BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

33
1 BAB 6 HIERARKI 1. Pendahuluan Perusahaan dalam ekonomi neoklasik merupakan sebuah konsep yang masih belum berkembang; jika mengutip istilah Clapham (1922), sebuah ‘kotak kosong’. Seperti yang akan kita lihat lebih rinci pada Bab 7, perusahaan dalam literature-literatur standar dipandang sebatas dalam ‘fungsi produksi’, sebatas dipandang sebagai abstraksi matematika yang menunjukan adanya hubungan diantara input dan output. Oleh karenanya berjalannya sebuah perusahaan selalu didefinisikan secara teknologi, sebuah hasil dari hukum fisika yang dapat diketahui oleh semua orang. Untuk beberapa tujuan, pendekatan tersebut dapat berguna dengan baik, dan dalam hal ini kita tidak sedang akan membahas secara eksplisit masalah-masalah yang benar-benar metodologis yang bisa menimbulkan perdebatan panjang di wilayah tersebut. Bagaimanapun juga, sebuah pendekatan yang diabstraksikan dari masalah informasi dan diangkat dari masalah institusi (Bab 1), dan sebuah analisa bebas tentang institusi tidak akan terlalu berguna jika tujuan kita mengacu kepada struktur institusi seperti perusahaan. Oleh karena itu, pada bab ini sebuah usaha dilakukan untuk menggaris bawahi perkembangan- perkembangan terbaru (masih di dalam tradisi neoklasik) yang secara khusus menekankan kepada masalah informasi, insentif, dan struktur internal. Jika para ahli ekonomi baru tertarik untuk menerapkan teknik kajian mereka ke dalam masalah-masalah institusional yang muncul saat ini, maka para ilmuwan sosial telah lebih dahulu memusatkan perhatiannya kepada masalah tersebut sejak lama. Oleh karena itu akan sangat berguna untuk melihat kepada literature teori organisasi dan ilmu manajemen sebagai bentuk usaha awal kita untuk menambahkan substansi kajian dalam perusahaan dan untuk menganalisa struktur internalnya. Meskipun demikian, banyak dari pekerjaan keilmuan ini bersifat normative dan mewakili hasrat para ilmuwan untuk menemukan sebuah pengaturan ideal bagi kegiatan operasional manufaktur, dibanding sebuah hasrat sederhana untuk menjelaskan struktur perusahaan yang dapat diamati atau untuk menganalisa penyebab terjadinya perbedaan struktur antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Sebagai contoh, Taylor (1991) telah terilhami oleh kelompok messiah untuk menghilangkan kelalaian kerja melalui pembangunan teknik ‘kajian kerja’ dan manajemen ilmiah. Namanya kemudian identik dengan sistem kerja keras yang memusatkan perhatiannya kepada karakteristik pekerja. Urwick (1943) di sisi lain lebih memusatkan perhatiannya kepada usaha membangus separangkat prinsip-prinsip umum atau hukum untuk merancang

description

Tulisan ini merupakan salah satu hasil terjemahan materi dari studi magister Ekonomi Bisnis yang membahas tentang hierarki dalam sebuah badan atau lembaga bisnis.

Transcript of BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

Page 1: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

1

BAB 6HIERARKI

1. PendahuluanPerusahaan dalam ekonomi neoklasik merupakan sebuah konsep yang masih belum berkembang; jika mengutip istilah Clapham (1922), sebuah ‘kotak kosong’. Seperti yang akan kita lihat lebih rinci pada Bab 7, perusahaan dalam literature-literatur standar dipandang sebatas dalam ‘fungsi produksi’, sebatas dipandang sebagai abstraksi matematika yang menunjukan adanya hubungan diantara input dan output. Oleh karenanya berjalannya sebuah perusahaan selalu didefinisikan secara teknologi, sebuah hasil dari hukum fisika yang dapat diketahui oleh semua orang. Untuk beberapa tujuan, pendekatan tersebut dapat berguna dengan baik, dan dalam hal ini kita tidak sedang akan membahas secara eksplisit masalah-masalah yang benar-benar metodologis yang bisa menimbulkan perdebatan panjang di wilayah tersebut. Bagaimanapun juga, sebuah pendekatan yang diabstraksikan dari masalah informasi dan diangkat dari masalah institusi (Bab 1), dan sebuah analisa bebas tentang institusi tidak akan terlalu berguna jika tujuan kita mengacu kepada struktur institusi seperti perusahaan. Oleh karena itu, pada bab ini sebuah usaha dilakukan untuk menggaris bawahi perkembangan-perkembangan terbaru (masih di dalam tradisi neoklasik) yang secara khusus menekankan kepada masalah informasi, insentif, dan struktur internal.Jika para ahli ekonomi baru tertarik untuk menerapkan teknik kajian mereka ke dalam masalah-masalah institusional yang muncul saat ini, maka para ilmuwan sosial telah lebih dahulu memusatkan perhatiannya kepada masalah tersebut sejak lama. Oleh karena itu akan sangat berguna untuk melihat kepada literature teori organisasi dan ilmu manajemen sebagai bentuk usaha awal kita untuk menambahkan substansi kajian dalam perusahaan dan untuk menganalisa struktur internalnya. Meskipun demikian, banyak dari pekerjaan keilmuan ini bersifat normative dan mewakili hasrat para ilmuwan untuk menemukan sebuah pengaturan ideal bagi kegiatan operasional manufaktur, dibanding sebuah hasrat sederhana untuk menjelaskan struktur perusahaan yang dapat diamati atau untuk menganalisa penyebab terjadinya perbedaan struktur antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Sebagai contoh, Taylor (1991) telah terilhami oleh kelompok messiah untuk menghilangkan kelalaian kerja melalui pembangunan teknik ‘kajian kerja’ dan manajemen ilmiah. Namanya kemudian identik dengan sistem kerja keras yang memusatkan perhatiannya kepada karakteristik pekerja. Urwick (1943) di sisi lain lebih memusatkan perhatiannya kepada usaha membangus separangkat prinsip-prinsip umum atau hukum untuk merancang struktur organisasi (Jackson, 1982, p.21). Para principal akan berusaha untuk membangun pembagian buruh yang tepat, menyusun secara institusi rentang pengawasan yang tepat (jumlah subordinat untuk tiap supervisor), menemukan struktur perintah yang jelas, dan lain-lain. Hasilnya adalah sebuah pendekatan non-humanis, yaitu pendekatan mekanistik bagi organisasi, yang kemudian menuai kritik untuk lebih melihat kepada faktor manusia dan sosial dalam pendekatannya. Faktor-faktor seperti gaya manajemen, akan membangun hubungan personal yang akrab dan saling menghormati. Meskipun demikian, pendekatan yang lebih humanis tersebut masih bersifat normative karena hubungan manusia yang baik pada akhirnya akan terlihat pada diri manusia itu sendiri, atau karena lingkungan kerja yang memuaskan secara otomatis akan dilihat sebagai situasi yang kondusif bagi proses produksi fisik.Bab ini akan menggambarkan tradisi yang lebih berbeda. Usaha ini bukanlah untuk menentukan sesuatu yang lebih patut atau lebih baik untuk digunakan, tetapi lebih kepada usaha sederhana untuk memahami pengaturan institusional yang beragam yang dapat kita amati pada tataran praktis. Pembahasan kita akan dimulai dari apresiasi terhadap biaya transaksi (Bab 2) dan masalah pelaksanaan kontrak (Bab 5). Dalam tradisi yang dimulai oleh Coase, perusahaan dilihat sebagai tanggapan bagi masalah-masalah tersebut, dan kita akan menunjukan bagaimana beberapa ilmuwan telah berusaha

Page 2: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

2

untuk menjelaskan karakteristik hierarki dasar dengan mengacu kepada teori principal dan agen. Pada karya awal Weber (1947), birokrasi atau hierarki telah dikenali memiliki beberapa tampilan standar.

1) Organisasi terdiri dari orang-orang yang ditugaskan di beberapa lapisan dalam hierarki. Lapisan tersebut akan didefinisikan sebagai ‘kewenangan’, sehingga orang yang ditugaskan pada tingkatan yang paling tinggi akan mengawasi orang yang ditugaskan pada lapisan di bawahnya. Dalam kasus ini, jumlah lapisan yang ada dalam sebuah organisasi akan tergantung kepada ukuran pangkal organisasi dan ‘jenjang pengawasan’ yang diterapkan oleh supervisor. Sebagi contoh, Williamson (1967) menggunakan gagasan ‘jenjang pengawasan’ dikombinasikan dengan konsep ‘tanpa pengawasan’ untuk membahas keuntungan perusahaan yang dapat memaksimalkan jumlah lapisan dalam sebuah hierarki organisasi. Meskipun demikian, lapisan hierarki tidak terlalu penting untuk didefinisikan sebagai kewenangan dan supervise. Organisasi bisa menjadi murni organisasi yang berdasarkan pemberian upah pada setiap lapisan hierarki, dimana posisi pada satu lapisan hierarki diberi upah lebih besar dibandingkan posisi lapisan lainnya. Tentu saja kedua jenis organisasi tersebut bisa berjalan secara bersamaan ketika dalam organisasi tersebut berlaku ketentuan bahwa seorang supervisor akan diberi upah yang lebih besar dibandingkan bawahannya atau orang-orang yang dia awasi. Selanjutnya, post hierarki yang lebih senior tidak selalu menjalankan fungsi supervise. Di Universitas British, dosen senior tidak melakukan pengawasan terhadap para dosen. Secara esensial mereka melakukan pekerjaan yang sama, yaitu mengajar materi perkuliahan, meskipun dosen yang lebih dulu mengajar akan mendapatkan upah yang lebih besar dibandingkan dosen yang baru masuk.

2) Jumlah orang yang berada pada posisi teratas hierarki berjumlah lebih sedikit dengan jumlah orang yang berada pada hierarki bawah. Hal ini merupakan dampak mekanis dari hierarki yang berdasarkan kepada kewenangan yang mengasumsikan bahwa jenjang pengawasan akan lebih baik daripada pengawasan hanya terpusat pada satu orang. Tetapi dalam hierarki yang berdasarkan upah, belum terlalu jelas kenapa jumlah orang yang mendapatkan upah lebih besar lebih sedikit daripada jumlah orang yang mendapatkan upah lebih kecil. Sebagai contoh, mengapa kita tidak cenderung melakukan pengamatan terhadap departemen-departemen yang ada dalam sebuah universitas dimana setiap anggota staf departemennya merupakan seorang professor?

3) Posisi atas dalam sebuah hierarki lebih dominan diisi oleh orang-orang yang dipromosikan dari posisi yang lebih rendah. Menggunakan terminology yang disampaikan oleh Williamson (1975), pintu masuk ke dalam sebuah hierarki utamanya berada pada level hierarki yang rendah. Promosi seringkali terkait dengan masalah waktu pension seorang karyawan, dimana ketika dia dipromosikan ke tingkatan yang lebih tinggi maka dia tidak akan berada pada posisi tersebut terlalu lama.

4) Hierarki dicirikan oleh apa yang disebut Weber dengan kualitas impersonalitas. Orang-orang akan diperlakukan secara sama ketika mereka masuk dalam sebuah posisi dalam hierarki. Dalam hal ini, Williamson melihat impersonalitas sebagai kondisi dimana kurangnya ruang bagi daya tawar individu dan munculnya kebutuhan untuk menerima syarat dan ketentuan standar pekerja yang diterapkan pada masing-masing tingkatan hierarki (lihat bagian 9).

2. Tarif Satuan Kerja dan Tarif Waktu2.1. Jadwal pembayaran, usaha, dan moral burukMeskipun kontrak pekerja telah dibahas pada beberapa poin pembahasan di Bab 5, akan sangat berguna untuk menginterpretasikan kembali hasil dari adanya hubungan principal-agen dalam kerangka konsep yang lebih konvensional. Analisa kita sejauh ini telah diarahkan oleh bantuan dari diagram kotak sederhana, dimana masing-masing titik pada kotak mencerminkan sebuah kontrak. Oleh karena itu secara implicit masing-masing titik mencerminkan jadwal pembayaran primitive atau struktur insentif.

Page 3: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

3

Hal tersebut menentukan apa yang akan didapat oleh agen atau pekerja dalam kontribusinya terhadap pekerjaan dalam kontrak. Katakanlah, seperti yang telah kita singgung pada bagian 4 Bab 5, hanya pendapatan akhir dari pekerja saja yang dapat kita amati, kemudian masing-masing titik pada diagram kotak dapat diartikan sebagai penerapan jadwal pembayaran yang dibuat dari tarif waktu dan tarif satuan kerja. Mengacu kepada gambar 6.1, dimana kita membuat kembali sebuah diagram kotak

dengan kurva pengabaian resiko netral pekerja Uep

. Sepanjang kurva Uep

kita mengidentifikasi empat

kemungkinan posisi kontrak yang kita beri nama a, b, c dan d. Locus rr’ yang mendorong usaha e dari penolakan pekerja terhadap resiko dibangun melalui titik b. Titik c berada pada garis diagonal yang terbangun dari pertemuan kondisi principal dan kondisi agen. Titik a dan d berada pada garis pasti agen dan garis pasti principal.

Masing-masing kontrak yang teridentifikasi dapat digambarkan dengan jalan yang berbeda pada gambar 6.2. Sepanjang poros horizontal pada gambar 6.2 merupakan tampilan ukuran dari pendapatan terkini dan sepanjang poros vertical merupakan tampilan pembayaran yang diberikan kepada pekerja. Ketika hanya ada dua kemungkinan pendapatan dalam rumusan sederhana kita, maka masing-masing titik kontrak pada gambar 6.1 akan diwakili oleh 2 titik pada gambar 6.2. Sebagai contoh, kontrak a pada gambar 6.1 akan sepadan dengan titik a’ dan titik a’’ pada gambar 6.2. Garis lurus yang tercipta melalui kedua titik tersebut merupakan garis horizontal, mengindikasikan bahwa pembayaran kepada para pekerja tidak terikat kepada besarnya pendapatan. Hal tersebut kemudian dapat disebut sebagai sistem tarif waktu. Pekerja yang mendapatkan pembayaran dengan jumlah upah yang pasti/tetap disimbolkan dengan: π1

a=π2a . Hal tersebut menginterpretasikan pendapatan yang diukur melalui dimensi dalam

kotak mengacu kepada interval waktu tertentu, maka π1a=π2

a akan merepresentasikan sistem pengupahan pekerja per minggu.

Page 4: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

4

Seperti yang telah kita lihat pada Bab 5, upah mingguan dalam konteks tidak dapat diamatinya usaha pekerja, tidak akan menghasilkan kebutuhan terhadap insentif kerja. Untuk merangsang munculnya usaha, para pekerja harus mengambil resiko, dan dalam konteks kekinian hal tersebut berdampak kepada elemen sistem pembayaran berdasarkan tarif satuan kerja. Titik b pada gambar 6.1 ditransfer kepada titik b’ dan titik b’’ pada gambar 6.2. Garis lurus yang tercipta melalui titik ini memotong poros vertical pada titik wb dan pembayaran tiap unit pendapatan atau sistem pembayaran taris satuan kerja diberikan oleh garis melengkung yang melalui titik b’ dan titik b’’. Garis melengkung tersebut kemudian kita sebut dengan r kemudian pembayaran kepada pekerja kita simbolkan dengan π A=wb+rπ dimana π adalah pendapatan actual. Jadwal pembayaran ini akan mendorong pekerja untuk menjalankan usaha e, seperti yang kita lihat pada Bab 5. Kontrak A pada titik c pada gambar 6.1, akan ditarik kembali sehingga akan melibatkan pembagian resiko kehilangan relative kepada titik b yang akan menghasilkan tidak adanya kompensasi terhadap peningkatan usaha. Kontrak pada titik c akan berada pada garis diagonal asal kotak, hal tersebut berdampak kepada kondisi dimana agen akan membayar proporsi yang sama dengan pendapatan yang diterima. Hal tersebut menunjukan bahwa sistem pembayaran yang berlaku adalah murni berdasarkan tarif satuan kerja seperti yang ditunjukan oleh garis lurus pada kotak asal di gambar 6.2. Tentu saja tidak ada alasan yang bersifat prinsip mengapa kontrak pada titik c, dan terbentuknya sistem tarif satuan kerja, tidak akan menjadi solusi efisien bagi masalah kontraktual yang ada dalam lingkaran masalah pemberian upah (derajat resiko keengganan pekerja, biaya usaha bagi pekerja, dampak dari usaha terhadap kemungkinan π1, dan lain-lain).Meskipun, berdasarkan pembahasan pada Bab 5, resiko keengganan pekerja tidak akan bisa diamati dalam kondisi penerimaan kontrak a pada titik d, resiko netralitas pekerja juga akan sulit untuk diamati. Hasil dari jadwal pembayaran upah terlihat pada garis lurus yang melewati titik d’ dan titik d’’ pada gambar 6.2. Dalam ilustrasi tersebut dapat dicatat bahwa dampak sistem pembayaran berdasarkan tariff waktu bersifat negative dan menggambarkan apa yang disebut dengan ‘monopoli upah’ seperti yang telah dibahas pada Bab 5. Bagaimanapun juga tidak dapat disimpulkan bahwa upah tersebut telah dibayarkan dalam bentuk tunai kepada para pekerja sebagai insentif dari struktur yang berjalan. Upah tersebut dapat dibayarkan secara implicit dalam bentuk penghargaan yang terus menerus dalam hal peningkatan pendapatan. Dalam sistem pembayaran berdasarkan tariff satuan kerja, dapat melibatkan

Page 5: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

5

quota dimana pada kondisi tertentu pekerja tidak akan mendapatkan apapun. Dalam kasus kontrak pada titik d, para pekerja akan menerima apapun yang dia produksi selama berada di atas quota π p.Faktanya, hanya ada 2 pendapatan yang diasumsikan dapat menjadi alat ukur bagi beberapa struktur insentif yang digambarkan oleh titik-titik yang berada disepanjang garis lurus pada gambar 6.2. Dalam kasus yang lebih umum, dimana terdapat beberapa pendapatan yang bisa diperoleh dan tingkat usaha terus mengalami perubahan, maka sama sekali tidak ada alasan untuk menduga bahwa kontrak yang efisien akan berdampak secara linear kepada struktur insentif, meskipun dilibatkan informasi dan proses komputerisasi dalam menghitung dan merumuskan kontrak terbaik, maka rekomendasi kontrak yang dihasilkan akan memperlihatkan struktur insentif yang sangat kompleks. Oleh karena itu, sekali lagi kita dibawa kembali kepada argument dasar pada Bab 1 dan Bab 2 dan penyimpulan yang menyatakan bahwa rasionalitas terbatas dan masalah informasi akan berdampak kepada berlanjutnya eksperimen dibandingkan terbentuknya solusi stabil yang sempurna. Stiglitz (1975) menyadari hal tersebut dan berpendapat bahwa: “Jika terdapat keuntungan signifikan dan besar dalam sebuah pengaturan kontraktual dibandingkan pengaturan lainnya, perusahaan yang menemukan pengaturan tersebut akan menemukan bahwa mereka dapat meningkatkan laba perusahaan dan menemukan bahwa pengaturan kontrak yang mereka terapkan akan ditiru oleh perusahaan lainnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa ada kecenderungan yang bersifat evolutif dari ekonomi untuk menarik pembahasan kontraktual masuk ke dalam analisa ekonomi” (p.556). Stiglitz sudah melaksanakan penyelidikan terhadap property jadwal pembayaran linear dimana para pekerja mengalami resiko keengganan dan majikan berada pada resiko netral, dan hasilnya dapat dimengerti secara intuitif dalam konteks model yang telah dipresentasikan pada Bab 5.Dengan kata lain, jika output sangat terkait erat dengan usaha dan kurang dipengaruhi oleh elemen kesempatan, jadwal pembayaran yang diterapkan akan menekankan sistem tarif satuan kerja dibandingkan sistem tarif waktu. Dengan menerapkan sistem tarif satuan kerja, para pekerja tidak akan menghadapi resiko yang besar, tetapi akan ada keuntungan yang nyata dalam menyediakan insentif bagi tiap usaha yang dilakukan. Ketika, seperti yang ditampilkan dalam model Stiglitz, hanya pendapatan saja yang bisa diamati, kontrak yang mendorong usaha akan melibatkan para pekerja kepada resiko. Seperti yang kita lihat pada Bab 5, pembagian resiko kehilangan pendapatan akan bermanfaat dalam menghasilkan dampak insentif yang cukup besar. Dalam hal ini kita akan mengacu kepada kasus dimana usaha yang terjadi hanya dapat dilakukan pada dua nilai, tetapi ketika usaha yang dilakukan berubah terus menerus maka kontrak yang efisien dengan penambahan pembagian resiko didalamnya untuk mendorong munculnya unit usaha tambahan dari para pekerja, menjadi hal yang biasa dan menjadi sama halnya dengan sedikit manfaat yang bisa diambil dari adanya usaha tambahan. Sedikitnya pembagian resiko kehilangan akan melampaui keuntungan marjinal yang dihasilkan dari usaha maksimal segera setelah penerapan sistem bagian rata-rata ditingkatkan, dan oleh karenanya resiko keengganan tertinggi akan muncul pada penerapan tarif waktu. Melalui proses penjelasan yang serupa terlihat jelas bahwa dengan adanya resiko keengganan, keuntungan marjinal yang bergerak melalui sistem tarif satuan kerja akan mencapai tingkat tertinggi dan menjadi pendorong terbaik bagi terciptanya dampak insentif, dengan demikian penerapan tarif satuan kerja akan menghasilkan dampak insentif yang besar. Kesimpulan akhir dari analisa Stiglitz juga mengacu kepada kerangka kerja sederhana kita: “Jika individu mendapatkan informasi yang baik tentang kemampuannya sendiri (mereka mengetahui biaya dari usaha yang mereka lakukan dan dampak dari kemungkinan distribusi pendapatan), dan tidak ada sumber resiko lainnya, maka kesetaraan tidak akan tercipta…pekerjaan akan dilelang kepada penawar tertinggi; dan hal tersebut menunjukan tidak adanya hal positif dari tarif waktu” (p.563). Hal tersebut tentu saja berhubungan dengan kesimpulan kita bahwa dengan tidak adanya resiko pada pekerja maka struktur insentif yang ditunjukan titik d’ dan d’’ pada gambar 6.2 akan menjadi efisien.

Page 6: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

6

2.2. Jadwal Pembayaran, Pilihan Yang Salah, dan Penyortiran PekerjaPilihan struktur insentif juga akan berdampak kepada kualitas pekerja yang direkrut ketika kualitas atau kemampuan kerja pekerja tersebut tidak dapat diamati sehingga menimbulkan masalah pilihan yang salah. Sebuah demonstrasi sederhana terkait dengan hal ini dapat kita lihat sebagai berikut; terdapat sebuah perusahaan akan cenderung memberlakukan sistem tarif satuan kerja yang tinggi ketika tingkat kemampuan pekerja yang tidak dapat diamati dapat diatasi dengan mengasumsikan bahwa output yang dihasilkan pekerja tersebut (dapat diamati) memiliki korelasi yang erat dengan kemampuan yang dimiliki pekerja tersebut. Katakanlah kita hanya memiliki dua kualitas pekerja, yaitu usaha dan yang lainnya adalah nol dalam kasus tidak ada sesuatu yang diproduksi atau satu. Bagi usaha pada tingkat-1, pekerja dengan kualitas-1 akan memproduksi π1 dan pekerja dengan kualitas-2 akan memproduksi π2. Output tertinggi memiliki korelasi dengan kualitas tertinggi dan bukan pada usaha tertinggi. Para pekerja tentu mengetahui sejauh mana produktifitasnya dengan pasti. Dengan demikian jelas bahwa pekerja dengan kualitas-1 akan mendapatkan upah tertinggi dibawah quota tarif satuan kerja dibandingkan dengan upah dibawah jadwal pembayaran lainnya (bandingkan d” dengan c” dan b” pada gambar 6.2), sementara pekerja dengan kualitas-2 akan mendapatkan upah dengan jalan yang berbeda (bandingkan b’, c’, dan d’). Oleh karenanya, pekerja dengan kualitas rendah menawarkan jasanya kepada perusahaan dengan insentif rendah dan para pekerja dengan kualitas tinggi akan mencari pekerjaan pada perusahaan yang menawarkan insentif tinggi.Sekarang asumsikan bahwa jarak OF (pembayaran kepada principal) pada gambar 6.2 mewakili pembayaran kompetitif atas modal untuk tiap pekerja yang harus dicapai oleh perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan dengan jadwal pembayaran c’c” atau b’b” akan mengalami kerugian. Mereka akan menggunakan pekerja kualitas-2 dan output yang mereka terima adalah π2. Output akan dapat digunakan untuk membayar pekerja setelah permintaan terhadap pemenuhan modal tercapai yaitu π2−π p memiliki jarak yang sejajar secara vertical dengan d’π2, tetapi janji besarnya upah yang diberikan kepada pekerja akan lebih besar dari output tersebut, sehingga mengakibatkan kerugian dalam hal output untuk tiap pekerja dengan jarak vertical yaitu c’d’ atau b’d’. Untuk menciptakan keuntungan, maka perusahaan menawarkan jadwal pembayaran c’c” atau b’b” yang membutuhkan pekerja kualitas-1 untuk memenuhinya, akan tetapi pekerja kualitas-1 hanya akan bekerja pada perusahaan yang menawarkan jadwal pembayaran d’d”.Abstraksi di atas menunjukan sebuah kesimpulan penting. Sebuah perusahaan akan bergerak dari sistem pembayaran tarif waktu menuju ke sistem pembayaran tarif satuan kerja dibawah kondisi dimana output individu dapat diukur dengan baik pada tingkat biaya yang rendah sehingga mendapatkan dua dampak penting, usaha kerja dan kualitas rata-rata tenaga kerja. Usaha kerja diharapkan muncul seperti yang ditunjukan dalam pembahasan pada bagian 2.1, dan kualitas rata-rata tenaga kerja akan muncul dalam bentuk kesediaan para pekerja dengan kualitas tinggi bekerja pada perusahaan yang menawarkan sistem pembayaran tarif satuan kerja.

3. Peranan PengawasanStruktur insentif linear yang dibahas pada bagian 2 di atas tidak akan berdampak pada hubungan hierarki; struktur insentif secara sederhana merupakan reformulasi dari masalah-masalah kontraktual yang dibahas pada bagian 3 dan 4 Bab 5. Meskipun demikian, kita telah melihat pada bagian 5 Bab 5 bagaimana sebuah proses pengawasan dapat berdampak kepada kedua belah pihak yang terikat kontrak untuk menjadi lebih baik dalam hal performa kerja. Penggunaan pengawas atau supervisor tersebut yang kemudian ditandai oleh Williamson (1975) dengan sebutan ‘hierarki sederhana’. Satu orang atau sekelompok orang bekerja menjalankan pekerjaannya masing-masing, sementara orang yang lain mengawasi dan melakukan penilaian terhadap performa kerja yang mereka lakukan, pandangan

Page 7: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

7

sederhana ini seperti yang telah kita bahas pada Bab 4 dalam konteks pandangan Alchian dan Demsetz tentang perusahaan. Faktanya, pengawasan dapat mengacu kepada dua konsep peranan yang berbeda.

3.1. Pengawasan dan Moral BurukPengawasan merupakan tanggapan terhadap adanya moral buruk. Hal tersebut karena, berdasarkan asumsi, bahwa orang tidak bisa dipercaya selamanya untuk memegang janjinya untuk melaksanakan usaha e. Oleh karenanya, pemberian insentif langsung melalui sistem pembayaran tarif satuan kerja dibutuhkan untuk memastikan pemenuhan tanggung jawab kerja. Diberlakukannya pembagian resiko kerugian merupakan salah satu dampak dari adanya moral buruk, akan tetapi hal tersebut dapat dikurangi melalui pengawasan. Seperti yang dinyatakan oleh Stiglizt (1975), “para pekerja secara sukarela menempatkan diri mereka untuk diawasi…mereka tunduk kepada paksaan untuk bekerja dengan keras dan insentif langsung disediakan bagi mereka, karena konsekuensi dari hal tersebut adalah harapan terhadap hasil atau output kerja yang memiliki utilitas tinggi” (p.571). Dengan adanya keuntungan potensial tersebut, maka perlu dibuat biaya pengawasan, seperti yang telah kita lihat pada Bab 5. Namun demikian, bisa juga muncul kemungkinan bahwa individu tidak akan menyukai adanya pengawasan terhadap aktifitas kerjanya, dan dampaknya adalah akan ada biaya ekstra akibat para pekerja bekerja dalam suasana yang kurang menyenangkan bagi mereka.Pada Bab 5 kita telah membahas tentang ‘spekulasi pengawasan’ yang melibatkan pengamatan yang tidak sempurna terhadap aktifitas usaha yang dilakukan oleh agen. Tentu saja, pada prakteknya banyak pekerjaan yang sifatnya sangat kompleks dan pendekatan sederhana principal-agen yang mengasumsikan hasil yang dapat diamati dan diverifikasi tidak dapat benar-benar menjelaskan kerumitan kontraktual. Seperti yang telah kita bahas pada Bab 4 bagian 7.3, terdapat beberapa hasil yang tidak bisa ditentukan dalam kontrak karena ketika hasil tersebut dapat diamati, maka disisi lain hasil tersebut ternyata tidak dapat diverifikasi. Jika sebagai seorang principal kita akan membuat sebuah kontrak sederhana menggunakan hasil yang dapat diverifikasi yang kita harapkan mampu dicapai oleh agen yang akan kita gunakan, maka kita akan menjalankan resiko perilaku disfungsional dengan memberikan harapan kepada para agen. Sebagai contoh, seorang guru yang mendapatkan bayaran dari hasil ujian muridnya, akan mengabaikan muridnya yang memiliki kemampuan kurang atau mengalihkan perhatiannya dari hasil yang tidak sesuai dengan kontrak, yaitu hasil ujian dibawah nilai rata-rata, seperti misalnya menanamkan antusiasme kepada muridnya meski nilai yang didapat oleh muridnya dibawah rata-rata.Salah satu tanggapan terhadap masalah kompleks dari tidak dapat diverifikasinya tujuan dalam aktifitas kerja, adalah melakukan pengawasan dengan menggunakan ukuran subjektif performa. Sebagai tanggapan terhadap bentuk pengawasan tersebut, akan muncul keberatan dari para agen dalam bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap pengawasan yang sedang berjalan, apakah pengawasan tersebut benar-benar melakukan penilaian yang jujur terhadap evaluasi subjektif mereka. Sistem tersebut akan terlihat membangun sebuah undangan terbuka bagi pengawasan yang dilakukan oleh principal untuk menggerakan aktifitas kerja ke arah pencapaian sasaran dengan mengklaim telah mengamati adanya defisiensi pada beberapa bidang aktifitas yang tidak dapat diverifikasi. Mengulang kembali pembahasan tentang kesepakatan dan mekanisme permainan teoritis dalam proses evolusi kepercayaan dan reputasi pada Bab 1 bagian 8, jelas menjadi elemen penting dalam solusi bagi masalah ini. komentar lebih lanjut terhadap masalah ini terdapat dalam pembahasan tentang ikatan penempatan dan turnamen. Masalah selanjutnya dari criteria subjektif dalam pengawasan adalah ketika pengawasan dilakukan oleh orang yang berbeda atau bukan dilakukan oleh prinsipal. Jika pengawasan dilakukan oleh sesama agen dan keputusan mereka tidak dapat diverifikasi, maka mereka akan menjadi subjek tekanan dari orang-orang yang mereka awasi. Sebagai contoh, tekanan tersebut bisa berbentuk keengganan seseorang untuk menilai kolega dekatnya memiliki performa yang kurang baik. Usaha-usaha untuk mempengaruhi

Page 8: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

8

keputusan pengawasan melalui kegiatan berpengaruh yang mengambil cara beragam mulai dari pujian atau jilatan hingga fitnah atau penyuapan.

3.2. Pengawasan dan Pilihan Yang SalahPengawasan juga dibutuhkan untuk mengatasi masalah lain yang tersembunyi; masalah pilihan yang salah. Sebuah model sederhana dari pilihan yang salah telah kita bahas pada bagian 2.2. Disini analisa akan kita perluas kepada adanya resiko keengganan, ketika kontraktor diasumsikan merubah biaya yang dibutuhkan untuk memaksakan sebuah usaha. Katakanlah terdapat dua kelompok pekerja dengan tingkat keahlian yang berbeda dan dalam hal ini principal tidak dapat menentukan dengan pengamatan sederhana siapa saja yang masuk dalam kelompok mana. Masalah ini akan digambarkan dalam gambar 6.3. Kurva indeferen U AS=U AU mengindikasikan lokus prospek sebagai hasil dari index utilitas terhadap tenaga ahli yang disimbolkan dengan S dan tenaga tidak ahli yang disimbolkan dengan U ketika tidak ada seorang pun yang melakukan usaha. Selanjutnya, kita asumsikan kedua tenaga kerja tersebut, yang ahli dan tidak ahli, sama-sama memiliki pilihan resiko. Ketika tenaga ahli melakukan usaha e, maka kurva indeferennya menjadi U AS

e melalui titik α. Seperti biasanya, αθ merepresentasikan biaya usaha yang dilakukan oleh tenaga ahli. Meskipun demikian, tenaga tidak ahli membutuhkan usaha yang lebih baik untuk merubah kemungkinan penghasilan 1 dari P1 menjadi P1

e dan oleh karenanya, kurva indeferennya

diberi label U AUe ' . Jarak α 'θ adalah biaya usaha yang dilakukan tenaga tidak ahli. Hasilnya adalah kontrak

efisien yang melibatkan tenaga ahli akan berada disepanjang r sr s' , dan ketika kontrak melibatkan tenaga

tidak ahli maka akan berada pada ru ru' . Kurva indeferen E(π) menggambarkan keuntungan tetap yang

diharapkan yang mengasumsikan bahwa usaha yang dibutuhkan sedang dilaksanakan. Oleh karenanya, perusahaan atau prinsipal dapat menawarkan sebuah kontrak pada titik α kepada tenaga tidak ahli atau, sejalan dengan upaya menciptakan keuntungan yang sama, menawarkan kontrak pada titik b kepada tenaga ahli. Jika kita mengasumsikan bahwa E(π) merepresentasikan sebuah tingkatan kompetitif keuntungan, maka kita dapat mengharapkan perusahaan memisahkan dirinya sendiri kedalam kelompok-kelompok perusahaan; satu kelompok perusahaan khusus mempekerjakan tenaga ahli dan satu kelompok lagi khusus mempekerjakan tenaga tidak ahli.

Proses penyortiran pekerja kedalam kelompok-kelompok ini membutuhkan kondisi dimana kemampuan mereka dapat diamati, dan kita telah membuat asumsi sebelumnya, bahwa kemampuan tidak dapat

Page 9: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

9

diamati. Tentu saja masalah kemampuan yang tidak dapat diamati ini tidak akan menjadi masalah jika setiap orang dapat dipercaya untuk menyatakan dengan tepat tingkat keahlian dan keterampilan mereka, atau paling tidak mengetahui bagaimana keahlian dan keterampilan yang mereka miliki. Tetapi masalah yang kita hadapi digambarkan pada gambar 6.3 dimana tenaga tidak ahli akan mendapatkan insentif jika mereka berbohong tentang keahlian mereka. Tenaga ahli akan memiliki indeks utilitas yang tinggi jika dia bisa mendapatkan kontrak pada posisi b(U AU ) dibandingkan jika dia mendapatkan kontrak pada posisi α(U AU). Dengan demikian, tenaga tidak ahli, seperti cerita kesepakatan pekerja bangunan dengan si A pada Bab 2, tidak akan memperlihatkan dengan benar sejauh mana keahlian mereka dan berusaha masuk ke dalam perusahaan yang mempekerjakan tenaga-tenaga kerja ahli. Dengan gagalnya kontrak perusahaan pada posisi b, tenaga kerja yang dipilih dengan salah akan membawa kepada tingkat pembayaran insentif yang tinggi dalam kondisi perusahaan menjalankan kontrak pada posisi α.Apakah akan bermanfaat mengawasi para pekerja dalam rangka menemukan kualitas kerja mereka yang sebenarnya? Jika output yang dihasilkan para pekerja dapat diamati pada tingkat biaya yang rendah, seperti yang diasumsikan di atas, dan tidak ada sumber resiko (seluruh kontraktor pada posisi tidak berisiko), pengawasan tidak diperlukan. Tinggi dan rendahnya kualitas pekerja menghadapi jadwal pembayaran yang sama. Dalam gambar 6.2, pekerja dengan kualitas-1 akan menerima d” dan pekerja dengan kualitas-2 akan menerima d’. Meskipun demikian, jika kita kembali kepada kasus dimana tenaga kerja tidak ahli dapat mengurangi resiko pembagian keuntungan, meskipun hal itu berlaku bagi tenaga kerja ahli, atau jika kita asumsikan output individual tidak dapat diamati tetapi terhubung dengan kemampuan individu, maka kegiatan pengawasan dapat memberikan manfaat. Melakukan pengawasan untuk menegaskan kualitas sebenarnya dari para pekerja dapat berguna untuk menempatkan kembali para pekerja pada bagian kerja yang tepat dan sesuai dengan keahlian mereka masing-masing dan kemudian dapat meningkatkan output kerja mereka secara optimal. Pengawasan juga dapat berguna untuk mencegah efek pilihan yang salah seperti yang telah dianalisa pada gambar 6.3. Pekerja seluruhnya ditetapkan dalam kontrak pada posisi α, kemudian setelah melewati masa pengawasan, sub-grup pekerja yang pantas akan berpindah dalam kontrak pada posisi b. Di sisi lain, kegiatan pengawasan itu sendiri membutuhkan biaya yang mahal. Jika biaya pengawasan melampaui keuntungan dari kegiatan penyortiran dalam bentuk penempatan yang lebih efisien terhadap pekerja pada pekerjaannya atau pembagian resiko yang lebih efisien diantara para kontraktor, maka akan lebih baik untuk tidak melaksanakan pengawasan. Di sisi lain, tidak dinyatakan bahwa seluruh pekerja harus ditawarkan kontrak yang sama. Sama halnya dengan kasus moral buruk, pengawasan dan tanggapan murni kontraktual terhadap pilihan yang salah, memiliki hubungan yang bersifat substitusi. Pada bagian 4, peranan perangkat kontraktual dalam menghindari terjadinya pilihan yang salah akan kita bahas lebih lanjut.

4. Kontrak dan Pilihan Yang Salah: Mekanisme PenyaringanTanggapan kontraktual terhadap terjadinya pilihan yang salah adalah sesuatu yang mungkin untuk dilakukan, meskipun tanggapan tersebut tidak selalu efektif. Perusahaan akan menjalankan perangkat penyaringan atau pengukur keahlian seperti yang telah disebutkan pada Bab 2 bagian 2.1.3. Dalam gambar 6.4 kita akan menggambarkan kasus mekanisme penyaringan pendidikan. Katakanlah terdapat dua jenis pekerja potensial dengan tingkat produktifitas (keahlian) S1 dan S2. Produktifitas rata-rata pekerja disimbolkan dengan w, dan perusahaan dapat membayar tenaga kerja ahli dan tidak ahli dengan upah yang disimbolkan dengan w*. Sekarang mari kita nyatakan bahwa kualifikasi pendidikan lebih mahal untuk dicapai bagi tenaga kerja tidak ahli dibandingkan oleh tenaga kerja ahli. Dalam kdeua kasus tenaga kerja tersebut, penting bagi perusahaan memberi upah yang tinggi untuk mendorong tenaga kerja yang potensial mencapai kualifikasi pendidikan yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, biaya yang lebih rendah yang dihadapi oleh tenaga kerja ahli dalam mencapai kualifikasi pendidikan tersebut

Page 10: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

10

akan berarti bahwa mereka membutuhkan penyesuaian kenaikan upah yang lebih kecil disetiap tingkat pendidikan yang dicapai dibandingkan dengan tenaga kerja yang tidak ahli. Kemudian, dalam gambar 6.4, kurva indeferen dengan tanda S1 diterapkan kepada secara relative kepada tenaga kerja ahli, sementara kurva indefen dengan tanda S2 diterapkan kepada tenaga kerja tidak ahli. Kurva dari tenaga kerja ahli kurang mengalami kemajuan dibandingkan dengan kurva tenaga kerja tidak ahli.Dibandingkan menawarkan kontrak pada posisi w* bagi seluruh pekerjanya, perusahaan dapat mencoba untuk memisahkan kontrak/penawaran antara tenaga kerja ahli dan tenaga kerja tidak ahli. Dalam gambar 6.4 hal tersebut dapat dipenuhi dengan menawarkan dua pilihan kontrak, satu kontrak pada posisi A, dan satu kontrak lainnya pada posisi B. Kontrak pada posisi A menawarkan upah w1 jika penerima kontrak mencapai tingkat pendidikan e1. Kontrak pada posisi B menawarkan upah w2 tanpa adanya ketentuan tentang tingkat pendidikan. Titik A dan B sama-sama berada pada kurva indeferen yang menerapkan tingkat keahlian-2. Kemudian, tenaga kerja tidak ahli relative tidak akan tertarik kepada kedua kontrak yang ditawarkan tersebut. Sebaliknya, tenaga kerja ahli akan lebih baik jika mengambil kontrak pada posisi A dibandingkan posisi B.

Akan bermanfaat untuk mencatat bahwa ketika gambar tersebut dibuat, mekanisme penyaringan telah mencederai tenaga kerja tidak ahli sementara disisi lain meninggalkan tenaga kerja ahli pada tingkat utilitas yang mereka sukai jika kontrak tunggal pada posisi w* telah ditawarkan. Dari sudut pandang sosial, penyaringan atau penandaan tidak selamanya memberikan manfaat. Lebih lanjut, biaya peluang sosial dari sumber daya yang digunakan untuk menyediakan penanda dalam proses penyaringan tidak diperlihatkan pada gambar di atas. Meskipun demikian, model tersebut telah menampilkan bentuk yang paling ekstrim dari proses penyaringan. Jika proses penyaringan tenaga kerja yang membutuhkan pendidikan sebagai alat penyaringannya tersebut meningkatkan produktifitas, atau jika prosedur pelatihan internal perusahaan berjalan secara efektif karena informasi yang disediakan oleh proses penandaan, proses penandaan atau penyaringan akan menciptakan produktifitas tanpa selalu menimbulkan konsekuensi lain yang terdistribusi ulang sepanjang proses.Kita juga harus mencatat bahwa kesetaraan terpisah sederhana tidak selalu dapat menjadi jaminan bagi berjalannya proses penyaringan yang baik. sebagai contoh, jika kontrak A kurang disukai oleh tenaga kerja ahli dibandingkan kontrak lainnya pada posisi w*, maka terbuka bagi perusahaan untuk

Page 11: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

11

menghindari dilaksanakannya proses penyaringan dan menawarkan kontrak pada posisi w* secara setara kepada tenaga kerja ahli dan tidak ahli. Meskipun demikian, kondisi tersebut akan menjadi tidak stabil karena perusahaan lain akan berusaha untuk menawarkan kontrak pada pada titik C, sehingga menarik seluruh tenaga kerja ahli dan akan memaksa perusahaan tersebut untuk melakukan penyesuaian kembali. Tanggapan kontraktual terhadap masalah pilihan yang salah hanya dapat diharapkan berjalan efektif secara parsial, oleh karena itu harus dianggap sebagai pelengkap dan bukan pengganti bagi proses pengawasan internal.

5. Moral Buruk, Penalti, dan Pembayaran UpahPandangan dasar transaksi dalam perusahaan memberikan sebuah rasionalisasi bagi hierarki sederhana berdasarkan sebuah usaha untuk mengatasi masalah moral buruk dan pilihan yang salah. Meskipun demikian, kita masih belum mendapat sebuah penjelasan mengapa pengawas dalam sebuah hierarki harus dibayar lebih dibandingkan dengan orang-orang yang mereka awasi, lalu mengapa orang-orang yang diawasi tersebut harus memiliki standar terhadap kontrak dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara kolektif dibandingkan dengan daya tawar pribadi, kemudian mengapa rekruitmen dalam sebuah hierarki dimulai dari tingkatan yang terendah, dan begitu seterusnya. Masalah-masalah tersebut akan menjadi pembahasan pada bagian berikutnya. Untuk saat ini, memungkinkan bagi kita untuk mengarah kepada wilayah permasalahan tersebut dengan melakukan penyelidikan terhadap masalah mendasar lainnya. Mengawasi para pekerja akan menjadi tidak berguna kecuali para pengawas dapat menerapkan sebuah hukuman ketika sebuah peristiwa kelalaian kerja ditemukan. Masalah spekulasi pengawasan pada Bab 5 telah menunjukan keterlibatan para pekerja dalam resiko kerugian jika usaha yang diamati berada dibawah standar.Katakanlah terdapat sebuah tim perusahaan membutuhkan seorang pengawas untuk memastikan usaha e bisa dijalankan oleh seluruh anggotanya. Jika usaha yang tercipta memuaskan, maka pembayaran upah akan diberikan. Ketika sebuah kelalaian ditemukan, sebuah penalty akan diberikan kepada tenaga kerja bersangkutan. Bentuk dasar dari penalty ini penting untuk dibahas lebih lanjut. Pengurangan upah yang dibayarkan akibat dari pelayanan yang buruk akan menciptakan moral buruk pada diri para pekerja. Para pekerja akan memiliki keyakinan bahwa perusahaan tidak akan melakukan pengawasan dengan bebas atau independen terhadap adanya usaha kerja yang rendah dan menjatuhkan penalty kepada mereka dengan tidak jujur. Dalam pembahasan berikutnya kita akan membahas mekanisme yang dapat membantu menyelesaikan masalah ini. Untuk saat ini, mari kita asumsikan bahwa keberatan untuk mempercayakan pengawasan hanya kepada salah satu pihak yang terlibat dalam kontrak adalah sebuah hal yang berlebihan dan akan menimbulkan beberapa konsekuensi. Bagaimana sebuah perusahaan menjatuhkan penalty kepada pekerjanya yang terbukti lalai? Jawaban yang tepat, dan salah satunya telah kita bahas pada Bab 4, adalah bahwa perusahaan dapat langsung memecat pegawai tersebut dan tidak lagi menggunakan jasa/tenaganya dikemudian hari. Hal ini merupakan hal yang rasional dibalik kepentingan untuk menciptakan pengawas, seperti yang dikemukakan oleh Alchian dan Demsetz, sebagai agen pusat kontraktual yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memecat pegawai/pekerja. Tetapi seperti yang ditemukan oleh Saphiro dan Stiglitz (1984), penjelasan teoritis tentang adanya keberatan terhadap mekanisme pengawasan yang berlaku tersebut adalah bahwa penalty yang diberikan kepada pekerja yang lalai tergantung kepada kondisi umum pasar tenaga kerja di luar perusahaan. Kita dapat mengambil sebuah contoh kasus yang ekstrim, katakanlah terdapat banyak lowongan kerja, maka seorang pekerja yang baru saja dipecat dapat dengan segera bekerja kembali pada perusahaan lain dalam kondisi persaingan upah pekerja yang kompetitif.Pendapat tersebut mencoba untuk menolak anggapan bahwa pekerja yang dipecat karena lalai akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan kembali di tempat lain. Majikan akan menggunakan beberapa indikator seperti riwayat pekerjaan untuk menghindari pilihan yang salah, tetapi sebagai sebuah abstraksi dari permasalahan ini, Saphiro dan Stiglitz secara eksplisit berasumsi bahwa seluruh pekerja

Page 12: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

12

adalah sama. Lalu dalam situasi ini perusahaan mengetahui bahwa tidak ada alasan untuk lebih menyukai salah satu pegawai dibandingkan yang lainnya atas dasar perbedaan keahlian atau kecenderungan untuk melakukan kelalaian. Jika para pekerja yang baru dipecat datang kepada sebuah perusahaan untuk mencari pekerjaan maka perusahaan tersebut akan menyimpulkan bahwa salah satu dari mereka seharusnya tidak dipecat, atau menganggap bahwa pekerja tersebut tidak cukup pintar untuk menempatkan dirinya pada struktur insentif yang tepat sehingga siapapun akan menjadi lalai jika berada pada kondisi tersebut. Lalu, bagaimana kemudian sebuah perusahaan bisa menjalankan langkah yang tepat untuk masalah ini?

5.1. Efisiensi UpahDalam kondisi tertentu, dipecat akan menjadi sebuah penalty bagi seorang pekerja jika perusahaan yang bersangkutan memberikan upah yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan lainnya. Oleh karena itu, menjadi majikan yang baik dan memberikan upah yang lebih tinggi dapat dilihat sebagai bagian dari proses membangun spekulasi pengawasan yang akan mendorong terciptanya usaha yang optimal. Para pekerja akan berharap untuk tidak dipecat karena hal tersebut akan mengakibatkan dirinya mendapatkan upah yang lebih rendah pada perusahaan lainnya. Sayangnya, seluruh perusahaan dapat melakukan hal tersebut, dan jika masing-masing perusahaan bertindak diluar kebijakan umum mereka dengan menaikan upah dari tingkat yang wajar maka hal tersebut akan menyabotase efek insentif dari sistem pengupahan yang berbeda. Seluruh perusahaan akan berlomba-lomba memberikan upah yang lebih tinggi dan masing-masing perusahaan akan mendapati bahwa insentif efek yang tercipta lebih kecil dari yang mereka harapkan. Meskipun jika mekanisme pengupahan yang berbeda gagal menghasilkan insentif, keseluruhan hasil dari peningkatan umum dari tingkat upah adalah untuk menghasilkan insentif pengawasan dari sumber yang berbeda. Ketika tingkat upah meningkat, dimana usaha dari masing-masing perusahaan adalah untuk menerapkan penalty dalam bentuk pemecatan, maka harga tenaga kerja yang tinggi akan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerja dan meningkatkan penawaran tenaga kerja. Hasilnya adalah tumpukan pengangguran. Dalam kerangka pemikiran Shapiro dan Stiglitz, tumpukan pengangguran tersebut akan menimbulkan kebutuhan terhadap penerapan penalty jika mekanisme pengawasan dalam sebuah perusahaan berjalan. Dengan adanya tumpukan pengangguran, para pekerja yang dipecat tidak akan segera mendapatkan pekerjaan kembali. Lamanya rentang waktu menganggur secara langsung akan terkait dengan ukuran atau jumlah pengangguran yang ada. Jika seorang pekerja x dipecat pada suatu periode waktu tertentu, dan pekerja x lainnya dipekerjakan, dan jika jumlah pengangguran yang ada adalah 10x, maka akan ada sepuluh potensi lamaran yang diajukan pada satu lamaran kerja pada suatu periode waktu tertentu. Dalam hal ini, maka lamanya periode menganggur adalah selama sepuluh periode waktu.Dengan deskripsi di atas, Shapiro dan Stiglitz memberikan kita sebuah model yang memprediksi pengangguran tidak sebagai peristiwa yang tidak biasa dalam jangka pendek ataupun hasil dari pencarian sukarela pekerjaan di sepanjang garis pendekatan Stigler tentang akuisisi informasi yang kita bahas pada Bab 3, tetapi sebagai hasil dari usaha-usaha yang dilakukan oleh perusahaan untuk menyediakan insentif usaha melalui pengawasan. Menjadi pengangguran jelas bukan tindakan yang bersifat sukarela dalam arti bahwa seluruh pengangguran siap untuk menerima pekerjaan pada tingkat upah yang sesuai, tetapi pengurangan upah tidak akan terjadi karena perusahaan memiliki keinginan untk memgelola penalty yang tepat dalam kaitan dengan adanya tindakan yang melanggar kontrak.Model yang kita bahas pada pembahasan ini berdasarkan kepada apa yang disebut dengan hipotesis ‘efisiensi upah’. Gagasan ini pertama kali muncul dalam literature ekonomi pembangunan, dimana ditemukan bahwa upah yang tinggi melalui peningkatan kesehatan dan nutrisi pekerja akan meningkatkan produktifitas para pekerja. Kemudian, produktifitas fisik dan upah ternyata tidak bersifat independen dan efisiensi upah akan runtuh setelah terjadi peningkatan pada tarif upah nyata. Dalam

Page 13: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

13

konteks ekonomi pembangunan, dinyatakan bahwa usaha (dan peningkatan produktifitas) tidak bebas dari faktor upah.Untuk membuat pengawasan menjadi efektif, maka pekerja yang menjadi subjek pengawasan harus terikat/tergantung kepada perusahaan. Ketergantungan tersebut akan menyebabkan pekerja merasa kehilangan ketika dia dipecat oleh perusahaan. Dengan kata lain, pekerjaan di dalam perusahaan harus bernilai lebih tinggi dibandingkan peluang pekerjaan ditempat lain.

5.2. Penundaan Kompensasi dan Ikatan KerjaPembahasan kita tentang insentif sejauh ini menghasilkan sebuah asumsi bahwa moral buruk mencegah kesepakatan yang menggunakan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas untuk menentukan penghargaan kerja bagi para pekerja. Hasilnya adalah sebuah sistem yang menggunakan ancaman pemutusan kontrak kerja untuk merangsang peningkatan kinerja; ancaman yang membutuhkan eksistensi pengangguran agar ancaman tersebut bisa berjalan efektif. Oleh karena itu, secara implicit, hierarki dibawah sistem insentif lebih sederhana daripada hierarki yang menerapkan mekanisme pengawasan dan pemecatan terhadap pekerjanya yang terbukti lalai dalam bekerja. Mekanisme insentif tersebut tidak akan memerlukan adanya tumpukan pengangguran jika para pekerja dapat dibawa untuk mempercayai integritas perusahaan. Hal ini seperti yang dicontohkan dalam mekanisme insentif kepolisian pada Bab 5, dimana setiap anggota kepolisian akan terikat kepada posisinya dimana masing-masing dari mereka akan dikenai denda dan sanksi jika terbukti lalai.Membuat sebuah ikatan kerja, dalam konteks ini, tidak harus dimaknai secara literatur. Sebuah insentif yang setara akan diberikan jika pekerja sepakat untuk menerima upahnya tidak dalam jumlah yang tetap sepanjang waktu tetapi mulai dari jumlah yang kecil untuk kemudian meningkat seiiring dengan berjalannya waktu. Majikan dalam hal ini mendapatkan keuntungan lebih diawal masa kerja ketika dia membayar upah pekerjanya pada tingkat yang rendah tetapi akan membayar kembali keuntungannya tersebut ketika tingkat upah pekerjanya mencapai tingkat yang tinggi. Jelas dalam hal ini, para pekerja akan memiliki insentif untuk menghindari pemecatan, dan oleh karena itu, pengawasan pekerja harus melibatkan tindakan-tindakan yang kredibel (Lazear, 1979, 1981). Bekerja dengan upah yang relative rendah di masa awal kerja berdampak kepada pekerja yang memiliki ‘sandera/jaminan di masa depan’ (peningkatan upah), dan menampilkan komitmen kerjanya yang serius kepada perusahaan. Dalam sistem ini, perusahaan juga akan menawarkan jenjang karir kepada pekerjanya dimana didalamnya aka nada sistem pembayaran senioritas (pembayaran berdasarkan tingkat karir pekerja). Peningkatan pembayaran upah kepada pekerja akan terjadi seiiring dengan berjalannya waktu bahkan ketika produktifitas perusahaan tidak berubah/tidak meningkat sekalipun. Hal ini pada akhirnya membawa kita kepada sebuah pertanyaan penting tentang apa yang mendorong perusahaan untuk membuat komitmen serius dengan pekerjanya? Apa yang mendorong melakukan pengawasan dengan jujur dan menahan diri untuk tidak memecat pekerjanya ketika pekerjanya mencapai tingkat upah yang tinggi dampak dari masa kerja dan posisinya dalam perusahaan? Sama halnya dengan kasus penjual mobil bekas pada Bab 2, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan berada disekitar nilai ‘reputasi’ kejujuran perusahaan.Meskipun ada keuntungan jangka pendek yang bisa diperoleh perusahaan dengan melakukan pemecatan kepada pekerjanya secara tidak jujur, hal tersebut pada dasarnya tidak bernilai sama sekali bagi perusahaan. Jika orang-orang mulai mergukan integritas perusahaan, mereka tidak akan mau masuk kedalam hubungan kerja sama jangka panjang dengan perusahaan dan tidak ingin masuk dalam posisi kerja yang terikat, dan dengan demikian maka dampak insentif dari sistem pembayaran upah tidak aka nada bagi perusahaan tersebut. Dalam kondisi tersebut, perusahaan akan membayar dengan upah yang tinggi kepada pekerja baru, nilai dari ikatan kerja akan menjadi rendah atau bahkan tidak memiliki nilai, dan pengawasan akan menjadi lebih mahal dan kurang efektif.

Page 14: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

14

Reputasi dan niat baik jelas menjadi masalah penting dalam hal membangun kontrak yang implicit dan dapat berjalan terus menerus. Konsep ini akan memunculkan sesuatu yang abstrak pada awalnya, lalu kemudian konsep tersebut akan sulit untuk diamati dan diukur secara objektif. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti kita harus menerima konsep tersebut sebagai sesuatu yang misterius dalam analisa ekonomi. Membangun reputasi bisa berarti memikirkan cara untuk membuat kontrak yang implicit bisa berjalan dengan baik. oleh karena itu, faktor penting dari hal tersebut adalah menunjukan kepada para pekerja yang potensial bahwa perusahaan memenuhi kewajibannya yang tertera secara implicit kepada para pekerjanya. Dalam kasus munculnya profil waktu upah yang dibahas oleh Lazear, bagaimana seorang pekerja bisa mengetahui bahwa pekerja lainnya dipecat secara jujur karena menurut perusahaan dia telah melakukan kelalaian kerja? Yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah sebuah penanda yang dapat diamati yang dapat mendorong kepercayaan pada diri pekerja terhadap perusahaan yang mempekerjakannya.Malcolmson (1984) berpendapat bahwa mekanisme promosi dalam hierarki dapat menjadi pendorong bagi kemunculan kepercayaan diri pekerja terhadap perusahaan. Disamping menjanjikan untuk membayar upah lebih tinggi di kemudian hari yang mendorong kondisi dimana pekerja berusaha menghindari pemecatan dengan melaksanakan pekerjaannya dengan baik, perusahaan juga menawarkan proporsi tertentu bagi kinerja pekerja yang baik upah yang tinggi di kemudian hari. Perusahaan akan menjamin kepada pekerja yang potensial untuk mempromosikannya pada posisi yang lebih tinggi dengan upah yang lebih tinggi, dan pekerja yang mendapatkan promosi akan menjadi contoh bagi pekerja lainnya sebagai pekerja yang memiliki kinerja tinggi dan akhirnya mendapatkan penghargaan dari perusahaan dalam bentuk promosi. Skema tersebut akan memberikan beberapa keuntungan. Pertama, skema tersebut tidak akan membutuhkan usaha apapun untuk menentukan tingkat kinerja yang baik yang memungkinkan didapatnya promosi, meskipun tingkat kinerja tertentu akan tertera secara implicit dalam kontrak kerja. Kedua, kebijakan menerapkan peningkatan upah bagi tanda-tanda yang mampu diamati (orang-orang yang mendapatkan promosi) akan menjadi jaminan bahwa perusahaan menjalankan kewajibannya. Tentu saja dalam prakteknya akan muncul pertanyaan apakah mereka yang mendapatkan promosi benar-benar memiliki produktifitas tertinggi dibandingkan pekerja lainnya. Perusahaan bisa menghemat biaya pengawasan dengan memberikan promosi kepada posisi yang dibutuhkan secara acak. Jika hal tersebut terjadi, maka seluruh property insentif dalam skema pembayaran pekerja akan hilang dan oleh karena itu penting bagi perusahaan untuk meyakinkan para pekerjanya terhadap integritas pengawasan yang dijalankan perusahaan.

6. Turnamen Peringkat Jasa6.1. Insentif dan Struktur TurnamenPembahasan ini menduga bahwa proporsi kekuatan pekerja yang mendapatkan ‘hadiah’ (promosi), adalah sebuah aplikasi dari struktur insentif yang mendasari turnamen peringkat jasa. Dalam sebuah turnamen, kompensasi yang diberikan tidak didasarkan kepada tingkat absolute output yang dihasilkan individu, tetapi kepada peringkat jasa dari masing-masing kontestan. Hadiah yang disediakan telah ditetapkan besarnya sesuai dengan peringkat lalu dialokasikan kepada para kontestan sesuai dengan posisi mereka dalam peringkat. Di bawah ini, kita akan membahas kasus yang sangat sederhana yang dibuat oleh Lazear dan Rosen untuk menggambarkan secara lebih rinci bagai mekanisme turnamen dalam hierarki ini bekerja.Mari kita katakan bahwa seluruh pekerja pada sebuah perusahaan tidak memiliki resiko apapun. Dengan menggunakan hasil pembahasan pada bagian 2 Bab 5 yang menyatakan bahwa output individu dapat diamati dengan sempurna, maka tariff satuan kerja dimana masing-masing pekerja menerima produk marjinal dengan penuh akan berjalan efisien. Analisis terhadap pernyataan tersebut diasumsikan hanya pada dua tingkat kinerja, yaitu nol dan e, tetapi efisiensi property dari tariff satuan kerja dibawah kondisi tanpa resiko dijalankan bahkan ketika kinerja dapat dilihat dalam rangkaian nilai. Ketika seorang pekerja

Page 15: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

15

melakukan kinerja tambahan menerima keseluruhan output tambahan yang diproduksi dibawah skema pembayaran tariff bagian kerja, kinerja akan dapat diaplikasikan hingga biaya marjinal mencapai posisi yang setara dengan output yang dihasilkan.Untuk membuat contoh tersebut lebih nyata mari kita buat persamaan dimana output individu j terhubung secara langsung dengan kinerjanya, yaitu sebagai berikut:

π j=e j+θ j,

Dimana π j adalah output kerja dari individu j , e j adalah tingkat usaha dari individu j, dan θ j adalah elemen acak dengan rerata nol. Selanjutnya mari kita nyatakan biaya marjinal usaha individu j dengan persamaan sebagai berikut:

MC j=ae j(6.1)

Dalam persamaan tersebut terlihat jelas bahwa penerimaan marjinal yang diharapkan atas unit usaha tambahan merupakan satu kesatuan. Dalam persamaan tersebut, ae j adalah biaya marjinal dari usaha tambahan. Selanjutnya, menyamakan biaya marjinal dengan keuntungan marjinal, kondisi sederhana untuk memaksimalkan batas output dari biaya usaha akan dihasilkan dalam sebuah tingkatan usaha:

e j=1/a(6.2)

Sekarang kita kembali kasus dilaksanakan sebuah turnamen. Kita akan mengasumsikan ada dua orang yang terlibat dalam turnamen ini, yaitu individu j dan k, dan output dari kedua orang tersebut tidak mungkin untuk diamati. Selanjutnya, meskipun kedua orang tersebut berada pada kondisi tanpa resiko, skema pembayara tariff bagian kerja tidak bisa dijalankan dan kedua orang tersebut akan diberi penghargaan berdasarkan usaha/kinerja mereka yang dapat diamati. Dua hadiah disediakan dengan nilai bertingkat (π1 dan π2, dimana π1>π2). Orang dengan tingkat usaha tertinggi akan mendapatkan π1; sementara yang lainnya akan mendapatkan π2. Bagaimana perilaku individu j dan k dapat terpengaruh dari skema tersebut?Dalam kebiasaan pada analisa mikro-ekonomi neo-klasik, kita akan berharap bahwa kedua orang tersebut dapat menyamakan biaya dan keuntungan marjinal terhadap usaha tambahan yang mereka lakukan. Dengan mengasumsikan bahwa kedua orang tersebut adalah sama (melakukan tingkat usaha yang sama). Keduanya akan menghadapi naiknya biaya marjinal usaha yang setara dengan ae j atau aek. Keuntungan marjinal usaha akan lebih rumit untuk dihitung. Tercapainya usaha terbaik akan dapat ditarik dari dampak usaha kepada kemungkinan memenangkan turnamen, dan melalui kemungkinan tersebut, menuju kepada nilai hadiah yang diharapkan. Selanjutnya kita dapat menyatakan keuntungan yang diharapkan dari usaha terbaik sebagai hasil dari (π1−π2) dan perubahan kemungkinan memenangkan hadiah terbesar kita nyatakan dengan ∆ p1. Selanjutnya kita buat persamaan sebagai berikut:

MB j=(π1−π2)∆ p1(6.3)

Dengan persamaan tersebut, maka masalah bagi masing-masing kontestan adalah memutuskan bagaimana usaha mereka dapat mempengaruhi kemungkinan memenangkan turnamen. Terdapat dua faktor yang sangat mencolok dalam keputusan yang diambil oleh individu j – akurasi pengawas dalam menilai usaha masing-masing individu, dan tingkat usaha yang diambil oleh individu k. Jika individu k

Page 16: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

16

tidak bekerja sama sekali, keuntungan bagi individu j dalam melakukan sebuah tingkat usaha yang positif akan menjadi substansial. Pada tingkat usaha nol, kedua individu memiliki kemungkinan 0.5 untuk memenangkan turnamen. Salah satu dari kedua orang tersebut dinyatakan sebagai pekerja yang memiliki usaha paling keras dan kita mengasumsikan bahwa kesalahan pengawas bersifat simetris. Dalam situasi tersebut, keuntungan marjinal akan melampaui biaya marjinal usaha dan individu j akan meningkatkan kinerjanya hingga kembali tercapai keseimbangan atau kesetaraan. Tergantung kepada tingkat akurasi pengawas, individu j akan meningkatkan kemungkinan memenangkan turnamen dengan bekerja lebih keras dibandingkan individu k.Jika saat ini individu k telah mampu menyamakan kinerjanya dengan individu j, maka peluang memenangkan turnamen kembali ke nilai 0.5 dan individu j harus memutuskan apakah usaha yang akan dilakukan selanjutnya dapat berguna baginya. Dengan bekerja lebih keras akan meningkatkan peluang memenangkan turnamen menjadi diatas 0.5, tetapi biaya marjinal usaha menjadi lebih tinggi dari sebelumnya, sementara keuntungan marjinal tidak berubah. Dalam situasi ini, individu j akan menghitung bahwa sebuah usaha untuk membedakannya dengan individu k masih berguna baginya dan usaha individu j akan terus meningkat hingga biaya marjinal usaha dan keuntungan marjinal kembali pada posisi yang setara. Meskipun demikian, perbedaan tingkat usaha antara individu j dan k yang memaksimalkan harapan indvidu j terhadap pembayaran yang dia terima kemudian, akan lebih rendah dari sebelumnya. Selanjutnya, jika individu k selalu menanggapi melalui menyamakan usahanya dengan individu k, maka keduanya akan sampai pada sebuah titik dimana mereka merasa tidak akan ada lagi keuntungan yang bisa didapat dengan meningkatkan usahanya masing-masing. Dari persamaan 6.3, terlihat jelas bahwa keuntungan marjinal dari usaha tambahan bagi peserta turnamen akan meningkat dengan persamaan sebagai berikut: π1−π2=π

¿ (perbedaan diantara hadiah yang disediakan). Oleh karena itu, perluasan dalam skala besar terkait dengan hadiah yang disediakan akan meningkatkan tingkat usaha yang dihasilkan masing-masing kontestan. Serupa dengan itu, nilai terkecil dari a dalam persamaan 6.1 akan menurunkan biaya marjinal usaha dan mendorong tercapainya kesetaraan/keseimbangan tingkat usaha pada tingkat yang tinggi. Selanjutnya, memungkinkan juga menunjukan proses tersebut melalui distribusi seragam dari kegagalan observasi pada sisi pengawas

(pengamatan usaha nilainya bervariasi antara +12

dan −12

dari nilai sebenarnya) jumlah usaha yang

dirangsang oleh turnamen secara tepat adalah: π¿ /a.Argumentasi di atas dapat dirangkum dalam gambar 6.5. Dengan menempatkan utilitas dalam memaksimalkan nilai e j berbeda dengan ek, kurva reaksi individu j dapat dilacak. Sebaliknya, nilai optimal dari ek yang terhubung dengan tingkat usaha e j akan dapat memperlihatkan kurva reaksi individu k. Dalam gambar 6.5, kurva reaksi individu j diberi label jcj’ sementara kurva reaksi individu k diberi label kck’. Kurva reaksi individu j dan k bertemu pada titik c. Titik tersebut diberi nama Cournot Equilibrium atau Nash Equilibrium. Dengan adanya usaha individu k, maka individu j memaksimalkan utilitasnya; dan dengan adanya usaha individu j, maka individu k akan melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, baik individu j maupun individu k akan berusaha untuk pergi dari titik c. Kita akan menggambarkan pendekatan terhadap titik c dalam kerangka yang dinamis, dimana tanggapan masing-masing orang terhadap pergerakan orang lainnya akan berada disepanjang pola j,l,m,n dalam diagram. Dengan terciptanya dua reaksi kurva yang simetris, maka terlihat titik c berada pada garis 45° dan menyebabkan individu j dan k mengakhiri kesetaraan kerja keras mereka.

Page 17: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

17

6.2. Masalah berikutnya dari Insentif Kinerja Tinggi6.2.1. Sabotase Sebuah aspek penting dari turnamen atau sistem pemberian insentif berdasarkan tingginya kinerja terpusat kepada dampak terhadap perilaku kerjasama dalam sebuah lingkungan kerja yang berdasarkan tim. Sudah jelas, bahwa tidak ada partisipan turnamen yang akan mendapatkan insentif dengan membuat kolega kerjanya tampak baik bagi pengawas kecuali perilaku dari pekerja itu sendiri dapat terlihat dan dinilai secara adil. Dengan demikian muncul potensi bahaya dimana kompetisi yang ketat akan cenderung membawa para pekerja masuk ke dalam wilayah sabotase. Seperti yang telah dicatat pada pembahasan sebelumnya efek disfungsional ini akan menjadi bahaya pada lingkungan kerja mana pun ketika kontrak yang berlaku tidak lengkap tetapi sistem insentif berdasarkan kinerja yang tinggi diberlakukan. Jika sabotase terlalu mahal untuk diamati maka paling tidak, yang pasti bagian dari usaha individu j akan tergantung kepada keberhasilan usaha individu k begitu juga sebaliknya.Oleh karena itu, kadangkala penting untuk melemahkan kecenderungan terjadinya sabotase dengan melakukan penyesuaian melalui penurunan rentang nilai hadiah yang disediakan. Sabotase kemudian akan berkurang pada harga insentif usaha terendah. Jika kecenderungan ke arah terjadinya sabotase merupakan bagian dari masalah pembawaan kepribadian seseorang, maka seseorang yang sangat agresif akan lebih mudah untuk melakukan kecurangan dan sabotase dibandingkan orang lainnya, dalam hal ini membangun etos kerja yang baik dan sesuai dengan kondisi perusahaan akan menjadi hal yang sangat penting.

6.2.2. Hilangnya Motivasi IntrinsikMasalah berikutnya yang memiliki kemungkinan besar untuk muncul seperti yang muncul dalam penyelidikan Frey (1994) bahwa motivasi intinsik seseorang dapat dipengaruhi oleh format kontrak kerja dalam sebuah perusahaan. Pendapat tersebut merupakan gagasan yang diambil dari sudut pandang ekonomi neoklasik karena pendapat tersebut menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan seseorang untuk memilih ketika dihadapkan pada sebuah situasi yang membuatnya tidak leluasa untuk memilih. Gagasan sederhananya adalah bahwa pengawasan, atau pembayaran, atau penghargaan yang ketat akan mengurangi keinginan seseorang untuk bertindak kooperatif dan untuk menampilkan performa yang tinggi dalam kerangka profesionalitas, kewajiban sosial, tugas, atau sebutan lainnya yang kita

Page 18: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

18

gunakan menggambarkan keinginan intrinsic untuk bekerjasama dengan orang lain atau untuk mencapai sebuah tujuan pribadinya. Adanya intervensi dari luar diri seseorang dalam bentuk pembayaran insentif atau pengawasan bisa mendesak secara intrinsic motivasi perilaku seseorang. Dalam hal ini Frey (1994, p.335) memberikan contoh seorang anak yang berhenti membersihkan rumput halaman rumahnya secara sukarela setelah ayahnya mulai memberikan upah untuk pekerjaannya, atau seorang professor yang berhenti mengajar pada waktu minimal ketika pemerintah mulai melakukan pengawasan secara ketat terhadap aktifitas mengajarnya.Dalam pembahasan ini, kita tidak akan membahas buyarnya motivasi ini dari sudut pandang psikologis murni. Dengan mengasumsikan bahwa seseorang melakukan sesuatu sebagai tanggapan terhadap adanya motivasi intrinsic dan bahwa adanya intervensi eksternal menyebabkan berkurangnya motivasi tersebut, maka kita dapat menyatakan bahwa hubungan sebab-akibat tersebut dapat muncul dalam kerangka hubungan kerja antara principal-agen. Dampak disiplin dari adanya pengawasan atau dampak insentif dari adanya penghargaan tinggi dalam bentuk uang akan berdampak terhadap hilangnya motivasi intrinsic seseorang. Sebagai contoh, Frey berpendapat, beberapa dalil yang yang terhubung dengan hipotesis tentang hilangnya motivasi intrinsic dapat diuji kebenarannya. Sebagai contoh, hubungan personal antara principal dan agen, dinyatakan dapat meningkatkan motivasi intrinsic seseorang. Pengaturan yang seragam dan ketat terhadap agen akan kurang berpengaruh atau bahkan mengurangi motivasi intrinsic agen. Insentif melalui pembayaran uang akan kurang memberi dampak destruktif terhadap motivasi intrinsic dibandingkan pengaturan dan pengawasan yang ketat karena “pemberian penghargaan dengan mengurangi wilayah pengawasan akan lebih sedikit memberi dampak negative dibandingkan pelaksanaan kerja berdasarkan sistem komando atau perintah” (p.345). Dengan kata lain, penghargaan dalam bentuk uang akan membuat agen leluasa untuk bekerja dengan cara yang menurutnya paling baik.

7. Perdagangan IdiosinkretisAnalisis pada bagian 3 hingga 6 telah membantu kita untuk merasionalisasi beberapa karakteristik struktur hierarki. Bahkan dalam konteks pekerja yang serupa melakukan tugas yang serupa, masih memungkinkan bagi kita untuk memahami pengembangan dari hierarki yang telah kita ketahui. Kita telah melihat bahwa ketentuan tentang insentif usaha dimana output individu tidak dapat diketahui, atau ketika pekerja beresiko untuk menolak atau tidak percaya terhadap pengawasan yang dilaksanakan, maka akan menyebabkan: (i) penggunaan pengawas untuk mengukur usaha; (ii) upah meningkat lebih cepat dibandingkan produktifitas; atau (iii) penggunaan skema pembayaran upah berdasarkan turnamen dimana perusahaan akan mengangkat fraksi pekerja yang menjadi pemenang kedalam promosi jabatan yang lebih tinggi dalam perusahaan (Lazear dan Rosen, 1981; Malcolmson 1984).Gagasan ini secara sederhana tergantung kepada keberadaan moral buruk dan kecenderungan orang bertindak lalai jika mereka tidak diawasi. Dengan demikian, gagasan ini terkait erat dengan pembahasan ‘tim produksi’ pada Bab 4. Fakta bahwa sebuah tampilan hierarki dapat dijelaskan berdasarkan gagasan ini sendiri menjadi signifikan. Saat ini, telah diakui bahwa model yang telah kita bahas hanya menampilkan tampilan paling luar dari hierarki dan menghilangkan kompleksitas masalah yang ada pada organisasi perusahaan berskala besar. Kompleksitas atau kerumitan masalah tersebut sebenarnya telah dibahas dengan baik pada pembahasan tentang hasil karya Williamson (1975) pada Bab 2.Dalam pembahasan pada Bab 2 kita akan menemukan gambaran tentang individu A yang ingin melakukan perluasan bangunan rumahnya dihadapkan pada banyaknya masalah transaksional dan ketidakmampuanya untuk mengamati dan menilai usaha yang dilakukan dari orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan tersebut. Esensi masalah dari individu A tersebut adalah bahwa para pekerja yang terlibat dalam proyek tersebut tidak memiliki kemampuan yang sama, dan tiap orang dalam satu tim kerja akan memiliki bagian kerja yang tidak sama, dan dalam hal ini, individu A tidak bisa dan tidak akan

Page 19: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

19

pernah bisa memberikan arahan jalan yang terbaik tentang bagaimana menjalankan tugas-tugas yang berbeda tersebut dengan baik. lebih lanjut, dalam kasus tersebut, si A menghadapi masalah rasionalitas terbatas; ketidakmampuannya untuk menghitung sleuruh kemungkinan tanggapan terhadap berbagai keadaan yang tidak terduga yang bisa terjadi. Pendekatan Williamson terhadap hierarki beraakar dari kesulitas-kesulitan transaksional mendasar tersebut.Setiap orang memiliki keahlian yang berbeda, dan setiap pekerjaan/tugas akan bersifat istimewa/unik pada tingkatan tertentu. Seperti yang dinyatakan oleh Doeringer dan Piore (1971): “setiap pekerjaan melibatkan keahlian tertentu…Seperti sebuah mesin standar operasi rutin yang perlu ditambahkan peralatan operasi tertentu pada bagian tertentu agar dapat beralan dengan baik…maka keahlian kritis adalah kemampuan untuk berjalan secara efektif bersama dengan anggota tim lainnya dalam sebuah tim kerja” (p.15). Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk membedakan istilah ideosinkretis dengan perbedaan keahlian. Jika sebagai sebuah masalah dalam sebuah observasi, orang-orang dan pekerjaan seluruhnya bersifat khusus pada tingkatan tertentu, maka transaksi pada kondisi tersebut tidak bisa dikatakan sebuah transaksi standar. Masing-masing transaksi akan memiliki tampilannya sendiri yang bersifat unik, dan pusat agen atau perusahaan akan mendapati dirinya melakukan proses tawar menawar secara berkelanjutan dalam situasi terjadinya monopoli bilateral dan informasi yang terdistribusi secara asimetris. Situasi tersebutlah yang kemudian kita sebut dengan istilah perdagangan ideosinkretis.

8. Pencari Bunga, Enterpreneurship dan OportunismeSeorang wirausahawan tidak lain adalah seorang oportunis. Tanpa adanya kemampuan untuk menerima dan menangkap peluang serta kemampuan untuk menggunakan peluang tersebut dengan baik, pemindahan sumber daya dan keuntungan efisien dalam usaha yang dijalankannya tidak akan dapat diperoleh. Dalam pembahasan pada Bab 3, seorang oportunis tanpa diduga bisa menjadi apa yang disebut dengan penjahat pada Bab 6, yang melakukan kejahatan dari ketidakhandalan sebuah hierarki organisasi. Bagaimana kita menjelaskan pandangan tidak terduga ini? Jawaban atas pertanyaan ini pada dasarnya sederhana di permukaan meskipun seringkali rumit dalam rincian penjelasannya. Jawaban tersebut melibatkan pembedaan antara wirausaha dan pencari bunga. Wirausaha seperti yang telah kita bahas pada Bab 3, memproduksi keuntungan efisiensi. Hal tersebut memperluas pengetahuan kita tentang adanya kemungkinan untuk pemisahan antara buruh dan perdagangan. Wirausahawan melakukan perdagangan hak guna, dan jika berhasil, mendapatkan keuntungan wirausaha dari keuntungan efisiensi yang dia ciptakan. Sedangkan mencari bunga adalah perilaku yang bertujuan untuk mendapatkan hak guna.Tullock (1980) mendefinisikan pencari bunga sebagai berikut: “seorang individu yang berinvestasi kepada sesuatu yang tidak benar-benar meningkatkan produktifitas, tetapi investasi tersebut akan meningkatkan pendapatannya karena investasi tersebut akan memberikannya sebuah posisi khusus atau kekuasaan monopoli yang kemudian disebut dengan ‘mencari bunga’, dan isitilah ‘bunga’ mengacu kepada sebuah pendapatan turunan” (p.17). Dalam konteks membedakan antara mencari bunga dan wirausaha, maka mencari bunga akan terhubung dengan usaha untuk mendapatkan transfer pendapatan sedangakan wirausaha terakit erat dengan usaha untuk menciptakan keuntungan efisiensi.

9. Perusahaan sebagai sebuah Struktur Pengaturan9.1. Pasar Tenaga Kerja InternalDalam pandangan Williamson, pasar tenaga kerja internal merepresentasikan tanggapan institusional terhadap masalah oportunisme dan menghasilkan perilaku yang lebih kooperatif dari para pekerja. Seperti yang telah kita lihat pada Bab 2, Williamson (1985) melihat bahwa pengaturan terpadu terbangun dibawah kondisi ketidakpastian, transaksi yang khusus, dan frekuensi yang tinggi dari pengulangan kesepakatan. Dalam karya terbarunya, Williamson (2000) dengan jelas dan ringkas

Page 20: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

20

membedakan pendekatan biaya transaksi dan pendekatan principal-agent terhadap kontrak. “Keluar dari tradisi teori agensi tentang kesejajaran insentif, biaya transaksi ekonomi menjadi perhatian utama pembahasan – sebagian besar – dalam pembahasan tingkat kontrak” (p.559). Dengan kata lain, teori yang telah disampaikan pada bagian 2 hingga 6 di atas memusatkan perhatian kepada masalah memilih ketentuan transaksional yang tepat (jadwal pembayaran terbaik atau distribusi hadiah terbaik dalam turnamen) – sebelum hasil yang akan dicapai diketahui. Bahkan ketika rentang waktu untuk segala proses tersebut diketahui – seperti yang dibahas pada pembahasan tentang pembayaran upah berdasarkan tingkat senioritas jabatan/kedudukan dan ikatan penempatan/jabatan – kontrak yang implicit dilihat sebagai dampak yang didorong oleh kekuatan reputasi. Teori biaya transaksi menyampaikan pertanyaan tentang apa yang akan terjadi setelah tahapan kontraktual selesai: adakah informasi yang menyatakan bagaimana para pelaku transaksi harus bersikap? Apakah mereka akan berusaha untuk melakukan renogisiasi kontrak? Seberapa mengganggu dan mahalkah proses tersebut? Mekanisme seperti apakah yang akan digunakan untuk mengurangi biaya penyesuaian kontrak?

9.2. Modal Manusia yang bersifat SpesifikDalam pembahasan ini kita akan mengacu kepada masalah lain yang dihadapi oleh perusahaan, yaitu ketika sebuah perusahaan membutuhkan seseorang untuk melakukan tugas atau pekerjaan tertentu, dimana pekerjaan tersebut memerlukan keahliaan yang tidak umum dan tidak bisa digunakan untuk meningkatkan performa pada sector kegiatan kerja yang lain. Dalam hal ini, perusahaan tersebut membutuhkan orang yang memiliki keahlian khusus (terminology yang digunakan oleh Becker, 1964). Mereka yang memiliki keahlian ini akan berguna dalam konteks kerja yang sangat khusus dalam perusahaan, dan beberapa dari mereka didapatkan hanya melalui pelatihan kerja yang diadakan perusahaan. Teori modal manusia menyimpulkan bahwa biaya pelatihan umum, yang meningkatkan produktifitas orang dalam aktifitas kerjanya baik di dalam maupun di luar perusahaan, akan lahir dari pemusatan perhatian kepada tiap individu, dimana biaya pelatihan khusus akan dikeluarkan oleh perusahaan. Gagasan ini terkait dengan pendapat yang menyatakan bahwa perusahaan tidak akan mengeluarkan biaya untuk sebuah pelatihan umum, karena para pekerjanya yang telah mendapatkan pelatihan memiliki kecenderungan untuk keluar dari perusahaan demi mendapatkan pekerjaan lain dengan gaji yang lebih tinggi di tempat lain, dengan demikian maka perusahaan akan kehilangan asset investasinya. Dalam hal ini, perusahaan tidak dapat mempercayai para pekerjanya. Di sisi lain, para pekerja tidak akan mau mengeluarkan biaya untuk mengikuti pelatihan khusus karena itu berarti mereka akan mendapatkan penghargaan yang lebih rendah dibandingkan yang bisa mereka peroleh di tempat lain selama masa pelatihan. Penghargaan yang bernilai tinggi akan diterima para pekerja tersebut kemudian, setelah masa pelatihan selesai, akan tetapi hal ini mengakibatkan para pekerja harus mempercayai perusahaannya, dan dalam pendapat tradisional teori modal manusia, hal tersebut tidak akan terjadi.

9.3. Norma Perilaku dan Persepsi tentang KejujuranWilliamson (1975, p.37-38) berpendapat bahwa ‘atmosfir’ dan ‘menyediakan hubungan perdagangan yang memuaskan’ merupakan bagian dari masalah ekonomi. Oleh karenanya, struktur pengaturan pada sebuah perusahaan tidak hanya bertujuan untuk membangun sebuah lingkungan kepercayaan tetapi juga untuk menciptakan hasrat untuk bertindak kooperatif dalam kepentingan mencapai usaha tim kerja. Titmus (1970) berpendapat bahwa ‘hubungan pertukaran hadiah’ tidak hanya sebuah hal yang memiliki manfaat ideal, tetapi juga akan menghasilkan sebuah sistem yang efektif dalam sebuah kondisi yang pasti. Akerlof (1982, 1984) menerapkan gagasan ‘pertukaran hadiah’ diseluruh wilayah kajian kontrak tenaga kerja. Gagasan sederhannya adalah, majikan memberikan upah yang lebih besar dibandingkan standar upah yang berlaku di tempat lain (hadiah) kepada pekerjanya dan sebagai timbal baliknya, dia berharap mendapatkan hadiah dalam bentuk loyalitas dan usaha yang lebih besar dari para

Page 21: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

21

pekerjanya. Akerlof mengambil bukti pendapatnya tersebut dari psikologi sosial (Adam, 1965) yang mengindikasikan bahwa orang melihat dirinya sendiri lebih produktif ketika menerima upah yang lebih tinggi dibandingkan mereka menerima upah standar untuk pekerjaan yang mereka lakukan.Banyak analis pasar tenaga kerja berpendapat bahwa mempelajari perilaku pekerja akan sulit untuk dijelaskan tanpa menghubungkannya dengan pembahasan tentang ‘kejujuran’ dan mekanisme implicit dari ‘pertukaran hadiah’. Schlicht (1992) menggunakan gagasan tentang ‘kedermawanan dalam pemberian upah’ dan pertukaran hadiah untuk menjelaskan fakta bahwa pengaturan upah umum pada tiap tingkatan industry di Jerman biasanya mengacu kepada besarnya upah rata-rata yang dibayarkan perusahaan kepada pekerjanya saat itu. Solow (1990) menekankan kepada pembangunan norma-norma kejujuran dalam menjelaskan fungsi dari pasar tenaga kerja, dalam hal ini, norma perilaku pekerja dapat disusun melalui pengaturan permainan dalam aktifitas kerja yang dilakukan berulang-ulang. Norma perilaku tersebut akan mencegah tenaga kerja yang menganggur untuk menawarkan jasanya lebih murah dari para tenaga kerja yang sedang bekerja pada sebuah perusahaan, atau mencegah perusahaan untuk mendapatkan bagian dari bunga usaha dalam porsi yang sangat besar, dimana hal tersebut tidak dapat diterima secara normative. Solow berpendapat (p.23) bahwa norma perilaku dapat dimodelkan sebagai ketidakleluasaan membuat keputusan, tetapi seperti yang dicatat oleh Alchian, ketidakleluasaan membuat keputusan dapat dimodelkan sebagai sebuah hak guna property. Struktur pengaturan dalam perusahaan, melalui kontribusinya terhadap pembangunan norma perilaku yang berlaku, secara implicit mendukung klaim property pekerja terhadap arus pendapatan yang sangat rentan terhadap aksi-aksi oportunisme.

9.4. Serikat Dagang dan Prosedur Penyelesaian SengketaNorma perilaku tidak dapat mengatasi seluruh kondisi dalam perusahaan. Pasar tenaga kerja internal mengurangi terjadinya oportunisme dan mendorong kerjasama dengan jalan mengganti daya tawar individu dengan seperangkat kontrak standar dan janji pemberian promosi. Kontrak standar ini, yang mengacu kepada bagaimana majikan dan pekerja menjalankan hubungan kerjanya dalam sebuah periode waktu kerja, tidak dapat bersifat komprehensif dalam ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya karena adanya masalah rasionalitas terbatas. Oleh karena itu, seiiring dengan berjalannya waktu, akan muncul sengketa terkait dengan telah didapatnya interpretasi yang tepat terhadap ketentuan dalam kontrak standar yang pada awalnya bersifat samar. Sebagai contoh, sebuah kontrak mewajibkan seorang professor ekonomi I untuk menjalankan tugas yang bersifat biasa dalam sebuah jabatan pada salah satu universitas di Inggris, dan termasuk didalam tugasnya tersebut adalah mengajar, melaksanakn penelitian, melaksanakan ujian, dan jika diperlukan, melakukan tugas administrasi. Dalam prakteknya, apakah pekerjaan sehari-harinya membuat teh untuk wakil ketua universitas masuk ke dalam bagian pekerjaan administrasi atau penelitian, akan dapat diatur dan ditentukan dalam sebuah prosedur arbitrasi. Pembuatan prosedur keluhan dan arbitrasi ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pasar tenaga kerja internal, dan sangat terkait dengan peranan serikat dagang atau asosiasi pekerja lainnya. Serikat dagang dapat dilihat sebagai bagian dari proses mengawasi komitmen perusahaan terhadap kewajibannya yang tertera secara implicit dalam kontrak kerja (Malcolmson, 1982), membuat berkurangnya tindakan kelalaian yang dilakukan oleh perusahaan dan meningkatkan kepercayaan diri para pekerja dalam berjalannya pasar tenaga kerja internal.

10. Perusahaan JepangGagasan tentang perusahaan Jepang yang diperkenalkan pada bab ini telah dibahas secara luas dalam konteks perbedaan yang sangat mencolok antara struktur hierarki perusahaan yang ada di Jepang dengan struktur hierarki perusahaan yang ada di negara-negara barat. Sistem perusahaan Jepang dicirikan dengan tiga tampilan penting:

Page 22: BAB 6-Hierarki (Terjemahan)

22

1) Para tenaga kerja Jepang diharapkan bekerja lebih lama pada majikan atau perusahaan yang ada di Jepang (perusahaan dalam negeri) dibandingkan dengan bekerja pada perusahaan di Amerika Serikat. Nama yang diberikan kepada sistem ini adalah “Pekerjaan sekali seumur hidup” sebuah istilah yang kurang tepat, berlaku sejak para tenaga kerja Jepang mulai banyak yang pindah bekerja ke luar negeri dan menghadapi putusan pension dari perusahaan yang mempekerjakannya di usia yang masih relative muda.

2) Peningkatan pendapatan dalam sebuah masa kerja di Jepang hampir sama dengan negara-negara lainnya, akan tetapi hubungan antara kedua variabel tersebut lebih kuat terjadi di perusahaan-perusahaan Jepang lebih kuat dibandingkan dengan di Amerika Serikat.

3) Serikat di Jepang bukan merupakan serikat industry atau serikat berbasiskan keahlian kerja seperti yang ada di negara-negara lainnya, tetapi merupakan sebuah serikat perusahaan.

Aspek lainnya dari sistem perusahaan di Jepang yang membuat para siswa ilmu bisnis tertarik untuk mempelajarinya adalah terkait tidak kepada peranan perusahaan sebagai sebuah mekanisme pengawasan, tetapi sebagai alat untuk mengumpulkan informasi baru. Terkait dengan hal tersebut Aoki (1986) membandingkan sistem tersebut dengan sebuah sistem dimana pekerjaan ditentukan berdasarkan fungsi dan diatur oleh hierarki vertical yang mengacu kepada pengaturan yang sudah baku (sistem umum perusahaan), dengan sebuah sistem dimana orang-orang diharapkan mampu mengumpulkan pengetahuan dari bidang pekerjaan yang luas dan mampu mengambil tanggung jawab dalam mengatasi peristiwa-peristiwa yang terjadi (sistem perusahaan di Jepang).

11. KesimpulanMoral buruk, pilihan yang salah, dan rasionalitas terbatas berdampak kepada perlunya melibatkan kepercayaan dalam seluruh kegiatan transaksi, dan bahwa seluruh kegiatan transaksi melibatkan masalah pembuatan kebijakan dan pelaksanaan. Perusahaan dapat dilihat sebagai sebuah mekanisme yang sangat maju dalam menjalankan kontrak dan menyesuaikan diri terhadap kondisi baru – struktur pengaturan (Williamson, 1979, 1985). Mekanisme pengaturan akan beragam sesuai dengan jenis kontrak yang dibuat. Beberapa transaksi akan sangat wajar dan akan melibatkan masalah moral buruk secara terbatas. Pada Bab 2, kita telah membahas rasionalisasi yang dikemukakan oleh Alchian (1979) terhadap uang sebagai alat untuk membuat standar transaksi melalui penggunaan alat tukar dimana setiap orang menerima dan mengetahuinya dengan baik. Dengan demikian, pasar tradisional merupakan sebuah bentuk struktur pengaturan yang tepat bagi perdagangan uang dan produk-produk standar lainnya. Seperti yang dinyatakan oleh Williamson (1979): “transaksi yang terstandarisasi dengan baik tidak akan membutuhkan sebuah struktur pengaturan khusus” (p.248). Ketika sebuah transaksi yang bersifat sangat idiosinkretis terjadi dan pengetahuan terdistribusi secara asimetris atau terus mengalami perubahan, kegiatan perdagangan akan terhambat kecuali dapat terbangun kepercayaan diri. Kepercayaan diri tersebut membutuhkan keterkaitan yang terus-menerus antara para pelaku transaksi, dan ketika transaksi yang terus terjadi tersebut dapat diatur, maka struktur pengaturan yang sangat khusus yang disebut dengan perusahaan dapat dibangun.