BAB 2 - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41605/3/jiptummpp-gdl-ridyapuspi-50002-3-bab2.pdf ·...
Transcript of BAB 2 - eprints.umm.ac.ideprints.umm.ac.id/41605/3/jiptummpp-gdl-ridyapuspi-50002-3-bab2.pdf ·...
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelor (Moringa oleifera)
2.1.1 Taksonomi
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas : Dicotyledone (berkeping dua dikotil)
Sub Kelas : Dilleniidae
Ordo : Capparales
Famili : Moringaceae
Genus : Moringa
Species : Moringa oleifera Lamk.
(Integrated Taxonomic Information System, 2016)
6
2.1.2 Karakteristik Umum
Moringa oleifera (Gambar 2.1) dikenal dengan kelor di Indonesia
merupakan tanaman asli kaki bukit Himalaya Asia Selatan, timur laut
Pakistan, bagian utara Bengala Barat di India dan timur laut Bangladesh.
Tanaman ini dapat ditemukan di sepanjang negara tropis. Moringa juga
dikenal sebagai horseradish tree, drumstick tree, dan mother’s best freind.
Kelor (Moringa oleifera) tumbuh dalam bentuk pohon, berumur panjang
(perenial) dengan tinggi 7-12 m. Batang kelor berkayu (lignosus), tegak,
berwarna putih kotor, kulit tipis dan permukaannya kasar.
Perkembangbiakan tanaan ini dapat secara generatif (biji) maupun
vegetatif (stek batang). Kelor dapat tumbuh di dataran rendah maupun
dataran tinggi sampai di ketinggian ± 1000 m dpl (HRDA – the organic
organisation, 2002).
Kelor merupakan tanaman yang dapat mentolerir berbagai kondisi
lingkungan seperti temperatur yang sangat tinggi, berada di bawah
naungan dan daerah bersalju ringan. Tanaman ini tetap mudah tumbuh
walaupun dalam kondisi ekstrim . Kelor dapat bertahan dalam musim
kering yang panjang dan tumbuh dengan baik di daerah dengan curah
hujan tahunan berkisar antara 250 sampai 1500 mm (Krisnandi, 2015).
7
(Krisnandi, 2015)
Gambar 2.1 Pohon kelor (Moringa oleifera)
Pohon kelor dapat dijumpai di Indonesia, memiliki berbagai kandungan zat
yang dapat dimanfaatkan. Salah satu kandungan zat tersebut adalah anti-oksidan
2.1.3 Morfologi
Tanaman Moringa oleifera memiliki akar tunggang dan bewarna putih.
Kelor termasuk jenis tanaman perdu yang dapat memiliki ketingginan batang
7 - 12 meter. Batang kelor termasuk jenis batang berkayu yang keras dan
kuat. Bentuk batangnya adalah bulat (teres) dan permukaannya kasar
dengan arah tumbuh tegak lurus ke atas (erectus). Arah percabangan kelor
tegak (fastigiatus) dengan arah tumbuh cabang hanya pada pangkalnya
(Krisnandi, 2015).
Daun Moringa oleifera merupakan jenis daun bertangkai karena terdiri
atas tangkai dan helaian saja. Bangun daunnya berbentuk bulat (orbicularis),
panjang 1 - 2 cm, lebar 1 - 2 cm, tipis, pangkal daunnya tidak bertoreh dan
termasuk ke dalam bentuk bangun bulat telur. Ujung dan pangkal
daunnya membulat (rotundatus). Susunan tulang daun kelor menyirip
8
(penninervis) dengan satu ibu tulang yang berjalan dari pangkal ke ujung dan
merupakan terusan tangkai daun. Kelor mempunyai tepi daun yang rata
(integer) dan helaian daunnya tipis dan lunak. Daun berwarna hijau tua
atau hijau kecoklatan, permukaannya licin (laevis) dan berselaput lilin
(pruinosus). Satu tangkai memiliki daun majemuk menyirip gasal rangkap
tiga tidak sempurna (Krisnandi, 2015).
(Krisnandi, 2015)
Gambar 2.2 daun kelor (Moringa oleifera)
Daun Moringa oleifera yang dapat dibuat ekstrak untuk diambil kandungan
anti-oksidan, digunakan untuk pengobatan aterosklerosis.
Bunga pada tanaman kelor berada di ketiak daun (axillaris), bertangkai
panjang, kelopak bunga berwarna putih, memiliki aroma khas. Buah atau
polong kelor berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang
dengan panjang 20 - 60 cm. Saat polong muda berwarna hijau setelah tua
menjadi cokelat. Ketika kering polong membuka menjadi 3 bagian.
Setiap bagian polong rata-rata berisi antara 12 dan 35 biji. Biji kelor
berbentuk bulat dengan lambung semi-permeabel. Biji terdapat dalam
polong berbentuk bulat, berwarna hijau terang kemudian berubah berwarna
9
coklat kehitaman saat polong matang dan kering. Berat rata-rata per biji
adalah 0,3 g (Krisnandi, 2015).
2.1.4 Kandungan Gizi Daun
Ilmu pengetahuan modern membuktikan bahwa daun Moringa oleifera
mengandung nutrisi yang lengkap dan mencegah berbagai macam penyakit.
Seratus gram daun kelor kering mengandung protein 9 kali lebih banyak
dibanding yogurt, vitamin C ¾ kali lebih banyak dari jeruk, kandungan
pottasium 15 kali lebih banyak dibanding pisang, vitamin A 10 kali lebih
banyak dibanding wortel, kalsium 17 kali lebih banyak dibanding susu,
polifenol 8 kali lebih banyak dibanding wine merah, protein 2 kali lebih
banyak dibanding susu, vitamin E 3 kali lebih banyak dibanding bayam,
kandungan zat besi 3 kali lebih banyak dibanding kacang almon, protein 3
kali lebih banyak dibanding telur, serat 4 kali lebih banyak dari oat, vitamin C
10 kali lebih banyak dibanding anggur, dan kandungan zat besi 25 kali lebih
banyak dari bayam (Bey, 2010).
(Bey, 2010)
Gambar 2.3 Kandungan daun kelor (Moringa oleifera)
10
Standar nutrisional hasil analisa daun Moringa olifera basah dan daun
Moringa oliefera kering per 100 gram disajikan dalam tabel berikut
Tabel 2.1 Kandungan Daun Moringa oleifera Basah dan Kering tiap 100 g Kandungan Daun Basah Daun Kering
Karoten (vitamin A) 6.78 mg 18.9 mg
Thiamin (vitamin B) 0.06 mg 2.64 mg
Riboflavin (B2) 0.05 mg 20.5 mg
Niacin (B3) 0.8 mg 8.2 mg
Vitamin C 220 mg 17.3 mg
Vitamin E 190 mg 11,8 mg
Kalsium 440 mg 2,003 mg
Kalori 92 kal 205 kal
Karbohidrat 12.5 g 38.2 g
Tembaga 0.07 mg 0.57 mg
Lemak 1.70 g 2.3 g
Serat 0.90 g 19.2 g
Zat Besi 0.85 mg 28.2 mg
Magnesium 42 mg 368 mg
Fosfor 70 mg 204 mg
Pottasium 259 mg 1,324 mg
Protein 6.70 g 27.1 g
Zinc 0.16 mg 3.29 mg
(Bey, 2010)
Hasil penelitian terhadap kandungan senyawa polifenolat pada daun,
batang dan tangkai Moringa oleifera yang tumbuh di Taiwan disajikan dalam
tabel berikut
Tabel 2.2 Perbandingan Kandungan Senyawa Polifenolat pada Daun, Batang
dan Tangkai Moringa oleifera tiap 100 g
Bagian Tanaman Kandungan senyawa polifenolat
Daun 200 mg
Batang 71.9 mg
Tangkai 68.8 mg
(Ming et al., 2011)
11
2.1.4.1 Senyawa Polifenolat
Fenol adalah senyawa yang memiliki sebuah grup –OH yang
melekat pada cincin benzena. Jenis kandungan fenol dalam rentang
yang besar pada tumbuhan Moringa oleifera flavonoid dan asam
polifenol. Banyak fenol memiliki efek antioksidan hebat secara in
vitro, menghambat lipid peroxidation dengan beraksi sebagai pengikat
pemutus rantai radikal peroksil. Fenol yang memiliki dua grup –OH,
atau struktur ikatan yang lain, juga dapat mengikat ion metal transisi
(terutama besi dan tembaga) dalam bentuk aktif yang tidak baik pada
awal reaksi radikal bebas. Kemampuan ikatan ini dapat diganggu oleh
penyerapan metal dari asupan makanan. Fenol juga dapat secara
langsung mengikat ROS, seperti OH, ONOOH, dan HOCl. Banyak
senyawa fenolik pada tumbuhan merupakan inhibitor yang baik dari
lipid peroxidation pada in vitro (El Shohaimy et al., 2015).
Jaringan dari Moringa oleifera telah dianalisa mengandung banyak
zat glucosinolate dan phenolic (flavonois, athocyanin,
anthocyanidins, dan cinnamates) (Bey, 2010). Derajat hidroksilasi dan
posisi relatif dari grup –OH adalah hal penting dalam menentukan
kemampuan antioksidan (Vongsak et al., 2013). Kandungan senyawa
polifenolat dalam daun Moringa oleifera dapat dilihat pada tabel
berikut
12
Tabel 2.3 Kandungan Senyawa Polifenolat pada Daun Kering Moringa
oleifera tiap 100 g
Senyawa Rentang Konsentrasi
Flavonoid 5,059 – 12,16 mg
Asam Fenolic 0,078 – 0,128 mg
Tanin 1,320 - 2,060 mg
Saponin 2,000 – 5,000 mg
(Leone et al., 2015)
2.1.4.2 Flavonoid
Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15
atom karbon dengan dua cincin benzena. Cincin benzena tersebut (C6)
terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk suatu
susunan C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur,
yaitu 1,3-diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau
isoflavonoid, dan 1,1-diarilpropan atau neoflavonoid (Sugrani, 2009).
(Sugrani, 2009)
Gambar 2.4 Rantai Kimia Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu dari sekian banyak senyawa
metabolit yang dihasilkan oleh suatu tanaman. Flavonoid dapat
ditemukan pada bagian daun, akar, kayu, kulit tepung sari, bunga dan
biji. Pada tumbuhan flavonoid terikat dengan gula sebagai glikosida
dan aglikon flavonoid yang mungkin terdapat pada satu tumbuhan
13
dalam bentuk bentuk kombinasi glikosida. Aglikon flavonoid (yaitu
flavonoid tanpa gula terikat) terdapat dalam berbagai bentuk struktur
(Lutfiana, 2013).
Flavonoid merupakan fenol dapat menghambat oksidasi LDL
secara in vitro. Flavonoid dapat berupa glikosida. Penelitian in vitro,
flavonoid merupakan inhibitor kuat dari lipid peroxidation, pengikat
ROS atau RNS, inhibitor kerusakan karena protein atau percampuran
peroksida, agen pengikat ion metal dari inhibitor dari enzim
lipokgenase dan siklooksigenase. (Leone et al., 2015).
2.1.4.3 Saponin
Saponin adalah suatu seyawa alamiah glikosida yang terikat
dengan steroid dan triterpena. Saponin mempunyai aktifitas
farmakologi yang cukup luas diantaranya meliputi:
immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi, antivirus, antijamur,
dapat membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek
hipokolesterol. Saponin juga mempunyai sifat bermacam-macam,
misalnya: terasa manis, ada yang pahit, dapat berbentuk buih, dapat
menstabilkan emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam
pemakaiannya saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya
dipakai untuk membuat minuman beralkohol, dalam industri pakaian,
kosmetik, membuat obat-obatan, dan dipakai sebagai obat tradisional
(Umarudin et al, 2012).
14
(Sugrani, 2009)
Gambar 2.5 Rantai Kimia Saponin
Saponin terdiri dari Sapogenin yaitu bagian yang bebas dari
Glikosida yang disebut juga “Aglycone”. Sapogenin mengikat
sakarida yang panjangnya bervariasi dari monosakarida hingga
mencapai 11 unit monosakarida. Apabila sakaridanya monosakarida
yang sering dijumpai adalah D-Glukosa dan D Galaktosa-2 Sapogenin
(Aglycone) bisatriterpenoid atausteroid. Sapogenin yang bersifat
lipofilik serta sakarida yang hidrofilik maka saponin bersifat amfifilik
(amphiphilic atau surfactant properties). Selanjutya, saponin dapat
membentuk busa dan merusak membran sel karena bisa membentuk
ikatan dengan lipida dari membran sel. (Umarudin et al, 2012).
Aktivitas senyawa saponin dapat mencegah terjadinya
hiperkolesterolemia sebagai awal terjadi aterosklerosis. Mekanisme
saponin dalam menurunkan kolesterol dengan berikatan dengan asam
empedu dan kolesterol (dari makanan) membentuk misel yang tidak
dapat diserap oleh usus dan juga menghambat kerja enzim lipase.
Penurunan kadar kolesterol dalam darah akan menghambat
15
terbentuknya ateroskleorosis pada pembuluh darah arteri (Maryani et
al., 2016).
2.2 Pembuluh Darah Arteri
2.2.1 Definisi dan Jenis
Arteri merupakan pembuluh darah yang keluar dari jantung untuk
menyalurkan darah dengan kandungan oksigen yang membentuk percabangan
progesif. Terdapat tiga jenis arteri di tubuh: arteri elastik (arteria elastypica),
arteri muskular (arteria myotypica), dan arteriol (arteriola). Diameter lumen
arteri secara berangsur mengecil setiap kali bercabang, sampai terbentuk
pembuluh kecil kapiler (Eroschenko, 2010).
Arteri elastik (arteria elastotypica) adalah pembuluh darah paling besar di
dalam tubuh dan mencangkup trunkus pulmonalis dan aorta serta cabang-
cabang utamanya, arteri brakiosefalika, karotis komunis, sublavia, vertebralis,
pulomonalis, dan iliaka komunis. Dinding pembuluh darah ini terdiri atas
serat jaringan elastik. Serat ini memberi kelenturan dan daya regang sewaktu
darah mengalir. Arteri elastik besar bercabang-cabang dan menjadi arteri
berukuran sedang, arteri muskular (arteri myotypica), pembuluh darah
terbanyak di tubuh. Berbeda dari dinding arteri elastik, dinding pembuluh
darah arteri muskular mengandung lebih banyak serat otot polos. Arteriol
(arteriola) adalah cabang terkecil pada sistem arteri. Dinding arteriol terdiri
atas satu sampai lima lapisan serat otot polos. Arteriol menyalurkan darah ke
pembuluh darah terkecil, kapiler (Eroschenko, 2010).
16
2.2.2 Histologi
Struktur dan komposisi umum dari pembuluh darah hampir sapa pada
seluruh sistem kardiovaskular. Dinding pembuluh darah terdiri atas sel
endotel dan sel otot polos. Dinding pembuluh darah mempunyai komposisi
extracellular matric (ECM) yang mempunyai kandungan elastin, kolagen,
glycosaminoglycans (Khumar el al., 2013).
Arteri mempunyai dinding yang relatif tebal dan lumen kecil. Arteri dilihat
secara histologi memperlihatkan susunan lapisan sebagai berikut;
a. Tunika intima
Merupakan lapisan yang paling dalam. Pada bagian dalam lapisan ini
terdiri atas selapis endotel yang diliputi oleh lapisan subendotel yang
merupakan jaringan ikat fibroelastis halus. Pada bagian luas berupa
serat elastis yang disebut lamina elastika interna.
b. Tunika media
Berupa sel otot polos yang tersusun melingkar. Serat elastin dan
kolagen dalam jumlah yang bervariasi berada diantara sel otot polos.
c. Tunika adventisia
Merupakan jaringan ikat yang tersusun memanjang. Ketebaan lapisan
ini bervariasi tergantung jenis dan ukuran arteri (Steven dan Lowe,
2015).
17
(Steven dan Lowe, 2015).
Gambar 2.6 Lapisan Arteri
2.3 Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia atau hiperlipidemia adalah kelainan metabolisme lipid
yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan kadar lipid dalam darah.
Terdapat tiga jenis lipid yaitu kolesterol, trigliserid dan fosfolipid. Kelainan ini
ditandai dengan meningkatnya kadar kolesterol total, kadar LDL (Low Density
Lipoprotein) dan trigliserida yang melebihi batas normalnya serta penurunan
kadar HDL (High Density Lipoprotein) (Harrison, 2008).
Tabel 2.4 Interpretasi kadar kolesterol total, LDL menurut NCEP ATP
Interpretasi Kolesterol Total LDL
Ideal
Batas tinggi
Tinggi
<200 mg/dl
200-239 mg/dl
>240 mg/dl
<130 mg/dl
130-159 mg/dl
>160 mg/dl
(Sumber :NCEP ATP III, 2001)
Penyebab terjadinya hiperkolesetrolemia dapat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Bisa disebabkan oleh faktor genetik, gaya hidup seperti merokok, pola makan
yang tidak sehat, kurangnya aktivitas olahraga serta bisa juga disebabkan akibat
dari penyakit lain seperti diabetes melitus (Harrison, 2008).
18
2.4 Aterosklerosis
2.4.1 Definisi
Aterosklerosis adalah suatu penyakit dari arteri-arteri besar dan sedang
akibat terbentuknya lesi lemak yang disebut plak ateromatosa pada
permukaan dalam dinding arteri (Guyton dan Hall, 2012). Aterosklerosis
adalah suatu penyakit karena adanya plak yang terbentuk dari penumpukan
lemak, kolesterol, kalsium dan bahan lain dalam darah pada bagian dalam
pembuluh darah (Aaronson dan Ward, 2011). Atherosklerosis adalah penyakit
akibat respon peradangan pada pembuluh darah (arteri besar dan sedang),
bersifat progesif, yang ditandai dengan deposit massa kolagen, lemak,
kolesterol, produk buangan sel dan kalsium, disertai poliferasi miosit yang
menimbulkan penebalan dan pengerasan dinding arteri, sehingga
mengakibatkan kekakuan dan kerapuhan arteri (Libby et al., 2012).
(Libby et al., 2012)
Gambar 2.7
Gambaran Histologi Arteri Normal dan Aterosklerosis
19
2.4.2 Faktor Resiko
Definisi faktor resiko aterosklerosis adalah adanya keadaan, kebiasaan
atau abnormalitas yang dihubungkan dengan aterosklerosis. Faktor risiko
aterosklerosis dapat dibedakan menjadi faktor risiko mayor atau utama dan
faktor risiko mino. Faktor-faktor resiko dapat dihubungan dengan penyebab
penyakit (Rahman, 2012).
Faktor risiko mayor adalah faktor resiko mayor tidak dapat dimodifikasi
dan dapat dimodifikasi. Faktor resiko mayor tidak dapat dimodifikasi antara
lain umur, jenis kelamin dan keturunan (ras). Faktor resiko mayor dapat
dimodifikasi yaitu merokok, tinggi kadar kolesterol dalam darah, hipertensi,
kurang aktivitas fisik, diabetes mellitus, obesitas atau berat badan lebih.
Faktor risiko minor adalah stress, alkohol, diet dan nutrisi (AHA, 2014).
2.4.3 Patofisiologi
Aterosklerosis berupa penebalan dan pengerasan dinding pembuluh darah
arteri disebabkan akumulasi makrofag yang mengandung banyak lipid (sel
busa atau foam cell) di dinding arteri sehingga menjurus pada pembentukan
lesi disebut plak. Aterosklerosis bukan penyakit tunggal tetapi lebih
merupakan proses patoligis multifaktorial yang dapat mempengaruhi sistem
seluruh tubuh yang mengakibatkan sindroma iskhemia yang memiliki
manifestasi klinis dan keparahannya sangat bervariasi. Kelainan ini
merupakan proses dasar penyakit jantung koroner dan serebrovaskuler
(Guyton dan Hall, 2012).
20
Peningkatan Low Desity Lipoprotein (LDL) dan penurunan High Density
Lipoprotein (HDL). Di samping itu, terdapat faktor resiko disfungsi endotel
lain yang disebut “novel” atau “inconvesional risk factor” antara lain:
peningkatan C-Reactive Protein (CRP), peningkatan fibrinogen, kondisi
resisten terhadap insulin, stress oksidatif, infeksi, dan penyakit periodontal
(Rafein-Kopaei et al., 2014).
Trauma mikro yang disebabkan oleh peningkatan LDL, ini akan diikuti
disfungsi endotel dari inflamasi yang disusul serentetan tahapan patofisiologi
sebagai berikut (Rafein-Kopaei et al., 2014)
1. Peradangan dan penurunan kemampuan sintesis antitrombotik dan
vasodilator dalam jumlah normal
2. Pengeluaran sejumlah zat proinflamasi, antara lain: TNF αβ,
Interferon-γ, IL-1, oksigen radikal, dan lain-lain
3. Pengeluaran faktor pertumbuhan, antara lain: Angiostensin-II,
Fibroblast Growth Factor (FGF), Platelet-Derived Growth Factor
(PDGF) yang menstimulasi proliferasi otot polos di pembuluh darah
yang terpapar.
4. Adhesi makrofag di endotel yang terpapar, yang dimediasi molekul
adhesi, misalnya Vascular Cell Adhesion Molecule –1 (VCAM-1).
Makrofag mensekresi enzim dan oksigen radikal yang menimbulkan
stress oksidatif, LDL teroksidasi, perusakan dinding pembuluh darah
lebih lanjut.
21
(Guyton dan Hall 2012)
Gambar 2.8
Perkembangan Plak Arterosklerotik
Ketidakseimbangan antara antioksidan dengan oksidan menyebabkan kerusakan endotel
sehingga memungkinkan monosit masuk ke tunika intima. Pada tunika intima monosit
menangkap partikel lipoprotein melalui reseptornya sehingga membentuk foam cell dan
merangsang pengeluaran sejumlah zat proinflamasi. Jika keadaan ini terjadi terus-
menerus, maka foam cell akan menumpuk dan menyebabkan terbentuknya plak yang
kemudian dapat terjadi ruptur.
2.4. 3. 1 Oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL)
Lipoprotein, khususnya Low Density Lipoprotein (LDL) seperti
kolesterol, menjadi sitotoksik saat teroksidasi. Pada bentuk tersebut,
LDL yang teroksidasi (OxLDL) akan mempengaruhi fungsi
22
endotelium, merusak sel otot polos, dan makrofag. Mereka diambil
oleh scavenger reseptors, sel-sel ini menjadi lipidtaden foam cell.
Lipid-lipid yang berubah ini dapat menjadi antigenik, diwakili oleh
MCD 1 menyebabkan reaksi imun lesional. Fosfolipid yang teroksidasi
diproduksi selama oksidasi lipoprotein dapat menyebabkan ekspresi
molekul adhesi seperti VCAM-1 pada sel endotelium dan MCD-1
(Monocyte Protein1), menyebabkan hubungan langsung antara
hiperkolesterolemia dan inflamasi dinding arteri (Seigo et al., 2014).
LDL diambil oleh makrofag dan sel otot polos dalam dinding
pembuluh menyebabkan terbentuknya foam cells. Makrofag yang
teraktivasi melepaskan zat-zat perusak seperti Reactive Oxygen
Intermediates (ROI) dan Tumor Nekrosis Factor (TNF) bersama
dengan limfosit T yang mengeluarkan sitokin-sitokin lain (IL-2, IL-1)
yang menstimulasi T-cells secara autocrine, limfosit B, sel NK (Normal
Killer), sel endotelial, dan sel otot polos. Hal ini menyebabkan kenaikan
ekspresi molekul adhesi (P-selection, E-selection, molekul adhesi
interseluler (ICAM-1) dan molekul adhesi sel vaskuler (VCAM) pada
endotelium dan leukosit. Kemudian akan terjadi penurunan adhesi
diantara sel endotelial yang memungkinkan monosit dan T-cells masuk
pada dinding pembuluh darah. Pembukaan pada matriks ekstraseluler
menyebabkan endotelium menunjukkan suatu aktivitas protein (Seigo et
al., 2014).
LDL dapat teroksidasi oleh bermacam-macam oksidan melalui
mekanisme dan jalur yang berbeda-beda. Beberapa oksidan dapat
23
berasal dari sel, sperti sel makrofag, endotel, dan otot polos. Oksidan
lain dapat berasal dari sumber eksogen, seperti makanan dan rokok
(Price dan Wilson, 2006).
2. 4. 3. 2 Stress Oksidatif
Pada organisme aerobik yang sehat, produksi Reactive Oxygen
Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species (RNS) seimbang dengan
sistem pertahanan antioksidan. Bila keseimbangan ini tidak sempurna,
kerusakan yang disebabkan oleh ROS/RNS akan terjadi terus-menerus,
dan molekul yang rusak harus diperbaiki (contohnya: DNA) atau
diganti (contohnya: protein yang teroksidasi). Hal inilah yang disebut
dengan stress oksidatif (Kevin et al., 2012).
Pada prinsipnya, stress oksidatif adalah hasil dari proses sebagai
berikut (Kevin at al., 2012).
1. Berkurangnya antioksidan
Contoh: mutasi yang mempengaruhi enzim pertahanan
antioksidan seperti cooper-zinc superoxide dismutase
(CuZnSOD), MnSOD atau glutation peroksidase.
2. Meningkatnya produksi ROS/RNS
Contoh: karena pemaparan meningkat terhadap oksigen
yang meningkat, keberadaan toksin yang dimetabolisme
sehingga memproduksi ROS/RNS „natural‟ (contohnya:
aktivasi sel fagosit berlebihan yang tidak diperlukan pada
24
penyakit inflamasi kronis, seperti rhematoid arthritis dan
ulcerative colitis).
Peningkatan produksi ROS akan mengakibatkan empat mekanisme
fundamental yang berkontribus terhadap aterosklerosis, yaitu (Kevin et
al., 2012)
Oksidasi LDL menjadi Ox-LDL
Merusal sel endotel
Rusaknya sel otot polos pembuluh darah dan poliferasi sesuai pelepasan
Matrix Mettalloproteinase (MMPs)
Adhesi dan migrasi monosit sesuai perkembangan sel busa karena
fagositois Ox-LDL
2.5 Penebalan Dinding Aorta
Penebalan dinding pembuluh darah aorta adalah bertambahnya tebal dinding
pembuluh darah aorta akibat dari penebalan salah satu lapisan pembuluh darah
aorta. Ketebalan dinding pembuluh darah aorta ditentukan oleh tebal dari
pembuluh darah aorta, yaitu tunika intima dan tunika media (Steven dan Lowe,
2015).
Kondisi hiperkolestemia terjadi trauma mikro yang mengakibatkan penurunan
permeabilitas endotel. Penurunan permeabilitas ini memungkinkan LDL, dan
makrofag berpindah dari sirkulasi ke dalam dinding pembuluh darah aorta.
Makrofag akan teraktivasi untuk memfagositosis LDL, proses fagositosis ini akan
menarik oksidan yang akan mengoksidasi LDL, sehingga LDL menjadi oxidized-
LDL (Ox-LDL). Ox-LDL ini akan menyebabkan stress oksidatif dan akan
25
semakin merusak dinding pembuluh darah aorta bahkan akan merusak sampai
lapisan otot polos. Penumpukan makrofag, Ox-LDL, dan sel otot polos akan
membentuk plak. Plak yang terbentuk akibat aterosklerosis berada dalam lapisan
tunika intima sehingga semakin banyak plak yang terbentuk maka ketebalan
tunika intima akan bertambah dan tebal dinding pembuluh darat aorta juga akan
bertambah (Price dan Wilson, 2006).
Selain itu, aktivasi makrofag juga akan memicu poliferasi dari sitokin-sitokin
dan gen pro inflamasi lainnya sehingga jaringan sekitarnya akan mengalami
inflamasi. Reaksi inflamasi akan mengakibatkan penonjolan (tumor) pada
pembuluh darah aorta yang merupakan salah satu ciri-ciri terjadinya reaksi
inflamasi (Rafien-Kopei et al., 2014).
2.6 Diet Aterogenik
Diet aterogenik adalah diet tinggi lemak yang diberikan kepada tikus (Rattus
norvegicus wistar) dengan komposisi minyak babi 10 gram, asam kolat 1 gram
dan kuning telur puyuh 20 butir. Bahan-bahan tersebut dicmpur dan diambil 2 ml
kemudian diberikan dengan meotde sonde lambung selama 28 hari (Gani, Lidya
dan Mariska, 2013). Pemberiaanya dimaksudkan untuk membentuk kondisi
kelebihan lemak pada tikus, sehingga tercapai kondisi yang mewakili tahap
aterosklerosis (Wahyuni, 2013).
Pengkondisian tikus dalam keadaan aterogenik yang ditandai dengan
terbentuknya foam cell. Kelebihan asupan trigliserida juga menyebabkan keadaan
aterosklerosis, trigliserida yang berlebihan akan disimpan dalam jaringan adiposa
sebagai cadangan energi dan berpotensi untuk meningkatkan kadar LDL melalui
26
mekanisme metabolisme endogen lemak. Low Density Lipoprotein tersusun dari
kolesterol yang tinggi yang berakibat membentuk aterosklerosis (Murwani, 2010).
2.7 Hubungan Antara Diet Aterogenik, Moringa oleifera, dan Ketebalan Dinding
Aorta
Diet aterogenik merupakan diet tinggi lemak, dapat menjadi faktor resiko
difungsi endotel. Faktor resiko konvensional antara lain peningkatan LDL akibat
diet aterogenik, menyebabkan trauma endotel yang secara patologis mengawali
proses aterosklerosis. Disfungsi endotel dan inflamasi akan mengikuti trauma
tersebut yang kemudian akan disusul oleh pengeluaran sejumlah zat proinflamasi
antara lain IL-1, TNF-α, interferon-γ, dan oksigen radikal (Rafien et a.l, 2014).
Antioksidan salah satunya pada daun kelor (Moringa oleifera) sebagai
inflamatory cell medulator meliputi efek antioksidan pada limfosit T limfosit B,
sel NK, makrofag, monosit, neutrofil, eosinofil, dan platelet. Efek
imunofarmakologikal antioksidan pada monosit dijelaskan mempengaruhi secara
khusus makrofag melalui efek inhibisinya terhadap enzim PTK (Protein Tiroksin
Kinase) p56 (Chumark et al., 2007).
Adanya inhibisi dari enzim PTK p56 mengakibatkan PTK tidak aktif yang
selanjutnya menyebabkan faktor transkripsi Nuclear Factor Kappa B (NF-KB)
tetap berikatan dengan inhibitor NF-KB hingga NF-KB tidak dapat menduduki NF-
KB respon elemen yang seharusnya dapat memicu transkripsi dan translasi dari
sitokin. Antioksidan yang terkandung dalam daun kelor (Moringa oleifera) akan
mengakibatkan penurunan penyerapan kolesterol dan penurunan reaksi inflamasi
27
kemudian menghambat aterosklerosis sehingga tebal dinding pembuluh darah
aorta akan berkurang (Chumark et al., 2007).