.Untuk parasite pada

pakaian, dilakukan desinfeksi pakaina dengan merebusnya kedalam otoklaf

suhu 60 derajat celcius selama 15 menit atau dilakukan fumigasi

menggunakan gas metil bromide.

2. Pedikulus Hominis Capitis

Diberikan insektisida yaitu salep BHC 1% atau bedak DDT 10% atau

diobati dengan benzoas benzylicus emulsion.

3. Phthirus Pubis

Salep lindane atau DDT 10% dapat diberikan.Jika terjadi infeksi pada bulu

mata dapat diberikan oksida kuning air raksa.

Mengobati penderita dengan baik akan mencegah penuaran pedikulosis oleh

penderita yang menjadi sumber infeksi. Selain itu harus dihindari kontak

langsung dengan penderita, bila perlu penderita diisolasi, misalnya pada

penderita scabies, selain itu diperlukan sosialisasi kepada masyarakat dari pihak

pemerintah untuk menekan angka dari kejadian pedikulosis(Soedarto, 2009).

D. Penyakit Communicable Desease karena protozoa.

Protozoa64

Page 65: BAB I

Amebiasis

Amebiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh Entamoeba

histolytica dan disebut sebagai penyakit bawaan makanan (Food Borne

Disease).Amebiasis merupakan penyebab ketiga kematian akibat infeksi parasit

di dunia setelah malaria dan skistomiasis.Pada dasar global, amebiasis

mengenai 50 juta orang per tahun, dan menyebabkan hampir 100,000 kematian

(Dhawan, 2008).

Amebiasis terjadi di seluruh dunia, namun prevalensi tertinggi terjadi

padadaerah tropis, negara berkembang dengan keadaan sanitasi buruk, status

social ekonomi yang rendah dan status gizi yang kurang baik serta di mana

strain virulensi E. histolytica masih tinggi.Kebanyakan mortalitas dan

morbiditas penyakit infeksi berlaku di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan

Amerika Sentral.Prevalensi E histolytica di berbagai daerah di Indonesia

berkisar di antara 10-18% (Junita et al, 2006).Hanya ±10% penderita menjadi

simptomatik dan berbeda simptomnya mengikut geografi.Prevalensi penderita

asimptomatik berkisar sebanyak ±90%, namun berbeda prevalensinya mengikut

geografi (Markel et al, 1999).

Persentase mortalitas bagi pasien dengan abses hepar nonkomplikasi

adalah kurang dari 1%, manakala fulminan kollitis amebiasis lebih

dari 50%.Pleuropulmonar amebiasis mempunyai persentase mortalitas 15-20%,

pericarditis amebik pula sebanyak 40%.Amebiasis serebral mempunyai

persentase yang paling tinggi iaitu 90% (Dhawan, 2008).

Di antara semua amebae intestinal, hanya entamoeba histolytica yang bersifat

patogen dan signifikan terhadap kesehatan manusia.Protozoa ini juga

merupakan penyebab utama disentri amebik (Yulfi, 2006).

Entamoeba histolytica ditransmisi terutamanya melalui fecal-oral secara direk,

kontak orang ke orang seperti menukar lampin bayi dan praktis seksual oral-

anal atau indirek melalui ingesti makanan atau minuman terkontaminasi.Faktor

transmisi fekal-oral ialah higine individu yang buruk terutama pada anak-anak

yangdijaga di tempat penitipan anak-anak, kemudian institusi seperti penjara, 65

Page 66: BAB I

rawat inap psikiatri, dan rumah anak yatim akibat displin kebersihan yang tidak

terjaga. Faktor lain ialah kawasan water-borne epidemics, diare migrans dan

wisatawan serta pria homoseksual yang melakukan kontak oral-anal. Penyaji

makanan ialah seseorang yang bertanggungjawab dalam menyajikan makanan,

berperan penting dalam penularan amebiasis jika menderita amebiasis

asimptomatis sehingga diperlukan higienis dan sanitasi yang baik dan etis

sebagaiusaha pencegahan.Atas dasar kenyataan tersebut di atas maka perlu

diketahui gambaran pengetahuan penyaji makanan amebiasis (disentri ameba).

Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa

bulan.E. histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu kista dan trofozoit yang

bergerak.Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Di

dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoit yang akan

menjadi dewasa dalam lumen kolon. Trofozoit menginvasi dinding usus dengan

cara mengeluarkan enzim proteolitik, penglepasan bahan toksik menyebabkan

reaksi inflamasi dan terjadi destruksi mukosa. Selanjutnya timbul ulkus dengan

kedalaman mencapai submukosa atau lapisan muskularis, tepi ulkus menebal

dan sedikit reaksi radang.Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi

imunitas humoral dan imunitas amebisidal berupa makrofag lymphokine-

activated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan

muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk

massa yang disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden.

Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa

bulan.Amebiasis dapat berlangsung tanpa gejala (asimptomatik).Penderita

kronis mungkin memiliki toleransi terhadap penyakit, sehingga tidak menderita

gejala lagi (symptomless carrier).Gejala dapat bervariasi, mulai rasa tidak enak

di perut hingga diare. Gejala yang khas adalah sindroma disentri, yakni

kumpulan gejala gangguan pencernaan yang meliputi diare berlendir dan

berdarah, lunak disertai tenesmus, tinja berbau busuk, demam ringan, kembung

dan nyeri perut ringan, diare dapat mencapai 10X dalam sehari Lesi yang

tipikal terjadi di usus besar, yakni adanya ulkus karena kemampuan amoeba ini 66

Page 67: BAB I

menginvasi dinding usus. Pada pemeriksaan fisik didapati mata cekung , kering,

turgor kulit menurun , bising usus meningkat.

Sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil

pengobatan.Walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya diobati,

karena amoeba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar,

sewaktu-waktu dapat menjadi pathogen.

1) Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang kebersihan perorangan,

terutama pembuangan tinja yang saniter, dan mencuci tangan sesudah buang air

besar dan sebelum memasak atau menjamah makanan. Menyebarkan informasi

tentang risiko mengkonsumsi buah atau sayuan mentah atau yang tidak dimasak

dan minum air yang tidak terjamin kebersihannya.

2) Membuang tinja dengan cara yang saniter.

3) Melindungi sumber air umum dari kontaminasi tinja. Saringan air dari pasir

menghilangkan hampir semua kista dan filter tanah diatomaceous

menghilangkan semua kista. Klorinasi air yang biasanya dilakukan pada

pengolahan air untuk umum tidak selalu membunuh kista; air dalam jumlah

sedikit seperti di kantin atau kantong Lyster sangat baik bila di olah dengan

yodium dalam kadar tertentu, apakah itu dalam bentuk cairan (8 tetes larutan

yodium tincture 2% per quart air atau 12,5 ml/ltr larutan jenuh kristal yodium)

atau sebagai tablet pemurni air (satu tablet tetraglycin hydroperiodide,

Globaline ®, per quart air). Biarkan lebih kurang selama 10 menit (30 menit

jika dingin) sebelum air bisa diminum. Filter yang mudah dibawa dengan

ukuran pori kurang dari 1,0 μm efektif untuk digunakan. Air yang kualitasnya

diragukan dapat digunakan dengan aman bila di rebus selama 1 menit.

Malaria67

Page 68: BAB I

Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa

parasit yang merupakan golongan Plasmodium, dimana proses penularannya

melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa parasit jenis ini banyak sekali

tersebar di wilayah tropik, misalnya di Amerika, Asia dan Afrika.Ada empat

type plasmodium parasit yang dapat meng-infeksi manusia, namun yang

seringkali ditemui pada kasus penyakit malaria adalah Plasmodium falciparum

and Plasmodium vivax.Lainnya adalah Plasmodium ovale dan Plasmodium

malariae. (Sudoyo, 2008)

Masa tunas / inkubasi penyakit ini dapat beberapa hari sampai beberapa

bulan yang kemudian barulah muncul tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh

penderita seperti demam, menggigil, linu atau nyeri persendian, kadang sampai

muntah, tampak pucat / anemis, hati serta limpa membesar, air kencing tampak

keruh / pekat karena mengandung Hemoglobin (Hemoglobinuria), terasa geli

pada kulit dan mengalami kekejangan. Namun demikian, tanda yang klasik

ditampakkan adalah adanya perasaan tiba-tiba kedinginan yang diikuti dengan

kekakuan dan kemudian munculnya demam dan banyak berkeringat setelah 4

sampai 6 jam kemudian, hal ini berlangsung tiap dua hari. Diantara masa

tersebut, mungkin penderita merasa sehat seperti sediakala. Pada usia anak-

anak serangan malaria dapat menimbulkan gejala aneh, misalnya menunjukkan

gerakan / postur tubuh yang abnormal sebagai akibat tekanan rongga otak.

Bahkan lebih serius lagi dapat menyebabkan kerusakan otak.

Ada beberapa bentuk manifestasi penyakit malaria, antara lain :

- Malaria tertiana, disebabkan oleh Plasmodium vivax, dimana penderita

merasakan demam muncul setiap hari ketiga.

- Malaria quartana, disebabkan oleh Plasmodium malariae, penderita merasakan

demam setiap hari keempat.

- Malaria serebral, disebabkan oleh Plasmodium falciparum, penderita

mengalami demam tidak teratur dengan disertai gejala terserangnya bagian

otak, bahkan memasuki fase koma dan kematian yang mendadak.

68

Page 69: BAB I

- Malaria pernisiosa, disebabkan oleh Plasmodium vivax, gejala dapat timbul

sangat mendadak, mirip Stroke, koma disertai gejala malaria yang berat.

Berdasarkan pemeriksaan, baik secara langsung dari keluhan yang timbul

maupun lebih berfokus pada hasil laboratium maka dokter akan memberikan

beberapa obat-obatan kepada penderita. Diantaranya adalah pemberian obat

untuk menurunkan demam seperti paracetamol, vitamin untuk meningkatkan

daya tahan tubuh sebagai upaya membantu kesembuhan.Sedangkan obat

antimalaria biasanya yang dipakai adalah Chloroquine, karena harganya yang

murah dan sampai saat ini terbukti efektif sebagai penyembuhan penyakit

malaria di dunia. Namun ada beberapa penderita yang resisten dengan

pemberian Chloroquine, maka beberapa dokter akan memberikan antimalaria

lainnya seperti Artesunate-Sulfadoxine/pyrimethamine, Artesunate-

amodiaquine, Artesunat-piperquine, Artemether-lumefantrine, dan

Dihidroartemisinin-piperquine. (Sudoyo, 2008)

Pencegahan penyakit malaria dapat dilakukan dengan Pembersihan

Sarang Nyamuk (PSN), berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk, atau

upaya pencegahan dengan pemberian obat Chloroquine bila mengunjungi

daerah endemik malaria. (Sudoyo, 2008)

Toxoplasmosis

Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan

yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa yang

dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit yang obligate

intraselluler dan banyak menginfeksi manusia dan hewan peliharaan, tetapi

jarang menimbulkan penyakit serius, karena biasanya bersifat self limited pada

individu sehat. Penyakit ini biasanya terjadi melalui kontak dengan tinja

kucing, makan makanan mentah, atau makanan daging yang terkontaminasi

dengan toxo ini (Hastomo, 2011).

69

Page 70: BAB I

Penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi

penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, burung

dan hewan peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan

yang disebutkan di atas penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada

kucing dan anjing.Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi

pada orang yang memelihara kucing atau anjing tetapi juga bisa terjadi pada

orang lainnya yang suka memakan makanan dari daging setengah matang atau

sayuran lalapan yang terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit

toxoplasmosis (Hastomo, 2011).

Penderita toxoplasmosis sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis

yang jelas sehingga dalam menentukan diagnosis penyakit toxoplasmosis sering

terabaikan dalam praktek dokter sehari-hari.Hanya sekitar 20% wanita hamil

dengan toxoplasmosis yang menunjukkan gejala dari penyakit ini. Tetapi jika

seorang wanita terinfeksi sesaat sebelum atau selama kehamilan, maka sekitar

40-50% akan dapat menularkan penyakit ini ke bayi dalam kandungannya,

walaupun ibu hamil sendiri tidak merasa sakit. Apabila penyakit toxoplasmosis

mengenai wanita hamil trismester ketiga dapat mengakibatkan hidrochephalus,

khorioretinitis, tuli atau epilepsi, bayi lahir dengan anencephalus (Hastomo,

2011).

Siklus hidup toxoplasma ada dua fase, yaitu fase intestinal dan

ekstraintestinal.Fase intestinal hanya terjadi dalam intestinum kucing.Enzim

pencernaan dihasilkan toxoplasma untuk menembus dinding intestinum.

Reproduksi parasit menghasilkan berjuta-juta oocyst yang tidak infeksius, yang

akan diekskresikan bersama feses. Di luar tubuh kucing, oocyst mengalami

sporulasi (sporogony) yang terjadi paling lama 21 hari, dan menghasilkan

oocyst infeksius.Pada daerah dengan suhu panas dan kelembaban tinggi, oocyst

dapat tahan hidup sampai satu tahun.Fase ekstraintestinal dapat terjadi pada

semua hewan atau manusia yang terinfeksi.Pada fase ini, bentuk tachyzoite

(trophozoite) dapat menyebar ke berbagai organ melalui sirkulasi. Dalam

jaringan akan berubah menjadi zoithocyste (bradyzoite) yang dapat menjadi 70

Page 71: BAB I

persisten selama hidup, menjadi bentuk infeksi khornik atau laten (Hastomo,

2011). Dewasa ini setelah siklus hidup toxoplasma ditemukan maka usaha

pencegahannya diharapkan lebih mudah dilakukan.Pada saat ini diagnosis

toxoplasmosis menjadi lebih mudah ditemukan karena adanya antibodi IgM

atau IgG dalam darah penderita. Diharapkan dengan cara diagnosis maka

pengobatan penyakit ini menjadi lebih mudah dan lebih sempurna, sehingga

pengobatan yang diberikan dapat sembuh sempurna bagi penderita

toxoplasmosis. Dengan jalan tersebut diharapkan insidensi keguguran, cacat

kongenital, dan lahir mati yang disebabkan oleh penyakit ini dapat dicegah

sedini mungkin.Pada akhirnya kejadian kecacatan pada anak dapat dihindari

dan menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas (Hastomo, 2011).

Penyebaran toxoplasma dapat melalui berbagai cara. Oocyst feses kucing

dapat menginfeksi peroral melalui makanan atau minuman yang tercemar,

infeksi secara langsung melalui tangan yang tercemar, atau perinhalasi. Stadium

trophozoite dapat ditemukan pada sistem sirkulasi, sehingga dapat menyebar

melalui transfusi darah, transplantasi organ, air liur, air susu. Pada stadium

bradyzoit, toxoplasma dapat menyebar melalui makan daging yang kurang

matang atau melalui transplantasi organ.Toxoplasma dapat juga ditularkan

secara vertikal dari ibu ke fetusnya (transplasental) (Hastomo, 2011).

Gejala toxoplasmosis timbul terutama pada individu/hewan yang

mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh, tetapi tidak patognomonik,

sehingga dapat menyulitkan diagnosa.Pada individu immunocompromised,

toxoplasmosis biasanya dapat menjadi fatal dan dapat menyebabkan kematian,

karena menyerang berbagai organ-organ penting.Manifestasi klinis tergantung

pada organ yang terinfeksi, misalnya saluran nafas pneumonia, bronchitis,

laryngitis (batuk-batuk, sesak nafas), hepatitis (muntah, diare, joundice),

jantung (sakit dada, sesak nafas), sistem saraf (inkoordinasi, retardasi mental)

(Hastomo, 2011).

71

Page 72: BAB I

Infeksi aktif pada ibu hamil, dapat menyebabkan abortus atau keguguran,

kelainan kongenital atau kecacatan, pembesaran limpa dan hati pada

bayinya.Kekuningan pada kulit dan mata (jaundice); infeksi mata yang berat,

dan lain-lain.

Infeksi pada trismester 1 atau 2 jarang terjadi, tetapi menimbulkan gejala

yang paling berat.Kehamilan dapat mengalami abortus atau bayi lahir

premature. Sebanyak 75% bayi lahir tanpa gejala, tetapi penyakit tetap bersifat

progresif apabila tidak diterapi; 17% terlihat gejala hydrocephalus,

khorioretinitis, pengapuran intrakranial; 8% mengalami kerusakan sistem saraf

pusat, dan anak mengalami retardasi mental dan fisik (Hastomo, 2011).

Infeksi toxoplasma pada trismester 3 paling sering terjadi, dan gejalanya sangat

ringan atau tidak menimbulkan gejala yang berarti. Wanita muda yang pernah

terinfeksi sebelum hamil tidak akan menularkan toxoplasma ke fetusnya apabila

hamil, kecuali apabila pada titer antibodinya ditemukan titer tinggi IgM (bukan

IgG). Pada individu yang pernah terinfeksi toxoplasma akan memperoleh long-

live immunity terhadap reinfeksi, kecuali pada individu immunocompromised,

toxoplasmosis dapat menjadi laten (Hastomo, 2011)

Untuk terapi, obat yang biasanya dipergunakan adalah pyrimethamine

yang dikombinasi dengan preparat sulfa.Obat tersebut toksik untuk kucing,

sehingga biasanya diberikan dalam dosis kecil.Asam folat atau multivitamin

dapat diberikan untuk memperbaiki kondisi tubuh.Kortikosteroid kadang

diberikan dengan dosis yang sesuai, untuk menurunkan reaksi inflamasi. Obat

lain yang sering digunakan adalah spiramisin, klindamisin (Hastomo, 2011).

Pencegahan pada tonxoplasmossi antara lain :

a. Hindari makan makanan yang dimasak setengah matang atau mentah.

b. Memasak bahan makanan dengan benar. Pemanasan pada suhu 700C selama

15- 30 menit dapat mematikan oocyst

c. Pengasapan, pengasaman, pengasinan makanan tidak dapat mematikan kista

d. Bersihkan lalapan, sayuran dan buahan sebelum dimakan dengan benar.

72

Page 73: BAB I

e. Bila membersihkan sampah atau tempat sampah, jangan lupa menggunakan

sarung tangan, atau sebaiknya serahkan tugas ini kepada anggota keluarga

lainnya.

f. Pendonor darah/organ sebaiknya dilakukan screening test untuk toxoplasma

g. Dilakukan pemeriksaan serologis pada wanita yang merencanakan hamil

h. Hewan atau individu yang terlihat sakit sebaiknya segera dibawa ke dokter

hewan/dokter.

i. Pakailah sarung tangan bila ingin mengerjakan pekerjaan kebun atau

perkarangan, untuk menghindari kontak langsung dari kotoran hewan yang

terinfeksi.

j. Bersihkan tangan, alat-alat dapur ( seperti; papan atau alas untuk memotong)

yang dipakai untuk mengelola daging mentah, hal ini untuk mencegah

kontaminasi dengan makanan lainnya.

k. Jangan minum susuunpasturized dari hewan.

E. Communicable Disease yang Disebabkan Oleh Jamur

1. Dermatomikosis

Infeksi jamur yang menyerang kulit ini juga disebut ringworm,

disebabkan oleh berbagai genus jamur, yaitu microsporum, Trichopyton dan

Epidermophytn. Jamur Microsporum canis dapat menyerang baik manusia

maupun hewan. (Soedarto, 2009) Bentuk konidia jamur ini khas, berukuran

besar (makrokronidia), berdinding kasar, multiseluler, berbentuk spindle.

Makronidia teletak di ujung hifa, mempunyai 8-15 sel, dengan ujung

melengkung atau berbentuk kait. Biakan pada agar Sabouraud yang dieramkan

pada suhu kamar menunukan tepi koloni yang membentuk pigmen berwarna

kuning kemerahan. Penyinaan dengan lampu Wood, jamur menunjukan

fluorosensi berwarna hijau muda. (Soedarto, 2009)

73

Page 74: BAB I

Infeksi jamur terjadi melalui kontak dengan kulit atau rabut penderita

ringworm. Mikrosporum canis dapat ditularkan melalui anjing dan kucing yang

sakit ke manusia. (Soedarto, 2009)

Terdapat 3 kelompok dermatomikosis, yaitu tinea pedis yang terjadi di

kulit dan kuku, tinea corporis atau tinea cruris yang terjadi pada kulit yang tiak

berambut, dan tinea capitis yang menyerang kulit yang berambut. Dermatophyt

juga dapat menimbulkan infeksi sistemik, misalnya endokarditis, pada pasie

yang menglami gangguan system imun tubuhnya. (Soedarto, 2009)

Untuk menentukan diagnosis pasti penyebabnya, keroka kulit, rambut

atau kuku penderita diperiksa dibaah mikroskop untk menemukan spora yang

ada pada jamur Microsporum tampak sebagai kelompok mozaik dikelilingi

rambut. Selain itu bahan pemeriksaan dapat diperiksa dibawah penyinaran

lampu Wood untuk menemukan adanya fluorosensi berwarna hijau muda.

Biakan jamur pada agar Sabouraud yang dieramkan pada suhu kamar selama 1-

3 minggu yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop lebih menunjang

diagnosis dermatomikosis. (Soedarto, 2009)

Pengobatan dermatomikosis dengan griselofulvin oral diberikan selama

1-4 minggu. Untuk dermatomikosis pada kuku, pengobatan diberikan selama

beberapa bulan disertai pencabutan kuku untukmempercepat penyembuhan.

Untuk mencegah infeksi dermatomikosis, kebersihan harus djaga dan dihindari

kontak dengan bahan tercemar jamur. Alat-alat dan instrument kedokteran

harus selalu disterilkan dengan minyak panas untuk menghindari penyebaran

jamur pada waktu dilakukan tndakan medis. Upaya preventif lainnya adalah

dengan menjaga kebersihan dan kekeringan kulit wajah termasuk juga telapak

kaki dan tangan, keramas dengan shampoo secara teratur terutama sehabis pergi

dari salon, jangan menukar topi dan pakaian dengan oranglain apabila belum

dicuci, serta hindari pula pemakaian sikat gigi, alat cukur, bersama dengan

orang yang menderita dermatomikosis tanpa pencucian terlebih dahulu.

74

Page 75: BAB I

Gambar 1.4. dermatomikosis pada kulit pipi

2. Kandidiasis

Kandidiasis atau moniliasis disebut juga secara umum sebagai thrush,

disebabkan oleh jamur Candida Albicans. Jamur menjadi pathogen jika daya

tahan tubuh penderita menurun.

Jamur ini secara alami dapat ditemukan di rongga mulut dan alat

pencernaan manusia, unggas dan mamalia. Candida albicans memmiliki

pseudohifa berbentuk lonjong bertunas, berukuran 2x6 mikron, bersifat Gram

positif. Biakan pada medium Agar Sabouraud koloni jamur tumbuh berwarna

kuning, berbau seperti ragi. (Soedarto, 2009)

Orang yang mempunyai risiko terinfeksi jamur kandida adalah yang daya

tahan tubuh rendah, misalnya perempuan hail yang menderita vaginitis, orang

tua lanjut usia, penderita malnutrisi, serta bayi yang ibunya menderita

75

Page 76: BAB I

kandidiasis. Selain itu penderita diabetes dan penderita dalam pengobatan

antibiotika jangka panjang mudah terserang kandidiasis. (Soedarto, 2009)

Mekanisme Kandidiasis

76

Page 77: BAB I

Gejala Klinis Kandidiasis

Berdasar atas jaringan yang terserang, kandidiasis dikelompokan menjadi

kandidiasis membrane mukosa, kandidiasis bronkopulmoner, kandidiasis

gastrointestinal, kandidiasis urogenital dan kandidiasis kulit.

Komplikasi terjadi bila kandidiasis menyebar ke organ-organ, menimbulkan

mikroabses di ginjal, jantung, selaput jaringan otak, serta sumsum tulang.

Kerusakan pada paru menimbulkan bronkiektasi.

Gambar 1.5. Kandidiasis pada lidah

Diagnosis pasti kandidiasis ditegakan jika ditemukan jamur kandida dari

kerokan kulit, tinja atau bahan hasil gastrokopi. Biopsy jaringan paru dan

eksudat pleura yang dibiakan pada medium Agar Sabouraud akan menumbuhkn

jamur kandida. Pemeriksaan foto paru dapat menunjukan terjadinya

peningkatan striation dan bayangan miliar. Pemeriksaan serologi, misalnya uji

presipitin pada agar gel ditujukan untuk menegakan diagnosis kandidiasis yang

berada di dalam organ. (Soedarto, 2009)

77

Page 78: BAB I

Pencegahan Kandidiasis

Penderita dengan gangguan system imun yang mendapatkan pengobatan

antibiotika jangka panjang sebaiknya dberi juga obat antijamur. Bayi baru lahir

hendaknya diamati kemungkinan terinfeksi kandidiasis dari ibu yang

melahirkannya.

Memperbaiki sanitasi perorangan dan lingkungan dan lingkungan dapat

membantu mencegah penyebaran kandidiasis. (Soedarto, 2009)

Selain itu ada tindakan lain yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit

kandidiasis yaitu:

Upaya Pencegahan Primer

1. Tidak berhubungan seksual atau hanya berhubungan seksual dengan satu

pasangan yang tidak terinfeksi.

2. Penderita pria juga dapat menggunkaan kondom lateks selama hubungan

seksual, dengan atau tanpa spermatisida.

3. Pencegahan terjangkitnya Candidosis, dapat dilakukan dengan menjaga area

sekitar genitalia bersih dan kering.

4. Hindari sabun yang dapat menyebabkan iritasi, vagina spray, dan semprotan

air.

5. Ganti pembalut secara teratur.

6. Gunakan pakaian dalam dari katun yang longgar dan menyerap keringat,

hindari pakaian dalam dari nilon.

7. Setelah berenang, cepat ganti pakaian yang kering daripada duduk dengan

pakaian renang yang basah dalam waktu yang lama.

Upaya Pencegahan Sekunder.

1. Pemeriksan ginekologi dan memeriksa organ genitalia eksterna, vagina, dan

cervix untuk melihat adanya inflamasi atau ekskret abnormal.78

Page 79: BAB I

2. Suspect Candidosis Vagina bila terjadi inflamasi pada vagina, terdapat

ekskret putih dari vagina, dan di sekeliling vagina, akan diambil sampel

ekskret vagina untuk diperiksa dengan mikroskop di laboratorium.

3. Obat antijamur yang bekerja secara langsung pada vagina sebagai tablet,

krim, salep, atau suppositoria. Obat-obatan ini termasuk butoconazole

(FemStat), clotrimazole (Clotrimaderm, Canesten), miconazole (Monistat,

Monazole, Micozole), nystatin, tioconazole (GyneCure), dan terconazole

(Terazole).

Upaya Pencegahan Tersier:

1. Tidak memakai pakaian dalam berbahan nilon yang menyebabkan daerah

genitalia menjadi lembab dan meningkatkan resiko infeksi berulang.

2. Menjaga pola makan sesuai dengan standar kesehatan untuk meningkatkan

daya tahan tubuh.

3. Menjaga kebersihan individu dan lingkungan untuk mencegah pertumbuhan

jamur yang dapat menyebabkan infeksi.

4. Melatih masyarakat yang pernah terjangkit Candidosis Vagina untuk terbiasa

berperilaku hidup sehat.

5. Terapi mental dan sosial.

Gambar 1.6. Kandidiasis pada Vulva

79

Page 80: BAB I

4. Aspergilosis

Penyebab asperagilosis adalah jamur Aspergillus yang banyak dijumpai di

daerah tropis. Mikosis visceral ini disebabkan oleh Asperagillus fumigates,

A.niger atau asperagilus lainnya. (Soedarto, 2009)

Di bawah mikroskop jamur khas bentuknya, berupa konidiofor yang

membesar di ujung hifa. Di dalam jaringan, eksudat atau dahak, jamur

berbentuk filament yang bersepta. Pada biakan Agar Sabouraud yang

dieramkan pada suhu 37-400C aan tumbuh koloni berwarna kelabu kehijauan

dengan bentukan seperti kubah yang berada di tengah koniditor. (Soedarto,

2009)

Aspergilosis pada manusia terjadi pada organ dan rongga tubuh yang

suasananya aerob. Penularan terjadi melalui udara yang tertutup yang

mengandung bahan infektif yang berasal dari kotoran burung dan unggas

lainnya. Yang sering terserang aspergilosis adalah petani, peternak unggas,

orang-orang yang rendah daya tahan tubuhnya atau menderita cacat anatomi

pada anggota tubuhnya. Penularan juga bisa berasal dari penderita aspergilosis

bronkopulmoner alergika yang batuk-batuk atau bersin-bersin. (Soedarto, 2009)

Pada penyakt yang ringan keluhan dan gejala dapat berupa sinusitis, batuk dan

demam. Pada aspergilosis paru yang invasive terutama yang system imunnya

terganggu, aspergilosis berlangsung progresif, menunjukan gejala demam, nyeri

dada, batuk berdahak makropurulen, gambaran bronkopulmoner akut maupun

kronis. Aspergilosis sukar dibedakan dari tuberculosis. (Soedarto, 2009)

Pemeriksaan mikroskopis dan biakan jamur atas dahak atau cucian

bronchial dapat menemukan jamur Asperagillus. Pemriksaan elektroforesis

membantu diagnosis aspergilosis.

Pemeriksaan foto paru dapat menunjukan adanya aspergiloma atau bola

jamur yang khas bentuknya. Pemeriksaan darah menunjukan gambaran

eosinofilia dan titer IgE serum meningkat. (Soedarto, 2009)

80

Page 81: BAB I

Pengobatan dan Pencegahan

Amfoterisin B yang diberikan melalui infuse perlahan dapat meberantas

jamur yang ada di jaringan. Itrakonazol dapat diberikan peroral sedangkan

preparat iodide diberikan untuk pengobatan local. Untuk mempercepat

pengeluaran jamur dari dalam abses, dapat dilakukan drainase abses.

Untuk mencegah penyebaran aspergilosis, kebersihan lingkungan, terutama

kandang unggas harus dijaga dengan baik. Sekreta unggas harus dihindari, dan

penderita aspergilosis yang batuk kronis akibat aspergilosis alergika juga harus

dijauhi. (Soedarto, 2009)

81

Page 82: BAB I

BAB III

PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

Communicable dessease adalah penyakit menular yang umumnya banyak

terdapat di berbagai negara termasuk di indonesia. Pervalensi angka penderita

dan jumlah kematian di indonesia cukup besar dikarenakan vektor penyebaran

penyakit ini sangat banyak dan pada umunya masih berada di lingkungan

sekitar individu yang terinfeksi. Communicable dissease sangat membawa

dampak yang negatif bagi individu yang terkena penyakit tersebut, dampaknya

bisa merugikan berbagai aspek, tidak hanya kesehatan penderita yang

mengalami kemunduran tetapi berbagai aspek sosial, ekonomi bahkan budaya.

Oleh karena itu, penyakit menular ini sedini mungkin harus cepat dihentikan.

Study dari berbagai bidang ilmu penelitian khusunya kesehatan telah

memberikan bayak rujukan dan referensi mengenai penyakit menular ini,

meskipun penyakit ini dapat merugikan seseorang yang mengidapnya namun

jika upaya pencegahan dan pembasmian ( eliminasi) dilakukan secara tepat dan

cepat, maka dampak buruk dari penyakit menular ini dapat diminimalisir

bahkan dihentikan.

III.2 SARAN

Communicable dissease adalah penyakit yang dapat menyerang siapa

saja dan kapan saja, oleh kearen itu diharapkan dan disarankan kepada setiap

individu, setelah membaca dan memahami mengenai communicable dessease

dan cara pencegahan dan pengeliminasinnya, untuk dapat mengaplikasikan

bentuk-bentuk tindakan prevemtif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang cepat

dan tepat demi meminimalisir damapk negatif yang terjadi.

82

Page 83: BAB I

83

Page 84: BAB I

84

Page 85: BAB I

85

Page 86: BAB I

86

Page 87: BAB I

87

Page 88: BAB I

88

Page 89: BAB I

89