Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan...

24
11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan Pariwisata Berbasis Masyarakat Pengantar Pembahasan bab ini terfokus untuk mengungkapkan beberapa perspektif teoritik yang digunakan sebagai titik berangkat dalam menjelaskan fenomena dan realitas masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata. Beberapa perspektif teoritik yang digunakan sesungguhnya lebih diarahkan untuk memotret (menggambarkan) obyek penelitian, sehingga dapat dipahami sebagai satu kesatuan teori. Dengan demikian ada dua konsep yang digunakan dalam tulisan ini, antara lain : konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development), konsep pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism), yang di dalam konsep ini akan dijelaskan beberapa konsep lainnya yaitu, konsep pertisipasi masyarakat lokal, enterpreneursip dalam pariwisata, serta peran komunitas lokal (local community) dalam konservasi lingkungan dan konsep kepemimpinan lokal (local leader) dalam pengembangan pariwisata. Diskusi ini akan diawali dengan pengantar mengenai konsep- konsep umum dari pengembangan pariwisata di suatu daerah. Tujuan pembangunan di suatu negara atau daerah, pada hakekatnya untuk mensejahterakan kehidupan masyarakatnya. Pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan sudah selayaknya dijadikan prioritas untuk dikembangkan pemerintah dalam upaya pencapaian tujuan pembangunan, yaitu untuk mensejahterakan masyarakatnya. Pengembangan pariwisata yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta telah meningkatkan jumlah kedatangan wisatawan dari satu daerah ke daerah lain. Kunjungan wisatawan akan merangsang interaksi sosial dengan penduduk di sekitar tempat wisata dan merangsang tanggapan masyarakat sekitarnya sesuai dengan kemampuan mereka dalam beradaptasi baik di bidang

Transcript of Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan...

Page 1: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

11

Bab Dua

Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pengantar

Pembahasan bab ini terfokus untuk mengungkapkan

beberapa perspektif teoritik yang digunakan sebagai titik berangkat

dalam menjelaskan fenomena dan realitas masyarakat lokal dalam

pengembangan pariwisata. Beberapa perspektif teoritik yang

digunakan sesungguhnya lebih diarahkan untuk memotret

(menggambarkan) obyek penelitian, sehingga dapat dipahami

sebagai satu kesatuan teori. Dengan demikian ada dua konsep yang

digunakan dalam tulisan ini, antara lain : konsep pembangunan

pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism development), konsep

pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism), yang di

dalam konsep ini akan dijelaskan beberapa konsep lainnya yaitu,

konsep pertisipasi masyarakat lokal, enterpreneursip dalam

pariwisata, serta peran komunitas lokal (local community) dalam

konservasi lingkungan dan konsep kepemimpinan lokal (local

leader) dalam pengembangan pariwisata.

Diskusi ini akan diawali dengan pengantar mengenai konsep-

konsep umum dari pengembangan pariwisata di suatu daerah.

Tujuan pembangunan di suatu negara atau daerah, pada hakekatnya

untuk mensejahterakan kehidupan masyarakatnya. Pariwisata

sebagai salah satu sektor pembangunan sudah selayaknya dijadikan

prioritas untuk dikembangkan pemerintah dalam upaya pencapaian

tujuan pembangunan, yaitu untuk mensejahterakan masyarakatnya.

Pengembangan pariwisata yang telah dilakukan baik oleh

pemerintah maupun swasta telah meningkatkan jumlah kedatangan

wisatawan dari satu daerah ke daerah lain. Kunjungan wisatawan

akan merangsang interaksi sosial dengan penduduk di sekitar tempat

wisata dan merangsang tanggapan masyarakat sekitarnya sesuai

dengan kemampuan mereka dalam beradaptasi baik di bidang

Page 2: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

12

perekonomian, kemasyarakatan maupun kebudayaan mereka (Pitana

et al. 2008)1.

Pariwisata dengan segala aspek kehidupan yang terkait di

dalamnya akan menuntut konsekuensi dari terjadinya pertemuan dua

budaya atau lebih yang berbeda, yaitu budaya para wisatawan

dengan budaya masyarakat sekitar obyek wisata. Budaya-budaya

yang berbeda dan saling bersentuhan itu akan membawa pengaruh

yang menimbulkan dampak terhadap segala aspek kehidupan dalam

masyarakat sekitar obyek wisata (Yoeti 2008)2.

Pada hakekatnya ada empat bidang pokok yang dipengaruhi

oleh usaha pengembangan pariwisata, yaitu : ekonomi, sosial,

budaya, dan lingkungan hidup. Dampak positif yang

menguntungkan dalam bidang ekonomi yaitu bahwa kegiatan

pariwisata mendatangkan pendapatan devisa negara dan terciptanya

kesempatan kerja, serta adanya kemungkinan bagi masyarakat di

daerah tujuan wisata untuk meningkatkan pendapatan dan standar

hidup mereka. Dampak positif yang lain adalah perkembangan atau

kemajuan kebudayaan, terutama pada unsur budaya teknologi dan

sistem pengetahuan yang maju. Dampak negatif dari pengembangan

pariwisata tampak menonjol pada bidang sosial, yaitu pada gaya

hidup masyarakat di daerah tujuan wisata. Gaya hidup ini meliputi

perubahan sikap, tingkah laku, dan perilaku karena kontak langsung

dengan para wisatawan yang berasal dari budaya berbeda3. Untuk

pencapaian tersebut, dibutuhkan suatu perencanaan dan

pengembangan sektor pariwisata yang terpadu dan terintegrasi

dengan berbagai sektor pembangunan lainnya melalui kerjasama dan

partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan (stakeholder).

Dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan tersebut,

maka pengembangan sektor pariwisata diharapkan tetap menjaga

keberlangsungan (sustainable) serta kelestarian ekosistem

lingkungan (environment) dengan tetap memperhatikan kondisi

sosial budaya masyarakat lokal (local community), agar tetap

1 Pitana, I Gde & Gayatri, G.Putu, 2005, “Sosiologi Pariwisata”, Penerbit Andi

Yogyakarta,2008, Hal: 81 2 Yoeti, A.Oka,2008, “Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata” Penerbit

PT Pradnya Paramitha; Jakarta, 2008, Hal : 144. 3 Pendit, Nyoman S, 1990. “Ilmu Pariwisata : Sebuah Pengantar Perdana” ;

Jakarta: PT. Pradana Paramita. Hlm : 80.

Page 3: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

13

dipertahankan dan dapat juga dinikmati oleh generasi yang akan

datang. Dengan kata lain, pembangunan kepariwisataan

berkelanjutan, harus dapat mengelola dan mengembangkan seluruh

kualitas lingkungan daerah tujuan wisata dan warisan budaya serta

menjamin manfaat aktivitas kepariwisataan dan distribusi ekonomi

terhadap masyarakat secara luas dan dalam jangka waktu lama.

Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable

tourism development)

Pada bagian ini, akan dibahas beberapa kajian teoritik dari

pengembangan pariwisata berkelanjutan. Sub bab ini akan

menguraikan berbagai pandangan pakar dalam melihat atau

mengkaji konsep pengembangan pariwisata. Diharapkan ketika

konsep-konsep ini di paparkan, maka akan lebih jelas melihat

essensi dari model pengembangan pariwisata berkelanjutan yang

bermanfaat untuk saat ini, ataupun untuk keberlangungan generasi

akan datang.

Diskusi ini diawali dengan konsep „sustainable tourism‟

yang diperkenalkan oleh Word Commission on Environment and

development (WCAD di Brunlad Report pada tahun 1987),

disebutkan bahwa : “Sustainable development is development that

meets the needs of present without compromising the ability of

future generation to meet their own needs”4. Dari pernyataan

tersebut dipahami bahwa sustainable development adalah bagian

dari pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan

kebutuhan pada saat ini dengan tidak mengabaikan kemampuan

generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Demikian pula

WTO (1993), mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan yang

mencakup, pertama, ecological sustainability; kedua, social and

cultural sustainability; dan ketiga, economic sustainability, baik

4 Lihat, Fagance, Michael, (2001) “Integrated Planning for Sustainable Tourism

Development”; dalam Abdilah Fitra dan Leksmono, S Maharani, 2001,

“Pengembangan Kepariwisataan berkelanjutan”, Jurnal Ilmu Pariwisata Vol.6,

No. 1 juli 2001, hal :87.

Page 4: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

14

untuk generasi yang sekarang maupun generasi yang akan datang

(Suwena, 2010)5.

Dalam perjalanan waktu, konsep pembangunan

berkelanjutan (Sustainable development) diadopsi kedalam konsep

pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism

development). Pembangunan pariwisata berkelanjutan diartikan

sebagai proses pembangunan pariwisata yang berorientasi kepada

kelestarian sumber daya yang dibutuhkan untuk pembangunan pada

masa mendatang, pengertian pembangunan pariwisata berkelanjutan

ini pula diartikan “Form of tourism that are consistent with natural,

social, and community values and which allow both host and guest

to enjoy positive and worthwhile interaction and shared experience”

(Eadington and Smith 1992:3)6. Selain itu, Wall (1993 dalam

Suwena 2010)7, menekankan pembangunan pariwisata berkelanjutan

tidak hanya pada ekologi dan ekonomi, tetapi juga berkelanjutan

kebudayaan karena kebudayaan juga merupakan sumber daya

penting dalam pembangunan pariwisata. Oleh karena itu, Suwena

(2010), mengkategorikan suatu kegiatan wisata dianggap

berkelanjutan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

“Pertama, Secara ekologi berkelanjutan, yaitu pembangunan

pariwisata tidak menimbulkan efek negatif terhadap ekosistem

setempat. Selain itu, konservasi merupakan kebutuhan yang

harus diupayakan untuk melindungi sumber daya alam dan

lingkungan dari efek negatif kegiatan wisata ; Kedua, secara

sosial dapat diterima, yaitu mengacu pada kemampuan

penduduk lokal untuk menyerap usaha pariwisata (industri dan

wisatawan) tanpa menimbulkan konflik sosial; Ketiga, secara

kebudayaan dapat diterima, yaitu masyarakat lokal mampu

beradaptasi dengan budaya wisatawan yang cukup berbeda

(kultur wisatawan); Keempat, secara ekonomi menguntungkan,

yaitu keuntungan yang didapati dari kegiatan pariwisata dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.

5 Suwena, I Ketut, 2010. “Format Pariwisata Masa Depan”; dalam “Pariwisata

Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit Udayana

University Press. 6 Lihat Eadington, W.R. and Smith,V. 1992. “The Emergence of Alternative

Form of Tourism”. dalam Smith,V. and Eadington, W.R. (ed). Tourism

Alternative : Potencial and Problem in the Tourism Development. Philadelphia.

Dalam tulisannya Suwena, I Ketut, 2010. “Format Pariwisata Masa Depan”,

dalam “Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar :

Penerbit Udayana University Press. Hal 279. 7 op.cit.Hal : 279

Page 5: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

15

Konsep pembangunan berkelanjutan kemudian oleh Burns

dan Holder (1997),8 diadaptasikan untuk bidang pariwisata sebagai

sebuah model yang mengintegrasikan lingkungan fisik (place),

lingkungan budaya (host community), dan wisatawan (visitor).

Untuk memenuhi pencapaian pembangunan pariwisata yang

berkelanjutan, maka oleh Burns dan Holder (1997 dalam Suwena,

2010),9 mengkonstruksikan hal tersebut melalui 7 prinsip (acuan),

antara lain:

“Pertama, lingkungan memiliki nilai hakiki yang juga bisa

berfungsi sebagai asset wisata. Pemanfaatannya bukan hanya

untuk kepentingan jangka pendek tetapi juga untuk kepentingan

generasi mendatang; Kedua, pariwisata harus diperkenalkan

sebagai aktivitas yang positif yang memberikan keuntungan

bersama kepada masyarakat, lingkungan, dan wisatawan itu

sendiri; Ketiga, hubungan antara pariwisata dan lingkungan

harus dibuat sedemikian rupa sehingga lingkungan tersebut

berkelanjutan untuk jangka panjang. Pariwisata harus tidak

merusak sumber daya alam supaya masih dapat dinikmati oleh

generasi mendatang atau membawa dampak yang dapat

diterima; Keempat, aktivitas pariwisata dan pembangunan harus

peduli terhadap skala / ukuran alam dan karakter tempat-tempat

kegiatan tersebut dilakukan; Kelima, pada lokasi lainnya,

keharmonisan harus dibangun diantara kebutuhan-kebutuhan

wisatawan, tempat / lingkungan, dan masyarakat; Keenam,

dunia yang cenderung dinamis dan penuh dengan perubahan

dapat selalu member keuntungan. Adaptasi terhadap perubahan,

bagaimanapun juga, jangan sampai keluar dari prinsip-prinsip

ini. Ketujuh, industri pariwisata, pemerintah lokal, dan lembaga

swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan, semuanya

memiliki tugas untuk peduli pada prinsip-prinsip di atas dan

bekerja sama untuk merealisasikannya”.

Sejalan dengan pandangan Burns dan Holder, konsep

pariwisata berkelanjutan oleh Chucky (1999)10

yang dimuat dalam

8 Lihat Burns, P. and Holden, A. 1997. “Tourism : A New Perspective”, Prestice

Hall International (UK) Limited, Hemel Hempstead “. Dalam Suwena, I Ketut,

2010. “Format Pariwisata Masa Depan”, dalam “Pariwisata Berkelanjutan

Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit Udayana University Press.

Hal :280. 9 Suwena, I Ketut, 2010. “Format Pariwisata Masa Depan”, dalam “Pariwisata

Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit Udayana

University Press. Hal :281. 10

Chucky. 1999. “Internasional Tourism : A Global Prespective”. Word Tourism

Organization (WTO). Madrid Spanyol. Sumber ini dikutip dari Yayu Indrawati

Page 6: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

16

Internasional Tourism : A global Prespective, bertumpu – terfokus -

pada tiga hal, yaitu : “ 1). Quality, sustainable tourism provides a

quality experience for visitor, while improving the quality of life of

the host community and protecting the of quality of the environment;

2). Continuity, sustainable tourism ensures the continuity of the

natural resources upon which it is based, and the continuity of the

culture of the host community with satisfying experience for visitor;

3). Balance, sustainable tourism balance the needs for tourism

industry, supporters of the environment and the local community.

Sustainable tourism emphasize the mutual goals and cooperation

among visitor, host community and destination in contras to more

traditional approaches to tourism which emphasize their diverses

and conflicting needs”.

Selanjutnya, dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan

menekankan bahwa pariwisata harus didasari kriteria yang

berkelanjutan yang intinya adalah bahwa pembangunan ekologi

jangka panjang harus didukung dan pariwisata harus layak secara

ekonomi serta adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat lokal

(Indrawati, 2010)11

. Selain itu, menurut Mowforth and Munt

(1998)12

, konsep sustainable development meliputi tiga komponen

yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, sebagai berikut:

Pertama. Ecologycal Sustainability, bermakna bahwa pembangunan

kepariwisataan tidak disebabkan oleh perubahan yang irreversible

dalam suatu ekosistem yang telah ada, dan menjadi dimensi yang

(2010) “Pelestarian Warisan Budaya Bali Dalam Mewujudkan Pariwisata

Berkelanjutan di Kota Denpasar. Dalam “Pariwisata Berkelanjutan Dalam

Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit Udayana University Press. Hal

:121. Tiga konsep diatas dapat diterjemahkan bebas sebagai berikut : “(1).

Kualitas yang menyangkut kualitas pelayanan kepada wisatawan, peningkatan

kualitas atau taraf hidup masyarakat lokal, dan peningkatan kualitas alam yang

dijadikan sebagai objek atau daya tarik wisata; (2). Kelestarian sumber daya

alam dan kelestarian budaya-budaya masyarakat lokal; dan (3). keseimbangan

kebutuhan industri pariwisata, lingkungan, dan masyarakat lokal agar tercipta

tujuan dan kerjasama yang saling menguntungkan diantara para stakeholders

dan destinasi pariwisata. 11

Indrawati, Yayu. (2010) “Pelestarian Warisan Budaya Bali Dalam

Mewujudkan Pariwisata Berkelanjutan di Kota Denpasar. Dalam dalam

“Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit

Udayana University Press. Hal 122. 12

Abdilah Fitra dan Leksmono, S Maharani, 2001, “Pengembangan

Kepariwisataan berkelanjutan”, Jurnal Ilmu Pariwisata Vol.6, No. 1 Juli 2001,

hal :87.

Page 7: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

17

secara umum diterima sejak adanya kebutuhan untuk melindungi

sumber daya alam dari dampak negatif kegiatan pariwisata. Kedua,

Social Adaptability, sesuai dengan kemampuan kelompok untuk

menyerap wisatawan tanpa menimbulkan ketidak-harmonisan

hubungan sosial, baik antara anggota kelompok masyarakat tersebut

dengan wisatawan, atau antara sesama anggota kelompok tersebut.

Ketiga, Cultural Sustainability, dalam konteks ini mengasumsikan

bahwa di dampak kehadiran wisatawan kesuatu daerah tujuan

wisata, tidak membawa dampak negatif terhadap perkembangan

budaya setempat, melainkan keberadaan budaya tersebut harus tetap

dipertahankan untuk generasi yang akan datang.

Selanjutnya, untuk mencapai tujuan sustainable tourism

development, maka dibutuhkan dua pendekatan dalam

keterkaitannya dalam pariwisata. Fagence (2001)13

, menunjukkan

dua model keterkaitan itu, antara lain : Pertama, keterkaitan

Horisontal (horizontal lingkage), pendekatan ini mengandung

pengertian bahwa kepariwisataan merupakan fasilitator terhadap

berbagai program dan kebijakan yang akan dilaksanakan. Agar

proses yang terjadi menjadi efisien, diperlukan berbagai komponen

kebijakan yang saling mendukung untuk dapat memahami persoalan

secara jernih, mendefinisikan visi dan misi pembangunan,

pemahaman terhadap hirarki tujuan dan sasaran program, serta

pengorganisasian proses secara baik. Pada pendekatan ini

kepariwisataan merupakan komponen dari proses yang berjalan

sejajar dengan bidang lain sehingga diperlukan kolektivitas.

Kedua, Keterkaitan Vertikal (vertical lingkage). Tujuan dari

hubungan pendekatan ini adalah untuk mencari keseimbangan

penggabungan komponen-komponen penting dari aktivitas

kepariwisataan dan pembangunan serta „melindungi‟ berbagai

terobosan cemerlang dalam pengambilan keputusan. Karakteristik

hubungan vertikal adalah sebagai berikut : Pertama, pada

pendekatan ini, kepariwisataan merupakan bagian dari pembangunan

yang berfungsi sebagai bagian dari strategis dalam penyusunan

kebijakan, sehingga berada di atas dan berpengaruh terhadap sektor

lain; Kedua, elemen strategis dari perencanaan kebijakan harus

13

Abdilah Fitra dan Leksmono, S Maharani, 2001, “Pengembangan

Kepariwisataan berkelanjutan”, Jurnal Ilmu Pariwisata Vol.6, No. 1 Juli 2001,

hal :87.

Page 8: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

18

mencakup penyediaan sarana dan prasaranaa kepariwisataan; Ketiga,

pengembangan kepariwisataan khusus, mencakup akomodasi, dalam

berbagai tipe, hotel, motel, dsb; Kelima, prakiraan dampak

(mencakup kajian carrying capacity) pembangunan kepariwisataan

ditinjau dari sisi ekonomi, lingkungan, sosial ekonomi masyarakat

lokal, budaya dan warisan; Keenam, pembiayaan, pemasaran,

promosi, dan system informasi; Ketujuh, kampanye Sadar Wisata

bagi masyarakat.

Dari penjelasan di atas Veresci (2001)14

, menyimpulkan

bahwa, untuk mencapai pembangunan kepariwisataan berkelanjutan

diperlukan strategi untuk menghindari / melawan empat faktor yang

saling terkait sebagai berikut : Pertama, perencanaan kondisi

lingkungan yang sensitif terhadap perubahan serta beberapa

komponen budaya dari masyarakat lokal. Kedua, perencanaan dalam

mengatasi semua perbedaan antar sektor yang berkepentingan.

Ketiga, perencanaan untuk mengatasi dan melawan pengaruh negatif

dari program kepariwisataan secara massal. Keempat, perencanaan

dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan yang tidak dapat

berbalik (irreversible changes)15

.

Dengan demikian dari berbagai pandangan dan kajian

konseptual tentang pengembangan pariwisata berkelanjutan, konsep

yang ditawarkan oleh Burns dan Holder menjadi pilihan acuan

dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism

development) yang berbasis komunitas masyarakat (community

based tourism). Atau dengan kata lain, pariwisata berkelanjutan

merupakan suatu konsep pariwisata yang dicita-citakan oleh

masyarakat yang memahami pentingnya arti keberlanjutan itu

sendiri, yang menekankan pada keberlanjutan pengembangan suatu

kawasan pariwisata pada tiga aspek yaitu, ekologi, sosial budaya,

dan ekonomi. Oleh sebab itu, dibutuhkan strategis perencanaan yang

baik dan terpadu oleh semua stakeholder dalam pelaksanaannya.

14

Lihat Vereczi, Gabor,2001. “Guiding Principles for Local Authorities in

Planning for Sustainable Tourism Development.; Dalam, Abdilah Fitra dan

Leksmono, S Maharani, 2001,“Pengembangan Kepariwisataan

Berkelanjutan”, Jurnal Ilmu Pariwisata Vol.6, No. 1 Juli 2001, hal : 92 15

Lihat, Fagance, Michael, 2001. “Integrated Planning for Sustainable Tourism

Development”, dalam Abdilah Fitra dan Leksmono, S Maharani, 2001, “

Pengembangan Kepariwisataan Berkelanjutan”, Jurnal Ilmu Pariwisata Vol.6,

No. 1 juli 2001, hal : 92

Page 9: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

19

Sehingga, menurut peneliti, dari keempat strategi perencanaan dari

model Veresci tersebut apabila dapat diintegrasikan ke dalam suatu

perencanaan terpadu maka diyakini dapat menghasilkan apa yang

disebut sebagai pembangunan kepariwisataan berkelanjutan

(sustainable tourism development).

Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based

Tourism)

Salah satu point penting dalam konsep pengembangan

pariwisata berkelanjutan, yaitu bagaimana masyarakat lokal dapat

diberdayakan dan diikut sertakan dalam aktivitas kegiatan pariwisata

itu sendiri dalam rangka memperoleh kemanfaatan dari kegiatan

pariwisata. Selain itu mengingat peran masyarakat begitu penting

dalam menjaga kondisi lingkungan dimana obyek wisata itu berada,

maka pada sub bagian ini, peneliti akan menampilkan beberapa

konsep (definisi) dari beberapa teori mengenai konsep

pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (community based

tourism). Kemudian juga akan dibahas beberapa konsep mengenai

partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata, antara lain :

kewirausahaan dalam pariwisata (entrepreneurship in tourism),

peran komunitas dalam menjaga lingkungan dan peran pemimpin

lokal (local leader) dalam suatu komunitas masyarakat.

Partisipasi Masyarakat dalam Pariwisata

Pengembangan pariwisata tentunya tidak dapat dipisahkan

dengan partisipasi. Masyarakat tidak lagi ditempatkan sebagai objek

yang hanya menerima apa yang diputuskan dari atas (pemerintah),

tetapi masyarakat pada saat ini juga harus dilibatkan sebagai subjek

dalam kerangka mengembangkan pariwisata.16

Keterlibatan

masyarakat dalam mengembangkan pariwisata akan menyebabkan

16

Manafe, Adi Hendrik, 2003. “Wisatawan dan Penerimaan Masyarakat Lokal

Nemberala” ; Salatiga: Tesis Master Program Pascasarjana UKSW Salatiga. Hal

21

Page 10: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

20

timbulnya rasa memiliki dan rasa ingin turut memelihara potensi

pariwisata yang berada di daerahnya.

Pandangan Razak, dalam sebuah Seminar Pengembangan

Suatu Kawasan Bahari, (2000 dalam Manafe, 2003)17

,

mengungkapkan bahwa pembangunan pariwisata harus dikaitkan

dengan karakteristik sosial ekonomi masyarakat lokal sehingga

kemajuan pariwisata akan terintegrasi dengan perekonomian

masyarakat lokal. Selanjutnya untuk menganalisis siapa yang

berpartisipasi, Cohen dan Uthoff (Pramono: 2000 dalam Manafe,

2003)18

, menyarankan agar mengidentifikasi ciri-ciri khusus, mereka

itu adalah: pertama, penduduk setempat, kedua, pemimpin

masyarakat baik secara formal maupun non formal, ketiga, pejabat

pemerintah, keempat, orang asing. Khusus kategori satu yaitu

penduduk setempat, penting untuk pengelompokan menurut umur,

jenis kelamin, status keluarga, pendidikan, pekerjaan, pendapatan,

tempat tinggal. Dimensi yang cukup penting untuk diperhatikan

adalah “bagaimana partisipasi itu berlangsung” pertama, Apakah

inisiatif itu datang dari administrator atau penduduk setempat,

kedua, apakah dorongan partisipasi itu sukarela atau paksaan, ketiga,

struktur partisipasinya, keempat, saluran partisipasinya, kelima,

durasi partisipasinya, keenam, ruang lingkup partisipasinya, ketujuh,

pemberian kuasa, yang meliputi bagaimana keterlibatan pengarah

pada hasil yang diharapkan. Dalam mengukur partisipasi, harus

digunakan indikator sikap dan perbuatan.

Selain itu, menurut Nengah (2006)19

, masyarakat merupakan

sekelompok orang yang berada di suatu wilayah geografi yang sama

dan memanfaatkan sumber daya alam lokal yang ada di sekitarnya.

Di negara-negara maju dan berkembang pada umumnya pariwisata

dikelola oleh kalangan swasta yang memiliki modal usaha yang

besar yang berasal dari luar daerah dan bahkan luar negeri. Sehingga

masyarakat lokal yang berada di suatu daerah destinasi pariwisata

tidak dapat terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata. Ketidak

terlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata sering kali

17

op.cit. Hal : 22 18

op.cit. Hal : 24 19

Subadra, I Nengah. 2006. “Ekowisata Hutan Mangrove Dalam Pembangunan

Pariwisata Berkelanjutan: Studi Kasus di Mangrove Information Center, Desa

Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar”. (tesis) S2 Kajian

Pariwisata: Universitas Udayana.

Page 11: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

21

menimbulkan opini bahwa masyarakat lokal bukan termasuk

stakeholders dari pariwisata dan merupakan kelompok yang

termarjinalisasi dari kesempatan bisnis dalam bidang pariwisata.

Pada dasarnya masyarakat lokal memiliki pengetahuan

tentang fenomena alam dan budaya yang ada di sekitarnya. Namun

mereka tidak memiliki kemampuan secara finansial dan keahlian

yang berkualitas untuk mengelolanya atau terlibat langsung dalam

kegiatan pariwisata yang berbasiskan alam dan budaya. Sejak

beberapa tahun terakhir ini, potensi-potensi yang dimiliki oleh

masyarakat lokal tersebut dimanfaatkan oleh para pengelola wilayah

yang dilindungi (protected area) dan pengusaha pariwisata untuk

diikutsertakan dalam menjaga kelestarian alam dan biodiversitas

yang ada di daerahnya. Masyarakat lokal harus terlibat secara aktif

dalam pengembangan pariwisata. Lebih jauh, pariwisata juga

diharapkan memberikan peluang dan akses kepada masyarakat lokal

untuk mengembangkan usaha pendukung pariwisata seperti; toko

kerajinan, toko cindramata (souvenir), warung makan dan lain-lain

agar masyarakat lokalnya memperoleh manfaat ekonomi yang lebih

banyak dan secara langsung dari wisatawan yang digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya. Tingkat

keterlibatan masyarakat dalam pariwisata sangat berbeda dan ini

tergantung dari jenis potensi, pengalaman, pengetahuan dan keahlian

yang dimiliki oleh individu atau masyarakat lokal tersebut (Nengah,

2006)20

.

Dari penelitian Nengah (2006) juga mengungkapkan bahwa

Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata

dapat dilakukan dengan cara : Pertama, menyewakan tanahnya

kepada operator pariwisata untuk dikembangkan sebagai obyek dan

daya tarik pariwisata serta turut serta memantau dampak-dampak

yang ditimbulkan sehubungan dengan pengembangan pariwisata

tersebut; Kedua, bekerja sebagai karyawan tetap atau paruh waktu di

perusahaan operator pariwisata tersebut; Ketiga, menyediakan

pelayanan jasa kepada operator pariwisata seperti; pelayanan

makanan, transportasi, akomodasi dan panduan berwisata (guiding);

Keempat, membentuk usaha patungan (joint venture) dengan pihak

20

Subadra, I Nengah. 2006. “Ekowisata Hutan Mangrove dalam Pembangunan

Pariwisata Berkelanjutan: Studi Kasus di Mangrove Information Center, Desa

Pemogan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar”. (Tesis) S2 Kajian

Pariwisata: Universitas Udayana.

Page 12: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

22

swasta, yang mana masyarakat lokal menyediakan lokasi dan

pelayanan jasanya sedangkan pihak swasta menangani masalah

pemasaran produk dan manajemen perusahaan; Kelima,

mengembangkan pariwisata secara mandiri dengan mengutamakan

pengembangan pariwisata berbasiskan kemasyarakatan (community-

based tourism).

Dalam Teori Community-Based Resources Management,

Korten (1986, dalam Pitana 1999)21

, mengemukakan tiga alasan

mengapa community based management sangat penting

dilaksanakan sebagai rancangan dasar dalam pembangunan, yaitu:

Pertama, adanya sumber daya lokal (local resources) yang secara

tradisional dikuasai dan dikelola oleh masyarakat lokal; Kedua,

adanya tanggung jawab lokal (local accountability), artinya

pengelolaan yang dilakikan oleh masyarakat setempat biasanya lebih

bertanggung jawab, karena kegiatan yang mereka lakukan secara

langsung akan mempengaruhi hidup mereka. Orang luar dipandang

tidak mempunyai kedekatan moral dengan masyarakat lokal,

sehingga tidak merasa memiliki tanggung jawab. Ketiga, adanya

variasi antar daerah (local variety), sehingga daerah yang satu

dengan daerah yang lain tidak boleh diperlakukan sama dan

menuntut adanya sistem pengelolaan yang berbeda.

Pandangan Korten inilah yang oleh Pitana (2000 dalam

Arismayanti 2010)22

, memunculkan konsep pariwisata kerakyatan

yang memiliki karakteristik ideal, antara lain : Pertama, skala usaha

yang dikembangkan adalah skala kecil sehingga lebih mudah

dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah di dalam

penguasaannya; Kedua, pelakunya adalah masyarakat menengah ke

bawah atau biasanya didominasi oleh masyarakat lokal (locally

owned and managed); Ketiga, input yang digunakan, baik sewaktu

konstruksi maupun operasional berasal dari daerah setempat atau

21

Pitana, I Gede. 2009. “Pelangi Pariwisata Bali”. Denpasar: Bali Post ;

Dikutip dari Arismayanti, Ni Ketut, 2010. “Arah Pembangunan Dan

Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Bali ; Dalam “Pariwisata

Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit Udayana

University Press, Hal 264. 22

Arismayanti, Ni Ketut, 2010. “Arah Pembangunan Dan Pengembangan

Pariwisata Berkelanjutan di Bali ; Dalam “Pariwisata Berkelanjutan Dalam

Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit Udayana University Press, Hal

264.

Page 13: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

23

komponen importnya kecil; Keempat, aktivitas berantai (spin off

activity) yang ditimbulkan sangat banyak, baik secara individu

maupun melembaga akan semakin besar yang konsekuensinya

memberikan manfaat langsung bagi masyarakat lokal; Kelima,

berbasis kebudayaan lokal karena pelakunya adalah masyarakat

lokal; Keenam, ramah lingkungan, karena terkait dengan tidak

adanya konversi lahan secara besar-besaran serta tidak adanya

pengubahan bentang alam yang berarti; Ketujuh, tidak seragam,

karena bercirikan keunikan daerah setempat; Kedelapan, menyebar

di berbagai daerah.

Enterpreneurship masyarakat lokal dalam pengembangan

pariwisata

Perkembangan pariwisata di suatu daerah secara tidak

langsung akan membawa pengaruh positif terhadap daerah itu

sendiri. Bardgett (2000 dalam Wowor 2011)23

, menjelaskan bahwa

aktivitas pembangunan pariwisata dapat menciptakan lapangan

pekerjaan. Itu bisa disaksikan melalui penyerapan tenaga kerja pada

sektor perhotelan, restoran, rumah makan, dan sebagainya. Selain

itu, Alloc dan Tetsu (2006)24

melihat bahwa pariwisata dapat

menjadi bagian integrasi pembangunan ekonomi di suatu negara jika

dapat menggerakan sektor pembangunan lainnya. Misalnya,

berbagai hotel membutuhkan beras dan sayur, ikan dan daging yang

biasanya disediakan oleh petani, nelayan dan peternak lokal. Ketika

hubungan ini berjalan dengan baik atau ada hubunga simbiosis maka

oleh para ekonom menyebutkannya dengan istilah multiplier effect -

efek multiplier / efek pengganda - (Meyer 2006)25

. Ketika efek

multiplier ini dijalankan dengan mekanisme yang baik, maka

diyakini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

perekonomian daerah.

Selain itu, perkembangan pariwisata juga akan menggerakan

aktivitas masyarakat lokal untuk mengembangkan dirinya sebagai

23

Wowor, Alexander Johannes, 2011. “Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal”

;Salatiga : Disertasi Doktor Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW. 24

Op.cit 25

Wowor, Alexander Johannes, 2011. “Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal”

;Salatiga : Disertasi Doktor Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW.

Page 14: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

24

entrepreneur lokal. Konsep entrepreneur (kewirausahaan), akhir-

akhir ini ramai dibicarakan mengingat perannya dalam mendukung

perekonomian negara, dalam hal meningkatkan iklim usaha di

kalangan komunitas usahawan menengah ke bawah. Dilain pihak

peran kewirausahaan dalam menciptakan lapangan pekerjaan, di luar

sektor formal.

Dalam bukunya Nitisusastro (2010 dalam Doirebo 2011)26

,

ada tiga hal yang menentukan kesuksesan seorang wirausahawan

yaitu; pertama, seorang yang disebut wirausaha (harus) menaruh

perhatian yang serius terhadap usahanya. kedua, seorang wirausaha

memiliki kemampuan menejeman yang baik dalam menjalankan –

mengoperasionalkan - usahanya; Terakhir (ketiga), seorang

wirausaha (harus) memiliki kompetensi. Selain itu, menurut

Amelia (2010 dalam Doirebo 2011)27

ada dua faktor yang lebih

mendasar yang mendorong seseorang melakukan wirausaha. Dua

faktor itu yaitu, pertama, faktor lingkungan atau motivasi yang

bersumber dari lingkungan, baik yang bersifat positif maupun yang

bersifat negatif memiliki pengaruh yang kuat dalam mendorong

pekerja berwirausaha. Dorongan positif contohnya adalah dorongan

dari teman / keluarga untuk berwirausaha (having positive pull).

Sedangkan dorongan yang bersifat negatif contohnya seperti

kesulitan mencari pekerjaan ataupun ketidakpuasan kerja masing-

masing. Faktor yang kedua yaitu, faktor psikologis. Artinya bahwa

pekerja berwirasaha dapat disebabkan karena memang secara

psikologis memiliki keinginan untuk berwirausaha atau mereka

secara pribadi memiliki kemauan untuk berwirausaha dan yakin

bahwa wirausaha adalah wujud kemerdekaan diri terlepas dari satu

sistem pekerjaan yang tertentu.

26

Nitisusastro, H. Mulyadi, 2010, “Kewirausahaan Dan Menejemen Usaha

Kecil”. Bandung : Penerbit Alfabeta. Diikutip dari Doirebo, Hans, 2012.

”Kumpulan Anotasi Tentang Kewirausahaan” ; Salatiga. Belum

dipublikasikan. 27

Reni Amalia, (2010), “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pekerja

Untuk Berwirausaha Di Kota Pekanbaru”. Universitas Indonesia, Jakarta.

Diikutip dari Doirebo, Hans, 2012. ”Kumpulan Anotasi Tentang

Kewirausahaan” ; Salatiga. Belum dipublikasikan.

Page 15: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

25

Dalam konteksnya terhadap peran entrepreneur local dalam

pengembangan pariwisata, Meyer (2006 dalam Wowor 2011)28

dalam penelitiannya di Negara-negara Karibia menemukan bahwa

pembangunan pariwisata mempunyai dampak langsung terhadap

perekonomian lokal jika masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam

kegiatan pariwisata. Misalnya, para pengusaha jasa wisata yang

berkembang di suatu kawasan wisata harus mendukung usaha lokal

yang dijalankan oleh masyarakat melalui (memprioritaskan)

membeli prodak (barang dan jasa) yang dihasilkan oleh masyarakat

setempat – para pelaku usaha lokal. Ketika ini dilakukan maka

pengusaha lokal akan dianggap sebagai mitra usaha pengusaha

besar.

Peran masyarakat lokal dalam konservasi lingkungan hidup

Pada bagian ini, akan dibahas beberapa konsep mengenai

peran komunitas masyarakat dalam konservasi lingkungan.

Pembahasan ini menjadi urgen, mengingat aktivitas pariwisata tidak

bisa dipisahkan dengan daya dukung lingkungan itu sendiri. Oleh

sebab itu, menjaga kondisi lingkungan agar tetap terpelihara dan

dijaga kelestariannya, menjadi penting untuk dibahas, agar kelak

dapat bermanfaat untuk saat ini dan waktu yang akan datang.

Krisis lingkungan global menjadi salah satu persoalan

mendasar dan penting yang sudah seharusnya dibicarakan (dibahas)

bersama dalam penyelesaiannya. Krisis global tengah terjadi akibat

pembangunan yang terus meningkat. Semenjak revolusi industri,

yang dimulai tahun 1750-an, telah terjadi banyak perubahan yang

menyebabkan manusia dengan teknologi semakin menguasai alam

(Baiquni, 2010)29

. Selain itu Baiquni (2010)30

, mengungkapkan

bahwa penerapan modernisasi dalam pembangunan telah

menyebabkan perubahan dalam hal kualitas hidup manusia dan gaya

28

Wowor, Alexander Johannes, 2011. “Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal”

;Salatiga : Disertasi Doktor Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW. 29

Baiquni, M, 2010. “Pariwisata dan Krisis lingkungan Global” dalam

“Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar :

Penerbit Udayana University Press. 30

Baiquni, M, 2010. “Pariwisata dan Krisis lingkungan Global” dalam

“Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar :

Penerbit Udayana University Press.

Page 16: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

26

hidup konsumtifnya maupun peningkatan kualitas penduduk yang

memerlukan dukungan dan sumber daya yang tinggi.

Dalam kaitannya dengan krisis lingkungan global, sektor

pariwisata secara tidak disadari telah ikut berpartisipasi dalam

memperburuk kondisi lingkungan. Implikasi dari kemajuan atau

berkembangnya pariwisata di daerah bisa dilihat dari terjadinya

degradasi kondisi lingkungan. Sebagai contoh konkrit adalah

bagaimana perkembangan pariwisata yang terjadi di Bali dan

Sulawesi Utara. Dalam beberapa penelitian dijumpai bahwa akibat

pengembangan pariwisata di Bali, menyebabkan terjadinya krisis

lahan, krisis air bersih dan beberapa persoalan-persoalan

pembangunan lainnya yang disebabkan oleh pembangunan-

pembangunan fisik, seperti pembangunan hotel, restoran, lapangan

golf dan sebagainya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh

Arida (2010)31

, menemukan bahwa konsekuensi dari dibukanya Bali

bagi pengembangan pariwisata massal berakibat pada terjadinya

degradasi lingkungan dalam berbagai ranah, seperti berkurangnya

ruang publik di pantai, perusakan sempadan sungai oleh

pembangunan hotel atau villa, pengambilan air tanah secara

berlebihan, untuk lapangan golf, dan seterusnya. Atau dengan kata

lain menutur Arida (2010), bahwa sektor pariwisata menyumbang

cukup besar terhadap degradasi lingkungan alam Bali.

Kasus pengembangan pariwisata di Taman Nasional

Bunaken di Sulawesi Utara juga ikut berimbas akibat kondisi

lingkungan yang kurang terjaga akibat faktor kelalaian manusia

dalam menjaga kebersihan dan kondisi lingkungan alam. Dalam

penelitian Wowor (2011)32

, dijumpai bahwa persoalan lingkungan –

teristimewa persoalan sampah - menjadi salah satu faktor yang

menjadi momok bagi masyarakat lokal di Bunaken. Ketika sampah

terdampar di Bunaken bukan saja menjadi beban penduduk Bunaken

sekarang, tetapi dalam jangka panjang akan menjadi masalah bagi

pengembangan pariwisata itu sendiri.

31

Arida, Nyoman Sukma, 2010. “Strategis Alternatif Untuk Keberlanjutan

Pariwisata Bali” ; dalam “Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis

Global”. Denpasar : Penerbit : Udayana University Press. 32

Wowor, Alexander Johannes, 2011. “Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal”

;Salatiga : Disertasi Doktor Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW.

Page 17: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

27

Oleh sebab itu, untuk meminimalkan persoalan-persoalan

tersebut ada beberapa prinsip penting yang dikemukakan dalam

pengelolaan pariwisata, di antaranya adalah perlunya penekanan

pada konsep “local control“ atau kontrol oleh masyarakat setempat

(Arismayanti 2010)33

. Keberlanjutan pengembangan pariwisata

sangat tergantung pada besarnya kontrol masyarakat lokal terhadap

daerahnya. Ini menjadi penting mengingat masyarakat lebih

mengetahui dan mengenal kondisi daerahnya dibandingkan dengan

orang lain di luar komunitasnya. Akhir-akhir ini peran masyarakat

lokal dalam partisipasinya mengontrol lingkungan tempat tinggalnya

semakin minim, sehingga berakibat terhadap (semakin)

termarjinalisasi masyarakat lokal, atau semakin terdesaknya

masyarakat lokal dari prosedur pengambilan keputusan, dan semakin

menghawatirkan keberlanjutan pembangunan pariwisata itu

(Arismayanti, 2010)34

.

Berdasarkan kajian ekologi manusia, ada juga teori yang

menyatakan bahwa masyarakat lokal mempunyai “kearifan-kearifan

tradisional” atau ethnoscience. Ethnoscience ini tumbuh dan

berkembang serta terpelihara secara turun temurun dalam

masyarakat berdasarkan atas pengalaman ratusan tahun dan

umumnya sangat ramah lingkungan, karena konsep dasar yang ada

pada masyarakat tradisonal adalah penyelerasan diri dengan alam

dengan memanfaatkan alam seperlunya untuk kehidupan sekarang

dan dapat berkelanjutan untuk generasi mendatang (Arismayanti

2010)35

. Oleh sebab itu, pembangunan pariwisata berkelanjutan

dapat diwujudkan kalau tingkat pemenfaatan sumberdaya tidak

melampaui kemampuan regenerasi sumber daya tersebut. Ini

dimungkinkan untuk dilakukan apabila beberapa syarat

dimungkinkan untuk dilakukan dalam setiap pembangunan

pariwisata, di antaranya adalah agar manfaat pembangunan ekonomi

terdistribusi secara adil, dan adanya keterlibatan masyarakat lokal

secara langsung dalam pembangunan kepariwisataan, termasuk di

dalam menikmati manfaat ekonomi kepariwisataan.

33

Arismayanti, Ni Ketut. 2010. “Arah Pembangunan dan Pengembangan

Pariwisata Berkelanjutan di Bali “, dalam ““Pariwisata Berkelanjutan Dalam

Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit : Udayana University Press. 34

Arismayanti, Ni Ketut. 2010 “Arah Pembangunan dan Pengembangan

Pariwisata Berkelanjutan di Bali “, dalam ““Pariwisata Berkelanjutan Dalam

Pusaran Krisis Global”. Denpasar : Penerbit : Udayana University Press. 35

op.cit.

Page 18: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

28

Keterlibatan masyarakat lokal (community-based approach)

merupakan prasyarat mutlat tercapainya pembangunan pariwisata

berkelanjutan. Pembangunan harus mampu mengangkat kembali

tradisional knowledge, local knowledge atau etnoscience, yang

sudah eksis di masyarakat lokal selama puluhan tahun bahkan

ratusan tahun yang merupakan adaptasi ekologi masyarakat

setempat. Ini menjadi penting. Sebagai contoh konkrit peran

komunitas dalam konservasi lingkungan hidup selama ini telah

dilakukan antara lain budaya Sasi di Maluku dan Papua. Budaya

Sasi36

di kalangan masyarakat Maluku dan Papua dilakukan dalam

hal menjaga kondisi alamnya. Prosesnya tidak hanya dengan

menggunakan pendekatan budaya, dalam menjaga sumberdaya

alam. Misalnya, penerapan Sasi pada beberapa lokasi budidaya ikan.

Dimana kondisi lingkungan dimana keberadaan ikan-ikan tersebut,

tidak boleh diambil atau dipanen sampai pada waktu yang telah

ditentukan. Apabila dikemudian hari terdapat anggota masyarakat

yang kedapatan mengambil ikan di luar dari waktu yang disepakati,

maka anggota masyarakat tersebut akan dijatuhi hukuman adat atau

agama oleh pemimpin adat setempat sesuai dengan aturan yang

berlaku dalam budaya tersebut.

Sudah bukan menjadi rahasia lagi, bahwa peran komunitas

lokal dalam menjaga lingkungan hidup tetap dibutuhkan dalam

kondisi kekininan – krisis lingkungan global -, yang sedang melanda

berbagai negara saat ini. Oleh sebab itu, dalam konferensi

Internasional Earth Summit (KTT Bumi) di Rio de Jenero Brasil

pada tahun 199237

, salah satu deklarasinya, mengamanatkan –

memberikan penekanan - kepada pemerintah tentang pentingnya

pembangunan yang meminimalkan kerusakan lingkungan. Salah

satu cara yang diamanatkan dalam KTT tersebut adalah dengan

melibatkan peran komunitas lokal di dalammya. Oleh karena itu,

untuk dapat menjaga dan meminimalkan krisis lingkungan global,

dibutuhkan peran dan tanggung jawab komunitas lokal dalam

partisipasi dalam menjaga konservasi lingkungan.

36

Dalam tulisan ini, peneliti tidak membahas budaya Sasi secara mendetail. Sasi

hanya dijadikan sebagai salah satu contoh bagaimana masyarakat lokal

memanfaatkan kearifan lokal dalam menjaga ekosistem alam. 37

Sudiaarta, I Nyoman, 2010. “Pemasaran Pariwisata Berkelanjutan” ; dalam

“Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global”. Denpasar :

Penerbit : Udayana University Press. Hal: 241.

Page 19: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

29

Peran Pemimpin Lokal (Local Leader) dalam dalam

pengembangan pariwisata

Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa konsep teoritis –

dalam tataran abstrak maupun empirik – mengenai definisi

kepemimpinan (pemimpin). Pembahasan ini akan diawali dengan

menjelaskan beberapa konsep (abstrak) kepemimpinan oleh berbagai

pakar, yang mengulas berbagai macam karakteristik yang wajib

dimiliki oleh seorang pemimpin dalam sebuah organisasi, baik itu

formal maupun non formal. Akhir dari sub bab ini akan memberikan

sebuah contoh kasus (kajian emprik) mengenai peran pemimpin

lokal dalam sebuah komunitas dalam menjalankan dan

memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mencapai suatu tujuan

pembangunan di aras lokal.

Dalam suatu organisasi faktor kepemimpinan menjadi sangat

penting dalam menentukan pencapaian tujuan suatu organisasi.

Mengingat peran kepemimpinan sangat sentral dalam suatu

organisasi, maka oleh Tohar dan Robbins mendefinisikan

kepemimpinan sebagai suatu aktivitas untuk mempengaruhi perilaku

orang lain agar supaya mereka (anggota) mau diarahkan untuk

mencapai tujuan tertentu (dalam Soares 2010).38

Sedangkan, oleh

Purwanto (1991) dalam Soares (2010), mengartikan kepemimpinan

sebagai sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat

kepribadian, termasuk di dalamnya kewibawaan untuk dijadikan

sebagai sarana dalam rangka menyakinkan yang dipimpinnya agar

mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin,

serta tidak merasa terpaksa.

Sama halnya dengan pandangan-pandangan di atas,

Pygmalion dalam Neuschel (2008)39

, mengungkapkan bahwa cara

seseorang melihat pembentuk kinerja yang baik, ditentukan oleh

cara pemimpin menampilkan dirinya dihadapan pengikutnya. Cara

38

Soares, Januario, 2010. “Klandestin Dalam Perjuangan Kemerdekaan Timor

Leste” ; Salatiga : Tesis Master Program Pascasarjana Studi Pembangunan

UKSW 39

Neuschel, P Roberth, 2008. “Pemimpin Yang Melayani”; Jakarta : Penerbit

Akademia.

Page 20: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

30

pemimpin menampilkan gaya kepemimpinannya, dilakukan antara

lain ; harus bermuatan keberanian, kehati-hatian, dan bijaksana.

Selain itu, Peter L. Berge, dalam bukunya, Piramida korban

Manusia (2005)40

, menunjukkan sosok kepemimpinan itu harus

menjalin hubungan (interaksionalisme) dengan pihak lain – dalam

hal ini masyarakat -, supaya dia (pemimpin) tidak asing bagi

masyarakatnya - yang dipimpin - sendiri. Ini menjadi penting dalam

sebuah komunitas masyarakat, sehingga sesuai (sejalan) dengan

pandangan Blumer (1969, dalam Ritzer 2008)41

, bahwa essensi

masyarakat harus ditemukan pada diri aktor dan tindakannya.

Dalam sebuah komunitas pada prinsipnya masyarakat tidak

terbangun dari berbagai tindakan yang terpisah satu sama lain, tetapi

harus dengan tindakan bersama kata Maines (1988 dalam Ritzer

2008)42

. Oleh sebab itu, untuk membangun kehidupan masyarakat

harus ada aktor (manajer) yang mengendalikan, seperti yang

dikatakan Max Well John (dalam Finzel 2002)43

, bahwa

kepemimpinan adalah soal bagaimana mengembangkan (mengelola)

sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Atau

dengan kata lain, untuk menuju pada cita-cita (tujuan) institusi,

peran seorang pemimpin sangat berperan penting untuk

mengembangkan – mengelola – serta memberdayakan sumber daya

manusia yang ada di dalam suatu organisasi (komunitas).

Selain itu, dalam pendekatan Gallup kepempimpinan

terfokus pada suatu proses peningkatan kinerja dan pertumbuhan

organisasi (Luthans, 2006)44

. Menurut Gallup, inti kepemimpinan

adalah soal menciptakan penghargaan, kemungkinan dan masa

depan. Pada prinsipnya kepemimpinan tidak hanya mengubah

individu dan organisasi sampai kepada aspirasi mereka yang

tertinggi, tetapi juga menciptakan momen-momen visioner dan

40

Berger. L Peter, 2005. “Piramida Korban Manusia” (Etika Politik dan

Perubahan Sosial ; Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES 41

Ritzer George Goodman J. Gouglas, 2008. “Teori Sosiologi”, Yogyakarta :

Penerbit Kreasi Wacana. 42

op.cit. 43

Finzel, Hans, 2002. “Sepuluh Besar Kesalahan Yang dibuat Pemimpin”. Batam

Center : Interaksara 44

Luthans, Fred, 2006. “Perilaku Organisasi” Edisi 10. Yogyakarta : Penerbit

Andi

Page 21: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

31

komprehensif yang memungkinkan orang berubah ke tingkat

pengalaman dan kinerja yang baru.

Pemimpin (aktor) mempunyai peranan penting untuk

menentukan keberhasilan suatu kegiatan (tindakan) yang dilakukan.

Burns (dalam Neuschel, 2008), menyebutkan peran itu sesuatu yang

mengubah pergerakan arah yang berbeda atau mengubah budaya

atau metode operasi. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan

karakter yang solid (Neuschel 2008)45

. Sehingga, menjadi catatan

bahwa, kecerdasan bukan (menjadi) faktor terkuat yang memotifasi

orang untuk mengikuti dan berbaris di belakang pemimpin, tetapi

yang menjadi daya tarik adalah menyangkut kualitas dari sifat dari

pemimpin itu sendiri, seperti; integritas, kematangan, konsisten,

antusiasme dan keuletan. Atau dalam pandangan Thomas (dalam

Neuschel 2008)46

, mengatakan bahwa, keberhasilan dan kegagalan

dalam suatu organisasi, dapat diketahui dari seberapa baik organisasi

memanfaatkan energi besar dan bakat hebat orang-orangnya.

Sehingga oleh Thomas, menekankan, bahwa dalam rangka

pencapaian suatu keberhasilan dalam membuat kebijakan ditentukan

oleh aspek “manusia dan sumber daya manusia. Oleh sebab itu

mengingat peran dan tanggung jawab sumber daya manusia inilah

maka, dapat dipastikan bahwa organisasi mampu mencapai

keberhasilan untuk melakukan suatu perubahan (Sedarmayanti

2010)47

.

Dalam konteks empirik, ada sebuah hasil penelitian yang

secara konkrit, menggambarkan peran ketokohan atau

kepemimpinan lokal dalam sebuah komunitas masyarakat yang

secara positif membawa perubahan dalam suatu proses

pembangunan. Sugianto (2011)48

, dalam disertasinya, menemukan

bahwa ada peran pemimpin lokal dalam diri bapak Stevanus sebagai

45

Neuschel, P Roberth, 2008. “Pemimpin Yang Melayani”; Jakarta : Penerbit

Akademia. 46

op.cit. 47

Sedarmayanti, Hj, 2010. “Manajemen Sumber Daya Manusia”; Jakarta : PT.

Rafika Aditama. 48

Sugianto, Helena Anggraeni Tjondro, 2011. “Modal Spiritual Kekuatan

Tersebunyi Di Balik Kemampuan Membangun ; Potret Kekerabatan Warga

Kampung Mondo, Manggarai Timur, NTT”; Salatiga : Disertasi Doktor

Program Pascasarjana UKSW, 2011. Penerbit Pertapaan Shanti Bhuana.

Page 22: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

32

Tu‟a Golo49

dalam memimpin komunitas warga kampung Mondo di

Manggarai NTT, dalam menjalankan aktivitas pembangunan di

kampungnya. Walaupun tanpa adanya peran negara dalam

pembangunan di kampung Mondo peran Tu‟a Golo sangat dominan

dalam memimpin komunitas masyarakatnya untuk melakukan dan

menjalankan aktivitas pembangunan di kampung Mondo.

Sebagai contoh, dengan pendekatan modal spiritual,

kepemimpinan Tu‟a Golo, masih menggunakan sifat otoriter sebagai

seorang bapak terhadap anaknya masih tampak dalam

kepemimpinannya. Selain itu, beberapa contoh kepemimpinan bapak

Stevanus sebagai Tu‟a Golo, dapat dilihat dari contoh berikut :

“Contoh kasus yang menunjukkan orientasinya kepada yang

lemah dan kepentingan orang banyak adalah ketika Stevanus

menerima bantuan babi untuk program babi bergulir, ia

mengutamakan warganya yang miskin untuk mendapatkan babi-

babi tersebut lebih dahulu, dan menempatkan dirinya digiliran

terakhir. Jika ketika ia memutuskan rute jalur pipa untuk saluran

jalan air bersih, rumahnya sendiri mendapatkan kesempatan

terakhir karena jalur pipa dibuat berakhir di sekitar rumahnya

“(Sugianto 2011 : 298)50

.

Hal inilah yang oleh Sugiantoro (2011)51

, dalam Disertasinya

menemukan bahwa, ada dua hal kekhasan (unik) dari kepemimpinan

lokal di Mondo. Kekhasan yang dimiliki pemimpin lokal itu antara

lain, Pertama kekerabatan disana dipengaruhi oleh eksistensi

pemimpin yang kuat. Selain itu, kedua, pola kepemimpinan

cenderung otoriter namun karena dilandasi nilai kesatria yang

membela kaum lemah, kepemimpinan tersebut justru menguatkan

nilai komunal di kalangan warga. Kedua, nilai ksatria dan komunal

49

Tu‟a Golo merupakan istilah atau sebutan bagi kepala kampung Mondo. Lihat

Sugianto, Helena Anggraeni Tjondro, 2011. “Modal Spiritual Kekuatan

Tersebunyi Di Balik Kemampuan Membangun ; Potret Kekerabatan Warga

Kampung Mondo, Manggarai Timur, NTT”; Salatiga : Disertasi Doktor

Program Pascasarjana UKSW, 2011. Penerbit Pertapaan Shanti Bhuana. hal

58. 50

Sugianto, Helena Anggraeni Tjondro, 2011. “Modal Spiritual Kekuatan

Tersebunyi Di Balik Kemampuan Membangun ; Potret Kekerabatan Warga

Kampung Mondo, Manggarai Timur, NTT”; Salatiga : Disertasi Doktor

Program Pascasarjana UKSW, 2011. Penerbit Pertapaan Shanti Bhuana. 51

op.cit.

Page 23: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

33

ini tak lepas dari penghayatan spiritual para pemimpin Mondo dan

warganya yang sangat menghargai leluhur.

Kesimpulan

Posisi tinjauan teroritis yang telah diuraikan sebelumnya,

merupakan pijakan (titik tolak) dari empat konsep besar sintesa.

Konsep-konsep tersebut antara lain, pariwisata berkelanjutan,

pariwisata berbasis masyarakat yang didalamnya memuat, konsep

partisipasi komunitas dalam menjaga lingkungan, kewirausahaan,

dan peran pemimpin lokal. Keterkaitan antara konsep konsep

tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam melihat (menjelaskan)

bagaimana komunitas masyarakat lokal dalam pengembangan

pariwisata dalam konteks pariwisata berkelanjutan. Tujuan mulia

pembangunan pariwisata berkelanjutan sejatinya adalah, bahwa

pembangunan kepariwisataan (harus) berpijak pada pertama, prinsip

keberlangsungan ekologi lingkungan dimana obyek wisata itu

berada; Kedua, menjaga kelangsungan sosial budaya masyarakat. Ini

menjadi penting mengingat bahwa selain daya dukung lingkungan

alam, keberlangsungan sosial budaya masyarakat menjadi pilar

utama dalam daya tarik pariwisata; Ketiga, kelangsungan ekonomi,

menjadi hal yang mutlak didapati (diperoleh) oleh masyarakat dan

daerah akibat – positif - dari pengembangan pariwisata tersebut; dan

keempat, kemanfaatan baik untuk generasi sekarang maupun

generasi yang akan datang.

Untuk pencapaian tersebut dibutuhkan kerjasama semua

pihak (Stakeholder) untuk bekerjasama dalam pencapaiannya.

Dalam konteks ini, peran serta komunitas masyarakat menjadi fokus

kajiannya. Peran komunitas masyarakat dalam pengembangan

pariwisata, menjadi sesuatu yang urgen untuk diterapkan saat ini

dalam mengembangkan pariwisata berkelanjutan. Pentingnya peran

komunitas masyarakat lokal tersebut dalam pengembangkan

pariwisata disebabkan karena, masyarakatlah yang lebih tahu seluk

beluk dan kondisi lingkungan dimana mereka tempati, dibandingkan

oleh orang lain di luar komunitasnya (Arismayanti 2010). Oleh

sebab itu, menjadi penting untuk dikembangkan konsep pariwisata

berkelanjutan dengan pendekatan komunitas lokal di dalammya.

Sehingga apa yang menjadi cita-cita (tujuan) pengembangan

Page 24: Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2881/3/T2_092009106_BAB II.pdf · 11 Bab Dua Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan dan

34

pariwisata berkelanjutan dapat dicapai walaupun dalam tataran

konteks lokal.

Salah satu konsep yang juga penting dalam peran komunitas

lokal dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan adalah, peran

pemimpin lokal. Peran pemimpin lokal menjadi sentral dalam

sebuah komunitas mengingat, sosok tersebut sangat mengenal

anggota komunitasnya. Sehingga apapun yang disampaikan atau

dikerjakan oleh pemimpin tersebut, dianggap sebagai sesuatu

tindakan yang harus ditiru untuk dilakukan. Selain itu pemimpin

lokal sangat memahami lingkungan dan adat istiadat komunitas

setempat, karena secara turun temurun atau adat istiadat pemimpin

lokal di suatu komunitas melekat pada peran itu. Belajar dari

pengalaman pemimpin lokal pada masyarakat Mondo, Manggarai

NTT, bisa dijadikan sebagai model pemimpin lokal yang

memanfaatkan pengetahuan dan kearifan local dalam mencapai

tujuan pembangunan. Dalam konteks inilah, peran pemimpin lokal

diyakini mampu bersama-sama komunitas masyarakat lokal

berpartisipasi dalam pencapaian tujuan pengembangan pariwisata

yang berkelanjutan.