BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kanker Serviks dan...
Transcript of BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Kanker Serviks dan...
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kanker Serviks dan Pap Smear
Kanker merupakan gangguan pada gen atau proses pertumbuhan sel yang
tidak terkendali yang dapat menyusup ke jaringan tubuh normal sehingga
mempengaruhi jaringan tubuh sehingga mempengaruhi fungsi tubuh (Diananda,
2008).
Kanker serviks adalah kanker yang terjadi pada leher rahim daerah organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara
rahim (uterus) dengan liang seggama (Suharja, 2000 ).
Kanker serviks adalah suatu peristiwa tumbuhnya sel-sel tidak normal pada
leher rahim. Kanker serviks merupakan kanker yang tersering dijumpai di Indonesia
baik diantara kanker pada perempuan dan pada semua jenis kanker (Tapan, 2005).
2.2. Pemeriksaan Pap Smear
Pap Smear test adalah suatu metode pemeriksaan sel-sel yang diambil dari
leher rahim dan kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk melihat perubahan-
perubahan yang terjadi pada sel (Riano, 2006).
Pap smear sering juga disebut Pap test, ditemukan pertama sekali oleh dokter
yang bernama George N papanicolau pada tahun 1928, sehingga dinamakan pap
smear Test. Sitologi ginekologi pap smear adalah ilmu yang mempelajari sel-sel yang
Universitas Sumatera Utara
lepas atau deskuamasi dari alat kandungan wanita, meliputi sel-sel yang lepas dari
vagina, serviks, endoservik, dan endometrium (Depkes, 2007).
Suatu pemeriksaan ginekologi harus dilengkapi dengan pemeriksaan sitologi
apusan pap smear karena dari pemeriksaan sitologi ini dapat diketahui ada tidaknya
proses infeksi, kelainan pra kanker dan kanker di dalam vagina dan serviks. Pap
smear merupakan suatu skrining untuk mencari abnormalitas dari wanita yang tidak
mempunyai keluhan sehingga dapat mendeteksi perubahan sel sebelum berkembang
menjadi kanker atau kanker stadium dini. Tindakan pap smear sangat mudah, cepat
dan tidak atau relatif kurang rasa nyerinya (Depkes, 2007).
Deteksi dini kanker serviks adalah upaya yang dilakukan untuk pemeriksaan
keadaan leher rahim sedini mungkin sehingga keadaan/perubahan pada leher rahim
dapat diketahui lebih awal dan apabila terdapat kelainan dapat diatasi sesegera
mungkin (Price, 2006).
2.2.1. Klasifikasi pemeriksaan Pap Smear
Pemeriksaan cytologis dari smear sel-sel yang diambil dari serviks, untuk
melihat perubahan-perubahan sel yang mengindikasikan terjadinya inflamasi,
displasia atau kanker. Klasifikasi pemeriksaan pap smear, sistem Bethesda (Price,
2006: Depkes 2007) adalah :
a. Atypical Squamous Cell of Underterminet Significance (ASC-US) yaitu sel
skuamosa atipikal yang tidak dapat ditentukan secara signifikan. Sel
skuamosa adalah datar, tipis yang membentuk permukaan serviks.
Universitas Sumatera Utara
b. Low-grade Squamous Intraephitelial Lesion (LSIL) , yaitu tingkat rendah
berarti perubahan dini dalam ukuran dan bentuk sel. Lesi mengacu pada
daerah jaringan abnormal, intaepitel berarti sel abnormal hanya terdapat pada
permukaan lapisan sel-sel.
c. High-grade Squamosa Intraepithelial (HSIL) berarti bahwa terdapat
perubahan yang jelas dalam ukuran dan bentuk abnormal sel-sel (prakanker)
yang terlihat berbeda dengan sel-sel normal.
d. High-grade Squamosa Intraepithelial atypical glandular cel (HSIL AGC)
e. Adenocarsinoma in situ (AIS)
2.2.2. Manfaat Pap Smear
Pap smear dilakukan untuk mendeteksi dini kanker serviks dan sebagai uji
penapisan untuk mendeteksi perubahan neoplastik. Pulasan yang abnormal dapat
dilakukan biopsy untuk mendapatkan jaringan untuk pemeriksaan sitologi.
Menurut Sumaryati (2003), manfaat dari pemeriksaan pap smear adalah untuk
mendeteksi dini tentang adanya radang pada rahim dan tingkat radangnya, adanya
kelainan degeneratif pada rahim, ada/tidaknya tanda-tanda keganasan (kanker) pada
rahim seperti : (a) Mengetahui penyebab radang, (b) Untuk menyelidiki infeksi-
infeksi tertentu dan penyakit yang disebarkan secara seksual, (c) Untuk menentukan
penanganan dan pengobatan.
Universitas Sumatera Utara
2.2.3. Wanita yang perlu melakukan Pap Smear
Wanita yang perlu melakukan pap smear adalah : (a) wanita menikah atau
melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun, (b) wanita muda memiliki mulut
rahim yang belum matang, ketika melakukan hubungan seksual terjadi gesekan yang
dapat menimbulkan luka kecil, yang dapat mengundang masuknya virus, (c) wanita
sering berganti-ganti pasangan seks, akan menderita infeksi di daerah kelamin,
sehingga dapat mengundang virus HPV dan herves genitalis, (d) wanita yang sering
melahirkan, kanker serviks banyak dijumpai pada wanita yang sering melahirkan
disebabkan oleh trauma persalinan, perubahan hormonal dan nutrisi selama
kehamilan, (e) wanita perokok, memiliki risiko dibandingkan dengan wanita tidak
merokok, karena rokok akan menghasilkan zat karsinogen yang menyebabkan
turunnya daya tahan di daerah serviks (Depkes, 2007; Aziz, 2002).
Rekomendasi terbaru dari American Collage of Obstetricions and
gynecologist adalah melakukan pemeriksaan pelvis dan penapisan pulasan pap setiap
tahun bagi semua perempuan yang telah aktif secara seksual atau telah berumur 21
tahun. Setelah tiga kali atau lebih secara berturut-turut hasil pemeriksaan tahunan
ternyata normal, uji pap dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih jarang atas
kebijakan dokter ( Price, 2006).
Menurut The American Cancer Society 2004 (dalam Depkes 2007) pap smear
dapat dilakukan secara rutin pada seorang wanita 3 tahun sesudah melakukan
hubungan seksual pertama kali atau tidak melebihi 21 tahun. Pemeriksaan dilakukan
setiap tahun (peralatan pap smear konvensional) atau setiap 2 tahun (dengan
Universitas Sumatera Utara
peralatan liquid-based) sampai umur 30 tahun. Pemeriksaan dilakukan setiap 2-3
tahun, bila 3 kali berturut-turut hasil normal pemeriksaan dapat dilakukan dengan
frekuensi yang lebih jarang.
Menurut Tjokronegoro (2002), Pap smear pada wanita yang berumur 35-40
tahun minimal dilakukan sekali, kalau fasilitas tersedia dilakukan setiap 10 tahun
pada umur 35-55 tahun, bila fasilitas tersedia lebih maka dapat dilakukan setiap 5
tahun pada wanita berumur 35-55 tahun. Idealnya atau jadwal yang optimal setiap 3
tahun pada wanita yang berumur 25-60 tahun.
Sasaran skrining ditentukan oleh Departemen Kesehatan masing-masing
negara, WHO (2002 dalam Wilopo 2010) merekomendasikan agar program skrining
pada wanita dengan beberapa persyaratan sebagai berikut :
a) Usia 30 tahun ke atas dan hanya mereka yang berusia lebih muda manakala
program telah mencakup seluruh sasaran vaksinasi.
b) Skrining tidak perlu dilakukan pada perempuan usia kurang 25 tahun.
c) Apabila setiap wanita hanya dapat dilakukan pemeriksaan sekali selama umur
hidupnya (misalnya karena keterbatasan sumber dana yang dimiliki
pemerintah atau swasta), maka usia paling ideal untuk melakukan skrining
adalah pada usia 35-45 tahun.
d) Pada perempuan berusia diatas 50 tahun tindakan skrining perlu dilakukan
setiap 5 tahun sekali.
e) Pada perempuan berusia 25-49 tahun tindakan skrining dilakukan setiap 3
tahun sekali.
Universitas Sumatera Utara
f) Pada usia berapapun skrining setiap tahun tidak dianjurkan.
g) Bagi mereka yang berusia diatas 65 tahun tidak perlu melakukan skrining
apabila 2 kali skrining sebelumnya hasilnya negatif.
2.2.4. Dasar Pendekatan Standart Dalam Pap Smear sebagai Screening Test
Cerviks smear
Evaluasi yang tidak Evaluasi yang
Memuaskan memuaskan
h) i) Negatif LSIL HSIL AGC atau j) untuk intraepiteli atau atau sel malignant k) al lesion ASC-US ASC-H (sel squamous
atau carcinoma atau malignancy adenocarcinoma atau endocervical AIS
Lakukan pemeriksaan Pap Smear Ulang jika hasil tidak memuaskan
l)
Ulang pemeriksaan Smear antara
6 bulan -1 tahun
Normal LSIL ASC-US HSIL
Tinjau kembali setelah 3 tahun
Lakukan pemeriksaan Colposcopy dan biopsy
Rujuk ke RS untuk investigasi dan manajemen lebih jauh
Gambar 2.1. Alur Penatalaksanaan Hasil Pap Smear.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5. Bahan Pemeriksaan Sitologi Pap Smear
Bahan pemeriksaan terdiri atas sekret vagina, sekret servikal (eksoserviks),
sekret endo servikal, sekret endometrial, sekret fornik posterior ( Depkes, 2007).
Jangan melakukan pap smear pada saat menstruasi karena sel-sel darah merah
mengaburkan sel-sel epitel pada pemeriksaan mikroskop.
2.3. Faktor Risiko kanker serviks
2.3.1. Umur
Umur adalah lamanya hidup seseorang yang telah dilalui, umur reproduksi
sehat adalah 20-35 tahun, menurut Veralls (2003) wanita umur 35-55 mempunyai
risiko tinggi untuk timbulnya kanker serviks .
Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa puncak terjadinya infeksi HPV
berada dalam kelompok seksual aktif umur 16-25 tahun. Penelitian di Amerika
Serikat didapatkan hasil bahwa adanya peningkatan infeksi HPV tampak
berhubungan dengan rendahnya pendidikan dan rendahnya status sosial ekonomi
(Wahyuni, 2000 ).
Kejadian kanker serviks pada usia muda disebabkan karena sudah melakukan
aktivitas seksual pada usia muda, menurut Price (2006), puncak karsinoma adalah
usia 20-30 tahun. Semakin muda usia (< 20 tahun) seorang wanita melakukan
hubungan seksual semakin besar risiko menderita kanker leher rahim (Tambunan,
1991). Menurut Rasjidi (2007), Kanker Serviks berhubungan kuat dengan usia mulai
Universitas Sumatera Utara
melakukan hubungan seks, risiko meningkat lebih dari sepuluh kali bila hubungan
seks pertama di bawah umur 15 tahun.
2.3.2. Pekerjaan
Pekerjaan adalah aktivitas rutin yang dilakukan diluar maupun di dalam
rumah yang menghasilkan imbalan materi maupun uang. Pekerjaan lebih banyak
dilihat dari kemungkinan keterpaparan khusus dan derajat keterpaparan tersebut serta
besarnya risiko, menurut sifat pekerjaan juga akan berpengaruh pada lingkungan
kerja dan sifat sosial ekonomi karyawan pada pekerjaan tertentu (Notoatmojo, 2003).
Menurut Teheru (1998) terdapat hubungan antara kanker serviks dengan
pekerjaan, dimana wanita pekerja kasar seperti buruh, petani memperlihatkan 4 kali
lebih mungkin terkena kanker serviks dibandingkan wanita pekerja ringan atau
bekerja di kantor. Dua Kejadian yang terpisah memperlihatkan ada hubungan antara
kanker serviks dengan pekerjaan. Para istri pekerja kasar 4 kali lebih mungkin kena
kanker serviks dibandingkan dengan para istri pekerja kantor atau pekerja ringan,
kebanyakan dari kelompok yang pertama ini diklasifikasikan ke dalam kelompok
sosial ekonomi rendah, yang kemungkinan berhubungan dengan standar kebersihan
yang tidak baik.
Hasil penelitian Moegni (2006) di Poliklinik Kebidanan dan Kandungan di
RSUPN CM dari 102 responden yang terbanyak adalah tidak bekerja (ibu rumah
tangga) yaitu sebesar 55%.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan ukuran yang sering digunakan untuk melihat status
sosial ekonomi pada suatu kelompok masyarakat. Semakin baik kondisi status
ekonomi masyarakat semakin tinggi persentasi yang digunakan untuk pelayanan
kesehatan. Data survei Kesehatan tahun 1992, memperlihatkan rata-rata penggunaan
pelayanan kesehatan meningkat berhubungan dengan meningkatnya pendapatan, baik
pria maupun wanita (Depkes RI, 2000).
Menurut Veralls (2003) wanita pada sosial ekonomi rendah cenderung
memulai aktivitas seksualnya pada umur lebih muda. Kanker serviks banyak
dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah yang berkaitan dengan gizi dan
imunitas, pada sosial ekonomi rendah umumnya kualitas dan kuantitas makanan
kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.
2.4. Pengetahuan
Menurut Notoadmdjo (2005) Pengetahun adalah hasil penginderaan, atau
hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,
telinga dan sebagainya). Pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan
tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek
tersebut. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera
pendengaran (telinga) dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap
objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya
dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Tahu (Know) diartikan hanya sebagai recall ( memanggil) memori yang telah ada
sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: Tahu bahwa buah tomat
banyak mengandung vitamin C, jamban adalah tempat membuang air besar,
penyakit demam berdarah ditularkan oleh gigitan nyamuk aedes agepty, dan
sebagainya. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat
menggunakan pertanyaan-pertanyaan, misalnya : apa tanda-tanda anak yang
kurang gizi, apa penyebab penyakit TBC, bagaimana cara melakukan
pemberantasan Sarang nyamuk (PSN), dan sebagainya.
b. Memahami (comprehantion)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar
dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterprestasikan secara
benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya : orang yang memahami
cara pemberantasan penyakit demam berdarah bukan hanya sekedar menyebutkan
3 M (mengubur, menutup, dan menguras), tetapi harus dapat menjelaskan
mengapa harus menutup, menguras dan sebagainya tempat-tempat penampungan
air tersebut.
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud
dapat menggunakan atau mengaplikasi prinsip yang diketahui tersebut pada
situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham tentang perencanaan, ia
harus dapat membuat perencanaan program kesehatan di tempat ia bekerja atau
Universitas Sumatera Utara
dimana saja. Orang yang telah paham metode penelitian, ia akan mudah membuat
proposal penelitian dimana saja dan seterusnya.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan,
kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam
suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan sesorang
itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila orang tersebut telah dapat
membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan)
terhadap pengetahuan atas objek tersebut. Misalnya, dapat membedakan antara
nyamuk aedes agepty dengan nyamuk biasa, dapat membuat diagram (flow chart)
siklus hidup cacing kremi dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau
meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen
pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan
untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.
Misalnya, dapat membuat atau meringkas dengan kata-kata atau kalimat sendiri
tentang hal-hal yang telah dibaca atau didengar, dapat membuat kesimpulan
tentang artikel yang telah dibaca .
f. Evaluasi ( Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya
Universitas Sumatera Utara
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang
berlaku di masyarakat. Misalnya, seorang ibu dapat menilai atau menentukan
seorang anak menderita malnutrisi atau tidak, seseorang dapat menilai manfaat
melakukan pap smear, dan sebagainya.
2.5. Sikap
Menurut Thurstone, dkk (1928) dalam Azwar 2007 sikap adalah bentuk
evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan
mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak (Unfavorable) pada objek tersebut.
Menurut H.L. Bloom, dalam Notoatmodjo sikap merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.
Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih
dahulu dari perilaku tertutup. Sikap dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi
yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.
Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu
komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective), komponen konotif
(conative). Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh
individu mengenai apa yang berlaku dan apa yang benar bagi objek sikap. Komponen
afektif menyangkut masalah emosional subjek seseorang terhadap suatu objek sikap
(Thurstone, dkk 1928 dalam Azwar 2007).
Universitas Sumatera Utara
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu : (a) Menerima (receiving) diartikan
bahwa orang atau subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan atau
objek, (b) Merespon (responden) diartikan memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah indikasi dari sikap.
Karena suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah berarti orang menerima ide
tersebut, (c) Menghargai (valuing) bahwa mengajak orang lain untuk mengerjakan
dan mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah indikasi sikap
tingkat tiga. Misalnya seorang ibu mengajak ibu-ibu lain pergi melakukan pap smear,
atau mendiskusikan tentang pap smear adalah suatu bukti bahwa ibu tersebut telah
mempunyai sikap positif terhadap pap smear. (d) Bertanggung jawab (responsible)
yaitu tanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko
yang merupakan sikap yang paling tinggi, misalnya seorang ibu mau melakukan pap
smear, meskipun mendapat tantangan dari suami.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak langsung.
Secara langsung, dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu objek (Notoatmodjo,2003).
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami individu,
sehingga membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang
dihadapannya. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap
adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media
Universitas Sumatera Utara
massa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi
dalam diri individu ( Thurstone, dkk 1928 dalam Azwar 2007).
2.6. Penyakit Kanker Serviks
2.6.1. Epidemiologi Kanker serviks
Kanker serviks merupakan penyebab kematian utama kanker pada wanita di
negara berkembang. Setiap tahun diperkiran terdapat 500.000 kasus kanker serviks
baru di seluruh dunia, 77% berada di Negara sedang berkembang (Suharja, 2000)
Data insiden rate kanker serviks Age Spesific Rate (ASR) di Negara Thailand
didapatkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun (1983-1987) sebesar 33,2%, Korea
Selatan dalam kurun waktu 2 tahun sebesar 23,2%, India dalam kurun waktu tahun
(1982) sebesar 41,7%, sedangkan Myanmar dalam kurun waktu 3 tahun (1978-1980)
sebesar 31,3% (Sarjadi,1995).
Insiden mortalitas kanker serviks secara umum di seluruh dunia menempati
urutan kedua setelah kanker payudara, sedangkan pada Negara berkembang kanker
serviks masih menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian pada wanita
(Suharja, 2005).
Di Indonesia, Kanker serviks menempati urutan kedua setelah kanker
payudara. Diantara tumor ganas ginekologi sebesar 68,90%, diperkirakan terdapat
200 ribu kasus baru pertahunnya. Insidens rate penderita kanker di Indonesia
berjumlah 100 orang per 100.000 penduduk ( Ratna, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) proporsi kematian
meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 4,8%, tahun 1989 menjadi 5%, tahun 1992 serta
4,9% tahun 1995, dan 6,0% tahun 2001 dan kanker merupakan urutan kelima
terbanyak penyebab kematian. Kanker serviks menempati urutan pertama dari
kejadian kanker secara keseluruhan ataupun dari kejadian kanker pada wanita ( SKRT
2002).
Data di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
(RSUPN CM) dari 1717 kasus kanker ginekologi dalam kurun waktu 1989-1992 ( 3
tahun) terdapat 76,2% diantaranya adalah kanker serviks. Kematian karena kanker
serviks di RSUPN CM tahun 1990-1994 sangat tinggi yaitu sebanyak 66,1% dari 327
kasus kematian ginekologi, disusul oleh kanker ovarium 22,6%, penyakit trofoblas
ganas 7,3 %, kanker uterus 2,4 %, kanker vulva 0,9% dan kanker vagina 0,6%
(Sahil,2002).
Diperkirakan sekitar 10-15% displasia ringan hingga sedang berkembang
menjadi kanker invasif dan membutuhkan waktu 3-20 tahun untuk menjadi kanker
invasive (Tambunan 1996).
2.6.2. Etiologi dan faktor yang mempengaruhi kanker serviks
a. Etiologi Kanker serviks
Faktor etiologi Kanker serviks berasal dari kelamin maka beberapa faktor
yang ditularkan melalui hubungan seksual dapat terlibat dalam proses inisiasi
Universitas Sumatera Utara
neoplastik. Ada tiga faktor yang perlu mendapat perhatian yaitu: smegma, infeksi
virus dan spermatozoa.
Smegma adalah sel deskuamasi dan sekresi sebaseus dibawah preputium pada
pria yang tidak disunat, dahulu dianggap sebagai faktor etiologi kanker serviks
ternyata tidak terbukti secara laboratorium maupun epidemiologik .
Human Papiloma Virus (HPV), memegang peranan sebagai faktor pencetus
penyakit ini. Virus ini menimbulkan proliferasi pada permukaan epidermal dan
mukosa. Infeksi HPV sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksual. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium pada sebagian besar pengidap kanker serviks
ditemukan virus HPV tersebut.
Spermatozoa sel skuamosa metaplastik dapat memfagosit sisa-sisa sperma
dan menghubungkan dengan inti sel. Permukaan sel stroma dan bagian subepitel
terdiri dari jalinan DNA yang berhubungan dengan inti sel sehingga dapat
mengontrol sintesa protein. DNA permukaan dipengaruhi antara lain oleh protein
dasar yang terdapat pada kepala sperma dan permukaan virus.
b. Faktor Yang mempengaruhi Kanker serviks
Selain faktor etiologi ada faktor lain yang merupakan faktor yang mempengaruhi
terjadinya kanker serviks
1) Umur
Kanker serviks sering ditemukan pada wanita umur 30-60 tahun dengan
insiden terbanyak pada umu 40-50 tahun, dan akan menurun drastis sesudah
Universitas Sumatera Utara
berumur 60 tahun (Parson). Sedangkan menurut Bendson, penderita kanker
serviks rata-rata dijumpai pada usia 45 tahun serta menurut Davis dan banyak
peneliti lainnya mengemukakan dalam 1000 per 100.000 dari kanker intra
epitelia dijumpai pada usia 30-45 tahun (Yakub,1993).
Periode laten dan fase pra invasif untuk invasif memakan waktu
sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia <35 tahun menunjukkan
kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosa, sedangkan menurut Aziz
(2000), umumnya insiden kanker serviks sangat rendah di bawah umur 20
tahun dan sesudahnya menaik dengan cepat dan menetap pada usia 50 tahun
(Norwitz, 2007).
Menurut Riono (1999) kanker serviks biasanya terjadi pada wanita
yang berumur tetapi bukti statistik menunjukkan bahwa kanker serviks dapat
juga menyerang wanita yang berumur antara 20-30 tahun.
2) Pendidikan
Penelitian Harahap 1983 di RSUPN CM antara tingkat pendidikan
dengan kejadian kanker serviks terdapat hubungan yang kuat, dimana
penderita kanker serviks cenderung lebih banyak terjadi pada wanita yang
berpendidikan rendah dibanding wanita berpendidikan tingggi (88,9%).
Tinggi rendahnya pendidikan berkaitan dengan sosio ekonomi, kehidupan
seks dan kebersihan. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Surbakti E
(2004) pendidikan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian
Universitas Sumatera Utara
kanker serviks OR = 2,012 dengan kata lain yang berpendidikan rendah
merupakan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kanker serviks.
3) Pekerjaan
Menurut Hidayat (1999) terdapat hubungan antara kanker serviks
dengan pekerjaan, dimana wanita pekerja kasar seperti buruh, petani
memperlihatkan 4 kali lebih mungkin terkena kanker serviks dibanding
wanita pekerja ringan atau bekerja di kantor. Dua kejadian yang terpisah
memperlihatkan adanya hubungan antara kanker serviks dengan pekerjaan.
Para istri pekerja kasar 4 kali lebih mungkin terkena kanker serviks
dibandingkan dengan para istri pekerja kantor atau pekerja ringan,
kebanyakan dari kelompok yang pertama ini dapat diklasifikasikan ke dalam
kelompok sosial ekonomi rendah, mungkin standar kebersihan yang tidak baik
pada umumnya faktor sosial ekonomi rendah cenderung memulai aktivitas
seksual pada usia lebih muda.
Wanita dengan sosial ekonomi tinggi dengan wanita dari masyarakat
urban sebagai kelompok risiko rendah, dan wanita dengan sosial ekonomi
yang rendah dengan wanita dari masyarakat rural sebagai wanita yang
berisiko tinggi terhadap kanker serviks, biasanya dikaitkan dengan hygiene,
sanitasi dan pemeliharaan kesehatan masih kurang. Pendidikan rendah, kawin
usia muda, jumlah anak yang tinggi, pekerjaan dan penghasilan tidak tetap,
serta gizi yang kurang akan memudahkan terjadinya infeksi yang
menyebabkan daya imunitas tubuh menurun sehingga menimbulkan risiko
Universitas Sumatera Utara
terjadinya kanker serviks (Hidayat 1999). Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Hibridawati (2001) ditemukan proporsi terbesar penderita
kanker serviks adalah pekerjaan rumah tangga 73,7%.
4) Deteksi dini
Di beberapa Negara maju yang telah cukup lama melakukan program
penyaringan (skrining) melalui pap smear. Di negara maju kesadaran untuk
melakukan pap smear sangat tinggi. Di Amerika pap smear sudah harus
dimulai 3 tahun setelah seseorang melakukan hubungan seksual. Wanita
berusia < 30 tahun harus melakukan skrining sitologi serviks setiap tahun.
Wanita berusia ≥ 30 tahun telah memperoleh hasil pap smear negatif 3 kali
berturut-turut dan tidak memiliki risiko tinggi dapat memperpanjang interval
skrining menjadi setiap 2-3 tahun. Skrining dapat dihentikan pada usia 70
tahun pada wanita dengan risiko rendah. Di Inggris skrining harus dimulai
pada usia 25 tahun. Intervalnya adalah setiap 3 tahun bagi wanita berusia
25-49 tahun. Skrining dapat dihentikan pada usia 64 tahun jika 3 apusan
menunjukkan hasil normal (Tara, 2001).
Pap smear dapat menemukan penyakit pada tingkat prakanker, dan
angka kematian turun secara drastis 50-60%. Di Kanada insiden kanker
serviks turun dari 28,4% menjadi 6,9 %. Sedang mortalitas turun dari 11,4
menjadi 3,3 per 1000 wanita selama 20 tahun program (skrining). Di negara
maju, seperti Jepang, angka kanker serviks dapat ditekan dengan adanya
kesadaran melakukan deteksi dini. Beberapa peneliti mengemukakan dari
Universitas Sumatera Utara
447 kasus kanker, sebesar 1800 kasus ditemukan pada stadium lanjut, dari
keseluruhan wanita yang menderita kanker serviks tidak pernah melakukan
pap smear sebanyak 85% (Aziz,2000; Evennett 2003).
Di Negara-negara Skandinavia dengan melakukan deteksi dini sejak
pertengahan tahun enampuluhan selama 20 tahun (1965-1978) angka
kematian kanker serviks menurun sebesar 50-60% di Kanada insidens kanker
serviks dari 28% menjadi 6,9% dan mortalitas turun dari 11,4% menjadi 3.3
per 100.000 wanita. Sedangkan penelitian di Australia pada penderita dengan
kanker invasif sebesar 35%, dan yang tidak melakukan deteksi dini paling
sedikit 4 tahun sebesar 19,4% dan yang melakukan deteksi dini paling
sedikit 4 tahun terakhir sebesar 21,5% (Aziz 2000).
Di Indonesia, terjadi peningkatan kejadian kanker serviks dalam
jangka waktu 10 tahun terlihat bahwa peringkat 12 menjadi peringkat 6,
setiap tahun diperkirakan terdapat 190.000 penderita baru dan 1/5 akan
meninggal akibat penyakit kanker . Namun angka kematian akibat kanker ini
bisa dikurangi 3-35% bila dilakukan tindakan preventif, skrining dan deteksi
dini. Misalnya dengan melakukan pap smear bagi mereka yang telah aktif
secara seksual dapat menurunkan angka kematian (Dalimartha, 2004).
Menurut Aziz (2003) tingginya angka kematian penderita kanker
serviks di Indonesia disebabkan karena sebagian besar penderita kanker
serviks atau 70% penderita kanker serviks ditemukan pada stadium lanjut.
Pemeriksaan yang paling utama dan deteksi dini kanker serviks adalah
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan Papaniculau Smear (pap smear) khususnya pada perempuan
yang sudah aktif melakukan hubungan seks.
Pap smear adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan mengambil
usapan sel dan lendir leher rahim untuk mengetahui adanya perubahan sel
secara mikroskopis (Depkes 2001). Pap smear bertujuan untuk menemukan
kelainan leher rahim pada fase yang masih dapat diobati sebelum
berkembang menjadi kanker, jika sudah berkembang menjadi kanker
pengobatan menjadi lebih sukar dan mahal.
Pap smear merupakan pemeriksaan sitologi, sederhana cepat dan tidak
sakit dengan tingkat sensitivitas yang cukup baik dan tergolong relatif
murah, efektif menurunkan angka dan kematian yang diakibatkan oleh
kanker serviks. Tiga puluh persen dari penderita kanker serviks, kasus
ditemukan pada saat skrining pap smear. Walaupun hasil test pap smear
telah terbukti bermanfaat bagi penemuan dini kanker serviks namun
penggunaannya secara nasional masih merupakan masalah besar (Aziz,
2002).
5) Usia Pertama Kali Kawin / Melakukan Hubungan Seksual
Perilaku Seksual dari studi epidemiologi kanker serviks skuamosa
berhubungan kuat dengan perilaku seksual seperti multiple mitra seks, dan
usia melakukan hubungan seks pertama. Risiko meningkat lebih dari 10 x
mitra seks 6 atau lebih atau hubunagan seks pertama dibawah umur 15 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Kawin muda berpengaruh terhadap kanker serviks. Penelitian Sandra
Van Loon di RSHS (1996), wanita penderita kanker serviks kawin pertama
kali antara 15-19 tahun. Beberapa sarjana melihat adanya hubungan erat
antara kanker serviks dengan kawin muda. Wanita kawin muda atau pertama
kali koitus pada umur 15-20 tahun lebih sering terkena kanker serviks.
Umur pertama kali berhubungan seks merupakan salah satu faktor yang
cukup penting. Makin muda usia perempuan melakukan hubungan seksual
semakin besar risiko yang harus ditanggungnya, karena terjadinya kanker
serviks dengan masalah laten kanker serviks memerlukan waktu 30 tahun
sejak melakukan hubungan seksual pertama, sehingga hubungan seksual
pertama dianggap awal dari mula proses munculnya kanker serviks pada
wanita (Yakub, 1993).
Menurut Riono (1999); Aziz (2002) wanita menikah di bawah usia 16
tahun biasanya 10-12 kali lebih besar kemungkinan terjadi kanker serviks
daripada mereka yang menikah setelah berusia 20 tahun ke atas. Pada usia
tersebut kondisi rahim seorang remaja putri sangat sensitif. Serviks remaja
lebih rentan terhadap stimulus karsinogenik karena terdapat proses metaplasia
skuamosa yang aktif, yang terjadi di dalam zona transformasi selama periode
perkembangan. Metaplasia skuamosa ini biasanya merupakan suatu proses
fisiologi tetapi di bawah pengaruh karsinogen, perubahan sel dapat terjadi
sehingga mengakibatkan suatu zona transformasi yang tidak patologik.
Perubahan yang tidak khas ini menginisiasi suatu proses yang disebut
Universitas Sumatera Utara
neoplasmasia serviks (Cervic Intraepithel Neoplasma = CIN) yang
merupakan fase prainvasif dari kanker serviks.
6) Paritas
Kanker Serviks dijumpai pada wanita yang sering partus atau
melahirkan. Kategori partus sering belum ada keseragaman akan tetapi
menurut beberapa pakar berkisar 3-5 kali melahirkan (Tambunan,1996 ).
Kanker serviks banyak ditemukan pada paritas tinggi tetapi tidak jelas
bagaimana hubungan jumlah persalinan dengan kejadian kanker serviks,
karena wanita yang tidak melahirkan dapat juga terjadi kanker serviks
(Yakub, 1993).
7) Ganti Pasangan
Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi kanker serviks
berhubungan kuat dengan perilaku seksual seperti multi mitra seks, dan usia
saat melakukan hubungan seks pertama. Risiko meningkat lebih dari 10 x bila
bermitra seks 6 atau lebih. Juga risiko meningkat bila berhubungan dengan
multipel mitra seks atau mengidap kondiloma akuminata (Aziz,2000).
8) Merokok
Rokok atau tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik
yang dihisap sebagai rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan
polyciklic aromatic hydrocarbonas heterocyclic amine yang sangat
karsinogen atau mutagen, sedangkan bila ia dikunyah menghasilkan
Universitas Sumatera Utara
netrosamin. Bahan yang berasal dari tembakau yang dihisap terdapat digetah
serviks wanita perokok dan dapat menjadi ko karsinogenik infeksi virus.
9) Infeksi
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus Human Papiloma
Virus (HPV) lebih dari 90 kanker serviks jenis skuamosa mengandung DNA
Virus HPV dan 50% kanker serviks berhubungan dengan HPV tipe 16. Infeksi
virus HPV telah terbukti menjadi penyebab lesi prakanker, kondiloma
akuminata, dan kanker.
10) Kontrasepsi
Pemakaian kontrasepsi oral dalam waktu lama lebih dari 4 atau 5 tahun
dapat meningkatkan risiko terkena kanker serviks 1,5-2,5 kali. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kontrasepsi oral menyebabkan wanita sensitif
terhadap HPV yang dapat meyebabkan adanya peradangan pada genitalia
sehingga berisiko untuk terjadi kanker serviks (Hidayat, 2001). Pil kontrasepsi
oral diduga akan menyebabkan defisiensi folat yang mengurangi metabolisme
mutagen sedangkan estrogen kemungkinan menjadi salah satu kofaktor yang
membuat replikasi DNA HPV.
2.6.4. Stadium Klinik
Stadium klinik kanker serviks ditentukan berdasarkan pemeriksaan fisik
(inspeksi dan palpasi), kolposkopi, histopstologi biopsi atau konisasi, kerokan
Universitas Sumatera Utara
endoserviks, urografi dan survei metastasis. Stadium yang paling sering digunakan
adalah klasifikasi menurut FIGO.
Tabel 2.1. Stadium Kanker Serviks FIGO 2000
Stadium Keterangan 0 Lesi belum menembus membran basa I Lesi tumor masih terbatas di serviks IA1 Lesi telah menembus membran basalis kurang dari 3 mm
dengan diameter permukaan tumor < 7 mm IA2 Lesi telah menembus membran basalis > 3 mm tetapi tetapi <
5 mm dengan diameter permukaan tumor < 7 mm IB1 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer < 4cm IB2 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer > 4cm
II Lesi telah keluar dari serviks (meluas ke parametrium dan sepertiga)
IIA proksimal vagina) Lesi meluas ke sepertiga vagina proksimal
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul
III Lesi telah keluar dari serviks (menyebar ke parametrium dan atau sepertiga vagina distal)
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal / bawah IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IV Lesi menyebar keluar dari organ genitalia IVA Lesi meluas keluar organ panggul, dan atau menyebar ke
mukosa vesika urinaria IVB Lesi meluas ke mukosa rektum, dan atau meluas ke organ lain
2.6.3. Pengobatan
Menurut Tambunan (1991) terapi untuk kanker serviks ditetapkan
berdasarkan stadium klinik. Dalam hal ini dikenal (1) terapi bedah,(2) radioterapi dan
(3) Kemoterapi.
a. Terapi bedah.
Pada karsinoma in situ dan mikroinvasif, tumor dibuang dengan cara konisasi,
koagulasi, ataupun histerektomi. Khusus karsinoma lebih banyak memilih
Universitas Sumatera Utara
histerektomi total dan pembuatan manset vaginal kecil. Khusus karsinoma
mikroinvasif banyak memilih karsinoma radikal. Bagi wanita yang masih
menginginkan anak dapat dipertimbangkan konisasi atau kriokoagulasi atau
elektrokoagulasi.
b. Radioterapi.
Pada karsinoma invasif stadium lanjut ( IIb. III,IV) terapi biasanya bersifat
faliatif, dititikberatkan pada radiasi ekternal dan internal. Radioterapi pada
saat ini radiasi diarahkan pada massa tumor secara akurat, sehingga
pemberian dosis tinggi tidak menimbulkan penyulit yang berarti.
c. Kemoterapi, pada umumnya sitostatika hanya merupakan terapi ajuvan.
2.7. Dukungan Suami Dalam Tindakan Pap Smear
Menurut Friedman (1998), dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan
penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang
bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan. Dukungan keluarga dapat berupa dukungan kelurga internal
dukungan keluarga eksternal. Dukungan keluarga internal dapat diperoleh dari
suami/istri atau dukungan dari saudara kandung.
Caplan (1964) dalam Friedman (1998) dukungan keluarga (suami) merupakan
hubungan timbal balik antara individu yang meliputi : (1) Dukungan informasional
merupakan sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi, menjelaskan
memberi saran, sugesti, informasi yang dapat digunakan mengungkapkan suatu
Universitas Sumatera Utara
masalah. (2) Dukungan emosional (menunjukkan rasa kepedulian, memberi
dorongan, empati), Dukungan instrumental atau nyata (pelayanan, pemberian
materi), (3) Dukungan penghargaan (memberikan umpan balik yang membangun dan
pengakuan ).
Menurut House (1981, dalam Nasution, 2007) Dukungan keluarga
dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu : dukungan emosional, dukungan nyata,
dukungan informasi dan dukungan pengharapan. Dukungan emosional yaitu
memberikan empati dan rasa dicintai kepercayaan dan kepedulian. Dukungan nyata
yaitu membantu individu dalam memenuhi kebutuhannya. Dukungan informasi yaitu
memberikan informasi sehingga individu memiliki koping untuk mengatasi masalah
yang muncul dari diri sendiri dan lingkungan. Dukungan pengharapan yang
memberikan informasi yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
2.7.2. Sumber-Sumber Dukungan
Sumber-sumber dukungan banyak diperoleh individu dari lingkungan
sekitarnya, oleh karena itu perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan
keluarga ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan internal
(suami) merupakan aspek yang penting untuk peningkatan kesehatan reproduksi
maka perlu diketahui dan dipahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman itu,
seseorang akan tahu kepada siapa dan seberapa besar ia akan mendapatkan dukungan
sesuai dengan situasi dan keinginan yang spesifik , sehingga dukungan tersebut
bermakna (Friedman, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sarason (1983 dalam Kuntjoro, 2002), dukungan keluarga (suami)
adalah keberadaan, kesediaan , kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan,
menghargai dan menyayangi kita. Dukungan keluarga (suami) mencakup dua hal
yaitu: (1) Jumlah sumber dukungan keluarga yang tersedia merupakan persepsi
individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan
bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas). (2) Tingkat kapuasan akan dukungan
keluarga yang diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan
terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas ).
2.8. Tindakan Pap smear
Tindakan pap smear pada seorang ibu dipengaruhi berbagai faktor yaitu
faktor dari dalam dirinya sendiri (perilaku ibu) dan dukungan dari lingkungan
(dukungan keluarga dalam hal ini secara khusus suami). Sebagaimana kita ketahui
perilaku sangat mempengaruhi seseorang dalam bertingkah laku menurut Laurence
W.Green (1980), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu: 1). faktor
predisposisi (predisposing faktors) , yaitu: faktor predisposisi timbulnya perilaku
seperti umur pengetahuan, pengalaman, pendidikan, sikap, kepercayaan, keyakinan,
dan lain sebagainya. 2). Faktor pendukung ( enabling faktors ) yaitu: faktor yang
mendukung timbulnya perilaku seperti lingkungan fisik dan sumber – sumber yang
ada di masyarakat misalnya: Tersedianya tempat pelayanan pemeriksaan yang
terjangkau masyarakat dan lain sebagainya. 3). Faktor pendorong (reinforcing
faktors) yaitu: faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong seseorang untuk
Universitas Sumatera Utara
berperilaku yang berasal dari orang lain misalnya: keluarga, kelompok, guru, petugas
kesehatan dan pengambil keputusan yang mendukung perilaku tindakan pap
smear.
Selain faktor perilaku Tindakan pap smear juga dipengaruhi oleh adanya
dukungan internal keluarga yaitu suami. Menurut Friedman dukungan keluarga
(suami) terdiri dari :
a. Dukungan Pengaharapan
Dukungan pengharapan merupakan dukungan yang terjadi bila ekspresi yang
positif diberikan kepada individu. Individu mempunyai seorang yang dapat diajak
bicara tentang masalahnya, terjadi melalui ekspresi pengharapan positif individu
kepada individu lain, penyemangat, dan persetujuan terhadap ide-ide atau
perasaan seseorang.
b. Dukungan Nyata
Dukungan ini merupakan penyediaan dukungan jasmaniah seperti pelayanan
kesehatan, bantuan finansial dan material berupa nyata, benda atau atau jasa
tersebut sehingga dapat memecahkan masalah praktis termasuk di dalamnya
bantuan langsung seperti saat seseorang memberi uang, menyediakan transportasi
dan lain-lain. Dukungan nyata sebagai sumber untuk mencapai tujuan praktis dan
tujuan nyata.
c. Dukungan Informasi.
Jenis dukungan ini meliputi jaringan komunikasi bersama termasuk didalamnya
memberikan solusi dari masalah, memberikan nasehat, pengarahan, saran atau
Universitas Sumatera Utara
umpan balik tentang apa yang dilakukan oleh seseorang. Keluarga dapat
menyediakan informasi dengan menyarankan tentang dokter yang baik bagi
dirinya, dan tindakan yang spesifik bagi individu. Individu yang akan melakukan
pencegahan kanker serviks dapat keluarga dari masalahnya dan memecahkan
masalahnya dengan adanya dukungan keluarga. Pada dukungan informasi ini
keluarga sebagai penghimpun informasi dari pemberi pihak.
d. Dukungan Emosional
Dalam pelaksanaan tindakan individu perlu mendapatkan penguatan akan rasa
dimiliki atau dicintai. Dukungan emosional memberikan individu rasa nyaman
dan memberikan semangat. Yang termasuk dalam dukungan emosional ini adalah
ekspresi dari empati, kepedulian dan perhatian kepada individu. Demikian juga
dengan tindakan pap smear Ibu harus mendapat empati, kepedulian dan perhatian
dari suami.
Pada penelitian ini peneliti tidak meneliti tentang dukungan pengharapan
karena dukungan tersebut diberikan pada pasien-pasien terminal (kronis).
Universitas Sumatera Utara
2.9. Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam menganalisis hubungan karakteristik
( umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluarga), pengetahuan dan sikap ibu
serta dukungan suami terhadap tindakan pap smear adalah teori Model Green (1980)
dan Caplan (1964) dapat dilihat pada skema di bawah ini :
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Gambar 2.2.Faktor-Faktor yang mempengaruhi perilaku ( Lawrence W.
Green, 1980) dan Dukungan Keluarga (Suami) ( Caplan 1964 dalam Friedman 1998 ).
Faktor Pemungkin - Kesediaan tempat
pelayanan - Biaya terjangkau - Kemudahan mendapat
pelayanan
Faktor penguat: - Keluarga - Kelompok - Guru - Petugas kesehatan - Pengambil keputusan
Dukungan Suami : - Dukungan informasi - Dukungan Nyata - Dukungan Emosi - Dukungan Pengharapan
Faktor Predisposisi: - Pengetahuan - Kepercayaan - Nilai - Sikap - Keyakinan - Kemampuan
Universitas Sumatera Utara
Karakteristik Ibu: - Umur - Pendidikan - Pekerjaan - Pendapatan keluarga
Pengetahuan Sikap
2.10. Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini diambil dari gabungan skema Green
(1980) dan Caplan (1964) seperti yang dilihat di bawah ini :
Variabel Bebas Variabel Terikat
Tindakan pap smear : - Tidak melakukan - Melakukan
Dukungan Suami - Informasi - Emosional - Nyata
Gambar 2.3 : Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara