BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Tifoid 2.1.1 Pengertian
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Tifoid 2.1.1 Pengertian
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Tifoid
2.1.1 Pengertian
Demam tifoid adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhi, biasanya melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi.
Penyakit akut ditandai dengan demam berkepanjangan, sakit kepala, mual,
kehilangan nafsu makan, dan sembelit atau kadang-kadang diare. Gejala
seringkali tidak spesifik dan secara klinis tidak dapat dibedakan dari penyakit
demam lainnya. Namun, tingkat keparahan klinis bervariasi dan kasus yang
parah dapat menyebabkan komplikasi serius atau bahkan kematian. Ini terjadi
terutama dalam kaitannya dengan sanitasi yang buruk dan kurangnya air
minum bersih. Dalam masyarakat penyakit ini dikenal dengan nama tipes atau
thypus, tetapi dalam dunia kedokteran disebut typhoid fever atau thypus
abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam perut (WHO, 2018).
2.1.2 Etiologi
Penyakit demam tifoid disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi
(WHO, 2018). Salmonella enterica serotype typhi adalah bakteri gram negatif,
berbentuk batang, berflagela yang satu-satunya reservoar adalah tubuh
manusia. Bakteri menyebar dari usus untuk menyebabkan penyakit sistemik
(Ashurst, Truong, & Woodbury, 2019).
4
(J.P. Duguid dan J.F. Wilkinson, 2020) Gambar 2.1 Bakteri Salmonella typhi
2.1.3 Epidemiologi
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Demam tifoid
lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang berhubungan
dengan daerah berpenghasilan rendah dengan sanitasi yang buruk. Pada tahun
2000, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,7 juta penyakit dan 216.000
kematian secara global, dan International Vaccine Institute memperkirakan
bahwa ada 11,9 juta kasus demam tifoid dan 129.000 kematian pada negara
berpenghasilan rendah hingga menengah pada tahun 2010. Di Amerika Serikat,
sekitar 200 hingga 300 kasus Salmonella enterica serotype typhi dilaporkan
setiap tahun, dan sekitar 80% dari kasus ini berasal dari wisatawan yang
kembali dari daerah endemis. Pada era pra-antibiotik, angka kematian adalah
15% atau lebih besar. Namun, angka kematian telah turun menjadi kurang dari
1% dengan diperkenalkannya antibiotik (Ashurst, Truong, & Woodbury,
2019).
5
Insiden terjadinya demam tifoid diperkirakan lebih dari 100 per 100.000
penduduk. Sekitar tujuh juta orang terkena dampak setiap tahun di Asia dengan
sekitar 75.000 kematian (Chang, Song, & Galán, 2016).
Penelitian di Indonesia disuatu daerah memperkirakan tingkat kejadian
tifoid 148,7 per 100.000 orang pertahun pada kelompok umur 2-4 tahun, 180,3
pada kelompok usia 5-15 tahun, dan 51,2 pada mereka lebih dari 16 tahun,
dengan usia onset rata-rata 10,2 tahun (Alba et al., 2016).
2.1.4 Patofisiologi
Salmonella typhi merupakan bakteri yang dapat hidup di dalam tubuh
manusia. Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang bervariasi (Ardiaria, 2019). Infeksi Salmonella enterica serotype
typhi pada orang sehat berkisar antara 1.000 dan 1 juta organisme tetapi
tergantung kondisi imun tubuh manusia (Ashurst, Truong, & Woodbury, 2019).
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses mulai dari penempelan
bakteri ke lumen usus, bakteri bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch,
bertahan hidup di aliran darah, dan menghasilkan enterotoksin yang
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen intestinal. Bakteri
Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam banyak
bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus,
melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan menembus dinding usus
tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M, sel epitel yang melapisi Peyer’s patch
6
merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi Salmonella typhi. Bakteri
mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan tukak pada mukosa usus.
Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Kemudian
mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial System (RES) di
organ hati dan limpa. Setelah periode inkubasi, Salmonella typhi keluar dari
habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi sistemik mencapai hati,
limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patch dari ileum
terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag di hati, limpa,
kelenjar limfoid intestinal, dan mesenterika untuk melepaskan produknya yang
secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati dan secara
sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid (Ardiaria, 2019).
(de Jong HK et al., 2012)
Gambar 2.2 Siklus penularan bakteri Salmonella typhi
7
Penularan Salmonella typhi sebagian besar jalur fecal-oral, yaitu melalui
makanan atau minuman yang tercemar oleh bakteri yang berasal dari penderita
atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama dengan feses. Dapat juga
terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada pada
keadaan bakterimia kepada bayinya (Pruss, 2016).
2.1.5 Tanda dan Gejala
2.1.5.1 Masa Inkubasi
Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada
umumnya adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala
penyakit tidaklah khas, berupa (Haryono, 2012):
1. Anoreksia
2. Rasa malas
3. Sakit kepala bagian depan
4. Nyeri otot
5. Lidah kotor
6. Gangguan perut
2.1.5.2 Gambaran Klasik Demam Tifoid (Gejala Khas)
Menurut (Soedarto, 2015) gambaran klinis klasik yang sering
ditemukan pada penderita tifoid dapat dikelompokkan pada gejala yang
terjadi pada minggu pertama, minggu kedua, minggu ketiga dan minggu
keempat sebagai berikut:
a) Minggu Pertama (awal infeksi)
Demam tinggi lebih dari 40oC, nadi lemah bersifat dikrotik,
8
denyut nadi 80- 100 per menit.
b) Minggu Kedua
Suhu badan tetap tinggi, penderita mengalami delirium,
lidah tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan
darah menurun dan limpa teraba.
c) Minggu Ketiga
Keadaan penderita membaik jika suhu menurun, gejala dan
keluhan berkurang. Sebaliknya kesehatan penderita
memburuk jika masih terjadi delirium, stupor, pergerakan otot
yang terjadi terus-menerus, terjadi inkontinensia urine atau
alvi. Selain itu tekanan perut meningkat. Terjadi meteorismus
dan timpani, disertai nyeri perut. Penderita kemudian
mengalami kolaps akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya
degenerasi miokardial toksik.
d) Minggu Keempat
Penderita yang keadaannya membaik akan mengalami
penyembuhan.
2.1.6 Kekambuhan
Seorang yang sudah sembuh dari demam tifoid dapat beresiko
mengalami kekambuhan. Kekambuhan ini terjadi sehubungan dengan
pengobatan yang tidak adekuat baik dosis atau lamanya pemberian antibiotika.
Kekambuhan dapat timbul dengan gejala klinis yang lebih ringan atau lebih
berat (Kemenkes RI, 2006). Sekitar 1% hingga 5% pasien akan menjadi
9
pembawa kronis Salmonella typhi meskipun terapi antimikroba yang memadai
(Ashurst, Truong, & Woodbury, 2019).
2.1.7 Sumber Penularan dan Cara Penularan
Sumber penularan demam tifoid tidak selalu harus penderita yang sedang
sakit. Ada penderita yang sudah mendapat pengobatan dan sembuh, tetapi di
dalam air seni dan fesesnya masih mengandung bakteri tanpa diikuti gejala
klinis (asimtomatik). Penderita ini disebut sebagai pembawa atau karier. Meski
tidak lagi menderita penyakit demam tifoid, orang ini masih dapat menularkan
penyakit pada orang lain (Sudoyo, 2016).
Cara penularan tifoid adalah melalui melalui fecal-oral. Bakteri
Salmonella typhi menular ke manusia melalui makanan dan minuman yang
dikonsumsi yang telah tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap
tifoid (Kemenkes RI, 2006). Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau
minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut melewati lambung dengan
suasana asam banyak bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan
mencapai usus halus, melekat pada sel mukosa kemudian menginvasi dan
menembus dinding usus tepatnya di ileum dan jejunum. Sel M, sel epitel yang
melapisi Peyer’s patch merupakan tempat bertahan hidup dan multiplikasi
Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus menimbulkan
tukak pada mukosa usus. Tukak dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi
usus. Kemudian mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada
yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan Reticulo Endothelial
System (RES) di organ hati dan limpa. Setelah periode inkubasi, Salmonella
10
typhi keluar dari habitatnya melalui duktus torasikus masuk ke sirkulasi
sistemik mencapai hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s
patch dari ileum terminal. Ekskresi bakteri di empedu dapat menginvasi ulang
dinding usus atau dikeluarkan melalui feses. Endotoksin merangsang makrofag
di hati, limpa, kelenjar limfoid intestinal, dan mesenterika untuk melepaskan
produknya yang secara lokal menyebabkan nekrosis intestinal ataupun sel hati
dan secara sistemik menyebabkan gejala klinis pada demam tifoid (Ardiaria,
2019).
Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada
penularan demam tifoid adalah (Kemenkes RI, 2006) :
1. Personal hygiene yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak
terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh
anak.
2. Hygiene makanan dan minuman yang rendah.
Faktor ini paling berperan pada penularan demam tifoid. Banyak sekali
contoh untuk ini diantaranya: makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran yang
dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar dengan debu,
sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak masak, dan sebagainya.
3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah,
kotoran, dan sampah, yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.
4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.
11
6. Pasien atau karier demam tifoid yang tidak diobati secara sempurna.
7. Belum membudaya program imunisasi untuk demam tifoid
2.1.8 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid, dapat ditentukan melalui
tiga dasar diagnosis, yaitu berdasar diagnosis klinis, diagnosis mikrobiologis,
dan diagnosis serologis (Soedarto, 2015).
2.1.8.1 Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan
fisik untuk mendapatkan sindrom klinis demam tifoid. Diagnosis klinis
adalah diagnosis kerja yang berarti penderita telah mulai dikelola sesuai
dengan managemen demam tifoid (Kemenkes RI, 2006).
2.1.8.2 Diagnosis Mikrobiologis
Metode ini merupakan metode yang paling baik karena spesifik
sifatnya. Pada minggu pertama dan minggu kedua biakan darah dan
biakan sumsum tulang menunjukkan hasil positif, sedangkan pada
minggu ketiga dan keempat hasil biakan tinja dan biakan urine
menunjukkan positif kuat (Soedarto, 2015).
2.1.8.3 Diagnosis Serologis
Tujuan metode ini untuk memantau antibodi terhadap antigen O
dan antigen H, dengan menggunakan uji aglutinasi Widal (Soedarto,
2015). Antigen somatik, atau "O" (Ohne), yang terletak di lapisan luar
tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini
tahan terhadap pemanasan 100 °C selama 2–5 jam, alkohol dan asam
12
yang encer. Sedangkan Antigen flagellar, atau antigen "H" (Hauch),
terbuat dari protein yang disebut flagellin. merupakan antigen yang
terletak di flagela, fimbriae atau fili Salmonella typhi dan berstruktur
kimia protein. Salmonella typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal
yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60 °C dan pada pemberian alkohol atau asam.
• Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu): dinyatakan
positif (+).
• Titer 1/160: masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah
ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan positif (+).
• Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung
dinyatakan positif (+) pada pasien dengan gejala klinis khas.
(Bakr WM et al., 2011).
2.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan demam tifoid ada tiga, yaitu pemberian antibiotik,
istirahat dan perawatan, dan diet dan terapi penunjang (Sudoyo, 2016).
2.1.9.1 Pemberian Antibiotik
Terapi ini dimaksudkan untuk membunuh kuman penyebab
tifoid. Obat yang sering dipergunakan adalah (Kemenkes RI, 2006):
1. Kloramfenikol
Dewasa : 4 x 500 mg (2 gr) selama 14 hari
Anak : 50-100 mg/Kg BB/hr. Maksimal 2 gr selama 10-14
hari dibagi 4 dosis.
13
2. Seftriakson
Dewasa : 2-4 gr/hr selama 3-5 hari
Anak : 80 mg/Kg BB/hr. Dosis tunggal selama 5 hari
3. Ampisilin dan Amoksisilin
Dewasa : 3-4 gr/hr selama 14 hari
Anak : 100 mg/Kg BB/hr selama 10 hari
4. TMP – SMX (Kotrimoksasol)
Dewasa : 2 x (160-800) mg selama 14 hari
Anak : TMP 6-10 mg/Kg BB/hr atau SMX 30-50 mg/Kg/hr
selama 10 hari
5. Quinolone
- Siprofloksasin : 2 x 500 mg 7 hari
- Ofloksasin : 2 x (200-400) 7 hari
- Pefloksasin : 1 x 400 mg 7 hari
- Fleroksasin : 1 x 400 mg 7 hari
6. Cefixime
Anak : 15-20 mg/Kg BB/hr dibagi 2 dosis selama 10 hari
7. Tiamfenikol
Dewasa : 4 x 500 mg
Anak : 50 mg/Kg BB/hr selama 5-7 hari bebas panas
2.1.9.2 Istirahat dan Perawatan
Tirah baring dan perawatan bertujuan untuk mencegah untuk
mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya
14
ditempat seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air
besarakan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah
decubitus dan pneumonia ortostatik serta personal hygiene tetap perlu
diperhatikan dan dijaga (Sudoyo, 2016).
2.1.9.3 Diet dan Terapi Penunjang
Penatalaksanaan ini untuk mengembalikan rasa nyaman dan
kesehatan pasien secara optimal. Pemberia diet diatur secara bertahap
untuk menghindari komplikasi pendarahan saluran cerna atau perforasi
usus. Pada tahap awal penderita diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang
perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien
(Sudoyo, 2016).
2.1.10 Cara Pencegahan
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan
kejadian luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek mulai dari
segi kuman Salmonella typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu (host)
serta faktor lingkungan. Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk
memutuskan transmisi tifoid, yaitu:
15
2.1.10.1 Identifikasi dan Eradikasi Salmonella typhi pada Pasien
Demam Tifoid Asimtomatik, Karier, dan Akut
Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran
maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instalasi
atau swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti
pengelola sarana makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga,
restoran, hotel sampai pabrik beserta distributornya. Sasaran lainnya
adalah terkait dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas
kesehatan,guru, petugas kebersihan, pengelola sarana umum lain
(Sudoyo, 2016).
2.1.10.2 Pencegahan Transmisi Langsung dari Penderita Terinfeksi
Salmonella typhi Akut maupun Karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah
dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman
Salmonella typhi (Sudoyo, 2016).
2.1.10.3 Proteksi pada Orang yang Beresiko Tinggi Tertular dan
Terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara
vaksinasi demam tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik.
Sasaran vaksinasi tergantung daerah endemis atau non-endemis, tingkat
resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan
jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko yaitu golongan
imunokompromais maupun golongan rentan (Sudoyo, 2016).
16
Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu:
a. Daerah non-endemik
Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi demam tifoid
i. Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
ii. Penyaringan pengelola pembuatan atau distributor atau
penjualan makanan-minuman
iii. Pencarian dan pengobatan kasus demam tifoid karier
Bila ada kejadian epidemi demam tifoid:
i. Pencarian dan eliminasi sumber penularan
ii. Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
iii. Penyuluhan hygiene dan sanitasi pada populasi umum
daerah tersebut
b. Daerah endemik
i. Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan
minuman yang memenuhi standar prosedur kesehatan,
perebusan > 57 oC, iodisasi, dan klorinisasi.
ii. Masyarakat pengunjung ke daerah ini harus minum air
yang telah memenuhi pendidihan, menjauhi makan segar
(sayur atau buah)
iii. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat
maupun masyarakat pengunjung.
(Sudoyo, 2016).
17
2.2 Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan (environmental sanitation) adalah upaya pengendalian
semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat
menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan
daya tahan hidup manusia (WHO, 2014). Sanitasi lingkungan adalah cara dan usaha
individu atau masyarakat untuk memantau dan mengendalikan lingkungan hidup
eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat mengancam
kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2013).
Manusia dalam kehidupan sehari-harinya mempunyai ketergantungan yang
sangat erat dengan lingkungan atau ekosistemnya. Berbagai kebutuhan primer atau
kebutuhan biologisnya, tergantung dari lingungannya. Contohnya, manusia butuh
oksigen (O2) untuk bernapas, air (H2O) untuk minum, dan pangan dari aneka
ragam tumbuhan dan hewan (Iskandar, 2014).
Dibanyak instansi layanan kesehatan di negara berkembang, banyak pasien
tidak memilki akses ke fasilitas sanitasi yang ada. Ekskreta biasanya dibuang di
lingkungan yang beresiko tinggi menimbulkan infeksi baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap orang lain. Ekskreta manusia merupakan media
utama dalam penyebaran dan penularan berbagai jenis penyakit menular, dan
ekskreta dari pasien rumah sakit diperkirakan mengandung konsentrasi patogen
yang jauh lebih tinggi sehingga jauh lebih infeksius dibandingkan ekskreta dari
rumah tangga. Hal tersebut menekankan pentingnya penyediaan akses ke fasilitas
sanitasi yang adekuat di setiap instansi layanan kesehatan, dan pentingnya
menangani permasalahan tersebut dengan sangat cermat. Jalur penularan fecal-oral
18
dan jalur lainnya seperti penetrasi kulit harus diputus untuk mencegah
kelangsungan infeksi dan terjadinya infeksi ulangan pada penduduk (Pruss, 2016).
Usaha – usaha yang dapat dilakukan untuk penyehatan lingkungan fisik antara
lain penyediaan air bersih, mencegah terjadinya pencemaran udara, air dan tanah
serta memutuskan rantai penularan penyakit infeksi dan lain- lain yang dapat
membahayakan serta menimbulkan kesakitan pada manusia atau masyarakat
(Chandra, 2013).
2.2.1 Faktor Sanitasi Lingkungan yang Mempengaruhi Demam Tifoid
2.2.1.1 Sanitasi Sumber air
Air adalah zat yang paling penting dalam kehidupan setelah
udara,¾ bagian tubuh kita terdiri dari air dan tidak seorang pun dapat
bertahan hidup lebih dari 4-5 hari tanpa minum air. Selain itu, air
digunakan juga untuk masak, mencuci, mandi, membersihkan kotoran
yang ada di sekitar rumah, untuk keperluan industri, pertanian, pemadam
kebakaran, tempat rekreasi, transportas dan lain-lain. Penyakit-penyakit
yang menyerang manusia dapat juga ditularkan dan disebabkan melalui
air sehingga menimbulkan wabah penyakit dimana-mana. Kebutuhan
volume air rata-rata yang diperlukan setiap orang setiap hari berkisar
antara 150-200 liter atau 35-40 galon. Kebutuhan air bervariasi dan
tergantung dengan keadaan iklim, standar kehidupan dan kebiasaan
masyarakat. Ditinjau dari sudut Ilmu Kedokteran Preventif dan
Komunitas, penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi
19
kebutuhan masyarakat karena persediaan air bersih yang terbatas akan
memudahkan timbulnya berbagai penyakit masyarakat (Chandra, 2013).
Setiap rumah tangga harus memiliki persediaan air bersih dalam
jumlah cukup, meskipun kebutuhan air bersih setiap rumah tangga
berbeda-beda. Di daerah yang padat penduduknya, kebutuhan sumber air
bersih tentu saja semakin banyak. Kebutuhan air bersih yang berasal dari
jenis sarana yang dianggap memenuhi persyaratan antara lain melalui
sistem perpipaan, mata air terlindung, sumur terlindung, dan air hujan
terlindung. Namun demikian untuk menjamin tersedianya air bersih yang
berkualitas secara berkala Departemen Kesehatan melakukan
pemantauan terhadap kualitas sampel air minum dari PDAM maupun air
bersih dari jenis sarana lainnya yang dilaksanakan secara berkala (Aliya,
2019).
Sarana air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak
kalah pentingnya berkaitan dengan kejadian demam tifoid. Prinsip
penularan demam tifoid adalah melalui fecal-oral. Kuman berasal dari
tinja atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang
tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh melalui air dan makanan.
Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara massal sering
bertanggung jawab terhadap terjadinya KLB. Di daerah endemik, air
yang tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit demam
tifoid (Widoyono, 2011).
20
Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai
sumber air bersih bagi penghuni rumah yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari sehingga perlu diperhatikan dalam pendirian
sarana air bersih. Apabila sarana air bersih dibuat memenuhi syarat teknis
kesehatan diharapkan tidak ada lagi pencemaran terhadap air bersih,
maka kualitas air yang diperoleh menjadi baik. Persyaratan kesehatan
sarana air bersih sebagai berikut :
1. Sumur Gali (SGL) : jarak sumur gali dari sumber pencemar
minimal 11 meter, lantai harus kedap air, tidak retak atau
bocor, mudah dibersihkan, tidak tergenang air, tinggi bibir
sumur minimal 80 cm dari lantai, dibuat dari bahan yang kuat
dan kedap air, dibuat tutup yang mudah dibuat.
2. Sumur Pompa Tangan (SPT) : sumur pompa berjarak minimal
11 meter dari sumber pencemar, lantai harus kedap air minimal
1 meter dari sumur, lantai tidak retak atau bocor, SPAL harus
kedap air, panjang SPAL dengan sumur resapan minimal 11
meter, dudukan pompa harus kuat.
3. Penampungan Air Hujan (PAH) : talang air yang masuk ke bak
PAH harus dipindahkan atau dialihkan agar air hujan pada 5
menit pertama tidak masuk ke dalam bak.
4. Perlindungan Mata Air (PMA) : sumber air harus pada mata
air, bukan pada saluran air yang berasal dari mata air tersebut
yang kemungkinan tercemar, lokasi harus berjarak minimal 11
21
meter dari sumber pencemar, atap dan bangunan rapat air serta
di sekeliling bangunan dibuat saluarn air hujan yang arahnya
keluar bangunan, pipa peluap dilengkapi dengan kawat kaca.
Lantai bak harus rapat air dan mudah dibersihkan.
5. Perpipaan : pipa yang digunakan harus kuat tidak mudah
pecah, jaringan pipa tidak boleh terendam air kotor, bak
penampungan harus rapat air dan tidak dapat dicemari oleh
sumber pencemar, pengambilan air harus memalui kran
(Waluyo, 2011).
Di beberapa wilayah di Indonesia, air tanah masih menjadi
sumber air bersih utama. Air tanah yang masih alami tanpa gangguan
manusia, kualitasnya belum tentu bagus. Terlebih lagi yang sudah
tercemar oleh aktivitas manusia, kualitasnya akan semakin menurun.
Pencemaran air tanah antara lain disebabkan oleh kurang teraturnya
pengelolaan lingkungan. Beberapa sumber pencemar yang menyebabkan
menurunnya kualitas air tanah antara lain sampah dari tempat
pembuangan akhir (TPA), tumpahan minyak, kegiatan pertanian,
pembuangan limbah cair pada sumur, pembuangan limbah ke tanah, dan
pembuangan limbah radioaktif (Kodoatie & Roestam, 2010).
Dari segi kualitas, banyak sumber-sumber persediaan air bersih
yang saat ini sudah tercemar oleh berbagai jenis limbah, baik domestik,
urban maupun industri. karena tercemar, kualitas air tersebut tidak
22
memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan sebagai air konsusmsi
(Kramer et al., 2014).
2.2.1.2 Sarana Pembuangan Tinja
Sarana pembuangan tinja yaitu tempat yang biasa digunakan
untuk buang air besar, berupa jamban. Jamban adalah suatu ruangan yang
mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas
tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa yang dilengkapi
dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya.
Pembuatan jamban atau kakus merupakan usaha manusia untuk
memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang
sehat. Jamban sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut (Proverawati & Rahmawati, 2012):
1. Tidak mencemari sumber air bersih (jarak antara sumber air
bersih dengan lubang penampungan minimal 10 meter).
2. Tidak berbau.
3. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus. Tidak
mencemari tanah disekitarnya.
4. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.
5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung.
6. Penerangan dan ventilasi yang cukup.
7. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai
8. Tersedia air, sabun dan alat pembersih.
23
2.2.2 Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga
Proses pengamanan limbah cair yang aman pada tingkat rumah tangga
untuk menghindari terjadinya genangan air limbah yang berpotensi
menimbulkan penyakit berbasis lingkungan. Untuk menyalurkan limbah cair
rumah tangga diperlukan sarana berupa sumur resapan dan saluran
pembuangan air limbah rumah tangga. Limbah cair rumah tangga yang berupa
tinja dan urine disalurkan ke tangki septik yang dilengkapi dengan sumur
resapan. Limbah cair rumah tangga yang berupa air bekas yang dihasilkan dari
buangan dapur, kamar mandi, dan sarana cuci tangan disalurkan ke saluran
pembuangan air limbah. Prinsip pengamanan limbah cair rumah tangga adalah
(Permenkes RI, 2014):
a. Air limbah kamar mandi dan dapur tidak boleh tercampur dengan air
dari jamban
b. Tidak boleh menjadi tempat perindukan vektor
c. Tidak boleh menimbulkan bau
d. Tidak boleh ada genangan yang menyebabkan lantai licin dan rawan
kecelakaan
e. Terhubung dengan saluran limbah umum/got atau sumur resapan.
2.2.2.1 Ekskreta Manusia
Merupakan hasil dari proses akhir yang berlangsung dalam tubuh
manusia. Terjadi pemisahan dan pembuangan zat-zat yang tidak
dibutuhkan oleh tubuh. Zat-zat yang tidak dibutuhkan tersebut berbentuk
tinja dan air seni. Dinegara-negara yang sedang berkembang, masih
24
banyak terjadi pembuangn tinja sembarangan akibat tingkat sosial
ekonomi yang rendah, pengetahuan yang kurang dalm bidang kesehatan
lingkungan dan kebiasaan pembuangan tinja yang buruk secara turun
temurun. Hal ini terjadi terutama pada masyarakat di daerah pedesaan
dan daerah-daerah kumuh di perkotaan (Chandra, 2013).
Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh
pembuangan kotoran yang tidak baik adalah timbunya polusi tanah,
polusi air, kontaminasi makanan dan berkembangbiaknya lalat. Penyakit-
penyakit yang dapat ditimbulkan adalah demam tifoid, paratifoid,
disentri, diare, kolera, hepatitis virus dan beberapa penyakit infeksi
gastrointestinal serta infestasi parasit lainnya. Penyakit-penyait ini tidak
hanya menjadi menimbukan masalah pada angka kesakitan, mortalitas,
dan harapan hidup tetapi juga merupakan penghalang tercapainya
kemajuan dalam bidang sosial ekonomi (Permenkes RI, 2014).
2.2.3 Proses Penularan Penyakit
Proses penularan penyakit dari sumber atau reservoar infeksi ke orang
yang rentan.
2.2.3.1 Reservoar Infeksi
Merupaan tempat persinggahan agen penyakit untuk hidup dan
berkembang serta bertahan hidup, di kenal ada 2 reservoar:
a. Reservoar pada Manusia
Pada penyakit menular, sumber infeksi berasal dari orang yang
sedang mengalami infeksi dapat berupa kasus atau karier.
25
Kasus dapat berbentuk subklinis dan klinis. pada kasus sub
klinis, tidak ditemukan gejala penyakit atau bersifat
asimtomatis tetapi berpotensi untuk menularkan infeksi
kepada orang lain. Contoh : penyakit poliomielitis dimana
karier terjadi karena proses penyembuhhan tidak sempurna
dan secara bakteriologis agen penyakit masih ada dalam tubuh.
contohnya pada penyakit demam tifoid.
b. Reservoar Hewan
Sumber infeksi dapat berasal dari hewan atau burung dan
berupa kasus atau karier seperti pada manusia (Chandra,
2013).
2.2.3.2 Penyebaran Penyakit Menular
Cara penyebaran atau mode of transmission penyakit infeksi
kepada manusia yang sensitif dapat melalui beberapa cara, baik
secara langsung atau tdak langsung dari satu orang ke orang lain.
Ditinjau dari aspek epidemiologi, cara penyebarannya di
masyarakat dapat bersifat lokal, regional, maupun internasional.
(Chandra, 2013).
a. Media Langsung dari Orang ke Orang (Permukaan Kulit)
Jenis penyakit yang ditularkan antara lain :
- Penyakit kelamin
- Trakoma
- Antraks
26
- Penyakit pada kaki dan mulut
- Skabies
- Gas-gangren
- Rabies
- Erisipelas
- Infeksi luka Aerobik
- HIV/AIDS
b. Melalui Media Udara
Jenis Penyakit yang di tularkan antara lain :
- TBC Paru
- Varricella
- Difteri
- Influenza
- Variola
- Morbili
- Demam skarlet
- Mumps
- Rubella
- Pertusis
c. Melalui Media Air
Agen penyakit :
- Virus → hepatitis virus, poliomyelitis
- Bakteri → Kolera, disentri, tifoid, diare
27
- Protozoa → amubiasis, giardiasis
- Helmintik → askariasis, penyakit cacing cambuk, penyakit
hydatid
- Leptospira → penyakit Weil
2.3 Personal Hygiene
2.3.1 Definisi
Personal hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal artinya
perorangan dan hygiene berarti sehat. Personal hygiene merupakan ciri
berperilaku hidup sehat. Beberapa kebiasaan berperilaku hidup sehat antara
lain kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah BAB dan kebiasaan
mencuci tangan dengan sabun sebelum makan. Peningkatan personal hygiene
adalah salah satu dari program pencegahan yakni perlindungan diri terhadap
penularan tifoid (Kemenkes RI, 2006).
2.3.2 Faktor Personal Hygiene yang Mempengaruhi Kejadian Demam
Tifoid
2.3.2.1 Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun setelah Buang Air
Besar
Tangan adalah bagian tubuh manusia yang paling sering
berhubungan dengan mulut dan hidung secara langsung sehingga tangan
merupakan salah satu penghantar utama masuknya mikroorganisme ke
dalam tubuh manusia. Cuci tangan harus dilakukan dengan
menggunakan air bersih dan sabun. Cuci tangan memakai sabun bagi
sebagian besar masyarakat sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari,
28
tetapi bagi sebagian mayarakat lainnya cuci tangan memakai sabun
belum menjadi kegiatan rutin, terutama bagi anak-anak (Burton, 2011).
2.3.2.2 Kebiasaan Mencuci Tangan dengan Sabun Sebelum Makan
Budaya cuci tangan yang benar adalah kegiatan terpenting. Setiap
tangan yang dipergunakan untuk memegang makanan, maka tangan
harus sudah bersih. Tangan perlu dicuci karena ribuan jasad renik, baik
flora normal maupun cemaran, menempel ditempat tersebut dan mudah
sekali berpindah ke makanan yang tersentuh. Pencucian dengan benar
telah terbukti berhasil mereduksi angka kejadian kontaminasi dan KLB
(Arisman, 2014). 6 langkah cuci tangan yang benar menurut WHO
(2009) yaitu :
1. Tuang cairan handrub pada telapak tangan kemudian usap dan
gosok kedua telapak tangan secara lembut dengan arah memutar.
2. Usap dan gosok juga kedua punggung tangan secara bergantian
3. Gosok sela-sela jari tangan hingga bersih
4. Bersihkan ujung jari secara bergantian dengan posisi saling
mengunci
5. Gosok dan putar kedua ibu jari secara bergantian
6. Letakkan ujung jari ke telapak tangan kemudian gosok perlahan
29
(WHO, 2009)
Gambar 2.3 Langkah mencuci tangan pakai sabun
Penularan bakteri Salmonella typhi salah satunya melalui jari
tangan atau kuku. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan sebelum makan maka kuman
Salmonella typhi dapat masuk ke tubuh orang sehat melalui mulut,
selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit (Brainard et al., 2018).
2.3.2.3 Kebiasaan Memotong Kuku
Seperti halnya kulit, tangan kaki, dan kuku harus dipelihara dan
ini tidak terlepas dari kebersihan lingkungan sekitar dan kebiasaan hidup
30
sehari-hari. Tangan, kaki, dan kuku yang bersih menghindarkan kita dari
berbagai penyakit. Kuku dan tangan yang kotor dapat menyebabkan
bahaya kontaminasi dan menimbulkan penyakit-penyakit tertentu. Untuk
menghindari bahaya kontaminasi maka harus membersihkan tangan
sebelum makan, memotong kuku secara teratur, membersihkan
lingkungan, dan mencuci kaki sebelum tidur. Adapun tujuan perawatan
kuku yaitu membersihkan kuku, mengembalikan batas-batas kulit ditepi
kuku ke keadaan normal serta mencegah terjadinya perkembangan
kuman penyakit maka dari itu perlu perawatan kuku dengan cara
menggunting kuku sekali seminggu dan menyikat kuku menggunakan
sabun. (Maryunani, 2013).