BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39309/3/BAB 2.pdf · •...
-
Upload
truongkhuong -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/39309/3/BAB 2.pdf · •...
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepar
2.1.1 Anatomi Hepar
(gray H et al, 2010)
Gambar 2.1 Pembagian letak Hepar di Abdomen
Hepar adalah salah satu organ di abdomen intraperitoneal yang merupakan
kelenjar terbesar dalam tubuh. Dalam keadaan normal hepar memiliki
konsistensi kenyal, permukaannya licin, berwarna merah tua, hampir sebagian
besar bagiannya tertutup thorax, serta dilindungi oleh kapsula fibrous. Hepar
terletak berada di area kuadran kanan atas atau di daerah hipokondriaka dexter,
epigastrium, dan hampir melebar ke hipokondriaka sinister (Gray H et al,
2010).
Hepar secara anatomi dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu lobus dextra yang
besar dan lobus sinistra yang kecil dengan pelekatan ligamentum falciformis,
serta lobus kaudatus dan lobus kuadratus (Moore et al, 2010).
6
(Moore et al, 2010)
Gambar 2.2 Anatomi Hepar
Hepar menerima darah dari dua sumber yaitu arteri dan vena, vaskularisasi
arterial dilakukan oleh arteri hepatika yang bercabang menjadi arteri hepatika
dextra dan sinistra pada porta hepatica. Vaskularisasi vena dilakukan oleh vena
porta hepatis yang membawa darah dari seluruh traktus gastroinstentinal yang berisi
produk-produk digestive, kemudian darah akan masuk ke sinusoid hepar. Darah
arteri dan vena kemudian bergabung dan masuk ke dalam sinusoid, kemudian
masuk ke dalam vena sentral lalu ke vena hepatika dan berakhir di vena kava
inferior (Gray H et al, 2010).
2.1.2 Fisiologi Hepar
Hepar adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di dalam tubuh.
Organ ini dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Hepar
memiliki berbagai fungsi penting dalam menunjang proses kehidupan yaitu :
• mensekresikan garam empedu,
7
• menyekresikan hormon trombopoietin, hepsidin, mengeluarkan bakteri
dan sel darah merah tua,
• memetabolisme nutrien utama (karbohidrat, lemak, dan protein),
• mengekskresikan kolesterol dan bilirubin,
• memproduksi protein fase akut yang penting dalam inflamasi,
• mengaktifkan vitamin D menjadi bentuk aktifnya,
• membentuk protein plasma, membentuk angiotensinogen yang penting
dalam Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS),
• mendetoksifikasi atau mengurai zat sisa tubuh dan hormon serta obat dan
senyawa asing lain, dan lain sebagainya (Sherwood, 2012).
2.1.3 Histologi Hepar
Hepar terdiri atas satuan heksagonal disebut lobulus berbentuk
silindris, kurang lebih 50.000 sampai 100.000 lobulus, dengan panjang
beberapa millimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 millimeter. Lobulus
hepar terbentuk mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena
hepatica dan kemudian ke vena cava. Lobulus sendiri dibentuk terutama dari
banyak 17 lempeng sel hepar yaitu hepatosit dan sinusoid secara radial,
yang menyebar dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing
lempeng sel hepar tebalnya dua sel, dan di antara sel yang berdekatan
terdapat kanalikuli biliaris kecil yang mengalir ke duktus biliaris di dalam
septum fibrosa yang memisahkan lobulus hepar yang berdekatan (Guyton
AC, Hall JE, 2008).
8
(Eroschenko, 2013)
Gambar 2.3 Lobulus Hepar
Hepatosit jika dilihat di bawah mikroskop akan berbentuk
polyhedral dan berdiameter 20-30 µm. Permukaan dari setiap hepatosit akan
bersentuhan dengan dinding sinusoid, space of disse, dan dengan
permukaan hepatosit lain, lalu antar hepatosit satu dengan yang lain dibatasi
oleh ruang tubulus (duktus kanalikuli). Hepatosit jika dilihat dengan
menggunakan mikroskop cahaya, maka akan tampak bahwa hepatosit-
hepatosit tersebut membentuk suatu unit struktural yang disebut lobulus
hepar, dikatakan satu lobulus hepar adalah satu bentukan polyhedral ukuran
0,7 x 2 mm dengan triad portal di bagian tepi, serta sebuah vena sentralis
(Eroschenko, 2013).
2.1.4 Metabolisme Obat di Hepar
Membrane endoplasmic reticulum (mikrosom) dan sitosol
merupakan tempat utama terjadinya metabolisme obat di hepar. Tempat
metabolisme lainnya (ekstrahepatik) adalah: ginjal, paru, darah, dinding
usus, otak, kulit, dan juga di lumen kolon (oleh flora normal). Tujuan utama
metabolisme obat di hepar adalah untuk mengubah (biotransformasi) obat
9
yang nonpolar (larut lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi
melalui ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif akan diubah
menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya
prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik. Reaksi biotransformasi obat
terjadi dalam 2 fase, yaitu reaksi fase I dan reaksi fase II. Pada fase pertama,
terjadi reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis yang dimana obat diubah
menjadi lebih polar dengan akibat menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau
bahkan inaktif. Sedang pada fase kedua, terjadi reaksi konjugasi dengan
substrat endogen lainnya seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat,
atau asam amino. Hasilnya bisa menjadi sangat polar, dan dengan demikian
hampir selalu tidak aktif (Chambers HF, 2007).
Oksidasi oleh enzim cytochrome P450 (CYP) yang disebut juga
enzim mono-oksigenase, atau mixed-function oksidase (MFO) adalah reaksi
biotransformasi fase I yang terpenting dalam endoplasmic reticulum
(mikrosom) hepar. Ada sekitar 50 jenis isoenzim CYP yang aktif pada
manusia, namun hanya beberapa yang penting untuk metabolisme obat.
Enzim-enzim tersebut (~70% dari total CYP dalam hepar) adalah (Setiawati
A, Suyatna FD, Gan S, 2009):
(1) CYP3A4/5 (~30% total CYP dalam hepar): memetabolisme ~50% obat
untuk manusia. Isoenzim ini juga terletak di epitel usus halus (~70% dari
total CYP dalam usus halus) dan ginjal. Enzim ini merupakan enzim
terpenting dalam metabolisme yang terpenting.
10
(2) CYP2D6 (~2-4% total CYP dalam hepar): merupakan CYP yang
pertama dikenal dengan nama debrisque hydroxylase. Enzim ini
memetabolisme ~15-25% obat.
(3) CYP2C (~20% total CYP dalam hepar): CYP2C8/9 dan CYPC19
(CYP2C8/9 memetabolisme ~15% obat).
(4) CYP1A1/2 (~12-13% total CYP dalam hepar): dulu disebut
cytochrome P448, memetabolisme ~5% obat.
(5) CYP2E1 (~6-7% total CYP dalam hepar): memetabolisme ~2% obat.
Sedangkan reaksi fase II yang terpenting adalah glukuronidasi
melalui enzim UDP-glukuroniltransferase (UGT). Hal ini terutama terjadi
di dalam mikrosom hepar, tetapi juga dapat terjadi di jaringan ekstrahepatik
seperti usus halus, paru, ginjal, dan kulit. Reaksi konjugasi lainnya seperti
asetilasi, sulfasi, dan konjugasi dengan glutathione terjadi dalam sitosol. Di
samping enzimenzim mikrosomal tersebut, ada juga beberapa enzim yang
tersimpan dalam sitosol hepar. Misalnya sulfotransferase (SULT), glutation
S-transferase (GST), metiltransferase (MT), dan N-asetiltransferase
(NAT). NAT ada dua macam, yaitu NAT1 dan NAT2 (Porceddu M et al,
2012).
2.1.5 Intoksikasi Hepar akibat obat (Drug-induced hepatotoxicity)
Hepar menjadi organ utama yang bertanggung jawab terhadap
metabolisme, detoksifikasi, serta ekskresi segala macam obat yang masuk
ke tubuh. Hal ini menyebabkan hepar menjadi organ yang sangat rentan
untuk mengalami kerusakan. Diketahui intosikasi Hepar akibat obat
mengarah pada 50% kejadian kegagalan hati akut. Obat dapat merusak sel
11
hepar melalui metabolitnya ataupun bentuk aktif yang menginduksi
terbentuknya ROS berlebih dalam tubuh yang berakibat pada rusaknya sel
hepar (Nathiya S. et al, 2016).
2.2 Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit akibat infeksi bakteri
Mycobacterium tuberculosis . Penyakit ini bisa mengenai hampir semua organ
tubuh dengan jumlah terbanyak pada organ paru. Gejala umum
TB adalah batuk produktif lebih dari dua minggu yang disertai gejala pernapasan
seperti sesak napas, nyeri dada, batuk darah dan / atau gejala tambahan seperti
menurunnya nafsu makan, menurun berat badan, keringat malam dan mudah Lelah.
Terdapat 8.3 juta kasus baru TB di dunia dan 10,7% diantaranya terjadi pada anak-
anak. Indonesia memiliki kejadian TB pada 23 pasien per 100.000 anak. (chris et
al, 2014)
Terapi lini pertama untuk dewasa yang direkomendasikan yaitu
kombinasi obat Isoniazid (INH), Rifampisin (RIF), Pirazinamid, Etambutol, dan
Streptomisin. Pada anak tidak menggunakan streptomisin karena bersifat ototoksik.
INH dan RIF diketahui sangat berpotensi dalam eradikasi M.tuberculosis, akan
tetapi kedua obat ini bersifat hepatotoksik sehingga penggunaannya harus
diperhatikan terutama pada dosis yang digunakan. Dosis INH & RIF yang
digunakan pada terapi TB Paru dewasa adalah 5 mg/kgBB/hari dan 10
mg/KgBB/hari, sedangkan pada anak 10mg/kgBB/hari dan 15 mg/kgBB/hari.
(Kemenkes RI, 2014)
12
2.3 Isoniazid (INH) dan Rifampisin (RIF)
2.3.1 Isoniazid (INH)
(Istiantoro YH, Setiabudy R, 2009)
Gambar 2.4 Rumus Bangun Kimia INH
Isoniazid (INH) atau isonicotinyl hydrazide (C6H7N3O) telah
diketahui secara in vitro bersifat tuberkulostatik (menahan perkembangan
bakteri) dan tuberkulosid (membunuh bakteri). Efek kerja INH adalah
menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting
dinding sel mikobakterium. INH mudah diabsorpsi pada pemberian oral
maupun parenteral. Kadar Puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah
pemberian oral. INH terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, 400mg,
serta sirup 10 mg/ml. Biasa diberikan dalam dosis tunggal perorang tiap
hari, dosis biasa 5 mg/kgbb, maksimum 300 mg/hari (Istiantoro YH,
Setiabudy R, 2009).
2.3.2 Rifampisin (RIF)
(Soewandhi SN et al, 2007)
Gambar 2.5 Rumus Bangun Kimia RIF
13
Rifampisin (RIF) memiliki rumus bangun C43H5N4O12,
menghambat pertumbuhan sebagian besar bakteri Gram positif, serta
sebagian besar bakteri Gram negatif. Mekanisme kerja RIF adalah dengan
cara menghambat RNA polimerase dari mikrobakteria dan mikroorganisme
lain yang bergantung pada DNA bakteri, dengan menekan awal
pembentukan rantai dan sintetis RNA. Dosis tunggal RIF sebesar 600 mg
peroral dan menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah 2-4 jam.
dalam saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu, dan
kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. RIF menyebabkan induksi
metabolisme, sehingga walaupun biovalibitasnya tinggi, eliminasinya
meningkat pada pemberian berulang. Masa paruh eliminasi RIF bervariasi
antara 1,5-5 jam dan akan memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. RIF
biasa diberikan sehari sekali, tersedia dalam bentuk tablet (450 dan 600 mg),
kapsul (150 dan 300 mg), dan suspensi (100mg/5 ml) (Istiantoro YH,
Setiabudy R, 2009).
Efek samping yang sering timbul adalah ruam kulit, mual dan
muntah. Pada pemberian berselang dengan dosis lebih besar sering terjadi
nefritis interstitial, nekrosis tubular akut, dan trombositopenia. Pada pasien
dengan riwayat penyakit hati dan terapi obat hepatotoksik, pemberian RIF
dapat menyebabkan hepatitis akut sampai kematian akibat gagal hati
(Goodman, Gilman, 2007).
2.4 Mekanisme Hepatotoksisitas INH dan RIF
INH diketahui dapat menyebabkan keadaan toksik pada hepar,
selain itu kombinasinya dengan RIF dalam terapi TB makin meningkatkan
14
hopatotoksisitasnya. Didapatkan insidensi hepatotoksisitas akibat INH
mencapai 1,6% sedangkan RIF mencapai 1,1% dan mencapai 2,6% ketika
dikombinasikan bersama (Kumar & Ramesh, 2014). INH akan
dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 di hepar menjadi senyawa
Hydrazine dan Acetyl hydrazine. Kedua metabolit ini memicu produksi
Reactive Oxygen Species (ROS) secara berlebih yang menyebabkan
mekanisme homeostasis di hepar terganggu akibat keadaan stress oksidatif.
Sedangkan metabolit RIF 3-formil rifampisin menambah efek toksik di
hepar karena meningkatan aktivitas enzim sitokrom P450, sehingga
metabolisme INH menjadi meningkat. ROS yang berlebihan tidak mampu
dikendalikan oleh antioksidan endogen, akibatnya terjadi peroksidasi lipid
yang berujung pada kematian sel hepar. Malondialdehyde (MDA)
merupakan hasil akhir dari peroksidasi lipid dan telah digunakan sebagai
biomarker terjadinya kerusakan di hepar akibat stress oksidatif. (Nathiya
S. et al, 2016).
2.5 Cepokak (Solanum torvum Swartz)
2.5.1 Epidemiologi
Tanaman cepokak (Solanum torvum Swartz), sinonim: Solanum
ficifolium Ortega, Solanum mayanum Lundell, Cherry Eggplant, Water
Nightshade, Wild Eggplant, Turkey Berry, Takokak, Rimbang, dan lain
sebagainya. Tanaman ini adalah tanaman yang berasal dari Amerika Tengah
dan Amerika Selatan, yang ditemukan di Meksiko, Brazil, Peru dan juga
banyak ditemukan di Asia Tenggara, sehingga banyak ditemukan di
Thailand, Malaysia, dan Indonesia (Yousaf et al, 2013).
15
2.5.2 Taksonomi
Cepokak (Solanum torvum Swartz) dapat digunakan untuk
mengatasi berbagai penyakit. Bahan tanaman yang digunakan sebagai obat
adalah akar, daun, dan buah. Tanaman ini relatif mudah untuk
dibudidayakan dan tidak memerlukan perawatan yang rumit untuk
memperoleh bahan obat yang dapat digunakan setiap waktu (Sirait, 2009),
berikut ini adalah taksonomi dari cepokak (Solanum torvum Swartz):
Kingdom : Plantae
Division : Spermatophyta
Sub Division : Angiospermae
Class : Dicotyledonae
Order : Solanales
Family : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum torvum Swartz
(Sirait, 2009)
Gambar 2.6 Tumbuhan Cepokak (Solanum torvum Swartz)
16
2.5.3 Morfologi
Tanaman ini termasuk tanaman perdu yang tumbuh tegak, tinggi
tanaman ini sekitar 3 m. Batang bulat, berkayu, bercabang, dan berduri
jarang. Daunnya tunggal, berwarna hijau, tersebar, berbentuk bulat telur,
tepi rata, ujung meruncing, dan panjang sekitar 27 - 30 cm dan lebar 20 - 24
cm. Pertulangan menyirip dan ibu tulang berduri. Bunga majemuk, bentuk
bintang, bertaju, waktu kuncup berbintik ungu, kelopak berbulu, bertajuk
lima, runcing, panjangnya kira-kira 5 mm, warna hijau muda, benang sari
lima, tangkai panjang kira-kira 1 mm dan kepala sari panjangnya kira-kira
6 mm berbentuk jarum, berwarna kuning, tangkai putik kira-kira 1 cm
berwana putih, dan kepala putik kehijauan. Buah bulat, apabila masih muda
berwarna hijau setelah tua berwarna jingga. Bijinya pipih, kecil, licin
berwarna kuning pucat, berakar tunggang berwarna kuning pucat (Sirait,
2009).
2.5.4 Kandungan
2.5.4.1 Asam Gallat
(Ismarani, 2012)
Gambar 2.7 Struktur Kimia Asam Gallat
17
Asam gallat atau Gallic acid adalah senyawa golongan asam fenolik.
Asam gallat memiliki rumus kimia C7H6O5. Senyawa ini dapat berfungsi
sebagai zat antioksidan dan antiinflamasi. Asam gallat berperan dalam
menurunkan produksi ROS (Reactive Oxygen Species), dengan menurunnya
produksi ROS maka stress oksidatif dapat dikurangi sehingga keadaan stres
jaringan dapat diminimalisir dan berdampak pada proses pancegahan
kerusakan yang terjadi pada sel hepar (Ismarani, 2012).
2.5.4.2 Flavonoid
(Septiana & Asnani, 2012)
Gambar 2.8 Struktur Kimia Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa golongan phenolik aktif alami yang
mempunyai struktur kimia C5-C3-C6. Flavonoid biasanya terdapat di dalam
tanaman yang berwarna hijau. Senyawa flavonoid dapat digunakan sebagai
antioksidan yang mampu menurunkan radikal bebas atau oksidan di dalam
tubuh dan dapat berfungsi sebagai agen inflamasi (Rompas et al, 2012).
2.5.4.3 Saponin
(Septiana & Asnani, 2012)
Gambar 2.9 Struktur Kimia Saponin
18
Saponin adalah senyawa golongan glikosid alami yang ada pada
tanaman, senyawa ini mempunyai sifat seperti sabun yang menimbulkan
busa jika dikocok di dalam air. Saponin sangat polar sehingga larut dengan
baik dalam air, senyawa ini memiliki efek sebagai antioksidan yang bekerja
dengan cara menurunkan radikal bebas di dalam tubuh, sehingga dapat
mencegah terjadinya stres oksidatif pada sel hepar. (Mardiningsih et al,
2010).
2.5.4.4 Tanin
(Septiana & Asnani, 2012)
Gambar 2.10 Struktur Kimia Tanin
Tanin adalah senyawa golongan polifenol yang kompleks. Tanin
memiliki gugus polifenol yang dapat mengikat protein. Senyawa ini
memiliki berat molekul antara 500 – 3000 Da. Tanin diklasifikasikan
menjadi hydrolysable tannin dan condensed tannin. Struktur molekul
hydrolyzble tannin merupakan hidroksil dari phenolic esterfied seperti asam
gallat. Tanin memiliki efek sebagai anti oksidan (Ismarani, 2012).
2.6 Radikal Bebas, Stress Oksidatif, Malondialdehid (MDA)
2.6.1 Radikal Bebas dan Stress Oksidatif
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mengandung minimal
satu elektron tidak berpasangan pada orbital luarnya. Radikal bebas yang
dihasilkan bersifat sangat reaktif dan cenderung bereaksi dengan molekul lain
19
untuk mencari pasangan elektronnya menjadi bentuk yang lebih stabil. Radikal
bebas dapat bereaksi dengan berbagai molekul, terutama lipid membran,
protein, dan mtDNA. Hal ini dapat merubah struktur dan fungsinya, sehingga
menyebabkan kerusakan atau bahkan kematian sel bahkan jaringan (Siswonoto
S, 2008).
Dalam keadaan normal, sebenarnya masih dapat terjadi
keseimbangan antara pembentukan ROS dan atau RNS akibat radikal bebas
serta aktivitas antioksidan di dalam sel. Apabila keseimbangan tersebut
terganggu (misalnya pada saat kondisi hepatotoksisitas) akan menimbulkan
stres oksidatif yang menyebabkan kerusakan komponen-komponen pada sel
hepar. Sehingga hal ini memicu inisiasi lipid peroxidation (LPO) yang
menghasilkan peroksida lipid pada membran sel, kerusakan mtDNA dan
protein dalam sel, yang kemudian berakhir pada kerusakan jaringan (Zainuri
M, Wanandi SI, 2012).
Lipid Peroxidation Modified DNA bases Protein Damage
(Siswonoto S, 2008) Tissue Damage
Gambar 2.11 Mekanisme Kerusakan Jaringan Akibat Stress Oksidatif
2.6.2 Malondialdehida (MDA)
(Siswonoto S, 2008)
Gambar 2.12 Rumus Bangun Kimia MDA
20
MDA memiliki tiga rantai karbon, dengan rumus bangun
C3H4N4O2. MDA terbentuk pada membran sel ketika asam lemak tak
jenuh ganda(Poly Unsaturated Fatty Acid/ PUFA) bereaksi dengan radikal
bebas. Karena sangat rentan terhadap terjadinya autokatalisis peroksidasi
dibandingkan dengan asam lemak jenuh, PUFA yang diketahui banyak
terdapat pada membran sel menjadi target utama oksidan. Lipid
peroxidation (LPO) atau peroksidasi lipid merupakan inisiasi reaksi
berantai oleh radikal hidrogen atau oksigen, yang menyebabkan
teroksidasinya PUFA (Yustika AR, Aulanni‟am, Prasetyawan S, 2013).
(Setiawan B, Suhartono E, 2007)
Gambar 2.13 Fase Pembentukan LPO
Menurut Setiawan B dan Suhartono E (2007), LPO terjadi dalam 3 fase, yaitu fase
inisiasi, propagasi, dan terminasi:
1. Pada fase pertama yaitu inisiasi, lipid dinyatakan sebagai LH dan berupa asam
lemak tak jenuh ganda. Peroksidasi asam lemak tak jenuh merupakan reaksi
rantai radikal bebas yang diinisiasi oleh abstraksi atom hydrogen pada gugus
metilen asam lemak. Pada fase ini, besi merupakan katalis peroksidasi lipid
yang bersifat merusak. Besi dapat memicu dan memperkuat peroksidasi lipid.
2. Pada fase kedua yaitu fase propagasi, yang merupakan bagian yang kompleks,
dimana radikal lipid dengan cepat mengalami penggabungan dengan O2 dan
21
terbentuk radikal peroksi. Reaksi penggabungan O2 dengan radikal lipid yang
baru terbentuk menambah jumlah peroksidasi membran lipid. Apabila radikal
karbon bereaksi dengan oksigen, akan terbentuk radikal peroksil. Radikal
peroksil dapat mengabstraksi atom hidrogen pada lipid yang lain. Apabila
terjadi abstraksi atom hidrogen lipid lain oleh radikal peroksil, akan terbentuk
lipid hidroperoksida.
3. Pada fase terminasi, radikal karbon yang terbentuk pada reaksi inisiasi
cenderung menjadi stabil melalui reaksi dengan radikal karbon maupun radikal
lain yang terbentuk pada tahap propagasi. Reaksi peroksidasi lipid, selain
dipicu oleh katalis besi, juga dapat dipicu dan menghasilkan berbagai
ROS/RNS. Apabila proses tersebut tidak diredam oleh scavenger alamiah
seperti antioksidan endogen ataupun antioksidan eksogen, kerusakan akan
terjadi pada berbagai struktur penting asam lemak tak jenuh pada membran
fosfolipid. Kerusakan membran fosfolipid akan sangat buruk bagi keadaan sel,
menyebabkan kebocoran cairan sel dan pada akhirnya menjadi penyebab sel
mati dan mengalami apoptosis.
22
(Siswonoto S, 2008)
Gambar 2.14 Hasil akhir Peroksidasi Lipid
Kelompok karbonil yang terbentuk pada proses akhir LPO dari PUFA dan
banyak ditemukan dalam sampel biologis pada berbagai kompartemen cairan tubuh
berupa: 2 alkenals; 4-hidroksi-2 alkenals/4 hydroxynonenal (HNE); dan
malondyaldehide (MDA). Namun jumlah HNE dan 2 alkenals yang dihasilkan 80
kali lebih rendah dibanding MDA. Hal ini menjadikan MDA sebagai indikator LPO
yang sering digunakan sebagai penanda biologis stres oksidatif yang sensitif dan
23
spesifik, dikarenakan MDA merupakan produk LPO yang relatif konstan, sehingga
menjadi indikator yang tepat untuk mengetahui kecepatan (rate) proses peroksidasi
lipid in vivo. Nilai normal MDA plasma darah manusia adalah 0,83 – 1,01 µmol/L4
(Pribadi,2010). Apabila didapatkan hasil konsentrasi MDA yang tinggi, maka hal
ini menunjukkan adanya proses oksidasi dalam membran sel. Sebaliknya, status
antioksidan yang tinggi biasanya diikuti oleh penurunan kadar MDA (Siswonoto S,
2008).
Pengukuran kadar MDA dilakukan dengan tes Thiobarbituric Acid
Reactive Substances (TBARS test) dengan metode High Performance Liquid
Chromatography (HPLC)/spektrofotometri, berdasarkan prinsip bahwa bila MDA
direaksikan dengan TBA (Thiobarbituric Acid) akan membentuk senyawa
berwarna merah muda. Uji ini merupakan metode pengukuran radikal bebas yang
paling umum digunakan untuk mengukur produk peroksidasi lemak pada membran
lipid (Yustika AR, Aulanni’am, Prasetyawan S, 2013).