BAB 7 · PDF file210 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi 7.1 Pengertian Operasi Morfologi ......
Transcript of BAB 7 · PDF file210 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi 7.1 Pengertian Operasi Morfologi ......
BAB 7
Morfologi untuk
Pengolahan Citra
Setelah bab ini berakhir, diharapkan pembaca memahami
berbagai hal berikut dan mampu mempraktikkannya.
Pengertian operasi morfologi
Matematika yang melatarbelakangi
Operasi dilasi
Operasi erosi
Bentuk dan ukuran elemen penstruktur
Operasi opening
Operasi closing
Transformasi Hit-or-Miss
Skeleton
Thickening
Convex hull
Transformasi Top-Hat
Transformasi Bottom-Hat
210 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
7.1 Pengertian Operasi Morfologi
Operasi morfologi merupakan operasi yang umum dikenakan pada citra
biner (hitam-putih) untuk mengubah struktur bentuk objek yang terkandung dalam
citra. Sebagai contoh, lubang pada daun dapat ditutup melalui operasi morfologi
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 7.1. Objek-objek daun yang saling
berhimpitan pun dapat dipisahkan melalui morfologi, sebagaimana ditunjukkan
pada Gambar 7.2. Beberapa contoh lain aplikasi morfologi adalah sebagai berikut.
Membentuk filter spasial, seperti yang telah dibahas pada Bab 6.
Memperoleh skeleton (rangka) objek.
Menentukan letak objek di dalam citra.
Memperoleh bentuk struktur objek.
Gambar 7.1 Tulang daun dapat dianggap sebagai bagian daun
melalui morfologi
Morfologi untuk Pengolahan Citra 211
Gambar 7.2 Daun-daun yang bersinggungan dapat dipisahkan
melalui morfologi, yang memperkecil ukurannya
Operasi morfologi sesungguhnya juga dapat dikenakan pada
citra aras keabuan. Pembicaraan mengenai hal ini dilakukan di
bagian akhir di bab ini.
Inti operasi morfologi melibatkan dua larik piksel. Larik pertama berupa
citra yang akan dikenai operasi morfologi, sedangkan larik kedua dinamakan
sebagai kernel atau structuring element (elemen penstruktur) (Shih, 2009). Contoh
kernel ditunjukkan pada Gambar 7.3. Pada contoh tersebut, piksel pusat (biasa
diberi nama hotspot) ditandai dengan warna abu-abu. Piksel pusat ini yang
menjadi pusat dalam melakukan operasi terhadap citra, sebagaimana
diilustrasikan pada Gambar 7.4.
0 1 0
1 1 1
0 1 0
1 1 1
1 1 1
1 1 1
1 1
1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1
1
1
1
Gambar 7.3 Contoh beberapa kernel
212 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
0 1 0
1 1 1
0 1 0
Kernel
Citra
Hotspot
Gambar 7.4 Operasi kernel terhadap citra
Dua operasi yang mendasari morfologi yaitu dilasi dan erosi. Dua operasi
lain yang sangat berguna dalam pemrosesan citra adalah opening dan closing
dibentuk melalui dua operasi dasar itu.
7.2 Matematika yang Melatarbelakangi
Untuk memahami operasi morfologi, pemahaman terhadap operasi
himpunan seperti interseksi dan gabungan mutlak diperlukan. Selain itu,
pemahaman terhadap operasi logika, seperti “atau” dan ‘dan” juga diperlukan.
7.2.1 Teori Himpunan
Misalkan, terdapat himpunan A yang berada di dalam bidang Z2
(berdimensi dua). Apabila a=(a1, a2) adalah suatu elemen atau anggota di dalam
A, a dapat ditulis menjadi
𝑎 ∈ 𝐴 (7.1)
Arti notasi di atas, a adalah anggota himpunan A. kebalikannya, jika a bukan
anggota himpunan A, a ditulis seperti berikut:
𝑎 𝐴 (7.2)
Morfologi untuk Pengolahan Citra 213
Sebagai contoh, s = (1, 2) dan t = (1, 4), sedangkan himpunan A berisi seperti
berikut:
A = { (1,1), (1,2), (1, 3), (2, 1), (2, 2) }
Pada contoh tersebut, A memiliki 5 anggota. Berdasarkan contoh tersebut, dapat
dituliskan fakta berikut:
𝑠 ∈ 𝐴
𝑡 𝐴
Perlu diketahui, setiap elemen hanya dapat menjadi anggota himpunan satu kali.
Dengan demikian,
A = {(1,1), (1,1), (2,1), (2,3), (2,1)}
sesungguhnya hanya mempunyai 3 anggota, yaitu
A = {(1,1), (2,1), (2,3)}
Notasi biasa terdapat dalam pembicaraan himpunan. Simbol tersebut
menyatakan himpunan kosong, yaitu himpunan yang tidak memiliki anggota
sama sekali.
Apabila A dan B adalah himpunan dan setiap anggota himpunan B
merupakan anggota himpunan A, dikatakan bahwa B adalah subhimpunan A.
Notasi yang biasa digunakan untuk kepentingan ini:
B A (7.3)
Union adalah penggabungan dari dua buah himpunan. Misalnya:
C = A B (7.4)
214 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
yang menyatakan bahwa C memiliki anggota berupa semua anggota A ditambah
dengan semua anggota B. Gambar 7.5 memperlihatkan contoh nilai-nilai piksel
penyusun dua citra biner dan menunjukkan hasil operasi union. Semua nilai 1
pada citra tersebut menyatakan anggota himpunan baru, yang cenderung meluas.
A={(1,2), (2,2), (2,3), (3,2), (3,3), (3,4), (4,2), (4,3), (5,2)}
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
5
B={(1,1), (2,1), (2,2), (3,3), (4,2), (5,1)}
C = A B
C={(1,1), (1,2), (2,2), (2,3), (3,2), (3,3),(3,4) (4,2), (4,3), (5,1), (5,2)}
0 1 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
1
0 1 0
0 1 0
0 0
0
1 1 0
0
0 0 1
0 1
0 0
0
0 0
0
0
1 0 0
0 1 0
0 0
0
1 1 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
1
1 1 0
0 1 0
0 0
0
Gambar 7.5 Operasi union pada citra biner
Interseksi menyatakan operasi yang menghasilkan himpunan semua
anggota yang terdapat di kedua himpunan. Misalnya:
C = A B (7.5)
berarti bahwa C berisi anggota-anggota yang ada di himpunan A dan juga terdapat
di himpunan B. Hasilnya cenderung menyempit. Contoh dapat dilihat pada
Gambar 7.6.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 215
A={(1,2), (2,2), (2,3), (3,2), (3,3), (3,4), (4,2), (4,3), (5,2)}
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
5
B={(1,1), (2,1), (2,2), (3,3), (4,2), (5,1)}
C = A B
C={(1,2), (2,2), (3,3), (4,1)}
1 1 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
1
1 1 0
0 1 0
0 0
0
0 1 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
1
0 1 0
0 1 0
0 0
0
1 1 0
0
0 0 1
0 1
0 0
0
0 0
0
0
1 0 0
0 1 0
0 0
0
Gambar 7.6 Operasi interseksi pada citra biner
Komplemen himpunan A biasa dinotasikan dengan Ac dan menyatakan
semua elemen yang tidak terdapat pada A. Secara matematis, komplemen ditulis
seperti berikut:
Ac = { w | w A } (7.6)
Notasi di atas dibaca “semua elemen yang tidak menjadi anggota A”.
Komplemen atau juga disebut inversi dapat dibayangkan seperti saling
menukarkan warna hitam dan putih. Nilai yang semula berupa nol diganti satu dan
nilai satu diganti dengan nol. Contoh dapat dilihat di Gambar 7.7. Di bidang
fotografi dengan film, inversi menghasilkan gambar negatif. Istilah komplemen
juga berarti ”pelengkap”, karena bila A digabung dengan operasi union akan
menyempurnakan citra menjadi citra yang semua pikselnya bernilai 1.
216 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
A={(1,2), (2,2), (2,3), (3,2), (3,3), (3,4), (4,2), (4,3), (5,2)}
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
5
Ac = {(1,1), (1,3), (1,4), (1,5), (2,1), (2,4), (2,5), (3,1), (3,5), (4,1), (4,4), (4,5), (5,1), (5,3), (5,4), (5,5)}
0 1 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
1
0 1 0
0 1 0
0 0
0
1 0 1
0
1 0 0
1 0
1 1
1
0 1
1
0
1 0 1
1 0 1
1 1
1
Gambar 7.7 Operasi komplemen
Operasi selisih dua himpunan dapat ditulis seperti berikut:
A – B = { w | w A, w B } = A Bc (7.7)
Contoh ditunjukkan di Gambar 7.8.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 217
A={(1,2), (2,2), (2,3), (3,2), (3,3), (3,4), (4,2), (4,3), (5,2)}
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
5
B={(1,1), (2,1), (2,2), (3,3), (4,2), (5,1)}
C = A - B
C = { (2,3), (3,4), (4,3), (5,2) }
C = B - A
C = { (1,1), (5,1) }
0
0
0 0
1
0 0 0
0 0
0 0
0
1 0
0
1
0 1 0
0 0 0
0 0
0
1 0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
0
1 0 0
0 0 0
0 0
0
1 1 0
0
0 0 1
0 1
0 0
0
0 0
0
0
1 0 0
0 1 0
0 0
0
0 1 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
1
0 1 0
0 1 0
0 0
0
Gambar 7.8 Contoh selisih dua himpunan
Contoh di atas menunjukkan bahwa A – B B – A.
Refleksi B dinotasikan dengan �̂� dan didefinisikan sebagai berikut:
�̂� = {𝑤|𝑤 = −𝑏, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏 ∈ 𝐵} (7.8)
Refleksi sebenarnya menyatakan percerminan terhadap piksel pusat. Contoh
ditunjukkan pada Gambar 7.9. Bayangan cermin 2-D terjadi melalui pencerminan
pada arah x dan dilanjutkan pada arah y. namun, ternyata hasilnya sama dengan
pemutaran di bidang citra 180o.
218 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
0 0 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
A={(2,2), (2,3), (3,2), (3,3), (3,4)}
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
5
𝐴 = {(3,2), (3,3), (3,4), (4,3), (4,4)}
0 0 0
0
0 1 1
0 0
0 0
0
1 0
0
1
0 0 0
0 0 0
0 0
1
Gambar 7.9 Contoh refleksi
Translasi himpunan A terhadap titik z=(z1, z2) disimbolkan dengan (A)z.
Definisinya sebagai berikut:
(𝐴)𝑧 = {𝑐|𝑐 = 𝑎 + 𝑧, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑎 ∈ 𝐴} (7.9)
Contoh dapat dilihat pada Gambar 7.10.
A={(2,2), (2,3), (3,2), (3,3), (3,4)}
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
5
(A)(2,1) = {(4,3), (4,4), (5,3),
(5,4), (5,5)}
0 0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
1
0 0 1
0 0 0
1 1
1
0 0 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
Gambar 7.10 Contoh translasi satu piksel ke kanan dan
dua piksel ke bawah
7.2.2 Operasi Nalar
Operator nalar didasarkan pada aljabar Boolean. Sebagaimana diketahui,
aljabar Boolean adalah pendekatan matematis yang berhubungan dengan nilai
kebenaran (benar atau salah). Ada tiga operator nalar dasar yang akan dibahas,
Morfologi untuk Pengolahan Citra 219
yaitu AND, OR, serta NOT. Tabel kebenaran ketiga operator tersebut dapat dilihat
pada Tabel 7.1 dan 7.2.
Operasi AND melibatkan dua masukan dan mempunyai sifat bahwa hasil
operasinya bernilai 1 hanya jika kedua masukan bernilai 1. Pada operasi OR, hasil
berupa 1 kalau ada masukan yang bernilai 1. Berbeda dengan AND dan OR,
operasi NOT hanya melibatkan satu masukan. Hasil NOT berupa 1 kalau masukan
berupa 0 dan sebaliknya akan menghasilkan nilai 0 kalau masukan berupa 1.
Tabel 7.1 Tabel kebenaran AND dan OR
Masukan 1 Masukan 2 AND OR
0 0 0 0
0 1 0 1
1 0 0 1
1 1 1 1
Tabel 7.2 Tabel kebenaran NOT
Masukan Keluaran
0 1
1 0
Selain ketiga operator yang disebut di depan, operator lain yang kadang-
kadang digunakan adalah XOR dan NAND. Sifat XOR dan NAND ditunjukkan
pada Tabel 7.3.
Tabel 7.3 Tabel kebenaran XOR dan NAND
Masukan 1 Masukan 2 XOR NAND
0 0 0 1
0 1 1 1
1 0 1 1
1 1 0 0
220 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Berbagai efek operasi AND, OR, NOT, XOR, dan NAND ditunjukkan
pada Gambar 7.11. Adapun program yang digunakan untuk membentuk operasi
tersebut dapat dilihat pada nalar.m.
Gambar 7.1 Hasil-hasil operasi nalar atas dua buah citra A dan B
Program : nalar.m
% NALAR Contoh penggunaan NOT, AND, OR, XOR, dan
% kombinasinya.
Lingkaran = imread('C:\Image\lingkaran.png');
Persegi = imread('C:\Image\persegi.png');
close all;
Citra1 = Lingkaran;
subplot(3,3,1); imshow(Citra1, [0 1]);
title('A');
Citra2 = Persegi;
subplot(3,3,2); imshow(Citra2, [0 1]);
title('B');
Morfologi untuk Pengolahan Citra 221
Citra3 = not(Lingkaran);
subplot(3,3,3); imshow(Citra3, [0 1]);
title('not(A)');
Citra4 = and(Lingkaran, Persegi);
subplot(3,3,4); imshow(Citra4, [0 1]);
title('and(A, B)');
Citra5 = xor(Lingkaran, Persegi);
subplot(3,3,5); imshow(Citra5, [0 1]);
title('xor(A, B)');
Citra6 = or(Lingkaran, Persegi);
subplot(3,3,6); imshow(Citra6, [0 1]);
title('or(A, B)');
Citra7 = not(and(Lingkaran, Persegi));
subplot(3,3,7); imshow(Citra7, [0 1]);
title('not(and(A, B))');
Citra8 = not(xor(Lingkaran, Persegi));
subplot(3,3,8); imshow(Citra8, [0 1]);
title('not(xor(A, B))');
Citra9 = not(or(Lingkaran, Persegi));
subplot(3,3,9); imshow(Citra9, [0 1]);
title('not(or(A, B))');
Akhir Program
7.3 Operasi Dilasi
Operasi dilasi biasa dipakai untuk mendapatkan efek pelebaran terhadap
piksel yang bernilai 1. Operasi ini dirumuskan seperti berikut (Gonzales &
Woods, 2002):
A B = {𝑧| [(�̂�)𝑧
∩ 𝐴] ∁ 𝐴} (7.10)
Dalam hal ini,
a) �̂� = {𝑤|𝑤 = −𝑏, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑏 ∈ 𝐵}
b) (𝐵)𝑧 = {𝑐|𝑐 = 𝑎 + 𝑧, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑎 ∈ 𝐴}
c) z=(z1, z2)
222 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Burger & Burge (2008) mendefinisikan operasi dilasi sebagai berikut:
A B = {𝑧|𝑧 = 𝑎 + 𝑏, dengan 𝑎 ∈ 𝐴 𝑑𝑎𝑛 𝑏 ∈ 𝐵} (7.11)
Hasil dilasi berupa penjumlahan seluruh pasangan koordinat dari I dan H.
Contoh operasi dilasi dengan menggunakan Persamaan 7.11 dapat dilihat
pada Gambar 7.11. Pada contoh tersebut,
A = { (2,2), (2,3), (2,4), (3,2), (3,3), (3,4), (4,3) }
B = { (-1, 0), (0,0), (1,0) }
Dengan demikian,
A B = { (2,2) + (-1, 0) , (2,2) + (0, 0) + (2,2) + (1, 0),
(2,3) + (-1, 0) , (2,3) + (0, 0) + (2,3) + (1, 0),
(2,4) + (-1, 0) , (2,4) + (0, 0) + (2,4) + (1, 0),
(3,2) + (-1, 0) , (3,2) + (0, 0) + (3,2) + (1, 0),
(3,3) + (-1, 0) , (3,3) + (0, 0) + (3,3) + (1, 0),
(3,4) + (-1, 0) , (3,4) + (0, 0) + (3,4) + (1, 0),
(4,3) + (-1, 0) , (4,3) + (0, 0) + (4,3) + (1, 0) }
= { (1,2), (2,2), (3,2), (1,3), (2,3), (3,3),
(1,4), (2,4), (3,3), (2,2), (3,2), (4,2),
(2,3), (3,3), (4,3), (2,4), (3,4), (4,4),
(3,3), (4,3), (5,3) }
= { (1,2), (1,3), (1,4), (2,2), (2,3), (2,4),
(3,2), (3,3), (3,4), (4,2), (4,3), (4,4), (5,3) }
Morfologi untuk Pengolahan Citra 223
A B
AB
Penambahan piksel akibat dilasi
Hotspot vertikal
-1 0 1
-1
0
1
1
2
3
4
5
1 2 3 4 5
Gambar 7.11 Efek dilasi dengan hotspot vertikal
Operasi dilasi bersifat komutatif. Artinya,
A B = B A
Selain itu, operasi dilasi bersifat asosiatif. Artinya,
(A B) C = A (B C)
Algoritma untuk melakukan operasi dilasi berdasar Persamaan 7.11
ditunjukkan berikut ini.
224 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
ALGORITMA 7.1 – Operasi dilasi
Masukan:
f (citra berukuran m x n)
h (elemen penstruktur berukuran s x t)
hoty (ordinat hotspot -> nomor baris)
hotx (absis hotpsot -> nomor kolom)
Keluaran:
g (citra berukuran m x n yang menyatakan hasil operasi
dilasi)
1. g(i,j) nol (untuk semua i dan j)
2. Cari nilai r sehingga memenuhi 2r > 2m – 1
3. p 2q
4. q 2q
Implementasi dalam bentuk program dapat dilihat berikut ini.
Program : dilasi.m
function G = dilasi(F, H, hotx, hoty)
% DILASI Berguna untuk melaksanakan operasi dilasi.
% Masukan:
% F = citra yang akan dikenai dilasi
% H = elemen pentruksur
% (hy, hx) koordinat pusat piksel
[th, lh]=size(H);
[tf, lf]=size(F);
if nargin < 3
hotx = round(lh/2);
hoty = round(th/2);
Morfologi untuk Pengolahan Citra 225
end
Xh = [];
Yh = [];
jum_anggota = 0;
% Menentukan koordinat piksel bernilai 1 pada H
for baris = 1 : th
for kolom = 1 : lh
if H(baris, kolom) == 1
jum_anggota = jum_anggota + 1;
Xh(jum_anggota) = -hotx + kolom;
Yh(jum_anggota) = -hoty + baris;
end
end
end
G = zeros(tf, lf); % Nolkan semua pada hasil dilasi
% Memproses dilasi
for baris = 1 : tf
for kolom = 1 : lf
for indeks = 1 : jum_anggota
if F(baris, kolom) == 1
xpos = kolom + Xh(indeks);
ypos = baris + Yh(indeks);
if (xpos >= 1) && (xpos <= lf) && ...
(ypos >= 1) && (ypos <= tf)
G(ypos, xpos) = 1;
end
end
end
end
end
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi dilasi ditunjukkan di bawah ini.
>> F = [ 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 1 0
0 0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 0
0 1 1 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0];
226 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
>> H = [0 1 0; 1 1 1; 0 1 0];
>> G = dilasi(F,H)
G =
0 0 0 0 0 0 0
0 0 1 1 1 1 0
0 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1
0 0 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 0 0 0
0 1 1 0 0 0 0
>>
Contoh pada Gambar 7.11 diproses dengan cara seperti berikut:
>> F = [ 0 0 0 0 0;
0 1 1 1 0;
0 1 1 1 0;
0 1 0 0 0;
0 0 0 0 0];
>> H = [0 1 0
0 1 0
0 1 0];
>> G = dilasi(F,H)
G =
0 1 1 1 0
0 1 1 1 0
0 1 1 1 0
0 1 1 1 0
0 1 0 0 0
Morfologi untuk Pengolahan Citra 227
>>
Dengan menggunakan data F dan H di atas, perintah berikut dapat dicoba:
>> G = dilasi(F,H, 2, 1)
G =
0 0 0 0 0
0 1 1 1 0
0 1 1 1 0
0 1 1 1 0
0 1 1 1 0
>>
Angka 2 dan 1 pada argumen fungsi dilasi menyatakan bahwa hotspot pada H
terletak pada kolom kedua dan baris pertama. Jadi, yang berfungsi sebagai hotspot
adalah nilai 1 pada H yang terletak paling atas, bukan yang di tengah. Mengapa
hasilnya seperti itu? Cobalah untuk menganalisisnya. Perlu diketahui, pada saat
menentukan posisi hotspot, pemetaan seperti pada Gambar 7.12 harus digunakan.
1
2
3
Hotspot dengan:
hx = 2
hy = 1
1 2 3
Gambar 7.12 Penentuan hotspot menggunakan acuan
angka 1 untuk pojok kiri atas kernel
228 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Untuk melihat efek dilasi pada citra, kode berikut dapat dicoba.
>> close all;
>> Bravo = imread('C:\image\bravo.png');
>> BW = im2bw(Bravo, 0.5);
>> H = ones(4);
>> imshow(dilasi(BW, H));
>>
Gambar asli dan hasil operasi dilasi dapat dilihat pada Gambar 7.13.
Gambar 7.13(a) menyatakan gambar asli. Gambar 7.13(b) adalah hasil konversi
ke bentuk biner dengan menggunakan fungsi bawaan bernama im2bw. Gambar
7.13(c) adalah hasil dilasi melalui perintah di depan. Hasil tersebut diperoleh
dengan menggunakan struktur elemen berukuran 4 x 4 yang keseluruhan bernilai
1. Hal itu diperoleh melalui ones(4). Adapun Gambar 7.13(d) adalah hasil kalau
elemen penstruktur yang digunakan (H) berukuran 7x7 dengan seluruh elemen
bernilai 1.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 229
Gambar 7.13 Contoh operasi dilasi pada citra
7.4 Operasi Erosi
Operasi erosi mempunyai efek memperkecil struktur citra. Operasi ini
dirumuskan seperti berikut (Gonzalez & Woods, 2002).
A B = {𝑧|(𝐵)𝑧 𝐴} (7.12)
230 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Adapun Burger & Burge (2008) mendefinisikan erosi sebagai berikut:
A B = {𝑝 ∈ 𝑍2| (𝑎 + 𝑏) ∈ 𝐼, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑏 ∈ 𝐵} (7.13)
Makna yang tersirat pada Persamaan 7.12 dan 7.13 sebenarnya sama. Berdasarkan
Persamaan 7.13, posisi p terdapat pada A B jika seluruh nilai 1 di B terkandung
di posisi p tersebut. Implementasi fungsi erosi berikut didasarkan makna di atas.
Program : erosi.m
function G = erosi(F, H, hotx, hoty)
% EROSI Berguna untuk melaksanakan operasi erosi.
% Masukan:
% F = citra yang akan dikenai dilasi
% H = elemen pentruksur
% (hy, hx) koordinat pusat piksel
[th, lh]=size(H);
[tf, lf]=size(F);
if nargin < 3
hotx = round(lh/2);
hoty = round(th/2);
end
Xh = [];
Yh = [];
jum_anggota = 0;
% Menentukan koordinat piksel bernilai 1 pada H
for baris = 1 : th
for kolom = 1 : lh
if H(baris, kolom) == 1
jum_anggota = jum_anggota + 1;
Xh(jum_anggota) = -hotx + kolom;
Yh(jum_anggota) = -hoty + baris;
end
end
end
G = zeros(tf, lf); % Nolkan semua pada hasil erosi
% Memproses erosi
for baris = 1 : tf
for kolom = 1 : lf
cocok = true;
for indeks = 1 : jum_anggota
Morfologi untuk Pengolahan Citra 231
xpos = kolom + Xh(indeks);
ypos = baris + Yh(indeks);
if (xpos >= 1) && (xpos <= lf) && ...
(ypos >= 1) && (ypos <= tf)
if F(ypos, xpos) ~= 1
cocok = false;
break;
end
else
cocok = false;
end
end
if cocok
G(baris, kolom) = 1;
end
end
end
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi erosi dapat dilihat berikut ini.
>> F = [ 0 0 0 0 0
0 1 1 1 0
0 1 1 1 0
0 1 0 0 0
0 0 0 0 0];
>> H = [0 1 0
0 1 0
0 1 0];
>> G = erosi(F, H)
G =
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 1 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
>>
232 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Gambar berikut memperlihatkan bentuk visual untuk contoh di atas.
A B
AB
Hanya ini yang cocok dengan
elemen penstruktur
Gambar 7.14 Contoh visualisasi operasi erosi
Operasi erosi bersifat komutatif. Artinya,
A B = B A
Selain itu, operasi erosi bersifat asosiatif. Artinya,
(A B) C = A (B C)
Contoh penggunaan operasi erosi pada citra dapat dicoba dengan
menggunakan perintah berikut:
>> Daun = imread('C:\image\dedaunan.png');
>> BW = im2bw(Daun, 0.1);
Morfologi untuk Pengolahan Citra 233
>> H = ones(4);
>> G = erosi(BW, H);
>> imshow(G, [0 1])
Citra asli dan hasil pemrosesan dengan operasi erosi dapat dilihat pada Gambar
7.15. Terlihat bahwa dengan menggunakan elemen penstruktur
𝐻 =
[ 1 11 1
1 11 1
1 11 1
1 11 1
1 11 1
1 11 1
1 11 1
1 11 1
1 11 1]
yang diperoleh melalui H = ones(6), semua daun yang bersinggungan dapat
dipisahkan. Namun, sebagai konsekuensinya, bentuk beberapa daun agak berubah.
234 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
(a) Citra asli daun.png (b) Hasil konversi ke citra biner
(c) Erosi dengan H = ones(4) (d) Erosi dengan H = ones(6)
Gambar 7.15 Contoh operasi erosi pada citra
Operasi erosi dapat dimanfaatkan untuk memperoleh tepi objek. Sebagai
contoh, kode berikut dapat dicoba:
>> Img = imread('C:\Image\daun_gray.png');
>> BW = im2bw(Img, 0.65);
>> BW = not(BW);
>> imshow(BW);
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.16(a).
Morfologi untuk Pengolahan Citra 235
Perintah
BW = not(BW);
digunakan untuk melakukan operasi komplemen. Hal ini perlu dilakukan
mengingat latarbelakang gambar asli berwarna putih. Selanjutnya, perintah
berikut dapat dicoba:
>> H = ones(5);
>> G = erosi(BW, H);
>> Ap = BW - G;
>> imshow(Ap);
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.16(b). Kuncinya sangat sederhana. Tepi
objek sesungguhnya dapat diperoleh melalui:
Ap = A – (A B) (7.14)
236 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
(a) Hasil konversi ke biner (b) Hasil operasi perolehan tepi
Gambar 7.16 Contoh erosi untuk mendapatkan tepi objek
7.5 Bentuk dan Ukuran Elemen Penstruktur
Berdasarkan contoh pada Gambar 7.13, terlihat bahwa ukuran elemen
penstruktur menentukan hasil operasi dilasi. Selain ukuran, bentuk elemen
penstruktur juga menentukan hasil operasi morfologi.
Bentuk yang umum digunakan pada operasi morfologi adalah cakram atau
lingkaran. Efek yang diberikan merata pada segala arah. Bentuk dua buah cakram
dapat dilihat pada Gambar 7.17.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 237
Gambar 7.17 Dua bentuk elemen penstruktur berbentuk cakram
Bentuk elemen penstruktur yang lain yaitu belah ketupat, garis, persegi
panjang, bujur sangkar, dan oktagon. Gambar 7.18 menunjukkan contoh bentuk-
bentuk tersebut.
238 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Gambar 7.18 Berbagai bentuk elemen penstruktur
Untuk kepentingan memperoleh elemen penstruktur, MATLAB
menyediakan fungsi bernama strel. Sayangnya, fungsi seperti ini belum
diimplementasikan pada Octave. Sebagai contoh, elemen penstruktur berbentuk
cakram dengan radius 8 diperoleh dengan menggunakan perintah seperti berikut:
>> strel('disk', 8)
ans =
Morfologi untuk Pengolahan Citra 239
Flat STREL object containing 185 neighbors.
Decomposition: 4 STREL objects containing a total of 24 neighbors
Neighborhood:
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0
0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0
0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0
0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0
0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0
>>
Agar hasil strel dapat dimanfaatkan untuk fungsi erosi ataupun dilasi,
elemen penstruktur dapat diperoleh dengan memberikan perintah semacam
berikut:
>> H = getnhood(strel('disk', 8))
Dengan cara seperti itu, H dapat digunakan pada fungsi erosi atau dilasi. Contoh:
>> G=erosi(BW, H);
240 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
>> imshow(G, [0 1]);
>>
Hasilnya dapat dilihat di Gambar 7.19(b).
Gambar 7.19 juga sekaligus memperlihatkan efek berbagai ukuran elemen
penstruktur. Terlihat bahwa dengan menggunakan erosi, objek tertentu (yang
ukurannya lebih kecil daripada elemen penstruktur) akan hilang. Hasil pada
gambar tersebut juga menunjukkan bahwa semakin besar ukuran elemen
penstruktur, objek semakin mengecil.
Gambar 7.19 Contoh penggunaan elemen penstruktur
yang bersumber strel dan dikenakan pada erosi
Morfologi untuk Pengolahan Citra 241
Perlu diketahui, fungsi strel memberikan berbagai pilihan dalam membuat
elemen penstruktur. Tabel 7.4 memperlihatkan beberapa contoh.
Tabel 7.4 Contoh strel untuk membuat berbagai bentuk
elemen penstruktur
Penentu Bentuk Contoh
‘disk’ (berbentuk cakaram) strel(‘disk’, 4) radius 4
‘diamond’ (berbentuk belah
ketupat)
strel(‘diamond’, 4) radius 4
‘line’ (berbentuk garis) strel(‘line’, 3, 0) panjang 3 dan sudut
0 derajat (datar)
strel(‘line’, 3, 45) panjang 3 dan
sudut 45 derajat (datar)
‘octagon’ (berbentuk segi
delapan)
strel(‘octagon’, 6)
Argumen kedua harus kelipatan 3
‘rectangle’ (berbentuk
persegi panjang)
strel(‘rectangle’, [4 2]) 4 baris 2
kolom
‘square’ (berbentuk bujur
sangkar)
strel(‘square’, 4) bujur sangkar 4 x 4
Perlu juga diketahui, Octave dan MATLAB mendukung fungsi untuk
kepentingan dilasi bernama imdilate dan untuk erosi bernama erode. Contoh
penggunaannya seperti berikut:
>> Img = imread('C:\Image\struktur.png');
>> BW = im2bw(Img, 0.1);
>> H = ones(11,11);
>> H(1,1)=0;H(1,2)=0;H(2,1)=0;
>> H(10,1)=0;H(10,2)=0;H(11,1)=0;
>> H(1,10)=0;H(1,11)=0;H(2,11)=0;
>> H(10,11)=0;H(11,10)=0;H(11,11)=0;
242 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
>> G = imerode(BW,H);
>> imshow(G, [0 1]);
>>
Perintah
H = ones(11,11);
H(1,1)=0;H(1,2)=0;H(2,1)=0;
H(10,1)=0;H(10,2)=0;H(11,1)=0;
H(1,10)=0;H(1,11)=0;H(2,11)=0;
H(10,11)=0;H(11,10)=0;H(11,11)=0;
identik dengan perintah MATLAB
strel('disk', 6)
Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 7.20.
(a) Citra struktur.png (b) Hasil imerode dengan strel(‘disk’, 6)
Gambar 7.20 Erosi dengan fungsi erode
7.6 Operasi Opening
Operasi opening adalah operasi erosi yang diikuti dengan dilasi dengan
menggunakan elemen penstruktur yang sama. Operasi ini berguna untuk
Morfologi untuk Pengolahan Citra 243
menghaluskan kontur objek dan menghilangkan seluruh piksel di area yang terlalu
kecil untuk ditempati oleh elemen penstruktur. Dengan kata lain, semua struktur
latardepan yang berukuran lebih kecil daripada elemen penstruktur akan
tereliminasi oleh erosi dan kemudian penghalusan dilakukan melalui dilasi.
Definisi operasi opening seperti berikut:
A B = (A B) B (7.15)
Contoh efek opening dapat diperoleh dengan memberikan perintah berikut:
>> Img = imread('C:\Image\struktur.png');
>> BW = im2bw(Img, 0.1);
>> H = [
0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 1 1 0 0 ];
>> G = dilasi(BW, H);
>> M = erosi(G, H);
>> imshow(M,[0 1])
>>
Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 7.21(c).
244 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Gambar 7.21 Perbandingan operasi erosi, opening, dan closing
Gambar 7.21 menunjukkan bahwa operasi erosi membuat objek mengecil
dan bahkan ada yang hilang. Adapun operasi opening membuat ukuran objek
relatif tetap sama, walaupun juga menghilangkan objek yang berukuran kecil
(kurus). Namun, perlu diketahui, operasi opening membuat penghalusan di bagian
tepi. Perhatikan, ujung segitiga tidak tajam setelah dikenai operasi opening.
Sebagai pembanding, Gambar 7.21(d) menunjukkan hasil penggunaan operasi
closing, yang akan dibahas sesudah subbab ini.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 245
Operasi opening sering dikatakan sebagai idempotent. Artinya, jika suatu
citra telah dikenai operasi opening, pengenaan opening dengan elemen
penstruktur yang sama tidak membawa efek apapun. Sifat ini dapat dituliskan
secara matematis seperti berikut:
(A B) B = (A B) (7.16)
Operator opening dapat dimanfaatkan sebagai filter lolos-rendah, filter
lolos-tinggi, maupun sebagai tapis lolos-bidang apabila elemen penstruktur yang
digunakan berupa cakram (Shih, 2009). Berikut adalah rumusannya:
filter lolos-rendah (low-pass): A Bh;
filter lolos-tinggi (high-pass): A – (A Bh);
filter lolos-bidang (band-pass): (A Bh1)- (A Bh2), dengan diameter Bh1 <
Bh2.
Skrip berikut digunakan untuk menangani operasi opening:
Program : opening.m
function G = opening (F, H)
% OPENING Melakukan operasi opening.
G = dilasi(erosi(F, H), H);
Akhir Program
7.7 Operasi Closing
Operasi closing berguna untuk menghaluskan kontur dan menghilangkan
lubang-lubang kecil. Definisinya seperti berikut:
246 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
A B = (A B) B (7.17)
Jadi, operasi closing dilaksanakan dengan melakukan operasi dilasi terlebih
dahulu dan kemudian diikuti dengan operasi erosi.
Contoh berikut menunjukkan efek penutupan lubang pada daun:
>> Img = imread('C:\Image\daun_gray.png');
>> BW = im2bw(Img, 0.65);
>> BW = not(BW);
>> imshow(BW, [0 1] )
Perintah di atas menampilkan hasil seperti terlihat pada Gambar 7.22(a).
Selanjutnya, perintah berikut dapat dicoba:
>> Img = imread('C:\Image\daun_gray.png');
>> BW = im2bw(Img, 0.65);
>> BW = not(BW);
>> H = ones(5);
>> G = dilasi(BW, H);
>> M = erosi(G, H);
>> imshow(M,[0 1])
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.22(b).
Morfologi untuk Pengolahan Citra 247
(a) Hasil konversi ke biner (b) Hasil operasi closing
Gambar 7.22 Lubang kecil tertutup oleh operasi closing
Berikut adalah implementasi operasi closing:
Program : closing.m
function G = closing (F, H)
% CLOSING Melakukan operasi opening.
G = erosi(dilasi(F, H), H);
Akhir Program
248 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
7.8 Transformasi Hit-or-Miss
Transformasi Hit-or-Miss (THM) pada citra biner A didefinisikan sebagai
berikut:
𝐴 * 𝐵 = (𝐴 𝐵1) (�̅� 𝐵2) (7.18)
Dalam hal ini, biasanya B2 = 𝐵1̅̅ ̅. Morfologi seperti itu dipakai untuk pemrosesan
dan pengenalan bentuk pada citra biner.
Transformasi Hit-or-Miss terkadang disebut Hit-and-Miss
(Efford, 2000).
THM merupakan dasar untuk skeleton, thinning, dan pruning.
Sebagai contoh, terdapat pola seperti terlihat pada Gambar 7.23(a). Target
yang dikehendaki adalah menemukan pola tersebut pada citra yang terlihat pada
Gambar 7.23(b).
1 0 0
0
1
1
1 1
1
1
0
0
1
1
0
0 0 0
0 0
1
1
0
0
0 0
0
1 0 0
0 0
0 0
0
1 0
0
1
0 0 0
1 1 0
1 0
1
1 0 0
0
1 1 1
1 0
0 0
0
1 0
1
1
0 0 0
1 1 0
1 0
1
0 0 0 1 0 0 0 1 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
1
1
1
(a) Target (b) Citra yang berisi target
Gambar 7.23 Contoh target dan citra yang berisi target
Secara manual dapat dilihat bahwa target yang dicari ada tiga buah. Untuk
menemukan posisinya, dapat digunakan operasi erosi. Penyelesaiannya seperti
berikut:
Morfologi untuk Pengolahan Citra 249
>> H1 = [ 1 0 0 0
1 0 0 1
1 1 1 1
0 0 0 1
0 0 0 1 ];
>> Citra = [ 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0
1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0
1 1 1 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1
0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 1 1 1 1
0 0 0 1 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 ];
>> G = erosi(Citra, H1)
Terlihat bahwa ada tiga elemen pada G yang bernilai 1. Pada posisi itulah target
ditemukan. Gambar 7.24 memperlihatkan isi G. Elemen yang bernilai 1 ditandai
dengan arsiran yang agak gelap. Arsiran yang agak terang digunakan untuk
menandai keberadaan target.
0
0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0
0 0 1
0 0
0 0
0
0 0
0
1
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Gambar 7.24 Hasil erosi. Arsiran dimaksudkan untuk menunjukkan letak
target yang dicari
Nah, sekarang digunakan komplemen atas target yang dicari. Dalam hal ini,
H2 = 𝐻1̅̅̅̅ . Jadi,
>> H2 = not(H1)
250 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
H2 =
0 1 1 1
0 1 1 0
0 0 0 0
1 1 1 0
1 1 1 0
>>
Gambar 7.25 menunjukkan keadaan H2 dan komplemen citra.
0 1 1
1
0
1
0 0
0
1
1
1
0
0
1
1 1 1
1 1
0
0
1
0
1 1
1
0 1 1
1 1
1 1
1
0 1
1
0
1 1 1
0 0 1
0 1
0
0 1 1
1
0 0 0
0 1
1 1
1
0 1
0
0
1 1 1
0 0 1
0 1
0
1 1 1 0 1 1 1 0 0 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1
1
0
0
0
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
(a) 𝐻2 = 𝐻 1 (b) Komplemen citra
Gambar 7.25 Mencari kebalikan target H1 pada komplemen citra
Pencarian seperti pada Gambar 7.25 dapat dilakukan dengan menggunakan:
>> erosi(not(Citra), not(H1))
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.26.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 251
0 1 1
1
0
1
0 0
0
1
1
1
0
0
1
1 1 1
1 1
0
0
0
0
0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
1
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
1 0 0 0 1 1 0 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
1 0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
(a) 𝐻2 = 𝐻 1 (b) Komplemen citra
Gambar 7.26 Hasil pencarian kebalikan H1 pada komplemen citra
dengan menggunakan erosi
Hasil THM diperoleh dengan melakukan interseksi antara hasil yang terletak pada
7.24 dan 7.26. Secara visual terlihat bahwa interseksi kedua hasil tersebut
menghasilkan satu nilai saja, yaitu pada posisi yang terlihat pada Gambar 7.27.
0
0
0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Hasil THM
Gambar 7.27 Hasil THM
Hasil di atas menyatakan bahwa pola yang dicari hanya ditemukan satu kali pada
citra dengan posisi seperti yang ditunjukkan oleh angka 1. Bagian yang diarsir
lebih terang menyatakan pola yang dicari. Dalam hal ini, interseksi diperoleh
dengan menggunakan AND. Jadi, solusi THM secara lengkap sebagai berikut:
>> and(erosi(Citra, H1) , erosi(not(Citra), not(H1)))
THM yang dikupas di atas mempunyai kelemahan, yakni perbedaan satu
piksel saja akan membuat pola tidak dikenal. Dalam praktik, terkadang
252 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
dikehendaki agar THM bersifat sedikit pemaaf, sehingga pola yang sedikit
berbeda dalam citra tetap dianggap sama dengan target. Pembahasan mengenai hal
itu dapat dilihat pada Solomon & Breckon (2011).
Untuk keperluan menangani transformasi Hit-or-Miss, Octave
dan MATLAB menyediakan fungsi bernama bwhitmiss. Bentuk
pemakaiannya:
bwhitmiss(Citra, SE1, SE2)
Dalam hal ini, argumen pertama menyatakan citra dan SE1
serta SE2 menyatakan elemen penstruktur yang merupakan
pola untuk pencarian.
Untuk kepentingan memudahkan implementasi yang melibatkan THM,
sebuah fungsi bernama thm ditunjukkan berikut ini.
Program : thm.m
function G = thm(F, H)
% THM Digunakan untuk menangani transformasi Hit-or-Miss
% F adalah citra yang akan dikenai operasi
% H adalah elemen penstruktur
[tinggi, lebar] = size(H);
H1 = H;
H2 = not(H1);
G = and(erosi(F, H1) , erosi(not(F), H2));
Akhir Program
Contoh berikut menunjukkan cara menemukan batas kiri objek kunci
dengan memanfaatkan fungsi thm:
Morfologi untuk Pengolahan Citra 253
>> Kunci = imread('C:\Image\kunci.png');
>> H = [0 1 1; 0 1 1; 0 1 1];
>> G = thm(Kunci, H); imshow(G)
Pada contoh di atas, elemen pentruktur yang digunakan untuk memperoleh batas
kiri objek berupa:
0 1 1
1 0
1
1
1 0
1
1
Gambar 7.28 Elemen penstruktur untuk
memperoleh batas kiri kunci
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.29(b). Adapun perintah berikut
memberikan hasil seperti terlihat pada Gambar 7.29(c).
>> H = [ 0 0 0; 1 1 1 ; 1 1 1];
>> G = thm(Kunci, H); imshow(G)
(a) Citra kunci.png (b) Batas kiri kunci (c) Batas atas kunci
Gambar 7.29 Contoh memperoleh batas kiri dan batas atas kunci
Pada beberapa kasus, elemen penstruktur yang digunakan untuk
melakukan THM melibatkan bit-bit yang disebut dengan istilah “don’t care”
(dampak nilai 1 atau 0 sama saja). Contoh:
254 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
𝐵 = [1 𝑥 𝑥1 0 𝑥1 𝑥 𝑥
] (7.19)
Pada contoh di atas, x menyatakan “don’t care” atau bebas (0 atau 1). Nah, untuk
menangani kasus seperti itu, dapat dibuat transformasi Hit_or_Miss seperti
berikut.
Program : thm2.html
function G = thm2(F, H)
% THM2 Digunakan untuk menangani transformasi Hit-or-Miss
% F adalah citra yang akan dikenai operasi
% H adalah elemen penstruktur
% H bisa mengandung nilai -1 untuk menyatakan
% don't care
[tinggi, lebar] = size(H);
% Membentuk H1
% Periksa nilai don't care (yaitu -1) dan gantilah dengan nol
H1 = H;
for baris = 1 : tinggi
for kolom = 1 : lebar
if H1(baris, kolom) == -1
H1(baris, kolom) = 0;
end
end
end
% Membentuk H2 sebagai komplemen H1
% Periksa nilai don't care (yaitu -1) dan gantilah dengan nol
for baris = 1 : tinggi
for kolom = 1 : lebar
if H(baris, kolom) == -1
H2(baris, kolom) = 0;
else
H2(baris, kolom) = not(H(baris, kolom));
end
end
end
G = and(erosi(F, H1) , erosi(not(F), H2));
return
Morfologi untuk Pengolahan Citra 255
Akhir Program
Secara prinsip, bagian yang bernilai -1 (“don’t care”) selalu diubah menjadi nol.
Ketika dikomplemenkan, nilai -1 juga menghasilkan nilai 0. Dengan demikian,
H1 AND H2 akan selalu menghasilkan nilai 0 pada setiap elemen. Contoh
penggunaan thm2 akan diberikan ketika membahas convex hull.
7.9 Skeleton
Ada beberapa cara yang digunakan untuk membentuk skeleton. Skeleton
merupakan bentuk unik suatu objek, yang menyerupai rangka suatu objek.
Skeleton mempunyai tiga karakteristik seperti berikut (Young, dkk., 1998):
1) ketebalannya 1 piksel,
2) melewati tengah objek, dan
3) menyatakan topologi objek.
Namun, dalam praktik, ada kasus tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh skeleton.
Contoh ditunjukkan pada Gambar 7.35.
Gambar 7.30 Contoh gambar yang tidak dapat dipenuhi oleh skeleton
(Sumber: Young, dkk., 1998)
Skeleton digunakan untuk representasi dan pengenalan tulisan tangan, pola
sidik jari, struktur sel biologis, diagram rangkaian, gambar teknik, rencana jalur
256 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
robot, dan semacam itu (Shih, 2009). Terkadang istilah skeletonisasi objek disebut
sebagai Medial Axis Transform (Myler & Weeks, 1993).
Salah satu cara untuk mendapatkan skeleton adalah melalui thinning.
Thinning (pengurusan) adalah operasi morfologi yang digunakan untuk
memperkecil ukuran geometrik objek dengan hasil akhir berupa skeleton atau
rangka, dengan definisinya sebagai berikut:
thinning(A, B) = A B = A ^ B
= A – hit_or_miss(A, B) = A (hit_or_miss)c (7.20)
Dalam hal ini, A adalah citra biner dan B adalah delapan elemen penstruktur
B1..Bn. Satu fase perhitungan thinning dilakukan dengan menggunakan delapan
elemen penstruktur. Beberapa fase diperlukan sampai diperoleh hasil yang tidak
lagi mengubah struktur citra.
Operasi thinning menyerupai erosi. Perbedaannya, thinning
tidak akan membuat komponen objek terputus, melainkan
mengecilkan hingga hasil akhirnya berupa rangka dengan
ketebalan 1 piksel.
0 0 0
1
1
1
1 1
1
1
1
1 1 1
1
0 0 0
1 1
0
0
0
1 1
1 1
1 1
1 1
1
1 1
1
0
0
0
B1 B
2 B
3 B
4
1 0 0
0
1
1
1 1
1
1
1
1
0
1 1
1
0 0 1
0 1
1
1
1
1 1
0 0
1 0
0 0
1
1 1
0
1
1
1
B5 B
6 B
7 B
8
Gambar 7.31 Contoh 8 elemen penstruktur
untuk melakukan operasi thinning
Morfologi untuk Pengolahan Citra 257
Contoh delapan elemen penstruktur yang digunakan untuk thinning
ditunjukkan pada Gambar 7.28 (Meyer dan Weeks, 1993). Fase pertama operasi
thinning dilakukan sebagai berikut:
A B = ((((((((A B1) B2) B3) B4) B5) B6) B7) B8) (7.21)
Implementasi thinning ditunjukkan berikut ini.
Program : thinning.m
function G = thinning(F, fase)
% THINNING Untuk melakukan operasi thinning terhadap citra F
% Argumen fase menentukan hasil thinning untuk
% fase tersebut. Jika fase tidak disebutkaan,
% operasi thinning dilakukan sampai cstruktur citra
% tidak berubah lagi
if nargin == 1 % Kalau fase tidak disebutkan
fase = 1000000000; % Isi dengan bilangan yang besar
end
% Elemen penstruktur
H1 = [ 0 0 0; 1 1 1; 1 1 1 ];
H2 = [ 1 1 1; 1 1 1; 0 0 0 ];
H3 = [ 0 1 1; 0 1 1; 0 1 1 ];
H4 = [ 1 1 0; 1 1 0; 1 1 0 ];
H5 = [ 1 0 0; 1 1 0; 1 1 1 ];
H6 = [ 1 1 1; 0 1 1; 0 0 1 ];
H7 = [ 1 1 1; 1 1 0; 1 0 0 ];
H8 = [ 0 0 1; 0 1 1; 1 1 1 ];
[tinggi, lebar] = size(F);
C = F;
for p = 1 : fase
C1 = C;
C = and(C, not(thm(C,H1)));
C = and(C, not(thm(C,H2)));
C = and(C, not(thm(C,H3)));
C = and(C, not(thm(C,H4)));
C = and(C, not(thm(C,H5)));
C = and(C, not(thm(C,H6)));
C = and(C, not(thm(C,H7)));
C = and(C, not(thm(C,H8)));
% Periksa hasil C1 dan C sama atau tidak
sama = true;
258 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
for baris = 1 : tinggi
for kolom = 1 : lebar
if C1(baris, kolom) ~= C(baris, kolom)
sama = false;
break;
end
end
if sama == false
break;
end
end
if sama == true
break; % Akhiri kalang
end
end
G = C;
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi thinning:
>> F = im2bw(imread('C:\Image\bentuk.png'), 0.5);
>> G = thinning(F); imshow(G)
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.32.
(a) Berbagai bentuk objek (b) Skeleton morfologi
Gambar 7.32 Citra yang berisi berbagai bentuk dan
hasil akhir setelah mengalami operasi thinning
Morfologi untuk Pengolahan Citra 259
Adapun contoh berikut menunjukkan pengenaan elemen penstruktur untuk
fase kedua:
>> G = thinning(F,2); imshow(G)
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.33(a). Hasil fase keenam diperoleh dengan
menggunakan perintah berikut:
>> G = thinning(F,6); imshow(G)
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.33(b).
Gambar 7.33 Hasil thinning pada berbagai fase
260 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Skeleton juga dapat diperoleh melalui morfologi, seperti yang diajukan
oleh Serra (1982). Definisi skeleton dijelaskan berikut ini. Misalnya, A
menyatakan citra biner dengan 1 menyatakan piksel objek dan 0 menyatakan
piksel-piksel latarbelakang. Skeleton A diperoleh dengan menggunakan rumus:
𝑆(𝐴) = ⋃ 𝑆𝑘(𝐴)𝐾𝑘=0 (7.22)
Dalam hal ini,
𝑆𝑘(𝐴) = (𝐴 𝑘𝐵 − (𝐴 𝑘𝐵) 𝐵 (7.23)
B adalah elemen penstruktur dan K adalah bilangan terbesar sebelum membuat A
tererosi menjadi himpunan kosong. Kondisi pada K tersebut dapat ditulis secara
matematis seperti berikut:
𝐾 = max(𝑘|𝐴 𝑘𝐵 ≠ ∅) (7.24)
Perlu diketahui,
𝐴 𝑘𝐵 = (((𝐴 𝐵) 𝐵)… ) 𝐵 (7.25)
yang menyatakan bahwa hasil erosi dierosi ulang sampai terjadi k erosi.
Contoh yang menunjukkan proses pembuatan skeleton suatu objek dengan
cara di atas ditunjukkan pada Gambar 7.36. Pada contoh tersebut, S2(A) berupa
himpunan kosong mengingat semua elemen bernilai nol. Dengan demikian, K = 1
atau S(A) = S1(A).
Morfologi untuk Pengolahan Citra 261
1
0
1 1
1
1 1 1
1 1
0
0
0 0
1
0 0 1
0 0
0 0
0
0 0
0
1
0 0 1
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0 1 1 1 1 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
A
B
A B (A B) B
0
0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
0
0 0 0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0
0 0 0
0 0
0
0 0 0
0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0
S1(A) = (A B) - (A B) B S2(A)
0
0
1 1
1
0 1 1
0 1
1 0
0
1 0
1
1
0 1 1
0 1 0
1 1
1
0 0 0
0
0 0 0
0 0
0
1 1 0
0 0
0 1 1 1
1
1 1 1 0
0 1 1 1 1 1 1 0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Gambar 7.34 Skeleton secara morfologis
Namun, cara seperti itu tidak menjamin terjadinya skeleton yang titik-titiknya
terkoneksi. Hal ini telah diutarakan oleh Gonzalez dan Woods (2002).
Di Octave dan MATLAB, skeleton dapat diperoleh dengan menggunakan
fungsi bwmorph. Contoh:
>> Img = imread('C:\Image\bentuk.png');
262 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
>> Img = im2bw(Img, 0.5);
>> G = bwmorph(Img, 'skel', inf);
>> imshow(G)
Perlu diketahui, im2bw digunakan untuk memperoleh citra biner. Setelah itu, Img
dapat diproses oleh bwmorph. Argumen ‘skel’ menyatakan bahwa hasil yang
diharapkan adalah skeleton. Argumen inf menyatakan nilai yang tak berhingga,
yang digunakan untuk menyatakan jumlah pengulangan maksimal dalam
membentuk skeleton. Hasil operasi di depan ditunjukkan pada Gambar 7.35.
Gambar 7.35 Hasil bwmorph untuk memperoleh skeleton
Morfologi untuk Pengolahan Citra 263
7.10 Thickening
Thickening (penebalan) adalah operasi yang berkebalikan dengan thinning.
Fungsinya adalah memperbesar ukuran geometris objek. Operasi ini didefinisikan
sebagai berikut:
A B = A hit_or_miss(A, B) (7.26)
Dalam hal ini, A adalah citra biner dan B adalah delapan elemen penstruktur
B1..Bn. Satu fase perhitungan thickening dilakukan dengan menggunakan delapan
elemen penstruktur. Contoh kedelapan elemen penstruktur disajikan pada Gambar
7.36.
1 1 1
0
0
1
0 0
0
1
0
0 0 0
0
1 1 1
0 0
1
1
1
0 0
0 0
0 0
0 0
0
0 0
0
1
2 1
1
B1 B
2 B
3 B
4
0 1 1
1
0
1
0 0
0
1
0
0
0
0 0
0
1 1 0
1 0
0
0
0
0 0
1 1
0 1
1 1
0
0 0
1
0
0
0
B5 B
6 B
7 B
8
Gambar 7.36 Contoh 8 elemen penstruktur untuk operasi thickening
Fase pertama operasi thickening dilakukan sebagai berikut:
A B = ((((((((A B1) B2) B3) B4) B5) B6) B7) B8) (7.27)
Implementasi thickening ditunjukkan berikut ini.
264 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Program : thickening.m
function G = thickening(F, n_iterasi)
% THICKENING Digunakan untuk menebalkan objek yang terdapat pada
% citra F.
% Argumen n_iterasi menyatakan jumlah iterasi atau
% fase yang dikehendaki untuk melakukan
% penebalan objek'
H1 = [ 1 1 1; 0 0 0; 0 0 0 ];
H2 = [ 0 0 0; 0 0 0; 1 1 1 ];
H3 = [ 1 0 0; 1 0 0; 1 0 0 ];
H4 = [ 0 0 1; 0 0 1; 0 0 1 ];
H5 = [ 0 1 1; 0 0 1; 0 0 0 ];
H6 = [ 0 0 0; 1 0 0; 1 1 0 ];
H7 = [ 0 0 0; 0 0 1; 0 1 1 ];
H8 = [ 1 1 0; 1 0 0; 0 0 0 ];
C = F; % Salin citra F ke C
for p = 1 : n_iterasi
C = or(C, thm(C,H1));
C = or(C, thm(C,H2));
C = or(C, thm(C,H3));
C = or(C, thm(C,H4));
C = or(C, thm(C,H5));
C = or(C, thm(C,H6));
C = or(C, thm(C,H7));
C = or(C, thm(C,H8));
end
G = C;
Akhir Program
Contoh
>> F = imread(’C:\Image\morfo.png’);
>> G = thickening(F,1); imshow(G)
Hasil untuk berbagai fase ditunjukkan pada Gambar 7.37.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 265
Gambar 7.37 Contoh operasi thickening
7.11 Convex Hull
Himpunan konveks (cembung) adalah himpunan yang mencakup semua
titik yang menghubungkan dua titik yang berada di dalam himpunan. Adapun
convex hull adalah bentuk poligon terkecil yang dapat melingkupi objek. Poligon
ini dapat dibayangkan sebagai gelang elastis yang dapat melingkupi tepi objek,
Hal seperti itu kadang diperlukan untuk kepentingan mengenali objek, dengan
menghilangkan tepian objek yang cekung.
266 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Convex hull diperoleh dengan melibatkan transformasi Hit_or_Miss
(THM) dengan elemen-elemen penstruktur yang dirotasi sebesar 90o. Contoh
elemen penstruktur ditunjukkan pada Gambar 7.38.
B1 B
2 B
3 B
4
1 x x
x
1
1
x x
1
1
0
1 1 1
x
x x x
x 0
x
x
x
x 1
x 1
0 1
x x
0
1 1
x
x
2 x
1
Gambar 7.38 Empat elemen penstruktur untuk membentuk convex hull
Pada contoh di atas, x menyatakan “don’t care”.
Langkah awal untuk melakukan perhitungan convex hull dilaksanakan
dengan memberikan X01 = A, dengan A adalah citra yang akan diproses.
Selanjutnya, dilakukan perhitungan sebagai berikut:
𝑋𝑘𝑖 = 𝑡ℎ𝑚(𝑋𝑘−1, 𝐵𝑖) ∪ 𝐴 𝑖 = 1,2,3,4 𝑑𝑎𝑛 𝑘 = 1,2,3, … (7.28)
Konvergensi tercapai ketika 𝑋𝑘𝑖 = 𝑋𝑘−1
𝑖 . Nah, bila Di = 𝑋𝑘𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑔𝑒𝑛𝑖 , convex hull A
berupa
𝐶(𝐴) = ⋃ 𝐷𝑖4𝑖=1 (7.29)
Contoh untuk memperoleh convex hull ditunjukkan pada Gambar 7.39.
Pada contoh tersebut, hasil setelah konvergen untuk 𝑋𝑘𝑖 , 𝑋𝑘
𝑖 , 𝑋𝑘𝑖 , 𝑋𝑘
𝑖 diperlihatkan.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 267
A
0
0
0
0 0
1
0 1 1
0 0
0 0
0
0 0
0
1
0 0 1
0 1 1
1 1
0
0 0 0
0
1 0 0
0 0
0
0 0 0
1 0
0 0 1 1 1 1 1 0
0 0 0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 1 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
𝑋𝑘𝑜𝑛𝑣 =31
0
0
0
0 0
1
0 1 1
0 0
0 0
0
1 0
0
1
0 0 1
0 1 1
1 1
1
0 0 0
0
1 0 0
0 0
0
1 1 1
1 1
0 0 1 1 1 1 1 1
0 0 0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 1 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
𝑋𝑘𝑜𝑛𝑣 =12
0
0
0
0 0
1
0 1 1
0 0
0 0
0
0 0
0
1
0 0 1
0 1 1
1 1
0
0 0 0
0
1 0 0
0 0
0
0 0 0
1 0
0 0 1 1 1 1 1 0
0 0 0 1 1 1 1 0
0 0 0 0 1 1 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0
0 0
1
0 1 1
0 0
0 0
0
0 0
0
1
0 1 1
0 1 1
1 1
0
0 0 0
0
1 0 0
0 0
0
1 0 0
1 0
0 0 1 1 1 1 1 0
0 0 0 1 1 1 1 0
0 0 0 0 1 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
𝑋𝑘𝑜𝑛𝑣 =23
0
0
0
0 0
1
0 1 1
0 0
1 0
1
1 1
1
1
0 0 1
0 1 1
1 1
1
0 0 0
0
1 0 0
0 0
0
1 0 0
1 0
0 0 1 1 1 1 1 0
0 0 0 0 1 1 1 0
0 0 0 0 1 0 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0
0 0
1
0 1 1
0 0
1 0
1
1 1
1
1
0 1 1
1 1 1
1 1
1
0 0 0
0
1 0 0
0 0
0
1 1 0
1 0
0 1 1 1 1 1 1 1
0 0 0 1 1 1 1 0
0 0 0 0 1 1 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0
𝑋𝑘𝑜𝑛𝑣 =44 𝐶(𝐴)
Gambar 7.39 Proses pembentukan convex hull
268 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Implementasi pembentukan convex hull dituangkan pada fungsi bernama
convhull, dengan kode sebagai berikut.
Program : convhull.m
function G = convhull(A)
% CONVHULL Untuk melakukan operasi convex hull terhadap citra A
% dengan menggunakan 4 elemen penstruktur
% G = Convex hull
[tinggi, lebar] = size(A);
% Elemen penstruktur
H1 = [ 1 -1 -1; 1 0 -1; 1 -1 -1 ];
H2 = [ 1 1 1; -1 0 -1; -1 -1 -1 ];
H3 = [ -1 -1 1; -1 0 1; -1 -1 1 ];
H4 = [ -1 -1 -1; -1 0 -1; 1 1 1 ];
C = zeros(tinggi, lebar);
C = or(C, chull(A, H1));
C = or(C, chull(A, H2));
C = or(C, chull(A, H3));
C = or(C, chull(A, H4));
G = C;
function [G, k] = chull(A, B)
% A = Citra
% B = elemen penstruktur
% G = Hasil yang konvergen
% k = iterasi hingga korvergen
[tinggi, lebar] = size(A);
k=1;
Ckmin1 = A;
while (true)
Ck = or(Ckmin1, thm2(Ckmin1,B));
% Cek Ckmin1 apa sama dengan Ck
sama = true;
for baris = 1 : tinggi
for kolom = 1 : lebar
if Ckmin1(baris, kolom) ~= Ck(baris, kolom)
sama = false;
break;
end
end
if sama == false
Morfologi untuk Pengolahan Citra 269
break;
end
end
if sama == true
break; % Berarti sudah konvergen
end
% Ke iterasi berikutnya
k = k + 1;
Ckmin1 = Ck;
end
k = k-1;
G = Ckmin1;
Akhir Program
Contoh penggunaan fungsi convhull:
>> Garpu = im2bw(imread('C:\image\fork-3.png'), 0.5);
>> G = convhull(Garpu); imshow(G)
Hasilnya ditunjukkan pada Gambar 7.40(b).
Gambar 7.40(c) menunjukkan keadaan yang dinamakan defisiensi konveks.
Defisiensi konveks menyatakan selisih antara convex hull dan citra asli. Hasil
tersebut diperoleh melalui:
>> imshow(G – Garpu)
(a) Citra fork-3.png (b) Convex hull (c) Convex hull – Citra asli
Gambar 7.40 Hasil convex hull dan defisiensi konveks
Bentuk convex hull dapat diubah agar tidak berbentuk kotak. Sebagai
contoh, terdapat delapan elemen penstruktur seperti terlihat pada Gambar 7.41.
270 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
1
1
1
x x
1 x
0 x
x x
0
1 1
1
x
2 x
1
B1 B
2 B
3 B
4
B5 B
6 B
7 B
8
1 1 1
x
x
1
x x
1
1
0
1 1 x
x
1 x x
1 0
x
x
x
1 1
x 1
0 1
1 1
0
x x
x
1
1
x
x
0
x 1
1
x 1 1
x 0
x x x
1
1
1
1 1
x
1
0
Gambar 7.41 Contoh 8 elemen penstruktur
untuk melakukan operasi convex hull
Dengan menggunakan delapan elemen penstruktur tersebut, diperoleh hasil seperti
terlihat pada Gambar 7.42.
(a) Convex hull (b) Convex hull – Citra asli
Gambar 7.42 Convex hull dan defisiensi konveks yang melibatkan
delapan elemen penstruktur
7.12 Morfologi Aras Keabuan
Sejauh ini, pembicaraan mengenai morfologi terbatas pada citra biner.
Sesungguhnya, morfologi juga dapat dikenakan pada citra beraras keabuan.
Namun, tentu saja terdapat perbedaan dalam melakukan operasi morfologi ini.
Beberapa operasi morfologi untuk citra beraras keabuan dibahas di subbab ini.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 271
7.12.1 Dilasi Beraras Keabuan
Dilasi pada aras keabuan didefinisikan sebagai berikut (Gonzalez &
Woods, 2002):
(𝐴 𝑔 𝐵)(𝑢, 𝑣) = 𝑚𝑎𝑥(𝑖,𝑗)∈𝐻(A(u-i,v-j)+B(i,j)) (7.30)
dengan A adalah citra dan B adalah elemen penstruktur. Jadi, nilai yang dihasilkan
berupa nilai terbesar antara A+B, dengan proses penambahan dilakukan seperti
yang terjadi pada konvolusi citra. Simbol g sesudah tanda menyatakan bahwa
operasi dilasi tersebut berlaku untuk citra beraras keabuan.
Ilustrasi dilasi beraras keabuan dapat dilihat pada Gambar 7.43. Pada
contoh tersebut, nilai terbesar A+B adalah 25. Nilai tersebut dijadikan sebagai
nilai dalam A g B.
25
1 3 8
6
5 9 4
2 7
A (Citra) B
Himpunan hasil
11+4 12+9 13+5
16+2
17+8 18+3 19+1
1
14+6 15+7
Diputar
180o
+
Terbesar =
25
Hasil
11 12 13
16
17 18 19
14 15
4 9 5
2
8 3 1
6 7
Gambar 7.43 Contoh penentuan nilai dalam dilasi beraras keabuan
272 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Implementasi dilasi dapat dilihat pada program berikut.
Program : gdilasi.m
function G = gdilasi(F, H, hotx, hoty)
% GDILASI Berguna untuk melaksanakan operasi dilasi pada
% citra beraras keabuan.
% Masukan:
% F = citra yang akan dikenai dilasi
% H = elemen pentruksur
% (hy, hx) koordinat pusat piksel
[th, lh]=size(H);
[tf, lf]=size(F);
if nargin < 3
hotx = round(lh/2);
hoty = round(th/2);
end
G = zeros(tf, lf); % Nolkan semua pada hasil dilasi
% Memproses dilasi
for baris = 1 : tf
for kolom = 1 : lf
terbesar = 0;
for p=1:th
for q=1:lh
ypos = baris - (p - hoty);
xpos = kolom - (q - hotx);
if (xpos >= 1) && (xpos <= lf) && ...
(ypos >= 1) && (ypos <= tf)
nilai = F(ypos, xpos) + H(p, q);
if terbesar < nilai
terbesar = nilai;
end
end
end
end
% Potong nilai terbesar kalau melebihi 255
if terbesar > 255
terbesar = 255;
end
% Berikan nilai terbesar ke G
G(baris, kolom) = terbesar;
end
end
Morfologi untuk Pengolahan Citra 273
G = uint8(G);
Akhir Program
Pada contoh di atas, fungsi uint8 digunakan untuk memastikan bahwa hasil
perhitungan dilasi berkisar antara 0 sampai dengan 255.
Contoh berikut menunjukkan penggunaan fungsi gdilasi yang
dikenakan pada citra mandrill.png dengan menggunakan elemen penstruktur
berukuran 9x9 dengan bentuk cakram.
>> Img = imread('C:\Image\mandrill.png');
>> H = [
0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 1 1 0 0 ];
>> G = gdilasi(Img, H); imshow(G)
Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 7.44.
274 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
(a) Citra mandrill.png (b) Dilasi dengan elemen struktur
berukuran 3x3 dan seluruhnya
bernilai 0
(c) Dilasi dengan elemen struktur
berukuran 3x3 dan seluruhnya
bernilai 1
(d) Dilasi dengan elemen struktur
berukuran 9x9 dan berbentuk bola
Gambar 7.44 Efek dilasi pada citra beraras keabuan
7.12.2 Erosi Beraras Keabuan
Erosi pada citra beraras keabuan didefinisikan sebagai berikut:
(𝐴 𝑔 𝐵)(𝑢, 𝑣) = 𝑚𝑖𝑛(𝑖,𝑗)∈𝐻(A(u+i,v+j)-B(i,j)) (7.31)
dengan A adalah citra dan B adalah elemen penstruktur. Simbol g sesudah tanda
menyatakan bahwa operasi dilasi tersebut berlaku untuk citra beraras keabuan.
Morfologi untuk Pengolahan Citra 275
Jadi, nilai yang dihasilkan berupa nilai terkecil antara A-B. Contoh perhitungan
erosi ditunjukkan pada Gambar 7.45.
5
11 12 13
16
17 18 19
14 15
1 3 8
6
5 9 4
2 7
A (Citra) B
Himpunan hasil
11-2 12-3 13-8
16-6
17-5 18-9 19-4
1
14-2 15-7
Terkecil = 5
Hasil
Gambar 7.45 Contoh penentuan nilai dalam erosi beraras keabuan
Implementasi erosi pada citra beraras keabuan diwujudkankan dengan
fungsi bernama gerosi. Kodenya seperti berikut.
Program : gerosi.m
function G = gerosi(F, H, hotx, hoty)
% GEROSI Berguna untuk melaksanakan operasi dilasi
% citra beraras keabuan.
% Masukan:
% F = citra yang akan dikenai erosi
% H = elemen pentruksur
% (hy, hx) koordinat pusat piksel
[th, lh]=size(H);
[tf, lf]=size(F);
if nargin < 3
hotx = round(lh/2);
hoty = round(th/2);
end
276 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
G = zeros(tf, lf); % Nolkan semua pada hasil erosi
% Memproses erosi
for baris = 1 : tf
for kolom = 1 : lf
terkecil = 255;
for p=1:th
for q=1:lh
ypos = baris + p - hoty;
xpos = kolom + q - hotx;
if (xpos >= 1) && (xpos <= lf) && ...
(ypos >= 1) && (ypos <= tf)
nilai = F(ypos, xpos) + H(p, q);
if terkecil > nilai
terkecil = nilai;
end
end
end
end
% Berikan nilai ke G
if terkecil < 0
terkecil = 0;
end
G(baris, kolom) = terkecil;
end
end
G = uint8(G);
Akhir Program
Contoh penggunaan gerosi seperti berikut:
>> Img = imread('C:\Image\mandrill.png');
>> H = [
0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1 1 0
Morfologi untuk Pengolahan Citra 277
0 0 1 1 1 1 1 0 0 ];
>> G = gerosi(Img, H); imshow(G)
Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 7.46.
(a) ) Citra mandrill.tif (b) Erosi dengan elemen penstruktur
berukuran 3x3 dan seluruhnya
bernilai 0
(c) Erosi dengan elemen struktur
berukuran 3x3 dan
seluruhnya bernilai 1
(d) Erosi dengan elemen struktur
berukuran 9x9 dan berbentuk
bola
Gambar 7.46 Efek erosi pada citra beraras keabuan
278 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Aplikasi erosi dan dilasi pada citra beraras keabuan adalah untuk
memperoleh gradien morfologis. Dalam hal ini, gradien morfologis diperoleh
dengan melakukan pengurangan hasil dilasi dengan nilai hasil erosi. Contoh:
>> Img = imread('C:\Image\boneka.png');
>> X = gdilasi(Img, ones(3));
>> Y = gerosi(Img, ones(3));
>> imshow(X-Y)
Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 7.47(d). Adapun hasil pemrosesan dilasi dan
erosi secara berturutan dapat dilihat pada Gambar 7.47(b) dan 7.47(c).
(a) Citra boneka.png (b) Dilasi dengan elemen struktur
berukuran 3x3 dan seluruhnya
bernilai 1
(c) Erosi dengan elemen struktur
berukuran 3x3 dan seluruhnya
bernilai 1
(d) Hasil dilasi – hasil erosi
Gambar 7.47 Gradien morofologis melalui pengurangan dilasi
dengan erosi pada citra beraras keabuan
Morfologi untuk Pengolahan Citra 279
7.12.3 Opening dan Closing
Secara prinsip, operasi opening dan closing pada citra beraras keabuan
serupa pada citra biner. Definisinya sebagai berikut.
Opening: A g B = (A g B) g B (7.32)
Closing: A g B = (A g B) g B (7.33)
Contoh perbedaan hasil operasi opening dan closing pada citra beraras
keabuan dapat dilihat pada Gambar 7.48. Terlihat bahwa operasi opening
berkecenderungan menghilangkan bagian yang cerah tetapi berukuran kecil
(perhatikan pada bagian mata pada hasil opening). Adapun operasi closing
mempertahankan objek kecil yang berwarna terang.
Gambar 7.48 Operasi opening dan closing pada citra beraras keabuan
menggunakan elemen penstruktur 5x5 yang seluruhnya bernilai 0
280 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
Untuk kepentingan kemudahan dalam mencoba operasi opening pada citra
berskala keabuan, dapat digunakan fungsi bernama gopening. Kodenya sebagai
berikut.
Program : gopening.m
function G = gopening(F, H)
% GOPENING berguna untuk melaksanakan operasi opening
% citra beraras keabuan
% Masukan:
% F = citra yang akan dikenai erosi
% H = elemen pentruksur
G = gdilasi(gerosi(F, H), H);
Akhir Program
Untuk kepentingan kemudahan dalam mencoba operasi closing pada citra
berskala keabuan, dapat digunakan fungsi bernama gclosing. Kodenya sebagai
berikut.
Program : gclosing.m
function G = gclosing(F, H)
% GCLOSING Berguna untuk melaksanakan operasi closing
% citra beraras keabuan.
% Masukan:
% F = citra yang akan dikenai erosi
% H = elemen pentruksur
G = gerosi(gdilasi(F, H), H);
Akhir Program
Morfologi untuk Pengolahan Citra 281
Contoh berikut menunjukkan penggunaan gopening:
>> Img = imread('C:\Image\lena256.png');
>> G = gopening(Img, ones(5));
>> imshow(G)
Adapun contoh berikut menunjukkan penggunaan gclosing:
>> Img = imread('C:\Image\lena256.png');
>> G = gclosing(Img, ones(5));
>> imshow(G)
7.13 Transformasi Top-Hat
Transformasi Top-Hat didefinisikan sebagai perbedaan antara citra dan
citra setelah mengalami operasi opening (Solomon & Breckon, 2011) atau dapat
disajikan secara matematis seperti berikut:
TTH(A, B) = A - (A g B) (7.34)
Pada rumus di atas, A menyatakan citra dan B sebagai elemen penstruktur. Simbol
g menyatakan bahwa operasi tersebut berlaku untuk citra beraras keabuan.
Transformasi ini berguna untuk mendapatkan bentuk global suatu objek
yang mempunyai intensitas yang bervariasi. Sebagai contoh, perhatikan Gambar
7.49(a). Pada citra tersebut, butiran-butiran nasi memiliki intensitas yang tidak
seragam. Melalui opening, diperoleh hasil seperti terlihat pada Gambar 7.49(b).
Hasil transformasi Top-Hat ditunjukkan pada Gambar 7.49(c). Perhatikan bahwa
hasil butiran nasi pada Gambar 7.49(c) terlihat memiliki intensitas yang lebih
seragam dibandingkan pada citra asal.
282 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
(a) Citra rice.png (b) Hasil Opening (c) ) Hasil Top-Hat
Gambar 7.49 Transformasi Top-Hat menggunakan elemen penstruktur
berukuran 9x9 berbentuk cakram
Pada contoh berikut, TH menyatakan hasil transformasi Top-Hat:
>> Img = imread('C:\Image\rice.png');
>> H = [
0 0 1 1 1 1 1 0 0
0 1 1 1 1 1 1 1 0
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1 1
0 1 1 1 1 1 1 1 0
0 0 1 1 1 1 1 0 0 ];
>> G = gopening(Img, H);
>> TH = Img - G;
>> imshow(TH)
File rice.png tidak disediakan di CD yang disertakan
bersama buku. File tersebut adalah milik MATLAB.
Hasil transformasi Top-Hat pada contoh seperti di atas akan menghasilkan
citra biner yang lebih baik daripada kalau citra biner diperoleh secara langsung
Morfologi untuk Pengolahan Citra 283
dari citra asal. Sebagai gambaran, Gambar 7.50 memberikan contoh hasil konversi
ke citra biner menggunakan citra rice.png dan hasil konversi citra biner
menggunakan hasil transformasi Top-Hat.
(a) Citra rice.png (b) ) Konversi citra biner
melalui rice.png secara
langsung
(c) Konversi citra biner
melalui hasil Top-Hat
Gambar 7.50 Efek transformasi Top-Hat untuk memperoleh citra biner
Perhatikan bahwa jumlah butir padi pada Gambar 7.50(c) bagian bawah lebih
banyak daripada pada Gambar 7.50(b).
7.14 Transformasi Bottom-Hat
Transformasi Bottom-Hat didefinisikan sebagai berikut:
TBH(A, B) = (A g B) - A (7.35)
Secara prinsip, operasi ini memperbesar warna putih melalui dilasi, diikuti
dengan pengecilan warna putih melalui erosi dan kemudian dikurangi dengan citra
asal. Dilasi yang diikuti dengan erosi memberikan efek berupa objek-objek yang
berdekatan menjadi semakin dekat. Pengurangan oleh citra asal membuat
penghubung antarobjek menjadi hasil yang tersisa. Dengan kata lain, hasil yang
tersisa adalah piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi “lubang”, atau
“penghubung objek”.
284 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
1. Terdapat dua buah himpunan seperti berikut:
A = {(1,1), (1,2), (2,1), (2,3), (2,1)}
B = {(1,1), (1,3), (2,2), (2,3), (3,1)}
Berapa hasil operasi berikut?
(a) A B
(b) A B
2. Perhatikan gambar berikut:
0 0 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
1
0 1 0
0 0 0
0 0
0
(a) Bagaimana bentuk komplemen citra tersebut?
(b) Bagaimana bentuk refleksinya?
3. Jelaskan kegunaan operasi dilasi.
4. Perhatikan citra berikut:
0 0 0
1
0 1 1
0 1
0 0
0
1 0
0
1
0 1 0
0 0 0
0 0
0
Latihan
Morfologi untuk Pengolahan Citra 285
Perlihatkan hasilnya jika dikenai operasi dilasi dengan elemen penstruktur
seperti berikut?
1 1
Dalam hal ini, yang diarsir adalah hotspot.
Hitung soal di atas secara manual dan kemudian bandingkan dengan hasil
kalau menggunakan fungsi bernama erosi.
Bagaimana hasilnya kalau hotspot justru terletak yang kanan? Lakukan secara
manual dan juga melalui komputasi dengan fungsi erosi.
5. Jelaskan bahwa hasil operasi erosi sebenarnya menyatakan letak elemen
penstruktur di dalam citra yang dikenai operasi tersebut.
6. Jelaskan hubungan operasi berikut terhadap operasi dilasi dan erosi:
(a) operasi opening
(b) operasi closing
7. Operasi opening sering dikatakan idempotent. Apa maksudnya?
8. Jelaskan kegunaan operasi thinning?
9. Cobalah memodifikasi operasi pada thinning.m dengan menggunakan elemen
penstruktur seperti berikut:
286 Pengolahan Citra, Teori dan Aplikasi
0 0 0
1
1
1
1 1
1
1
1
1 0 0
1
1 1 1
1 1
1
1
1
1 0
1 0
1 0
1 1
1
1 0
1
1
0
0
B1 B
2 B
3 B
4
1 1 1
1
0
1
0 0
1
1
1
1
0
1 1
1
0 0 1
0 1
0
0
0
1 1
1 1
1 1
0 0
1
1 1
0
1
1
1
B5 B
6 B
7 B
8
Kenakan pada citra bentuk.png. Perhatikan bahwa elemen-elemen
penstruktur di atas sama dengan elemen-elemen penstruktur pada contoh
di depan, tetapi letaknya dipertukarkan. Bandingkan hasilnya dengan
contoh pada Gambar 7.32.
10. Cobalah untuk mengimplementasikan convex hull yang melibatkan delapan
elemen penstruktur.
11. Buatlah fungsi bernama tth yang berguna untuk melaksanakan operasi
transformasi Top-Hat. Lalu, ujilah fungsi tersebut untuk menapis rice.png.