BAB 2 TINJAUAN TEORITIS - perpus.fikumj.ac.id
Transcript of BAB 2 TINJAUAN TEORITIS - perpus.fikumj.ac.id
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Katarak
2.1.1 Definisi
Katarak adalah suatu keadaan patologik lensa di mana lensa menjadi keruh akibat
hidrasi cairan lensa, atau denaturasi protein lensa. Kekeruhan ini terjadi akibat
gangguan metabolism normal lensa yang dapat timbul pada berbagai usia tertentu
(Iwan, 2009).Katarak adalah kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang
menghalangi masuknya cahaya. Katarak berasal dari kata Yunani : Katarrhakies, latin
: cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular dimana
penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Pandangan pasien
dengan katarak tampak seperti terhalang air terjun akibat lensa yang keruh. Keadaan
tersebut terjadi akibat keruhnya lensa akibat dehidrasi penambahan cairan atau lensa,
denaturasi protein lensa atau keduanya.(Doengoes, at.al. 2000).Katarak merupakan
keadaan di mana terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di dalam kapsul elnsa
(Ilyas,2002).
2.1.2 Patogenesis
Patogenesis katarak belum dapat dimengerti sepenuhnya. Namun, lensa katarak
memiliki ciri berupa edema lensa, perubahan protein, peningkatan proliferasi, dan
kerusakan kontinuitas normal serat-serat lensa. Lensa mata mempunyai bagian yang
disebut pembungkus lensa atau kapsul lensa dengan kapsul lensa, korteks lensa yang
terletak antara nukleus lensa atau inti lensa dengan kapsul lensa. Pada anak dan remaja
nukleus bersifat lembek sedang pada orangtua nukleus ini menjadi keras. Katarak
9
dapat mulai dari nukleus, korteks, dan subkapsularis lensa. Secara umum, edema lensa
bervariasi sesuai stadium perkembangan katarak (Youngson, 2005).Katarak umumnya
merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat juga akibat kelainan
kongenital, atau penyulit penyakit mata lokal menahun. Bermacam-macam penyakit
mata dapat mengakibatkan katarak seperti glaukoma, ablasi, uveitis, dan retinis
pigmentosa. Katarak dapat pula berhubungan dengan proses penyakit intraokular
lainnya ( Sidarta I,2004)
Dengan menjadi tuanya seseorang maka lensa mata akan kekurangan air dan menjadi
lebih padat. Lensa akan menjadi keras pada bagian tengahnya, sehingga
kemampuannya memfokuskan benda dapat berkurang. Hal ini mulai terlihat pada usia
40 tahun dimana mulai timbul kesukaran melihat dekat (presbiopia). Dengan
bertambahnya usia, lensa mulai berkurang kebeningannya, keadaan ini akan
berkembang dengan bertambahnya berat katarak. Pada usia 60 tahun hampir 2/3 mulai
mengalami katarak atau lensa keruh. Katarak biasanya berkembang pada kedua mata
akan tetapi progresivitasnya berbeda. Kadang-kadang penglihatan pada satu mata
nyata berbeda dengan mata yang sebelahnya.
Pembentukan katarak secara kimiawi ditandai oleh penurunan penyerapan oksigen
dan mula-mula terjadi peningkatan kandungan air diikuti oleh dehidrasi. Kandungan
natrium dan kalsium meningkat; kandungan kalium, asam askorbat, dan protein
berkurang. Pada lensa yang mengalami katarak tidak ditemukan glutation. Usaha-
usaha untuk mempercepat atau menahan perubahan-perubahan kimiawi ini dengan
terapi medis sampai saat ini belum berhasil.
Perkembangan katarak menjadi berat memakan waktu dalam bulan hingga tahun.
Kadang- kadang katarak berhenti berkembang pada stadium dini dan penglihatan
terlihat tidak mengalami kemunduran. Dapat saja katarak berjalan agak cepat sehingga
mengganggu penglihatan.
2.1.3 Penyebab Katarak
Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya katarak antara lain adalah usia lanjut,
diabetes mellitus, riwayat katarak pada keluarga, riwayat peradangan atau trauma
mata, riwayat pembedahan mata, penggunaan kortikosteroid yang lama, pejanan sinar
matahari, pejanan radiasi, merokok, konsumsi alkohol, dan kelahiran prematur.
2.1.4 GejalaKlinis
Penurunan tajam penglihatan, Peningkatan sensitivitas terhadap cahaya dan seperti
melihat awan, Penglihatan ganda (diplopia) monokular, Rabun senja. (Sidarta Ilyas,
2004).
2.1.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan visus dengan kartu snellen atau chart projector dengan koreksi terbaik
serta menggunakan pin hole, Pemeriksaan dengan slit lamp, Shadow Test,Funduskopi,
Lapang Pandang, Uji Anel, Laboratorium.
2.1.6 Derajat Katarak
a. Derajat1: nukleus lunak, visus > 6/12, tampak sedikit keruh, agak keputihan,
Refleks fundus (+), usia < 50 tahun.
b. Derajat2: nukleus dengan kekerasan ringan, tampak nukleus kekuningan,
visus 6/12 - 6/30, Refleks fundus juga masih mudah diperoleh, paling sering
memberikan gambaran seperti katarak subkapsularis posterior.
c. Derajat 3 : nukleus dengan kekerasan medium, kuning, kekeruhan korteks
keabu-abuan, Visus 3/60 6/30.
d. Derajat 4 : nukleus keras, kuning kecoklatan, visus 3/60 1/60, refleks
fundus sulit dinilai.
e. Derajat 5 :nukleus sangat keras, kecoklatan agak kehitaman, visus < 1/60,
usia > 65 tahun (brunescent cataract atau black cataract). (Sidarta Ilyas,
2006).
2.1.7 Klasifikasi Katarak
1. Menurut usia/saat terjadinya, katarak dibagi menjadi :
a. Katarak Kongenital
Katarak kongenital merupakan katarak yang telah terlihat pada usia di
bawah satu tahun. Katarak ini merupakan penyebab kebutaan pada bayi
yang cukup bermakna, terutama apabila tidak ditatalaksana dengan tepat.
Katarak jenis ini sering ditemukan pada bayi prematur, gangguan sistem
saraf seperti retardasi mental dan terdapat pada bayi dengan ibu yang
memiliki riwayat infeksi prenatal dan kelainan pada saat kehamilan.
b. Katarak Juvenil
Katarak Juvenil merupakan katarak yang terjadi pada usia 1-50 tahun.
Katarak jenis ini biasanya merupakan penyulit dari penyakit sistemik
atau metabolik, seperti diabetes mellitus, tetanus, defisiensi gizi, distrofi
miotonik, traumatik, dll.
c. Katarak Senilis
50 tahun dan merupakan jenis yang paling sering dijumpai. Jumlahnya
mencapai sampai 90% dari seluruh katarak dan kejadiannya seringkali
bersifat familial. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti dan sering
dihubungkan dengan berbagai proses degeneratif yang terjadi pada lensa.
Perubahan yang terjadi mencakup perubahan kapsul yang menjadi
menebal dan kurang elastis, bentuk lamel kapsul berkurang, dan terdapat
bahan granular. Perubahan pada epitel yaitu penambahan ukuran
terutama pada ekuator dan terdapat bengkat serta vakoulisasi
mitokondria yang nyata. Pada serat lensa terjadi kerusakan pada bagian
korteks, lebih iregular, sinar ultraviolet mengubah protein nukleus
sehingga menimbulkan warna kecoklatan akibat protein lensa nukleus
mengandung histidin dan triptofan lebih banyak dibanding normal.
2. Menurut morfologinya, katarak dibagi menjadi :
a. Katarak Subkapsular
Pada jenis ini kekeruhan biasanya terlihat dekat posterior lensa, sering
membentuk plak. Hal ini terlihat terlihat paling baik pada retroiluminasi
yang berlawanan dengan refleks fundus merah. Silau dan kesulitan
membaca merupakan gejala yang umum pada katarak jenis ini. Mungkin
berhubungan dengan inflamasi okular, penggunaan steroid jangka
panjang, diabetes, trauma atau radiasi. Biasanya terjadi pada pasien-
pasien yang berusia kurang dari 50 tahun.
b. Katarak Nuklear
Terdapat perubahan warna menjadi kuning atau coklat di tengah lensa
pada pemeriksaan dengan slit lamp. Biasanya keluhan kabur pada
penglihatan jauh lebih menonjol daripada penglihatan dekat. Justru pada
pasien ini, penglihatan jarak dekatnya menjadi lebih baik karena terdapat
peningkatan kekuatan fokus lensa. Katarak nuklear lebih sering terjadi
bilateral.
c. Katarak Kortial
Kekeruhan terletak pada korteks lensa, berbentuk radial pada perifer
lensa yang meluas dan mencakup anterior dan posterior dari lensa.
Sering bersifat asimtomatik sampai terjadi perubahan-perubahan dari
tengah yang akan mengganggu penglihatan.
3. Berdasarkan stadium kematangan
a. Katarak Imatur
Katarak dikatakan dalam stadium imatur apabila kekeruhan belum
mengenai seluruh lapisan lensa. Pada katarak imatur terdapat
penambahan volume lensa akibat peningkatan tekanan osmotik bahan
lensa yang degeneratif.
b. Katarak Matur
Pada katarak stadium matur, kekeruhan telah mengenai seluruh lensa
mata. Kekeruhan ini dapat terjadi akibat deposisi ion kalsium yang
menyeluruh.
c. Katarak Insipen
Pada stadium ini terlihat kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk
jeruji menuju korteks anterior dan posterior.
d. Katarak Hipermatur
Katarak hipermatur merupakan katarak yang mengalami proses
degenerasi lebih lanjut, lensa dapat menjadi keras, lembek, ataupun
mencair. Lensa menjadi kuning dan kering, serta kapsul anterior
mengecil dan mengkerut akibat massa lensa yang berdegenerasi keluar
dari lensa
2.1.8 Tatalaksana Pengobatan Katarak
Operasi merupakan jalan satu-satunya untuk mengatasi katarak, jika kekeruhan lensa
masih ringan cukup diatasi dengan kacamata. Belum ada obat tetes mata, vitamin.
Operasi katarak dilakukan jika penglihatan yang buram sudah mengganggu pasien,
misalnya sulit membaca, menyetir kendaraan, atau, menonton televisi. Katarak tidak
dapat diatasi dengan laser, tetapi harus melalui sayatan untuk mengeluarkan lensa
yang keruh tersebut. Setelah lensa yang keruh dikeluarkan jika tidak ada komplikasi
operasi dimasukkan lensa tanam buatan untuk mengganti daya fokus lensa tersebut
sehingga pasien tidak perlu menggunakan kacamata.
2.1.9 Teknik Operasi
Dua teknik yang sering digunakan dalam penanganan katarak terkait usia adalah large
incision extraction dan facoemulsifikasi.
1. Larga Incision Ectracapsular Extraction
a. Dibuat sayatan vertikal pada bagian jernih di perifer kornea. Kemudian
cystitome dimasukkan ke dalam COA dan dibuat potongan-potongan radial
kecil di kapsul anterior sepanjang 360O. Metode alternatif kapsulotomi adalah
dengan capsulorhexis, dimana dibuat robekan melingkar di seluruh tepian
kapsul.
b. Insisi dengan kedalaman penuh kemudian dilanjutkan dengan gunting.
c. Nukleus dikeluarkan dengan memberikan tekanan pada bagian atas dan bawah
lensa.
d. ujung dari kanul infusi aspirasi dimasukkan ke dalam COA dan diselipkan di
bawah iris pada arah jam 6. Serabut korteks kemudian dikeluarkan dengan
suction. Korteks digeser ke arah sentral dan diaspirasi dibawah penglihatan
langsung. Manuver ini diulangi sampai seluruh bagian korteks berhasil
disingkirkan. Selama melakukan prosedur ini perlu diperharikan untuk tidak
mengenai kapsula posterior dan menyebabkan ruptur karena hal tersebut
menyebabkan kesulitan dalam penanaman IOL. Tanda adanya ruptur adalah
garis-garis tegas yang keluar dari tempat melakukan aspirasi.
e. Apabila perlu, kapsula posterior dapat dibersihkan untuk menghilangkan
residu plak subkapsular.
f. Substansi vikoelastik diinjeksikan ke dalam kantung kapsul lensa untuk
memfasilitasi pemasukan IOL.
g. IOL dijepit pada bagian optic dan permukaan anteriornya ditutupi substansi
vikoelastik.
h. Haptik interior kemudian diinsersikan melalui tepi insisi dan diselipkan di
bawah iris pada arah ajm 6.
i. Ujung dari haptik superior dijepit dengan forseps kemudian didorong kedalam
COA. Pada saat kutub superior dari haptik mulai melewati tepi pupil,
dilakukan proasi pada lengan haptik agar setelah dilepaskan, haptik akan
telepas di bawah iris dan tidak keluar dari insisi. Kedua haptik sebaiknya
ditempatkan pada kapsul dan tidak ke dalam sulkus siliaris.
j. IOL diletakkan pada posisi horizontal dengan cara mengatur lubang penunjuk
dengan kail.
k. Diberikan injeksi Miochol (asetilkolin) kedalam COA untuk
mengkonstruksikan pupil, sisa substansi vikoelastik diaspirasi dan insisi
ditutup.
2. facoemulsifikasi
a. Pengertian
Pengobatan katarak yaitu dengan tindakan pembedahan, pembedahan
katarak saat ini semakin banyak, salah satunya yaitu dengan metode
phacoemulsifikasi. Pembedahan ini menggunakan vibrator ultrasonic (laser
untuk menghancurkan nucleus yang akan diaspirasi dengan insisi 2,5 3mm,
fragmen-fragmen diirigasi keluar secara otomatis. Adapun keuntungan dari
tindakan insisi kecil ini diantaranya pemulihan visus yang lebih cepat,
terjadinya komplikasi dan inflamasi setelah pembedahan lebih minimal.
(sidarta, 2014)
Phacoemulsifikasi adalah teknik ekstrasi katarak menggunakan sayatan
kecil sekitar 1,5 mm sampai 3 mm dengan implantasi lensa intra ocular lipat
(foldable) sehingga penutupan luka dapat tanpa jahitan. Cara kerja system
fhacoemulsifikasi adalah menghancurkan lensa melalui ultrasonic probe yang
mempunyai tip needle yang mampu bergetar dengan frekuensi yang sangat
tinggi yaitu setara dengan frekuensi gelombang ultrasound (American
Academy of Ophthalmology, 2011-2012).
Facoemulsifikasi memberikan masa penyembuhan yang lebih singkat dan
stabilitasi dini dari kelainan refraksi dengan astigmat yang lebih rendah, namun
pelaksanaannya membutuhkan teknik yang cukup ahli.
b. Prosedur Operasi
1) Dilakukan capsulorhexis kontinu.
2) Dilakukan hidrodiseksi dengan menginjeksikan cairan diantara kapsul dan
korteks lensa perifer. Hal ini akan melonggarkan nukleus dari perletakan
kapsulokortikal dan dapat dirotasi.
3) Dilakukan pembentukan nukleus dengan probe fako untuk membentuk dua
cekungan yang saling tegak lurus.
4) Sebuah manipulator dimasukkan melalui insisi lain.
5) Probe fako dan manipulator ditempatkan pada bagian yang berlainan dari
cekungan.
6) Nukleus dipecahkan dengan memberikan gaya pada arah yang berlawanan.
7) Nukleus dirotasi 900 dan dibuat retakan pada cekungan kedua dengan cara
yang sama.
8) Setia kuadran dari nukleus kemudian dipecahkan dan diaspirasi.
9) Dilakukan aspirasi pada korteks yang tersisa.
10) Materi vikoelastik diinjeksikan kedalam kantung kapsul.
11) IOL dimasukkan kedalam kantung.
3. Persiapan sebelum Operasi Katarak
a. Pemeriksaan sinar celah (slit lamp), untuk mengetahui lokasi lensa yang
mengalami kekeruhan.
b. Pemeriksaan tonometri, untuk mengetahui apakah ada penyulit glaukoma.
c. Pemeriksaan tajam penglihatan (refraksi), untuk melihat apakah kekeruhan
sebanding dengan tajam penglihatan dan untuk mengetahui perbandingan
visus post operasi katarak.
d. Funduskopi pada kedua mata(jika memungkinkan), untuk melihat struktur
retina. Selain itu, dapat juga digunakan untuk prognosis post operasi katarak.
e. Uji Anel, untuk mengetahui ada tidaknya dakriosistitis.
f. Tidak terdapat infeksi di sekitar mata seperti keratitis, konjungtivitis, blefaritis,
hordeolu dan kalazion.
g. Tekanan darah sistolik 160 mmHg dan diastolik 100 mmHg.
h. Gula darah terkontrol.
i. Tidak sedang batuk.
j. Pada satu hari sebelum operasi, diberikan obat tetes antibiotika spektrurm luas
setiap empat jam.
k. Pada hari operasi, dilakukan
l. Diberikan tetes midriacyl
2.2 Anastesi Untuk Operasi Katarak
2.2.1 Definisi
Pengurangan atau penghilangan sensasi untuk sementara, sehingga operasi atau
prosedur lain yang menyakitkan dapat dilakukan.Sejarahnya operasi katarak
dilakukan tanpa menggunakan anestesi. Operasi mata telah dilakukan dengan sedikit
atau tanpa anestesi selama hampir 1000 tahun. Pada tahun 1884, Carl Koller
menemukan hidroklorida kokain sebagai agen anestesi topikal pada operasi mata dan
Herman Knapp menggunakan kokain untuk lokal anastesi dengan injeksi retrobular.
2.2.2 Jenis-Jenis Anestesi
1. Anastesi lokal adalah hilangnya sensasi pada bagian tubuh tertentu tanpa
disertai kehilangan kesadaran atau kerusakan fungsi kontrol saraf pusat dan
bersifat reversibel. Obat anastesi lokal terutama berfungsi untuk mencegah
atau menghilangkan sensasi nyeri dengan memutuskan konduksi impuls saraf
yang bersifat sementara.Prosedur yang dikerjakan pada mata dan adneksanya
merupakan pendekatan terbaik dengan variasi regional atau lokal anastesia.
Anastesi dapat diperoleh dengan memblocking nervus sensoris yang
mempersarafi mata dan kulit kelopak serta jaringan sekitarnya. anastesi jenis
block Lokal anastesi dapat juga dicapai dengan
dalam jangka waktu yang lebih cepat dengan injeksi langsung pada jaringan,
tanpa memblocking nervus yang mempersarafi mata dan efektivitas anastesi
lokal ini selama 4 jam Williams & Wilkins, 2009).
2. Anestesitopikal adalah anestesi yang menggunakan sediaan seperti obat
tetes, gel, Sediaan yang paling sering digunakan adalah obat tetes mata
pantocain 0,5%. Sediaan ini memiliki bukti keamanan dan efektivitas dalam
banyak kasus, tetapi absorbsi dan durasi kerja anestetik tetes mata ini lebih
rendah, akibatnya, obat anestesi topikal harus diberikan berulang kali dengan
risiko meningkatnya kerusakan epitel kornea karena sifat toksik obat
tersebut.Penggunaan anestetik tetes mata merupakan metode non-invasif,
namun pada beberapa kasus diperlukan penambahan anestesi topikal intra
opererasi. (Williams & Wilkins, 2009).
3. Anestesi Umum
Kondisi atau prosedur ketika pasien menerima obat untuk amnesia, analgesia,
melumpuhkan otot, dan sedasi.
2.2.3 Cara Kerja Obat Anestesi
Mekaniesme anestetikum lokal yaitu dengna menghambat hantaran saraf bila
dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Bahan ini bekerja
pada tiap bagian susunan saraf. Anestetikum lokal mencegah terjadi pembentukan dan
konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di membrane sel, efeknya pada
aksoplasma hanya sedikit saja.
Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat permeabilitas membrane
terhadap ion natrium (Na+) akibat depolarisasi ringan pada membrane. Proses inilah
yang dihambat oleh anestetikum lokal, hal ini terjadi akibat adanya interaksi langsung
antara zat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka tehadap adanya perubahan
voltase muatan listrik. Dengan semakin bertambahnya efek anestesi lokal di dalam
saraf, maka ambang rangsang membrane akan meningkat secara bertahap, kecepatan
peningkatan potensial aksi menurun, koduksi implus melambat dan factor pengaman
konduksi saraf juga berkurang. Factor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan
kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian mengkibatkan
kegagalan konduksi saraf. (Latief Said, Surjadi Kartini, Dachlan Ruswan, (2002).
2.3 Manajemen Nyeri
2.3.1 Pengertian Nyeri
The International Associaton for The Study of Pain (2010) memberikan definisi
yang paling banyak dijadikan acuan yaitu berdasarkan faktor yang berkaitan
dengan waktu dan kesesuaian dengan penyakit. Nyeri merupakan sensasi yang
rumit, unik, dan universal. Dalam banyak literatur menyebutkan bahwa adanya
definisi nyeri yang berbeda - beda dan hal ini merefleksikan bahwa sifat nyeri
yang subjektif sehingga ada keragaman dalam cara memahami dan
mengkategorikanpengalamanmanusiayangkompleksini.
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
sebagai akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, yang menyakitkan
tubuh serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Ketika suatu jaringan
mengalami cedera, atau kerusakan mengakibatkan dilepasnya bahan bahan yang
dapat menstimulus reseptor nyeri seperti serotonin, histamin, ion kalium, bradikinin,
prostaglandin, dan substansi P yang akan mengakibatkan respon nyeri (Kozier dkk,
2009).
Definisi keperawatan menyatakan bahwa nyeri adalah sesuatu yang menyakitkan
tubuh yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya. Nyeri
dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat
diidentiftkasi. Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status mental
atau status psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal
dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri adalah akibat dari
stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. (Potter & Perry, 2005). Berdasarkan
definisi- definisi di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri adalah suatu pengalaman
sensori yang tidak menyenangkan dan menyakitkan bagi 9 tubuh sebagai respon
karena adanya kerusakan atau trauma jaringan maupun gejolak psikologis yang
diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya.
2.3.2 Nyeri Post Operasi Katarak
Nyeri pasca operasi katarak disebabkan oleh iritasi ocular sedangkan nyeri pasca
operasi phacoemulsifikasi mulai masuk dimana nyeri mulai terjadi yang disebabkan
oleh radang mata ocular dan radang berat pada uvea (iris dan badan siliar). Istiantoro,
hutaruk, 2010)
2.3.3 Penanganan Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri cukup efektif dalam mengatasi rasa nyeri dengan perasaan kontrol,
mengurangi perasaan tidak berdosa dan putus asa, menjadi metode pengalih yang
menerangkan, serta mengganggu siklus nyeri ansietas ketegangan (Tamsuri, 2007).
Ada beberapa manajemen nyeri yaitu:
1. Manajemen Nyeri Non Farmakolosik
Pendekatan non farmakolosik biasanya menggunakan terapi perilaku, pelemas otot
/ relaksasi. Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pasien ang
mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan teknik relaksasi menurunkan konsumsi
oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot,
menghentikan siklus nyeri ansietas ketegangan (mccaffer, 1989).
Teknik relaksasi menganjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan mengisi
paru-paru dengan udara, menghembuskan secara perlahan, melemaskan otot-otot
tangan, kaki, perut dan punggung serta mengulangi hal yang sama sambil terus
berkonsentrasi hingga pasien merasa nyaman, tenang dan rileks. Prosedur teknik
relaksasi nafas dalam menurut priharjo (2003) bentuk pernafasan yang digunakan
pada prosedur ini adalah pernafasan diafragma yang mengacu pada pendataran
kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen
bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi. Adapun langkah-
langkah teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut: Ciptakan lingkungan
yang tenang, Usahakan tetap rileks, menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi
paru-paru dengan udara melalui hitungan 1, 2, 3, perlahan-lahan udara di
hembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks,
anjurkan bernafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara
perlahan-lahan, membiarkan telapak tangan dan kaki rileks.
Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui
mekanisme yaitu:
a. Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang
disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi
pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
mengalami spasme dan iskemic.
b. Teknik Relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk
melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin (Smeltzer & Bare,
2002)
c. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat.
Relaksasi melibatkan system otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain
sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu. Prinsip yang mendasari
penurunan nyeri oleh teknik relakasai terletak pada fisiologi system syaraf otonom
yang merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang mempertahankan
homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator
kimia seperti brandikin, prostaglandin dan substansi, akan merangsang syaraf
simpatis sehingga menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus
otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan
pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan
metabolism otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis
ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri.
2. Manajemen Nyeri Farmakalosik
Rasa nyeri diobati dengan cara pemberian terapi farmakologi. Nyeri di tanggulangi
dengan cara memblokade transmisi stimulat nyeri. Agar terjadi perubahan persepsi
dan dengan mengurangi respon kartikal terhadap nyeri. Adapun obat yang
digunakan untuk terapi nyeri adalah analgesic narkotik analgesic lokla, analgesic
yang dikontrol klien dan obat-obat non steroid.
2.3.4 Fisiologi Nyeri
Saat terjadinya stimulus yang menimbulkan kerusakan jaringan hingga pengalaman
emosional dan psikologis yang menyebabkan nyeri, terdapat rangkaian peristiwa
elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transrmisi, modulasi dan
persepsi. Transduksi adalah proses dimana stimulus noksius diubah menjadi aktivitas
elektrik pada ujung saraf sensorik (reseptor) terkait. Proses berikutnya, yaitu transmisi,
dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang
meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan
impuls yang menuju ke atas (ascendens), dari medulla spinalis ke batang otak dan
thalamus. Yang terakhir hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex. Proses
ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol transmisi
nyeri. Suatu senyawa tertentu telah diternukan di sistem saraf pusat yang secara
selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Senyawa ini diaktifkan jika
terjadi relaksasi atau obat analgetika seperti morfin (Dewanto, 2003).
Proses terakhir adalah persepsi, proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga
menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. Bahkan struktur
otak yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat disayangkan karena
nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif yang dialami seseorang
sehingga sangat sulit untuk memahaminya (Dewanto, 2003). Nyeri diawali sebagai
pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin,
prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu
mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah
yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di sepanjang nervus ke bagian
dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh).
Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi
seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu
dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri dipersepsikan.
Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal cord.
Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi nyeri di
daerah yang terluka (Potter & Perry, 2005).
Di dalam spinal cord, ada gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang
terbuka, impuls nyeri lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi
saraf sensoris dengan cara menggaruk atau mengelus secara lembut di dekat daerah
nyeri dapat menutup gerbang sehingga rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari
pusat juga dapat menutup gerbang, misalnya motivasi dari individu yang bersemangat
ingin sembuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan (Potter &
Perry, 2005).
Kozier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh
meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis dan
parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah,
peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot,
dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti nyeri
dalam, berat, berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah, kelemahan,
kelelahan, dan pucat .
Pada kasus nyeri yang parah dan serangan yang mendadak merupakan ancaman yang
mempengaruhi manusia sebagai sistem terbuka untuk beradaptasi dari stressor yang
mengancam dan menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon terhadap
stimulus nyeri dari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem hipotalamus
pituitary dan adrenal dengan mekanisme medula adrenal hipofise untuk menekan
fungsi
2.3.5 Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi dua yaitu nyeri akut dan nyeri kronis.
Klasifikasi ini berdasarkan pada waktu atau durasi terjadinya nyeri.
1. Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam kurun waktu yang singkat, biasanya
kurang dari 6 bulan. Nyeri akut yang tidak diatasi secara 14 adekuat mempunyai
efek yang membahayakan di luar ketidaknyamanan yang disebabkannya karena
dapat mempengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskuler, gastrointestinal,
endokrin, dan imonulogik (Potter & Perry, 2005).
2. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung selama lebih dari 6 bulan. Nyeri
kronik berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan, karena
biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan
pada penyebabnya. Jadi nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan
(Guyton & Hall, 2008). Nyeri kronik mengakibatkan supresi pada fungsi sistem
imun yang dapat meningkatkan pertumbuhan tumor, depresi, dan
ketidakmampuan.
Berdasarkan sumbernya, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri nosiseptif dan
neuropatik (Potter & Perry, 2005).
a. Nyeri nosiseptif
noxsious/harmful nature
saraf nosiseptif, menerima informasi tentang stimulus yang mampu merusak
jaringan. Nyeri nosiseptif berdifat tajam, dan berdenyut (Potter & Perry, 2005).
b. Nyeri neuropatik 15
Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf. Nyeri neuropatik
terasa seperti terbakar kesemutan dan hipersensitif terhadap sentuhan atau
dingin. Nyeri spesifik terdiri atas beberapa macam, antara lain nyeri somatik,
nyeri yang umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit
(superficial) pada otot dan tulang. Macam lainnya adalah nyeri menjalar
(referred pain) yaitu nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya
dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri, biasanya dari cidera organ
visceral. Sedangkan nyeri visceral adalah nyeri yang berasal dari bermacam-
macam organ viscera dalam abdomen dan dada (Guyton & Hall, 2008).
2.3.6 Metode Penelian Nyeri
Skala nyeri yang dirasakan pasien memiliki tingkatan rasa yang berbeda yaitu nyeri
ringan, sedang dan berat. Penilaian skala nyeri yang digunakan ada dua metode yaitu
:
1. Wong Baker FACES Pain Rating Scale yaitu menilai tingkat nyeri pasien dengan
melihat ekspresi wajah pasien.
2. Comparative Pain Scale yaitu penilaian dengan angka skala nyeri 0 10,
pengelompokan terdiri dari:
a. Skala Nyeri ringan: 0 - 3 (masih bias ditahan, aktifitas tidak terganggu)
b. Skala Nyeri sedang: 4 6 (menggangu aktifitas fisik)
c. Skala Nyeri berat: 7 10 (tidak dapat melakukan aktifitas secara mandiri)
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh
individu. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan kemungkinan nyeri dalam
intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua
orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling
mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.
Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti
tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut:
a) Skala intensitas nyeri
b) Skala identitas nyeri numerik
c) Skala analog visual
d) Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan : 0 :Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik dan memiliki gejala yang tidak dapat terdeteksi.
Jurnal penelitian terkait:
Pengaruh terapi relaksasi autogenic terhadap tingkat nyeri akut pada pasien abdominal
pain di IGD RSUD Karawang 2014.Hasil di dapatkan adanya pengaruh teknik relaksasi
yang signifikan terhadap penurunan nyeri akut. (Nita Syamsiah, Endang Muslihat,2014)
Pengaruh teknik relaksasi dan teknik distraksi terhadap perubahan intensitas nyeri pada
pasien post operasi di ruang IRINA A atas RSUP Prof.DR. R. D. Kandou Manado.
Hasil di dapatkan adanya pengaruh teknik relaksasi yang signifikan terhadap
penurunan nyeri. (Stania F. Y. Rampengan, Rolly Rondonuwu, Franly Onibala, 2015)
Pengaruh teknik relaksasi nafas dalam dan masase terhadap penurunan skala nyeri
pasien pasca apendiktomi di ruang bedah RSUD Dr. M. Zein Painan.Hasil di dapatkan
adanya pengaruh teknik relaksasi yang signifikan terhadap penurunan nyeri.(Yusrizal,
Zarni Zamzahar, Eliza Anas, 2016)
2.3.7 Kerangka Teori
Adalah seperangkap keterkaitan konstrak atau konsep, definisi dan proposisi yang
mencerminkan padangan sistematik mengenai fenomena melalui penentuan hubungan
antara variable secara spesifik dengan tujuan menjelaskan (kerlinger, 2000).
KATARAK
Pembedahan Operasi Katarak - Ecce - Phoco
Nyeri Post Operasi Katarak Manajemen Nyeri Terknik relaksasi nafas dalam
Anestesi topikal & lokal