Bab 12 · Web viewSebaliknya, secara makro alih fungsi tersebut merupakan suatu kerugian, di...

32
PENATAGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN Intisari Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan telah meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan di Jawa Timur. Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya. Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini, dapat menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak berkelanjutan. Untuk mengatasi masalah tersebut, telah disusun suatu strategi dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya lahan yang efisien, berkeadilan dan berketanjutan guna mencegah dampak negatif dari kegiatan yang dilakukan, yang dijabarkan dalam empat bidang program sebagai berikut: A. Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang. B. Peraturan Daerah Pertanahan. C. Penataan Kelembagaan Pertanahan. D. Sistem lnformasi dan Pendataan. 1. Dasar Pemikiran 1.1. Latar Belakang alam uraian ini dibahas tentang permasalahan, kendala, serta potensi-potensi yang terkait dengan perencanaan sumberdaya lahan di Jawa Timur. Di samping itu, juga akan mengulas kegiatan-kegiatan pokok yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas perencanaan sumberdaya lahan serta garis-garis besar pelaksanaannya. Secara umum agenda ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi D 1

Transcript of Bab 12 · Web viewSebaliknya, secara makro alih fungsi tersebut merupakan suatu kerugian, di...

PENATAGUNAAN SUMBERDAYA LAHAN

Intisari

Meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya lahan untuk menunjang pembangunan telah meningkatkan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya lahan di Jawa Timur. Selain itu, pengembangan sumberdaya lahan juga menghadapi timbulnya konflik kepentingan berbagai sektor yang pada akhirnya masalah ekonomi menjadi kontra produktif satu dengan lainnya. Keadaan ini diperburuk lagi dengan sistem peraturan yang dirasakan sangat kompleks dan seringkali tidak relevan lagi dengan tingkat kesesuaian dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Keadaan ini, dapat menyebabkan sistem pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak berkelanjutan.

Untuk mengatasi masalah tersebut, telah disusun suatu strategi dalam perencanaan pemanfaatan sumberdaya lahan yang efisien, berkeadilan dan berketanjutan guna mencegah dampak negatif dari kegiatan yang dilakukan, yang dijabarkan dalam empat bidang program sebagai berikut:A. Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang.B. Peraturan Daerah Pertanahan.C. Penataan Kelembagaan Pertanahan.D. Sistem lnformasi dan Pendataan.

1. Dasar Pemikiran

1.1. Latar Belakang

alam uraian ini dibahas tentang permasalahan, kendala, serta potensi-potensi yang terkait dengan perencanaan sumberdaya lahan di Jawa

Timur. Di samping itu, juga akan mengulas kegiatan-kegiatan pokok yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas perencanaan sumberdaya lahan serta garis-garis besar pelaksanaannya. Secara umum agenda ini diharapkan dapat menjadi landasan bagi perumusan kebijakan pengembangan sumberdaya lahan di Jawa Timur, untuk menuju pemanfaatan sumberdaya lahan secara efisien, berkelanjutan, dan berkeadilan.

D

Tantangan yang dihadapi dalam bidang pertanahan memasuki pembangunan dimasa yang akan datang akan bertambah berat. Hal ini karena setiap kegiatan harus mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan rata-rata 6% per tahun (Harsono, 1995). Di lain pihak, kebijakan pertanahan harus dapat meningkatkan nilai keberlanjutan dalam pemeliharaan lahan dan lingkungan hidup.

Pada dasarnya ada tiga aspek makro yang akan sangat mempengaruhi bidang pertanahan di Jawa Timur adalah: (1) Globalisasi perekonomian; (2)

1

Transformasi struktur perekonomian nasional dan (3) Peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi kuat.

Upaya-upaya kebijakan yang akan dilakukan harus terarah pada peningkatan kemampuan dari kaparitas kelembagaan (institusi), administrasi, dan manajemen pertanahan; peningkatan efisiensi, keberlanjutan dan pemerataan; peningkatan efektivitas peraturan-peraturan terkait dan pengembangan sumberdaya manusia.

Berdasarkan hal tersebut, secara lebih sistematik pada hakikatnya ada empat pokok bidang program yang saling terkait bagi perencanaan sumberdaya lahan di Jawa Timur, yaitu:1. Peningkatan efektivitas perencanaan pengembangan lahan dan tata

ruang;2. Penataan peraturan daerah; 3. Penataan kelembagaan (institusi) dan4. Pengembangan sistem informasi dan pendataan.

Program-program tersebut diagendakan mengingat adanya fakta menarik untuk melihat kecenderungan dan proyeksi-proyeksi yang mempengaruhi perkembangan penggunaan lahan di Jawa Timur untuk masa kini dan yang akan datang.

Ada tiga aspek yang perlu dibahas dalam kecenderungan dan proyeksi yang berdampak pada tata guna lahan dan tata ruang, yaitu:1. Laju konversi tanah pertanian ke non-pertanian;2. Perkembangan kegiatan sosial-ekonomi perkotaan; dan3. Laju pertumbuhan penduduk.

Bila konversi lahan pertanian beririgasi teknis ke non-pertanian tidak dapat dikendalikan, maka akan terjadi pengurangan luasan lahan produktif di Jawa Timur yang akan berdampak langsung pada produksi pertanian baik tanaman pangan dan industri, kejadian tersebut mempunyai arti kerugian bagi Jawa Timur.

Situasi kontradiktif telah terjadi di Jawa Timur, dimana luas lahan pertanian semakin menurun sedangkan permintaan pangan terus meningkat, hal ini merupakan suatu fenomena yang harus dicermati secara hati-hati. Apabila tidak segera diadakan monitoring dan evaluasi, tidak mustahil akan terjadi defisit pangan dimasa yang akan datang.

Dengan perkembangan kegiatan ekonomi non-pertanian dan perkembangan perkotaan yang sangat pesat, tampaknya sangat sulit untuk membendung konversi lahan pertanian, namun yang perlu dilakukan adalah mengarahkan proses ini secara lebih bijaksana, tidak hanya menguntungkan sekelompok pihak tertentu saja dan mengikuti suatu rencana dan prosedur serta proses yang dampaknya tidak merugikan masyarakat luas. Rencana, prosedur, serta proses teknis inilah yang perlu dikembangkan, yang memang telah

2

diantisipasi dengan diterbitkannya Keppres No. 53 tahun 1989 mengenai kawasan industri dan Keppres No. 33 tahun 1990 tentang penggunaan tanah bagi pembangunan kawasan industri, Perda Jatim No. 11 Tahun 1991.

Sejalan dengan perkembangan kegiatan ekonomi non-pertanian dan perkembangan kota yang dikemukakan diatas, tampaknya altenatif lain seperti: reklamasi pantai akan semakin menjadi suatu pilihan bagi pengembangan kota. Saat, ini telah dimulai dengan rencana reklamasi pantai beberapa kota besar seperti Surabaya, Probolinggo, Pasuruan, Gresik, Banyuwangi dan beberapa kota lainnya.

Hal ini cenderung akan menjadi model untuk pembangunan kota-kota dipantai Jawa Timur di masa yang akan datang. Masalahnya, hingga kini belum ada prosedur yang baku untuk proses reklamasi tersebut, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya berbagai dampak sosio-ekonomis maupun lingkungan, seperti terjadinya banjir dan rusaknya hutan bakau (mangrove) yang mempunyai fungsi ekologis.

Di lain pihak, hal tersebut mengindikasikan begitu cepatnya perkembangan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya kegiatan swasta, yang tidak diimbangi dengan kemampuan perencanaan tata ruang dan penatagunaan lahan yang memadai. Sehingga menimbulkan kesan pengenyampingan fungsi lahan sebagai fungsi ekologis.

Di balik kecenderungan perkembangan yang dikemukakan di atas, perlu pula dicatat bahwa selama ini telah terjadi fragmentasi penguasaan lahan khususnya di Kota-kota berkembang (Surabaya, Malang, Jember, Gresik). Dari data pemilikan yang ada bahwa rata-rata pemilikan lahan di Jawa Timur mencapai adalah 0,58 ha/KK. Ciri fragmentasi ini lebih dipertegas lagi dengan pertambahan jumlah petani gurem, yaitu keluarga petani dengan pemilikan tanah kurang dari 0,1 ha. Mengamati gambaran tersebut di atas, masalah pertanahan di masa yang akan datang akan jauh lebih berat bila dibandingkan dengan dewasa ini.

1.2. Strategi

1.2.1. Visi

Mempertahankan fungsi lahan sebagai sumberdaya ekonomi maupun ekologis untuk penunjang kehidupan masyarakat, sehingga tetap berfungsi optimal dan layak untuk diwariskan kepada generasi mendatang.

1.2.2. Misi

Penataan Penggunaan Lahan di Jawa Timur mempunyai misi: (1) pemanfaatan lahan disesuaikan dengan kemampuannya; (2) dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, (3) mengendalikan laju konversi (alih fungsi) tanah, dan (4) mempunyai kepastian hukum.

3

1.2.3. Tujuan

Dengan berbagai pertimbangan baik fakta, strategi dan menghadapi situasi dimasa yang akan datang, maka tujuan dari penataan penggunaan lahan di Jawa Timur adalah sebagai berikut:1. Sinkronisasi perencanaan, pengembangan dengan kemampuan lahan;2. Penataan kembali tata kepemilikan lahan;3. Pemantapan kelembagaan pertanahan;4. Sistem infromasi pertanahan;5. Monitoring dan evaluasi pertanahan secara terpadu dan

berkesinambungan. Atas dasar proyeksi dan kecenderungan tersebut di atas, uraian selanjutnya membahas masing-masing bidang program yang meliputi: Perencanaan dan Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang; Peraturan Daerah tentang Pertanahan; Kelembagaan; dan Sistem lnformasi.

2.1. Bidang Program APERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN DAN TATA RUANG

2.1.1. Dasar Pertimbangan

Laju perkembangan penduduk dan aktivitas ekonomi di Jawa Timur sangat pesat, sehingga menimbulkan masalah lahan dan tata ruang menjadi sangat strategis. Hal ini terjadi karena lahan pada hakikatnya adalah lokasi di mana kegiatan sosial-ekonomi penduduk dilakukan.

Di Jawa Timur masalah pertanahan dicerminkan misalnya terjadinya konversi hutan ke lahan pertanian atau dari lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian. Lebih hebat lagi yang terjadi pada dewasa ini adalah konversi tanah pertanian subur secara besar-besaran menjadi kawasan perkotaan, khususnya kawasan industri dan permukiman berskala besar (pemekaran kota-kota baru).

Demikian pula alih fungsi lahan di kota-kota besar seperti Surabaya, Malang, Sidoarjo, Jember, Banyuwangi dan beberapa kota lainnya khususnya dari kawasan permukiman menjadi kawasan komersial dan perkantoran telah terjadi kecepatan yang sangat tinggi.

Kondisi tata ruang di wilayah perkotaan dicirikan dengan penggunaan lahan yang tidak efisien. Pembangunan permukiman-permukiman baru, khususnya untuk perumahan mewah sesungguhnya bukanlah karena sebagai respon atas kebutuhan perkembangan kota, melainkan cerminan perkembangan bisnis properti. Banyak kawasan-kawasan perumahan tersebut yang tingkat huniannya (occupancy rate) rendah karena hanya merupakan rumah kedua atau ketiga dari pemliknya.

4

Demikian pula beberapa kawasan industri yang lahannya sudah dibebaskan sejak lama, namun pembangunannya baru sebagian kecil saja, sedangkan sisanya terlantar menjadi lahan tidur (sleeping land), tidak didayagunakan seperti yang diusulkan semula. Memang menanam investasi (modal) dalam lahan sangat menguntungkan, karena tingkat bunga di bank pada umumnya masih lebih rendah bila dibandingkan dengan laju kenaikan harga lahan. Dengan kata lain, harga cenderung lebih merupakan suatu spekulasi lahan. Padahal seperti telah ditegaskan penguasaan lahan secara absente dan terlantar perlu dicegah agar terjamin fungsi lahan sebagai sebap faktor produksi dan sumber kehidupan bagi masyarakat.

Adalah sesuatu yang diketahui oleh umum bahwa proses pembebasan lahan seringkali merupakan hal yang sangat menyakitkan rakyat sebagai pemilik, dan melibatkan calo yang memborong lahan di suatu daerah yang akan dibangun oleh pemerintah dan swasta, sedangkan ijin lokasi dan ijin pembebasan belum diperoleh.

Secara garis besar alih fungsi lahan pertanian di Jawa Timur, khususnya sawah ke non-pertanian telah mengalai peningkatan yang sangat pesat. Alih fungsi kawasan pertanian subur beririgasi teknis, seperti yang tengah terjadi di sebagian besar Jawa Timur, jelas merupakan pemborosan dalam investasi pembangunan irigasi yang telah dilakukan. Memang secara mikro bagi petani pemilik menjual tanah kepada investor akan jauh lebih menguntungkan ketimbang mengolah tanah tersebut untuk menghasilkan komoditi pertanian. Sebaliknya, secara makro alih fungsi tersebut merupakan suatu kerugian, di samping juga kekuatiran penurunan produksi pangan akibat menyusutnya lahan pertanian, serta masalah sosial-ekonomi, politis maupun ekologis.

Dalam banyak kasus alih fungsi lahan pertanian terjadi pula pada kawasan lindung yang dalam rencana tata ruangnya telah ditetapkan sebagai kawasan yang tidak boleh dibangun secara intensif, seperti misalnya telah terjadi kawasan Batu, Prigen, Poncokusumo, Bromo-Tengger-Semeru, Alas Purwo (jalan tembus ke Plengkung) dan beberapa kawasan lindung lainnya.

Dalam perkembangan kota yang sangat cepat seperti yang terjadi pada dewasa ini, penyediaan lahan merupakan kendala utama. Tidak mengherankan bila harga lahan di pusat perkembangan/kota membumbung dengan luar biasa. Untuk itu tampaknya kehadiran suatu kebijakan pengembangan lahan perkotaan, termasuk penyediaan lahan untuk perkembangan kota, semakin penting untuk diagendakan.

Salah satu komponen perkotaan yang membutuhkan lahan yang sangat luas adalah perumahan. Untuk itu perlu dilihat secara spesifik mengenai kecenderungan kebutuhan lahan bagi perumahan, khususnya bagi perumahan sederhana dan sangat sederhana (RS/RSS). Untuk itu peraturan tentang kebijakan rasio dengan rumah mewah perlu ditegakkan, karena dalam pelaksanaannya banyak pengembang yang tidak mengikuti ketentuan.

5

Dalam kaitan ini, perlu diperhatikan keterkaitan antara konsep hunian berimbang dengan rencana umum tata ruang kota. Namun demikian, kesulitan muncul karena pengembang diharuskan membangun dengan konsep 1:3:6 pada suatu lokasi, yang memacu terbentuknya pengelompokan-pengelompokan (konsentrasi hunian yang tidak terintegrasi dengan rencana peruntukan wilayah permukiman kota secara keseluruhan. Dengan demikian, dari sudut pandang tata ruang kota pembangunan hunian berimbang harus dilihat dalam skala kota secara keseluruhan, bukan pada unit-unit lokasi pembangunan yang dikuasai oleh pengembang.

Di samping kecenderungan yang terjadi di wilayah perkotaan seperti yang dikemukakan di atas perlu dikaji kecenderungan yang terjadi di wilayah perdesaan. Telah diantisipasi pula untuk penduduk perdesaan yang masih tergantung pada kegiatan pertanian makin besar, sedangkan di lain pihak lahan untuk usaha pertanian akan semakin berkurang karena pembangunan perkotaan dan industri.

Hal ini pada gillrannya akan menjadi dorongan untuk pembukaan (konversi) kawasan-kawasan hutan menjadi lahan pertanian baru, karena lahan pertanian di sekitar kota-kota telah beralih fungsi menjadi kawasan perkotaan dan industri. Kegiatan lain yang dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya lahan adalah pertambangan. Seperti yang tejadi di daerah industri semen, kapur, dan galian C lainnya (Gresik, Tuban, Tulung Agung, Malang Selatan) bahwa pembangunan dalam sektor pertambangan/galian C berkembang dengan pesat di samping dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan hidup dan mempercepat penurunan (degradasi) sumberdaya lahan.

Hal ini khususnya tedadi pada wilayah-wilayah yang semula merupakan tempat produksi hasil tambang yang sangat potensial, namun karena sesuatu hal antara lain karena ditemukan bahan sintetis bagi hasil tambang tersebut, atau merosotnya harga di pasar internasional, eksplorasi tambang tersebut terpaksa dihentikan karena tidak ekonomis lagi walaupun cadangannya cukup banyak, seperti yang terjadi dengan penambangan pasir dan batu (sirtu), marmer, dan beberapa bahan lainnya.

Dalam konteks pengembangan wilayah (regional development) dan tata ruang yang lebih luas, kegiatan penambangan sejak awal perlu dipadukan dengan pengembangan wilayah secara keseluruhan, dan biasanya hanya difokuskan pada kegiatan penambangan semata, yang telah terbukti pada akhirnya dapat menimbulkan masalah. Dimasa yang akan datang perlu diagendakan pemanfaatan lahan untuk pertambangan yang ramah lingkungan, sehingga reklamasi lahan bekas tambang perlu dilaksanakan.

Di samping itu ketidakserasian program-program, baik dalam sektor yang sama ataupun antar sektor, menyebabkan kesulitan bagi Pemerintah Propinsi

6

Jawa Timur dan masyarakat dalam penataan ruang. Suatu contoh misalnya, pihak-pihak yang terkait langsung dengan upaya peningkatan produksi pangan untuk tujuan swasembada pangan sangat menganjurkan penggunaan lahan untuk pangan. Di lain pihak, pihak-pihak yang terkait dengan intensifikasi penanaman tebu untuk produksi gula tentu saja sangat menganjurkan penanaman tebu. Demikian pula untuk kehutanan mempunyai alasan tersendiri untuk memanfaatkan tanah untuk konservasi tanah dan air. Hal ini menggambarkan konflik kepentingan baik intra sektor maupun antarsektor, yang kerapkali muncul dalam penataan ruang. Contoh yang lain adalah pengembangan kawasan-kawasan pariwisata yang tidak selaras dengan pengembangan kawasan-kawasan industri yang mencemari lingkungan dan seterusnya.

Masalah lain yang sering terkait dengan tata ruang adalah ketidak taatan asas (inconsistency) antara rencana umum tata ruang (RUTR) dengan apa yang terjadi dalam pelaksanaannya. Sesungguhnya rencana tata ruang dimaksudkan sebagai alat koordinasi pembangunan sektor, artinya pembangunan sektor-sektor haanya mengacu kepada rencana tata ruang. Dengan kata lain, sering terjadi pelaksanaan pembangunan wilayah kota yang karena sesuatu hal menyimpang dari RUTR semula. lni bisa terjadi karena lemahnya koordinasi pelaksanaan pembangunan yang seharusnya dimotori oleh Bappeprop, atau memang karena ada "tekanan-tekanan" tertentu.

Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa transformasi kegiatan sosio-ekonomi yang juga digerakkan oleh gagasan forces telah membawa dampak pada konversi tanah pertanian ke non-pertanian secara besar-besaran. Masalah kelangkaan lahan khususnya di perkotaan di masa yang akan datang akan semakin memacu konversi penggunaan lahan dii Jawa Timur dimasa yang akan datang.

Di samping itu, pada saat ini terjadi penguasaan lahan dalam skala besar oleh pihak-pihak tertentu. Sebaliknya di wilayah perdesaan fragmentasi pemilikan tanah. Masalah lain yang dihadapi adalah semakin berkurangnya hutan kawasan lindung serta munculnya tanah-tanah kritis baik di Jawa Timur.

2.1.2. Tujuan Program

1. Menggariskan pokok-pokok upaya untuk meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi untuk pendayagunaan sumberdaya tanah;

2. Melanjutkan dan memantapkan formulasi pokok-pokok upaya untuk meningkatkan efektivitas perencanaan, pelaksanaan serta tata cara evaluasi untuk pendayagunaan sumberdaya tanah;

3. Mencapai policy reforms dalam pendayagunaan sumber tanah dan tata ruang yang lebih efisien dan berkelanjutan dan berkeadilan.

2.1.3. Rencana Strategis

7

Untuk dapat melaksanakan program tersebut diperlukan pentahapan yang dituangkan dalam rencana strategis sebagai berikut: (1) memperkuat proses dan prosedur perencanaan, (2) perbaikan pelaksanaan pengembangan sumberdaya tanah, (3) memperkuat proses dan prosedur perencanaan, (4) perbaikan mekanisme dan pelaksanaan, (5) pengembangan sumberdaya manusia perencana.

2.1.4. Tahapan Kegiatan

Periode 2002-2010

Memperkuat Proses dan Prosedur Perencanaan, terdiri atas beberapa kegiatan yang harus dilakukan adalah:1. Mempercepat penyelesaian konsep Strategi Pengembangan Pola Tata

Ruang (SPPTR), bagi acuan penataan ruang pada tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota, maupun Kecamatan/ Desa;

2. Inventarisasi lokasi serta kondisi lahan kritis dan upaya reklamasinya;3. Mengkaji proses perencanaan serta manajemen konservasi tanah hutan

luar hutan, termasuk tanah-tanah rusak pada areal-areal bekas penambangan, dan kemudian merumuskan konsep yang lebih sistematis mengenal konservasi tanah;

4. Penetapan prosedur dan proses reklamasi pantai, waduk dan rawa untuk tujuan pengembangan lahan;

5. Penetapan prosedur dan proses alih fungsi penggunaan lahan (land use) baik untuk wilayah perkotaan maupun perdesaan;

6. Penetapan prosedur, proses dan standar perencanaan tata ruang yang masih cukup fleksibel dengan kondisi-kondisi geografis di Jawa Timur yang sangat beragam;

7. Melakukan pengkajian dan pengembangan konsep-konsep manajemen lahan perkotaan, khususnya penyediaan lahan bagi pembangunan kota, seperti konsolidasi lahan (land consolidation) dan kawasan siap bangun serta penyediaan lahan/bank tanah ( land banking) dan lainnya;

8. Melakukan evaluasi, Revisi dan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah baik untuk Daerah Propinsi maupun Kabupaten/Kota;

9. Melaksanakan AMDAL untuk pengembangan lahan berskala besar.

Perbaikan Pelaksanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan, tediri atas beberapa kegiatan antara lain: 1. ldentifikasi kelemahan-kelemahan mekanisme perencanaan, 2. Koordinasi pelaksanaan pembangunan antarsektor serta pemantauan

maupun penegakan peraturan-peraturan yang terkait dengan tata ruang dan pengembangan lahan di Jawa Timur, dalam upaya pencapaian tujuan;

3. Pendayagunaan sumberdaya lahan dan penataan ruang yang berkelanjutan, efisien dan berkeadilan;

4. Memformulasikan mekanisme partisipasi swasta dan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pengembangan sumberdaya lahan dan penataan ruang;

5. Mengkaji instrumen-instrumen kontrol dalam perencanaan tata ruang dan tata guna lahan (development control), termasuk instrumen-instrumen pajak, ijin lokasi dan penguasaan tanah dan ijin mendirikan bangunan

8

(IMB). Dalam hal ini khususnya perlu mengkaji sistem property tax dan land evaluation, seperti: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang berlaku sekarang, serta kemungkinan penerapan pajak nilai tanah (land value tax), pajak pertambahan nilai tanah (land increment tax), pajak nilai lokasi (location value tax), dan pajak penggantian prasarana (betterment levies) di dalam konteks peraturan daerah propinsi, kabupaten dan kota tentang perpajakan di Jawa Timur;

6. Pengkajian kemungkinan penerapan instumen dampak fiskal atas proyek-proyek pembangunan yang mempunyai dampak publik yang luas;

7. Pengkajian kemungkinan penetapan suatu lembaga untuk melakukan pemantauan, evaluasi dan menentukan harga tanah, yang selanjutnya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, seperti transaksi jual-beli, perpajakan dan lainnya.

Pengembangan Sumberdaya Manusia untuk Perencanaan, terdiri atas beberapa kegiatan, yaitu:1. Menyelenggarakan program-program pelatihan teknis dalam bidang

perencanaan;2. Pelaksanaan serta evaluasi pengembangan sumberdaya lahan dan tata

ruang;3. Pengiriman tenaga ke luar negeri untuk mengikuti program yang serupa

maupun program kesarjanaan baik untuk staf pemerintah propinsi, kabupaten dan kota bahkan dari LSM, untuk meningkatkan kemampuan tenaga-tenaga teknis;

Periode 2010-2020

Memperkuat Proses dan Prosedur Perencanaan, terdiri atas kegiatan:1. Perbaikan dalam Proses dan Prosedur Perencanaan;2. Pembaruan data dan pemantauan lokasi serta kondisi tanah-tanah kritis;3. Mengembangkan konsep konservasi tanah secara kontinyu;

4. Melakukan pengkajian dan pengembangan konsep-konsep manajemen tanah perkotaan, khusus penyediaan lahan bagi pembangunan pedesaan/kota;

5. Penetapan prosedur, proses dan standar perencanaan tata ruang yang masih cukup fieksibel dengan kondisi-kondisi geografis di Jawa Timur yang sangat beragam;

6. Melakukan evaluasi, Revisi dan Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah baik untuk Propinsi maupun Kabupaten dan Kota;

Perbaikan Mekanisme Perencanaan dan Pelaksanaan:1. Mengkaji kelemahan-kelemahan mekanisme perencanaan, koordinasi

pelaksanaan antarsektor, pemantauan maupun penegakan peraturan-peraturan yang terkait dengan tata ruang pengembangan lahan di Jawa Timur, dalam kaitannya menuju pendayagunaan sumberdaya tanah penataan ruang yang berkelanjutan, efisien dan "berkeadilan";

2. Memformulasikan mekanisme partisipasi swasta dan masyarakat untuk

9

berpartisipasi akif di pelaksanaan pengembangan sumberdaya lahan dan penataan ruang;

3. Mengkaji secara kontinyu instrumen-instrumen kendaii dalam perencanaan tata ruang dan tata guna lahan, termasuk sistem property tax dan land valuation.

Pengembangan Sumberdaya Manusia untuk Perencanaan, terdiri atas beberapa kegiatan sebagai berikut:1. Menyelenggarakan program-program pelatihan teknis dalam bidang

perencanaan, 2. Pelaksanaan serta pengembangan sumberdaya lahan dan tata ruang;3. Pengiriman tenaga keluar negeri untuk mengikuti program yang serupa

maupun program kesarjanaan baik untuk staf pemerintah propinsi, kabupaten dan kota bahkan dari LSM, untuk meningkatkan kemampuan tenaga-tenaga teknis.

Kebijakan Pertanahan, terdiri atas kegiatan:1. Pembaharuan dalam kebijakan pengembangan lahan dan penataan ruang

yang terintegrasi dengan memperhatikan dimensi-dimensi perkembangan kota, khususnya di Kota besar dan tujuan pengembangan wilayah di pedesaan;

2. Alokasi lahan (land allocation) bagi penyedia pangan (food supply), fauna dan flora sebagai sumberdaya alam terbarukan (renewable resource ), permukiman, hutan, natural estetics, dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tak terbarukan.

2.2. Bidang Program BPERATURAN DAERAH TENTANG PERTANAHAN

2.2.1. Dasar Pertimbangan

Peraturan Daerah tentang pertanahan di Jawa Timur belum jelas arah dan kebijakannya, hal ini terlihat pada sistem administrasi pertanahan yang kompleks, karena sangat banyak dan beragamnya dinas/instansi yang terkait dengan administrasi pertanahan di samping juga tumpang tindihnya peraturan yang ada. Dalam bidang peraturan daerah dan keputusan Gubernur menghadapi masalah yang cukup serius. Sekurang-kurangnya terdapat 1 Keputusan dan 2 Instruksi Gubernur yang menyakut masalah pertanahan (Kepgub Nomor.295 Taun 1984; Ingub No.7 Tahun 1988 dan Ingub 38 Tahun 1988).

Pada saat ini Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jawa Timur telah memepunyai software untuk menginventarisasi hukum, peraturan maupun keputusan- keputusan pengadilan mengenai pertanahan untuk memudahkan dan menyederhanakan referensi. Hasil ini selanjutnya akan dicoba dijadikan computerised data base, meliputi subjec index dan cross-referencing yang lengkap (World Bank, 1994). Berdasarkan inventarisasi ini akan dilakukan

10

pengkajian dan kemudian kemungkinan penyederhanaan serta revisi peraturan pertanahan. Tentu saja hal ini bukan pekerjaan yang mudah, dan jelas akan memakan waktu yang cukup lama. Dengan demikian kini langkah awal untuk perbaikan peraturan yang terkait dengan pertanahan perlu segera dimulai dan diagendakan.

Semakin berkembangnya kegiatan sosial-ekonomi maupun politik masyarakat mengakibatkan bervariasinya masalah pertanahan di Jawa Timur. Hal ini pada gilirannya tentu saja membutuhkan pranata-pranata peraturan daerah tentang pertanahan yang secara spesifik relevan dengan kebutuhan yang terus berkembang.

Walaupun banyak peraturan yang terkait dengan pertanahan menurut catatan World Bank (1994) Jawa Timur pada dasarnya terdapat empat undang-undang pokok yang terkait langsung dan berdampak pada pertanahan, yaitu Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960); Undang-Undang Kehutanan (UU No. 5 tahun 1967); dan Undang-Undang Penataan Ruang (UU No. 24 tahun 1992, Undang-Undang Pertambangan (UU No. 11 tahun 1967). Belum serasinya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang dan pertanahan telah menyebabkan terjadinya tumpang tindih wewenang dan tanggung jawab antar instansi dalam pengelolaan pertanahan dan penataan ruang.

Hal ini mengindikasikan, peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup dasarnya untuk memecahkan masalah memberikan landasan hukum bagi pemecahan masalah pertanahan dan penataan ruang yang semakin kompleks. Di lain pihak, sangat rumitnya peraturan-peraturan ini menjadikan transaksi tanah menjadi berbelit-belit dan penuh risiko.

Masalah lain yang sering mencuat kepermukaan adalah kompensasi penggusuran ataupun land transfer umumnya. Pihak penghuni lama merasa sering diperlakukan tidak adil, dengan memperoleh penggantian yang tidak sesuai dengan harga pasar.

Menurut Simanungkalit (Suara Pembaruan, 22 Desember 1995) paling sedikit ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya distorsi harga lahan, yang pada gilirannya menyebabkan pasar pertanahan tidak bekerja secara efektif: Pertama, seringkali pembebasan lahan oleh pengembang yang dilakukan dengan harga "musyawarah" tapi tidak "mufakat" pada dasarnya adalah telah menempatkan pengembang pada posisi monopsoni, karena rakyat selaku pemilik tanah tidak mempunyai pilihan kepada siapa lahan mereka harus dijual, dan sebaliknya pengembang berada dalam posisi oligopoli ketika mereka menjual tanah kepada konsumen. Kedua, pada dasarnya harga tanah di Jawa Timur bersifat oligopolistik di mana para pengembang telah menguasai sebagaian besar lahan, sementara kemampuan memasok rumah (tanah matang) hanya sekitar 12% saja. Kondisi pasaran yang terdistorsi ini akan cenderung mendorong terjadinya pengusaan lahan dan spekulasi secara besar-besaran, yang akan semakin sukar untuk dikendalikan

11

sekalipun dengan kebijakan kontraksi moneter, karena teibuka kemungkinan untuk menggunakan modal asing.

Salah satu instrumen dalam pengaturan penggunaan lahan adalah peraturan perpajakan. Secara spesifik ada dua jenis pajak lahan yang dapat mengurangi spekulasi tanah, yaitu pajak properti dan pajak pertambahan nilai. Pajak yang tinggi seyogianya dikenakan pada tanah-tanah "tidur”, yaitu tanah yang tidak dimanfaatkan.

Selanjutnya menurut Parengkuan (1995) beberapa masalah yang terkait dengan PBB pada dewasa ini, bila hendak dijadikan sebagai instrumen pengontrol penggunaan tanah, meliputi: (1) Sistem pendataan pada saat belum dapat mengikuti pertumbuhan dan perkembangan yang cepat obyek pajak di wilayah perkotaan. Sebagai instrumen pengatur penggunaan tanah perkotaan, PBB seharusnya dapat mengantisipasi pembangunan yang akan terjadi di masa yang akan datang ; (2) Belum baiknya sistem penilaian PBB. Sistem penilaian obyek pajak dan penetapan PBB belum mengacu pada kategori pola penggunaan tanah dan kriteria kelas tanah sebagai salah satu variable utama dalam penilaian, sangat membingungkan; (3) Sistem evaluasi PBB pada dewasa ini belum dapat mengakomodasi perubahan-perubahan obyek pajak di wilayah perkotaan; (4) Tarif PBB yang ditetapkan merupakan tarif tunggal yang relatif rendah bila dibandingkan dengan tarif di negara-negara berkembang lainnya. Demikian pula tarif ini tidak merupakan tarif progresif.

Demikian pula pada dewasa ini tidak ada sistem insentif dan disinsentif bagi perubahan tata guna lahan (land use changes). Hal ini sangat diperlukan untuk mencegah munculnya dampak negatif dari perubahan tata guna lahan, serta mengupayakan manfaatnya sebesar-besamya bagi masyarakat dan pemerintah. Sejauh ini perubahan tata guna lahan mudah saja terjadi dan kemudian disahkan pada evaluasi rencana kota. Hal ini idak dapat dibenarkan, bahkan sering menyebabkan ketidakpuasan masyat-akat, karena perubahan tata guna lahan yang terjadi tidak sesuai bahkan menyimpang dari rencana peruntukan yang diketahui masyarakat (Winarso, 1995).

lnstrumen lain yang sesungguhnya dapat dipakai untuk mengendalikan penggunaan lahan ialah mekanisme ijin penggunaan, yang pada dewasa ini di Jawa Timur mencakup ijin prinsip, ijin lokasi, pemberian flak, ijin tapak (tata letak), dan IMB (ijin mendirikan bangunan). Beberapa ketentuan perijinan yang belum lama dikeluarkan, meliputi Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2 tahun 1993 tentang, memperoleh ijin lokasi dan hak atas tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal serta peraturan pelaksanaannya yaitu berupa Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 22 tahun 19993 tentang ijin lokasi, dan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 21 tahun 1994 perihal perolehan, bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal (Harsono, 1996). Namun demikian, dalam kennyataannya ijin prinsip dan ijin lokasi yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengembang, seakan-akan memberikan kuasa

12

kepada para pengembang untuk melakukan pembebasan tanah dengan, penggantian yang ditetapkan secara sepihak, karena land market tidak bekerja secara efektif. Nak Dunia (1994) menilai sistem ijin prinsip dan ijin lokasi yang berlaku pada dewasa ini mendorong adanya spekulasi tanah. Demikian juga dalam banyak hal kenaikan harga tanah yang terjadi karena pembangunan nfrastruktur tidak banyak menyebabkan kenaikan dalam public revenue, bahkan kenaikan ini lebih, dinikmati oleh para pengembang. Untuk menghadapi hal ini tampaknya Pemerintah Propinsi harus memberlakukan masa waktu ijin lokasi secara ketat.

Belum sinkronnya undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan penataan ruang pendayagunaan sumberdaya lahan banyak tercermin dalam penyusunan maupun pelaksanaan tata ruang, mana sering dijumpal "konflik" atau ketakserasian antarsektor dalam kepentingan dan tujuan penggunaan lahan. Berbagai pihak sangat menonjolkan undang-undang terkait yang menekankan fungsi dan perannya dalam penataan ruang dan pembangunan pada umumnya, sehingga ada kecenderungan penataan hendak dibawa kepada pendekatan pembangunan yang sektoral sifatnya.

Tujuan Program

Tujuan dari program ini adalah:1. Sinkronisasi peraturan-perundangan yang terkait dengan pertanahan di

Jawa Timur;2. Memberikan kepastian hukum bagi kepemilikan lahan;3. Menghindari adanya konflik kepentingan lahan;4. Identifikasi kelemahan peraturan yang berkaitan dengan lahan.

2.2.3. Rencana Strategis

Untuk dapat melaksanakan program tersebut diperlukan pentahapan yang dituangkan dalam rencana strategis sebagai berikut: (1) penyederhanaan peraturan dan mendorong peran serta masyarakat, (2) pembaharuan peraturan sesuai dengan tuntutan kebutuhan, (3) peraturan pendukung manajemen pertanahan.

2.2.4. Tahapan Kegiatan

Periode 2002-2010

1. Menyederhanakan peraturan pertanahan dan meningkatkan efektivitas, penerapan peraturan bagi kepeduan perencanaan dan manajemen pengembangan sumberdaya lahan;

2. Menciptakan peraturan yang mendorong dan merangsang peranserta masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan ruang, sesuai dengan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat kemajuan teknologi.

Periode 2010 - 2020

13

1. Melanjutkan penyederhanaan peraturan pertanahan dan meningkatkan efektivitas penerapan peraturan bagi keperluan perencanaan dan manajemen pengembangan sumberdaya lahan;

2. Meneruskan penciptaan peraturan yang mendorong dan merangsang peranserta masyarakat dan swasta dalam perencanaan dan pengembangan ruang, sesuai dengan perkembangan sosial-ekonomi masyarakat dan kemajuan teknologi;

3. Mencapai pembaharuan dalam peraturan yang terkait dengan penataan ruang dan tata guna lahan, sesuai dengan transformasi sosial-ekonomi masyarakat agraris ke masyarakat industri (perkotaan).

Kegiatan yang DiusulkanPeriode 2002-2010

Peraturan Pendukung Manajemen Pertanahan1. Mempercepat dan menunjang program sertifikasi tanah (PRONA) yang

sedang dilakukan pada dewasa ini;2. Mengkaji pokok-pokok pengelolaan lahan, mencakup land transfers, land

acquisition, land registration, pricing of public land, hak adat dan tradisi, dan mekanisme perijinan penggunaan lahan yang berlaku dewasa ini. Hasil kajian, selanjutnya harus dijadikan landasan untuk menciptakan peraturan manajemen lahan yang tanggap kepada pasar maupun equity;

3. Mengkaji konsep dan sistem penilaian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sehingga peraturan tersebut dapat berfungsi pula sebagai insentif dan disinsentif maupun secara umum sebagai instrumen (alat kontrol) penggunaan sumberdaya lahan, di samping sebagai sumber pendapatan bagi pemerintah;

4. Mengembangkan sistem insentif dan disinsentif bagi perubahan tata guna lahan sebagai alat kontrol dalam pengunaan lahan dan penataan ruang;

5. Formulasi peraturan mengenai reklamasi lahan serta hak-hak tanah yang timbul karena proses ini;

6. Mempercepat proses pembentukan peraturan-peraturan pemerintah sebagai penjabaran peraturan tentang penataan ruang, khususnya yang menyangkut hak dan kewajiban serta mekanisme partisipasi masyarakat dan swasta dalam perencanaan tata ruang;

7. Identifikasi kelemahan-kelemahan dalam penegakan hukum dalam pengembangan sumberdaya lahan, dan memformulasikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk efektivitas penegakan hukum (law enforcement) yang menunjang bagi pengembangan sumberdaya lahan dan penataan ruang. Secara khusus perlu ditumbuhkan upaya yang konsisten dalam penegakan Keppres No. 55 tahun 1993 perencanaan dan pengadaan lahan untuk kepentingan umum;

8. Memperbesar akses publik kepada rencana kota dan informasi mengenai pertanahan;

9. Meningkatkan pengetahuan hukum dan peraturan pertanahan kepada aparat penegak hukum.

Periode 2010-2020

14

Peraturan Pendukung (legal basis) Manajemen Pertanahan1. Melanjutkan program sertifikasi tanah (PRONA) yang sedang dilakukan

pada dewasa ini;2. Melanjutkan kajian pokok-pokok pengelolaan, mencakup land transfers,

land acquisition, land registration, pricing of public land, hak adat dan tradisi.

3. Melaksanakan peraturan daerah sebagai penjabaran peraturan-perundang-undangan yang ada tentang penataan ruang, khususnya yang menyangkut hak dan kewajiban serta mekanisme partisipasi masyarakat dan swasta dalam perencanaan tata ruang;

4. Memperbaiki kelemahan-kelemahan penegakan hukum dalam pengembangan sumberdaya lahan, memformulasikan langkah-langkah yang perlu diambil untuk efektivkas penegakan hukum enforcement) yang menunjang bagi pengembangan sumberdaya lahan dan penataan ruang;

5. Menyebarluaskan informasi mengenai pertanahan;

2.3. Bidang Program CPENATAAN KELEMBAGAAN PERTANANAN

2.3.1. Dasar Pertimbangan

Secara kelembagaan terdapat paling sedikit terdapat beberapa dinas/isntasi yang terlibat dengan pertanahan, yang meliputi BPN (Badan Pertanahan Nasional) dengan tanggung jawab dalam pendaftaran dan administrasi hak tanah dan sertifikat, pengelolaan lahan negara dan juga perencanaan tata guna lahan; Departemen Keuangan yang terkait dalam perpajakan tanah; Bappenas yang melakukan koordinasi pembangunan sektoral dan koordinasi penataan ruang secara nasional; Dinas Kehutanan yang merupakan lembaga pengelola lahan kehutanan yang mencakup sekitar 25% dari luas daratan Jawa Timur; Dinas Pertambangan dan BAPPEDALPROP dengan tugas menangani aspek lingkungan dalam pendayagunaan lahan; Bakosurtanal yang bertanggung jawab dalam pemetaan: serta Kantor Menteri Negara Penggerak lnvestasi dan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) yang menilai pengajuan pengembangan investasi asing maupun domestik. Koordinasi lembaga-lembaga ini serta pemerintah daerah adalah bukan suatu yang mudah, apalagi dalam pelaksanaannya di Propinsi, Kabupaten dan Kota.

Dalam hal ini peningkatkan koordinasi adalah salah satu kendala sekaligus tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sumberdaya lahan dan penataan ruang di Jawa Timur. Bahwa kurangnya keterpaduan antar bidang-bidang tersebut dirasakan sebagai kendala, sehingga cenderung terjadi egoisme sektoral dalam penataan ruang yang berlindung pada undang-unddng dan peraturan sektor-sektor tersebut.

Dalam banyak hal juga dirasakan banwa kelembagaan bagi pengelolaan lahan dan tata ruang sangat sentralistik, sehingga seringkali sukar untuk memecahkan masalah yang seharusnya ditanggulangi dengan segera. Suatu kelembagaan yang lebih desentralistis dalam pengambilan keputusan

15

mengenai pertanahan sangat didambakan kehadirannya, dengan catatan bahwa kesiapan serta kemampuan kelembagaan di Propinsi, Kabupaten dan Kota maupun personelnya harus ditingkatkan.

Masalah lain yang dihadapi dalam kelembagaan untuk tujuan perencanaan dan pengembangan sumberdaya lahan adalah masih belum memadainya kuantitas maupun kualitas sumberdaya manusia. Kondisi ini lebih buruk lagi di tingkat Kabupaten, Kota dan bahkan di Kecamatan dan pedesaan.

2.2.3. Tujuan

Tujuan dari program ini adalah:1. Menyiapkan landasan untuk penataan kelembagaan yang terkait dengan

perencanaan sumberdaya lahan secara terpadu (building institusional capacity). Dalam hal ini termasuk pula terbentuknya mekanisme partisipasi berbagai pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan pemanfaatan lahan, khususnya, masyarakat pada tingkat Kecamatan/Desa;

2. Melanjutkan penataan kelembagaan yang terkait dengan perencanaan sumberdaya lahan secara terpadu. Dalam hal ini termasuk pula terbentuknya mekanisme partisipasi berbagai pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan mengenal pengelolaan pemanfaatan lahan, khususnya masyarakat pada tingkat Kecamatan/desa;

3. Penyederhanaan kelembagaan perencanaan sumberdaya lahan dan penataan ruang.

2.3.4. Tahapan Kegiatan

Periode 2002-2010

Penyempurnaan Tata Kerja dan Pembagian Fungsi Kelembagaan:1. Mengkaji pembagian kerja, kewenangan serta tanggung jawab institusi

pemerintah dalam hal pengembangan sumberdaya lahan;2. Mengefektifkan fungsi Tim Koordinasi Tata Ruang Propinsi (TKTRP);3. Membentuk Tim Pelaklsanan Tata Ruang Propinsi dan Kabupaten/Kota

dengan titik sentral ada pada Bappeprop/Bapekab/Bapekot;

Peningkatan Kemampuan Kelembagaan terdiri atas beberapa kegiatan: 1. Memperkuat fungsi dan peran Bappepprop, Bapekab dan Bapekot

sehingga betul-betul dapat melaksanakan fungsi koordinasi pembangunan sektor-sektor di daerah;

2. Menyiapkan dan melaksanakan program-program pelatihan dalam perencanaan dan manajemen (pelaksanaan dan pengawasan) serta pengiriman tenaga ke luar negeri untuk mengikuti program latihan maupun program kesarjanaan yang terkait dengan pengembangan sumberdaya lahan, untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan maupun personelnya baik pada di Propinsi, Kabupaten dan Kota, maupun LSM.

Peningkatan Kepekaan Masyarakat, terdiri atas:

16

1. Meningkatkan kesadaran (awareness) masyarakat luas akan hak dan kewajiban mereka yang terkait dengap pengembangan sumberdaya lahan, dengan orientasi pembangunan yang berkelanjutan;

2. Menyamakan persepsi masyarakat luas tentang eksistensi sumberdaya lahan sebagai sumberdaya ekonomi dan sekaligus berfungsi ekologis.

Kemitraan Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta, terdiri atas kegiatan:1. Meningkatkan kemitraan dengan swasta untuk tujuan pengembangan

sumberdaya lahan, dengan prinsip menguntungkan baik pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha itu sendiri;

2. Melakukan mengkaji konsep-konsep serta memformulasikan konsep dan bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dan swasta.

Periode 2010-2020

Penyempurnaan Tata Kerja dan Pembagian Fungsi Kelembagaan Pertanahan:1. Melanjutkan mengkaji pembagian kerja, kewenangan serta tanggung

jawab institusi pemerintah propinsi, kabupaten dan kota dalam hal pengembangan sumberdaya lahan secara kontinyu;

2. Pengembangan Kemampuan Kelembagaan, dengan cara melanjutkan upaya penguatan fungsi dan peran Bappeprop, Bappekab dan Bappekot, sehingga betul-betul dapat melaksanakan fungsi koordinasi pembangunan sektor-sektor di daerah, dalam fungsinya sebagai motor pada Tim Koordinasi Tata Ruang Propinsi, Kabupaten dan Kota;

3. Meneruskan upaya-upaya penyiapan dan pelaksanaan program-program pelatihan dalam perencanaan dan manajemen (pelaksanaan dan pengawasan) serta pengiriman tenaga ke luar negeri untuk mengikuti program latihan maupun program kesarjanaan yang terkait dengan pengembangan sumberdaya lahan, untuk meningkatkan kemampuan kelembagaan maupun personelnya baik pada tingkat propinsi, kabupaten dan kota, maupun LSM,

Peningkatan Kepekaan Masyarakat, terdiri atas kegiatan:1. Meneruskan upaya-upaya peningkatkan kesadaran (awareness)

masyarakat luas akan hak dan kewajiban mereka yang terkait dengan pengembangan sumberdaya lahan, dengan orientasi pembangunan yang berkelanjutan;

2. Peningkatan keberdayaan masyarakat untuk mencegah degradasi lahan.

Kemitraan Pemerintah, Masyarakat dan Swasta, terdiri atas:1. Melanjutkan upaya-upaya peningkatan kemitraan dengan swasta untuk

tujuan pengembangan sumberdaya lahan;2. Mengintensifkan kemitraan tersebut dengan prinsip menguntungkan baik

pemerintah, masyarakat maupun untuk dunia usaha itu sendiri.

Penataan Kelembagaan Pertanahan di Jawa Timur:1. Desentralisasi otoritas mengenai pengembangan lahan kepada

17

Pemerintah Kabupaten dan Kota;2. Penetapan dan penyederhanaan mekanisme kerja antar lembaga dan

antar disiplin untuk tindakan penyelamatan lahan, dengan memperhatikan kaitannya pada pengembangan wilayah sungai dan reboisasi, serta untuk penataan ruang pada umumnya.

2.4. Bidang Program DSISTEM INFORMASI DAN PENDATAAN LAHAN

2.4.1. Dasar Pertimbangan

Sistem informasi dan data pertanahan yang baik akan menunjang terciptanya sistem perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi dan pemantauan pendayagunaan sumberdaya lahan dan penataan ruang maupun transaksi jual beli atau perpajakan tanah secara efektif. Dengan kata lain, sangat diperlukan sistem registrasi tanah yang minimal mencakup data kadaster, pemilikan serta jenis hak, dalam bentuk peta. Demikian pula, sesungguhnya diperlukan data mengenai transaksi yang sudah terjadi serta pemutahiran data pemilik dan lainnya. Hal ini khususnya sangat diperlukan untuk penilaian nilai properti guna keperluan perpajakan. ldealnya, diperlukan suatu sistem data kadastral baku yang berlaku di Jawa Timur bahkan secara nasional.Masalah utama yang dihadapi dalam penataan pertanahan dan penataan ruang adalah ketersediaan yang masih sangat terbatas, padahal untuk kepentingan ini sangat diperlukan informasi yang akurat dan rinci.

Hingga dewasa ini belum ada suatu pendataan tanah yang sistematik dan kontinyu, sehingga tidak mengherankan bila peta pertanahan yang seharusnya dibuat berdasarkan pendataan tersebut belum lengkap adanya. Padahal data dan peta seperti ini diperlukan bukan saja untuk keperluan perencanaan, namun juga untuk perpajakan. ldealnya pencatatan seperti ini harus dilakukan baik untuk wilayah perkotaan maupun perdesaan, bahkan untuk wilayah yang belum berkembang sekalipun.

Perlu pula dicatat bahwa sejauh ini telah ada beberapa kerjasama BPN baik dengan perguruan tinggi di Jawa Timur maupun professional swasta dalam bidang pemetaan, namun belum banyak dalam bidang pengukuran bidang tanah atau disebut juga survey kadaster. Untuk itulah sangat dibutuhkan tenaga-tenaga dari disiplin ini, termasuk juru ukur yang handal. jelas dalam hal ini kebutuhan tenaga tersebut tidak mungkin disuplai dari BPN saja karena jumlahnya sangat terbatas, sehingga perlu pula dikembangkan konsultan swasta yang handal dibidang survey dan pemetaan kadaster.

Masalah lain yang dihadapi pada dewasa ini adalah fragmentasi kelembagaan yang terkait dengan masalah data pertanahan di Jawa Timur. Berbagai instansi mempunyai kepentingan tersendiri dalam pengumpulan data dan informasi pertanahan, sehingga mempunyai sistem pendataan

18

sendiri-sendiri. Hal ini diperburuk lagi dengan belum adanya kerjasama yang memadai dalam pertukaran informasi, sehingga menimbulkan duplikasi serta inefisiensi dalam pengumpulan data pertanahan.

Harus pula diakui adanya peluang-peluang yang telah ada untuk dimanfaatkan lebih jauh. Peluang ini khususnya adalah perkembangan dalam teknologi foto udara (aerial photograph), pemetaan digital, penginderaan jarak jauh (inderaja) dan citra satelit seperti SPOT atau LandSat misalnya, serta pemanfaatanya untuk Sistem lnformasi Geografis maupun Sistem lnformasi Pertanahan yang telah dikembangkan oleh berbagai instansi dan Perguruan Tinggi di Jawa Timur. Demikian pula, hingga dewasa ini telah dikembangkan s stem evaluasi dan perencanaan sumberdaya lahan (LREP) yang telah digunakan di hampir tiap Propinsi/Kabupaten dan Kota dan telah dimanfaatkan untuk kegiatan penataan ruang. Kendala yang dihadapi pada dewasa ini adalah sangat terbatasnya sumberdaya manusia maupun peralatan teknis untuk dapat mengembangkan teknologi canggih ini guna kepentingan perencanaan, pelaksanaan serta pemantauan pendayagunaan sumberdaya lahan, khususnya di daerah.

2.4.2. Tujuan Program

1. Mengembangkan sistem informasi bagi perencanaan, pendayagunaan, pengelolaan dan penggunaan sumberdaya lahan dan penataan ruang;

2. Meneruskan pengembangan sistem informasi bagi perencanaan, pendayagunaan, pengelolan, pengendalian sumberdaya lahan dan penataan ruang;

3. Menata kelembagaan pendataan pertanahan, serta meningkatkan technical support systerns, pengembangan sumberdaya lahan maupun perpajakan.

2.4.3. Rencana Strategis

Agar program tersebut dapat dilakukan dengan, maka perlu disusun rencana strategis yang terdiri atas: (1) pengembangan system informasi pertanahan yang mudah dan sederhana sehingga dapat dioperasikan ditingkat operator di pedesaan, (2) menyamakan sistem agar dapat diakses bersama.2.4.4. Tahapan Kegiatan

Periode 2002-2010

Pengembangan Sistem lnformasi1. Menyempurnakan sistem administrasi dan pendataan pertanahan;2. Menetapkan secara teknis sistem informasi pertanahan yang terpadu dan

cocok untuk kondisi Jawa Timur, untuk kepeduan pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, transmisi, pencarian kembali maupun pemutahiran data pertanahan;

3. Pemetaan tata guna lahan untuk dijadikan peta dasar (base maps) untuk berbagai keperluan perencanaan, perpajakan dan lainnya. Pada wilayah yang berkembang dengan cepat pemutahiran peta ini harus dilakukan dalam periode yang lebih sering, misalnya setiap 1-2 tahun;

19

4. Mengkoordinasi lembaga-lembaga penelitian yang terkait dengan sistem informasi pertanahan, membentuk kerangka jaringan di antara mereka;

5. Mengadakan perangkat keras dan lunak untuk sistem informasi pertanahan di tiap-tiap Kabupaten dan Kota;

6. Menyelenggarakan dan mengembangakan pelatihan tentang sistem informasi pertanahan dan foto udara (aerial photograph) di dalam negeri maupun mengirim tenaga keluar negeri untuk mengikuti pendidikan sistem informasi pertanahan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di setiap Kabupaten/Kota;

7. Mengembangkan peran professional swasta dalam survey dan pemetaan kadastar guna menunjang administrasi pertanahan.

Periode 2010-2020

Mengkoordinasi lembaga-lembaga penelitian yang terkait dengan sistem informasi pertanahan, membentuk kerangka jaringan di antara mereka.

Penataan Kelembagaan Sistem lnformasi, yang meliputi:1. Formulasi dan dan pengembangan kerjasama, tanggung jawab dan

kewenangan kelembagaan dalam hal penyimpanan, serta penyampaian informasi pertanahan, termasuk informasi mengenai perubahan dan perkembangan tata guna lahan;

2. Menuntaskan registrasi dan sertifikasi pertanahan secara keseluruhan.

Peranan Kelompok UtamaDewasa ini perencanan, pendayagunaan dan pengendailan sumberdaya lahan dan penataan ruang masih terfokus sebagai kegiatan pemerintah, balk pusat maupun daerah, hampir secara eksklusif. Artinya pemerintah sangat mendominasi seluruh kegiatan-kegiatan ini, sedangkan peran serta masyarakat masih sangat terbatas pada peran DPRD pada saat pengesahan rencana atau dalam perubahan-perubahan rencana. Tanpa mengecilkan peran wakil-wakil rakyat di lembaga-lembaga perwakilan tersebut, sesungguhnya kini semakin dituntut pelibatan masyarakat secara langsung.

Di masa yang akan datang perencanaan sumberdaya lahan dan pelaksanaan serta evaluasinya tidak mungkin diselenggarakan secara eksklusif oleh pemerintah semata, karena mesin pembangunan ini akan semakin membesar, sementara itu pula perkembangan sosial-ekonomi dan politik, mendorong masyarakat semakin kritis dan semakin menuntut agar aspirasi mereka dapat diakomodasi. Dengan kata lain masyarakat akan semakin menuntut untuk ikut serta di dalam pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan niaupun evaluasi pengembangan sumberdaya lahan dan tata ruang. Hal ini semakin nyata, khususnya bagi sekelompok masyarakat yang secara langsung terkena dampak oleh pengembangan tersebut.

Hal tersebut sesungguhnya bermakna bahwa pengembangan sumberdaya

20

lahan, mungkin juga dalam pembangunan sektor-sektor lainnya, harus lebih demokratis sifatnya, dengan melibatkan 1 kelompok masyarakat yang terkena dampaknya secara langsung mulai dari tahap awal pembang tidak cukup hanya melalui perwakilan seperti DPRD saja. Dengan demikian cara maup perencanaan dan pelaksanaan pembangunan akan jauh berbeda dengan yang ada sekarang dimana pemerintah sangat dominan dan sangat menentukan. Kelak model pembangunan sumberdaya lahan tata ruang akan bersifat partisipatif, terbuka (transparan) dan jauh lebih demokratis.

Tujuan jangka pendek peningkatan peran kelompok-kelompok utama dalam masyarakat dalam kaitannya dengan pengembangan sumberdaya lahan dan penataan ruang adalah meningkatkan efektivitas partisipasi kelompok stake holders, yaitu masyarakat dari berbagai kelompok fungsional dan swasta serta pernen sendiri dalam pengembangan sumberdaya lahan yang lebih partisipatif dan terbuka. Termasuk dalamhasl ini adalah meningkatkan peran dan partisipasi swasta yang inovatif dalam pengembangan sumberdayatr yang berkelanjutan.

Guna pencapaian tujuan-tujuan ini maka perlu dilakukan:1. Membangun proses konsukasi dengan kelompok masyarakat sebagai

stake holders pengembangan sumberdaya lahan, baik pada tingkat lokal, regional maupun nasional, sebagai mekanisme dialog untuk mencapai kesepakatan. Hal ini dapat dilakukan dengan membentuk forum informal dengan anggota terdiri dari wakil-wakil kelompok masyarakat, pemerintah, swasta cendekiawan dalam berbagai program maupun proyek pengembangan lahan yang mempunyai dampak publik yang luas;

2. Membuka akses informasi kepada kelompok-kelompok masyarakat mengenai rencand pelaksanaan pengembangan lahan dan tata ruang;

3. Memberikan peluang bagi kelompok perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya pengembangan lahan dan penataan ruang;

4. Memantapkan sikap menerima LSM sebagal mitra dalam pengembangan lahan dan penataan ruang;

5. Mendukung upaya-upaya yang telah dilakukan oleh LSM maupun insiatif kelompok-kelomy. masyarakat lokal dalam pengembangan sumberdaya lahan dan penataan ruang yang berkelanjutan;

6. Mengembangkan dan meningkatkan teknologi pengembangan sumberdaya lahan yang telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat lokal (masyarakat setempat);

7. Mengidentifikasi dan mengembangkan metoda kemitraan antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan lahan yang berkelanjutan dan efisien;

8. Mengembangkan insentif dan disinsentif bagi swasta dan masyarakat luas dalam pengembanganlahan yang efisien dan berkelanjutan.

3. Pendanaan

2002-2010 2010-2020

21

Program APBN

APBDI

APBDII

LN Masy

APBN

APBDI

APBDII

LN Masy

A B C D

Keterangan: = Prioritas

22

Daftar Pustaka

Anwar, A. 1993. Dampak Alih fungsi Tanah Sawah Menjadi Tanah Non-pertanian di Sekitar Wilayah Perkotaan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No. 10, Desember, 1993.

Harsono, S. 1995. Kebijakann Pertanahan di Indonesia dalam Perspektip Pertumbuhan dan Pemerataan, Makalah disampaikan pada lokakarya, diselenggarakan oleh CIDES, Bappenas dan Kantor Menteri Negara Agraria/BPN, Bandung 10 Oktober 1995.

Hidayat. M. 1995. Mekanisme Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Perumahan.. Tantangan dan Harapan di Masa Depan. Makalah disampaikan pada lokakarya, diselenggarakan oleh CIDES, Bappenas clan Kantor Menteri Negara Agraria/BPN, di Bandung 10 0ktober 1995.

Insrtuksi Gubernur Nomor 7 Tahun 1988. Pelaksanaan Permendagri 3/87 tentang penyediaan dan pemberian hak atas tanah untuk keperluan perusahaan pembangunan perumahan di Jawa Timur.

Insrtuksi Gubernur Nomor 8 Tahun 1988. Tentang penetapan lokasi/letak tepat dan pembebasan tanah untuk usaha/kegiatan bukan pertanian di Jawa Timur.

Kartasasmita, G. 1995. Penataan Ruang dalam Perspektif Pertumbuhan dan Pemerataan Pembangunan. Makalah disampaikan pada lokakarya, diselenggarakan oleh CIDES, Bappenas dan Kantor Menteri Negara Agraria/BPN, Bandung 1 0 Oktober 1995.

Keputusan Gubernur Nomor 295 Tahun 1984. Tata Cara Penyediaan dan Pemberian Hak atas tanah bagi perusahaan yang tidak menggunakan fasilitas penanaman modal. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi jawa Timur.

Munir, M. 1994. Studi Karateristeik dan Pola enyebaran Lahan Kritis di Jawa Timur. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Munir, M. 2000. Invetarisasi dan Optimasi Lahan Irigasi Teknis di Wilayah Pantai Utara (Kabupaten Gresik, Tuban dan Lamongan). Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

Parengkuan, E.P. 1991. Studi Permasalahan Pajak Tanah Kota Dalam Kaitannya Dengan Penggunaan Tanah dan Aspek Pengendalian Guna Tanah di Kotamadya Bandung. Jumal Perencanaan Wilayah dgn Kota, April: 24-27.

Parlindungan, A. P. 1995. Apakah ada Hak Asasi Manuasia dalam Memiliki Hak-Hak Atas Tanah di Indonesia. ' Makalah disampaikan pada lokakarya, diselenggarakan oleh CIDES, Bappenas dan Kantor Menteri Negara Agraria/BPN, Bandung 10 Oktober 1995.

Simanungkalit, P. 1995. Distorsi Pasar dan Property Crash. Suara Pembaruan. 22 Desember 1995.

Sumitro Djojohadikusumo 1995. Sumberdaya Alam dan Pembangunan dalam Alumni FEUI dan Tantangan Masa Depan:Beragam Pemikiran, hal. 209-222. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Winarso, H. 1995. Tarif ljin Tata Guna Tanah Perkotaan Sebagai Bentuk Kontrol Pelaksanaan Penataan Ruang Kota. ]urnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Edisi Februari: 30-39.

23