Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

34
Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH Tinjauan Umum Pegadaian Dalam Perspektif Islam Pengertian Gadai Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW merupakan sumber tuntunan hidup bagi kaum muslimin untuk menapaki kehidupan sementara di dunia fana ini dalam rangka menuju kehidupan kekal di hari akhirat nantinya. Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai penuntun mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal, meliputi segenap aspek dalam persoalan kehidupan umat manusia, baik pada masa lampau, masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Al-Qur’an dan As- Sunnah itu mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal, dapat dilihat dari segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan aktual, misalnya daya jangkau dan daya aturnya dalam bidang muamalah duniawiyah. Pegadaian atau Pawn Shop merupakan lembaga perkreditan dengan sistem gadai, lembaga semacam ini awalnya berkembang di Italia yang kemudian dipraktekkan di wilayah-wilayah Eropa lainnya, misalnya Inggris dan Belanda. Sistem gadai tersebut i memasuki Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh orang Belanda (VOC, yaitu sekitar abad ke-19). Gadai merupakan salah satu kategori dan perjanjian utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang-orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap 31

Transcript of Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

Page 1: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

Bab 2

GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

Tinjauan Umum Pegadaian Dalam Perspektif Islam

Pengertian Gadai

Al-Qur’an dan As-Sunnah Rasulullah SAW merupakan sumber tuntunan hidup bagi

kaum muslimin untuk menapaki kehidupan sementara di dunia fana ini dalam rangka

menuju kehidupan kekal di hari akhirat nantinya. Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai

penuntun mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal, meliputi segenap

aspek dalam persoalan kehidupan umat manusia, baik pada masa lampau, masa kini

maupun untuk masa yang akan datang. Salah satu bukti bahwa Al-Qur’an dan As-

Sunnah itu mempunyai daya jangkau dan daya atur yang universal, dapat dilihat dari

segi teksnya yang selalu tepat untuk diimplikasikan dalam kehidupan aktual, misalnya

daya jangkau dan daya aturnya dalam bidang muamalah duniawiyah.

Pegadaian atau Pawn Shop merupakan lembaga perkreditan dengan sistem gadai,

lembaga semacam ini awalnya berkembang di Italia yang kemudian dipraktekkan di

wilayah-wilayah Eropa lainnya, misalnya Inggris dan Belanda. Sistem gadai tersebut

imemasuki Indonesia dibawa dan dikembangkan oleh orang Belanda (VOC, yaitu sekitar

abad ke-19).

Gadai merupakan salah satu kategori dan perjanjian utang piutang, yang mana

untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang-orang yang berutang

menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap

31

Page 2: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

32

menjadi milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang) tetapi dikuasai oleh

penerima gadai (yang berpiutang). Praktek seperti ini telah ada sejak zaman Rasulullah

SAW. Dan Rasulullah sendiri pernah melakukannya. Gadai mempunyai nilai sosial yang

sangat tinggi dan dilakukan secara suka rela atas dasar tolong menolong.

Syari’at Islam memerintahkan umatnya supaya tolong menolong, yang kaya

harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk

tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman. Dalam

bentuk pinjaman hukum Islam menjaga kepentingan kreditur, jangan sampai ia

dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan

utangnya. Sehingga, apabila debitur itu tidak mampu melunasi pinjamannya, barang

jaminan dapat dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam fikih Islam dikenal dengan

istilah rahn (Rachmat, 1995, hal. 59).

Fikih Islam mengenal perjanjian gadai yang disebut al-rahn yaitu perjanjian

menahan suatu barang sebagai tanggungan utang. Sayyid Sabiq dalam Fikih As-Sunnah

menyatakan bahwa, gadai dalam bahasa Arab berarti As-Tsubut wa al-dawam (tetap dan

kekal). Sebahagian ulama lughat memberi arti Ar-Rahn dengan Al-Habs (menahan).

Contoh dari pengertian ini, Al-Habs, terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Mudatsir ayat 38:

Adapun ta’rif Ar-Rahn menurut istilah syara’ adalah menjadikan sesuatu benda

yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ untuk kepercayaan untuk suatu

utang, sehingga memungkinkan mengambil seluruh atau sebagian dari benda itu (Sabiq,

Page 3: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

33

2004, hal. 187).

Ta’rif yang lain terdapat dalam kitab Al-Mughny yang dikarang oleh Imam Ibnu

Qudamah sebagai berikut : suatu benda yang dijadikan kepercayaan dari suatu utang

untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berhutang tidak sanggup membayarnya dari

orang yang berpiutang (Al-Imam Ibnu Qudamah, tt, hal.361).

Setelah penulis mengemukakan ketiga ta’rif di atas, yang ditulis oleh seorang

ulama, terdapat kesamaan pendapat, yaitu :

a. Gadai menggadai itu adalah salah satu kategori dalam utang piutang.

b. Untuk kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang

menggadaikan barangnya (ain maliyah) sebagai jaminan terhadap utangnya itu,

yang disebut dalam ta’rif dengan kata watsiqatin (kepercayaan).

c. Barang jaminan itu dapat dijual untuk membayar utang orang yang berutang,

baik sebagian maupun seluruhnya,sebanyak utang yang diperolehnya. Dan bila

terdapat kelebihan dari penjualan benda itu, maka harus dikembalikan kepada

orang yang punya benda itu, sedangkan orang yang menerima jaminan (yang

berpiutang) ia mengambil sebagiannya yaitu sebesar uang yang dipinjamkannya.

d. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berutang)

tetapi dikuasai oleh si penggadai (orang yang berpiutang).

e. Gadai menurut syari’at Islam berarti penahanan atau pengekangan, sehingga

dengan akad gadai menggadai ke dua belah pihak mempunyai tanggung jawab

bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan orang

yang berpiutang bertanggung jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Dan

Page 4: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

34

bila utang telah dibayar maka penahanan atau pengekangan oleh sebab akad itu

menjadi lepas, sehingga dalam pertanggungan jawab orang yang menggadai dan

yang menerima gadai hilang untuk menjalankan kewajiban dan bebas dari

tanggung jawab masing-masing.

f. Di dalam ketiga ta’rif tersebut ada kata yajalu dan ja’ala yang berarti menjadikan

dan dijadikan, yang mempunyai makna bahwa pelaksana adalah orang yang

memiliki harta benda itu, karena harta benda yang bukan miliknya tidak dapat

digadaikan.

Sedangkan dalam pengertian hukum perdata Pasal 1162 BW disebut dengan

istilah pand and hypotheek. Kata tersebut mempunyai maksud suatu hak kebendaan atas

suatu benda yang tak bergerak, bertujuan untuk mengambilpelunasan suatu hutang dari

(pendapatan penjualan) benda itu (Subekti, tt, hal.68).

Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dari dalam negeri

mengenai gadai. Susilo mengatakan bahwa gadai merupakan suatu hak yang diperoleh

oleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak

tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seseorang yang mempunyai

utang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaan kepada orang yang

berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi

utang apabila pihak yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh

tempo (Susilo, 1999. hal.16).

Gadai menurut Undang-undang Hukum Perdata adalah suatu hak yang diperoleh

seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang

Page 5: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

35

berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada

yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan

daripada orang-orang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang

barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah

barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Usman, 1995, hal.357).

Sedangkan pengertian umum perusahaan umum pegadaian adalah suatu badan

usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai izin untuk melaksanakan kegiatan

lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana kemasyarakat atas

dasar hukum gadai.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak

yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan

oleh orang berutang sebagai jaminan utangnya dan barang tersebut dapat dijual

(dilelang) oleh yang berpiutang bila yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya

pada saat jatuh tempo. Sedangkan perusahaan umum pegadaian adalah badan usaha

milik negara (BUMN) yang berfungsi memberikan pembiayaan dalam bentuk

penyaluran dana kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai.

Dasar Hukum dan Rukun Gadai dalam Fikih

Dasar Hukum Gadai

Boleh tidaknya transaksi gadai menurut Islam diatur dalam Al-Qur’an, Sunnah dan

Ijtihad. Ketiga sumber hukum tersebut disajikan dasar hukum sebagai berikut

(Muhammad, 2003, hal. 40-41) :

Page 6: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

36

1) Al-Qur’an

Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dijadikan dasar hukum perjanjian gadai adalah QS

Al-Baqarah ayat 282 dan 283 :

Inti dari dua ayat tersebut adalah apabila kamu bermu’amalah secara tunai

Untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya, yang dipersaksikan

dua orang saksi laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan.

2) As-Sunnah

اللهعنسولرترياشالت:قاهاللهعنعنرضىعنعائشة

عليهوسلممنن نهورهودي طعامايهاللهعنصلىرواهالبخارى عهرد

Page 7: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

37

Dari Aisyah ra disebutkan bahwa Nabi SAW pernah membeli makanan dari orangYahudi dengan harga yang diutang, sebagai tanggungan atas hutangnya itu, Nabimenyerahkan baju besinya (HR. Bukhari).(Sabiq, 2006 hlm. 188).

عليهوسلمرھنرنس قاڶ: ولقداعن صلى اللهعنسوڶ اللهعناخذوينةعند يهودي دودي بالمه یددرعاله عن

ٸ )رواهاحمدوالبخارىوالنسا منهشعيرالأهلهن (وابنماجه

Bersumber dari Anas, dia berkata : “Rasulullah SAW pernah menggadaikan bajubesi kepada seorang Yahudi di Madinah dan Rasulullah SAW mengambil (menerima)dari si Yahudi buah sya’ir buat keluarga beliau. (HR. Imam Ahmad, Bukhori, Nasa’idan Ibnu Majjah).(Antonio, 2005 hlm. 129).

3) Ijtihad

Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits di atas menunjukkan bahwa transaksi atau

perjanjian gadai dibenarkan dalam Islam bahkan Nabi pernah melakukannya. Namun

demikian, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam dengan melakukan ijtihad.

Bagaimana mekanisme pegadaian menurut hukum Islam ini? Apakah perjanjian gadai

yang sekarang ini berlaku dapat dibenarkan menurut Islam?

Rukun Gadai

Adapun yang menjadi rukun gadai ini adalah :

1) Adanya lafadz, yaitu pernyataan ada perjanjian gadai.

2) Adanya pemberian gadai dan penerimaan gadai.

3) Adanya barang yang digadaikan.

4) Adanya utang (Hadi, 2003 hal. 43).

Page 8: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

38

Dalam hal lafadz ini, menurut penulis dapat saja dilakukan baik dalam bentuk

tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai

di antara para pihak. Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya

merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan

ketentuan syari’at Islam, yaitu berakal dan baligh.

Perihal barang yang dijadikan sebagai barang gadaian, haruslah merupakan

barang milik si pemberi gadai, dan barang itu ada pada saat diadakan perjanjian gadai

menyangkut barang yang dijadikan sebagai obyek gadai ini dapat dari macam-macam

jenis, dan barang gadaian tersebut berada di bawah penguasaan penerima gadai

(murtahin).

Menyangkut adanya hutang, bahwa hutang itu disyaratkan merupakan hutang

yang tetap, dengan perkataan lain hutang tersebut bukan merupakan hutang yang

bertambah-tambah, atau hutang yang mempunyai bunga, sebab andainya hutang tersebut

merupakan hutang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian

yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba itu bertentangan dengan syari’at

Islam (Sabiq, 1988, hal. 104).

Persamaan dan Perbedaan Rahn dan Gadai

Gadai tanah, sebagaimana yang berlaku dalam hukum adat di Indonesia, tidak

ditemukan pembahasannya secara khusus dalam ilmu fikih. Pada satu sisi gadai tanah

mirip dengan jual beli. Dalam hal ini hukum adat menyebutnya sebagai jual gadai. Pada

sisi lain mirip dengan rahn kemiripannya dengan jual beli karena berpindahnya hak

menguasai harta yang digadaikan itu sepenuhnya kepada pemegang gadai, termasuk

Page 9: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

39

memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari benda tersebut, walaupun dalam waktu

yang ditentukan. Sedangkan kemiripannya dengan rahn adalah karena adanya hak

menebus bagi penggadai atas harta yang digadaikan itu. Secara rinci persamaan dan

perbedaannya diuraikan sebagai berikut :

1. Persamaan

a) Hak gadai berlaku atas pinjaman uang.

b) Adanya agunan sebagai jaminan utang.

c) Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.

d) Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai.

e) Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh

dijual atau dilelang.

2. Perbedaan

a) Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong menolong

tanpa mencari keuntungan. Sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping

berprinsip tolong menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik

bunga atau sewa modal yang telah ditetapkan.

b) Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak.

Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang

bergerak maupun yang tidak bergerak.

c) Dalam rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga bank.

d) Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di

Indonesia disebut perum pegadaian. Rahn menurut hukum Islam dapat

Page 10: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

40

dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.

Menurut madzhab Hanafi penerima rahn boleh memanfaatkan barang yang

menjadi jaminan uang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh

mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk menggunakan hak miliknya,

termasuk untuk mengambil manfaat harganya. Hal itu menurut mereka bukan riba,

karena pemanfaatan barang itu diperoleh melalui ijin.

Manfaat yang boleh diambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah sebagai

berikut :

1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas

pembiayaan yang diberikan bank.

2. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa

dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena

ada suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.

3. Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu akan

sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah.

Adapun manfaat langsung yang dapat dirasakan dari bank adalah biaya-biaya

konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan asset

tersebut. Jika penahanan asset tersebut berdasarkan fidusia (penahanan barang bergerak

sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang

besarnya sesuai dengan berlaku secara umum.

Ketentuan Pelaksanaan Gadai Dalam Islam.

Page 11: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

41

Pada dasarnya yang dilakukan oleh para pihak yang berhutang dan penerima gadai

adalah mengadakan perjanjian menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang

(Basyir, 1983, hal. 50). Di dalam hukum Islam proses pembayaran atau penarikan uang

pinjaman dalam perjanjian gadai dilakukan dengan cara yang sederhana dan mudah

sekali. Yang paling diutamakan dalam perjanjian itu adalah adanya ijab, yaitu

pernyataan dari pihak pemegang gadai yang bersedia untuk diberi piutang dengan

menahan suatu barang jaminan, dan qabul, yaitu suatu pernyataan bersedia menerima

piutang dari pihak piutang dengan suatu kewajiban menyerahkan suatu barang jaminan

yang akan dipegang oleh pemegang gadai. Sistem tersebut sebagaimana dipraktekkan

oleh Nabi Muhammad SAW yang dapat kita lihat dalam haditsnya, bahwa praktek yang

dilakukan Nabi SAW dengan menggadaikan baju besinya sebagai tanggungan dalam

batas waktu tertentu.

Setelah keduanya sepakat dalam perjanjian gadai maka rahin dan murtahin

sudah sah dalam perjanjiannya, yaitu rahin menyerahkan barang untuk dijadikan

jaminannya sedang murtahin menerima barang jaminannya. Adapun cara administrasi

gadai adalah setelah menulis basmalah dan hamdalah, kemudian tulislah Si anu

menetapkan utang sejumlah ... terhadap si anu, dan batas utang gadainya sampai akhir

tahun atau sampai bulan. Demi kepercayaan, pihak yang berhutang menyatakan telah

disebutkan dan disimpan di tangan penggadai, untuk memperkuat kepercayaan atas

jaminan hutang tersebut apa yang disebut semuanya ini miliknya sampai waktu gadai ini

habis, yaitu seluruh rumah, atau segala sesuatu milik Si fulan ... sebagai gadaian yang

sah secara hukum dan diterima oleh murtahin. Kemudian murtahin tersebut menerima

Page 12: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

42

barang gadaian ini secara hukum (El-Jazairi 1991, hal. 101).

Maka dengan penulisan di atas dapat diketahui bahwa pihak pemohon gadai dan

penerima gadai sudah mengadakan perjanjian pada tanggal dan penetapan utang yang

sudah disepakati. Ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan di dalam gadai dalam

Islam yaitu :

1. Hak dan Kewajiban Para Pihak.

a. Hak dan Kewajiban penerima gadai adalah :

1) Hak menahan barang gadai selama berada di tangan murtahin adalah

berkedudukkan sebagai amanat, barang yang dipercayakan kepadanya oleh

pemiliknya, yaitu rahin. Karena hutang itu terkait dengan barang gadai, maka

barang tersebut berada dalam kekuasaan penerima gadai sampai barang tersebut

ditebus oleh pemiliknya, atau sampai jatuh tempo.

2) Berhak untuk menuntut si pemberi gadai untuk membayar hutang kepadanya

pada saat sudah jatuh tempo pembayarannya.

3) Berhak untuk menjual barang gadai untuk melunasi piutangnya pada si pemberi

gadai dengan bantuan hakim, kalau si pemberi gadai enggan membayar

hutangnya. Atau menjualnya sendiri dengan seizin dari si pemberi gadai karena

sebelumnya sudah diperjanjikan demikian (Ibnu Rusyd 1990, hal. 207).

4) Berhak untuk didahulukan pembayaran piutangnya oleh si pemberi gadai dari

para berpiutang lainnya disaat si pemberi gadai itu membayar hutangnya.

5) Memelihara barang gadai itu dengan sebaik-baiknya, sebagaimana dia

Page 13: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

43

memelihara barang-barangnya sendiri. Sebagai pemegang amanat. Untuk

menjaga keselamatan barang gadai itu dapat diadakan persetujuan untuk

melakukannya pada pihak ketiga, dengan ketentuan bahwa persetujuan itu baru

diadakan setelah perjanjian gadai terjadi. Karena kalau hal itu dilakukan

diwaktu perjanjian gadai diadakan, dimana barang gadai itu berada ditangan

pihak ketiga, maka perjanjian gadai itu dianggap tidak sah. Sebab diantara

syarat sahnya perjanjian gadai adalah adanya kemungkinan barang gadai itu

diserahkan seketika akad berlangsung kepada al-murtahin (Basyir, 1983

hal.53).

6) Menyerahkan kembali barang gadai itu kepada si pemberi gadai kalau

barangnya itu sudah ditebusnya, sebab haknya untuk itu sudah dihbapus.

7) Mengganti barang gadai sejumlah harga barang itu, kalau barang gadai tersebut

mengalami kerusakan dan atau hilang yang disebabkan oleh kelalaian dan atau

kesengajaan.

b. Hak dan Kewajiban Si Pemberi Gadai

1) Berhak atas uang kelebihan hasil penjualan barang gadaiannya penjualan

barang tersebut dapat langsung dilakukan oleh penerima gadai, kalau

sebelumnya sudah diperjanjiakna demikian, atau oleh si penggadai sendiri

dengan seizin dari si penerima gadai untuk melunasi piutangnya itu.

2) Boleh memanfaatkan barang gadai, terutama barang yang tidak menghabis

kalau dimanfaatkan dan dengan syarat tidak mendatangkan kerugian bagi si

penerima gadai seperti hewan ternak. Baik dengan minta izin untuk itu terlebih

Page 14: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

44

dahulu kepada si penerima gadai ataupun tidak.

3) Apabila barang itu dimanfaatkan oleh si penerima gadai, dan dalam masa

pemanfaatannya barang gadai itu mengalami kerusakan dan atau musnah, maka

si pemberi gadai itu harus mengganti barang itu senilai dengan barang itu, atau

dengan barang yang sama nilainya, dihari itu juga (Basyir, Op cit,1983 hal. 53).

4) Melunasi utangnya kepada si penerima gadai apabila telah datang waktunya,

baik dengan jalan menjual barang gadai itu sendiri, ataupun membayar

hutangnya itu dibayar langsung tanpa harus menjual barang gadaiannya itu.

Kalau dia membayarnya dengan menjual barang gadaiannya itu, lalu ternyata

hasil penjualan barang tersebut tidak menutupi hutangnya itu, maka si pemberi

gadai wajib membayar kekurangannya itu kalau hal itu dituntut oleh si

penerima gadai (Sabiq, 2004. hal. 144).

5) Membayar seluruh biaya perawatan yang dikeluarkan oleh si penerima gadai

selama barang gadaiannya itu berada dalam pengawasan si penerima gadai,

baik barang itu berupa hewan ternak maupun bukan (Az-Zuhaili 1989, hal. 53).

2. Kedudukan Barang Gadai.

Selama ada dalam tangan pemegang gadai, kedudukan barang gadai hanya

merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai

(Basyir, 1983, hal. 53).

Selanjutnya pemegang amanat, penerima gadai (murtahin) berkewajiban

memelihara keselamatan barang gadai yang diterimanya, sesuai dengan keadaan

barang. Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut dapat diadakan

Page 15: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

45

persetujuan untuk menyimpannya pada pihak ketiga, dan ketentuan bahwa

persetujuan itu baru diadakan setelah perjanjian gadai terjadi. Namun akibatnya,

ketika perjanjian gadai diadakan, barang gadai ada di tangan pihak ketiga, maka

perjanjian gadai itu dipandang tidak sah, sebab diantara syarat sahnya perjanjian

gadai adalah barang gadai diserahkan seketika kepada murtahin.

3. Pemanfaatan Barang Gadai.

Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya, baik oleh pemiliknya

maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan karena status barang tersebut hanya

sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Namun apabila

mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut

boleh dimanfaatkan. Hal ini dilakukan karena pihak pemilik barang tidak memiliki

barang secara sempurna yang memungkinkan ia melakukan perbuatan hukum

(barangnya sudah digadaikan).

Misalnya, mewakafkan, menjual dan sebagainya dan sewaktu-waktu atas

barang yang telah digadaikan tersebut. Sedangkan hak penggadai terhadap barang

tersebut hanya pada keadaan atau sifat kebendaannya yang mempunyai nilai, tetapi

tidak ada guna pemanfaatan atau pemungutan hasilnya. Murtahin hanya berhak

menahan barang gadai, tetapi tidak berhak menggunakan barangnya itu, tetapi

sebagai pemilik apabila barang gadaiannya itu mengeluarkan hasil, maka hasil itu

menjadi miliknya.

Oleh karena itu, agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika

Page 16: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

46

penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk menggunakan barang gadai, maka

hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan itu dimaksudkan untuk menghindari harta

benda tidak berfungsi atau mubadzir (Khalil, 1994, hal. 19).

4. Resiko Atas Barang Gadaian.

Apabila murtahin sebagai pemegang amanat telah memelihara barang gadai dengan

sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan barang, kemudian tiba-tiba barang tersebut

mengalamikerusakan atau hilang tanpa disengaja, maka para ulama dalam hal ini

berbeda pendapat mengenai siapa yang harus menanggung resikonya.

Ulama-ulama madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin

(penerima gadai) tidak menanggung resiko apapun. Namun ulama-ulama madzhab

Hanafi berpendapat bahwa murtahin menanggung resiko sebesar harga barng yang

minimum. Perhitungan dimulai pada saat diserahkannya kepada murtahin sampai hari

rusak atau hilangnya (Basyir 1983,hal. 54). Berbeda halnya jika barang gadai rusak

atau hilang yang disebabkan oleh kelengahan murtahin. Dalam hal ini tidak ada

perbedaan pendapat, semua ulama sepakat bahwa murtahin menanggung resiko,

memperbaiki kerusakan atau mengganti yang hilang (ibid).

5. Pemeliharaan Barang Gadai.

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, para ulamaSyafi’iyyah dan Hanabilah

berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai

dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetapmerupakan

miliknya.

Sedangkan para ulama Hanafiah berpendapat lain, biaya yang diperlukan

Page 17: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

47

untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan

penerima gadai dalam kedudukannya sebagai orang yang menerima amanat. Kepada

penggadai hanya dibebankan perbelanjaan barang gadai agar tidak berkurang

potensinya (ibid, hal. 58).

6. Kategori Barang Gadai.

Jenis barang yang dapat digadaikan sebagai jaminan adalah semua jenis barang

bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Benda bernilai menurut hukum syara’.

b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi.

c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin.

Adapun menurut Syafi’iyyah bahwa barang yang dapat digadaikan itu berupa

semua barang yang boleh dijual. Menurut pendapat ulama yang rajih (unggul)

barang-barang tersebut memiliki tiga syarat yaitu :

a. Berupa barang yang berwujud nyata di depan mata, karena barang nyata itu dapat

diserah terimakan secara langsung.

b. Barang tersebut menjadi milik, karena sebelum tetap barang tersebut tidak dapat

digadaikan.

c. Barang yang digadaikan harus berstatus sebagai piutang bagi pemberi pinjaman.

Lebih lanjut mazhab Maliki dalam kitab Bidayatul Mujtahid, berpendapat

menggadaikan gadai pada salam, utang, ghasab, harga barang-barang konsumsi,

denda tindak kriminal pada harta benda, serta pada tindak penganiayaan secara

sengaja yang tidak ada kisas padanya, seperti al-ma’mumah (pelakuan yang

Page 18: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

48

mengenai otak) dan al-jaifah pelakuan yang mengenai perut.

Dari keterangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kategori barang gadai dalam

sudut pandang hukum Islam tidak hanya berlaku pada barang-barang bergerak saja.

Akan tetapi juga meliputi jenis barang-barang yang tidak bergerak, dengan catatan

barang-barang tersebut dapat dijual.

7. Akad Gadai.

Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa penggadaian dianggap sah apabila telah

memenuhi syarat :

a. Berupa barang, karena hutang tidak bisa digadaikan.

b. Penetapan kepemilikan penggadaian atas barang yang digadaikan tidak terhalang.

c. Barang yang digadaikan bisa terjual manakala sudah tiba masa pelunasan utang

gadai.

Imam Malik berpendapat bahwa menggadaikan apa yang tidak boleh dijual pada

waktu penggadaian dibolehkan, seperti buah-buahan yeng belum nampak

kebaikannya (Ibnu Rusyid 1995, hal. 352).

8. Hak Penerima Gadai Atas Harta Peninggalan.

Hak para kreditur atas harta peninggalan seseorang ada yang berasal dari utang lepas,

yaitu utang tanpa gadai, dan ada yang berasal dari utang terkait, yaitu utang gadai.

Hak para kreditur atas utang yang berkait dipandang lebih kuat daripada hak para

kreditur atas utang lepas, sebab murtahin berhak menahan barang gadai yang

merupakan sebagian dari atau bahkan seluruh harta peninggalan.

Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa hak murtahin untuk menerima

Page 19: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

49

pembayaran utang, lebih didahulukan daripada hakpara kreditur atas utang lepas.

Dengan demikian, apabila seseorang meninggal dalam keadaan menanggung dua

macam utang, utang lepas dan utang berkait, maka yang berhak menerima

pembayaran lebih dahulu adalah murtahin, kemudian baru kreditur utang lepas.

Sebab apabila utang yang dibayarkan kepada murtahin meliputi seluruh harta

peninggalan yang ada, maka para kreditur utang lepas baru akan menerima

pembayaran setelah utang gadaidiperoleh dari murtahin (Basyir, 1983, hal. 63).

9. Pembayaran Atau Pelunasan Gadai.

Apabila sampai waktu yang telah ditentukan, rahin belum juga kembali membayar

utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang gadaiannya

dan kemudian digunakan untuk melunasi utangnya. Selanjutnya, apabila setelah

diperintahkan hakim, rahin tidak mau membayar utangnya dan tidak pula mau

menjual barang gadaiannya, maka hakim dapat memutuskan untuk menjual barang

tersebut guna melunasi utang-utangnya.

10. Prosedur Pelelangan Barang Gadai.

Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual

atau menghibahkan barang gadai. Sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan untuk

menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak

dapat melunasi hutangnya atau kewajibannya.

Jika terdapat persyaratan, menjual barang gadai pada saat jatuh tempo,maka

hal ini dibolehkan dengan ketentuan :

Page 20: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

50

a. Murtahin harus terlebih dahulu mencari tahu keadaan rahin (mencari tahu

penyebab belum melunasinya utang).

b. Dapat mempertenggang waktu pembayaran.

c. Kalau murtahin benar-benar butuh uang dan rahin belum melunasi hutangnya,

maka murtahin boleh memindahkan barang gadai kepada murtahin lain dengan

seizin rahin.

d. Apabila ketentuan di atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang

gadai dan kelebihan utangnya dikembalikan kepada rahin (Ibid, hal. 58). Untuk

lebih jelas dan lengkapnya, penjelasan mengenai pendapat para fuqaha tentang

gadai adalah di bahasansebagai berikut.

Pendapat Fuqaha Tentang Pemeliharaan Manfaat Terhadap Barang Tergadai.

Seperti telah dijelaskan bahwa dalam fikih Islam, barang gadaian dipandang sebagai

amanat pada tangan murtahin, sama dengan amanat lain, dia tidak harus membayar

kalau barang itu rusak, kecuali jika karena tindakannya (Ash-Shiddieqy 1970, hal. 376).

Penerima gadai hanya bertanggung jawabuntuk menjaga, memelihara dan berusaha

semaksimal mungkin agar barang itu tidak rusak. Barang jaminan yang rusak diluar

kemampuan murtahin tidak harus diganti.

Telah dikemukakan di atas, bahwa barang jaminan adalah sebagai amanat yang

tidak boleh diganggu oleh murtahin. Sedang biaya pemeliharaannya boleh diambil dari

manfaat barang itu sejumlah biaya yang diperlukan. Adapun cara pengambilan manfaat

dari barang jaminannya adalah dengan menanam pada (kalau tanah berupa sawah)

Page 21: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

51

dengan tanaman lain (kalau tanah itu berupa tanah darat atau kebun) atau dengan

mengambil/menjual buahnya sebanyak harga biaya yang dibutuhkan (kalau tanah berupa

kebun kelapa) dengan pemeliharaan semacam ini dapat diambil manfaat sekedar biaya

yang diperlukan guna mengolah tanah. Pengolahan tanah tersebut tidak mengurangi

keadaan yang ada padanya yang menimbulkan penyesalan bagi orang yang

menggadaikan.

Menurut jumhur ulama, bahwa “Apabila seseorang menitipkan titipan dengan

syarat jaminan, maka tidak perlu dijamin (ditanggung) dan menurut fuqaha yang lain

dijamin” (Ibnu Rusyid, 1995. hal. 207). Atas dasar kalimat di atas, dapat diambil

kesimpulan yaitu bahwa menitipkan titipan dengan syarat jaminan ada dua pendapat,

pertama, tidak perlu memakai jaminan dan kedua, memakai jaminan atas orang yang

diberi titipan oleh yang menitipkan tidak ada tanggungan, kecuali jika berbuat

kesalahan.

Setelah penulis mengemukakan masalah kedudukan jaminan dalam gadai

menggadai, maka di bawah ini akan kami kemukakan pendapat para ulama mujtahidin

tentang pengambilan manfaat hasil barang jaminan gadai (Syafie’i, 1995, hal. 62-74).

1. Pendapat ImamSyafi’i

Dalam kitab Al-‘Um karya Imam Syafi’i tidak terdapat suatu bab yang khusus

membahas tentang manfaat barang jaminan tanah kebun secara khusus. Dalam judul

bab “yang merusak gadai”, Imam Syafi’i mengatakan manfaat dari barang jaminan

adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi

yang menerima gadai.

Page 22: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

52

Dalam kitab al-Madzhabihul al-Arba’ah dijelaskan bahwa ulama-ulama

Syafi’iyyah mengatakan : orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak

atas manfaat barang yang digadaikan , meskipun barang yang digadaikan itu ada di

bawah kekuasaan penerima gadai. Kekuasaannya atas barang yang digadaikan tidak

hilang kecuali ketika mengambil manfaat atas barang gadaian itu (Al-Jazairy, tt hal.

207).

Dengan ketentuan di atas, jelaslah bahwa yang berhak mengambil manfaat

dari barang yang digadaikan itu adalah orang yang menggadaikan barang tersebut dan

bukan penerima gadai. Walaupun yang berhak menerima hak untuk mengambil

manfaat dari barang jaminan ada di tangan si penerima gadai. Hanya ada waktu

barang tersebut diambil manfaatnya kekuasaan untuk sementara waktu beralih kepada

yang menggadaikan. Ulama-ulama Syafi’iyyah mengemukakan alasan-alasan mereka

adalah :

a. Hadits Rasulullah SAW

عليهىۃ عنالنبهرير عنالنبىعناب سلمقاڶواللهعنصلیهنهلهغنمهرلايغلقالرهن منصاحبهالذي

هذااسنادحسنمتصلڶ واهالشفعیوالدارقطنیوقاعليهغرمهو

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW ia bersabda : gadaian itu tidak menutupakan yang punyanya dari manfaat barang itu, faidahnya kepunyaan dia dan diawajib mempertanggung jawabkan segala resikonya (kerusakan dan biaya). (HRAsyafi’i dan Daruquthny dan ia berkata bahwa sanadnya Hasan danbersambung). (Sabiq, 2006, hlm. 191).

Dalam hadits tersebut jelas menunjukkan bahwa barang gadaian itu tidak

Page 23: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

53

menutup hak atas pemiliknya yaitu orang yang menggadaikan untuk mengambil

manfaat dari barang tersebut. Dia (yang menggadaikan) tetap berhak atas segala

hasil yang ditimbulkan dari barang gadaian itu dan bertanggung jawab atas

segala resiko yang menimpa barang tersebut. Yang berhak memperoleh manfaat

dari barang gadaian adalah yang menggadaikan walaupun barang gadaian itu

dikembalikan dulu kepada yang menggadaikannya. Jika si penerima gadai tidak

percaya atas barang yang digadaikan itu akan dikembalikan lagi kepadanya oleh

yang menggadaikan, maka hendaklah ketika akad itu, diadakan saksi.

b. Dalam kitab Al-Um, Imam Syafi’i mencantumkan Hadits Rasulullah SAW

yang berbunyi :

عنه قاڶ:قاڶ اللهعنعنابیهرير رضي اللهعنسوڶرۃ عنالنبۃ)البخاري(سلم:الرهن محلوب مركوب واللهعنصلی عليهن

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata, bersabda Rasulullah SAW :Barang jaminan itu dapat ditunggangi dan diperah (HR. Bukhari). (ibid. hal189).

Asy-Syafi’i memberi komentar terhadap hadits tersebut sebagai

berikut dan ini tidak boleh menunggangi dan memeras (barang jaminan itu)

kecuali bagi pemiliknya, yaitu yang menggadaikan bukan bagi yang

menerima gadai.

Atas keterangan tersebut, jelaslah bahwa maksud hadits yang

dikemukakan di atas, orang yang dapat menunggangi dan memerasbarang

jaminan itu adalah yang menggadaikan, karena dialah yang memiliki barang

Page 24: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

54

tersebut dan dia pula yang bertanggung jawab atas segala resiko yang

menimpa barang tersebut, sebagaimana baginya pula manfaat yang

dihasilkan dari padanya. Hak bagi penerima gadai hanyalah mengawasi

barang jaminan sebagai kepercayaan atas uang yang telah dipinjamkannya

yang dapat dijual bila ternyata pihak yang menggadaikan tidak dapat

membayar utangnya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan pada waktu

akad.

c. Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari :

اللهعنسوڶ صلی عليهنرعنابنعمرقاڶ: قاڶ اللهعنوسلم:لاتحلب ماشيةامرى بغيراذ نه

)اخرجه البخارى(

Dari Ibnu Umar ia berkata, bersabda Rasulullah SAW : Hewan seseorangtidak boleh diperas tanpa seizin pemiliknya (HR Bukhari).

Barang yang digadaikan itu tidak lain hanyalah sebagai jaminan atas

kepercayaan jaminan saja atas si penerima gadai. Barang jaminan diserahkan

kepada penerima gadai bukan berarti menyerahkan hak milik, tetapi pemilik

barang gadaian itu adalah orang yang menggadaikan.

Seterusnya As-Syafi’i menjelaskan bahwa tasharuf yang dapat

mengurangi harga barang yang digadaikan maka tasharuf itu tidak sah

kecuali dengan izin yang menerima gadai. Oleh karena itu tidak sah bagi

yang menggadaikan untuk menyewakan barang yang digadaikan kecuali ada

Page 25: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

55

izin menerima gadai, karena tindakan tersebut akan mericuhkan kepada yang

menerima gadai.

Selanjutnya apabila yang menerima gadai mensyaratkan bahwa

barang gadaian itu baginya yang disebutkan dalam waktu akad, maka akad

tersebut rusak (tidak sah). Dalam setiap keadaan tidak boleh bagi yang

menerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang yang digadaikan,

apabila disyaratkannya dalam waktu akad. Apabila yang menggadaikan

mengambil manfaat dari barang gadaian sebelum akad maka hal itu

dibolehkan.

Pengertian yang dapat diambil dari pendapat Imam Syafi’i tersebut di

atas adalah bahwa manfaat dari barang jaminan secara mutlak adalah hak

bagi yang menggadaikan. Demikian pula biaya pengurusan terhadap barang

jaminan adalah kewajiban bagi yang menggadaikan. Alasan bagi

pendapatnya itu disamping nash-nash hadits tersebut di atas ialah karena

menggadaikan itu bukan menyerahkan hak milik, tetapi hanya sebagai

jaminan saja. Maka jika yang memiliki barang jaminan itu orang yang

menggadaikan, otomatis dialah yang bertanggung jawab atas resiko dan dia

pulalah yang berhak atas segala manfaat yang dihasilkan dari barang

tersebut.

2. Pendapat Imam Malik (Malikiyah)

Para ulama Malikiyah mengatakan : Hasil dari barang gadaian dan segala sesuatu

Page 26: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

56

yang dihasilkan dari padanya, adalah termasuk hak-hak yang menggadaikan. Hasil

gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama si penerima gadai tidak

mensyaratkan (Al-Jazairy, tt. hal. 332). Apabila murtahin mensyaratkan bahwa hasil

dari barang gadaian itu untuk dia, maka hal ini bisa saja dengan beberapa syarat yaitu:

a. Utang terjadi disebabkan karena jual beli dan bukan karena menguntungkan. Hal

ini dapat terjadi seperti seorang menjual suatu barang kepada orang lain dengan

harga yang ditangguhkan (tidak dibayar kontan), kemudian dia meminta gadai

dengan suatu barang sesuai dengan utangnya, maka ini dibolehkan.

b. Pihakpenerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat dari barang gadai adalah

untuknya.

c. Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan itu waktunya harus

ditentukan, apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka

menjadi tidak sah.

Jika syarat tersebut jelas ada, maka sah bagi penerima gadai mengambil manfaat

dari barang yang digadaikan. Adapun bila dengan sebab mengutangkan, maka tidak

sah bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat dengan cara apapun, baik

pengambilan manfaat itu disyaratkan oleh sipenerima gadai ataupun tidak, dibolehkan

oleh yang menggadaikan atau tidak, ditentukan waktunya ataupun tidak. Ketidak

bolehan itu termasuk kepada menguntungkan yang mengambil manfaat, sedangkan

hal itu termasuk riba.

Dengan memperhatikan hadits yang berbunyi :

Page 27: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

57

عنهقاةرعنابیهرير اللهعن صلیلسور: لاللهعنضي اللهعنکانسلم:الرهن يركب بنفقتهاذاوعليه

نکار يشرب بنفقتهاذادلبنالومرهونالنفقتهايشرب ومرهوناوعلىالذى يركب

ہ البخاریروا البخاری

Dari Abu Hurairah ra ia berkata bersabda Rasulullah SAW : Gadaianditunggangi dengan nafkahnya jika dia dijadikan jaminan utang dan air susudiminum dengan nafkahnya jika dia dijadikan jaminan utang dan kepada yangmenunggangi dan meminum harus memberi nafkah. (HR. Bukhari). (Antonio,2001, hal. 129)

Jika orang yang menggadaikan mewakilkan (memberi kuasa) kepada

penerima gadai untuk menjual barang gadaian itu pada waktu tertentu, maka itu

boleh. Akan tetapi Imam Maliki sendiri memakruhkan demikian, kecuali kalau

perkaranya diajukan kepada penguasa (hakim). Adapun pengertian yang dapat

diambil dari pendapat Imam Maliki yang telah dikemukakan di atas ialah bahwa yang

berhak mengambil manfaat dari barang jaminan gadai adalah pihak yang

menggadaikan, tetapi walaupun demikian, pihak penerima gadaipun bisa mengambil

manfaat dari jaminan gadai dengan syarat-syarat tertentu yang tadi sudah disebutkan.

Jadi pendapat Imam Maliki dengan Imam Syafi’i pada pokoknya sama, yaitu

bahwa manfaat barang jaminan gadai adalah bagi yang menggadaikan. Tetapi juga

sedikit perbedaan pendapat, yaitu mengenai syarat yang dibuat oleh pihak penerima

gadai untuk memberikan manfaat dari barang jaminan gadai bagi dirinya. Imam

Maliki membolehkan dengan syarat, sedangkan Imam Syafi’i melarangnya.

3. Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (Hanbaliyah)

Page 28: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

58

Ulama-ulama hanbaliyah dalam masalah ini memperhatikan kepada barang yang

digadaikan itu sendiri, apakah yang digadaikan itu hewan atau bukan, dari hewanpun

dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi dan hewan yang

sebaliknya.

Dengan mempertimbangkan dalam kitab Al-Madzahibul Arba’a karya

Abdurrahman Al-Jazairi disebutkan sebagai berikut : Barang yang digadaikan itu

adakalanya hewan yang bisa ditunggangi dan diperah dan ada kalanya juga bukan

hewan, maka apabila (yang digadaikan itu) hewan yang dapat ditunggangi, pihak

yang menerima gadai dapat mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut dengan

menungganginya dan memerah susunya tanpa seizin yang menggadaikan.

Adapun jika barang yang digadaikan itu tidak dapat ditunggangi dan diperah,

maka dalam hal ini boleh bagi penerima gadai mengambil manfaat atas barang

gadaian dengan seizin yang menggadaikan secara suka rela, tanpa adanya imbalan

dan selama sebab gadaian itu sendiri bukan dari sebab menguntungkan. Bila alasan

gadai itu dari segi menguntungkan, maka penerima gadai tidak halal mengambil

manfaat barang yang digadaikan meskipun dengan seizin yang menggadaikan.

Jika memperhatikan penjelasan di atas, dapat diambil pengertian, bahwa pada

pokoknya penerima gadai atas jaminan yang bukan hewan, tidak dapat mengambil

manfaat dari barang gadaian. Tetapi walaupun demikian penerima gadai bisa juga

mengambil manfaat dari barang gadaian dengan syarat :

a. Ada izin dari yang menggadaikan.

b. Adanya gadai bukan sebab menghutangkan.

Page 29: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

59

Akan tetapi dalam kitab al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah dikatakan

bahwa : Penerima gadai tidak boleh mengambil hasil atau manfaat dari barang

gadaian, kecuali dari barang gadaian yang bisa ditunggangi atau diperah, maka bisa

penerima gadai menunggangi atau memerah susunya. Pengecualian ini khusus hanya

bagi binatang yang bisa diperas dan ditunggangi saja, sedangkan yang lainnya tidak

bisa diqiyaskan kepadanya.

Lebih lanjut Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menjelaskan yang

ringkasan maksudnya bahwa pengambilan manfaat dari barang gadaian itu mencakup

kepada dua keadaan :

a. Yang tidak membutuhkan kepada biaya seperti rumah, barang-barang dan

sebagainya, maka dalam keadaan ini penerima gadai tidak boleh mengambil

manfaat tanpa seizin yang menggadaikan termasuk segala yang dihasilkan dan

kemanfaatan barang tersebut.

b. Yang membutuhkan kepada pembiayaan. Mengenai hukum penerima gadai

dengan mengambil manfaat dari barang yang membutuhkan biaya dengan seizin

yang menggadaikan adalah seperti pembagian yang sudah disebutkan sebelumnya.

Apabila barang yang digadaikan itu tidak bisa diperah dan tidak bisa ditunggangi,

maka terbagi kepada dua bagian :

1) Apabila barang yang digadaikan itu terdiri dari hewan, seperti amat atau abid

boleh menjadikannya sebagai khadam.

2) Apabila bukan, seperti rumah, kebun sawah dan sebagainya, maka tidak boleh

mengambil manfaatnya.

Page 30: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

60

Demikian pendapat Imam Ahmad mengenai pengambilan manfaat dari barang

gadaian yang pada pokoknya membagi kepada dua bagian yaitu pertama bagi barang

yang bisa diperah susunya atau bisa ditunggangi, maka si penerima gadai dapat

mengambil manfaat daripadanya sesuai dengan nafkah yang dikeluarkan. Kedua bagi

barang yang tidak bisa diperah dan tidak bisa ditunggangi, maka penerima gadai tidak

boleh mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut.

Adapun yang menjadi alasan bagi Imam Ahmad adalah :

a. Kebolehan penerima gadai untuk mengambil manfaat dari barang gadaian yang

bisa diperah dan ditunggangi adalah hadits Rasulullah SAW :

عنه قاڶ: قاڶرۃ عنالنبۃعنابیهرير اللهعنسوڶ صلیراللهعنضي اللهعنعليه وسلم:الرهنيركب بنفقته

ريشرب بنفقتهدلبنالومرهوناکاناذايشرب النفقتهوى يركب ذعلىالونمرهوناکااذا

ہ البخاریروا البخاری

Abu Hurairah ra berkata, bersabda Rasulullah SAW : Gadaian dikendarai olehsebab nafkahnya apabila ia digadaikan dan susu diminum, dengan nafkahnyaapabila digadaikan dan atas orang yang mengendarai dan meminum susunyawajib nafkahnya (HR. Bukhari).(Ibid).

b. Tidak bolehnya penerima gadai mengambil manfaat dari barang gadaian selain

barang yang bisa ditunggangi dan diperah. Alasan bagi Imam Ahmad dalam hal

tidak bolehnya si penerima gadai mengambil manfaat dari barang jaminan adalah

Page 31: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

61

sama dengan alasan-alasan yang dikemukakan oleh Imam Syafi’i, Imam Maliki

dan ulama-ulama lainnya.

4. Pendapat Abu Hanifah

Menurut ulama-ulama Hanafiyah tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang

gadaian yang mengakibatkan kurang harganya atau tidak, maka apabila yang

menerima gadai memberi izin, maka sahlah mengambil manfaat dari barang yang

digadaikan itu. Apabila yang menggadaikan menthasarufkan barang gadaian dengan

menjualnya tanpa seizin dari si penerima gadai, maka jual belinya itu tidak sah,

terkecualijika yang menggadaikan terlebih dahulu membayar utangnya.

Adapun alasan bagi ulama-ulama Hanafiyah bahwa yang berhak mengambil

manfaat dari barang gadaian bagi penerima gadai adalah sebagai berikut :

a. Hadits Rasulullah SAW.

Dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW :

اللهعنان النبىصلىةعنابىصالح عنابىهريرعلىومحلوبمركوبو:الرهنلسلمقاوعليه

البخاری(ہ البخاری) روايحلبالنفقتهوالذين يركب

Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Barang jaminan utang bisa ditunggangi dandiperah dan bagi yang menunggangi dan memeras susunya wajib menanggungbiaya makannya. (HR Bukhari). (Sabiq, 2006, 189).

Nafkah bagi orang yang digadaikan itu adalah kewajiban yang menerima gadai,

karena barang tersebut ada di tangan dan kekuasaan penerima gadai. Oleh karena

Page 32: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

62

itu yang mengambil nafkah adalah penerima gadai, maka dia pulalah yang berhak

mengambil manfaat dari barang tersebut. Selanjutnya hadits yang disebutkan di

atas menyebutkan secara khusus tentang binatang yang dapat diperah dan

ditunggangi, tetapi walaupun demikian barang-barang selain binatang pun dapat

diqiyaskan kepadanya, sehingga dengan demikian yang berhak mengambil

manfaat atas barang gadaian adalah si penerima gadai.

b. Menggunakan alasan dengan akal (rasio).

Sesuai dengan fungsinya barang sebagai jaminan dan kepercayaan bagi yang

meminjamkan uang, maka barang tersebut dikuasai oleh si penerima gadai, karena

apabila barang tersebut masih dipegang oleh menggadaikan, berarti keluar dari

tangannya dari barang jaminan menjadi tidak ada artinya. Apabila barang gadaian

dibiarkan tidak dimanfaatkan oleh yang menguasainya (penerima gadai) maka

berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, apabila barang tersebut

memerlukan biaya untuk pemeliharaannya.

Kemudian jika pada setiap saat yang menggadaikan harus datang kepada

penerima gadai untuk memelihara dan mengambil manfaatnya, halini akan

mendatangkan madlarat bagi kedua belah pihak, terutama bagi pihak yang

menggadaikan. Demikian juga bagi setiap kali penerima gadai harus memelihara

dan mengerahkan manfaat dari barang jaminan kepada yang menggadaikan, inipun

sama madlaratnya, maka dengan demikian penerima gadailah mengambil manfaat

dari hasil gadaian tersebut karena ia pula yang menahan barang itu sebagai

jaminan.

Page 33: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

63

Demikianlah pendapat serta alasan-alasan ulama-ulama hanafiyah yang

pada dasarnya menyatakan bahwa yang berhak untuk mengambil manfaat dari

barang jaminan adalah penerima gadai, karena barang tersebut ada di bawah

kekuasaan tangannya. Demikian pulalah pendapat para ulama madzhab tentang

pengambilan manfaat dari barang jaminan yang diikuti dengan alasan-alasan serta

dalilnya masing-masing. Dari pendapat-pendapat tersebut dapat penulis simpulkan

sebagai berikut :

1) Manfaat dari barang yang digadaikan adalah hak yang menggadaikan. Pendapat

ini dipegang oleh Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad serta

merupakan pendapat jumhur ulama.

2) Manfaat dari barang gadaian adalah hak yang menerima gadai. Pendapat ini

dipegang oleh Imam Hanafi.

Demikianlah kesimpulan yang dapat diambil dari masalah pengambilan manfaat

dari barang jaminan menurut fuqaha.

Page 34: Bab 2 GADAI DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

i