BAB 2 SEJARAH DAN DESKRIPSI BANGUNAN PANTI … dan... · Gaya neo-klasik di Batavia agak ... gaya...
Transcript of BAB 2 SEJARAH DAN DESKRIPSI BANGUNAN PANTI … dan... · Gaya neo-klasik di Batavia agak ... gaya...
9
Universitas Indonesia
BAB 2
SEJARAH DAN DESKRIPSI BANGUNAN PANTI ASUHAN
(WEESHUIS) VINCENTIUS PUTRA
2.1 Arsitektur Kolonial Belanda Awal Abad XX Di Batavia
Arsitektur adalah seni guna yang khusus karena arsitektur merupakan
kerangka ruang untuk menyelesaikan persoalan fungsional dan kemasyarakatan
(Budiharjo, 1983:93). Kata kolonial didalam kamus besar bahasa Indonesia adalah
hal-hal yang berhubungan atau berkenaan dengan sifat-sifat jajahan (Alwi,
2000:583). Secara umum arsitektur kolonial diartikan sebagai perkembangan
arsitektur di suatu negeri ketika masih berstatus koloni negara asal atau malah
masih merupakan negeri jajahan lain (Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1997:44).
Pembahasan arsitektur kolonial di awal abad ke-20 berkaitan dengan masa dimana
bangunan yang menjadi objek penelitian didirikan. Disamping itu pula, banyak
peristiwa/hal penting terjadi terhadap arsitektur kolonial di Hindia Belanda ketika
itu.
Awal abad Ke-20 M merupakan masa kejayaan arsitektur kolonial
Belanda di Indonesia (Handinoto, 1996:151). Hal tersebut karena banyaknya
arsitek Belanda yang berdatangan, mereka merancang dan membangun banyak
gedung dalam berbagai bentuk untuk tujuan yang beragam.7 Para arsitek8 mulai
berdatangan diawal abad ke-20 disebabkan oleh makin cepatnya kemajuan kota-
7Sumber-sumber literatur Belanda yang membahas perkembangan arsitektur di Hindia Belanda pada waktu itu menyebutkan bahwa sampai akhir abad 19 boleh dikatakan tidak ada satu orang pun yang pantas disebut sebagai arsitek, baik dari kalangan swasta maupun pemerintahan (Poerwoningsih, 2004:537). Pemerintah kolonial dalam hal pembangunan ditangani oleh departemen pekerjan umum sipil (BOW: burgerlijke openboore werken). Pada dasarnya merupakan sebuah organisasi para insinyur sipil, yang bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan konstruksi jalan, jembatan, irigasi dan sebagainya. Dalam banyak kasus mereka bekerja berdasarkan buku-buku panduan arsitektur, akibatnya hampir semua bangunan dibuat dengan menggunakan gaya yang sama. Sebagai contoh Gereja Imanuel (1834) rancangannya dibuat oleh seorang juru ukur tanah yang berkerja di departemen pekerjaan umum (Nas, 2009:127) 8 Arsitek tersebut antara lain adalah M.A.J Moyen, Hendri Maclaine Pont, Thomas Karsten, G.C Citroen, Wolf Schoemaker, A.R.Aalbers, dan yang bekerja dalam kelompok seperti biro arsitek Job & Sprij, biro arsitek Hulswit & Cuypers, Biro AIA (Algemeen Ingenieurs en Architecten) dan lain sebagainya.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
10
Universitas Indonesia
kota sebagai akibat dari UU Gula (suikerwet), UU Agraria (agraris chewet), dan
UU Desentralisasi9tahun 1905 (Poerwoningsih, 2004:537).
Adanya liberalisasi perdagangan berdampak pada banyaknya perusahaan
swasta dari Belanda masuk ke Hindia Belanda. Hal ini mengakibatkan makin
banyaknya pula kantor-kantor dagang serta bank yang didirikan di beberapa kota
besar di Hindia Belanda (Handinoto dan Samuel, 2007:58). Sehingga berdampak
pada dibutuhkannya tenaga asing yang lebih besar lagi. Dari hal tersebut memicu
timbulnya perumahan-perumahan baru sebagai kebutuhan yang mendasar bagi
mereka yang bekerja dalam waktu yang cukup lama di Hindia Belanda.
Para arsitek inilah yang berperan besar dalam menghasilkan beragam
bangunan di Hindia Belanda. Terkadang mereka mencontoh berbagai gaya yang
ada di Eropa dan kemudian menerapkannya pada berbagai bangunan di Hindia
Belanda. Berikut penjelasan berbagai gaya di Eropa yang turut mempengaruhi
bangunan kolonial yang terdapat di Indonesia terutama yang berada di Batavia
awal abad ke-20:
2.1.1 Neo-Klasik
Neo-klasik merupakan phase terakhir dari klasisisme Eropa, di akhir abad
ke-18 dan abad ke-19 Masehi (Harris, 1993:552). Pada awal abad ke-20 gagasan-
gagasan seni bangunan klasik dipromosikan lagi sebagai reaksi melawan gaya art
nouveau (Heuken, 1982:36). Gaya bangunan ini kemudian dikenal sebagai neo-
klasik. Dalam neo-klasik bentuk-bentuk masa lampau diulang kembali untuk
bangunan dengan fungsi menurut kebutuhan, kadang sangat berbeda dengan
fungsi aslinya. Selain diulang secara penuh, dalam masa neo-klasik ada
kecenderungan menggabung elemen-elemen lama, dengan elemen lama lainnya,
masing-masing yang dianggap terbaik. Elemen Yunani seperti kolom dan balok,
pelengkung-pelengkung bergaya Romawi, kubah Bizantin, simetrisme dan
9Dikeluarkannya Undang-Undang Desentralisasi ini adalah pemerintah bermaksud memberikan pemerintahan sendiri pada wilayah Karesidenan dan Kabupaten (onderafdeling). Wilayah-wilayah hukum yang mandiri ini akan diperintah oleh dewan-dewan lokal, yaitu Dewan Wilayah (Kabupaten) dan Dewan Kotamadya (Gemeenteraad). Oleh karena itu, sejak tahun 1905 timbullah kota-kota wilayah yang berdiri sendiri di Jawa seperti Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Malang, Surabaya, dan sebagainya (Handinoto & Paulus 1996:37).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
11
Universitas Indonesia
horisontalisme renaissance dan lain-lain, digabung dalam satu bangunan
(Sumalyo, 2003:531).10
Unsur yang memperlihatkan gaya neo-klasik, yakni denah bangunan yang
secara keseluruhan berbentuk simetris persegi panjang atau bujur sangkar. Bentuk
denah yang simetris mengakibatkan pembagian ruang-ruang yang simetris pula.
Bangunan bergaya neo-klasik pada umumnya seperti bangunan bergaya Yunani
dan Romawi yaitu memiliki tiang-tiang besar. Tiang-tiang ini tidak hanya terdapat
pada muka bangunan saja tetapi terdapat pula pada bagian sampingnya.
Foto 2.1 Istana Wakil Presiden RI ( Attahiyyat, 1995:21)
Gaya neo-klasik di Batavia agak sederhana, bila dilihat dari mutu ornamen
yang digunakan. Elemen klasik, yang sering dijumpai di Batavia yakni adanya
pemakaian kolom order Dorik dan Tuscan (Heuken, 1982:218). Sebagai contoh
gaya klasik pada bangunan di awal abad 20 yakni Istana Wakil Presiden, dahulu
dipakai untuk rumah tinggal Wakil Perdana Menteri, terletak di Jalan Medan
10 Ada dua jenis bangunan Yunani secara garis besar menurut fungsinya, yang pertama kuil, Istana dan bangunan-bangunan religius maupun profan yang tidak berhubungan dengan agama. Bangunan jenis ini konsep dasarnya adalah menggunakan kolom dan balok, terkenal dengan sebutan order. Kemudian bentuk tersebut dibagi menjadi bagian-bagian yang baku yaitu: dasar (base), badan kolom (saft), kepala(capital). Arsitektur Romawi adalah turunan dari arsitektur Yunani, berprinsip pada bentuk horizontal dan vertikal. Pada zaman Romawi awal, kuil-kuil di Romawi memiliki tiang order, tidak berbeda dengan Yunani. Kemudian ada hal yang baru yaitu penggunaan bentuk-bentuk lingkaran, bagian dari lingkaran atau pelengkung (arch). Selanjutnya pelengkung dikembangkan kedalam bentuk tiga dimensional, sehingga berbentuk kubah (dome). Pada jaman Bizantin kubah maupun setengah kubah berkembang menjadi elemen utama. kemampuannya membuat bentangan lebar tanpa tiang di tengah, dimanfaatkan untuk membangun gereja ataupun bangunan profan lainnya (Sumalyo 2003: 524-527).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
12
Universitas Indonesia
Merdeka Selatan No.6, Jakarta Pusat. Di bangun pada tahun 1920 dengan gaya
arsitektur klasik (Attahiyyat, 1995:21).
2.1.2 Art and Crafts
Art & craft adalah gerakan disain yang muncul di akhir abad ke-19 di
Inggris oleh William Morris dan asosiasinya: memfokuskan diri pada pengerjaan
tangan furnitur dan kelengkapan dekorasi seperti wallpaper, seni membuat
ubin/genteng, dan seni membuat kaca dalam bentuk gaya yang natural (Bucher,
1996:26). Pengaruh gerakan ini pada bangunan di Batavia mungkin terlihat pada
ukiran-ukiran yang khusus dibuat untuk suatu bangunan dengan mengerjakan
material secara teliti dan halus (Heuken, 2008:41).
Foto 2.2 Gedung PLN Terletak di Jl. Muhammad Ikhwan Ridwan Rais No. 1 (Attahiyyat, 1995:19)
Pada perumahan Menteng penerapan detail dekoratif pada pintu, jendela
dan lobang ventilasi menunjukkan kemiripan pola dan bahan, dipengaruhi
semangat arts and craft, yang menjadi trend seni rupa masa awal Menteng, tahun
1910-an (Heuken, 2001:48). Contoh lain terdapat pada Gedung PLN terletak di Jl.
Muhammad Ikhwan Ridwan Rais No. 1 Kecamatan Gambir Jakarta Pusat.
Bangunan ini arsitekturnya merupakan perpaduan antara gaya art nouveau, art
deco serta art & craft (Attahiyyat, 1995:19).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
13
Universitas Indonesia
2.1.3 Art Nouveau
Aliran ini bermula dari Prancis dan Belgia, meninggalkan ciri-ciri seni
klasik yang realistis, natural dan statis dalam bentuk baru: Organik
penyederhanaan bentuk tumbuh-tumbuhan, lengkungan-lengkungan,
bergelombang seperti cemeti dan bentuk geometris lainnya (Sumalyo, 1997:21).
Art nouveau mewakili sebuah penolakan terhadap semangat historical11 dan
secara sadar mencari suatu bentuk baru dan bentuk ini sebagai ekspresi dari
periode modern12. Rumah dengan gaya art nouveau berusaha membuat material,
struktur, dan dekorasi menyatu dengan setiap aspek yang menampakkan kekuatan
dan nilai tinggi lainnya (Freeland, 1968:213).
Pada akhir abad XIX, aliran modernisme art-nouveau mulai menggunakan
warna dan penyederhanaan bentuk dari elemen-elemen floral, dalam bentuk
abstrak. Selain warna, dalam art nouveau juga digunakan baja tuang yang
dibentuk melengkung-melengkung seperti cemeti, abstraksi batang-batang
tanaman menyatu dalam konstruksi pada konsol dan balustrade (Sumalyo,
1997:490).
Pengaruh art nouveau pada bangunan di Batavia terlihat pada perpaduan
ornamen asimetris dipadukan dengan motif floral, kecenderungan tersebut tampak
antara lain pada gedung Subden TNI di Jalan Medan Merdeka Barat no. 2,
Sekolah Bruder S. Aloysius (1908) karya P.A.J.Moojen dibongkar 1977 dan di
atas lahannya dibangun Menara Pertamina dan kantoor telefoondienst
koningsplein karya Ir. M.B. Tideman di tahun 1919 sekarang telah dibongkar
(Heuken, 2008:35).
11 Istilah historical ditujukan untuk menyebut berbagai gaya klasik Eropa meliputi gaya Yunani, Romawi, Bisantin, dan sebagainya. 12Modern pada umumnya berarti ‘yang baru pada zaman tertentu’, yang modern hari ini (dari modo = baru saja, belum lama;latin), besok sudah tidak lagi demikian. Maka, yang modern bersifat relatif (pada masa yang bersangkutan). Pada akhir abad ke-19, teknik dan industri berkembang pesat, maka arsitektur mau-tak-mau harus mencari cara memanfaatkannya dan menciptakan yang ‘baru’(Heuken, 2008:35). Pemikiran dan konsep-konsep modernisme lahir dari para tokoh praktisi dan akademikus dari sekolah-sekolah arsitektur. Di Perancis arsitektur modern berkembang dipelopori oleh Ecole des Beaux-At Paris, sebuah sekolah seni rupa dimana sejak tahun 1819 menyelenggarakan pendidikan arsitektur (Sumalyo, 1997:21).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
14
Universitas Indonesia
Foto 2.3 Sekolah Bruder S. Aloysius di Jl. Medan Merdeka Timur (1908). (Heuken, 2008:18)
2.1.4 Amsterdam School
Periode sejarah arsitektur modern Belanda berkenaan dengan amsterdam
school meliputi sekitar tahun 1910 sampai dengan 1925 dan bersamaan dengan
berkembangnya seni di Eropa (Vriend, 1970:5). Bangunan dari aliran amsterdam
school biasanya dibuat dari susunan bata yang dikerjakan dengan keahlian tangan
yang tinggi dan bentuknya sangat plastis sekali: ornamen pahatan dan diferensiasi
warna dari bahan-bahan asli (bata, batu alam, dan kayu) memainkan peranan
penting dalam disainnya (De Wit, 1983:29).
Pengaruh amsterdam school di Hindia Belanda waktu itu boleh dikatakan
tidak terlalu besar. Pengaruh tersebut terutama terasa pada bangunan yang
mengakomodasi keperluan dari penjajah dan sebagian kecil bangunan yang
mengakomodasi masalah kontrol pada kota-kota besar di Jawa seperti Bandung,
Batavia, dan beberapa kota besar lainnya. amsterdam school nampak terutama
pada beberapa bangunan milik swasta dan pemerintah kolonial (Handinoto &
Samuel, 2007:51).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
15
Universitas Indonesia
Foto 2.4 Rumah Mewah di Jalan Diponogoro Unsur Amsterdam School Terlihat Pada Profil Plesteran
(Heuken, 2001:57)
Di Batavia salah satu kekhasan yang sering ditemukan adalah profil-profil
plesteran yang memperindah dinding, kolom maupun unsur atau elemen rumah
lainnya, salah satu contoh yakni rumah mewah di jalan Diponogoro unsur
amsterdam school terlihat pada profil plesteran. Kebiasaan seperti ini merupakan
salah satu ciri gaya arsitektur amsterdam school (1913-1930), yang memberikan
perhatian khusus pada pengolahan permukaan dinding bata agar tampak menarik
(Heuken, 2001:48).
2.1.5 Art Deco
Art deco merujuk pada suatu gerakan desain di masa antara kedua perang
dunia. Gerakan ini mempengaruhi antara lain seni visual seperti lukisan, grafik,
film, mode pakaian, dan juga arsitektur, terutama ornamen dan interior (Heuken,
2008: 46). Art deco mempertahankan unsur ornamen, seperti halnya art nouveau,
namun tampilannya lebih radikal seperti penerapan kembali gaya gothik yang
dimodifikasi dengan bentuk geometris yang diolah kembali dengan warna-warna
cerah (Sachari, 2009:94).
Pada masa kelahirannya, nama arsitektur berlanggam art deco itu belum
ada, yang dikenal adalah istilah Modernistic atau Moderne, barulah di tahun 60-an
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
16
Universitas Indonesia
Bevis Hllier seorang sejarawan dan kritikus seni dari Inggris menggunakan istilah
art-deco dengan resmi (Raharjo, 2004:2). Sejak itu gejala-gejala, yang
sebelumnya dipandang sebagai ornamen berbagai gaya bangunan masa yang
bersangkutan, diberi label art deco (Heuken, 2008: 46). Art deco memiliki ciri
penggunaan ragam hias yang berupa gari-garis zig-zag, bentuk busur, persegi
empat yang saling bertumpukkan dan pola-pola lempeng geometris.
Foto 2.5 Gedung Direktorat Jendral Perhubungan laut (Heuken, 1995:106)
Banyak arsitek Belanda di Indonesia yang juga menerapkan gaya art deco,
hal tersebut disebabkan karena gaya ini amat populer pada waktu itu (Sachari,
2009:94). Sebagai contoh adalah gedung Direktorat Jendral Perhubungan Laut
yang terletak di Jalan Medan Merdeka Timur, dibangun tahun 1918. Detail facade
seperti lekukan-lekukan menciptakan garis hitam bayangan matahari, ornamen
seperti ini sejak tahun 1966 disebut gaya art deco (Heuken: 2008:104).
2.1.7 De stijl
De stijl adalah sebuah kelompok arsitek Belanda dan seniman yang
tumbuh diantara 1917 dan 1931. Menekankan pada kesederhanaan, garis lurus dan
bentuk yang bersudut persegi empat untuk menciptakan kesatuan positif.
Rancangannya dengan atap datar, bentuk geometrik, warna-wana dasar dan
pemikiran rasional (Philips, 1999:72).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
17
Universitas Indonesia
Foto 2.6. Rumah di Jalan Banyumas No.5 (Menteng). (Heuken, 2000:63)
Di Batavia sebagai contoh adalah rumah di Jl. Banyumas No.5 (Menteng),
gaya bangunan ini menampakkan pengaruh aliran arsitektur modern pada awal
abad ke-20, yaitu aliran de stijl (Heuken, 2001:63). Pada bangunan ini atap
merupakan plat beton mendatar. Bentuk bangunan bersudut persegi empat,
dengan warna dasar yakni putih polos. Kekhasannya terlihat melalui garis-garis
kaku serta ketebalan dinding yang menggunakan bahan beton.
2.2 Riwayat Biro Arsitek Hulswit, Fermont & Ed. Cuypers
Biro arsitek Hulswit, Fermont & Ed. Cuypers merupakan satu dari
beberapa biro arsitek yang bekerja di Hindia Belanda.13 Biro inilah yang
merancang dan membangun Panti Asuhan Vincentius Putra, Jakarta. Karya
lainnya dari biro tersebut tersebar di beberapa kota besar di Hindia Belanda
seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Surakarta, Yogyakarta, Makasar, dan juga
13 Beberapa biro tersebut yakni, AIA (algemeen ingineurs en architecten ) adalah sebuah biro umum sipil dan arsitektur didirikan pada tahun 1916. Para insinyur yang tergabung didalamnya yakni F.J.L. Ghysels, Hein Avon Essen dan F. Stlitz. AIA tidak saja merancang bangunan tetapi sekaligus sebagai kontraktor. Hasil karya biro ini yang terdapat di Batavia seperti Stasiun Kota(1929), kantor KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij) di Koningsplein sekarang jalan Medan Merdeka dan lain sebagainya (Sumalyo,1995:204-206). Berikutnya adalah biro arsitek Job & Spij merupakan biro arsitek sekaligus juga sebagai pelaksana. Hampir seluruh karya dari biro ini berada di Surabaya diantaranya yakni, Gereja De Vrije Katholike Kerk terletak di Jalan Serayu dibangun pada tahun 1923, Museum Empu Tantular dahulu dipakai sebagai kediaman pejabat Javasche Bank dibangun tahun 1921 terletak di Jalan Taman Mayangkara, dan lain sebagainya (Handinoto, 1996: 220-221).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
18
Universitas Indonesia
Medan.14 Penamaan biro ini berdasarkan pada para arsitek yang tergabung
didalamnya yakni Maurius J. Hulswit, Fermont dan Eduard Cuypers.
M.J. Hulswit adalah arsitek tamatan Kunstniverheidschool Quellinus
(sekolah seni rupa Quellinus) di Amstedam. Pada tahun 1876 ia bekerja di firma
arsitektur milik P.J.H. Cuypers (Paman dari Eduard Cuypers yang nanti menjadi
rekan kerjanya). Di Belanda ia terlibat dalam pembangunan Rijkmuseum
Amsterdam dimana Eduard Cuypers turut serta didalamnya, disamping itu
Hulswit juga mengajar di Sekolah Seni Rupa Quellinus.
Pada tahun 1880 ia pergi ke Hindia Belanda selama lima tahun, kemudian
pada tahun 1890 ia kembali lagi ke Hindia Belanda. Ia sempat menetap di
Surabaya sampai tahun 1895 sesudah itu, ia pindah ke Batavia yang kemudian
mendirikan biro arsitek bersama rekan-rekannya. Sebelum tergabung ke dalam
biro, ia merancang Gereja Katedral (1901) bergaya neo-gothic15 di daerah yang
dulu bernama Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng), Batavia. Aspek-aspek
utama rancangannya antara lain adalah pemakaian menara-menara dengan
konstruksi baja.
Gambar 2.1. Arsitek Maurius J.Hulswit ( Handinoto, 1996:187) Pada tahun 1908 Hulswit bergabung mendirikan suatu biro arsitek dengan
teman lamanya dari Amsterdam, yaitu Eduard Cuypers. Dia adalah keponakan 14 Sebagai contoh karya biro ini di Medan yakni gedung Javasche Bank dibangun antara tahun 1908-1909, Di Bandung yakni kantor NHM (Nederlandsche Handel Matschappij) terletak di Jalan Kantor Pos Besar, bangunan NHM juga terdapat di Makasar yakni dibangun pada tahun 1912 berada di Jalan Nusantara. Di Surabaya salah satu karya biro ini yaitu kantor HVA (Handelsvereniging Amsterdam) dibangun tahun 1910 berlokasi di Jalan Merak. 15 Neo-gothic merupakan gaya dalam arsitektur yang mengacu pada bentuk gothic, berkembang pada pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke- 20.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
19
Universitas Indonesia
dari P.J.H. Cuypers, tokoh utama kebangkitan kembali arsitektur Belanda. Eduard
Cuyper pada mulanya juga bekerja pada perusahaan pamannya tersebut. Bahkan
pada tahun 1876 ia juga ikut membantu pamannya dalam pembangunan
Rijkmuseum di Amsterdam. Dalam pengerjaan proyek ini, ia bertemu dengan
M.J. Hulswit pertemuan tersebut rupanya mempunyai arti yang sangat besar bagi
sejarah arsitektur kolonial Belanda di Indonesia (Handinoto, 1996:156).
Pada tahun 1878 Ed. Cuypers sudah memulai karirnya sendiri, lepas dari
perusahaan pamannya. Sesudah bekerja beberapa tahun dengan gaya neo-gothic
yang diwarisi dari pamannya, sekitar tahun 1900 karya-karyanya mulai
terpengaruh oleh gaya art & craft. Gaya tersebut juga diterapkan pada kantonya di
Amsterdam.
Hubungannya dengan Indonesia dimulai dari teman dekatnya G. Vesseris
seorang ahli hukum dari Amsterdam yang pada tahun 1906 di tunjuk menjadi
presiden dari Javasche Bank di Batavia. Pada tahun 1908 Javasche bank
memperluas jaringan kantor pusatnya yang ada di Batavia dengan membuka
cabang diberbagai kota di Hindia Belanda seperti Cirebon, Semarang, Surabaya
dll. Ed. Cuypers mendapat kepercayaan untuk merancang gedung Javasche Bank.
Perancangan bangunan Javasche bank pada awalnya dikerjakan di kantornya di
Amsterdam seperti kantor pusatnya yang ada di Batavia, kantor cabang di Medan
(1907) dan cabang Makasar (1907).
Gambar 2.2 Sketsa Dari Wajah Eduard Cuypers ( Handinoto, 1995:159)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
20
Universitas Indonesia
Pada tahun 1908 Ed. Cuypers untuk pertama kalinya melakukan perjalanan ke
Hindia Belanda dan pada tahun itulah ia memutuskan untuk mendirikan biro
arsitek di Hindia Belanda bersama teman lamanya di Amsterdam yaitu M.J.
Hulswit. Pada tahun 1910 di kantor tersebut masuk seorang arsitek AA. Fermont
sehingga kantornya bernama Niv. Architecten-Ingenieurs burreau Hulswit en
Fermont te Weltevreden Ed. Cuypers te Amsterdam. Kantor tersebut kemudian
tercatat sebagai kantor arsitektur yang terbesar di Hindia Belanda. Hulswit
meninggal pada tahun 1921. Akibat meninggalnya Hulswit, kantornya berubah
nama menjadi Fermont te Weltevreden en ed. Cuypers te Amsterdam. Fermont
meninggal tahun 1954, kantor tersebut kemudian bubar (Handinoto dan Samuel,
2007:53).
Bangunan yang dihasilkan biro ini selama berkarya dari tahun 1910
sampai dengan 1954 sangat bervariasi. Menurut Yulianto Sumalyo (1995:224)
bila mengamati bangunan-bangunan hasil karya biro ini maka akan terlihat adanya
suatu “evolusi” dalam arsitekturnya, yakni proyek yang dibangun tahun 1910 an,
lebih banyak berciri klasik Eropa dalam ornamen maupun elemen-elemen
bangunannya. Kemudian periode berikutnya mulai terlihat adanya percampuran
antara unsur-unsur klasik modern. Selanjutnya pada tahun 1930 an bangunan-
bangunannya lebih banyak dipengaruhi modernisme. Meskipun berubah-ubah
tetapi karya biro ini tidak pernah meninggalkan bentuk penyesuaian terhadap
iklim tropis.
2.3 Sejarah Panti Asuhan Vincentius Putra
Panti Asuhan Vincentius Putra dirancang oleh biro arsitek Hulswit &
Cuypers dan dibangun pada tahun 1915. Bangunan Panti Asuhan ini bukan
merupakan satu-satunya yang terdapat di Batavia, akan tetapi jauh sebelum
bangunan ini berdiri beberapa literatur menyebutkan adanya sejumlah bangunan
panti asuhan baik dari abad ke 17 sampai dengan abad 19 M. Boleh jadi memang
ketika itu fungsi bangunan panti asuhan sangat dibutuhkan sebagai salah satu dari
perangkat kota bagi bangsa Eropa di Hindia Belanda.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
21
Universitas Indonesia
Dalam sejarah, di Batavia untuk pertama kalinya rumah yatim piatu
didirikan secara sederhana pada tahun 1629 yaitu pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Jacques Specx. Rumah panti asuhan ini dikelola oleh para
diakon (pelayan) Gereja Protestan berada di Jalan Kaaimansgracht, kini Jl.
Kemukus. Kemudian rumah sederhana ini diganti dengan gedung baru yang
konstruksinya terbuat dari batu yang dapat menampung puluhan anak pada tahun
1639 (Heuken, 2005:1).
Pada tahun 1662 dibangun rumah yatim piatu baru yang besar di Jl. Orpa
(dari kata Portugis orfan, artinya anak yatim piatu) kemudian berganti nama
menjadi jalan Roa Malaka II. Dalam weeshuis ini tinggal dua puluh sampai tiga
puluh anak Eropa dan hampir sama banyaknya anak campuran atau Indo yang
lahir di luar perkawinan. Selain itu tinggal pula kurang lebih sepuluh orang lanjut
usia dan dua puluh lima budak yang sebagian besar wanita.
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Leonard du Bus de Gisignies
(1826-1830) terjadi penutupan rumah yatim piatu. Hal ini dilatarbelakangi oleh
keadaan kota Batavia yang saat itu sudah tidak sehat lagi dengan angka kematian
yang tinggi. Sehinggga dilakukanlah tindakan-tindakan penyehatan ibukota
Batavia, diantaranya yang dilakukan antara lain beberapa gracht (kanal) dan parit
ditutup sehingga air di kanal-kanal dan parit lainnya dapat mengalir lebih deras.
Rawa-rawa dan genangan air dikeringkan, serta tempat menyamak kulit dan
pembantaian hewan dipindahkan keluar kota. Penduduk kota disarankan untuk
pindah ke daerah yang lebih tinggi atau daerah pedalaman yang lebih sejuk,
seperti yang sudah dimulai pada masa pemerintahan Deandles.
Penutupan rumah yatim piatu ini juga dikarenakan bahwa banyak anak
yatim piatu yang terlantar ditambah lagi dengan keadaan kota Batavia yang tidak
sehat, sementara itu rumah tidak memadai lagi untuk menampung, akhirnya
rumah lama ditutup dan untuk sementara waktu anak-anak dipindahkan ke
Semarang.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
22
Universitas Indonesia
Foto 2.7 Bangunan Panti Asuhan Parapattan
(Sumber: http//www.helperkerk.nl/zending_Indonesie.html diakses bulan Februari 2008)
Kemudian baru pada tahun 1834 Gereja milik orang Inggris mulai merintis
mendirikan weezengestich (rumah untuk menampung orang tidak waras) di Jln.
Prapatan yang juga menampung anak-anak yatim piatu. Kemudian dipindah ke
bangunan, yang kini dipakai oleh lembaga Administrasi Negara di Jl. Veteran
tahun 1854.
Pada tahun 1844 dibuka weeshuis luas di Jl. Gajah Mada, yang kini
menjadi Gedung Arsip Nasional. Rumah mewah bekas kediaman Reiner de klerk
ini dibeli oleh College van der Hervormde Gemeente (Dewan Gereja Jemaat
Pembaharuan) pada tahun 1844. Rumah yang baru dibeli ini diperuntukkan
sebagai gereja dan rumah yatim piatu. Rumah tersebut pada waktu itu banyak
mengalami perubahan, diantaranya yakni bagian depan ditambah dengan ruang
gaya Yunani untuk gereja dan panti asuhan di bagian belakang bangunan.
Foto 2.8 Gedung Arsip Nasional (Siswadhi & Mary, 1988:150)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
23
Universitas Indonesia
Dewan gereja kemudian merasa tempat itu kurang cocok lagi untuk gereja
dan rumah yatim piatu, karena dalam waktu itu makin banyak orang Cina dan
Arab membangun rumah di daerah Molenvliet (Siswadhi & Mary, 1988:150).
Pendapat lain menyatakan bahwa dikarenakan pembiayaan pengelolaan rumah
yang terlampau besar bagi pihak gereja. Akhirnya gedung tersebut dijual kepada
pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900, kemudian penambahan ruang yang
dilakukan sebelumnya itu oleh pemerintah Hindia Belanda dibongkar kembali.
Kurang lebih dua puluh lima anak dipindahkan untuk sementara waktu ke
beberapa rumah sederhana di kompleks yang kini dipakai oleh Galeri Nasional di
Jl. Merdeka Timur. Tempat ini pun akhirnya ditutup dan anak-anak yatim piatu
dititipkan pada keluarga yang bersedia membesarkan mereka tahun 1915.
Berikutnya adalah Panti Asuhan Dorkas terletak di Jalan K.H. Wahid
Hasyim No. 25, Jakarta Pusat. Panti Asuhan ini awalnya didirikan pada bulan
April tahun 1888 oleh ibu-ibu orang Belanda yang sebagian besar anggota dari
gereja Gereformeed dengan mendirikan perkumpulan Dorkas untuk menolong
keluarga-keluarga Indo-Eropa yang hidup miskin di kampung-kampung ketika itu.
Tinggalan bangunan Panti Asuhan tersebut sudah tidak terlihat lagi, yang ada
hanya bangunan baru. Panti Asuhan ini bernaung dibawah Yayasan Sosial Karya
kasih GKI Kwitang.
Dari beberapa rumah panti asuhan yang dijelaskan diatas, tinggalan
bangunannya sudah tidak dapat dijumpai lagi, adapun tinggalan bangunan yang
masih berdiri seperti Gedung Arsip merupakan bangunan yang beralih fungsi
yang dijadikan panti asuhan, meskipun demikian setidaknya bangunan ini menjadi
saksi dari peran panti asuhan di wilayah itu.
Baru ketika awal abad ke-20 bangunan yang diperuntukan untuk panti
asuhan didirikan yaitu pada tahun 1915 dibawah naungan Perhimpunan
Vincentius. Berdirinya Perhimpunan Vincentius terjadi pada tanggal 13 Agustus
tahun 1855 M, diprakarsai oleh Pastor Katedral Henricus Van der Grintren dengan
mengundang beberapa tokoh awam guna mendirikan Vereeniging van den H.
Vincentius a Paulo (Perhimpunan Vincentius dari Paul) untuk memelihara
semangat cinta kasih dengan mengamalkan tugas-tugas Kristiani dan pembuatan
amal khususnya dalam membantu anak yatim piatu (Heuken, 2007:79).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
24
Universitas Indonesia
Pendirian bangunan ini bermula pada tahun 1910 yakni ketika sebidang
tanah luas di Jl. Kramat Raya dibeli oleh Perhimpunan Vincentius, kemudian
pihak perhimpunan mendirikan bangunan pertama untuk menampung anak-anak.
Lima tahun kemudian disusul oleh bangunan modern yang dirancang dan
dibangun oleh biro Hulswit & Cuypers (Heuken, 2005:5).
Foto 2.9 Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra Di Tahun 1925
(Mahandisyoanata, 2007:13)
Bangunan baru ini menjadi asrama untuk anak laki-laki (Sriyadi, 2005:24).
Kemudian anak perempuan yang ketika itu dititipkan di Biara Suster Ursulin
dipindahkan dan tinggal di bagian belakang dari bangunan ini. Pada tahun 1938
anak-anak putri yang tinggal di bangunan lama yaitu di belakang bangunan untuk
putra, dipindahkan ke bangunan baru di jalan Bidara Cina kini Jalan Otto
Iskandardinata (Sriyadi, 2005:24).
Pada tahun 1942 Rumah Yatim Piatu (Weeshuis) Vincentius Putra di Jalan
Kramat Raya diambil alih oleh tentara Jepang untuk digunakan oleh Romusha.
Sebagian anak di tampung di Jalan Nusantara, Jalan Pos dan di Rumah Yatim
Piatu Prapatan di Jalan Veteran. Pada tahun 1945 Jepang kalah perang dan
gedung-gedung dikembalikan tahun 1946 dalam keadaan kotor dan rusak (Sriyadi,
2005:24).
Sampai pada masa akhir pemerintahan kolonial, mayoritas penghuni panti
asuhan ini adalah anak Indo sesuai dengan tujuan para pendiri Yayasan
Vincentius pada pertengahan abad ke-19. Kemudian kebijakan ini diubah pada
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
25
Universitas Indonesia
tanggal 26 Februari 1946 dengan memperbolehkan semua anak yang
membutuhkan pertolongan diterima di panti asuhan ini.
2.3.1 Organisasi Kelembagaan
Rumah yatim piatu/bangunan panti asuhan pada umumnya dikelola oleh
yayasan milik gereja. Dewan gereja serta dewan yatim piatu merupakan dua
badan istimewa khas dari oud Batavia16. Dewan gereja memberi izin atas kegiatan
gereja-gereja dan sekolah-sekolah. Dewan yatim piatu mengurus harta kekayaan
orang-orang yang meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat dan memakai hasil
penjualan atau bunga pinjaman untuk menjalankan rumah yatim piatu (panti
asuhan) (Hanna, 1988:87).
Panti Asuhan Vincentius Putra ini berada dibawah naungan Perhimpunan
Vincentius. Pada permulaannya Perhimpunan Vincentius Jakarta didirikan pada
rapat pengurus pertama tanggal 29 Agustus 1855 dengan nama Dana Bantuan
Santo Vincentius a Paulo di Batavia. Pada tahun 1909 diubah menjadi Batavia
Vincentius Vereeniging oleh pimpinan gereja katolik Mgr. Pm. Vrancken (Vikaris
Apostolik17Jakarta). Tujuan utama pendirian saat itu adalah untuk membantu
anak-anak keturunan Belanda (Indo-Eropa) yang menjadi masalah sosial di
masyarakat. Usaha sosial ini, awalnya lebih bersifat home-care saja yakni
menitipkan anak-anak tersebut untuk sementara waktu kepada keluarga yang
mampu. Hal tersebut dikarenakan Perhimpunan Vincentius Jakarta saat itu belum
memiliki rumah sendiri. Sampai akhirnya pada tahun 1910 pihak yayasan
membeli tanah dan membangun sebuah rumah berlokasi di Jalan Kramat Raya
No. 34. Kemudian pada tahun 1915 mendirikan bangunan besar yang
diperuntukan bagi anak laki-laki, bangunan ini dirancang oleh biro arsitek
Hulswit, Fermont & Cuypers. Perubahan nama dengan kata ”Putra” dikarenakan
terjadi pemisahan manajemen dengan para suster Ursulin (OSU) yang mengasuh
dan kemudian mengelola panti asuhan untuk putri di tahun 1939.
16 Oud Batavia atau kota lama, sebutan ini untuk membedakan dengan niew Batavia yakni Weltevreden yang merupakan pemekaran wilayah Batavia di bagian Selatan. 17 Vikaris apostolik merupakan suatu tahapan di dalam katolik untuk ke jenjang keuskupan. Dimulai dari seorang pefek apostolik adalah seorang imam, yang diangkat oleh Paus sebagai gembala di dalam suatu daerah yang memberikan harapan tidak lama lagi berkembang menjadi vikariat apostolik dan kemudian keuskupan, yaitu suatu gereja partikular yang sanggup berdiri sendiri. Lihat Heuken (2007:50).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
26
Universitas Indonesia
2.3.2 Kondisi Bangunan
Saat ini bangunan tersebut merupakan bagian dari kompleks Panti
Asuhan dengan luas 3,15 hektar. Terdiri dari bangunan lama Panti Asuhan
Vincentius Putra yang didirikan tahun 1915, berada dekat/berhadapan dengan
jalan Kramat Raya, Jakata Pusat. Bangunan Vincentius Putra telah direnovasi
pada tahun 2007 dibawah pengawasan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman.
Dinas ini memberikan arahan untuk tidak mengubah bentuk aslinya dengan
merekomendasikan rancangan gambar renovasi dan penambahan ruang. Keadaan
bangunan Vincentius Putra ketika awal didirikan oleh Biro Arsitek Hulswit &
Cuyper tahun 1915 masih dipertahankan. Penambahan bangunan sebagian besar
dilakukan di belakang bangunan lama.
Foto 2.10 Wajah Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra Sebelum Renovasi (Dok.: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta)
Foto 2.11 Wajah Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra Sesudah Renovasi (Dok.: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
27
Universitas Indonesia
2.4 Deskripsi Bangunan Panti Asuhan (Weeshuis) Vincentius Putra
Deskripsi bertujuan untuk menyusun data mengenai bangunan yang
diperoleh dari studi kepustakaan dan studi lapangan, deskripsi ini dimaksudkan
untuk memudahkan ke tahap selanjutnya yakni analisis. Deskripsi bangunan
dimulai dari lokasi keberadaan bangunan, bentuk umum, tampak luar (meliputi
tampak muka, samping kiri dan samping kanan bangunan), denah dan kemudian
menjelaskan secara cermat tiap-tiap ruangan dari lantai satu sampai dengan
lantai 2.
2.4.1 Bentuk Umum
Foto 2.12 Foto Udara Bangunan Lama Panti Asuhan Vincentius Putra
Tampak Pada Garis Berwarna Biru (Sumber:http//www.Googleearth.com diakses tanggal 1 juli 2009)
Bangunan Panti Asuhan (Weeshuis) Vincentius Putra saat ini berada dalam
satu kompleks Panti Asuhan yang terdiri dari bangunan lama Panti Asuhan,
gereja, kantor, sekolah SD, SMP, dan STM serta mess pegawai. Bangunan
lamanya berada di depan berhadapan dengan Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
28
Universitas Indonesia
Bangunan ini menghadap arah timur laut memiliki halaman depan yang
tidak begitu luas karena berdekatan dengan Jalan Raya sedangkan halaman
belakang bangunan cukup luas dapat digunakan untuk aktifitas oleh raga seperti
bermain bola dan lain sebagainya. Bangunan mempunyai bentuk kokoh dan
tinggi, memiliki banyak jendela pada tampak depan dan sisi bangunan. Pintu
masuk berdaun pintu ganda di bagian atasnya terdapat tritisan. Temboknya
berwarna putih, sedangkan pintu dan jendela berwarna hijau.
Foto 2.13 Keadaan Jalan Kramat Raya Di Tahun 1930-an Dengan Latar Belakang Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra
(Sriyadi, 2005:215)
Bangunan pada kondisi sekarang terlihat tidak terlalu besar dan mencolok,
dikarenakan saat ini terhalang oleh pepohonan dan gedung disekitarnya, sehingga
tidak nampak kalau bangunan ini bentuknya memanjang ke belakang. Sedangkan
pada sisi dalamnya, bila masuk ke dalam bangunan ini akan terasa bangunan
seakan terbagi dua yakni bagian depan yang sedikit melebar dipisahkan oleh
lorong dengan bagian tengah bangunan yang memanjang ke belakang. Lorong
tersebut menghubungkan kedua galeri/gang disepanjang ruang-ruang yang
berderet di sisi kanan dan kiri bangunan.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
29
Universitas Indonesia
Bangunan ini memiliki dua lantai, untuk menuju ke lantai dua harus
melalui tangga naik yang berada di sisi barat daya dari lorong bangunan, anak
tangganya dilapisi papan kayu berjumlah 30. Pada lantai kedua pintu dan jendela
hampir sama banyaknya dengan pintu dan jendela pada lantai satu. Sedangkan
atap bangunan merupakan atap hip18 menyambung dengan atap pelana yang
memanjang ke belakang. Pada atap bangunan bagian depan, terdapat 2 cerobong
asap semu dan satu buah dormer19.
2.4.2 Tampak Muka
Gambar 2.3 Tampak Muka Bangunan Dengan Skala 1:200 (Dok.:Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Tahun 2007, Telah Diolah Kembali)
Lebar muka bangunan kurang lebih berukuran 49 meter. Muka bangunan
menghadap timur laut, memiliki sayap bangunan di sisi kiri dengan lebar 52 m.
Pada bagian atap tampak muka terdapat dua cerobong asap semu terletak di kedua
ujung bumbungan atap dan satu dormer/ tingkap pada bagian tengah sisi depan
atap. Pada dinding muka bangunan terdapat satu buah pintu dan 13 jendela
berjalusi terdiri dari lantai satu: 4 jendela berdaun tunggal dan 2 jendela berdaun
ganda. Lantai dua: 4 jendela berdaun tunggal dan 3 jendela berdaun ganda. Pada
lantai 1 bagian atas pintu dinaungi oleh tritisan datar yang ditahan oleh kabel
dengan pengait (hook luifel). Pada dinding bagian bawah muka bangunan terdapat
pemakaian batu alam sampai ke bagian sisi kiri dan kanan bangunan.
18 Atap hip merupakan sebuah atap yang pada sisi-sisinya memiliki lereng, membentuk seperti piramida dengan dasarnya berbentuk persegi (Bucher, 1996:233). 19 Dormer adalah jendela vertikal pada posisi proyeksi tegak luus dari atap miring (Sumalyo, 2003: 542).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
30
Universitas Indonesia
2.4.3 Tampak samping kanan
Gambar 2.4 Bangunan Tampak Samping Kanan Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Tahun 2007, Telah Diolah Kembali)
Bangunan tampak samping kanan memiliki panjang 80 meter. Pada lantai
pertama terdapat galeri/gang dilengkapi dengan adanya atap untuk menghindari
tampias air hujan. Pada sepanjang galeri berjajar ruangan-ruangan dengan pintu
dan jendela berjalusi. Lantai 2 tampak samping kanan didominasi oleh jendela
berjalusi berdaun ganda berjumlah 15 dan lubang ventilasi berjumlah 42.
2.4.4 Tampak Samping Kiri
Gambar 2.5 Bangunan Tampak Samping Kiri Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Tahun 2007, Telah Diolah Kembali)
Pada bangunan tampak samping kiri memiliki panjang 80 m, lantai 1 dan 2
memiliki galeri/gang. Pada lantai satu galeri ditopang oleh 9 tiang berbentuk
balok persegi panjang berukuran kurang lebih panjang 3,4 m dan lebar 0,45 m,
disela antar tiang terdapat frame panil kaca menempel pada bagian atas tiang, tiap
sela antar tiang panil kacanya berjumlah 16 panil. Ruangan yang sejajar pada
galeri ini berjumlah 12 ruangan.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
31
Universitas Indonesia
2.4.5 Denah Bangunan
Secara horizontal atau tampak atas, bangunan Panti Asuhan (Weeshuis)
Vincentius Putra memperlihatkan denah bangunan berbentuk persegi panjang
ditambah dengan adanya sayap bangunan memanjang ke arah barat laut
dilengkapi dengan pintu gerbang berdaun pintu ganda untuk masuk ke halaman
samping (Barat laut) bangunan. Denah bangunan terdiri dari dua lantai, dengan
ukuran denahnya: lantai pertama panjang 80 m dan lebar 49 m, lantai kedua
panjangnya 80 dan lebar 22 m.
2.4.6 Lantai Pertama
Secara keseluruhan lantai pertama terdiri dari 24 ruangan, diantaranya 5
ruangan berada pada sisi bagian depan bangunan, ruangan yang menghadap
Galeri/gang sisi kanan (tenggara) berjumlah 7 ruangan dan ruangan yang
menghadap galeri/gang sisi kiri (barat laut) yakni 12 ruangan.
2.4.6.1 Ruang 1
Ruang 1 memiliki panjang 8 m dan lebar 6,4 m. Pada ruangan ini dapat
dijumpai meja dan kursi antik yang berada di sisi selatan ruangan. Meja dan kursi
ini tampak terawat dengan baik, meja dan kursi lainnya nampak didekat dinding
sisi timur laut. Di ruang ini pula terdapat pintu yang merupakan akses utama
keluar masuknya penghuni panti asuhan.
Foto 2.14 Tampak Bagian Dalam Ruang 1 dan Kursi Serta Meja (Dok.:Idham Maulana, 2008)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
32
Universitas Indonesia
Pintu utama ini berwarna hijau berdaun pintu ganda dengan bingkai kaca
pada masing-masing daunnya berjumlah 6, daun pintu terbuat dari papan kayu
masing-masing daun pintu berukuran panjang 2,5 m dan lebar 1 m. Di atas pintu
dilindungi oleh tritisan datar yang ditahan dari atas oleh kabel. Tritisan ini juga
melebar pada atas jendela bagian depan bangunan. Jendela tersebut memiliki
panjang 1,8 m dan lebar 0,77 m, masing-masing daun jendela memiliki 6 buah
bingkai kaca, jendela ini dilindungi oleh jeruji besi pada bagian luarnya.
Foto 2.15 Tampak Pemakaian Tritisan Pada Muka Bangunan Lantai 1. (Dok.:Idham Maulana, 2008)
2.4.6.2 Ruang 2
Ruang ini memiliki panjang 6,2 m dan lebar 6 m, terletak pada sisi
tenggara dari ruang 1. Pintu pada ruangan ini berdaun pintu ganda dilengkapi
dengan fanlight yang kacanya berwarna biru, fanlight20 ini dilindungi oleh jeruji
besi yang dihias dengan ornamen. Pada masing-masing daun pintu terdapat
bingkai kaca berjumlah 6. Pintu pada ruangan ini terdapat dua buah yakni satu
pintu menghadap ruang 1 dan pintu lainnya berada sisi barat daya langsung
terhubung dengan ruang 4.
Pada ruangan ini terdapat dua jendela pada sisi timur laut (muka
bangunan) dan sisi tenggara, dengan daun jendelanya memiliki panjang 1,8 dan
lebar 0,76 m. Pada jendela tersebut masing-masing memiliki 6 buah bingkai kaca,
20 Sebuah pembuka berada di atas jendela ataupun pintu bertujuan sebagai pengontrol cahaya maupun masuknya udara (Bucher, 1996:176).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
33
Universitas Indonesia
jendela ini bagian atasnya juga dilindungi oleh sebuah tritisan datar yang ditahan
dari atas oleh kabel.
Foto 2.16 Hiasan Kombinasi Bentuk Persegi Panjang Pada Bagian Atas Pintu Ruang 2 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.6.3 Ruang 3
Ruangan 3 memiliki ukuran sama dengan ruang 2 yaitu dengan panjang
6,2 m dan lebar 6 m. Pintunya berdaun pintu ganda dengan fanlight yang memiliki
kaca berwarna biru dan dilindungi oleh jeruji besi. Pada ruangan ini terdapat dua
jendela pada sisi timur laut dan sisi barat laut, daun jendelanya berukuran panjang
1,8 m dan lebar 0,76 m. Pada tiap daun jendela memiliki 6 buah bingkai kaca,
jendela ini dilindungi oleh sebuah tritisan datar yang ditahan dari atas oleh kabel.
Jendela ini juga dilindungi oleh jeruji besi pada bagian luarnya.
Gambar 2.6 Denah Ruang 1-5 Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah kembali)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
34
Universitas Indonesia
2.4.6.4 Ruang 4
Ruangan ini berukuran panjang 9 m dan lebar 5,2 m. Memiliki tiga buah
pintu, pertama berhadapan dengan ruang 5, pintu kedua berada pada dinding sisi
timur laut yang dapat langsung terhubung dengan ruang 2 dan pintu pada dinding
sisi barat laut yang langsung terhubung dengan galeri/gang sisi tenggara. Pintu
pada ruangan ini tidak berdaun ganda, daun pintunya berukuran panjang 2,7 m
dan lebar 0,9 m. Jendela pada ruangan ini merupakan jendela jalusi21 terletak pada
dinding sisi tenggara. Jendela tersebut berdaun ganda diapit sisi kanan dan kirinya
dengan jendela berdaun tunggal, masing-masing daun jendela berukuran panjang
1,5 m dan lebar 0,7 m, memiliki fanlight yang dilindungi oleh jeruji besi.
Foto 2.17 Jendela Pada Dinding Sisi Tenggara Ruang 4 (Dok.:Idham Maulana, 2008)
2.4.6.5 Ruang 5
Ruang ini berhadapan dengan ruang 4, dengan ukuran panjang 7 m dan
lebar 3,4 m. Pada ruangan ini terdapat tiga buah pintu, yang pertama menghadap
ruang 4, berdaun pintu tunggal berukuran panjang 2,5 m dan lebar 1 m. Kedua
berada pada dinding sisi utara, pintunya berdaun pintu ganda dengan ukuran
panjang 2,4 m dan lebar 0,8 m. Pintu tersebut diapit oleh jendela di kiri dan
kanannya. Ketiga, pintu yang terhubung langsung dengan galeri. Pintunya
21 Jendela jalusi adalah jendela yang berbentuk empat persegi panjang dan daun jendelanya terbuat dari bilah-bilah kayu yang posisinya mendatar dan tersusun secara vertikal.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
35
Universitas Indonesia
berdaun pintu ganda dengan ukuran panjang 2,4 m dan lebar 0,8 m diapit oleh
dua buah jendela, fanlight pada pintu ini berbentuk setengah lingkaran.
Foto2.18 Pintu Pada Ruang 5 Dapat Terhubung Dengan Galeri Sisi Barat Laut (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.6.6 Galeri22
Pada bangunan, terdapat galeri/gang yang menglilingi bagian bangunan
yang memanjang ke belakang. Sehingga seolah-oleh bagian depan bangunan yang
terdiri dari 5 ruangan terpisahkan oleh galeri disisi timur laut dengan bagian
bangunan yang memanjang ke belakang. Galeri yang mengelilingi sebagian
bangunan merupakan lorong panjang dimana pada sisi kiri (barat laut) dan kanan
(tenggara) terdapat ruangan-ruangan yang berderet dengan pintu masuknya
menghadap galeri.
22 Penamaan istilah galeri pada bangunan yang memiliki gang disepanjang ruang-ruang yang berderet mengacu pada buku karangan Handinoto (1996:173).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
36
Universitas Indonesia
2.4.6.7 Galeri Kiri (Barat Laut) Bangunan
Galeri sisi kiri bangunan memiliki panjang 71 m. Galeri ini ditopang oleh
9 tiang berbentuk balok persegi panjang berukuran kurang lebih 3,4x0,45 m,
disela antar tiang terdapat frame panil kaca menempel pada bagian atas tiang, tiap
sela antar tiang panil kacanya berjumlah 16 panil. Ruangan yang sejajar pada
Galeri ini berjumlah 12 ruangan.
Foto 2.19 Galeri Sisi Kanan (Barat Laut) Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.6.8 Ruang 6
Ruang ini memiliki ukuran panjang 4,8 m dan lebar 3,6 m. Pada bagian
dalam ruangan terbagi menjadi 4 bagian masing-masing berukuran panjang 1,1
m dan lebar 0,7 m. Sebelum menuju pintu masuk terdapat Vault23 sehingga pada
ruangan ini pintunya menjorok ke dalam.
23 Konstruksi pelengkung dari batu menutup di atas sebuah ruang utama (Sumalyo, 2003:547).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
37
Universitas Indonesia
Foto 2.20 Pintu Pada Ruang 6 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.6.9 Ruang 7
Ruangan ini tidak terlalu besar dengan ukuran panjang 4,8 m dan lebar 3,6
m. Pintu pada ruangan ini berdaun ganda diapit oleh jendela di kiri dan kanannya.
Ruangan ini lebih kecil bila dibandingkan diantara kamar yang terdapat
disepanjang galeri sisi barat laut, terkecuali ruang 6 kerena memiliki ukuran yang
sama.
Galeri/gang
Gambar 2.7 Denah Ruang 6 Dan Ruang 7 Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah kembali)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
38
Universitas Indonesia
2.4.6.10 Ruang 8, 9,10 dan 11
Ruang 8, 9, 10 dan 11 memiliki ukuran yang sama yakni dengan panjang 7
m dan lebar 3,8 m. Pintu pada masing-masing ruangan ini berdaun pintu ganda
dengan diapit oleh jendela di kanan dan kirinya. Pada ruang 11 terdapat pintu
tambahan yang berada pada sisi barat daya atau dinding sisi kanan yang terhubung
dengan ruang 12.
Foto 2.21 Pintu Masuk Dari Sisi Kiri ke Kanan Yakni Ruang 8, 9 dan 10 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.6.11 Ruang 12
Ruangan ini berukuran panjang 7 m dan lebar 3,8 m. Di dalam ruangan
terbagi menjadi 3 bagian. Pintu pada ruangan 12 terdiri dari 3 buah. Pintu yang
pertama menghadap Galeri sisi barat laut, kedua berada pada sisi timur laut atau
pada dinding kiri ruangan yang langsung terhubung dengan ruang 11 dan pintu
pada dinding kanan bangunan yang terhubung langsung dengan ruang 13.
Gambar 2.8 Ruang 8 Sampai Ruang 12 Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah Kembali)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
39
Universitas Indonesia
2.4.6.12 Ruang 13
Ruangan ini cukup besar dengan ukuran panjang 7,8 m dan lebar 7 m.
Ruang 13 memiliki 4 buah pintu, dua pintu menghadap galeri sisi barat laut
sedangkan pintu ketiga berada pada sisi timur laut atau dinding sisi kiri ruangan
yang langsung terhubung dengan ruang 12 dan yang ke-4 pintunya berada pada
dinding sisi kanan (barat daya) bangunan menghubungkan dengan ruang 14.
2.4.6.13 Ruang 14
Pada ruangan 14 di dalamnya terbagi menjadi dua. Memiliki empat buah
pintu yaitu yang pertama pintunya menghadap galeri berdaun pintu ganda diapit
oleh jendela di sisi kiri dan kanannya. Kedua, pintu ini berada pada dinding sisi
kanan (timur laut) bangunan terhubung oleh ruang 13. Ketiga, pintu terdapat pada
dinding yang membagi ruangan ini menjadi dua bagian dan yang ke empat pintu
ini berada pada dinding sisi tenggara yang terhubung langsung dengan ruangan
23.
Galeri/gang
Gambar 2.9 Denah Ruang 13 Sampai Ruang 17 Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah kembali)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
40
Universitas Indonesia
2.4.6.14 Ruang 15 dan 16
Kedua ruangan ini memiliki ukuran yang sama yakni dengan panjang 7 m
dan lebar 3,8 m, yang membedakannya ialah bentuk pintu dan adanya jendela.
Pintu pada ruang 15 berdaun ganda diapit oleh jendela di sisi kiri dan kanannya.
Sedangkan pada ruang 16 pintunya berdaun tunggal tanpa adanya jendela.
2.4.6.15 Ruang 17
Ruang 17 berada di ujung belakang dari bagian bangunan dengan ukuran
panjang 11,6 m dan lebar 7 m. Ruangan ini dilengkapi dengan sirkulasi udara
yang baik yakni dengan banyaknya ventilasi yang berukuran cukup besar dan ada
juga yang berukuran kecil, lubang ventilasi tersebut diberi kawat penyaring
sehingga partikel debu yang besar akan tersaring dan tidak memasuki bagian
ruangan. Pintu pada ruang 17 merupakan pintu jalusi begitu juga dengan
jendelanya.
Foto 2.22 Ventilasi Udara Pada Salah Satu Sudut Ruang 17 Dok.: Idham Maulana, 2008
2.4.6.16 Galeri kanan (Tenggara) Bangunan
Galeri ini memiliki panjang kurang lebih 71 m. Ruangan yang terdapat
pada galeri sisi kanan (tenggara) bangunan berjumlah tujuh ruangan. Galeri
tersebut pada atapnya ditopang oleh tiang terbuat dari balok kayu. Pada galeri ini
secara keseluruhan memiliki pintu jalusi berdaun pintu ganda berjumlah delapan
buah. Jendela pada ruangan-ruangan yang menghadap galeri ini merupakan
jendela jalusi berdaun ganda dan berdaun tunggal yang mengapit pintu berdaun
ganda.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
41
Universitas Indonesia
Foto 2.23 Galeri/Gang Sisi Kanan (Tenggara) Bangunan
Dok.: Idham Maulana, 2008
2.4.6.17 Ruang 18
Ruang 18 memiliki panjang 7,6 m dan lebar 3,8 m. Pintu pada ruangan ini
berjumlah tiga buah diantaranya, pertama menghadap galeri sisi timur laut
berdaun pintu tunggal. Kedua, menghadap galeri sisi tenggara, pintunya berdaun
pintu ganda diapit oleh jendela di kanan dan kirinya. Ketiga, pintu berada pada
dinding sisi barat daya terhubung langsung dengan ruang di sebelahnya. Jendela
pada ruangan ini berada pada dinding sisi tenggara merupakan jendela jalusi.
Galeri/gang
Gambar 2.10 Ruang 18 Sampai Ruang 22 Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah kembali)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
42
Universitas Indonesia
2.4.6.18 Ruang 19
Ruangan ini berukuran panjang 7,6 m dan lebar 7 m. Pintu pada ruangan
ini menghadap galeri berdaun pintu ganda diapit oleh jendela di sisi kiri dan
kanannya, sedangkan pintu yang lainnya berada pada dinding sisi timur laut
berdaun pintu tunggal. Pada ruangan ini terdapat juga jendela jalusi memiliki
empat buah daun jendela.
2.4.6.19 Ruang 20
Ruang 20 serupa dengan ruang 19 dengan panjang 7,6 m dan lebar 7 m,
tambahan pada ruang ini berupa dinding yang menonjol vertikal yang terdapat
pada dinding sisi barat laut dan dinding sisi tenggara. Dinding yang menonjol ini
memiliki panjang 140 cm dan tebal 40 cm.
Gambar 2.11 Denah Ruang 20 Sampai Ruang 22 Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah kembali)
2.4.6.20 Ruang 21 dan 22
Kedua ruangan ini memiliki ukuran yang sama yakni dengan panjang 7 m
dan lebar 3,6 m. Ruang 21 memiliki pintu berdaun pintu ganda dengan diapit oleh
jendela di sisi kiri dan kanannya. Sebagian besar ruangan memiliki pintu yang
menghadap galeri, tetapi lain hal dengan ruang 22, karena pintunya bersebelahan
langsung dengan ruang di sisi kanannya atau dinding sisi timur laut. Sedangkan
sisi yang menghadap galeri digantikan dengan jendela jalusi yang memiliki empat
buah daun jendela.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
43
Universitas Indonesia
Foto 2.24 Pintu Pada Ruangan Yang Menghadap Galeri Sisi Tenggara Bangunan (Dok.: Idham maulana, 2008)
2.4.6.21 Ruang 23
Ruangan ini cukup luas dengan ukuran panjang 15,8 m dan lebar 7 m.
Memiliki empat pintu, dua pintu terletak pada dinding sisi barat laut yaitu yang
terhubung langsung dengan ruang 14 dan ruang 15. Dua pintu lagi berada pada
sisi tenggara menghadap koridor. Pada ruang 23, memiliki dua jenis jendela yakni
jendela yang mengapit pintu di sisi kiri dan kanannya dan jendela jalusi dengan
empat buah daun jendela.
galeri/gang
Gambar 2.12 Denah Ruang 23 Dan 24 Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah Kembali)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
44
Universitas Indonesia
2.4.6.22 Ruang 24
Ruangan 24 memiliki ukuran panjang 7 m dan lebar 5,6 m. Pada ruang 24
terdapat 3 pintu jalusi berdaun ganda yakni diantaranya dua pintu menghadap
Galeri sisi tenggara dan satu pintu menghadap barat daya. Ketiga pintu ini diapit
oleh jendela disisi kiri dan kanannya. Di dalam ruangan terdapat cukup banyak
meja dan bangku.
Foto 2.25 Ruang 24 lantai 1 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.7 Lantai 2
Lantai 2 terdiri dari 11 ruangan, akses menuju lantai 2 ini melalui tangga
yang berada sisi barat daya dari ruang1. Tangga pada bangunan ini menempel
pada dinding berbentuk huruf U anak tangganya dilapisi oleh papan terbuat dari
kayu berjumlah 30 buah. Bila dibandingkan dengan lantai satu, ruangan yang
terdapat pada lantai dua ini tidak terlalu banyak dan memiliki ukuran yang cukup
beragam.
Foto 2.26 Tangga Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra
(Dok.: Idham Maulana, 2008)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
45
Universitas Indonesia
2.4.7.1 Ruang 25
Pada ruang ini dinding barat laut sisi luarnya merupakan bagian muka
bangunan, dimana terdapat dua kolom diapit dengan tiga buah jendela berjalusi.
Sedangkan dinding sisi barat laut dan tenggara masing-masing terdapat pintu yang
terhubung langsung dengan ruang di sisi-sisinya. Ruangan 26 ini memiliki
panjang 9 m dan lebar 6,2 m, pintu utamanya menghadap barat daya. Ruangan
dilengkapi dengan TV untuk menonton bersama dan mendengarkan musik untuk
menghilangkan kejenuhan akibat kegiatan rutin.
Foto 2.27 Salah Satu Sudut Ruang 26 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.7.2 Ruang 26 dan 27
Kedua ruangan memiliki ukuran yang sama 6 m x 6 m, terletak pada sisi
barat laut dan tenggara dari ruang 25 yang merupakan ruang penghubung untuk
memasuki kedua ruangan ini. Ruang 26 memiliki jendela yang terletak pada
dinding sisi timur laut dan sisi barat daya. Ruang 27 jendelanya berada pada
dinding sisi tenggara dan timur laut. Pada dinding sisi barat daya ruang 27
terdapat pintu untuk menuju ruang 28.
Gambar 2.13 Denah Ruang 25 - 29 Dengan Skala 1:200 (Dok: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah kembali)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
46
Universitas Indonesia
2.4.7.3 Ruang 28
Ruang ini berukuran panjang 9,2 dan lebar 5,4 m. Memiliki tiga pintu,
yang pertama berada pada sisi tenggara, kedua berada pada dinding sisi timur laut
bersebelahan dengan ruang 26 dan ketiga berada pada sisi barat daya yang
langsung terhubung dengan galeri. Di dalam ruangan terdapat lemari, meja
makan, dan kursi.
Foto 2.28 Ruang 28 Lantai 2 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.7.4 Ruang 29
Ruangan 29 berukuran panjang 9 m dan lebar 4,2 m. Memiliki satu pintu
berdaun tunggal. Jendelanya berada pada sisi tenggara dan barat. Di dalam
ruangan terdapat salib patung Yesus menempel pada kaca patri terletak di dinding
sisi timur laut. Di dalam ruangan juga terdapat tiga baris meja dan bangku
panjang.
Foto 2.29 Keadaan Di Dalam Ruangan 30 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
47
Universitas Indonesia
2.4.7.5 Ruang 30 dan 31
Ruang 30 memiliki panjang 7 m dan lebar 4,4 m. Terletak berseberangan
dengan ruang 32 dan berdekatan dengan tangga masuk di sisi barat laut. Ruang ini
memiliki satu buah pintu dan empat buah jendela. Sedangkan ruang 31
bersebrangan dengan ruang 34 memiliki panjang 4,4 m dan lebar 4 m. Ruangan
ini terbagi menjadi 4 bagian dengan pintu berjumlah 4 buah. Pada ruang ini
jendelanya menghadap sisi tenggara.
Gambar 2.14 Denah Ruang 30-34 Dengan Skala 1:200 (Dok.: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah Kembali)
2.4.7.6 Ruang 32
Ruangan ini pada sisi tenggara berseberangan dengan ruang 30. Ruangan
memiliki dua buah pintu yakni pintu yang menghadap tenggara berdaun pintu
tunggal dan pintu yang menghadap galeri sisi barat laut berdaun pintu ganda.
Ruangan ini memiliki panjang 4,4 m dan lebar 3,2 m.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
48
Universitas Indonesia
Pintu ruang 25
Pintu ruang 32 Pintu ruang 30
Foto 2.30 Bagian Tengah Bangunan Lantai 2 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
2.4.7.7 Ruang 33 dan 34
Ruang 33 dan 34 memiliki ukuran yang sama kurang lebih panjangnya 4,4
m dan lebar 3,8 m. Di kedua ruangan memiliki pintu yang masing-masing
menghadap tenggara dan menghadap galeri/gang sisi barat laut. Pada ruang 34
terdapat pintu yang langsung terhubung dengan ruang 35. Pada kedua ruangan ini
tidak memiliki jendela.
2.4.7.8 Ruang 35
Ruangan ini sangat besar, memiliki ukuran kurang lebih panjangnya 51,6
m dan lebar 14,4 m. Ruangan ini ditopang pada bagian tengahnya oleh 12 tiang
besi. Di dalam ruangan ini dapat dijumpai banyaknya ranjang tidur bertingkat dua
yang tersusun memanjang. Pintu pada ruang 35 terdapat pada sisi timur laut dan
pada dinding sisi barat laut pintunya berjumlah 3 berdaun ganda. Dinding sisi
tenggara, barat daya dan barat laut secara keseluruhan didominasi oleh 24 jendela
jalusi berdaun ganda. Banyaknya jendela ini membuat ruangan menjadi tidak
terlalu panas saat siang hari.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
49
Universitas Indonesia
Foto 2.31 Ruang 35 Terletak Pada lantai 2 (Dok.: Idham Maulana, 2008)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
50
Universitas Indonesia
BAB 3
ANALISIS BANGUNAN PANTI ASUHAN VINCENTIUS PUTRA
Dalam analisis bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra, dilakukan
pemilahan agar unsur-unsur bentuk dan gaya bangunan dapat dimengerti secara
keseluruhan. Pemilahan dilakukan dengan membagi bangunan menjadi 3 bagian
yakni bagian dasar (fondasi dan lantai), dinding, dan atap bangunan. Dari hal
tersebut diharapkan dapat diketahui kemiripan antara unsur-unsur yang terlihat
pada bangunan dan juga ciri-ciri yang melekat dari suatu gaya tertentu dengan
bentuk dan gaya bangunan yang terdapat di Eropa maupun di Hindia Belanda.
3.1 Bagian Dasar Bangunan
Bagian dasar bangunan terdiri dari fondasi dan lantai. Fondasi berperan
penting untuk menjaga bangunan tetap kokoh, tidak bergeser terhadap guncangan
yang berasal dari dalam tanah. Lantai sebagai pijakan bagian dalam bangunan
berperan menciptakan kerapihan dan membuat nyaman penghuninya.
3.1.1 Fondasi
Fondasi merupakan bagian bangunan yang menghubungkan bangunan
dengan tanah, yang menjamin kestabilan bangunan terhadap berat sendiri dan
gaya-gaya luar terhadap gedung seperti tekanan angin, gempa bumi, dan lain-lain
(Frick & Purwanto, 1998:126). Fondasi berguna untuk menyalurkan beban sebuah
bangunan pada area tanah yang cukup untuk menghindari ketidakseimbangan
pijakan kedudukan bangunan. Ketidakseimbangan kedudukan, mungkin
disebabkan oleh variasi dari beban bangunan di titik yang berbeda dan oleh
perbedaan yang alami dari lapisan tanah bagian bawah yang dapat menyebabkan
kerusakan struktur bangunan (Conway & Roenisch, 1994:84).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
51
Universitas Indonesia
Dengan demikian, untuk mendirikan suatu bangunan beberapa hal yang harus
diperhatikan adalah:
a. Kedalaman atau tebalnya lapisan tanah, terutama permukaan lapisan yang
akan menerima beban fondasi.
b. Tingkat kekokohan landasan (fondasi), dan
c. Keadaan hidrologis (keadaan kadar air di dalam tanah) (Frick, 1980:46).
Pada dasarnya terdapat 4 tipe utama dari fondasi yakni, strip (bilah,
kepingan), pad (lajur), raft (pelat), dan pile (pancang), yang mungkin dirancang
dengan cara yang berbeda (Conway dan Roenisch, 1994:85). Fondasi strip dibuat
dengan cara menggali sebuah parit, menempatkan sangkar yang kuat dan
menuangkan beton24 ke dalam parit (Kerry, TT:223). Fondasi pad (Lajur) adalah
berbentuk blocks empat persegi panjang yang diletakkan dibawah dinding dari
bata, batu, baja25 atau beton bertulang (Conway dan Roenisch, 1994:85).
Gambar 3.1 Hubungan Antara Fondasi Gambar 3.2 Fondasi Raft Diperkuat Dengan Kolom Lajur, Dinding dan lantai (Merritt, 1994:9105) ( Frick dan Purwanto, 1998:128)
24 Beton dibuat dengan mencampurkan batu krikil, pasir, semen dan air (Gordon, 1991:11). Semen
adalah campuran dari tanah liat (argile) dengan batu kapur menjadi bubuk, bila dicampur dengan
air akan mengeras secara kimiawi. Beton sebagai campuran untuk bahan bangunan pertama kali
digunakan oleh Francais Vicat pada tahun 1820 untuk kerangka bangunan (Sumalyo,1997:9). 25 Baja merupakan campuran dari karbon, chromium, nickel dan elemen lainnya. Pada
perkembangannya, baja diproduksi pada abad ke-19 digunakan untuk konstruksi bangunan. Lihat
Gordon (1991:21).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
52
Universitas Indonesia
Fondasi raft (pelat) menutupi area paling sedikit ukurannya sama dengan
dasar bangunan, digunakan pada tekanan lapisan bawah tanah yang lunak.
Fondasi raft dapat digunakan untuk kondisi tertentu pada area tanah yang
membutuhkan suatu yang besar untuk mendukung beban bangunan (Kerry,
TT:224). Fondasi ini menyerupai panggung setinggi satu sampai dua meter
(Heuken, 2008:17). Beberapa bangunan kolonial yang memakai fondasi jenis ini
bagian lantainya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanah disekitarnya.
Ciri lainnya tampak luar bagian dasar bangunan akan terlihat masif dan kokoh.
Fondasi pile adalah fondasi yang terdiri dari pilar terbuat dari kayu
ataupun dari beton yang dimasukkan ke dalam tanah (Conway dan Roenisch,
1994:85). Digunakan untuk mendukung bangunan atau struktur pada tanah yang
lunak (Buchers, 1996:337). Misalnya di Amsterdam, sekitar tahun 1700-an
fondasi ini dikenal sebagai ‘Amsterdam pile foundation’, untuk membuat fondasi
ini dibutuhkan alat yang disebut kemudi pile, sebuah perangkat untuk
memasukkan pilar/tiang pancang menembus permukaan tanah. Kemudi pile
terdiri dari kerangka yang mendukung dalam pembuatan dan palu yang berat
untuk mengarahkannya ke dalam tanah, dengan mekanisme mengangkat dan
kemudian menjatuhkan palu (Haris, 1993:609).
Gambar 3.3 Kemudi Pile dan Fondasi Pile Amsterdam (Janse, TT:37)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
53
Universitas Indonesia
Dalam menentukan fondasi yang digunakan pada bangunan Panti Asuhan
Vincentius Putra terasa akan sangat sulit sekali, karena bagaimanapun juga
fondasi merupakan bagian paling dasar dari bangunan. Sehingga sangat sulit
untuk memastikan bentuk fondasi yang digunakan pada bangunan ini. Tetapi
sekiranya dapat diperkirakan berdasarkan tipe yang ada, bangunan ini
menggunakan pondasi pancang (pile) dengan alasan seandainya menggunakan
pondasi pelat (raft) kaki bangunan pasti akan terlihat tinggi dari tanah
disekitarnya dan hal tersebut tidak nampak pada bangunan ini. Bangunan dengan
luas 3920 m2 pasti membutuhkan fondasi yang mencengkam kuat dibawahnya
agar stabil terhadap guncangan dan ketidak seimbangan pijakan kedudukan
bangunan. Kelebihan fondasi pancang (pile) ini bisa sampai kedalaman 24 meter
ke bawah sehingga dapat memberikan kestabilan yang besar terhadap guncangan
maupun hal lainnya.
3.1.2 Lantai
Lantai merupakan penutup permukaan tanah di dalam atau di luar
bangunan. Dalam teknis pemasangan lantai, kondisi tanah harus diperbaiki lebih
dulu dengan cara pemadatan (ditumbuk dan disiram air) dan diberi lapisan pasir
minimal 15 cm sebelum dipasang lantai (Surowiyono, 1996:17). Cara demikian
dimaksudkan agar lantai memiliki landasan yang kuat, supaya tidak pecah
ataupun turun.
Pemakaian lantai pada bangunan kolonial di Hindia Belanda pada
umumnya sama dengan bangunan yang berada di Eropa. Sebagian besar tinggalan
bangunan tua yang masih bisa disaksikan terutama di Eropa, bahan lantainya
terdiri dari batu alam dan ubin, hal ini dipergunakan dan berlangsung secara terus
menerus (Lane, 1996:l40). Dari abad pertengahan dan periode renaissance26
bangunan penting memasang lantainya dengan bermacam batu alam meliputi
slate, sandstone, dan limestone sementara granit cobbles dapat terlihat pada
bangunan pedesaan (Berman, 1997; 27).27
26 Periode renaissance ditandai dengan perubahan yang mendasar di Eropa pada abad XV hingga XVI. 27 Slate adalah batuan metamorphic terbentuk sekitar 350-500 juta tahun yang lalu ketika tanah dan batu secara alami terus menerus tertekan di bawah tanah. Sandstone merupakan batuan sedimen tersusun dari pasir kwarsa tersedimen bersama dengan silica, besi oxide ataupun calcium
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
54
Universitas Indonesia
Sejak batu menjadi mahal, sulit untuk dikerjakan dan tidak selalu
didapatkan, teknik yang sederhana dari pembakaran tanah untuk digunakan
sebagai ubin lantai berkembang meliputi Eropa dan Asia beberapa abad yang lalu
(Berman, 1997;47). Tanah lempung dalam pembuatan lantai ubin dihasilkan oleh
penggalian sederhana dari permukaan tanah dan memiliki penampilan yang
berbeda karena bermacam-macam mineral dan kandungan impiurities (ketidak
murnian) pada wilayah yang berbeda-beda. Misalnya kehadiran unsur besi oxide,
sebagai contoh memberikan warna merah kecoklatan pada tanah teracotta
(Berman, 1997;48).
Di Inggris antusias terhadap pemakaian lantai ubin terjadi pada dekade
pertama abad ke-13 M (Hilliard, 1993:18). Dalam perkembangannya, terdapat dua
elemen lantai ubin yakni lantai sederhana berbentuk persegi, ubin tidak dihias,
dan selanjutnya ubin persegi dihias dengan satu atau dua warna dilapisi
kaca/glasir. Ubin yang dilapisi kaca (glasir) mendapatkan lonjakan permintaan di
Belanda pada akhir abad ke 16 M ( Hilliard, 1993:37).
Lapisan kaca (glasir) tidak hanya menutupi pori-pori ubin sehingga anti air
tetapi memberikan warna dan pola dekorasi pada permukaannya (Berman, 1997;
49). Bahan metal lainnya dapat ditambahkan untuk menciptakan warna lainnya:
extrak besi untuk coklat ke hitam-hitaman, sedikit dari tembaga atau kuningan
untuk hijau dan sejumlah besar untuk hitam (Hilliard, 1993: 21). Glasir biasanya
diberikan pada ubin ketika telah dibakar dengan temperatur relatif rendah
kemudian ubin itu dibakar lagi dengan temperatur yang lebih tinggi, pembakaran
rendah bertujuan untuk memberikan lapisan glasir tersendiri (Berman, 1997; 49).
Pemakaian lantai ubin pada suatu bangunan biasanya lebih dari satu
macam warna. Ubin berwarna seringkali disusun untuk membentuk garis pada
pola lantai sebuah bangunan (Heuken, 2001:107). Pola lantai dari komposisi jenis
ubin yang berbeda memberikan kesan dekoratif dan juga sebagai penegas antar
carbonate terkadang digunakan sebagai pahatan ornamen (Bucher, 1996:401). Pada limestone atau batu kapur terdapat tiga tipe, tapi hanya dua yang cocok dipergunakan untuk lantai. Batu kapur jenis Oolitic terdiri dari lapisan kosentrik dari calcite didapat dari sekitar fragment kerang dan fosil yang mana memberikan batu ini karakteristik. Batu kapur jenis crystalline terbentuk dari lapisan bawah tanah terjadi karena penguapan panas air dan mengkristal dari dasar sedimentari. Pada batu pasir dan batu kapur ukuran standarnya biasanya 40 cm sama panjang atau 40 x 60cm (Berman, 1997; 29).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
55
Universitas Indonesia
ruangan yang berbeda. Kesan dekoratif pada bangunan Panti Asuhan Vincentius
Putra terdapat pada motif hias ubin kramik dengan pola berbentuk motif daun dan
lingkaran.
Foto 3.1 Lantai Ubin Pada Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra Dengan Bermacam Warna
(Dok.: Idham Maulana, 2008)
Lantai ubin yakni berupa motif hias tumbuhan dan lingkaran pada
bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra memiliki ciri gaya art nouveau. Dalam
pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa art nouveau merupakan aliran dengan
ciri yakni penyederhanaan bentuk dari elemen-elemen floral ke dalam bentuk
abstrak, lengkungan bergelombang seperti cemeti, bentuk geometris, abstraksi
batang-batang tanaman menjalar menyatu dalam konstruksi bangunan dan lain
sabagainya. Di awal abad 20 gaya art nouveau mempengaruhi terhadap produksi
ubin kramik dengan motif hias tumbuh-tumbuhan.28Lantai ubin kramik dengan
motif yang hampir serupa dalam bukunya Heuken (2001:107) terdapat pada salah
satu rumah di Jl. Teuku Umar (Menteng). Meskipun Heuken tidak menyebutkan
secara pasti keberadaan rumah tersebut, setidaknya dapat diambil sebagai contoh
kemiripan motif lantai gaya art nouveau dengan bangunan Panti Asuhan
Vincentius Putra.
28 Pada tahun 1920-an produksi keramik hias merosot dibawah pengaruh gerakan modern yakni
dengan motif hias tumbuh-tumbuhan dari gaya art nouveau (Berman, 1997: 48).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
56
Universitas Indonesia
Foto 3.2. Lantai Ubin Dengan Motif Daun dan Lingkaran Pada Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra
(Dok.: Idham Maulana, 2008)
Foto 3.3 Ubin Hias Lantai Bergaya Art Nouveau Pada Rumah Di Jalan Teuku Umar (Heuken, 2001:107)
3.2 Dinding
Dinding merupakan pembatas rumah terhadap halaman dan juga sebagai
pembatas antara ruang di dalam rumah (Surowiyono, 1996:19). Secara umum
dinding dibedakan menjadi dua macam yaitu dinding struktural adalah dinding
yang dapat berdiri sendiri, tetap tegak/teguh, dan tidak berubah akibat beban-
beban yang bekerja pada dirinya (stabil) contohnya tembok. Kedua, dinding
nonstruktural adalah dinding yang tidak dapat menahan beban atapun dinding
yang tidak dapat berdiri sendiri sehingga agar stabil, memerlukan suatu penguatan
dan perkakuan tanpa itu akan runtuh atau berubah bentuk(Julistiono, 2003:92-93).
Pada berbagai bentuk bangunan tidak banyak rancangan secara struktural
yang dibutuhkan dinding (Ambrose, 1995:26). Dalam membangun sebuah
dinding, biasanya menggunakan batu, bata, dan bahan adukan. Pada awal mulanya
bahan adukan dibuat dengan mencampurkan kapur dan pasir dengan air. Bahan
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
57
Universitas Indonesia
adukan disebarkan diantara bata, kemudian mengeras (Jansen, TT:45). Adukan
yang dipakai dalam pemasangan batu atau bata dimaksudkan untuk memberikan
keeratan bagi unsur-unsur yang tidak teratur.
Pemakaian bata untuk bahan bangunan dipergunakan sudah sejak lama
misalnya di Belanda, bata yang tertua berasal dari abad 13 M digunakan untuk
kastil Oude Kerk (Jansen, TT: 42). Penggunaan bata menjadi terkenal dalam
arsitektur pada akhir abad 17 M (Brunskill, 1971:46). Dari abad 17 M seterusnya
bata halus untuk ukiran dibuat, bata dicetak dengan berbagai bentuk dan ukuran
digunakan untuk vault, cerobong asap, dan detail bagian atap (Conway &
Roenisch, 1994: 88).
Di Hindia Belanda pemakaian bata untuk dinding bangunan sudah menjadi
hal yang umum.29 Bata pada masa kolonial sangat berbeda dengan bata yang
sekarang banyak dijumpai. Bata pada masa kolonial selain bentuknya lebih besar
biasanya terdapat tahun produksi dan juga inisial pabrik yang membuatnya.
Foto 3.4 Perbandingan Bata Di awal Abad ke-20 Dengan Bata Yang Dikenal Sekarang
Dok.: Idham Maulana, 2008
29 Sekitar awal masa VOC pabrik bata biasa ditemukan di sekitar kota. VOC juga telah
mengeluarkan peraturan-praturan untuk standarisasi dan modifikasi batu bata, begitu pula untuk
genting dan ubin. Pola untuk cetakan dan ukuran untuk produk standar dipajang di dinding balai
kota Batavia dan harus dipatuhi oleh setiap industri bangunan ( Nas, 2009:123).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
58
Universitas Indonesia
3.2.1 Pemakaian Batu Alam Pada Dinding Bagian Bawah
Unsur lain yang terlihat pada dinding Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra
adalah pemakaian batu alam jenis pebble (batu koral) pada dinding bagian bawah
bangunan. Diameter pebble biasanya kurang dari 3 cm. Pebbles bisa diletakkan
diagonal sejajar, dibalut oleh batu lainnya yang dipasang selang seling antara
Pebbles dan batu jenis lain atau untuk menghindari gompel pada sudut bangunan
digunakan bata pada sisinya.
Gambar 3.4 Variasi Dari Pebbles Pada Dinding . (Brunskill, 1971:43)
Penggunaan batu alam pada dinding bagian bawah merupakan pilihan
tepat bagi rumah di daerah tropis, yakni sebagai pelindung dari tampias air hujan
(Heuken, 2001:48). Pada bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra, pemakaian
batu alam yakni jenis batu koral nampak pada dinding bagian bawah pada muka
dan sisi bangunan. Penggunaan batu alam selain memberikan makna fungsional
yakni sebagai pelindung dari tampias air hujan, juga memberikan kesan kokoh
pada bagian dasar bangunan.
Pemakaian batu alam terdapat pula pada tipe rumah tosari di daerah
Menteng. Menurut Heuken (2001:52) penamaan tipe rumah ini agar dapat
dibedakan dengan jenis rumah lainnya yang berada di daerah Menteng. Rumah
tipe tosari disebut demikian, karena rumah seperti ini banyak ditemukan di Jalan
Kusumaatmaja, yang dahulu disebut sebagai Tosari Weg /Jalan Tosari (Heuken
2001:53)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
59
Universitas Indonesia
Foto 3.6 Pemakaian Batu Alam Pada Dinding Gambar 3.5 Tipe Rumah Tosari, Menteng Bawah Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra (Heuken, 2001: 53) (Dok.: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman)
3.2.2 Muka Bangunan
Pada muka bangunan, adanya pemakaian garis batas lantai satu dan lantai
dua dengan alur dekorasi berupa garis dan bentuk panil-panil persegi berderet
secara horizontal merupakan ciri dari arsitektur bergaya renaissance. Kata
renaissance berasal dari bahasa Perancis yang artinya “kelahiran kembali”.
Renaissance adalah aliran yang pada dasarnya ingin menghidupkan kembali
kebudayaan zaman Yunani dan Romawi. Arsitektur renaissance ditandai dengan
perubahan mendasar di Eropa pada abad XV hingga XVI. Arsitektur gaya ini
mendasarkan pada horizontalisme, ciri lainnya yakni denah bangunan sangat
terikat pada dalil-dalil yang sistematik seperti keharusan berbentuk simetris, jelas
dan teratur.
Foto 3.7 Garis Batas Lantai 1 dan lantai 2 Foto 3.8 Bangunan Bergaya Renaissance Pada Muka bangunan Vincentius Putra (Sumalyo, 2003:250) (Dok.: Idham maulana, 2008)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
60
Universitas Indonesia
3.2.3 Pemakaian Galeri/Gang
Pada beberapa bangunan kolonial Hindia Belanda, terdapat pemakaian
galeri/gang mengelilingi ruang-ruang pada bagian luar (Sumalyo, 1995:225).
Bagian bangunan ini mempunyai fungsi ganda sebagai penghubung ruang dan
perlindungan terhadap sinar matahari langsung serta air hujan.30 Apabila jendela
ruangan yang menghadap galeri dibuka, matahari tidak secara langsung mengenai
dalam ruangan dan juga terhindar dari tampian air hujan. Akibat adanya galeri
tersebut maka tepi bangunannya dikelilingi oleh barisan kolom yang menunjang
atapnya (Handinoto, 1996:173). Pada bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra
bagian yang menunjang atap galeri berupa tiang pesegi panjang dan tiang terbuat
dari balok kayu.
Foto 3.9 Galeri Sisi Kiri (Barat Laut) Bangunan Panti Asuhan Vincentius Puatra (Dok.: Idham Maulana, 2008)
Foto 3.10: Galeri Pada Kantor NIS Tegal Dilengkapi Dengan Tiang Yang Menopang Atapnya (Sumalyo, 1995:22)
30 Hujan dan matahari diantisipasi dengan membuat galeri sepanjang bangunan, sehingga kalau jendela-jendela ruangan dibuka maka ruang tesebut akan terlindung dari sinar matahari langsung maupun tampias air hujan (Handinoto, 1996:173).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
61
Universitas Indonesia
3.2.4 Pintu
Pintu didefinisikan sebagai bagian dinding yang terbuka, jalan dari satu
ruang ke ruang yang lain, dan bagian dari dinding yang bergerak (Julistiono,
2003:64). Pada umumnya pintu terdiri dari kusen, daun pintu, dan ventilasi
ataupun fanlight. Pintu bangunan kolonial pada umumnya terlihat besar dan
kokoh terbuat dari papan kayu terkadang memiliki bingkai kaca ataupun berjalusi.
Pada bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra terdapat pintu yang memiliki
kemiripan dengan jenis pintu bungalow.
Foto 3.11 Pintu Masuk Utama Gambar 3.6 Pintu bungalow Dok.:Idham Maulana, 2008 (Bucher, 1996:73) Pintu Bungalow adalah suatu bentuk pintu yang dirancang dengan kaca
terletak di atas dari bagian daun pintu, biasanya kaca terbagi dua atau tiga
memanjang horizontal membentuk panil-panil atau bingkai kaca yang memanjang
vertikal (Harris, 1993:73). Bungalow dipengaruhi oleh seluruh gerakan arsitektur
yang berkembang pada masanya dari Art & Craft Quen Anne, gaya kolonial
Inggris dan bahkan modenisme.31 Pertama kali, gaya Bungalow disebut juga
31 Gaya Bungalow berkembang di Amerika sejak tahun 1880 sampai dengan 1930-an. Di Amerika Serikat Bungalow pertama kalinya terdapat di California kemudian menyebar hampir di seluruh kota di Amerika (Winter & Alexander Vertikoof, 1996:31). Di Asia Tenggara Bungalow dibawa oleh Inggris di daerah koloninya Malaysia dan Singapura. Seperti di Malaka, Inggris terkadang mengadopsi dan beradaptasi pada arsitektur tradisional setempat sehingga membentuk apa yang disebut sebagai Colonial Bungalow (Inglis, 1997:29). Di Indonesia, Inggris berkuasa kurang lebih selama 4 tahun yakni diantara 1811-1815 M. Selama masa pemerintahan yang singkat itu tidak banyak ataupun tidak begitu mempengaruhi terhadap bentuk arsitektur di Hindia Belanda. Tahun 1800 sampai dengan tahun 1902 menurut Handinoto (1996:130) yang juga bersumber pada Helen Jessup (1984:2) di Hindia Belanda berkembang bangunan yang berkesan megah dengan pemakaian-elemen-elemen klasik. Kemudian bentuk ini dikenal sebagai gaya Empire style.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
62
Universitas Indonesia
sebagai Quen Anne cottage sebuah nama yang diberikan untuk gaya rumah
pedesaan di Inggris dengan detail Klasik abad pertengahan (Winter & Alexander
Vertikoof, 1996:31).
3.2.5 Jendela
Jendela adalah pembuka pada dinding bagian luar untuk menerima sinar
dan udara, khas dengan bingkai kaca yang dapat dibuka (Bucher, 1996:531).
Jendela diperlukan untuk lubang cahaya agar sinar matahari dapat secara langsung
menyinari ruangan dan juga diperlukan sebagai lubang ventilasi untuk pertukaran
udara di dalam ruangan (Surowiyono, 1996:19). Bentuk jendela pada bangunan
ini ada yang memiliki kemiripan dengan bentuk jendela di Belanda pada akhir
abad 18 dan abad 19 M, jendela ini disebut sebagai jendela Empire Venster.
Foto 3.12 Jendela pada bangunan Panti Asuhan Gambar 3.7 Bentuk Jendela Di Belanda Vincentius Putra Akhir Abad 18 dan Abad 19 (Dok.: Idham Maulana, 2008) (Koch, 1988:36)
3.2.6 Tritisan
Pemakaian tritisan pada bangunan ini, dikarenakan bentuk atap bangunan
ini yang tidak terlalu lebar, sehingga dibutuhkannya tritisan (overstek) yang
dipasang pada bagian muka dan sisi bangunan sebagai pelindung terhadap
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
63
Universitas Indonesia
teriknya sinar matahari.32 Tritisan yang terletak diatas jendela pada muka
bangunan juga merupakan suatu antisipasi untuk mencegah masuknya air hujan
yang terbawa angin mengenai langsung jendela. Pemakaian tritisan dapat
ditemukan pada beberapa bangunan di awal abad ke-20, sebagai contoh yakni
pada bangunan Gereja Koinonia, Jakarta. Pemakaian tritisan juga dapat ditemukan
pada beberapa karya Biro Hulswit & Cuypers sebagai contoh di Batavia yakni
gedung Shanghai Hongkong Bangking yang dibangun empat tahun sebelum
bangunan Vincentius Putra berdiri. Foto 3.13 Tritisan Pada Muka Panti Asuhan Foto 3.14 Tritisan Pada Muka Gereja Koinonia Vincentius Putra Batavia Dok.: Idham Maulana, 2008 Dok. : Rinno Widianto 2008
Foto 3.15 Gedung Hongkong and Shanghai Bangking Corporation Batavia (Sumalyo, 1995:175)
32 Tritisan (Overstek) yang cukup lebar sering diterapkan pada rumah-rumah tinggal. Bentuk
rumah dengan tritisan sebagai pelindung dinding/struktur bangunan dari panas matahari dan hujan
(Surowiyono, 1996:28).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
64
Universitas Indonesia
3.2.7 Tangga
Tangga merupakan unsur desain dan fungsional yang penting di dalam
rumah yang mempunyai lebih dari satu tingkat (Francis & Miller, 1983:125). Pada
bangunan Eropa, tangga bisa mempunyai bentuk dan cara pemakaian yang
berbeda serta dilengkapi dengan Balustrade33. Pada bangunan kolonial di Hindia
Belanda, tangga menjadi elemen yang umum dijumpai pada berbagai bangunan
yang memiliki minimal dua lantai. Tangga bisa ditempelkan didinding atau berdiri
bebas sebagai pembatas ruangan. Adapun tangga pada bangunan ini menempel
pada dinding berbentuk huruf U.
Foto 3.16 Tangga Dengan Balustrade (Dok.: Idham Maulana, 2008
3.2.8 Tiang Kolom
Unsur Klasik Eropa lainnya pada bangunan ini yakni dengan adanya
pemakaian kolom yang terdapat pada lantai 2 terletak menempel pada (fasade)
muka bangunan. Kolom atau column merupakan sebuah bentuk silinder tegak
secara vertikal, element ini secara struktur mendukung bagian dari sebuah
bangunan (Bucher, 1996:87). Kolom sendiri merupakan bagian dari order. Dalam
arsitektur klasik, order adalah sebuah gaya dari kolom dengan entablature secara
teliti memiliki standarisasi, sebagai contoh order Yunani meliputi doric, ionic dan
corinthian; order Romawi yakni dengan adanya penambahan Tuscan dan
Composite (Harris, 1993:574)
33 Balustrade adalah sistem pegangan tangan dan pembatas pada tangga, terras, balkon dan lain-lain ( Sumalyo,2003:540).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
65
Universitas Indonesia
Gambar 3.8 Tipe order Doric, Ionic, Corinthian, Tuscan, Roman Doric dan Composite. (Conway & Roenich, 1997:144-145)
Adapun dari sekian macam bentuk order tersebut, tampaknya kolom pada
bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra ini, memiliki kemiripan dengan jenis
order Tuscan. Tipe order Tuscan merupakan bentuk yang paling sederhana dari
keseluruhan tipe order yang ada. Order Tuscan hanya digunakan dalam arsitektur
klasik Romawi dan dianggap sebagai variasi gaya Romawi dari order doric
(Parker, 1989:117).
Foto 3.17 Kolom Pada Muka Bangunan di Lantai 2 (Sumber: Idham Maulana, 2008)
Tipe order doric sendiri memliki ciri capital (kepala) sederhana tanpa
hiasan, tiangnya agak kokoh dan pendek serta tanpa adanya bagian dasar.
Sedangkan order tuscan bagian capital (kepala) terdiri dari abacus (berbentuk
persegi), echinus (pelipit berbentuk seperempat lingkaran) dan sebuah fillet
(bagian rata yang sempit befungsi untuk memisahkan). Tiangnya polos tidak
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
66
Universitas Indonesia
berhias, memiliki bagian dasar terdiri dari plinth (berbentuk persegi) diatasnya
terdapat sebuah torus (pelipit setengah lingkaran) dan sebuah fillet. Pada bagian
bawah base (dasar) order ini terdapat pedestal (lapik/alas/tumpuan).
3.2.9 Tiang Besi
Di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 mulai muncul bahan bangunan
baru yang digunakan untuk bangunan, yakni penggunaan besi cor sebagai
pengganti kolom batu. Besi cor bentuknya lebih langsing bila dibandingkan
dengan kolom batu yang bentuknya lebih bongsor (Handinoto 1996:144).
Meskipun terdapat pemakaian tiang dari besi pada beberapa bangunan, tiang
kolom dari batu masih digunakan pada bangunan kolonial lainnya. Pada bangunan
Panti asuhan Vincentius Putra pemakaian tiang besi terletak pada lantai 2 ruang
35. Tiang ini berbentuk tinggi langsing tanpa adanya hiasan berjumlah 12 tiang.
Foto 3. 18 Tiang Besi Pada Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra (Dok.: Idham Maulana, 2008)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
67
Universitas Indonesia
Foto 3.19 Tiang Besi Pada Rumah Residen van West Java Sekarang Menjadi Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta (Heuken, 2008: 127)
3.3 Atap Bangunan
Atap merupakan bagian atas dari bangunan yang berguna sebagai naungan
terhadap panas maupun jatuhnya air hujan. Di Eropa terdapat beberapa atap yang
dikenal secara umum diantaranya; atap gable, hip, gambrel, dan manshard. Atap
gable adalah suatu atap yang teratur meninggi lurus dan berbentuk seperti huruf V
terbalik memenuhi kemiringan atap (Conway & Roenisch, 1994: 83).
Gambar 3.9 Jenis Atap Tradisional (Eropa)
(Weidhaas, 1984:187)
Atap hip adalah suatu atap yang konstruksinya lebih rumit bila
dibandingkan dengan atap gable, tetapi biasanya digunakan dengan puncak atap
yang rendah pada rumah yang tidak bertingkat (Weidhaas, 1984:187). Atap
gambrel merupakan suatu bentuk atap yang bercirikan oleh sepasang bubungan
landai diatas sebuah pijakan landai juga pada setiap sisi dari pusat bubungan atap
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
68
Universitas Indonesia
(Bucher, 1996,1984:203). Atap mansard adalah dua bubungan atap dengan
langkah/tingkatan rendah, nama jenis atap ini diberikan oleh arsitek asal Prancis
Francois mansart (1598-1666) (Bucher, 1996: 281).
Gambar 3.10 Tampak Depan Atap Bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra (Dok: Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman DKI Jakarta, Telah Diolah Kembali)
Pada bangunan Panti Asuhan Vincentius Putra, bentuk atapnya memiliki
kemiripan dengan jenis atap hip. Atap jenis ini memiliki kompenen seperti ridge
board (papan bubungan), common rafters (kasok biasa), hip rafters (kasok
pinggul), dan jack rafter (kasok dongkrak). Pada umumnya memiliki kemiringan
45 derajat. Elemen yang melekat pada atap bangunan ini yakni adanya dormer
dan cerobong asap semu.
Gambar 3.11 Komponen dari Atap Hip ( http://www.oas.org/CDMP/document/codedraw/sectna1.htm Diakses Bulan Mei 2009)
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
69
Universitas Indonesia
Bentuk jenis atap hip ini pada arsitektur Jawa dikenal juga sebagai atap
limasan. Bentuk limasan mempunyai denah empat persegi panjang, dengan empat
bidang atap, yakni dua bidang berbentuk segitiga sama kaki yang disebut”kejen”
atau “cocor”, sedang dua bidang lainnya berbentuk jajar genjang sama sisi yang
disebut”brunjung”(Budihardjo, 1986:50). Agaknya atap hip dan limasan memiliki
kemiripan dalam segi bentuk, meskipun demikian adanya pemakaian domer pada
atap bangunan ini lebih memiliki kesamaan dengan atap yang terdapat di Eropa.
Brunjung
Kejen
Gambar 3.12 Bentuk Atap Limasan (Budihardjo, 1986:58)
3.3.1 Cerobong Asap Semu
Cerobong asap menjadi pelengkap yang penting pada penyelesaian dari
atap bangunan klasik Eropa (Janse,TT:84). Sebuah cerobong asap dapat
diletakkan pada bubungan atap, pada sisi bagian atap atau bagian ujung dari atap
hip (Brunskill, 1971: 90). Pemakaian cerobong asap di Eropa secara fungsional
untuk menyalurkan asap pembakaran dari perapian/fireplace. Sedangkan di
Hindia Belanda cerobong asap tampaknya akan kurang dibutuhkan dan
mengalami perubahan bentuk, digantikan dengan cerobong asap semu sebagai
bentuk pelengkap dekoratif pada atap bangunan.34
34 Di Hindia Belanda cerobong asap yang menjulang tinggi di negeri Belanda, digantikan menjadi ”cerobong asap semu” yang berukuran pendek, atau diwujudkan dengan hiasan batu berukir ragam hias bunga (Soekiman, 2000:271).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
70
Universitas Indonesia
Pemakaian terhadap cerobong asap semu pada bangunan Panti Asuhan
Vincentius Putra dapat juga dijumpai pada berbagai bangunan dari karya Hulswit
& Cuyper di awal abad 20 misalnya Javasche Bank Batavia, Javasche Bank
Bandung, kantor lama HVA (Handelsvereniging Amsterdam) Surabaya dan
lainnya dengan bentuk yang bervariasi tetapi memiliki keletakan yang sama yakni
di kedua ujung bumbungan atap.
Gambar 3.13 Cerobong Asap Semu Gambar 3.14. Cerobong Asap Semu Javacshe Panti Asuhan Vincentius Putra Bank Bandung dan Batavia (Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, (Sumalyo, 1995:152-166) Telah Diolah Kembali)
3.3.2 Penutup Atap
Penutup atap sangatlah penting, karena fungsinya melindungi bangunan
dan penghuninya dari teriknya matahari dan hujan. Atap sangat mutlak harus
bebas dari segala kebocoran, oleh karena itu penutup atap harus bebas dari bentuk
yang berliku-liku yang dapat mengundang kebocoran.
Bentuk dan bahan penutup atap sangat beragam, di Eropa sendiri dikenal
beberapa jenis bahan penutup atap seperti thatch, slate, stone flage, plain tiles,
dan pantile. Thatch secara prinsipnya material ini menggunakan jerami/merang
gandum (Brunskill, 1971:80). Thatch adalah material yang relatif mudah tidak
perlu membutuhkan sebuah konstruksi atap khusus dan dapat digunakan dengan
material dinding seadanya.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
71
Universitas Indonesia
Gambar 3.15 Jenis Penutup Atap di Eropa (Brunskill, 1971:81-89)
Slate adalah batuan metamorphic dapat digunakan juga sebagai lantai.
Slate sangat populer karena daya tahannya terhadap api dan sangat estetis, karena
slate tersedia dengan berbagai macam warna (merah, hijau, dan biru)
menjadikannya material yang efektif untuk pola dekoratif.
Stone flage pada dasarnya adalah batu pasir yang dibuat tipis dengan
tekstur halus, biasanya dipasang pada derajat yang rendah sekitar 30 derajat. Pada
salah satu sisi dari Stone Flage berbentuk setengah lingkaran dan diberi lubang.
Adanya lubang tersebut berfungsi sebagai pengait yang dalam pemasangannya
dipaku pada konstruksi atap bertujuan sebagai penguat agar tidak jatuh.
Plain tiles terbuat dari tanah liat berbentuk datar cenderung agak
cembung. Pada tepi sisi bagian dalamnya terdapat dua buah tonjolan yang
berfungsi sebagai pengait. Penutup atap jenis ini biasanya dipasang pada derajat
diantara 45 dan 60 derajat. Pantiles memiliki kesamaan dengan plain tiles pada
bahan dan pembuatannya. Perbedaan yang terlihat yaitu pada bentuk dan
ukurannya. Pada pantiles bentuk penampang sampingnya seperti huruf S dan pada
umumnya memiliki ukuran dengan panjang 13 ½ cm dan lebarnya 9 ½ cm.
Pantiles dapat diletakkan antara 30 sampai 35 derajat (Brunskill, 1971:88).
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009
72
Universitas Indonesia
Penutup atap jenis pantiles atau yang lebih dikenal sebagai genteng
banyak dijumpai pada bangunan kolonial di Batavia termasuk juga pada bangunan
Panti Asuhan Vincentius Putra. Keberadaan jenis ini pun berkembang di Belanda.
Pada akhir abad 17 Inggris mengimpor pantiles dari Holland (Brunskill, 1971:88).
Bila dibandingkan dengan keempat jenis lainnya, agaknya jenis ini lebih populer
dan mempunyai kelebihan dari keempat jenis tersebut, yakni dengan penampang
samping berbentuk huruf S sehingga antar sisi genteng saling mengait,
memungkinkan tidak adanya celah untuk masuknya air hujan. Menurut
Budihardjo (1983:80) penutup atap dari genteng sangat baik sekali dan dapat
bertahan ratusan tahun bila kualitas genteng itu dibuat dari tanah liat tanpa
adanya campuran semen, karena semen dapat membuat keretakan-keretakan halus
yang berakibat genteng tidak tahan lama.
Bentuk dan..., Idham Maulana, FIB UI, 2009