BAB I
-
Upload
bellia-marsya -
Category
Documents
-
view
120 -
download
30
Transcript of BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Communicable disease atau yang disebut dengan “penyakit
menular” adalah istilah yang merujuk pada suatu penyakit dimana agen
infeksius mampu menyebarkan penyakit dari satu hospes ke hospes lain
dengan menggunakan berbagai mediator yang ada di sekitarnya.
Beberapa penyakit communicable disease diantaranya adalah
penyakit cacing, protozoa, arthropoda, bacterial, virus dan jamur.
Penyebabnya disesuaikan dengan penyakitnya. Prevalensi kejadian luar
biasa atas penyakit ini cukup besar di indonesia dan menyababkan jatuhnya
banyak korban yang akhirnya berujung pada kematian. Suatu study
penelitian menunjukan bahwa angka kematian oleh demam dengue dan
demam hemorragic dengue cukup besar di wilayah kota maupun pedessan
di indonesia sebagai sampel. Tingkat penyebaran penyakit menular ini pun
tebilang cukup pesat berdasarkan survei yang dicatat WHO pada tahun
2000. Tindakan pecegahan secara dini sangatlah penting dalam mengurangi
dampak dari banyak penyakit menular ini, selain itu telah banyak ditemukan
metode peng-eliminasian yang tepat dan sangat berkontribusi banyak dalam
mengurangi prevalensi angka kematian akibat penyakit ini.
Mengingat indonesia adalah negara tropis dimana banyak penyakit
bisa menyerang penduduknya dan penularan melalui berbagai vektor yang
tak terduga, oleh karena itu sangatlah penting bagi setiap individu
khususnya tenaga kesehatan untuk memahami mengenai berbagai aspek
pembahasan dan topik mengenai penyakit menular ini, sehingga akan
memberikan referensi dan sumber rujukan mengenai tindakan tepat yang
akan dilakukan untuk menangani kejadian penyakit menular ini.
1
I.2. Tujuan dan Manfaat
I.2.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui communicable desease yang terjadi pada
masyarkat, jenis penyakit yang termasuk communicable disease,
mekanisme communicable disease, dampak dari communicable disease
serta program eliminasi communicable disease.
I.2.2. Tujuan Khusus
a. Memberi wawasan tentang communicable disease
b. Memberi gambaran secara ringkas tentang communicable disease
c. Sebagai syarat untuk mengukuti Ujian Akhir Blok.
I.2.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah
mampu memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas mengenai
communicable disease.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pendekatan Communicable Deisease
II.1.1. Pengertian Communicable Disease
Communicable disease atau yang disebut dengan “penyakit
menular” adalah istilah yang merujuk pada suatu penyakit dimana agen
infeksius mampu menyebarkan penyakit dari satu hospes ke hospes lain
dengan menggunakan berbagai mediator yang ada di sekitarnya.
II.1.2. Penyebaran Communicable Disease
Penularan penyakit parasit, bakteri, virus, maupun jamur
dipengaruhi tiga faktor, yaitu adanya sumber infeksi, cara penularan parasit,
dan adanya hospes yang peka atau sensitif. Kombinasi faktor-faktor tersebut
menentukan tingginya penyebaran dan prevalensi parasit di suatu daerah
pada tempat dan waktu tertentu. Selain itu adaptasi alami parasit terhadap
manusia selaku hospes, kebiasaan hidup dan hbungan dalam populasi
manusia serta tingginya daya tahan tubuh individu manusia, mempengaruhi
cepatnya kejadian penularan penyakit parasitis.
Penyakit menular yang menginfeksi penderita pada awal infeksi
umumnya tidak menunjukan gejala. Sesudah itu akan timbul gambaran
klinis yang jelas dalam perjalanan penyakitnya kemudian bisa berkembang
menjadi penyakit yang akut dan berat yang akan menimbulkan kematian
penderita. Pada penderita dengan daya tahan tubuh yang tinggi, penyakit
akan menyembuh atau akan berkembang menjadi penyakit yang menahun
atau kronis dengan gejala atau keluhan yang ringan. Dalam hal ini meskipun
penderita masih mengidap mikroorganisme tidak menunjukan gejala atau
keluhan, sehingga karier ini merupakan sumber penularan potensial
penyakit menular bagi orang lain yang sehat. Karier karena antara hospes
3
dan parasit terdapat keseimbangan dalam kehidupan masing-masing. Karier
misalnya ditemukan pada penularan malaria, amubiasis, filariasis dan
penyakit-penyakit akibat infeksi virus atau bakteri usus.
Penyebaran mikrorganisme penyebab penyakit dari satu individu
penderita ke individu yang peka dapat terjadi secara langsung atau melalui
penularan tidak langsung. Pada penularan tidak langsung, untuk dapat
menginfeksi hospes yang peka parasit harus melewati tahapan stadium
perkembangan sebelum menjadi stadium yang infektif. Penularan stadium
infektif dapat terjadi secara kontak langsung atau tidak langsung, bersama
makanan, minuman, tanah, hewan vertebrata, dan vector serangga, atau dari
ibu ke bayi melalui plasenta pada waktu proses persalinan.
II.1.3. Jenis-Jenis Penyakit Communicable Deiseasse
Penyakit menular di indonesia dapat diakibatkan berbagai faktor,
seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, antripoda dan helminth. Berikut ini
adalah jenis-jenis penyakit infeksi menular, mekanisme, dampak dan proses
eliminasinya.
A. Comunicable Diseases yang Disebabkan Oleh Helminth
1. Ascaris lumbricoides
Hospes dan nama penyakit
Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit
yang disebabkannya disebut askariasis.
Mekanisme Daur hidup
Telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk aktif selama kurang lebih 3
minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia menetas di usus halus.
Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran
limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di
paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga
alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea 4
larva ini menuju ke faring. Pendeita batuk karena rangsangan ini dan larva akan
tertelan ke dalam esofagus, lalu meuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah
menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur
diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.
Tabel 1. Karakteristik Ascaris lumbroides
Gambar 1. Daur Hidup Ascaris Lumboides
Patologi dan Gejala Klinis
Gangguan karna larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada
orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul
gangguan pada paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto
5
toraks tampak infiltrate yang mengilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan
tersebut disebut sindrom loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa
biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami ganguuan usus
ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. (Sutanto,
2008)
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi mal absorbs
sehingga menyebabkan mal nutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing
menggumpal diusus sehingga terjadinya obstruksi usus (ileus). Pada
keadaan tentu cacing mengembara ke saluran empedu, appendiks, atau ke
bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat.
1. Trichuris trichiura
Hospes dan Nama Penyakit
Manusia merupakan hospes cacing ini. Penyakit yang disebabkannya
disebut trikuriasis.
Morfologi dan Daur Hidup
Panjang cacing betina kira-kixa 5 cm, sedangkan cacing j an tan kira-
kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira
3/5 dari panjang seluruh tubiih. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk,
pada cacing betina bentuknya membulat tumpul. Pada cacing jantan
melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup di kolon
asendens dan sekum dengan bagian anteriornya seperti cambuk masuk ke
dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur
setiap hari antara 3000 -20.000 butir .Telur berbentuk seperti tempayan
dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur
bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur
yang dibuahi di-keluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan yang sesuai,
yaitu pada tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang
berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung bila
6
secara kebetulan hospes menelan telur matang. Larva keluar melalui dinding
telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun
ke usus bagiartdistal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi
cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur
tertelan sampai cacing dewasa betina bertelur ±30-90 hari.
Tabel 3. Karakteristik Trichuris trichiura
Gambar 4. Daur Hidup Trichuris trichiura
7
Patologi dan Gejala Klinis
Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi
dapat juga ditemukan di kolon asendens Pada infeksi berat, terutama pada anak,
cacing tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa
rektum yang mengalami prolapsus akibat menge-jannya penderita pada waktu
defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga
terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Di
tempat per-lekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu cacing ini juga
mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menye-babkan anemia.
Penderita terutama anak-anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan
menahun, menunjukkan gejala diare yang sering diselingi sindrom disentri,
anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum.
Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya
atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang
jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasit ini sering ditemukan pada
pemeriksaan tinja secara rutin.
2. Strongyloides stercoralis
Hospes dan Nama Penyakit
Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat
menyebabkan strongiloidiasis.
Morfologi dan Daur Hidup
Hanya cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan
yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berawrna dan
panjangnya 2 mm.
8
Cara berkembang biaknya diduga secara partenogenesis. Telur bentuk parasitik
diletakkan di mukosa usus, kemudian telur tersebut menetas menjadi larva
rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Parasit
ini mempunyai tiga macam daur hidup:
Siklus langsung
Sesudah 2-3 hari di tanah, larva rabditiform yang berukuran ± 225 x 16 mikron,
berubah menjadi larva filafirm berbentuk langsing dan merupakan bentuk
infektif, panjangnya ± 700 mikron. Bila larva filaform menembus kulit
manusia, larva tumbuh, masuk ke dalam peredaran darah vena, kemudian
melalui jantung kanan sampai ke paru. Dari paru parasit yang mulai menjadi
dewasa menembus alveolus, masuk ke trakhea, dan laring. Sesudah sampai
dilaring terjadi reflek batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus
halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing betina yang dapat bertelur
ditemukan ± 28 hari sesudah infeksi.
Siklus tidak langsung
Pada siklus tidak langsung, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing
jantan dan cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas lebih gemuk dari bentuk
parasitik. Cacing betina berukuran 1 mm x 0,06 mm, yang jantan berukuran
0,75 mm x 0,004 mm, mempunyai ekor melengkung dengan 2 buah spikulum.
Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi
larva rabditiform. Larva rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menjadi
larva filaform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru, atau larva
rabditiform tersebut mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak langsung ini
terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan
keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini.
9
3. Communicable Disease yang Disebabkan Oleh Virus dan Bakteri
1. Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu pertanda dimana ada bakteri yang meninfeksi
usus halus di saluran penceraan manusia. Masuknya kuman Salmonella typhi
(S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya
melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman
masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu
diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Di dalam
plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. 10
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di
dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke
lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat
menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatnk, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya. Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar
bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan gejala. Penularan penyakit
adalah melalui air dan makanan. Kuman salmonela dapat bertahan lama dalam
makanan. Penggunaan air minum secara masal yang tercemar bakteri sering
menyebabkan terjadinya kejadian luar biasa. Vektor berupa serangga juga
berperan dalam penularan penyakit ( Sudoyo, 2011)
Demam lebih dari tujuh hari adalah gejala yang paling menonjol. Demam
ini biasa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare, anoreksia atau
batuk. Pada keadaan yang parah bisa disertai gangguan kesadaran. Komplikasi
yang bisa terjadi adalah perforasi usus, perdarahan usus, dan koma. Diagnosis
ditegakan berdasarkan adanya salmonela dalam darah melalui kultur. Karena
isolasi salmonela relatif sulit dan lama, maka pemeriksan serologi widal utuk
mendeteksi antigen O dan H ( somatik dan flagel ) sering digunakan sebagai
alternative ( Sudoyo, 2011)
Dampak dari penyakit ini menghasilkan beberapa komplikasi, yakni
komplikasi instenstinal dan komplikasi ekstra intenstinal.
KOMPLIKASI INTESTINAL
Perdarahan Intestinal
Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat
terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus.
11
Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi
perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi
dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena
gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25%
penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfusi darah. Perdarahan liebat dapat terjadi hingga penderita
mengalami syok. Secara klinis perdaiaiian akut darurat bedah ditegakkan bila
terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam dengan faktor hemostatis dalam
batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup tinggi sekitar 10-
32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi yang diberikan
tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu
dipertimbangkan.( Sudoyo, 2011)
Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain
gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi
lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok.
Leukositosis dengan pergeseran Ke kin dapat menyokong adanya perforasi.
Bila puda gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukLn udara
pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan
nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.
Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah
umur (biasanya be"mr 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, ber^r -
penyakit, dan mobilitas pende *.&. Antibiotik diberikan secara selektif bukan
12
ham L mengobati kuman S. typhi tetapi juga untuk me kuman yang bersifat
fakultatif dan anaerobik pac -usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas
deagat kombinasi kloramfenikol dan ampisilin intravena. 'Czssm. kontaminasi
usus dapat diberikan gentam.s:! metronidazol. Cairan harus diberikan
dalam jumlah v cukup serta penderita dipuasakan dan dir nasogastric
tube. Transfusi darah dapat diberik-terdapat kehilangan darah akibat
perdarahan intesntinal.( Sudoyo, 2011)
KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
Komplikasi Hematologi
Komplikasi hematologik berupa trombositopenia hipofibrino-genemia,
peningkatan prothrombin peningkatan partial thromboplastin time,
peningkatan degradation products sampai koagulasi intravask^jr diseminata
(KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pass. demam tifoid. Trombositopenia
saja sering dijumpai. ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trombosit
di sumsum tulang selama proses infeksi. Bila terjadi KID
dekompensata dapat diberik?x tranfaK darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-
faktc koagulas bahkar heparin, meskipun ada pula yang tidak sependaps tentang
inanfaat pemberian hepann pada demam tifoid. ( Sudoyo, 2011)
Hepatitis Tifosa
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pacx 50% kasus
dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumra. karena S. typhi daripada
S.paratyphi. Untuk membeds'iri.-apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus,
malaria, a^. amuba makaperlu diperhatikan kelainan fisik, parameter
laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pica demam tifoid kenaikan
enzim transaminase tidak rele^z; dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedaifar dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa d»pE: terjadi
13
pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun ysri kurang. Meskipun sangat
jarang, komplikis: hepatoensefalopati dapat terjadi. ( Sudoyo, 2011)
Pankreatitis Tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid.
Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus,
bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan
lipase serta ultrasonograafi/CT-5ca« dapat membantu diagnosis penyakit
ini dengan akurat.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan
pankreatitis pada umumnya; antibiotik yang diberikan adalah antibiotik
intravena seperti seftriakson atau kuinolon. ( Sudoyo, 2011)
Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan
miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan
sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan
perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan elektrokardiografi yang menetap
disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan
kerusakan miokardium oleh kuman S. typhi dan miokarditis sering sebagai
penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan
akut dan fulminan. ( Sudoyo, 2011)
Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik
Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa
kejang, semi-koma atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism,
sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia
14
sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis,
polineuritisperifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. ( Sudoyo, 2011)
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa
gangguan atau penumnan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis,
delirium, somnolen, sopor, atau koma) dengan atau tanpa disertai
kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam
batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut
sebagai tifoid toksik, sedangkan penulis lainnya menyebutnya dengan
demam tifoid berat, demam tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan
toksemia. Diduga faktor-faktor sosial ekonomi yang buruk, tingkat
pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan dan
kepercayaan (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya
hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian. Semua kasus
tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat,
langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg
ditambah ampisilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. ( Sudoyo, 2011)
Metode eliminasi yang dapat digunakan untuk kasus ini yakni
mencangkup pengobatan dan pencegahan.
A. Tindakan pencegahan dan kontrol penularan :
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan
kematian akibat demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi
maupun negara, mendatangkan devisa negara yang berasal dari wisatawan
mancanegara karena telah hilangnya predikat negara endemik dan
hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di
daerah kunjungan wisata. Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan
penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup
banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi sebagai agenpenyakit
dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3
15
strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu 1. Identifikasi dan
eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier
tifoid, 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut
maupun karier, 3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi. Identifikasi dan
eradikasi S. Typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karier, dan akut. Tindakan
identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S. typhi ini cukup sulit dan
memerlukan biaya cukup besar baik ditinjau dari pribadi maupun skala nasional.
Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif
menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran
aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana
makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel sampai
pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan
pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan,
pengelola sarana umum lainya. Pencegahan transmisi langsung dari penderita
terinfeksi S. Typhi akut maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit,
klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui
pengidap kuman S. typhi. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular
dan terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi
tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya yaitu
berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta
golongan individu berisiko, yaitu golongan imunokompromais maupun
golongan rentan.
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
• Daerah non-endemik. Tanpa ada kej adian outbreak atau epidemi
- Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
- Penyaringan pengelola pembuatan/distfibutor/penjualan makanan-
minuman
- Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier bila ada kejadian epidemi 16
tifoid
- Pencarian dan eliminasi sumber penularan
- Pemeriksaanairminumdanmandi-cuci-kakus
- Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
• Daerah endemik
- Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang
memenuhi standar prosedur kesehatan( perebusan > 570C, iodisasi,
dan klorinisasi )
- Pengunjung kedaerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi
makanan segar (sayur/buah)
- Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun
pengunjung.
VAKSINASI
Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960
efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88%
(WHO) dan sebesar 67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi
tidak mampu proteksi bila terpapar 107 bakteri. Vaksinasi tifoid belum
dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah lain. Indikasi vaksinasi
adalah bila 1). hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam
tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika),
2). orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid, dan 3). petugas
laboratorium/mikrobiologi kesehatan. (Widyono, 2008)
17
Jenis Vaksin
• Vaksin ora l:
-Ty21a (vivotif Berna). belum beredar di Indonesia.
• Vaksin parenteral :
- ViCPS (Typhim WPasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida.
Pemilihan Vaksin
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara
bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama
3 tahun. Usia sasaran vaksinasi berbeda efektivitasnya, dilaporkan insidens
turun 53% pada anak > 10 tahun sedangkan anak usia 5-9 th insidens turun 17%.
Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek
samping serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral.
Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya
ViCPS (Typhim Vi). (Widyono, 2008)
Indikasi vaksinasi
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko
yang berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi
epidemiologisnya:
• Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personilmiliter, petugas rumah
sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.
• Individual : pengunjung/wisatawan ke daerah endemik,orang yang kontak erat
dengan pengidap tifoid (karier). Anak usia 2-5 tahun toleransi dan
responsimunologisnya sama dengan anak usia lebih besar.
18
Kontraindikasi Vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty21 a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran
yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan
(karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria
(klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru
dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan
obat sulfonamid atau antimikroba lainnya. (widyono,2008)
Efek Samping vaksinasi
Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-
5%, sakit kepala (0-5%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil
(demam 0,25%; malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal
17%). Efek samping terbesar pada vaksin parenteral adalah heat-phenol
inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri
dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok
dilaporkan pernah terjadi meskipun sporadis dan sangat jarang terjadi.
(widyono,2008)
Efektivitas Vaksinasi
Serokonversi (peningkatan titer antibodi 4 kali) setelah vaksinasi dengan
ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari -3 minggu dan 90% bertahan
selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik
(Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik. (widyono,2008)
A. Tindakan Pengobatan :
Istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan
mempercepat penyembuhan.
19
Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif), dengan tujuan
mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
Pemberian antimikroba dengan tujuan menghentikan dan mencegah
penyebaran kuman :
- Pemberian kloramfenikol 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 14 hari.
- Pemberian amoksilin 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis
- Pemberian kotrimoksazole atau tiamfenikol.
- Pemberian sefalosporin generasi ketiga atau golongan fluorokuinolon.
20
2. Tetanus
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan
meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetcmi.
Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di dalamnya tetanus
neonatorum, tetanus generalisata dan gangguan neurologis lokal. Tetanus
disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat di
mana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari
kotoran binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan
bakteri gram posotif berbentuk batang yang sclalu bergerak, dan merupakan
bakteri anaerob obligat yang menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak
berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam. Spora ini
dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan tertentu, tahan
terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai
desinfektan dan pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan
secara tidak sempurna dengan mendidihkan, tetapi dapat dieliminasi dengan
autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120°C selama 15 menit. Sel yang
terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktivasi dan bersifat sensitif
terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan lainnya). Bakteri
ini jarang dikuitur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium
tetani menghasilkan efek-efek klinis melalui eksotoksin yang kuat.
Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah keiidali
plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Dengan
autolisis, toksin rantai tunggal dilepaskan dan terbelah untuk membentuk
heterodimer yang terdiri dari rantai berat (1 OOkDa) yang memediasi
pengikatannya dengan reseptor sel saraf dan masuknya ke dalam sel, sedangkan
rantai ringan (50kDa) berperan untuk meblokade perlepasan neurotransmiter.
Telah diketahui urutan genom dari Clostridium tetani. Struktur asam amino
dari dua toksin yang paling kuat yang pernah diketemukan yaitu toksin
botulinum dan toksin tetanus secara parsial bersifat homolog. Peranan toksin 21
tetanus dalam tubuh organisme belum jelas diketahui. DNA toksin ini
terkandung dalam plasmid. Adanya bakteri belum tentu mengindikasikan
infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid. Belum banyakpenelitian
tentang sensitifitas antimikrobial bakteri ini. Sering terjadi kontaminasi luka
oleh spora C.tetani. C.tetani sendiri tidak menyebabkan inflamas dan port
d'entrae tetap tampak tenang tanpa tanda inflamasi, kecuali apabila ada infeksi
oleh mikroorganisme yang lain. Dalam kondisi anaerobik yang dijumpai pada
jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin:
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu secara lokal merusak
jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan
mengoptimalkan kondisi yang memungkinkari multiplikasi bakteri.
Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini mungkin
mencakup lebih dari 5% dari berat organisme. Toksin ini merupai' in
polipeptida rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif.
Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh
suatu ikatan yang sensitif terhadap protease dan dipecah oleh protease
jaringan yang menghasilkan jembatan disulfida yang menghubungkan dua
rantai ini. Ujung karboksil dari rantai berat terikat pada membran saraf dan
ujung amino memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Rantai ringan
bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari
neuron yang dipengaruhi. Tetanoplasmin yang dilepaskan akan menyebar
pada jaringan di bawahnya dan terikat pada gangliosida GDlb dan GTlb pada
membran ujung saraf lokal. Jika toksin yang dihasilkan banyak, ia dapat
memasuki aliran darah yang kemudian berdifusi untuk terikat pada ujung-
ujung saraf di seluruh tubuh. Toksin kemudian akan menyebar dan
ditransportasikan dalam axon dan secara retrogred ke dalam badan sel di
batang otak dan saraf spinal. Transpor terjadi pertama kali pada saraf motorik,
lalu ke saraf sensorik dan saraf otonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel, ia
akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di
dekatnya. Apabila interneuron inhibitori spinal terpengaruh, gejala-gejala 22
tetanus akan muncul. Transpor intraneuronal retrogred lebih jauh terjadi
dengan menyebaraya toksin ke batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini
meliputi transfer melewati celah sinaptik dengan suatu mekanisme yang tidak
jelas. Setelah internalisasi ke dalam neuron inhibitori, ikatan disulfida yang
menghubungkan rantai ringan dan rantai berat akan berkurang, membebaskan
rantai ringan. Efek toksin dihasilkan melalui pencegahan lepasnya neurotrans-
mitter. Sinaptobrevin merupakan protein membran yang diperlukan untuk
keluarnya vesikel intraseluler yang mengandung neurotransmitter. Rantai
ringan tetanoplasmin merupakan metalloproteinase zink yang membelah
sinaptobrevin pada suatu titik tunggal, sehingga mencegah perlepasan
neurotransmitter. Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori,
di mana setelah toksin menyeberangi sinapsis untuk mencapai presinaptik, ia
akan memblokade perlepasan neurotransmiter inhibitori yaitu glisin dan asam
aminobutirik (GABA). Interneuron yang menghambat neuron motorik alfa
yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik ini kehilangan fungsi
inhibisinya. Lalu (karena jalur yang lebih panjang) neuron simpatetik
preganglionik pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengaruhi.
Neuron motorik juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan perlepasan
asetilkolin ke dalam celah neuromuskuler dikurangi. Pengaruh ini mirip dengan
aktivitas toksin botulinum yang mengakibatkan paralisis flaksid. Namun
demikian, pada tetanus, efek disinhibitori neuron motorik lebih berpengaruh
daripada berkurangnya fungsi pada ujung neuromuskuler. Pusat medulla dan
hipotalamus mungkin juga dipengaruhi. Tetanospasmin mempunyai efek
konvulsan kortikal pada penelitian pada hewan. Apakah mekanisme ini berperan
terhadap spasme intermiten dan serangan autonomik, masih belum jelas. Efek
prejungsional dari ujung neuromuskuler dapat berakibat kelemahan di antara
dua spasrae dan dapat berperan pada paralisis saraf kranial yang dijumpai pada
tetanus sefalik, dan myopati yang terjadi setelah pemulihan. Pada spesies yang
lain, tetanus menghasilkan gejala karakteristik berupa paralisis flaksid. Aliran
eferen yang tak terkendali dari saraf motorik pada korda dan batang otak akan 23
menyebabkan kekakuan dan spasme muskuler, yang dapat menyerupai
konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang, sedangkan
otot-otot agonis dan antagonis berkonstraksi secara simultan. Spasme otot
sangatlah nyeri dan dapat berakibat fraktur atau ruptur tendon. Otot rahang,
wajah, dan kepala sering terlibat pertama kali karena jalur aksonalnya
lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-otot
perifer tangan dan kaki relatifj arang terlibat. Aliran impuls otonomik yang
tidak terkendali akan berakibat terganggunya kontrol otonomik dengan aktifitas
berlebih saraf simpatik dan kadar katekolamin plasma yang berlebihan. (Sudoyo,
2011)
Terikatnya toksin pada neuron bersifat ireversibel. Pemulihan
membutuhkan tumbuhnya ujung saraf yang baru yang menjelaskan mengapa
tetanus berdurasi lama.
Pada tetanus lokal, hanya saraf-saraf yang menginervasi otot-otot
yang bersangkutan yang terlibat. Tetanus generalisata terjadi apabila toksin yang
dilepaskan ' di dalam luka memasuki aliran limfa dan darah dan menyebar
luas mencapai ujung saraf terminal: sawar darah otak memblokade masuknya
toksin secara langsung ke dalam sistem saraf pusat. Jika diasumsikan bahwa
waktu transport intraneuronal sama pada semua saraf, serabut saraf yang
pendek akan terpengaruh sebelum serabut saraf yang panjang: hal ini
menjelaskan urutan keterlibatan srabut saraf di kepala, tubuh dan
ekstremitas pada tetanus generalisata. (Sudoyo, 2011)
Tetanus biasanya terjadi setelah suatu trauma. Kontaminasi luka
dengan tanah, kotorac binatang, atau logam berkarat dapat menyebabkan
tetanus. Tetanus dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren,
luka gigitan ular yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi septik,
persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. Trauma yang menyebabkan
tetanus dapat hanyalah trauma ringan, dan sampai 50% kasus trauma terjadi di
24
dalam gedung yang tidak dianggap terlalu serius untuk mencari pertolongan
medis. Pada 15-25% pasien, tidak terdapat bukti adanya perlukaan baru.
(Sudoyo, 2011)
Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus, yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa
inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada
Tetanus berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari; 15% kasus terjadi
dalam 3 hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari. (Sudoyo, 2011)
Terdapat trias klinis berupa rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi
otonomik. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan, dan kesulitan untuk membuka
mulut, sering merupakan gejala awal tetanus. Spasme otot masseter
menyebabkan trismus atau 'rahang terkunci'. Spasme secara progresif
meluas ke otot-otot wajah yang menyebabkan ekspresi wajah yang khas,
'risus sardonicus' dan meluas ke otot-otot untuk menelan yang menyebabkan
disfagia. Spasme ini dipicu oleh stimulus internal dan eksternal dapat
berlangsung selama beberapa menit dan dirasakan nyeri. Rigiditas otot leher
menyebabkan retraksi kepala. Rigiditas tubuh menyebabkan opistotonus dan
gangguan respirasi dengan menurunnya kelenturan dinding dada. Refleks
tendon dalam meningkat. Pasien dapat demam, walaupun banyak yang tidak,
sedangkan kesadaran tidak terpengaruh. Di samping peningkatan tonus otot,
terdapat spasme otot yang bersifat episodik. Konstraksi tonik ini tampak seperti
konvulsi yang terjadi pada kelompok otot agonis dan antagonis secara
bersamaan. Kontraksi ini dapat bersifat spontan atau dipicu oleh stimulus
berupa sentuhan, stimulus visual, auditori atau emosional. Spasme yang
terjadi dapat bervariasi berdasarkan keparahannya dan frekuensinya tetapi
dapat sangat kuat sehingga menyebabkan fraktur atau ruptur tendon Spasme
yang terjadi dapat sangat berat, terus-menerus, nyeri bersifat generalisata
25
sehingga menyebabkan sianosis dan gagal nafas. Spasme ini dapat terjadi
berulang-ulang dan dipicu oleh stimulus yang ringan. Spasme faringeal
sering diikuti dengan spasme laringea! dan berkaitan dengan terjadinya
aspirasi dan obstruksi jalan nafas akut yang mengancam nyawa. Pada bentuk
yang paling umum dari tetanus, yaitu tetanus generalisata, otot-otot di
seluruh tubuh terpengaruh. Otot-otot di kepala dan leher yang biasanya
pertama kali terpengaruh dengan penyebaran kaudal yang progresif untuk
mempengaruhi seluruh tubuh. Diferensial diagnosisnya mencakup infeksi
orofaringeal, reaksi obat distonik, hipokalsemia, keracunan striknin, dan
histeria. Akibat trauma perifer dan sediicitnya toksin yang dihasilkan,
tetanus lokal dijumpai. Spasme dan rigiditas terbatas pada area tubuh tertentu.
Mortalitas sangatlah berkurang. Perkecualian untuk ini adalah tetanus sefalik
di mana tetanus lokal yang berasal dari luka di kepala mempengaruhi saraf
kranial; paralisis lebih mendominasi gambaran klinisnya, daripada spasme.
Tetapi progresi ke tetanus generalisata umum terjadi dan mortalitasnya tinggi.
Tetanus neonatorum menyebabkan Iebih dari 50% kematian akibat tetanus di
seluruh dunia, tetapi sangat jarang terjadi di negara-negara maju. Neonatus,
usia di bawah 1 minggu dengan riwayat singkat berupa muntah, konvulsi dan
tidak dapat menerima tninuman. Kejang, meningitis dan sepsis merupakan
diagnosis diferensialnya. Spasme bersifat generalisata dan mortalitasnya
tinggi. Higiene umbilikal yang buruk merupakan penyebabnya, namun
kesemuanya dapat dicegah dengan vaksinasi maternal, bahkan selama
kehamilan. (Sudoyo, 2011)
Sebelum adanya ventilasi buatan, banyak pasien dengan tetanus berat yang
meninggal akibat gagal nafas akut. Dengan perkembangan perawatan intensif,
menjadi jelas bahwa tetanus yang berat berkaitan dengan instabilitas
otonomik yang nyata. Sistem saraf simpatetiklah yang paling jelas
dipengaruhi. Secara klinis, peningkatan tonus simpatik menyebabkan
26
takikardia persisten dan hipertensi. Dijumpai vasokonstriksi yang tampak
jelas, hiperpireksia, keringat berlebihan. (Sudoyo, 2011)
Badai autonomik terjadi dengan adanya innstabilitas kardiovaskular yang
tampak nyata. Hipertensi berat dan takikardia dapat terjadi bergantian dengan
hipotensi berat, bradikardia dan henti jantung berulang. Pergantian ini Iebih
merupakan akibat perubahan resistensi vaskular sistemik daripada
perubahan pengisian jantung dan kekuatan jantung. Selama 'badai' ini, kadar
katekolamin plasma meningkat sampai 10 kali lipat mencapai kadar yang mirip
dengan yang dijumpai pada feokromositoma. Norepinefrin Iebih
terpengaruh daripada epinefrin. Hiperaktivitas neuronal Iebih mendominasi
daripada hiperaktivitas medula adrenal. Henti jantung mendadak kadang-
kadang terjadi, tapi mekanisme yang mendasarinya belumlah jelas.
Di samping sistem kardiovaskuler, efek otonomik yang lain mencakup salivasi
profus dan meningkatnya sekresi bronkial. Stasis gaster, ileus, diare, dan gagal
ginjal curah tinggi {high output renal failure) semua berkaitan dengan gangguan
otonomik.
Telah jelas adanya keterlibatan sistem saraf simpatis. Peranan sistem saraf
parasimpatis kurang jelas. Tetanus telah dilaporkan menginduksi lesi pada
nukleus vagus, di mana pada saat yang bersamaan terpapar toksin sehingga
menyebabkan aktivitas vagal yang berlebihan. Hipotensi, bradikardia dan asistol
dapat muncul akibat meningkatnya tonus dan aktivitas vagal. (Sudoyo, 2011)
Komplikasi tetanus yang lain dapat berupa pneumoni aspirasi, fraktur, ruptur
otot, tromboplebitis vena dalam, emboli paru, ulkus dekubitus dan
rabdomiolisis.
27
Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan
biasanya fatal apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada
anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat,
terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko
infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungsn, dan
kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2
minggu pertama kehidupan. Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme
merupakan gambaran khas tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang
terinfeksi, 90 % meninggal dan retardasi mental terjadi pada yang bertahan
hidup. (Sudoyo, 2011)
Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manifestasi klinisnya
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi
akibat peran toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya
bersifat ringan dan dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke
tetanus generalisata dapat terjadi. Namun demikian secara umum prognosisnya
baik. (Sudoyo, 2011)
Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang
terjadi setelah trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari.
Dijumpai trismus dan disfungsi satu atau Iebih saraf kranial, yang tersering
adalah saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi.
Mortalitasnya tinggi. (Sudoyo, 2011)
28
Perjalanan Klinis
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-
rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala
pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset
yang Iebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang Iebih
berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang semakin
parah. Gangguan ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme
dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu
tetapi kekakuan tetap bertahan Iebih lama. Pemulihan terjadi karena
tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa
memerlukan waktu sampai 4 minggu. (Sudoyo, 2011)
Derajat Keparahan
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan (Philllips, Dakar,
Udwadia) yang dilaporkan. Sistem yang dilaporkan oleh Ablett merupakan sistem
yang paling sering dipakai.
Klasifikasi beratnya tetanus oleh Ablett:
Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas
generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa
disfagia
Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan
frekuensi pernafasan Iebih dari 30, disfagia ringan.
Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generaisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi peraafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat
dan takikardia lebih daril20.
29
Derajat FV (sangat berat): Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
Dampak dari terserangnya seseorang oleh tetanus antara lain yaitu terjadi
perubahan kardiovaskular, perubahan fisiologi respirasi, perubahan pada sistim
ginjal sampai terjadi komplikasi. (Sudoyo, 2011)
Perubahan Fisiologi Kardiovaskular
Terdapat relatif sedikit penelitian tentang efek tetanus pada sistem
kardiovaskular. Suatu problem adalah bahwa efek hemodinamik dari
komplikasi dan terapi dapat menutupi efek sesungguhnya dari tetanus itu
sendiri. Udwadia meneliti 27 pasien dengan Ablett derajat III/IV yang stabil
dan tanpa terapi yang mempengaruhi hemodinamik. Sembilan belas di
antaranya dengan tetanus tanpa komplikasi, sedangkan delapan yang lain
dengan komplikasi (dengan pneumonia, sepsis, ARDS). Penelitiannya yang
berskala luas meliputi gambaran kardiovaskular dari tetanus, perubahan-
perubahan yang :erjadi selama spasme yang tidak terkontrol, selama rsiaksasi
yang intensif, selama pemulihan dan pengaruh p^emberian cairan pada tetanus
dibandingkan dengan sukarelawan sehat. la juga meneliti pasien-pasien selama
periode instabilitas kardiovaskular akibat 'badai oionomik'. Tetanus berat
tanpa komplikasi ditandai dengan isi hiperkinetik. Takikardia bersifat
universal disertai meningkatnya indeks volume sekuncup jantung dan
meningkatnya indeks kardiak. Penemuan yang lain
adalah resistensi vaskular sistemik yang normal rendah
dan tekanan pengisian sisi kiri dan kanan jantung yang
abnormal. Penemuan-periemuan ini mirip dengan yang
ditemukan oleh James dan Manson. Kondisi hiperkinetik
memperberat selama peningkatan aktivitas spasme dan
kurangnya relaksasi. Abnormalitas hemodinamik kurang
30
selama periode relaksasi muskuler penuh tetapi
pengukuran-pengukuran itu hanya secara bertahap
kembali ke nilai normalnya selama masa pemulihan.
pemberian cairan sebanyak 2000 ml meningkatkan tekanan
pesgisian jantung kiri dan indeks jantung, tapi efek ini
hanya bersifat sementara. Selama 'badai otonomik',
dengan instabilitas kardiovaskular yang jelas, pasien
mengalami fluktuasi dari kondisi hiperstimulasi dari
(tekanan arterial mencapai 220/120mmHg) dan
nadinya (denyut jantung 13O-19Ox/menit) . Terdapat sedikit perubahan pada
indeks jantung dan tekanan pengisian jantung. Apabila dibandingkan dengan
derajat yang lebih berat, pasien dengan derajat IV kurang mungkin menaikkan
indeks kardiak atau indeks-indeks kerja jantung sebagai respons terhadap
pemberian cairan atau selama peubahan resistensi vaskular yang dijumpai
selama 'badai otonomik'.Satu pasien dengan hipertensi berat berkepanjangan
dijumpai menunjukkan peningkatan resistensi vaskuler masif dengan SVRI
lebih tinggi dari 4500 dine cm'5 nr2- Pada tetanus tanpa komplikasi,
pengukuran-pengukuran tersebut di atas bervariasi luas dengan tanpa
konsistensi. Sirkulasi hiperkinetik terutama disebabkan peningkatakn
aktivitas simpatetik basal dan peningkatan aktivitas otot dengan efek yang
lebih lemah dari meningkatnya temperatur. SVRI yang normal rendah
disebabkan venodilatasi ekstensif dalam otot yang aktis secara metabolik. Rasio
ekstraksi oksigen tidak berubah pada tetanus dan peningkatan kebutuhan
oksigen dipenuhi dengan meningkatnya aliran darah. Kontrol spasme yang
buruk memperberat efek-efek ini. Pemberian cairan menyebabkan hanya
peningkatan sementara tekanan pengisian jantung, indeks kardiak dan
LVSWI, karena sirkulasi secara luas mengalami venodilatasi dan oleh karena
itu merupakan sistem kapasitansi yang tinggi apabila dibandingkan dengan
kontrol normal. Pada tetanus tanpa komplikasi, sistem kardiovaskular, oleh
karena itu menyerupai pasien normal yang melakukan aktivitas fisik intensif. 31
Pasien derajat IV tampak kurang menunjukkan peningkatkan kemampuan
jantung dan oleh karena itu lebih rentan terhadap hipotensi berat dan shok
selama 'badai vasodilatori akut'. Mekanismenya tidak jelas, tapi mungkin
berkaitan dengan berkurangnya stimulasi katekolamin secara mendadak atau
efek langsung toksin tetanus terhadap myokardium. Perubahan fungsi
myokardium mungkin disebabkan peningkatan kadar katekolamin yang
menetap, tatapi fungsi yang abnormal mungkin terjadi bahkan pada kondisi
tanpa sepsis atau kadar katekolamin yang tinggi. (Sudoyo, 2011)
Perubahan Fisiologi Respirasi
Rigiditas dan spasme muskuler dari dinding dada, diagfragma dan
abdomen menyebabkan adanya defek restriktif. Adanya spasme faringeal
dan laringeal merupakan pertanda adanya gagal nafas dan obstruksi jalan
nafas yang mengancam jiwa. Ketidakmampuan pasien untuk batuk, akibat
rigiditas, spasme dan sedasi mengakibatkan atelektasis dan resiko tinggi
terjadinya pneumonia. Ketidakmampuan untuk menelan yang berlebih,
sekresi bronkial yang profus, spasme faringeal, peningkatan tekanan
intrabdominal dan stasis gaster, semuanya meningkatkan resiko aspirasi yang
umum terjadi pada pasien tetanus. Gangguan ventilasi/perfusi umum terj adi.
Akibamya hipoksia merupakan keadaan yang umum dijumpai pada tetanus
sedang dan berat bahkan pada keadaaan dimana gambaran foto thorax bersih.
Tekanan oksigen, udara pernafasan antara 5,3-6,7 kPa umum dijumpai. Pada
pasien yang diberikan pernafasan buatan, peningkatangradien A-a bersifat
menetap. Penghantaran oksigen dan penggunaannya dapat terganggu bahkan
tanpa perubahan patologis paru tambahan. Sindroma distress pernafasan akut
mungkin terjadi sebagaui komplikasi spesifik tetanus. Perubahan ventilasi
ringan dapat disebabkan oleh penyebab yang bervariasi. Hiperventilasi dapat
terjadi karena ketakutan, gengguan otonomik, atau perubahan fungsi batang
otak. Hipokarbia (PC02 4.0-4.6 kPa) umum terjadi pada tetanus ringan sampai
32
sedang. 'Badai hiperventilasi' dapat berakibat hipokarbia berat (PCO2<3,3
kPa). Pada tetanus berat, hipoventilasi akibat spasme berkepanjangan dan
apneu terjadi. Sedasi, kelelahan dan perubahan fungsi batang otak mungkin
juga berakibat gagal nafas. Kemampuan respirasi dapat berkurang yang
berakibat terjadinya periode apnea yang mengancamjiwa. (Sudoyo, 2011)
Perubahan Fisiologi Ginjal
Pada tetanus ringan, fungsi ginjal tidak teganggu. Pada tetanus yang berat,
sering terjadi penurunan laju filtrasi glomerolus dan gangguan fungsi tubulus
ginjal. Penyebab tambahan gagal ginjal pada tetanus mencakup dehidrasi,
sepsis, rabdomyolisis dan perubahan dalam aliran darah ke ginjal yang terjadi
secara sekunder akibat peningkatkan mendadak kadar katekolamin. Gagal ginjal
dapat oligourik atau poliurik. Gangguan ginjal yang penting secara Minis
berkaitan dengan instabilitas otonomik dan gambaran histologisnya normal
atau menunjukkan nekrosis tubular akut. (Sudoyo, 2011)
Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme,
atau sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang
mengarah pada koma, aspirasi atau apnea, atau konsekuensi dari
perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan ventilator. (Sudoyo,
2011)
Metode eliminasi yang dapat digunakan adalah beberapa tindakan seperti
dibawah ini :
A. Pecegahan
Dengan upaya pencegahan yang baik maka angka kesakitan dan angka
kematian yang disebabkan oleh tetanus dapat diturunkan. Upaya-upaya tersebut
adalah :
33
1. Imunisasi aktif dengan toksoid. Diharapkan semua wanita usia subur sudah
mendapatkan suntikan toksoid sebanyak 5 kali sebelum ia hamil. Status
imunisasi yang demikian disebut tetanus toksoid (TT) 5 dosis yang akan
memberi perlindungan terhadap tetanus selama 25 tahun. Juga kepada pasien
yang sembuh dari tetanus hendaknya secara aktif di imunisasi karena
imunitas tidak diinduksi oleh toksin dalam jumlah kecil yang menyebabkan
tetanus.
2. Perawatan luka. Dilakukan dengan pemberian hidrogen peroksida (H2O2)
untuk oksigenasi luka di jaringan tubuh.
3. Persalinan yang bersih. Persalinan dengan 3 bersih (yaitu bersih tempat,
alat, dan tangan penolong persalinan) dengan perhatian pada saat
pemotongan tali pusat. ( Widyono, 2008)
B. Pengobatan
Setiap penderita tetanus harus dirawat di rumah sakit untuk mendapatkan
pelayanan dengan fasilitas tertentu. Setelah menemukan kasus ini, petugas
lapangan perlu segera merujuk penderita ke rumah sakit terdekat. Kecepatan
merujuk sangat berpengaruh pada angka kematian kasus. Pengobatan di rumah
sakit umumnya meliputi :
1. Pemberian antibiotik untuk membunuh bakteri, biasanya dengan pensilin
atau tetrasiklin.
2. Pemberian antikejang.
3. Perwatan luka atau penyakit penyebab infeksi.
4. Pemberian antitetanus serum (ATS)
C. Program Pemberantasan
1. Tujuan
Sesuai dengan kesepakatan global, departemen kesehatan menetapkan tujuan
umum tercapainya target maternal neonatal tetanus elimination di setiap
kabupaten atau kota, sementara tujuan khsunya yaitu : 34
a. Semua WUS pada kabupaten berisiko tinggi mendpatkan TT 5 dosis.
b. Semua WUS di SMA dan tempat kerja mendapatkan TT 5 dosis.
1. Kebijakan
a. Imunisasi TT pada WUS dimaksudkan untuk memberi perlindungan seumur
hdup terhadap tetanus.
b. Imunisasi TT pada WUS dilaksanakan terpadu lintas program.
c. Kegiatan akselerasi imunisasi di kabupaten/kota dihentikan bila status TT 5
dosis pada WUS sudah mencapai > 80%.
d. Pemberian TT dilakukan berdasarkan hasil skrining status TT.
2. Strategi
a. Priorotas imunisasi WUS oada daerah beresiko tinggi.
b. Diarahkan pada WUS yang terkelompok (misalnya pada industri,
perdagangan, atau perkebunan).
c. Imunisasi TT pada anak SMA.
d. Imunisasi pada calon pengantin dan ibu hamil tetap diteruskan.
e. Promosi kesehatan.
3. Kegiatan
a. Pertemuan lintas sektor.
b. Pendataan semua WUS berusia 15-39 tahun.
c. Pemetaan dengan sistem skoring.
d. Pembuatan jadwal pelaksanaan imunsasi (Januari-februari)
e. Pelaksaan imunisasi. ( Widyono, 2008)
35
4. HIV dan AIDS
Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam
Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. UNAIDS, Badan WHO yang
mengurusi masalah AIDS, memperkirakan jumlah odha di seluruh dunia
pada Desember 2004 adalah 35,9-44,3 juta orang. Saat ini tidak ada negara yang
terbebas dari HIV/AIDS. HIV/AIDS menyebabkan berbagai krisis secara
bersamaan, menyebabkan krisis kesehatan, krisis pembangunan negara,
krisis ekonomi, pendidikan dan juga krisis kemanusiaan. Dengan kata lain
HIV/AIDS menyebabkan krisis multidimensi. Sebagai krisis kesehatan,
AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan
pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. (Sudoyo, 2008)
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. Kasus
pertama AIDS di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Meskipun demikian, dari
beberapa literatur sebelumnya ditemukan kasus yang cocok dengan definisi
surveilans AIDS pada tahun 1950 dan 1960-an di Amerika Serikat. Sampel
jaringan potong beku dan serum dari seorang pria berusia 15 tahun di St. Louis,
AS, yang dirawat dengan dan meninggal akibat Sarkoma Kaposi diseminata
dan agresif pada 1968, menunjukkan antibodi HIV positif dengan Western
Blot dan antigen HIV positif dengan ELISA. Pasien ini tidak pernah pergi ke
luar negeri sebelumnya, sehingga diduga penularannya berasal dari orang lain
yang juga tinggal di AS pada tahun 1960-an, atau lebih awal. Virus penyebab
AIDS diidentifikasi oleh Luc Montagnier pada tahun 1983 yang pada waktu
itu diberi nama LAV (lymphadenopathy virus) sedangkan Robert Gallo
menemukan virus penyebab AIDS pada 1984 yang saat itu dinamakan HTLV-
III. Sedangkan tes untuk memeriksa antibodi terhadap HIV dengan cara Elisa
baru tersedia pada tahun 1985. (Sudoyo, 2008)
36
Istilah pasien AIDS tidak dianjurkan dan istilah Odha (orang dengan
HIV/AIDS) lebih dianjurkan agar pasien AIDS diperlakukan lebih manusiawi,
sebagai subjek dan tidak dianggap sebagai sekadar objek, sebagai pasien.
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan secara resmi oleh Departemen
Kesehatan tahun 1987 yaitu pada seorang warga negara Belanda di Bali.
Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember 1985 yang
secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa tiga kali
diulang, menyatakan positif. Hanya, hasil tes Western Blot, yang saat itu
dilakukan di Amerika Serikat, hasilnya negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai
kasus AIDS. Kasus kedua infeksi HIV ditemukan pada bulan Maret 1986 di RS
Cipto Mangunkusumo, pada pasien hemofilia dan termasuk jenis non-
progessor, artinya kondisi kesehatan dan kekebalannya cukup baik selama 17
tahun tanpa pengobatan, dan sudah dikonfirmasi dengan Western Blot, serta
masih berobat jalan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2002. (Sudoyo,
2008)
Limfosit CD4+ merupakan target utama infeksi HTV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yangpenting. Hilangnya fungsi
tersebut menyebabkan gangguan respons imun yang progresif. Kejadian infeksi
HTV primer dapat dipelajari pada model infeksi akut Simian Immunodeficiency
Virus (SIV). SIV dapat menginfeksi limfosit CD4+ dan monosit pada tnukosa
vagina. Virus dibawa oleh antigen-presenting cells ke kelenjar getah bening
regional. Pada model ini, virus dideteksi pada kelenjar getah bening makaka
dalam 5 hari setelah inokulasi. Sel individual di kelenjar getah bening yang
mengekspresikan SIV dapat dideteksi dengan hibridisasi in situ dalam 7
sampi 14 hari setelah inokulasi. Viremia SFV dideteksi 7-21 hari setelah infeksi.
Puncak jumlah sel yang mengekspresikan SIV di kelenjar getah bening
berhubungan dengan puncak antigenemia p26 SIV. Jumlah sel yang
mengekspresikan virus di jaringan limfoid kemudian menurun secara cepat
37
dan dihubungkan sementara dengan pembentukan respons imun spesifik.
Koinsiden dengan menghilangnya viremia adalah peningkatan sel limfosit
CD8. Walaupun demikian tidak dapat dikatakan bahwa respons sel limfosit
CD8+ menyebabkan kontrol optimal terhadap replikasi HIV. Replikasi HIV
berada pada keadaan ''steady-state' beberapa bulan setelah infeksi. Kondisi ini
bertahan relatif stabil selama beberapa tahun, namun lamanya sangat
bervariasi. Faktor yang mempengaruhi tingkat replikasi HIV tersebut, dengan
demikan juga perjalanan kekebalan tubuh pejamu, adalah heterogeneitas
kapasitas replikatif virus dan heterogeneitas intrinsik pejamu. Antibodi muncul
di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi, namun secara umum
dapat dideteksi pertama kali setelah replikasi virus telah menurun sampai ke
level 'steady- state'. Walaupun antibodi ini umumnya memiliki aktifitas
netralisasi yang kuat melawan infeksi virus, namun ternyata tidak dapat
mematikan virus. Virus dapat menghindar dari netralisasi oleh antibodi dengan
melakukan adaptasi pada amplop-nya, termasuk kemampuannya
mengubah situs glikosilasi-nya, akibatnya konfigurasi 3 dimensinya berubah
sehingga netralisasi yang diperantarai antibodi tidak dapat terjadi. (Sudoyo,
2008)
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk
tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS
sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi
HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit
tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan
perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. Infeksi HIV tidak akan
langsung memperlihatkan tanda atau gejala tertentu. Sebagian memperlihatkan
gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah
38
bening, fuam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV
asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang
perjalanannya lambat (non-progressor), Seiring dengan makin memburuknya
kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes,
dll. Tanpa pengobatan ARV, walaupun selama beberapa tahun tidak
menunjukkan gejala, secara bertahap sistem kekebalan tubuh orang yang
terinfeksi" HIV akan memburuk, dan akhirnya pasien menunjukkan gejala
klinik yang makin berat, pasien masuk tahap AIDS. Jadi yang disebut laten
secara klinik (tanpa gejala), sebetulnya bukan laten bila ditinjau dari sudut
penyakit HIV. Manifestasi dari awal dari kerusakan sistem kekebalan tubuh
adalah kerusakan mikro arsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV
yang luas di jaringan limfoid, yang dapat dilihat dengan pemeriksaan hibridisasi
in situ. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di
peredaran darah tepi. Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa
sehat, klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV
yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang cepat ini disertai dengan
mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan
replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh
masih bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10' sel
setiap hari. Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih
dari 80% pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup
jantung juga adalah penyakit yang dijumpai pada odha pengguna narkotika dan
biasanya tidak ditemukan pada odha yang tertular dengan cara lain. Lamanya
penggunaan jarum suntik berbanding lurus dengan dengan infeksi pneumonia
dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunakan narkotika suntikan,
makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara 39
bersamaan ini akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman
penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah dengan lebih cepat
sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat menyebabkan
reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya
biasanya lebih progresif. Perjalanan penyakit HIV yang lebih progresif pada
pengguna narkotika ini juga tercermin dari hasil penelitian di RS dr. Cipto
Mangunkusumo pada 57 pasien HIV asimptomatik yang berasal dari
pengguna narkotika, dengan kadar CD4 lebih dari 200 sel/mm3. Ternyata 56,14%
mempunyai jumlah virus dalam darah {viral load) yang melebihi 55.000
kopi/ml, artinya penyakit infeksi HIV nya progresif, walaupun kadar CD4 relatif
masih cukup baik. (Sudoyo, 2008)
Penularan penyakit ini bisa melalui betbagai cara, antara lain melalui cairan
tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus terdapat juga dalam saliva,
air mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan terdapat dalam air mata
dan keringat. Pria yang sudah disunat memiliki risiko HIV yang lebih kecil
dibandingakan dengan pria yang tidak disunat. (Sudoyo, 2008)
Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui :
a. Ibu hamil
Secara intrauterin, intrapartum, dan postpartum (ASI)
Angka transmisi mencapai 20-50%
Bayi normal memperoleh antibodi HIV (dari ibu yang tekena HIV) selama 6-
15 bulan.
b. Jarum suntik
Prevalensi 5-10%
Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum suntik karena
penyalahgunaan obat.
c. Transfusi darah
Risiko penularan sebesar 90%
40
Prevalensi 3-5%
d. Hubungan seksual
Prevalensi 70-80%
Kemungkinan tertular adalah 1 kali dalam 200 kali hubungan intim
Gejala klinis pada seseorang yang positif mengidap HIV antara lain yaitu:
Menurunnya daya tahan tubuh secara berangsur angsur, dengan masa inkubasi
6 bulan sampai 5 tahun.
Window period selama 6-8 minggu, adalah waktu saat tumbuh terinfeksi HIV
tetapi belum terdeteksi oleh pemeriksaan labolatorium.
Seseorang dengan HIV dapat bertahan sampai dengan 5 tahun. Jika tidak
diobati, maka penyakit ini akan bermanifestasi sebagai AIDS.
Gejala klinis muncul sebagai penyakit yang khas seperti:
a) Diare kronis
b) Kandidiasis mulut yang luas
c) Pneumocystis carinii
d) Pneuonia interstinalis limfositik
e) Ensefalopati kronik.
Metode eliminasi yang digunakan pada kasus HIV dan AIDS meliputi :
A. Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan pada penderita HIV/AIDS meliputi :
1. Pengobatan suportif
2. Penanggulangan penyakit oportunistik
3. Pemberian obat antivirus
4. Penanggulangan dampak psikososial
41
Pencegahan penyakit HIV/AIDS antara lain :
1. Menghindari hubungan seksual dengan penderita AIDS atau tersangka
penderita AIDS.
2. Mencegah hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan orang yang mempunyai banyak pasangan.
3. Menghindari hubungan seksual dengan pecandu narkotika dan obat suntik.
4. Melarang orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok berisiko tinggi
untuk melakukan donor darah.
5. Memberikan transfusi darah hanya untuk pasien yang benar-benar
memerlukan.
6. Memastikan sterilitas alat suntik.
Obat antivirus HIV/AIDS adalah :
1. Didanosin (ddl)
Dosis : 2 x 100 mg, setiap 12 jam (BB < 60 kg)
2 x 125 mg, setiap 12 jam (BB > 60 kg)
2. Zidovudin
Dosis : 500-600 mg/hari, pemberian setiap 4 jam sebanyak 100 mg, pada saat
penderita tidak tidur.
3. Lamivudin (3TC)
4. Stavudin (d4T)
Obat ARV (antiretrovirus) masih merupakan terapi pilihan karena :
Obat ini bisa memperlambat progresitifitas penyakit dan dapat
memperpanjang daya tahan tubuh.
Obat ini aman, mudah dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan
sampai mendekati nol melalui indentifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif
dan pengelolaan klinis yang agresif.
Hasil penelitian dalam hal upaya pencegahan dengan imunisasi belum
memuaskan.42
B. Program pemberantasan
Komisi penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) tahun 2006 menentukan
kebijakan penanggulangan penyakit HIV/AIDS secara nasional.
A. Arah kebijakan
1. Peningkatan upaya pencegahan
Pengurangan dampak buruk (harm reduction) penasun (pengguna NAPZA
suntik).
Peningkatan program pemakaian kondom 100% pada setiap hubungan seksual
yang beresiko.
Pencegahan penularan ibu ke bayi (PMTCT, prevention of mother-to child
transmission).
Transfusi darah yang aman.
Kewaspadaan universal (UP, universal precaution)
2. Peningkatan jumlah dan mutu
Pelayanan pengobatan IMS (infeksi menular seksual)
Peningkatan jumlah dan fungsi klinik VCT
Perawatan, dukungan, dan pengobatan (CST, care, support, and treatment)
pada ODHA (orang dengan HIV/AIDS)
3. Penguatan KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) di semua tingkat.
4. Peningkatan peraturan perundang-undangan dan anggaran.
5. Peningkatan KIE (komunikasi,informasi, dan edukasi)
6. Memperkuat monitoring dan evaluasi.
7.
B. Target
Target yang ditetapkan sesuai dengan delapan target kunci menuju 2010 yaitu :
43
1. 80% populasi yang paling beresiko, terjangkau oleh program pencegahan
yang komperhensif.
2. Perubahan perilaku pada 60% populasi paling beresiko.
3. 80% dari mereka yang memenuhi syarat, menerima pegobatan dengan ARV.
4. Sumber daya dan dana memenuhi estimasi kebutuhan pada tahun 2008.
5. Presentase ibu hamil dengan HIV dan yang menerima profilaksis HIV.
C. Kegiatan
Kegiatan disesuaikan dengan 8 kegiatan yang tercantum dalam SPM (standar
pelayanan minimal) yang sudah ditetapkan oleh KPAN, meliputi :
1. Komunikasi perubahan prilaku.
2. Promosi pemakaian kondom (PPK) 100%
3. Klinis IMS
4. VCT
5. Harm reduction
6. CST
7. PMTCT
8. Komunikasi publik
6. Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS)
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi
saluran napas yang disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala
klinis yang berat. SARS berpotensi untuk menyebar dengan sangat cepat
sehingga menimbulkan implikasi yang besar bagi para tenaga kesehatan.
Selanjutnya, dengan meningkatnya jumlah penerbangan internasional selama
beberapa dekade terakhir, memungkinkan terjadinya penyebaran infeksi SARS
yang luas hingga lintas benua dan menjadi suatu ancaman internasional.
44
Saat SARS muncul pada Maret 2003 di Guangzhou, SARS digambarkan
sebagai suatu pneumonia yang atipik. Pada saat itu, etiologi penyakit ini masih
belum diketahui, sehingga pemeriksaan diagnostik yang sesuai pun belum
tersedia. Satu-satunya alat penunjang diagnostik yang tersedia dan digunakan
sebagai pedoman definisi kasus oleh World Health Organization (WHO) dan
Center for Disease Control (CDC) hanyalah dari tampilan gejala klinis dan
riwayat kontak dengan pasien SARS. Saat ini penyebab SARS sudah berhasil
diketahui, yaitu berupa infeksi virus yang tergolong ke dalam Genus
Coronavirus (CoV). CoV SARS biasanya bersifat tidak stabil bila berada di
lingkungan. Namun virus ini mampu bertahan selama berhari-hari pada suhu
kamar. Vims ini juga mampu mempertahankan viabilitasnya dengan baik bila
masih berada di dalam feses. (Sudoyo, 2008)
Genus Coronavirus berasal dari ordo Nidovirales, yaitu golongan virus
yang memiliki selubung kapsul dan genom RNA rantai tunggal. Berdasarkan
studi genetik dan antigenisitas, CoV terbagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu; 1).
Kelompok 1, human CoV 229E dan porcine transmissible gastroenteritis virus;
2). Kelompok 2, human Co V OC34, bovine coronavirus, mice hepatitis virus;
dan 3). Kelompok 3, virus bronkhitis infeksiosa. Menurut berbagai penelitian
yang telah dilakukan, CoV SARS diketahui memiliki reaktivitas silang
dengan anti serum yang diproduksi oleh CoV 229E. Namun pada analisa
sequences genom, CoV SARS memiliki struktur genom yang berbeda dengan
genom CoV yang ada. Sehingga disimpulkan, bahwa CoV yang muncul baru-
baru ini dan menyebabkan outbreak SARS pada tahun 2003 adalah jenis baru
yang sama sekali belum pernah muncul sebelumnya (novel coronavirus).
Cara penularan CoV SARS yang utama ialah melalui kontak langsung membran
mukosa (mata , hidung dan mulut) dengan droplet pasien yang terinfeksi. Kasus-
kasus SARS terutama dilaporkan pada orang-orang yang memiliki riwayat
kontak langsung dengan pasien SARS yang sakit berat, sehingga kelompok
yang memiliki risiko terbesar untuk tertular virus ini ialah para tenaga medis yang
45
bekerja di rumah sakit. Kenyataan ini mengharuskan pemberlakuan pengendalian
infeksi yang optimal di seluruh rumah sakit sebagai proteksi bagi para tenaga
medis dan pengendalian infeksi di komunitas untuk mengurangi terjadinya
penularan di masyarakat. Selain kontak langsung dengan droplet pasien yang
terinfeksi, berbagai prosedur aerosolisasi di rumah sakit (intubasi, nebulisasi,
suction dan ventilasi) dapat meningkatkan risiko penularan SARS oleh
karena kontaminasi alat yang digunakan, baik droplet, maupun materi
infeksius lainnya seperti partikel feses dan urin. Selain itu, kemungkinan
penularan virus melalui benda-benda yang menyerap debu dan sulit untuk
dibersihkan, seperti karpet, juga masih perlu diselidiki lebih lanjut. Peran jalur
fekal-oral dalam penularan CoV SARS masih belum diketahui. Saat terjadinya
outbreak SARS di Hong Kong, dilaporkan 20%-73% kasus SARS memberikan
gejala diare. Begitu juga dengan kasus SARS yang terjadi di Vietnam,
Guangzhou, hingga Ontario, diare pada SARS telah dilaporkan di masing-
masing daerah dengan prevalensi yang bervariasi. Meskipun demikian,
masih belum ada laporan yang menguatkan bilamana diare tersebut muncul
sebagai akibat dari penularan melalui jalur fckal oral, sehingga rute ini tetap
menjadi tanda tanyabesar di dalam penularan CoV SARS. Namun dengan
diketahuinya jumlah virus yang banyak terdapat di dalam feses pasien-pasien
SARS, serta dengan kemungkinan munculnya diare, maka kedua hal tersebut
tetap harus menjadi perhatian khusus para tenaga medis di dalam alteraatif
penularan CoV SARS selama belum ada hasil evidence based yang
menyangkal. (Sudoyo, 2008)
SARS secara klinis lebih banyak melibatkan saluran napas bagian bawah,
dibandingkan dengan saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah,
sel-sel asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena daripada trakea ataupun
bronkus. Menurut hasil pemeriksaan post mortem yang dilakukan, diketahui
bahwa SARS memiliki 2 fase di dalam patogenesisnya. Fase awal terjadi selama
10 hari pertama penyakit, pada fase ini terjadi proses akut yang mengakibatkan
46
diffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif. Fase ini dicirikan dengan
adanya infiltrasi dari campuran sel-sel inflamasi serta edema dan pembentukan
membran hialin. Membran hialin terbentuk dari endapan protein plasma serta
debris nukleus dan sitoplasma sel-sel epitel paru (pneumosit) yang rusak.
Dengan adanya nekrosis sei-sel epitel paru maka barrier antara sirkulasi darah
dan jalan udara menjadi hilang sehingga cairan yang berasal dari pembuluh
darah kapiler paru menjadi bebas untuk masuk ke dalam ruang alveolus.
Namun demikian, karena keterbatasan jumlah pasien SARS yang meninggal
untuk diautopsi, maka masih belum dapat dibuktikan apakah kerusakan sel
epitel paru tersebut disebabkan oleh efek toksik virus secara langsung atau
sebagai akibat dari respon imun tubuh. Pada tahap eksudatif ini, RNA dan
antigen virus dapat diidentifikasi dari makrofag alveolar dan sel epitel paru
dengan menggunakan mikroskop elektiron. Fase selanjutnya dimulai tepat
setelah 10 hari perjalanan penyakit dan ditaridai dengan perubahan pada DAD
eksudatif menjadi DAD yang terorganisir. Pada periode ini, terdapat
metaplasia sel epitel skuamosa bronkial, bertambahnya ragam sel dan fibrosis
pada dinding dan lumen alveolus. Pada fase ini tampak dominasi pneumosit tipe
2 dengan pembesaran nukleus, serta nukleoli yang eosinofilik. Selanjutnya,
seringkali ditemukan sel raksasa dengan banyak nukleus {multinucleated giant
cells) di dalam rongga alveoli. Seperti infeksi CoV lainnya, maka sel raksasa
tersebut awalnya diduga sebagai akibat langsung dari CoV SARS. Tetapi
setelah dilakukan pemeriksaan imunoperoksidase dan hibridisasi in situ,
didapatkan bahwa CoV SARS justru berada di dalam jumlah yang rendah. Maka
disimpulkan, bahwa pada fase ini berbagai proses patologis yang terjadi tidak
diakibatkan langsung oleh karena replikasi virus yang terus menerus, melainkan
karena beratnya kerusakan sel epitel paru yang terjadi pada tahap DAD eksudatif
dan diperberat dengan penggunaan ventilator. (Sudoyo, 2008)
Gejala prodromal. SARS memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 14 hari dengan
rata-rata waktu sekitar 4 hari. Gejala prodromal SARS dimulai dari gejala infeksi
47
sistemikyang tidak spesifik seperti demam, myalgia, menggigil dan rasa kaku-
kaku di tubuh, batuk non-produktif, nyeri kepala dan pusing. Demam dengan suhu
tubuh >38 °C termasuk dalam definisi kasus awal {initial case definition).
Gejala ini tergolong gejala tipikal yang dilaporkan pada hampir seluruh
pasien SARS. Meskipun demikian, tidak semua pasien SARS menunjukkan
gejala demam. Misalnya pada pasien-pasien usia lanjut, demam mungkin
menjadi gejala yang tidak menonjol. Demam tinggi yang naik turun seringkali
berhubungan dengan rasa menggigil dan kaku-kaku di tubuh. Selain itu pasien
juga sering merasa sangat lelah disertai dengan nyeri otot yang dirasakan di
sekujur tubuh. Pada beberapa kasus, demam menghilang dengan sendirinya
pada hari ke-4 hingga ke-7, tetapi ini tidak mengindikasikan adanya perbaikan
dari gejala-gejala yang ada. Kenaikan ulang suhu tubuh dan perburukan dari
gejala-gejala penyakit seringkali muncu Gejala penyakit yang tidak spesifik
lainnya seperti pusing, nyeri kepala dan malaise juga umum ditemukan pada
pasien-pasien SARS. Gejala pusing yang sangat berat telah dilaporkan pada
pasierj-pasien yang berusia muda, diantaranya bahkan mengalami pingsan
saat mencoba bangun dari tempat tidur. Hal ini mungkin berkaitan dengan
munculnya hipotensi pada pasien-pasien tersebut. Banyak pasien mengalami
batuk-batuk kering saat fase awal penyakit. Nyeri tenggorok dan sekresi
lendir hidung yang berlebih (coryza) jarang ditemukan.l pada minggu ke-2.
Pada fase ini suara nafas akan terdengar jernih pada saat auskultasi. Tergantung
dari waktu kedatangan, 80% pasien SARS menunjukkan gambaran radiologis
foto dada yang normal pada saat kunjungan pertama. Namun hal ini tentunya tidak
dapat digunakan untuk mengeksklusi diagnosis SARS dan foto radiologis
ulangan perlu dilakukan. (Sudoyo, 2008)
Manifestasi pernapasan. Penyakit paru adalah manifestasi klinis yang utama
dari SARS. Gejala berupa batuk-batuk kering, terdapat pada 60-85% kasus dan
biasanya pasien akan merasa sesak ketika batuk. Pada auskultasi sering
didapatkan ronki di basal paru. Mengi biasanya tidak ditemukan. Sekitar akhir
48
minggu pertama dan awal minggu kedua, gejala-gejala tersebut dapat mengalami
perburukan. Pasien akan mengalami sesak napas yang semakin lama semakin
berat, dan pada akhirnya dapat membatasi kemampuan aktivitas fisik mereka.
Saturasi oksigen darah didapatkan semakin berkurang seiring dengan perjalanan
penyakit, Pada pencitraan, terdapat konsolidasi ruang udara yang fokal dan
unilateral pada tahap awal penyakit, yang kemudian segera berlanjut menjadi
multifokal dan semakin meluas pada minggu kedua. Meskipun proses ini dapat
mengenai seluruh lapang paru, namun terdapat kecenderungan predileksi di
daerah lobus bawah. Kadang-kadang didapatkan gambaran infiltrat paru yang
berpindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain dalam satu atau dua had.
Perubahan gambaran radiologis tersebut, sehubungan dengan penurunan viral
load, dapat digunakan sebagai dugaan kerusakan paru yang lebih cenderung
disebabkan oleh imunitas tubuh dibandingkan efek sitolisis virus secara langsung.
Gambaran CT scan toraks menunjukkan gambaran bronchiolitis obliterans
organizing pnemunia (BOOP), yakni suatu penyakit yang diperantarai oleh
sistem imunitas dan bersifat responsif terhadap terapi kortikosteroid. Sekitar
20-25% pasien mengalami progresi yang buruk ke arah gagal napas berat dan
acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga mengharuskan
perawatan ICU. Ventilasi mekanik dibutuhkan ketika suplementasi oksigen
dengan aliran tinggi tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan saturasi oksigen
tubuh. Pasien-pasien yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik memiliki
angka mortalitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien-pasien
yang tidak menggunakan. Kemudian, faktor-faktor lain yang berkaitan dengan
keluaran klinis yang buruk adalah usia lanjut, riwayat penyakit kardio-
pulmoner, infiltrat paru bilateral, jumlah netrofil yang tinggi, peningkatan
kreatinin kinase serum (CPK) dan peningkatan laktat dehidrogenase. Pada saat
terjadinya outbreak SARS, kebanyakan pasien-pasien SARS meninggal di
tempat perawatan ICU. Penyebab dari kematian tersebut adalah ARDS berat,
kegagalan fungsi multiorgan, infeksi sekunder dan septikemia, serta
komplikasi tromboembolik. (Sudoyo, 2008)49
Pheumotoraks dan pneumomediastinum telah banyak dilaporkan pada kasus-
kasus SARS yang berat. Hal ini dapat muncul spontan sebanyak 12%, atau
sebagai akibat dari penggunaan ventilator di ICU pada 20% lainnya.
Manifestasi pencernaan. Selain keluhan pernapasan, diare adalah gejala yang
penting dan paling sering dikeluhkan. Sebanyak 20% dari pasien-pasien SARS
mengalami diare pada saat kedatangan pertama dan 70% menunjukkan gejala
ini selama masa perjalanan penyakitnya. Biasanya diare yang terjadi ialah cair
dengan volume yang banyak tanpa disertai lendir maupun darah. Pada kasus
yang berat banyaknya cairan yang keluar mengakibatkan
ketidakseimbangan elektrolit dan deplesi cairan tubuh yang berlebih. Pada
beberapa kasus yang tidak disertai pneumonia, diare dan demam adalah satu-
satunya gejala yang tampak. Sementara, pada kasus-kasus yang lain, diare mulai
terjadi pada minggu kedua sakit, bersamaan dengan gejala demam yang rekurens
dan perburukan di paru. Namun demikian, diare pada SARS umumnya swasiraa
{self limiting) sehingga belum pernah ditemukan kasus SARS yang meninggal
karena diare. (Sudoyo, 2008)
Manifestasi hematologis. Berbagai kelainan yang ditemukan dari darah
pasien SARS penting untuk digunakan di dalam penegakkan diagnosis
penyakit. Limfopenia (<1000/mm3) ditemukan pada hampir semua pasien
SARS, dan pada kebanyakan kasus lebih sering mencapai kadar terendah
pada minggu ke dua sakit. Manifestasi limfopenia ini menjadi sangat penting,
bahkan tanpa disertai limfopenia yang progresif, maka diagnosis SARS
dipertanyakan. Peningkatan kadar limfosit umumnya terjadi pada minggu ketiga
dan hal ini dapat mencerminkan perbaikan keadaan klinis pasien. Namun
demikian 30% pasien SARS tetap mengalami keadaan limfopenik sampai dengan
minggu kelima sakit. (Sudoyo, 2008)
Leukositosis, yang terutama disebabkan oleh neutrofilia, juga sering
ditemukan pada pasien SARS. Neutrofilia kemungkinan berhubungan
50
dengan terapi kortikosteroid, namun pada pemeriksaan darah perifer beberapa
pasien lainnya, neutrofilia sudah didapatkan saat kedatangan pertama.
Tatalaksana sepsis hams dilakukan segera pada pasien-pasien SARS dengan
neutrofilia dan pemberian antibiotika spektrum luas secara empiris harus
dipertimbangkan. Kerusakan jaringan paru yang luas juga diduga sebagai
penyebab lain dari neutrofilia. Pasien-pasien yang datang sudah dengan
keadaan neutrofilia memiliki keluaran klinis yang lebih buruk. Trombositopenia
didapatkan pada lebih dari 50% kasus-kasus SARS. Tidak seperti demam
berdarah, diatesis hemoragik oleh karena rendahnya kadar trombosit sangat
jarang terjadi. Kadar trombosit akan kembali meningkat pada fase pemulihan.
. Trombositopenia ini dapat disebabkan oleh mekanisme imunologis atau
sebagai efek langsung virus pada megakariosit. Kadang-kadang
trombositopenia muncul sebagai akibat dari DIC. Dari tampilan klinis, petekie
dan ekimosis dapat ditemukan. (Sudoyo, 2008)
Meskipun manifestasi perdarahan sangat jarang terjadi, sebaliknya trombosis
vena tenyata lebih sering ditemukan. Kelainan ini paling banyak
bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam pada tungkai, yang semakin
diperkuat oleh pemeriksaan postmortem dengan ditemukannya
tromboemboli. (Sudoyo, 2008)
Manifestasi hati. Sebanyak 25% dari pasien-pasien SARS mengalami
peningkatan SGPT pada saat kedatangan pertama dan 70% mengalami
peningkatan tersebut selama perjalanan penyakit. Pada kebanyakan pasien,
peningkatan SGPT mulai terjadi hingga akhir minggu pertama sakit dan mencapai
puncak pada akhir minggu kedua. Tingginya kadar SGPT dapat digunakan untuk
menduga kemungkinan keluaran klinis yang lebih buruk dan derajat penyakit
yang lebih berat. Mayoritas pasien mengalami peningkatan SGPT secara
bertahap dan kembali secara spontan ke kadar yang normal seiring dengan
pemulihan dari penyakit. Penyebab dari peningkatan kadar SGPT ini tidak
diketahui dengan pasti. Namun, nampaknya peningkatan enzim hati ini 51
merupakan respon terhadap infeksi CoV SARS pada tubuh manusia dan bukan
diakibatkan oleh infeksi CoV yang spesifik di hepar (hepatitis). (Sudoyo, 2008)
Manifestasi kardiovaskular. Gejala-gejala yang terkait dengan sistem
kardiovaskular jarang ditemukan. Dari seri kasus yang didapatkan di Hong
Kong, kurang lebih 50% dari pasien SARS mengalami hipotensi (sistolik <100
mmHg dengan atau tanpa distolik < 50 mmHg) selama masa perawatan di rumah
sakit. Rendahnya tekanan darah ini berakibat timbulnya rasa pusing pada
banyak pasien. Takikardia yang persisten didapatkan pada 40% pasien SARS.
Manifestasi kardiovaskular yang terjadi pada pasien SARS umumnya tidak
memerlukan pengobatan dan bersifat asimtomatik. Hanya sebagian kecil pasien
SARS yang mengalami peningkatan kadar CK, dan kenaikan kadar enzim ini
ternyata tidak berhubungan dengan organ jantung. (Sudoyo, 2008)
Manifestasi neurologis. Keluhan pada sistem saraf juga jarang ditemukan
pada SARS. Kasus epilepsi dan disorientasi yang ditemukan pada SARS
pernah dilaporkan. Defisit neurologis fokal tidak pernah ditemukan, sementara dari
CT-Scan dan MRI juga tidak didapatkan gambaran abnormalitas struktur. Pada
pungsi lumbal dan analisa cairan serebrospinal juga tidak didapatkan
kelainan. Sehingga, sangat sulit untuk menentukan bila manifestasi pada sistem
saraf memang berhubungan langsung dengan CoV SARS atau oleh karena terapi
yang diberikan. (misal: kortikosteroid atau antibiotika). (Sudoyo, 2008)
Namun tenaga medis tetap harus waspada terhadap kemungkinan manifestasi
SARS pada sistem saraf, sebab pernah dilaporkan satu kasus SARS yang
menunjukkan status epileptikus selama perjalanan penyakitnya. Pada kasus
tersebut CoV SARS ditemukan di dalam CSS dan serum darah dalam kadar
yang cukup signifikan. Selanjutnya menurut hasil pemeriksaan lebih lanjut,
CoV SARS diketahui dapat menyebabkan demyelinisasi dari saraf otak.
Manifestasi atipik. SARS dapat memberikan gejala-gejala yang atipik terutama
pada pasien-pasien usia lanjut dan pasien-pasien imunokompromais, 52
sehingga membuat diagnosis SARS semakin sulit ditentukan. Sebagai contoh,
demam tinggi yang naik turun sebagai gejala yang paling sering ditemukan
pada pasien SARS, mungkin sulit didapatkan pada pasien usia lanjut meskipun
mereka sudah terkena pneumonia yang progresif. Pasien usia lanjut memiliki
masa inkubasi yang lebih lama sekitar 14-21 hari. Lebih lamanya rentang waktu
inkubasi, disebabkan oleh kesulitan dalam mendeteksi gejala sewaktu onset
karena gejala yang muncul tidak khas. Selain itu, pasien-pasien usia lanjut
seringkali memiliki berbagai macam permasalahan infeksi yang muncul
bersamaan sehingga semakin mengacaukan gejala SARS sendiri. Hal ini
menimbulkan berbagai kesulitan dalam diagnostik, penelusuran riwayat
kontak, pencegahan transmisi virus, dan pengendalian infeksi baik di rumah
sakit maupun komunitas. Oleh karena berbagai permasalahan tersebut, maka di-
agnosis SARS pada pasien usia lanjut dan pasien imunokompromais sangat
membutuhkan kewaspadaan dan ketelitian tenaga medis terhadap kemungkinan
SARS dan riwayat kontak, disertai dengan pengetahuan yang baik mengenai
permasalahan infeksi pada geriatri dan imunokompromais. Selain itu
mutlak diperlukan pengetahuan menyeluruh mengenai korelasi usia dengan
berbagai perubahan yang terjadi pada fisik dan kemampuan fungsi tubuh,
serta pengetahuan terkini yang terus berkembang mengenai SARS. (Sudoyo,
2008)
Metode eliminasi yang dilakukan yaitu :
A. Pencegahan :
Mencegah penularan melalui udara, droplet, atau kontak.
Penderita yang dicurigai SARS harus menggunakan masker sampai
dinyatakan bukan SARS
Mengupayakan perwatan penderita yang dicurigai SARS pada ruang isolasi.
53
B. Pengobatan :
Suportif : vitamin C dan B kompleks.
Simtomatik : analgesik, antitusif, mukolitik.
Profilaktik : antibiotik terapeutik dan profilaksis sesuai indikasi
Pemberian oksigen yang adekuat beserta penggunaan antivirus (ribavirin) sangat
membantu, tetapi mengingat persediaan dan harganya yang mahal, obat ini
belum bisa direkomendasikan secara luas.
7. Demanam Dengue
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
/ever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia,
ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai dengan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue
(dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh
renjatan/syok. Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh
virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x 106. Terdapat4 serotipe virus yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue
atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara
serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese
encehphalitis dan West Nile virus. Dalam laboratoriurn virus dengue dapat
bereplikasi padahewan mamalia seperii tikus, kelinci, kelinci, anjing, kelelawar
dan primate. Survei epidemilogi pada hewan lernak didapatkan antibodi
54
terhudap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelilian pada
artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes
(Slc^itmyici) dan Toxorhynchiies. (Sudoyo, 2008)
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa
hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD
cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. (Sudoyo, 2008)
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan
bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng
bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
biakan virus dengue yaitu: 1). vektor: perkemBangbiakan vektor, kebiasaan
menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat
ke tempat lain; 2). pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga,
mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3).
lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk. (Sudoyo,
2008)
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saal ini inusih
diperdebatkan.Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis bcrperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue dan sindrom renjatan dengue. Respons imun yang diketahui berperan
delam patogenesis DBD adalah: a), respons humoral berupa pembentukan
antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi
55
komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus
dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b).
limfosit T baik T-helper (CD4) dan T- sitotoksik (CD8) berperan dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi
IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis
virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu
aktivasi komplemen oleh kompleks imun meyebabkan terbentuknya
terbentuknya C3a dan C5a. (Sudoyo, 2008)
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi
amnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi. Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead
dan peneliti lain; menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi
makrofag yang memfagositosis kompleks virus-antibodi non netralisasi sehingga
virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue
menyababkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga diproduksi limfokin
dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-oc, IL-1, PAF
{platelet activating/actor), IL-6 dan histamin yang mengakibatkan terjadinya
disfungsi sel endotel dan terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a
terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma. Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi
melalui mekanisme: 1). Supresi sumsum tulang, dan 2). destruksi dan
pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase
awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi
56
megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin
dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan,
hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan
ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan
petanda degranulasi trombosit. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi
virus dengan endotel yang menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai
penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada demam berdarah
dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi
melalui aktivasi jalur ekstrinsik {tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga
berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui aktivasi kontak
{kalikrein Cl-inhibitor complex). (Sudoyo, 2008)
Program pemberantasan pada demam dengue
1. Tujuan
a) Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBD
b) Mencegah dan menanggulangi KLB
c) Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dala pemberantasan sarang
nyamuk (PSN)
2. Sasaran
Sasaran nasional (2000) :
a) Morbidilitas di kecamatan endemik DBD <2 per 10.000 penduduk.
b) CFR <2,5%
57
3. Strategi
a) Kewaspadaan dini
b) Penanggulangan KLB
c) Peningkatan keterampilan petugas
d) Penyuluhan
4. Kegiatan
a) Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis, PE) yaitu kegiatan
mendatangi rumah-rumah dari kasus yang diaporkan (indeks kasus) untuk
mencari penderita lain dan memeriksa angka jentik dalam radius 100 m dari
rumah indeks.
b) Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain.
Jika terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan
kasus termasuk merujuk ke unit pelayanan kesehatan (UPK)
c) Abatisasi selektif (AS), yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida
(malation, losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radisu 1 RW per
400 rumah per dukuh.
d) Pemeriksaan jentik berkala (PJB), yaitu kegiatan reguler tiga bulan sekali,
dengan cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan
sampel dapat dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan
rumah di tengah sebagai pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan kegiatan ini
akan didapatkan angka kepadatan jentik atau HI ( house index)
e) Fogging focus (FF), yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida
(malation losban) untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per
400 rumah per dukuh.
f) Pembentuka kelompok kerja (pokja) DBD di semua level administrasi, mulai
dari desa, kecamatan sampai tingkat pusat.
58
g) Menutup dan menguras tempat tempat penampungan air bersih, mengubur
barang bekas, dan membersihkan tempat yang berpotensi bagi
perkembangbiakan nyamuk.
h) Penyuluhan tentang gejala awal penyakit, pencegahan, dan rujukan
penderita.
5. Pencegahan
Kegiatan ini meliputi :
a) Pembersihan jentik
Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
Larvadisasi
Menggunakan ikan
b) Pencegahan gigitan nyamuk
Menggunakan kelambu
Menggunakan obat nyamuk
Tidak melakukan kebiasaan beresiko
Penyemprotan
C. Communicable Disease yang Disebabkan Oleh Artropoda
Skabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite)
Sarcoptes scabei, yang termasuk dalam kelas Arachnida. Tungau ini
berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat
mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut kutu badan. Penyakit ini juga
mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia dan
sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau melalui
sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak langsung melalui
baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah dipergunakan
penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau sarcoptesnya.59
Skabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti disela-sela jari,
siku, selangkangan. Skabies identik dengan penyakit anak pondok pesantren,
penyebabnya adalah kondisi kebersihan yang kurang terajaga, sanitasi yang
buruk, kurang gizi dan kondisi ruangan terlalu lembab dan kurang mendapat
sinar matahari secara langsung. Penyakit kulit scabies menular dengan cepat
pada suatu komunitas yang tinggal bersama sehingga dalam pengobatannya
harus dilakukan secara serentak dan menyeluruh pada semua orang dan
lingkungan pada komunitas yang terserang skabies, karena apabila dilakukan
pengobatan secara individual maka akan mudah tertular kembali penyaki
tskabies (Yosefw, 2007).
Gambar 1.1. Sarcoptes scabei (Sumber: fcps.edu)
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies, tetapi
juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman atau
bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan kulit
timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh
sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu kira-
kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai
dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan
garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi sekunder. Kelainan
kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi tungau (Handoko,
2001).60
Penyakit skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun
kontak tak langsung. Yang paling sering adalah kontak langsung yang saling
bersentuhan atau dapat pula melalui alat-alat seperti tempat tidur, handuk,
dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan
seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Di Amerika Serikat
dilaporkan, bahwa skabies dapat ditularkan melalui hubungan seksual
meskipun bukan merupakan akibat utama (Brown, 1999).
Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan
lingkungan, atau apabila banyak orang yang tinggal secara bersama-sama
disatu tempat yang relative sempit. Apabila tingkat kesadaran yang dimiliki
oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan
penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang,
kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan
terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan
program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang
permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada (Benneth, 1997).
Penularan skabies terjadi ketika orang-orang tidur bersama di satu
tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang
menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas
kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas. Di Jerman terjadi peningkatan
insidensi, sebagai akibat kontak langsung maupun tak langsung seperti tidur
bersama. Faktor lainnya fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama di
lingkungan padat penduduk (Meyer, 2000).
Gejala klinis yang terdapat antara lain :
a. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan
karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab
dan panas.
b. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam
sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi.
Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat penduduknya,61
serta kehidupan di pondok pesantren, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan
hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya terkena, tetapi tidak
memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai pembawa (carrier).
c. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
bewarna putih keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-
rata panjang satu cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau
vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf
(pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Tempat predileksinya biasanya
merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela
jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, aerola mame (wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna
(pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak
tangan dan telapak kaki.
d. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.
e. Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal
pada kulit yang umumnya muncul disela-sela jari, siku, selangkangan
dan lipatan paha, dan muncul gelembung berair pada kulit.
(Mawali, 2000).
Pengobatan skabies dapat dilakukan dengan delousing yakni showerdengan
air yang telah dilarutkan bubuk DDT (Diclhoro Diphenyl
Trichloroetan). Pengobatan lain adalah dengan mengolesi salep yang
mempunyai daya miticid baik dari zat kimia organic maupun non organic
pada bagian kulit yang terasa gatal dan kemerahan dan didiamkan selama 10
jam. Alternatif lain adalah mandi dengan sabun sulfur/belerang karena
kandungan pada sulfur bersifat antiseptik dan antiparasit, tetapi pemakaian
sabun sulfur tidak boleh berlebihan karena membuat kulit menjadi kering.
62
Akariasis
Akariasis adalah infestasi oleh artropoda, yaitu caplak dan tungau yang
dapat menimbulkan kelainan lokal maupun gangguan sistemik.
Caplak termasuk ordo Acarina yang tubuhnya terdiri dari segmen abdomen dan
segmen sefalotorak yang mengalami fusi menjadi satu sehingga bentuk
badannya mirip kantung. Caplak dapat dilihat dengan mata tanpa alat pembesar,
kulit dan badannya tebal dan tidak tembus sinar. Mulut caplak mudah dilihat
dengan sejumlah gigi untuk menggigit (Soedarto, 2009).
Akariasis dilaporkan dari seluruh dunia karena manusia dan berbagai
jenis hewan dapat menjadi tuan rumah tempat hidup artropoda ini (Soedarto,
2009).
Akibat gigitan caplak penderita dapat mengalami kelumpuhan saraf,
kelainan kulit dan anemia (pada hewan). Kelumpuhan saraf pada penderita
manusia umumnya terjadi pada anak berumur dibawah 10tahun, sedagkan
ganguan kulit dapat terjad akibat gigitan caplak(Soedarto, 2009).
Jika terjadi gigitan caplak, maka caplak harus dilepaskan pelan-pelan
dan hati-hati, dengan menetesi badan caplak dengan bahan iritan misalnya eter,
yodium, kloroform atau benzene.Caplak dapat diberantas dengan insektisida
yang sesuai. Untuk mencegah penularan akariasis, caplak harus diberantas dari
lingkungan peukiman dengan mengunakan insektisida.Kontak dengan hewan
harus dihindari.Lingkungan hidup harus dijaga kebersihannya agar tidak
menjadi tempat hidup caplak (Soedarto, 2009).
Pedikulosis
Pedikulosis disebabkan oleh ektoparasit yang hidup parasitik pada
manusia yaitu family Pediculidae yang termasuk dalam ordo Anoplura.Tiga
speses penting yang hanya hidup parasitik pada manusia adalah Pediculus
humanus, P.humanus corporis dan Phitrus pubis.Penyakit pedikulosis yang
ditimbulkannya mudah ditularkan melalui hubungan antar individu atau melalui
benda-benda pribadi yang digunakan bersama-sama (Soedarto, 2009).63
Infestasi Anoplura pada manusia disebut pedikulosis.Gigitan parasit ini
menyebabkan iritasi kulit yang terjadi akibat air liur yang dikeluarkan pada
waktu menghisap darah mangsanya.Akibat gigitan parasit ini terbentuk papul
merah yang terasa sangat gatal.Kulit membengkak dan berair.Infestasi berulang
menyebabkan terjadinya pengerasan kulit disertai pigmentasi.Keadaan ini
disebut morbus errorum atau vagabond’s disease (Soedarto, 2009).
Pengobatan pedikulosis ditujukan untuk mengobati rasa gatal dan
terhadap parasitnya dapat diberikan insektisida atau benzoas benzylus
emulsion.
1. Pedikulus Humanus Corporis
DDT bedak 10% dalam pyrophyllite untuk badan.Untuk parasite pada
pakaian, dilakukan desinfeksi pakaina dengan merebusnya kedalam otoklaf
suhu 60 derajat celcius selama 15 menit atau dilakukan fumigasi
menggunakan gas metil bromide.
2. Pedikulus Hominis Capitis
Diberikan insektisida yaitu salep BHC 1% atau bedak DDT 10% atau
diobati dengan benzoas benzylicus emulsion.
3. Phthirus Pubis
Salep lindane atau DDT 10% dapat diberikan.Jika terjadi infeksi pada bulu
mata dapat diberikan oksida kuning air raksa.
Mengobati penderita dengan baik akan mencegah penuaran pedikulosis oleh
penderita yang menjadi sumber infeksi. Selain itu harus dihindari kontak
langsung dengan penderita, bila perlu penderita diisolasi, misalnya pada
penderita scabies, selain itu diperlukan sosialisasi kepada masyarakat dari pihak
pemerintah untuk menekan angka dari kejadian pedikulosis(Soedarto, 2009).
D. Penyakit Communicable Desease karena protozoa.
Protozoa64
Amebiasis
Amebiasis adalah infeksi parasit yang disebabkan oleh Entamoeba
histolytica dan disebut sebagai penyakit bawaan makanan (Food Borne
Disease).Amebiasis merupakan penyebab ketiga kematian akibat infeksi parasit
di dunia setelah malaria dan skistomiasis.Pada dasar global, amebiasis
mengenai 50 juta orang per tahun, dan menyebabkan hampir 100,000 kematian
(Dhawan, 2008).
Amebiasis terjadi di seluruh dunia, namun prevalensi tertinggi terjadi
padadaerah tropis, negara berkembang dengan keadaan sanitasi buruk, status
social ekonomi yang rendah dan status gizi yang kurang baik serta di mana
strain virulensi E. histolytica masih tinggi.Kebanyakan mortalitas dan
morbiditas penyakit infeksi berlaku di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan
Amerika Sentral.Prevalensi E histolytica di berbagai daerah di Indonesia
berkisar di antara 10-18% (Junita et al, 2006).Hanya ±10% penderita menjadi
simptomatik dan berbeda simptomnya mengikut geografi.Prevalensi penderita
asimptomatik berkisar sebanyak ±90%, namun berbeda prevalensinya mengikut
geografi (Markel et al, 1999).
Persentase mortalitas bagi pasien dengan abses hepar nonkomplikasi
adalah kurang dari 1%, manakala fulminan kollitis amebiasis lebih
dari 50%.Pleuropulmonar amebiasis mempunyai persentase mortalitas 15-20%,
pericarditis amebik pula sebanyak 40%.Amebiasis serebral mempunyai
persentase yang paling tinggi iaitu 90% (Dhawan, 2008).
Di antara semua amebae intestinal, hanya entamoeba histolytica yang bersifat
patogen dan signifikan terhadap kesehatan manusia.Protozoa ini juga
merupakan penyebab utama disentri amebik (Yulfi, 2006).
Entamoeba histolytica ditransmisi terutamanya melalui fecal-oral secara direk,
kontak orang ke orang seperti menukar lampin bayi dan praktis seksual oral-
anal atau indirek melalui ingesti makanan atau minuman terkontaminasi.Faktor
transmisi fekal-oral ialah higine individu yang buruk terutama pada anak-anak
yangdijaga di tempat penitipan anak-anak, kemudian institusi seperti penjara, 65
rawat inap psikiatri, dan rumah anak yatim akibat displin kebersihan yang tidak
terjaga. Faktor lain ialah kawasan water-borne epidemics, diare migrans dan
wisatawan serta pria homoseksual yang melakukan kontak oral-anal. Penyaji
makanan ialah seseorang yang bertanggungjawab dalam menyajikan makanan,
berperan penting dalam penularan amebiasis jika menderita amebiasis
asimptomatis sehingga diperlukan higienis dan sanitasi yang baik dan etis
sebagaiusaha pencegahan.Atas dasar kenyataan tersebut di atas maka perlu
diketahui gambaran pengetahuan penyaji makanan amebiasis (disentri ameba).
Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa
bulan.E. histolytica terdapat dalam dua bentuk yaitu kista dan trofozoit yang
bergerak.Penularan terjadi melalui bentuk kista yang tahan suasana asam. Di
dalam lumen usus halus, dinding kista pecah mengeluarkan trofozoit yang akan
menjadi dewasa dalam lumen kolon. Trofozoit menginvasi dinding usus dengan
cara mengeluarkan enzim proteolitik, penglepasan bahan toksik menyebabkan
reaksi inflamasi dan terjadi destruksi mukosa. Selanjutnya timbul ulkus dengan
kedalaman mencapai submukosa atau lapisan muskularis, tepi ulkus menebal
dan sedikit reaksi radang.Akibat invasi amuba ke dinding usus, timbul reaksi
imunitas humoral dan imunitas amebisidal berupa makrofag lymphokine-
activated serta limfosit sitotoksik CD8. Invasi yang mencapai lapisan
muskularis dinding kolon dapat menimbulkan jaringan granulasi dan terbentuk
massa yang disebut ameboma, sering terjadi di sekum atau kolon asenden.
Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa
bulan.Amebiasis dapat berlangsung tanpa gejala (asimptomatik).Penderita
kronis mungkin memiliki toleransi terhadap penyakit, sehingga tidak menderita
gejala lagi (symptomless carrier).Gejala dapat bervariasi, mulai rasa tidak enak
di perut hingga diare. Gejala yang khas adalah sindroma disentri, yakni
kumpulan gejala gangguan pencernaan yang meliputi diare berlendir dan
berdarah, lunak disertai tenesmus, tinja berbau busuk, demam ringan, kembung
dan nyeri perut ringan, diare dapat mencapai 10X dalam sehari Lesi yang
tipikal terjadi di usus besar, yakni adanya ulkus karena kemampuan amoeba ini 66
menginvasi dinding usus. Pada pemeriksaan fisik didapati mata cekung , kering,
turgor kulit menurun , bising usus meningkat.
Sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil
pengobatan.Walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya diobati,
karena amoeba yang hidup sebagai komensal di dalam lumen usus besar,
sewaktu-waktu dapat menjadi pathogen.
1) Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang kebersihan perorangan,
terutama pembuangan tinja yang saniter, dan mencuci tangan sesudah buang air
besar dan sebelum memasak atau menjamah makanan. Menyebarkan informasi
tentang risiko mengkonsumsi buah atau sayuan mentah atau yang tidak dimasak
dan minum air yang tidak terjamin kebersihannya.
2) Membuang tinja dengan cara yang saniter.
3) Melindungi sumber air umum dari kontaminasi tinja. Saringan air dari pasir
menghilangkan hampir semua kista dan filter tanah diatomaceous
menghilangkan semua kista. Klorinasi air yang biasanya dilakukan pada
pengolahan air untuk umum tidak selalu membunuh kista; air dalam jumlah
sedikit seperti di kantin atau kantong Lyster sangat baik bila di olah dengan
yodium dalam kadar tertentu, apakah itu dalam bentuk cairan (8 tetes larutan
yodium tincture 2% per quart air atau 12,5 ml/ltr larutan jenuh kristal yodium)
atau sebagai tablet pemurni air (satu tablet tetraglycin hydroperiodide,
Globaline ®, per quart air). Biarkan lebih kurang selama 10 menit (30 menit
jika dingin) sebelum air bisa diminum. Filter yang mudah dibawa dengan
ukuran pori kurang dari 1,0 μm efektif untuk digunakan. Air yang kualitasnya
diragukan dapat digunakan dengan aman bila di rebus selama 1 menit.
Malaria67
Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa
parasit yang merupakan golongan Plasmodium, dimana proses penularannya
melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa parasit jenis ini banyak sekali
tersebar di wilayah tropik, misalnya di Amerika, Asia dan Afrika.Ada empat
type plasmodium parasit yang dapat meng-infeksi manusia, namun yang
seringkali ditemui pada kasus penyakit malaria adalah Plasmodium falciparum
and Plasmodium vivax.Lainnya adalah Plasmodium ovale dan Plasmodium
malariae. (Sudoyo, 2008)
Masa tunas / inkubasi penyakit ini dapat beberapa hari sampai beberapa
bulan yang kemudian barulah muncul tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh
penderita seperti demam, menggigil, linu atau nyeri persendian, kadang sampai
muntah, tampak pucat / anemis, hati serta limpa membesar, air kencing tampak
keruh / pekat karena mengandung Hemoglobin (Hemoglobinuria), terasa geli
pada kulit dan mengalami kekejangan. Namun demikian, tanda yang klasik
ditampakkan adalah adanya perasaan tiba-tiba kedinginan yang diikuti dengan
kekakuan dan kemudian munculnya demam dan banyak berkeringat setelah 4
sampai 6 jam kemudian, hal ini berlangsung tiap dua hari. Diantara masa
tersebut, mungkin penderita merasa sehat seperti sediakala. Pada usia anak-
anak serangan malaria dapat menimbulkan gejala aneh, misalnya menunjukkan
gerakan / postur tubuh yang abnormal sebagai akibat tekanan rongga otak.
Bahkan lebih serius lagi dapat menyebabkan kerusakan otak.
Ada beberapa bentuk manifestasi penyakit malaria, antara lain :
- Malaria tertiana, disebabkan oleh Plasmodium vivax, dimana penderita
merasakan demam muncul setiap hari ketiga.
- Malaria quartana, disebabkan oleh Plasmodium malariae, penderita merasakan
demam setiap hari keempat.
- Malaria serebral, disebabkan oleh Plasmodium falciparum, penderita
mengalami demam tidak teratur dengan disertai gejala terserangnya bagian
otak, bahkan memasuki fase koma dan kematian yang mendadak.
68
- Malaria pernisiosa, disebabkan oleh Plasmodium vivax, gejala dapat timbul
sangat mendadak, mirip Stroke, koma disertai gejala malaria yang berat.
Berdasarkan pemeriksaan, baik secara langsung dari keluhan yang timbul
maupun lebih berfokus pada hasil laboratium maka dokter akan memberikan
beberapa obat-obatan kepada penderita. Diantaranya adalah pemberian obat
untuk menurunkan demam seperti paracetamol, vitamin untuk meningkatkan
daya tahan tubuh sebagai upaya membantu kesembuhan.Sedangkan obat
antimalaria biasanya yang dipakai adalah Chloroquine, karena harganya yang
murah dan sampai saat ini terbukti efektif sebagai penyembuhan penyakit
malaria di dunia. Namun ada beberapa penderita yang resisten dengan
pemberian Chloroquine, maka beberapa dokter akan memberikan antimalaria
lainnya seperti Artesunate-Sulfadoxine/pyrimethamine, Artesunate-
amodiaquine, Artesunat-piperquine, Artemether-lumefantrine, dan
Dihidroartemisinin-piperquine. (Sudoyo, 2008)
Pencegahan penyakit malaria dapat dilakukan dengan Pembersihan
Sarang Nyamuk (PSN), berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk, atau
upaya pencegahan dengan pemberian obat Chloroquine bila mengunjungi
daerah endemik malaria. (Sudoyo, 2008)
Toxoplasmosis
Toxoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan
yang dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh protozoa yang
dikenal dengan nama Toxoplasma gondii, yaitu suatu parasit yang obligate
intraselluler dan banyak menginfeksi manusia dan hewan peliharaan, tetapi
jarang menimbulkan penyakit serius, karena biasanya bersifat self limited pada
individu sehat. Penyakit ini biasanya terjadi melalui kontak dengan tinja
kucing, makan makanan mentah, atau makanan daging yang terkontaminasi
dengan toxo ini (Hastomo, 2011).
69
Penyakit toxoplasmosis biasanya ditularkan dari kucing atau anjing tetapi
penyakit ini juga dapat menyerang hewan lain seperti babi, sapi, domba, burung
dan hewan peliharaan lainnya. Walaupun sering terjadi pada hewan-hewan
yang disebutkan di atas penyakit toxoplasmosis ini paling sering dijumpai pada
kucing dan anjing.Untuk tertular penyakit toxoplasmosis tidak hanya terjadi
pada orang yang memelihara kucing atau anjing tetapi juga bisa terjadi pada
orang lainnya yang suka memakan makanan dari daging setengah matang atau
sayuran lalapan yang terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit
toxoplasmosis (Hastomo, 2011).
Penderita toxoplasmosis sering tidak memperlihatkan suatu gejala klinis
yang jelas sehingga dalam menentukan diagnosis penyakit toxoplasmosis sering
terabaikan dalam praktek dokter sehari-hari.Hanya sekitar 20% wanita hamil
dengan toxoplasmosis yang menunjukkan gejala dari penyakit ini. Tetapi jika
seorang wanita terinfeksi sesaat sebelum atau selama kehamilan, maka sekitar
40-50% akan dapat menularkan penyakit ini ke bayi dalam kandungannya,
walaupun ibu hamil sendiri tidak merasa sakit. Apabila penyakit toxoplasmosis
mengenai wanita hamil trismester ketiga dapat mengakibatkan hidrochephalus,
khorioretinitis, tuli atau epilepsi, bayi lahir dengan anencephalus (Hastomo,
2011).
Siklus hidup toxoplasma ada dua fase, yaitu fase intestinal dan
ekstraintestinal.Fase intestinal hanya terjadi dalam intestinum kucing.Enzim
pencernaan dihasilkan toxoplasma untuk menembus dinding intestinum.
Reproduksi parasit menghasilkan berjuta-juta oocyst yang tidak infeksius, yang
akan diekskresikan bersama feses. Di luar tubuh kucing, oocyst mengalami
sporulasi (sporogony) yang terjadi paling lama 21 hari, dan menghasilkan
oocyst infeksius.Pada daerah dengan suhu panas dan kelembaban tinggi, oocyst
dapat tahan hidup sampai satu tahun.Fase ekstraintestinal dapat terjadi pada
semua hewan atau manusia yang terinfeksi.Pada fase ini, bentuk tachyzoite
(trophozoite) dapat menyebar ke berbagai organ melalui sirkulasi. Dalam
jaringan akan berubah menjadi zoithocyste (bradyzoite) yang dapat menjadi 70
persisten selama hidup, menjadi bentuk infeksi khornik atau laten (Hastomo,
2011). Dewasa ini setelah siklus hidup toxoplasma ditemukan maka usaha
pencegahannya diharapkan lebih mudah dilakukan.Pada saat ini diagnosis
toxoplasmosis menjadi lebih mudah ditemukan karena adanya antibodi IgM
atau IgG dalam darah penderita. Diharapkan dengan cara diagnosis maka
pengobatan penyakit ini menjadi lebih mudah dan lebih sempurna, sehingga
pengobatan yang diberikan dapat sembuh sempurna bagi penderita
toxoplasmosis. Dengan jalan tersebut diharapkan insidensi keguguran, cacat
kongenital, dan lahir mati yang disebabkan oleh penyakit ini dapat dicegah
sedini mungkin.Pada akhirnya kejadian kecacatan pada anak dapat dihindari
dan menciptakan sumber daya manusia yang lebih berkualitas (Hastomo, 2011).
Penyebaran toxoplasma dapat melalui berbagai cara. Oocyst feses kucing
dapat menginfeksi peroral melalui makanan atau minuman yang tercemar,
infeksi secara langsung melalui tangan yang tercemar, atau perinhalasi. Stadium
trophozoite dapat ditemukan pada sistem sirkulasi, sehingga dapat menyebar
melalui transfusi darah, transplantasi organ, air liur, air susu. Pada stadium
bradyzoit, toxoplasma dapat menyebar melalui makan daging yang kurang
matang atau melalui transplantasi organ.Toxoplasma dapat juga ditularkan
secara vertikal dari ibu ke fetusnya (transplasental) (Hastomo, 2011).
Gejala toxoplasmosis timbul terutama pada individu/hewan yang
mengalami gangguan sistem kekebalan tubuh, tetapi tidak patognomonik,
sehingga dapat menyulitkan diagnosa.Pada individu immunocompromised,
toxoplasmosis biasanya dapat menjadi fatal dan dapat menyebabkan kematian,
karena menyerang berbagai organ-organ penting.Manifestasi klinis tergantung
pada organ yang terinfeksi, misalnya saluran nafas pneumonia, bronchitis,
laryngitis (batuk-batuk, sesak nafas), hepatitis (muntah, diare, joundice),
jantung (sakit dada, sesak nafas), sistem saraf (inkoordinasi, retardasi mental)
(Hastomo, 2011).
71
Infeksi aktif pada ibu hamil, dapat menyebabkan abortus atau keguguran,
kelainan kongenital atau kecacatan, pembesaran limpa dan hati pada
bayinya.Kekuningan pada kulit dan mata (jaundice); infeksi mata yang berat,
dan lain-lain.
Infeksi pada trismester 1 atau 2 jarang terjadi, tetapi menimbulkan gejala
yang paling berat.Kehamilan dapat mengalami abortus atau bayi lahir
premature. Sebanyak 75% bayi lahir tanpa gejala, tetapi penyakit tetap bersifat
progresif apabila tidak diterapi; 17% terlihat gejala hydrocephalus,
khorioretinitis, pengapuran intrakranial; 8% mengalami kerusakan sistem saraf
pusat, dan anak mengalami retardasi mental dan fisik (Hastomo, 2011).
Infeksi toxoplasma pada trismester 3 paling sering terjadi, dan gejalanya sangat
ringan atau tidak menimbulkan gejala yang berarti. Wanita muda yang pernah
terinfeksi sebelum hamil tidak akan menularkan toxoplasma ke fetusnya apabila
hamil, kecuali apabila pada titer antibodinya ditemukan titer tinggi IgM (bukan
IgG). Pada individu yang pernah terinfeksi toxoplasma akan memperoleh long-
live immunity terhadap reinfeksi, kecuali pada individu immunocompromised,
toxoplasmosis dapat menjadi laten (Hastomo, 2011)
Untuk terapi, obat yang biasanya dipergunakan adalah pyrimethamine
yang dikombinasi dengan preparat sulfa.Obat tersebut toksik untuk kucing,
sehingga biasanya diberikan dalam dosis kecil.Asam folat atau multivitamin
dapat diberikan untuk memperbaiki kondisi tubuh.Kortikosteroid kadang
diberikan dengan dosis yang sesuai, untuk menurunkan reaksi inflamasi. Obat
lain yang sering digunakan adalah spiramisin, klindamisin (Hastomo, 2011).
Pencegahan pada tonxoplasmossi antara lain :
a. Hindari makan makanan yang dimasak setengah matang atau mentah.
b. Memasak bahan makanan dengan benar. Pemanasan pada suhu 700C selama
15- 30 menit dapat mematikan oocyst
c. Pengasapan, pengasaman, pengasinan makanan tidak dapat mematikan kista
d. Bersihkan lalapan, sayuran dan buahan sebelum dimakan dengan benar.
72
e. Bila membersihkan sampah atau tempat sampah, jangan lupa menggunakan
sarung tangan, atau sebaiknya serahkan tugas ini kepada anggota keluarga
lainnya.
f. Pendonor darah/organ sebaiknya dilakukan screening test untuk toxoplasma
g. Dilakukan pemeriksaan serologis pada wanita yang merencanakan hamil
h. Hewan atau individu yang terlihat sakit sebaiknya segera dibawa ke dokter
hewan/dokter.
i. Pakailah sarung tangan bila ingin mengerjakan pekerjaan kebun atau
perkarangan, untuk menghindari kontak langsung dari kotoran hewan yang
terinfeksi.
j. Bersihkan tangan, alat-alat dapur ( seperti; papan atau alas untuk memotong)
yang dipakai untuk mengelola daging mentah, hal ini untuk mencegah
kontaminasi dengan makanan lainnya.
k. Jangan minum susuunpasturized dari hewan.
E. Communicable Disease yang Disebabkan Oleh Jamur
1. Dermatomikosis
Infeksi jamur yang menyerang kulit ini juga disebut ringworm,
disebabkan oleh berbagai genus jamur, yaitu microsporum, Trichopyton dan
Epidermophytn. Jamur Microsporum canis dapat menyerang baik manusia
maupun hewan. (Soedarto, 2009) Bentuk konidia jamur ini khas, berukuran
besar (makrokronidia), berdinding kasar, multiseluler, berbentuk spindle.
Makronidia teletak di ujung hifa, mempunyai 8-15 sel, dengan ujung
melengkung atau berbentuk kait. Biakan pada agar Sabouraud yang dieramkan
pada suhu kamar menunukan tepi koloni yang membentuk pigmen berwarna
kuning kemerahan. Penyinaan dengan lampu Wood, jamur menunjukan
fluorosensi berwarna hijau muda. (Soedarto, 2009)
73
Infeksi jamur terjadi melalui kontak dengan kulit atau rabut penderita
ringworm. Mikrosporum canis dapat ditularkan melalui anjing dan kucing yang
sakit ke manusia. (Soedarto, 2009)
Terdapat 3 kelompok dermatomikosis, yaitu tinea pedis yang terjadi di
kulit dan kuku, tinea corporis atau tinea cruris yang terjadi pada kulit yang tiak
berambut, dan tinea capitis yang menyerang kulit yang berambut. Dermatophyt
juga dapat menimbulkan infeksi sistemik, misalnya endokarditis, pada pasie
yang menglami gangguan system imun tubuhnya. (Soedarto, 2009)
Untuk menentukan diagnosis pasti penyebabnya, keroka kulit, rambut
atau kuku penderita diperiksa dibaah mikroskop untk menemukan spora yang
ada pada jamur Microsporum tampak sebagai kelompok mozaik dikelilingi
rambut. Selain itu bahan pemeriksaan dapat diperiksa dibawah penyinaran
lampu Wood untuk menemukan adanya fluorosensi berwarna hijau muda.
Biakan jamur pada agar Sabouraud yang dieramkan pada suhu kamar selama 1-
3 minggu yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop lebih menunjang
diagnosis dermatomikosis. (Soedarto, 2009)
Pengobatan dermatomikosis dengan griselofulvin oral diberikan selama
1-4 minggu. Untuk dermatomikosis pada kuku, pengobatan diberikan selama
beberapa bulan disertai pencabutan kuku untukmempercepat penyembuhan.
Untuk mencegah infeksi dermatomikosis, kebersihan harus djaga dan dihindari
kontak dengan bahan tercemar jamur. Alat-alat dan instrument kedokteran
harus selalu disterilkan dengan minyak panas untuk menghindari penyebaran
jamur pada waktu dilakukan tndakan medis. Upaya preventif lainnya adalah
dengan menjaga kebersihan dan kekeringan kulit wajah termasuk juga telapak
kaki dan tangan, keramas dengan shampoo secara teratur terutama sehabis pergi
dari salon, jangan menukar topi dan pakaian dengan oranglain apabila belum
dicuci, serta hindari pula pemakaian sikat gigi, alat cukur, bersama dengan
orang yang menderita dermatomikosis tanpa pencucian terlebih dahulu.
74
Gambar 1.4. dermatomikosis pada kulit pipi
2. Kandidiasis
Kandidiasis atau moniliasis disebut juga secara umum sebagai thrush,
disebabkan oleh jamur Candida Albicans. Jamur menjadi pathogen jika daya
tahan tubuh penderita menurun.
Jamur ini secara alami dapat ditemukan di rongga mulut dan alat
pencernaan manusia, unggas dan mamalia. Candida albicans memmiliki
pseudohifa berbentuk lonjong bertunas, berukuran 2x6 mikron, bersifat Gram
positif. Biakan pada medium Agar Sabouraud koloni jamur tumbuh berwarna
kuning, berbau seperti ragi. (Soedarto, 2009)
Orang yang mempunyai risiko terinfeksi jamur kandida adalah yang daya
tahan tubuh rendah, misalnya perempuan hail yang menderita vaginitis, orang
tua lanjut usia, penderita malnutrisi, serta bayi yang ibunya menderita
75
kandidiasis. Selain itu penderita diabetes dan penderita dalam pengobatan
antibiotika jangka panjang mudah terserang kandidiasis. (Soedarto, 2009)
Mekanisme Kandidiasis
76
Gejala Klinis Kandidiasis
Berdasar atas jaringan yang terserang, kandidiasis dikelompokan menjadi
kandidiasis membrane mukosa, kandidiasis bronkopulmoner, kandidiasis
gastrointestinal, kandidiasis urogenital dan kandidiasis kulit.
Komplikasi terjadi bila kandidiasis menyebar ke organ-organ, menimbulkan
mikroabses di ginjal, jantung, selaput jaringan otak, serta sumsum tulang.
Kerusakan pada paru menimbulkan bronkiektasi.
Gambar 1.5. Kandidiasis pada lidah
Diagnosis pasti kandidiasis ditegakan jika ditemukan jamur kandida dari
kerokan kulit, tinja atau bahan hasil gastrokopi. Biopsy jaringan paru dan
eksudat pleura yang dibiakan pada medium Agar Sabouraud akan menumbuhkn
jamur kandida. Pemeriksaan foto paru dapat menunjukan terjadinya
peningkatan striation dan bayangan miliar. Pemeriksaan serologi, misalnya uji
presipitin pada agar gel ditujukan untuk menegakan diagnosis kandidiasis yang
berada di dalam organ. (Soedarto, 2009)
77
Pencegahan Kandidiasis
Penderita dengan gangguan system imun yang mendapatkan pengobatan
antibiotika jangka panjang sebaiknya dberi juga obat antijamur. Bayi baru lahir
hendaknya diamati kemungkinan terinfeksi kandidiasis dari ibu yang
melahirkannya.
Memperbaiki sanitasi perorangan dan lingkungan dan lingkungan dapat
membantu mencegah penyebaran kandidiasis. (Soedarto, 2009)
Selain itu ada tindakan lain yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit
kandidiasis yaitu:
Upaya Pencegahan Primer
1. Tidak berhubungan seksual atau hanya berhubungan seksual dengan satu
pasangan yang tidak terinfeksi.
2. Penderita pria juga dapat menggunkaan kondom lateks selama hubungan
seksual, dengan atau tanpa spermatisida.
3. Pencegahan terjangkitnya Candidosis, dapat dilakukan dengan menjaga area
sekitar genitalia bersih dan kering.
4. Hindari sabun yang dapat menyebabkan iritasi, vagina spray, dan semprotan
air.
5. Ganti pembalut secara teratur.
6. Gunakan pakaian dalam dari katun yang longgar dan menyerap keringat,
hindari pakaian dalam dari nilon.
7. Setelah berenang, cepat ganti pakaian yang kering daripada duduk dengan
pakaian renang yang basah dalam waktu yang lama.
Upaya Pencegahan Sekunder.
1. Pemeriksan ginekologi dan memeriksa organ genitalia eksterna, vagina, dan
cervix untuk melihat adanya inflamasi atau ekskret abnormal.78
2. Suspect Candidosis Vagina bila terjadi inflamasi pada vagina, terdapat
ekskret putih dari vagina, dan di sekeliling vagina, akan diambil sampel
ekskret vagina untuk diperiksa dengan mikroskop di laboratorium.
3. Obat antijamur yang bekerja secara langsung pada vagina sebagai tablet,
krim, salep, atau suppositoria. Obat-obatan ini termasuk butoconazole
(FemStat), clotrimazole (Clotrimaderm, Canesten), miconazole (Monistat,
Monazole, Micozole), nystatin, tioconazole (GyneCure), dan terconazole
(Terazole).
Upaya Pencegahan Tersier:
1. Tidak memakai pakaian dalam berbahan nilon yang menyebabkan daerah
genitalia menjadi lembab dan meningkatkan resiko infeksi berulang.
2. Menjaga pola makan sesuai dengan standar kesehatan untuk meningkatkan
daya tahan tubuh.
3. Menjaga kebersihan individu dan lingkungan untuk mencegah pertumbuhan
jamur yang dapat menyebabkan infeksi.
4. Melatih masyarakat yang pernah terjangkit Candidosis Vagina untuk terbiasa
berperilaku hidup sehat.
5. Terapi mental dan sosial.
Gambar 1.6. Kandidiasis pada Vulva
79
4. Aspergilosis
Penyebab asperagilosis adalah jamur Aspergillus yang banyak dijumpai di
daerah tropis. Mikosis visceral ini disebabkan oleh Asperagillus fumigates,
A.niger atau asperagilus lainnya. (Soedarto, 2009)
Di bawah mikroskop jamur khas bentuknya, berupa konidiofor yang
membesar di ujung hifa. Di dalam jaringan, eksudat atau dahak, jamur
berbentuk filament yang bersepta. Pada biakan Agar Sabouraud yang
dieramkan pada suhu 37-400C aan tumbuh koloni berwarna kelabu kehijauan
dengan bentukan seperti kubah yang berada di tengah koniditor. (Soedarto,
2009)
Aspergilosis pada manusia terjadi pada organ dan rongga tubuh yang
suasananya aerob. Penularan terjadi melalui udara yang tertutup yang
mengandung bahan infektif yang berasal dari kotoran burung dan unggas
lainnya. Yang sering terserang aspergilosis adalah petani, peternak unggas,
orang-orang yang rendah daya tahan tubuhnya atau menderita cacat anatomi
pada anggota tubuhnya. Penularan juga bisa berasal dari penderita aspergilosis
bronkopulmoner alergika yang batuk-batuk atau bersin-bersin. (Soedarto, 2009)
Pada penyakt yang ringan keluhan dan gejala dapat berupa sinusitis, batuk dan
demam. Pada aspergilosis paru yang invasive terutama yang system imunnya
terganggu, aspergilosis berlangsung progresif, menunjukan gejala demam, nyeri
dada, batuk berdahak makropurulen, gambaran bronkopulmoner akut maupun
kronis. Aspergilosis sukar dibedakan dari tuberculosis. (Soedarto, 2009)
Pemeriksaan mikroskopis dan biakan jamur atas dahak atau cucian
bronchial dapat menemukan jamur Asperagillus. Pemriksaan elektroforesis
membantu diagnosis aspergilosis.
Pemeriksaan foto paru dapat menunjukan adanya aspergiloma atau bola
jamur yang khas bentuknya. Pemeriksaan darah menunjukan gambaran
eosinofilia dan titer IgE serum meningkat. (Soedarto, 2009)
80
Pengobatan dan Pencegahan
Amfoterisin B yang diberikan melalui infuse perlahan dapat meberantas
jamur yang ada di jaringan. Itrakonazol dapat diberikan peroral sedangkan
preparat iodide diberikan untuk pengobatan local. Untuk mempercepat
pengeluaran jamur dari dalam abses, dapat dilakukan drainase abses.
Untuk mencegah penyebaran aspergilosis, kebersihan lingkungan, terutama
kandang unggas harus dijaga dengan baik. Sekreta unggas harus dihindari, dan
penderita aspergilosis yang batuk kronis akibat aspergilosis alergika juga harus
dijauhi. (Soedarto, 2009)
81
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Communicable dessease adalah penyakit menular yang umumnya banyak
terdapat di berbagai negara termasuk di indonesia. Pervalensi angka penderita
dan jumlah kematian di indonesia cukup besar dikarenakan vektor penyebaran
penyakit ini sangat banyak dan pada umunya masih berada di lingkungan
sekitar individu yang terinfeksi. Communicable dissease sangat membawa
dampak yang negatif bagi individu yang terkena penyakit tersebut, dampaknya
bisa merugikan berbagai aspek, tidak hanya kesehatan penderita yang
mengalami kemunduran tetapi berbagai aspek sosial, ekonomi bahkan budaya.
Oleh karena itu, penyakit menular ini sedini mungkin harus cepat dihentikan.
Study dari berbagai bidang ilmu penelitian khusunya kesehatan telah
memberikan bayak rujukan dan referensi mengenai penyakit menular ini,
meskipun penyakit ini dapat merugikan seseorang yang mengidapnya namun
jika upaya pencegahan dan pembasmian ( eliminasi) dilakukan secara tepat dan
cepat, maka dampak buruk dari penyakit menular ini dapat diminimalisir
bahkan dihentikan.
III.2 SARAN
Communicable dissease adalah penyakit yang dapat menyerang siapa
saja dan kapan saja, oleh kearen itu diharapkan dan disarankan kepada setiap
individu, setelah membaca dan memahami mengenai communicable dessease
dan cara pencegahan dan pengeliminasinnya, untuk dapat mengaplikasikan
bentuk-bentuk tindakan prevemtif, promotif, kuratif dan rehabilitatif yang cepat
dan tepat demi meminimalisir damapk negatif yang terjadi.
82
83
84
85
86
87
88
89