BAB 2 H

38
3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Hepar Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004). Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2006). Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobulus-lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

description

hepatitis B pada kehamilan

Transcript of BAB 2 H

Page 1: BAB 2 H

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hepar

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia dengan berat kurang

lebih 1,5 kg (Junqueira dkk., 2007). Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di

bawah kerangka iga (Sloane, 2004).

Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis

tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis

dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium,

dan cor. Hepar terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra

(Snell, 2006).

Hepar tersusun atas lobuli hepatis. Vena centralis pada masing-masing lobulus

bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobulus-lobulus terdapat canalis

hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah

cabang ductus choledochus (trias hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-

sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004).

Gambar 2.1.1 : Hati, Hepar; di tempat lipatan, peritoneum dilepaskan; tampak cranial

(Putz, R & Pabst R, 2007).

Page 2: BAB 2 H

4

Gambar 2.1.2: Hati, Hepar; bagian-bagian diafragma tetap dipertahankan untuk memperlihatkan

bersatunya hati dan diafragma; Lig. Falciforme dan Lig. Teres hepatis disayat; tampak ventral

(Putz, R & Pabst R, 2007).

Gambar 2.1.3: Hati, Hepar; porta hati, porta hepatis; pita pengikat yang memfiksasi hati dan

pembuluh-pembuluh darah disayat; tampak dorsal. (Putz, R & Pabst R, 2007).

Page 3: BAB 2 H

5

2.2 Histologi Hepar

Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag

yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak). Sel hepatosit

berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa

dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan

beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah

diantara lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati

(Junquiera et al., 2007).

Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya tidak

teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3 macam

sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel kupffer yang fagositik

dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk

menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran

darah di sinusoid berasal dari cabang terminal vena portal dan arteri hepatik, membawa

darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung

(Eroschenko, 2010; Junqueira et al., 2007).

Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal, darah

yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis. Traktus

portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar

adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian terdapat

arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari arteri hepatik.

Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur

itu, ditemukan juga limfatik (Junqueira et al., 2007).

Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus hepatik.

Asinus hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal. Asinus ini

terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah mengalir dari

traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini terbagi menjadi 3 zona,

dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal sehingga paling banyak

Page 4: BAB 2 H

6

menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak paling jauh dan hanya

menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet berada diantara zona 1 dan 3.

Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik (Junqueira et al., 2007).

Gambar 2.2.1 Lobulus hati (pandangan menyeluruh, potongan transversal). Pulasan :

Hematoksilin dan eosin. Pembesaran lemah. (Eroschenko, 2010)

2.3 Fisiologi Hepar

Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:

a. Metabolisme karbohidrat

Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam

jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis,

dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme

karbohidrat.

b. Metabolisme lemak

Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain:

mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain,

Page 5: BAB 2 H

7

membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak

dari protein dan karbohidrat.

c. Metabolisme protein

Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino,

pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan

protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain

dari asam amino.

d. Lain-lain

Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin,

hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang

digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau

mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

2.4 Virus Hepatitis B

Virus Hepatitis B (HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan

merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan

pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak

dapat menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi

simpanse. Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang

terdiri dari 3200 nukleotida dengan diameter 42 nm dan terdiri dari 4 gen. Virus

hepatitis B dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42

nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan partikel batang dengan lebar 22 nm dengan

panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat

dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B

surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core

dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HBcSg) yang membungkus DNA, DNA

polymerase, transcriptase, dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang

terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk

Page 6: BAB 2 H

8

adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas dan terutama hati.

HBeAg merupakan pertanda tidak langsung dari derajat beratnya infeksi (Arief, 2012).

2.5 Definisi Penyakit Hepatitis B

Hepatitis adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus

Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula

menyebabkan radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan kematian (Sudoyo et

all, 2009).

Hepatitis B akut adalah infeksi virus hepatitis B dengan masa inkubasi 15-180

hari (rata-rata 60-90 hari) dengan viremia yang berlangsung selama beberapa minggu

sampai bulan setelah infeksi akut, dimana pada 1-5% dewasa, 90% neonates dan 50%

bayi akan berlangsung menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten. (Sudoyo et

all, 2009)

Hepatitis B kronis adalah adanya Hepatitis B surface antigen (HBsAg) persisten

selama lebih dari 6 bulan setelah kontak awal dengan virus. Hepatitis B kronis dapat

mengakibatkan morbiditas dan mortalitas dengan menjadi sirosis hepatis dan kanker

hati pada sampai 40% orang yang terinfeksi. (Troung and Walker, 2013)

2.6 Epidemiologi Penyakit Hepatitis B

Menurut World Health Organization (WHO) VHB terjadi di seluruh dunia.

Jumlah tertinggi karier HBsAg ditemukan di negara berkembang dengan fasilitas

kesehatan yang terbatas dan belum modern. Di Afrika dan Asia, penyebaran infeksi

sering terjadi pada bayi dan anak-anak, jumlah karier HBsAg antara 10% sampai 15%.

Prevalensi terendah di negara dengan standart kehidupan yang tinggi, seperti di Kanada,

Amerika Serikat, Skandinavia, dan beberapa negara di Eropa lainnya. (WHO, 2015)

Indonesia merupakan negara dengan endemisitas tinggi Hepatitis B, terbesar

kedua setelah di negara South East Asian Region (SEAR) setelah Myanmar.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar, studi dari uji saring darah donor PMI maka

diperkirakan antara 100 orang di Indonesia, 10 diantaranya telah terinfeksi Hepatitis B

Page 7: BAB 2 H

9

atau C. Sehingga saat ini diperkirakan terdapat 28 juta penduduk Indonesia yang

terinfeksi Hepatitis B dan C, 14 juta orang berpotensi untuk menjadi kronis dan dari

yang kronis tersebut 1,4 juta orang berpotensi untuk menderita kanker hati. (Kemenkes

RI, 2014). Di Indonesia, 3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis B dengan risiko

penularan maternal kurang lebih 45%. (IDAI, 2002)

2.7 Patogenesis Penyakit Hepatitis B

Menurut WHO (2012), model transmisi hepatitis B adalah sama dengan model

transmisi untuk Virus Human Immunodeficiency (HIV). Tetapi, virus hepatitis B 50

sampai 100 kali lebih menular. Tidak seperti HIV, virus hepatitis B dapat bertahan

hidup di luar tubuh dan stabil pada permukaan lingkungan setidaknya selama tujuh hari.

Selama waktu ini, virus tetap dapat menyebabkan infeksi jika memasuki tubuh orang

yang tidak dilindungi oleh vaksin. Inokulasi langsung virus hepatitis B dapat terjadi

melalui benda mati seperti sikat gigi, botol bayi, mainan, pisau cukur, peralatan makan,

peralatan rumah sakit dan benda - benda lain serta melalui kontak dengan selaput lendir

atau kulit yang terluka. Masa inkubasi dari virus hepatitis B rata-rata adalah 90 hari,

tetapi dapat bervariasi 30-180 hari. Virus ini dapat dideteksi 30 sampai 60 hari setelah

infeksi dan berlangsung selama periode variabel waktu tertentu.

Patogenesis dan manifestasi klinis dari hepatitis B adalah karena interaksi antara

virus dengan sistem imun sel inang. Sistem imun menyerang virus hepatitis B dan

menyebabkan terjadinya luka pada hati. Limfosit CD4+ dan limfosit CD8+ yang

teraktivasi mengenali berbagai peptida virus hepatitis B yang terletak pada permukaan

hepatosit, dan reaksi imunologis pun terjadi. Reaksi imun yang terganggu (pelepasan

sitokin, produksi antibodi) atau status imun yang relatif toleran dapat mengakibatkan

terjadinya hepatitis kronik. Keadaan akhir penyakit hepatitis B adalah sirosis. Pasien

dengan sirosis hati dan infeksi virus hepatitis B cenderung untuk mengembangkan

karsinoma hepatoseluler (Fan, et al., 2012).

Pada saat awal infeksi hepatitis B terjadi toleransi imunologi, dimana virus

masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat melakukan replikasi tanpa

Page 8: BAB 2 H

10

adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV,

HBsAg, HBeAg, dan anti -HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung terus

selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak, yang dinamakan sebagai

pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis sehingga terjadi

kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau

berkembang menjadi hepatitis kronik (Arief, 2012).

2.8 Gambaran Klinis Hepatitis B

Masuknya virus hepatitis B kedalam keadaan tubuh seseorang dapat menimbulkan

penyakit mulai dari asimptomatik, subklinik, hepatits akut sampai kronik, pengerasan

hati sampai karsinoma hati primer dengan keluhan-keluhan dimana sebagian besar

tanpa keluhan dan sebagian kecil dengan keluhan dengan gejala dan tanda penyakit

hepatitis B. (Arief, 2012)

2.8.1 Hepatitis B akut

Keadaan akut dari hepatitis B sering sembuh spontan setelah 4-8 minggu.

Kebanyakan pasien mengalami perbaikan tanpa komplikasi. Walaupun prognosisnya

tidak pasti, khususnya pada penderita dewasa yang dapat berkembang menjadi

fulminan, kasus fatal dari nekrosis hepatic akut. Banyak pada anak – anak yang

terinfeksi sebelum usia tujuh tahun akan menjadi karrier hepatitis B kronik. (WHO,

2015)

Masa inkubasi bervariasi biasanya antara 45 sampai 120 hari, dengan rentang

60-90 hari. Variasi ini berhubungan dengan jumlah virus, cara transmisi dan faktor host.

(WHO, 2015)

Tanda dari virus hepatitis akut adalah peningkatan aktivitas transaminasi

(aminotransferase) serum. Peningkatan aminotransferase, khususnya ALT, selama

hepatitis B akut bervariasi mulai peningkatan ringan/sedang yaitu kelipatan 3-10 kali

sampai peningkatan yang mencolok sampai 100 kali lipat. (WHO, 2015)

Page 9: BAB 2 H

11

Pada pasien dengan gejala klinis, gejala biasanya tersembunyi dengan kelelahan,

anoreksia, nyeri perut, mual dan muntah, kadang – kadang atralgia dan duam, sering

menjadi ikterus. Panas mungkin tidak ada atau ringan. (WHO, 2015)

Pada fase ikterus, hepatitis virus akut biasanya mulai pada hari ke 10 dengan

gejala awal dengan munculnya urin berwarna gelap diikuti dengan tinja pucat dan

warna kuning pada membrane mukosa, konjungtiva, sclera dan kulit. Ikterus mulai

terlihat secara klinis ketika bilirubin total mencapai 20 sampai 40 mg/l. Hal tersebut

dapat diikuti dengan hepatomegali dan splenomegali. Setelah 4-12 minggu, warna

kuning menjadi tidak terlihat dan gejala klinis berkurang dengan perkembangan yang

alami, anti-HBs, sekitar 95% pada orang dewasa. (WHO, 2015)

Pada presentase kecil, penderita meninggal dengan hepatitis B akut. (WHO,

2015)

2.8.2 Hepatitis B kronis

Gambaran klinis Hepatitis B kronis sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak

didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati hasilnya normal. Pada

sebagian lagi didapatkan hepatomegali atau bahkan splenomegali atau tanda-tanda

penyakit hati kronis lainnya, misalnya eritema Palmaris dan spider nevi, serta pada

pemeriksaan laboratorium sering didapatkan kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal

itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan konsentrasi bilirubin yang

normal. Konsentrasi albumin serum umumnya masih normal kecuali pada kasus-kasus

yang parah. (Sudoyo et al, 20019)

Manifestasi klinis hepatitis B kronis dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

1. Hepatitis B kronik yang masih aktif (Hepatitis B kronik aktif). HBsAg positif

dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ml didapatkan kenaikan ALT yang

menetap atau intermiten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda penyakit

hati kronik. Pada biosi hati didapatkan tanda peradangan yang aktif. Menurut

status HBeAg pasien dikelompokkan menjadi hepatitis B kronik HBeAg positif

dan hepatitis B kronik HBeAg negatif.

Page 10: BAB 2 H

12

2. Carrier VHB inaktif (Inactive HBV Carrier State). Pada kelompok ini HBsAg

positif dengantiter DNA VHB yang rendah yaitu kurang dari 105 kopi/ml. Pasien

menunjukkan konsentrasi ALT normal dan tidak didapatkan keluhan. Pada

pemeriksaan histologik terdapat kelainan jaringan yang minimal. Sering sulit

membedakan Hepatitis B Kronik HBeAg negative dengan pasien carrier VHB

inaktif karena pemeriksaan DNA kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin.

Dengan demikian perlu dilakukan pemeriksaan ALT berulang kali untuk waktu

yang cukup lama.

Pemeriksaan biopsy untuk pasien Hepatits B Kronik sangat penting terutama

untuk pasien dengan HBeAg positif dengan konsentrasi ALT 2x nilai normal tertinggi

atau lebih. Biopsi hati diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti dan untuk

meramalkan prognosis serta kemungkinan keberhasilan terapi (respons histologik).

Sejak lama diketahui bahwa pasien Hepatitis B kronik dengan peradangan hati yang

aktif mempunyai resiko tinggi untuk mengalami progresi, tetapi gambaran histologik

yang aktif juga dapat meramalkan respons yang baik terhadap terapi imunomodulator

atau antivirus. (Sudoyo et al, 20019)

2.9 Pemeriksaan Laboratorium pada Hepatitis B

Untuk mengetahui secara tepat stadium yang diderita, maka dibutuhkan biopsi

hati. Biopsi hati merupakan gambaran pemeriksaan secara pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium ini memungkinkan diagnosis jaringan hepatitis. (Robinson,

1994)

Tes terhadap\ fungsi hati abnormal, seperti alanin aminotransferase serum (ALT/

SGPT) dan bilirubin, membantu oenemuan klinik, patologik, dan epidemiologik. Nilai-

nilai transminase pada hepatitis akut berkisar antara 500-2000 satuan dan hampir tidak

pernah di bawah 100 satuan. Niala ALT biasnya lebih tinggi dari aspartat transaminase

serum (AST/ SGOT). Suatu kenaikan tajam dari ALT dalam waktu 35-200 hari

menunjukkan infeksi virus hepatitis B. (Robinson, 1994)

Page 11: BAB 2 H

13

HbsAg disintesis pada sitoplasma sel hai dan kemungkinan dilepaskan kedalam

aliran darah. Adnaya HbsAg di dalam darah merupakan petunjuk paling dini infeksi

virus hepatitis B yang sedang berlansung. HbsAg sudah dapat ditemukan dala darah

pada masa inkubasi dan titer tertinggi dicapai pada saat timbulnya gejala klinis atau

setelah infeksi. (Robinson, 1994)

Pemeriksaan serologik yaitu suatu pemeriksaan penunjang gambaran hasil

pemeriksaan laboratorium untuk mendapatkan petanda-petanda serologik hepatitis B

virus. Pemeriksaan ini melakukan pengolaan yang mendekati kebenaran. Tanda-tanda

serologik HBV-Kronik. Pemerikasaan serologik yang sering dilakukan adalah

penentuan imunosorben radioimun (RIA), penemuan imunosorben yang berkaitan

dengan enzim (ELISA) dan teknik aglutinasi sel darah merah (RCA). (Hollinger, 2001)

Pertama dilakukan tes positif terhadap HbsAg (antigen permukaaan). Tes ini

menunjukan interpretasi bahwa infeksi hepatitis B virus aktif, baik akut maupunkronik

yang telak aktif dalam masa inkubasi. Biasanya 2-6 minggu sebelum timbulnya gejala-

gejala. Pada hepatitis akut HbsAg hilang dalam waktu beberapa minggu atau bukan,

kemudian anti-HBS yang akan terdeteksi seumur hidup. Pada sebagian kecil Anti-HBs

kemudian bisa tidak terdeteksi. Bila HbsAg tidak hilang, dan persisten labih dari 6

bulan dinamnakan hepatitis kronik. (Hollinger, 2001)

Kedua tes positif HbeAg. Yaitu serologik HBV lain yang ditemukan pada waktu

yang sama termasuk partikel Dane (HBV), dapat dilihat dengan mikroskop elektron.

Antigen inti dan polimerase DNA virus dapat diukur dengan memecah HBV. HbeAg

terdeteksi dalam serum dalam waktu singkat setelah terdeteksi HbsAg. HbeAg bersama

dengan HBV DNA menandakan bahwa replikasi HBV yang masih aktif. (Hollinger,

2001)

Ketiga pemeriksaan tes positif terhadap Anti-HBs (pada keadaan tidak ada

HbsAg). Hasil tes ini menginterpretasikan perlindungan terhadap reinfeksi atau

kekebalan dan bertahan tahunan. (Hollinger, 2001)

Keempat, pemeriksaan tes positif Anti- HBc (pada keadaan tidak ada Anti-HBs).

Hasil tes ini mengintrepetasikan tidak dapat disingkirkan kemungkinan infeksi HBV

Page 12: BAB 2 H

14

aktif. Infeksi HBV terakhir dapat dibuktikan dengan memeriksa bahan untuk mencari

titer IgM anti- HBc yang tinggi. (Robinson, 1994)

Meningkatnya nilai transaminase (SGC SGPT) mencerminkan kerusakan

hepatoseluler, namun enzim-enzim tersebut dimiliki juga oleh organ lain. SGPT lebih

spesifik untuk hepar dibandingkan SGOT. Karena itu pemeriksaan transaminase sering

menitik beratkan pada pemeriksaan SGPT pemeriksaan hepatitis B kronik. (Robinson,

1994)

Transaminase bisa normal pada hepatitis B kronik dan ada juga yang nilainya

meningkat. Pada waktu terjadinya eksaserbasi, reaktivitas proses replikasi ditandai

peningkatan transaminase secara bermakna. (Robinson, 1994)

Penignkatan SGPT dalam pemeriksaan hepatitis B kronik yaitu, penignkatan

nilai lebih dari dua kali batas normal, pada tiga kali pemeriksaan selang satu bulan

berturut-turut yang dilakukan selama tiga bulan. Disini menyingkirkan sebab-sebab dari

peningkatan SGPT tersebut. (Robinson, 1994)

2.10 Pengaruh Hepatitis B pada Kehamilan

Transmisi infeksi dari ibu biasanya dianggap infeksi perinatal. Menurut definisi

periode perinatal mulai dari 28 minggu gestasi dan berakhir pada 28 hari setelah

melahirkan. Oleh sebab itu, “transmisi perinatal” sebenarnya tidak termasuk infeksi

yang terjadi sebelum dan sesudah periode ini dan dapat diganti dengan istilah

“Transmisi ibu ke anak” yang menghitung semua infeksi HBV sebelum persalinan,

selama persalinan dan pada masa kanak – kanak. (Sinha, 2010)

Secara teori, ada tiga rute yang memungkinkan transmisiHBV dari infeksi ibu ke

janinnya.

a. Transmisi HBV melalui transplacenta di dalam rahim

b. Transmisi natal selama persalinan

c. Transmisi post natal selama pengasuhan atau melalui ASI

Pada bayi baru lahir yang ibunya postitif HBsAg dan HBeAg, yang tidak

mendapat immunoprofilaksis setelah terpapar, resiko terinfeksi HBV kronis sekitar

Page 13: BAB 2 H

15

70%-90% sampai usia 6 bulan. Vaksin Hepatitis B dapat mencegah 70%-95% infeksi

HBV pada bayi baru lahir oada ibu yang HBsAg dan HBeAg positif. Pada kebanyakan

studi mengenai profilaksis setelah terpapar, vaksin HBV diberikan pada bayi pada 12-

24 jam dari kelahiran mereka. Efek maksimal dari vaksin dalam mencegah transmisi ibu

ke anak menurun seiring waktu setelah persalinan. Oleh karena itu, telah diambil

kesimpulan dan diterima secara luas, bahwa transmisi HBV ibu ke anak paling banyak

terjadi pada saat atau waktu yang dekat dengan persalinan (transmisi natai). (Harpaz et

al, 2000)

2.11 Pengaruh Kehamilan Pada Hepatitis B

Selama kehamilan, terdapat beberapa modifikasi pada sistem imun maternal,

yaitu pergerakan keseimbangan Th1-Th2, peningkatan jumlah sel T dan sebgainya yang

berkontribusi terhadap penurunan respon imun melawan HBV. Tujuan dari modifikasi

ini adalah mencegah penolakan fetus yang sebagian alogenik terhadap sistem imun ibu.

Hasil dari modifikasi tersebut adalah peningkatan HBV DNA dan pengurangan level

aminotransferase. Setelah persalinan, sistem imun mengalami perbaikan yang dapat

menyebabkan konsekuensi sebaliknya, ada peningkatan aminotransferase (ALT) dan

pengurangan HBV DNA pada periode ini. (Ter Borg, 2008)

2.12 Cara penularan

Penularan Hepatitis B sering tidak disadari, padahal ada sekitar 2 milyar orang

di dunia yang menderita penyakit Hepatitis B ini. Data dari WHO menunjukkan bahwa

sejumlah 400 juta orang di dunia menderita Hepatitis B akut yang berpotensi menjadi

sirosis yaitu pengerasan hati bahkan berpotensi menjadi kanker hati. Paling tidak ada

satu juta orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit ini. Penularan Hepatitis B

lebih tinggi dibandingkan dengan penularan virus HIV. Menurut data yang diperoleh dari

WHO, Penularan Hepatitis B lebih mudah sekitar 50 hingga 100 kali dibanding

penularan virus HIV. Penularan Hepatitis B dapat terjadi melalui kontak darah dan atau

pertukaran cairan tubuh. Penularan Hepatitis B antara lain dapat terjadi melalui transfusi

Page 14: BAB 2 H

16

darah, melalui jarum suntik yang digunakan lebih dari satu kali, jarum tato, jarum bor

gigi, atau alat kebersihan pribadi seperti pemakaian bersama pisau cukur, sikat gigi atau

handuk. Penularan Hepatitis B lebih sering terjadi melalui kulit atau selaput lendir,

bagian tubuh yang mengalami luka terbuka, ciuman atau hubungan seks dengan orang

yang menderita. Jadi Penularan Hepatitis B bukan melalui makanan dan minuman serta

kontak langsung (seperti bersalaman, berbicara saling berhadapan) layaknya VHA.

Penularan Hepatitis B terjadi dengan sangat mudah yaitu melalui cairan tubuh

penderita, misalnya lewat air mani, air liur, serta cairan tubuh lainnya. Mereka yang

beresiko mengalami Penularan Hepatitis B ini antara lain adalah bayi yang baru lahir,

orang yang melakukan yang tidak aman; dalam hal ini mereka yang sering berganti

pasangan atau homoseksual. Hubungan seksual memang merupakan salah satu cara

penularan hepatitis B ke pasangan. Pintu masuknya adalah lender pada vagina dan atau

air mani pengidap virus hepatitis B ( VHB ). Namun penularan cara ini kebanyakan

terjadi di negara dengan endemisitas infeksi virus hepatitis B ( VHB ) rendah. Menurut

sebuah penelitian, pasangan penderita infeksi Virus Hepatitis B ( VHB ) kronis berisiko

tertular VHB. Dan sektiar 70% homoseksual terinfeksi penyakit hepatitis B setelah lima

tahun melakukan hubungan seksual aktif. Para pengidap virus hepatitis B umumnya

tidak memperlihatkan gejala atau keluhan, sehingga mereka umumnya tidak mengetahui

bahwa dirinya mengidap VHB. Dengan demikian, jika mereka ini (pembawa carrier)

setiap kali berganti pasangan, maka potensi penularan hepatitis B ke pasangan-pasangan

seksualnya tinggi.

Selain dari itu penularan hepatitis B juga beresiko terhadap mereka yang

terbiasa menggunakan alat kebersihan secara bersama, jarum suntik, tindik, tato, dan lain

sebagainya. Penularan hepatits B ini disebut penularan parenteral. Bisa juga penularan

melalui goresan atau abrasi kulit. Penularan Hepatitis B menjadi sangat mudah karena

virus Hepatitis B dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia hingga beberapa minggu.

Penularan hepatitis B dari ibu ke janin dikenal sebagai penularan transmisi perinatal atau

vertical. Virus hepatitis B tersebut menular dari ibu ke janin yang dikandungnya atau di

Page 15: BAB 2 H

17

bayi yang dilahirkannya melalui peredaran darah tali pusat, atau saat proses melahirkan,

atau setelah melahirkan.

2.13 Terapi Hepatitis B

Tujuan penatalaksanaan adalah penyembuhan total dari infeksi VHB yang ditandai

dengan hilangnya VHB dan penyembuhan radang hatinya. Keadaan ini ditandai dengan

menghilangnya HbsAg, DNA polymerase, VHB-DNA, serta nilai SGOT dan SGPT

yang menurun kedalam batas normal. Kadang kala penatalaksanaan hanya bisa

mengurangi infektifitas, menhambat replikasi virus, mengurangi kematian sel hati

akibat reaksi radang, serta mencegah transformasi sel hati kearah keganasan.

Obat-obat yang digunakan untuk menyembuhkan hepatitis B kronis antara lain

adalah obat antivirus, imunomodulator dan biological response modifiers.

1) Obat pencegah proses replikasi virus atau obat antivirus

Pengobatan antivirus harus diberikan sebelum virus sempat berintegrasi ke dalam

genom penderita. Jadi, pemberiannya perlu dilakukan sedini mungkin sehingga

kemungkinan terjadi sirosis dan hepatoma depat dikurangi.

Yang termasuk obat antivirus adalah interferon tipe I (alfa dan beta), adenin

arabinoside monophosphate (ARA-MP), Ribavirin, dan Acyclovir.

a) Interferon (IFN)

Interferon merupakan salah satu unsur penting dalam sistem kekebalan alamiah

disamping ikut mengatur sistem kekebalan yang didapat. Pengaruh IFN sudah tampak

jauh lebih cepat sebelum mekanisme lainnya berfungsi. Penyakit hepatitis B yang

menjadi kronis sering dihubungkan dengan produksi IFN yang berkurang atau peran

IFN yang menurun.

Telah diketahui bahwa IFN mempunyai khasiat sebagai antivirus, antiproliferatif,

dan imunomodulasi. Dengan cara DNA rekombinan, saat ini telah dapat dibuat alfa,

beta, dan gamma IFN. Alfa atau leukosit IFN dihasilkan oleh leukosit. Beta atau

fibroblas IFN dihasilkan oleh limfosit. Sementara gamma atau tipe II IFN dihasilkan

oleh limfosit T. IFN alfa dan IFN beta mempunyai reseptor yang sama, keduanya

Page 16: BAB 2 H

18

disebut IFN tipe I. Interfeon tipe I meliputi antara lain IFN alfa leukosit, IFN alfa

limfoblastoid, IFN alfa rekombinan dan IFN beta. Obat ini pada hepatitis B kronis

digunakan untuk menekan replikasi virus atau membasminya sehingga terjadi

penyembuhan (remisi).

Tidak semua penderita hepatitis B kronis dapat diberikan IFN. Yang dapat diberiakn

obat ini adalah penderita yang berdasarkan pemeriksaan histopatologis mengarah pada

hepatitis kronis aktif. Keadaan ini ditandai dengan aktifnya virus mengadakan replikasi

yang diketahui dengan kenaikan SGOT dan SGPT, serta HbeAg dan VHB DNA serum

yang positif pada pengamatan (observasi) selama 6 bulan.

IFN harus diberikan secara suntikan (parenteral). IFN alfa dapat diberikan secara

intravena, intramuskular, ataupun subkutan. IFN beta dan IFN gamma harus diberikan

secara intravena untuk mencapai kadar optimal di dalam serum.

Efek samping pemberian IFN tergantung pada dosis yang diberikan, bisa cepat

(dini) atau lambat. Efek samping yang timbul dini antara lain menggigil, demam, sakit

kepala, badan terasa sakit (mialgia), sakit pada persendian (arthralgia), sukar tidur

(insomnia), dan rasa lelah (fatigue).

Untuk mengatasinya penyuntikan dilakukan menjelang tidur dan diberikan

parasetamol atau obat anti inflamasi lainnya untuk menghilangkan keluhan yang timbul.

Efek samping yang timbul secara lambat muncul setelah 2 minggu. Gejalanya antara

lain kelemahan (astenia dan letargi), kadang-kadang depresi, tidak nafsu makan

(anoreksia), mual (nausea), dan rambut rontok. Jumlah leukosit dan trombosit menurun

pada 2 minggu pertama pengobatan dan normal kembali setelah pengobatan dihentikan.

Pengobatan dengan IFN akan berhasil lebih baik pada orang dengan kondisi berikut:

(1) Titer VHB-DNA rendah (<200). Titer yang tinggi berarti prognosa kurang baik.

(2) Nilai SGPT tinggi (>200 U). Bila nilai SGPT < 2,5 kali up-perlimit maka

pengobatannya lebih sulit.

(3) Periode hepatitis pendek. Bila infeksi sudah berlangsung lama hasil pengobatannya

kurang baik.

(4) Pengobatan pada wanita menghasilkan respon lebih baik dibandingkan pada pria.

Page 17: BAB 2 H

19

(5) Infeksi VHB didapat setelah dewasa. Akan lebih sulit jika berlangsung sejak bayi.

(6) Anti-VHD atau anti deltanya negatif.

(7) Anti-HIV negatif.

(8) Heteroseksual. Pengobatannya pada penderita homoseksual lebih sulit.

(9) Hasil pemeriksaan histopatolgi dari biopsi hati menunjukkan hepatitis kroni aktif.

Kontra indikasi pengobatan dengan IFN adalah sirosis hati yang sudah

menampakkan tanda gagal hati (dekompensasi). Gagalnya fungsi hati ditandai dengan

perut membuncit berisi cairan (asites), pendarahan, dan tanda-tanda ensefalohati seperti

rasa ngantuk, linglung, dan tidak mampu mengerjakan pekerjaan sederhana.

Respons penderita hepatitis B kronis bila diberikan IFN bisa berbeda-beda. Ada 3

kemungkinan respon yang diberiak penderita:

1) Respon sementara (transient response)

Terjadi hambatan replikasi virus yang ditandai dengan hilangnya VHB-DNA dan

DNA-p selama pengobatan, tetapi HbeAg dan HbsAg dalam serum penderita tetap

positif. Pertanda tersebut muncul kembali bila pengobatan dihentikan.

2) Respon tak lengkap (incomplete response)

Hambatan repliksi virus terjadi selamanya ditandai dengan hilangnya VHB-DNA

dan DNA-p serta serokoversi dari HbeAg menjadi anti-Hbe walaupun pengobatan telah

dihentikan. Dalam serum penderita tetap terdapat HbsAg. Keadaan ini diduga timbul

karena telah terjadi integrasi DNA virus dengan sel hati (genome host).

3) Respon lengkap (complete response)

Terjadi hambatan permanen replikasi virus yang ditandai dengan hilangnya VHB-

DNA dan DNA-p, serta sero konversi yang menetap dari HbsAg dan HbeAg menjadi

anti-HBs dan anti-Hbe.

Pemberian Roferon A (IFN alfa-2a) pada pendrita hepatitis B kronik aktif dilakukan

secara subkutan atau intra muskuler dengan dosis 3-4,5 MIU.dalam seminggu dilakukan

3 kali pemberian. Bila respon yang diharapkan tidak tercapai setelah 8-12 minggu maka

dosis dapat dinaikkan. Pengobatan minimal dilakukan selama 6 bulan.

Page 18: BAB 2 H

20

Selama pengobatan dengan IFN setiap bulan dilakukan monitoring terhadap SGPT,

leukosit, trombosit, dan efek samping yang mungkin timbul seperti demam, nyeri otot,

rasa lelah, mual, diare, dan lain-lain. Efek samping yang sifatnya reversibel ini bila

timbul sebaiknya segera diatasi berdasarkan keluhan yang ada. Pada bulan ke 6

dilakukan pemeriksaan SGPT, leukosit, trombosit, VHB-DNA, HbeAg, HbsAg, dan

bila perlu dilakukan biopsi hati. Keberhasilan pengobatan dinilai dari kadar SGPT yang

normal, VHB-DNA – dan HbeAg – HbsAg seringkali hilang 3-4 tahun setelah

pengobatan selesai.

Di Indonesia telah tersedia beberapa jenis interferon yaitu Roferon-A (Roche),

Intron-A (Schering-Plough), dan Wellferon (Wellcome). Ada beberapa kendala yang

mengakibatkan pengguanaan interferon kurang menarik. Misalnya harga obat yang

mahal, angka keberhasilan yang relatif masih rendah, serig terjadi kambuh, pemberian

harus dalam bentuk suntikan, maupun pemakaiannya yang dalam jangka panjang.

b) Adenin Arabinoside (ARA-A)

ARA-A adalah analog pirine, suatu nukleida sintetik yang menekan proses

replikasi VHB. ARA-A kurang larut dalam air sehingga pemberiannya dilakukan

dengan infus. Bentuk yang lebih larut adalah ARA-AMP.

Kedua macam obat ini mempunyai pengaruh toksik sehingga memberikan

berbagai macam keluhan. Misalnya tidak nafsu makan, mual, muntah, mencret, dan

badan tersa lemah. Obat ini juga dapat menekan aktivitas sumsum tulang dan toksik

terhadap sistem neuromuskular.

c) Ribavirin

Obat ini suatu analog nukleosid oral yang sedang di evaluasi pemakaiannya

dengan interferon alfa.

d) Acyclovir

Pemberian IFN dengan acyclovir dilaporkan memberikan hasil sinergistik. Obat

ini diberikan secara intravena.

e) Tenofovir disoproxil fumarat (tenofovir)

Page 19: BAB 2 H

21

Tenofovir adalah analog nukleotida (adenosin monofosfat) reverse transcriptase

dan hepatitis B (HBV) inhibitor polymerase.

f) Lamivudine (Epivir, Epivir-HBV)

Lamivudine adalah analog timidin yang menghalangi replikasi virus dengan

penghambatan kompetitif reverse transcriptase virus. Ada bukti bahwa efek

imunomodulator tidak langsung dapat diamati. Pemberian lamivudin 100 mg/hari

selama 1 tahun dapat menekan HBVDNA, normalisasi ALT, serokonversi HBeAg dan

mengurangi progresi fibrosissecara bermakna dibandingkan placebo. Namun lamivudin

memicu resistensi.Dilaporkan bahwa resistensi terhadap lamivudin sebesar lebih dari

32% setelah terapiselama satu tahun dan menjadi 57% setelah terapi selama 3 tahun.

Risiko resistensiterhadap lamivudin meningkat dengan makin lamanya pemberian.

g) Adefovir (dipivoxil Hepsera)

Adefovir digunakan untuk mengobati penyakit hepatitis B kronis. Agen ini adalah

prodrug yang diubah menjadi garam difosfat. Obat aktif diklasifikasikan sebagai

inhibitor reverse transcriptase antivirus nukleotida. Hal ini menghambat virus hepatitis

B (HBV) DNA polymerase (reverse transcriptase) dengan bersaing dengan triphosphate

substrat alami deoxyadenosine (dATP) dan dengan menyebabkan pemutusan rantai

DNA setelah penggabungan menjadi DNA virus. Umumnya digunakan pada kasus ±

kasus yang kebal terhadap lamivudin, dosisnya 10 ± 30 mg tiap hari selama 48 minggu.

h) Entecavir (Baraclude)

Entecavir adalah analog nukleosida guanosin dengan aktivitas polimerase virus

terhadap hepatitis B (HBV). Agen ini bersaing dengan triphosphate deoxyguanosine

substrat alami (dGTP) untuk menghambat aktivitas polimerase HBV (yaitu, reverse

transcriptase). Entecavir kurang efektif untuk lamivudine-tahan api infeksi HBV. Obat

ini diindikasikan untuk pengobatan infeksi HBV kronis dan tersedia sebagai tablet dan

sebagai larutan oral (0,05 mg / mL; 0,5 mg = 10 mL).

i) Telbivudine (Tyzeka)

Telbivudine adalah analog nukleosida disetujui oleh Food and Drug Administration

(FDA) untuk pengobatan hepatitis B kronis. Obat ini menghambat hepatitis B

Page 20: BAB 2 H

22

polimerase DNA virus dan diindikasikan untuk pasien dengan bukti replikasi hepatitis

B virus dan berkelanjutan baik aktivitas aminotransferase persisten tinggi atau bukti

histologis dari penyakit hati aktif. Pertimbangkan telbivudine untuk pasien yang

kondisinya tidak atau tidak mungkin untuk menanggapi interferon atau untuk pasien

yang tidak dapat mentoleransi interferon. Munculnya resistensi adalah kelemahan utama

dari monoterapi analog nukleosida.

2) Obat imunomodulator

Bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa respon imun penderita memegang peranan

penting dalam perjalanan penyakit maupun hasil akhir infeksi VHB. Oeh karena itu,

digunakanlah obat-obat yang dapat menekan (imunosupresi) maupun merangsang

(imunostimulasi) sistem imun. Misalnya trasfer faktor, immune RNA dan imunosupresi.

Obat imunosupresi contohnya adalah kortikosteroid.

Dari berbagai macam peneliatian dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan

kortikosteroid jangka panjang tidak bermanfaat pada kasus hepatitis B kronik aktif.

Namun pemberian steroid jangka pendek yang dihentikan mendadak (withdrawal)

diikuti dengan pemberian IFN dapat meningkatkan hasil pengobatan. Hanya saja dapat

terjadi hepatitis fulminan pada pemberian kortikosteroid yang dihentikan mendadak.

3) Biological response modifiers

Golongan ini merupakan obat baru, termasuk IFN alfa dan obat baru thymosin alfa I

yang terdiri dari phospholipid, protein ukuran kecil dan sedang yang dihasilkan, serta

disekresikan oleh sel thymus sapi.

2.14 Pencegahan Hepatitis B

Pencegahan infeksi virus hepatitis B merupakan prioritas kesehatan masyarakat,

terutama bagi mereka yang merupakan kelompok yang berisiko besar menjadi pengidap

kronis. Tingkat infeksi dapat dikurangi melalui modifikasi perilaku dan meningkatkan

pendidikan masing-masing individu (Franco, et al., 2012).

Page 21: BAB 2 H

23

Menurut Mandal (2008), berikut merupakan beberapa hal yang perlu

diperhatikan untuk mengurangi risiko tertularnya hepatitis B :

1. Menguji semua darah pendonor.

2. Menjamin asepsis dalam praktek klinis .

3. Screening terhadap semua wanita hamil (membantu untuk menghindari penularan

dari ibu ke anak saat lahir).

4. Tidak memperbolehkan orang-orang berisiko tinggi menjadi donor darah.

5. Screening donor darah untuk antigen permukaan virus hepatitis B .

Menurut Franco (2012), vaksinasi adalah cara yang paling efektif untuk mencegah

hepatitis B. Menurut Lubis (2008), penggunaan vaksin hepatitis B ternyata dapat

menurunkan angka penularan hepatitis B hampi r 100%. Ada dua produk yang

digunakan untuk tindakan pencegahan hepatitis B yaitu :

1. Hepatitis B immune globulin (HBIG) HBIG berasal dari plasma yang

mengandung anti -HBS dengan titer tinggi dan digunakan untuk prophylaxis

postexposure. Dosis yang direkomendasikan untuk anak -anak dan dewasa: 0,06

ml/kg dan dosis 0,5 ml untuk infeksi virus hepatitis B perinatal yaitu infant yang

lahir dari ibu dengan HBsAgnya yang positif.

2. Vaksin Hepatitis B

Vaksin hepatitis B menggunakan HBsAg yang diproduksi dari yeast

Saccharomyces cerevisiae dengan teknologi recombinant DNA dan digunakan

sebagai immunisasi preexposure dan profilaksis postexposure.

Ada dua vaksin hepatitis B monovalent yang tersedia, digunakan untuk dewasa

dan anak-anak yaitu Recombivax HB (Merck and Co., Inc.) dan Engerix B (SmithKline

Beecham Biologicals ). Pemberiannya secara bertahap sebanyak tiga dosis, diberikan

intramuskular pada musk ulus deltoid.

Kombinasi Hepatitis B Immune Globulin dan vaksinasi hepatitis B dimulai

dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, diikuti dengan tiga dosis imunisasi yang

jadwalnya dimulai pada usia 1-2 bulan, telah terbukti melindungi 85-95% dari bayi

yang ibunya positif untuk kedua HBsAg dan HBeAg (Geeta, and Riyaz, 2013).

Page 22: BAB 2 H

24

Tempat injeksi dan cara pemberian merupakan faktor penting dalam mencapai

respon yang optimal. Suntikan intradermal dan administrasi di gluteus tidak dianjurkan.

Vaksin hepatitis B dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping umumnya ringan,

sementara , dan terbatas pada tempat suntikan (eritema, pembengkakan, indurasi).

Reaksi sistemik (kelelahan, demam ringan, sakit kepala, mual, nyeri perut) jarang

terjadi. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, keamanan vaksin hepatitis B telah

dipertanyakan, namun studi ekstensif menyimpulkan bahwa tidak ada alasan untuk

mengubah kebijakan vaksinasi.

Vaksinasi hepatitis B tidak kontraindikasi apabila diberikan pada wanita hamil

atau menyusui. Satu-satunya kontraindikasi absolut yang diketahui adalah adanya

hipersensitifitas terhadap komponen dari vaksin atau riwayat anafilaksis dengan

dosis sebelumnya (Franco, et al., 2012).

Menurut Lubis (2008), Rekomendasi Pemberian vaksin hepatitis B yaitu:

A. Preexposure

1. Seluruh infants

2. Remaja 11-12 tahun

3. Petugas kesehatan yang beresiko terpapar dengan darah atau penggunaan jarum

suntik

4. Staf pada perawatan cacat mental

5. Pasien hemodialisa

6. Homoseksual laki-laki yang aktif

7. Heteroseksual laki-laki dan wanita yang aktif

8. Pecandu obat (obat suntik)

9. Penerima donor darah

10. Anak-anak yang diadopsi dari negara endemik virus hepatitis B

B. Postexposure

1. Infants yang lahir dari ibu dengan virus hepatitis B positif

Penelitian menunjukkan bahwa antibodi yang di induksi oleh vaksi bertahan

selama periode minimal 10-15 tahun dan bahwa durasi anti –HBs berhubungan dengan

Page 23: BAB 2 H

25

tingkat puncak tercapainya antibodi setelah vaksinasi primer dilakukan. Penelitian lebih

lanjut terhadap vaksin telah menunjukkan bahwa konsentrasi antibodi biasanya

menurun dari waktu ke waktu, tetapi infeksi secara klinis jarang terjadi. Bukti juga

menunjukkan bahwa individu yang berhasil divaksinasi yang telah kehilangan antibodi

dari waktu ke waktu biasanya menunjukkan respon yang cepat bila diberikan dengan

dosis vaksin tambahan atau bila terkena birus hepatitis B. Ini berarti bahwa memori

imunologi HBsAg dapat hidup lebih lama daripada deteksi anti-HBs, dimana

memberikan perlindungan jangka panjang terhadap penyaki t akut (Franco, et al.,

2012).

Imunisasi rutin untuk pekerja kesehatan terhadap infeksi hepatitis B adalah cara

yang efektif untuk melindungi mereka. Vaksin hepatitis B sangat efektif, vaksin juga

relatif murah dan tersedia secara luas. Beberapa yang perlu diperhatikan adalah:

1. Melakukan imunisasi pada petugas kesehataan pada awal mereka masuk kerja.

2. Uji serologi pre-vaksinasi tidak terlalu diperlukan, tetapi mungkin menghemat

sumber daya jika memungkinkan dan jika prevalensi kekebalan tinggi.

3. Menggunakan jadwal tiga suntikan yaitu pada 0, 1 dan 6 bulan

4. Jika memungkinkan, mengkontrol tingkat antibodi antara dua sampai enam

bulan setelah dosis terakhir diberi.

5. Jangan mengambil booster secara rutin sebagai perlindungan seumur hidup

(WHO, 2011).

Untuk pasien immunocompromised, dilakukan pemeriksaan rutin dan administrasi

booster saat kadar antibodi anti -HBs turun di bawah 10 mIU / mL . Antibodi terhadap

antigen permukaan hepatitis B terutama ditargetkan untuk mengikat asam amino daerah

hidrofilik, disebut sebagai determinan HBsAg. Vaksinasi hepatitis B memberikan

perlindungan terhadap infeksi dari semua genotipe virus hepatitis B dan bertanggung

jawab untuk kekebalan tubuh.

Beberapa yang perlu diperhatikan dalam memahami vaksinasi hepatitis B:

1. Setiap orang yang tinggal dengan atau memiliki hubungan seksual dengan

seseorang yang tertular hepatitis B kronik harus divaksinasi.

Page 24: BAB 2 H

26

2. Vaksinasi diberikan pada mereka yang berisiko tinggi tertular hepatitis B,

seperti perawat; mereka yang tingkah laku seksualnya rentan terhadap virus

hepatitis B (prostitusi, lelaki heteroseksual dengan banyak pasangan, lelaki

homoseksual); orang yang kerap memerlukan transfusi darah atau produk darah

(seperti pasien cuci darah karena ginjal atau hemofilia), atau mereka yang

tinggal di daerah di mana transfusi darah tidak disaring.

3. Vaksin diindikasikan untuk bayi baru lahir yang ibunya memiliki antigen

permukaan HBV positif

4. Vaksin diberikan untuk pekerja kesehatan pasca pajanan yang sebelumnya tidak

diimunisasi.

5. Booster diberikan pada orang yang tidak membentuk antibodi permukaan HBV

(HBVsAb) pada 6 -8 minggu setelah melengkapi paket vaksinasi.

6. Hiperimunoglobulin diindikasikan untuk bayi baru lahir dari ibu yang

merupakan karier antigen permukaan hepatitis B yang juga antigen e HBV

(HBVeAb) negatif.

Paket yang dipercepat dapat diberikan dalam situasi pasca pajanan (minggu

0,2,4, dan 8). Interferon dosis rendah telah terlihat dapat mengurangi insidensi

hepatoma pada pasien dengan sirosis (Franco, et al., 2012).

2.15 Prognosis Hepatitis B dalam kehamilan

Prognosis infeksi HBV tergantung dari berat ringannya penyakit dan komplikasi

– komplikasi yang terjadi. Infeksi HBV pada penderita tanpa menimbulkan gejala klinis

dan juga tidak ada penyakit lain sebagai penyerta maka prognosisnya baik. Tetapi

apabila didapatkan penyakit-penyakit lain seperti jantung, diabetes mellitus dan anemia

makan akan memperburuk keadaan penderita sehingga prognosisnya jelek. 90% dari

infeksi HBV pada dewasa akan sembuh sempurna, baik terjadi pada kehamilan

trimester I, II maupun wanita tidak hamil. Pada kehamilan trimester III, infeksi HBV

akan memberikan prognosis yang lebih buruk, didapatkan kematian ibu dan anak,

Page 25: BAB 2 H

27

terutama apabila terjadi hepatitis fulminan. Gizi ibu hamil juga memnentukan, bila

terdapat gizi jelek maka mudah terjadi hepatitis fulminan (Ter Borg et al, 2008)