BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Gadjah Mada...

24
1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini bermaksud untuk mengevaluasi terhadap implementasi kebijakan program Bantuan Operasional Sekolah di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen. Penelitian ini perlu untuk dilakukan mengingat kebijakan BOS ini sebagai upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan pemerataan pendidikan dan biaya pendidikan yang mahal. Serta mewujudkan cita-cita Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa sesuai yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Seperti yang kita ketahui bersama, pemerintah telah menetapkan wajib belajar 9 tahun. Yakni Sekolah Dasar (SD) selama 6 tahun dan di lanjut ke jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama 3 tahun masa belajar. Kebijakan wajib belajar 9 tahun yang di tetapkan pemerintah ini bukanlah tanpa aral rintang dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Permasalahan lain kemudian muncul disini. Kemiskinan menjadi penghambat tercapainya wajib belajar 9 tahun tersebut. Internasional Labour Organisation (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999 mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari jumlah penduduk (BPS, 1999). Angka kemiskinan ini akan menjadi lebih besar lagi jika di masukkan penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang jumlahnya mencapai lebih dari 21 juta jiwa.

Transcript of BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Gadjah Mada...

1  

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini bermaksud untuk mengevaluasi terhadap implementasi

kebijakan program Bantuan Operasional Sekolah di Sekolah Dasar Negeri 7

Kebumen. Penelitian ini perlu untuk dilakukan mengingat kebijakan BOS ini

sebagai upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan pemerataan

pendidikan dan biaya pendidikan yang mahal. Serta mewujudkan cita-cita

Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan Bangsa sesuai yang tertuang dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Seperti yang kita ketahui bersama, pemerintah telah menetapkan wajib

belajar 9 tahun. Yakni Sekolah Dasar (SD) selama 6 tahun dan di lanjut ke

jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) selama 3 tahun masa belajar.

Kebijakan wajib belajar 9 tahun yang di tetapkan pemerintah ini bukanlah

tanpa aral rintang dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Permasalahan lain

kemudian muncul disini. Kemiskinan menjadi penghambat tercapainya wajib

belajar 9 tahun tersebut. Internasional Labour Organisation (ILO)

memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia pada akhir tahun 1999

mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3 persen dari jumlah penduduk (BPS,

1999). Angka kemiskinan ini akan menjadi lebih besar lagi jika di masukkan

penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang jumlahnya mencapai

lebih dari 21 juta jiwa.

2  

Prosentase angka kemiskinan dari tahun ke tahun mengalami penurunan

yang berarti. Tahun 2003 dari 38 juta atau 23 persen dari penduduk Indonesia

hidup di bawah garis kemiskinan dan 12,7 juta diantaranya adalah fakir

miskin (Republika, 5 Mei 2003). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada

bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran

per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) di Indonesia mencapai

28,07 juta orang (11,37 persen), berkurang sebesar 0,52 juta orang

dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2012 yang sebesar

28,59 juta orang (11,66 persen).

Meskipun terus mengalami penurunan angka kemiskinan, tentu tidak

menjadikan hal ini dapat memecahkan permasalahan yang ada. Tanggungan

biaya yang harus di keluarkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya,

menjadi tambahan beban baru selain memenuhi kebutuhan hidup yang lain.

Maka tak jarang, putus sekolah menjadi langkah yang ditempuh untuk

memutus rantai beban biaya sekolah yang semakin mahal. Terdapat 10,268

juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan wajib

belajar sembilan tahun. Di sisi lain, masih ada sekitar 3,8 juta siswa yang

tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. (Kompas, 26 Desember 2011).

Tanggapan pemerintah selanjutnya dalam memandang permasalahan ini

adalah dengan dibuatnya Program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

atas dasar Pertimbangan UU No 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS serta

PP No 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan. Program ini pada

dasarnya bertujuan untuk menyongkong program wajib belajar 9 tahun yang

3  

bermutu, dengan meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan

pendidikan. Dana BOS ini akan ditujukan bagi seluruh siswa SD/MI Negeri

dan SMP/MTS Negeri. Kecuali pada rintisan sekolah bertaraf Internasional

(RSBI) dan sekolah bertaraf Internasional (SBI). Membebaskan seluruh siswa

miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri

maupun sekolah swasta.

Respon masyarakat pada umumnya menanggapi kebijkan ini cenderung

menerima, karena segala yang diberi “embel-embel” gratis tak pernah

menjadi polemik di masyarakat. Penerimaannya akan cenderung bermanfaat

dibandingkan kerugiannya. Terlebih bagi wali murid di SDN 7 Kebumen,

yang notabene mayoritas dari kalangan tidak mampu. Program Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) adalah suatu kegiatan yang merupakan realisasi

atau implementasi kebijakan dalam perluasan dan pemerataan akses

pendidikan, khususnya dalam mendukung program wajib belajar pendidikan

dasar (Wajar Dikdas) sembilan tahun. BOS merupakan implementasi dari

Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa

pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar

minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya serta wajib

belajar merupakan tanggung jawab Negara yang diselenggarakan oleh

lembaga pendidikan dari pemerintah daerah dan masyarakat.

Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut adalah pemerintah

dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh

peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan

4  

pendidikan lain yang sederajat dengan menjamin bahwa peserta didik tidak

terbebani oleh biaya pendidikan. Jika niatan awal pembuatan program ini

begitu optimis dapat memecahkan permasalahan sebagian orang tua murid

terkait dengan biaya sekolah yang mahal. Bagaimanakah dengan hasil

implementasi dari program ini sendiri?. Apakah program BOS ini bisa

berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan sebelumnya?. Hal tersebut yang

kemudian melatarbelakangi penulis untuk menganalisa evaluasi kebijakan

program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di salah satu Sekolah Dasar

Negeri di Kabupaten Kebumen. Yang dalam hal ini penulis memilih obyek

penelitian di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah hasil implementasi kebijakan program Dana Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen?

2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan BOS

di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen?

C. Tujuan Penelitian

1. Melihat hasil implementasi kebijakan program Dana Bantuan Operasional

Sekolah (BOS) di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen.

2. Mengetahui faktor apa saja yang dapat mendukung atau menghambat

implementasi kebijakan program BOS di Sekolah Dasar Negeri 7

Kebumen.

5  

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana

evaluasi dari implementasi kebijakan program Dana BOS, terutama di

Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen. Sehingga masyarakat pada umumnya, dan

peneliti sendiri mendapatkan pengetahuan baru serta dapat berkontribusi

bersama-sama dalam check and balances kebijakan ini. Untuk SD Negeri 7

Kebumen sendiri bisa menjadi acuan pembenahan ke arah yang lebih baik

lagi dalam mengimplementasikan kebijakan program Dana BOS.

E. Landasan Konseptual dan Kerangka Teori

Pemahaman mengenai evaluasi kebijakan program dana Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) dalam kerangka berfikir diawali dari menganalisa

permasalahan, proses kebijakan, implementasi kebijakan sampai kepada

evaluasi kebijakan. Penulis menggunakanan teori Grindle tentang konteks

dan konten kebijakan dalam memahami implementasi kebijakan program

dana Bantuan Operasional Sekolah.

E.1 Kebijakan Publik

Kebijakan publik mempunyai makna yang sangat luas. Sehingga, untuk

dapat memahami konsep kebijakan publik perlu diketahui terlebih dahulu

klasifikasi pengertian definisi yang dikemukakan para ahli. Berikut beberapa

pengertian kebijakan publik dari beberapa para ahli. Chandler dan Plano (1988)

menyatakan bahwa, kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis

terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-

6  

masalah publik atau pemerintah. Kebijakan publik merupakan suatu bentuk

intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi

kepentingan kelompok yang kurang secara terus menerus oleh pemerintah

demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar

mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Pengertian kebijakan publik menurut Chandler dan Plano ini

mengklasifikasikan kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah. Dimana,

dalam hal ini pemerintah mendayagunakan berbagai instrumen yang dimiliki

untuk mengatasi persoalan publik. Adapun Carl Friedrich yang juga

mengklasifikasikan kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah. Carl

Friedrich mengungkapkan kebijakan publik adalah, suatu arah tindakan yang

diusulkan oleh seseorang kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan

tertentu, yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan

terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam

rangka mencapai suatu tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud

tertentu.

Selain Chandler dan Plano serta Carl Friedrich, beberapa ahli lainnya

juga mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu intervensi pemerintah.

Beberapa para ahli yang juga menklasifikasikan kebijakan publik sebagai

intervensi negara atau pemerintah adalah: James Anderson, Richard Rose,

Easton ,dan Robert Eyestone. Dimana, di saat pemerintah memecahkan

masalah ataupun ketika membuat suatu kebijakan publik pemerintah atau

negara mengikutsertakan berbagai macam sumberdaya ataupun instrumen

7  

yang berada di luar negara atau pemerintah baik dari segi lingkungannya

maupun sosio kulturalnya. Sehingga, dalam hal ini pemerintah bukanlah

merupakan aktor yang tunggal yang dapat membuat kebijakan seenak hatinya

saja. Melainkan harus melibatkan apa yang ada di sekelilingnya.

Thomas R. Dye (1981) mengklasifikasikan kebijakan Publik sebagai

sebuah keputusan (decision making), pemerintah mempunyai wewenang

untuk menggunakan keputusan otoritatif. Termasuk keputusan untuk

membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.

Kebijakan publik dikatakan sebagai apa yang tidak dilakukan maupun apa

yang dilakukan oleh pemerintah. Pokok kajian dari hal ini adalah negara.

Pengertian ini selanjutnya dikembangkan dan diperbaharui oleh para ilmuwan

yang berkecimpung dalam ilmu kebijakan publik.

Adalah Edward III dan Sharkansky yang turut mengklasifikasikan

kebijakan publik sebagai keputusan (decision making), menyatakan bahwa,

kebijakan publik merupakan apa yang dikatakan dan dilakukan atau tidak

dilakaukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau tujuan

dari berbagai program pemerintahan. Serta, kebijakan itu dapat ditetapkan

secara jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk

pidato pejabat pemerintah.

John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) mengklasifikasikan kebijakan

publik sebagai proses manajement serta membagi wacana kebijakan publik ke

dalam beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang

melihat adanya pengaruh lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model

8  

inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai kombinasi variabel

internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi

status quo. (3) model rasional. (4) model garbage can dan (5) model

collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme

perumusan kebijakan.

Charles O. Jones (1991) di dalam mengklasifikasikan kebijakan sebagai

democratic governance dan mendefinisikan kebijakan publik sebagai antar

hubungan di antara unit pemerintah tertentu dengan lingkungannya. Agaknya

definisi ini sangat luas sekali nuansa pengertiannya, bahkan terdapat satu

kesan sulit menemukan hakekat dari pada kebijakan publik itu sendiri.

Berdasarkan beberapa definisi oleh para ahli di atas, kebijakan dapat

diklasifikasikan dalam beberapa variasi. Yang salah satunya yaitu memahami

konsep kebijakan publik dari aspek kedalaman yang di dalamnya mencakup

beberapa varian, yakni kebijakan sebagai keputusan (decision making),

kebijakan sebagai proses manajement, kebijakan sebagai intervensi

pemerintah , serta kebijakan sebagai democratic governanace.

Kebijakan dapat dianggap sebagai kebijakan publik apabila memenuhi

dua komponen mendasar. Yakni, pertama dibuat oleh institusi yang

mempunyai otoritas dalam hal ini adalah pemerintah. Kedua, kebijakan

tersebut diarahkan pada atau memberi implikasi terhadap kelompok

masyarakat yang memberi otoritas kepada pemerintah yang mengambil

kebijakan. Keputusan menjadi kebijakan publik hanyalah keputusan yang

mengandung nilai-nilai kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, sebuah

9  

keputusan yang menjadi kebijakan publik tidak hanya harus berisikan hal-hal

yang sifatnya faktual (factual propositon), akan tetapi juga harus

mengandung nilai-nilai luhur bagi kehidupan masyarakat yang sama besarnya.

Proses kebijakan publik merupakan dimensi paling inti dari analisa

kebijakan. Dimana, kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan

kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara

berkesinambungan, saling menentukan, saling membentuk. Proses kebijakan

publik tidak dapat dilepaskan dari isu-isu dan lingkungan obyek yang

melingkupinya. Model proses kebijakan paling klasik dikembangkan oleh

David Easton. Pendekatan sistem ini dimulai dari identifikasi dukungan dan

tuntutan kemudian berproses sehingga menghasilkan output politik dan

feedbacknya.

Proses formulasi kebijakan publik berada dalam sistem politik dengan

mengandalkan pada masukan (input) yang terdiri atas dua hal yaitu, tuntutan

dan dukungan. Model yang diperkenalkan Easton inilah yang kemudian

dikembangkan oleh para ahli akademisi di bidang kebijakan publik. Sebut

saja Anderson, Dunn, Patton dan Savicky, dan Effendy. Adapun Grindle dan

John Thomas (1991) sepakat bahwa pada dasarnya proses kebijakan tidak

sepenuhnya linear, melainkan bergerak seperti digram pohon keputusan

(decision tree model).

Pada aspek pelaksanaan, terdapat dua model implementasi kebijakan

publik yang efektif, yaitu model linier dan model interaktif. Pada model linier,

fase pengambilan keputusan merupakan aspek yang terpenting, sedangkan

10  

fase pelaksanaan kebijakan kurang mendapat perhatian atau dianggap sebagai

tanggung jawab kelompok lain. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan

tergantung pada kemampuan instansi pelaksana. Jika implementasi kebijakan

gagal maka yang disalahkan biasanya adalah pihak manajemen yang

dianggap kurang memiliki komitmen sehingga perlu dilakukan upaya yang

lebih baik untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan pelaksana.

Pada dasarnya, perlu adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat

kebijakan ketika akan melakukan formulasi kebijakan publik ini. Yang harus

diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik adalah

formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi.

Sebab seringkali para pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi

kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian konseptual yang sarat dengan

pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi.

Sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah

uraian atas kematangan pembacaan realitas sekaligus alternatif solusi yang

fleksible terhadap realitas tersebut. Meskipun pada akhirnya uraian yang

dihasilkan itu tidak sepenuhnya sama dengan nilai ideal normatif. Hal

tersebut bukanlah masalah asalkan uraian atas kebijakan itu sesuai dengan

realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan (Fadillah, 2001).

E.2 Evaluasi Kebijakan Publik

Evaluasi kebijakan publik merupakan serangkaian siklus kebijakan

publik yang tidak dapat dilepaskan keberadaannya. Evaluasi kebijakan tidak

dapat dilepaskan dari adanya implementasi kebijakan. Dimana dalam siklus

11  

kebijakan publik evaluasi kebijakan berada setelah adanya implementasi

kebijakan publik. Sehingga seringkali terjadi overlap untuk memahami antara

studi implementasi dengan studi evaluasi kebijakan publik.

Menurut rumusan Sabatier dan Mazamnian melakukan studi

implementasi berarti berusaha memahami apa yang senyatanya terjadi setelah

suatu program diberlakukan, yakni peristiwa dan kegiatan dalam usaha untuk

mengadministrasikannya dan usaha–usaha untuk memberikan dampak

tertentu pada masyarakat. Dari rumusan itu, maka lingkup studi implementasi

adalah seluruh kegiatan dan peristiwa yang terjadi setelah suatu kebijakan

diberlakukan.

Analisis dalam studi implementasi misalnya tidak mempertanyakan

apakah sebuah kebijakan yang gagal dalam pengimplementasiannya adalah

sebuah kebijakan yang benar-benar tepat untuk mencapai tujuan yang

didinginkan (ini adalah pertanyaan evaluatif), studi implementasi

mempertanyakan apakah terjadi kesalahan atau kekurangan dalam proses

pengimplementasian dan apa sebabnya.

Studi implementasi hanya berkaitan dengan pertanyaan bagaimana cara

agen publik mengimplementasikan sebuah kebijakan untuk mencapai

perubahan sebagaimana yang dimaksudkan oleh kebijakan tersebut. Lebih

jelasnya dapa dilihat pada pendapat Jenkins bahwa, studi implementasi adalah

studi perubahan : bagaimana perubahan itu terjadi, bagaimana kemungkinan

perubahan bisa dimunculkan. Juga merupakan studi tentang mikrostruktur

dari kehidupan politik: bagaimana organisasi di dalam dan di luar system

12  

politik menjalankan fungsi mereka dan berinteraksi satu sama lain: apa

memotivasi tindakan – tindakan mereka dan apa motivasi lain yang mungkin

membuat mereka bertindak secara berbeda (Jenkins, 1978, p.200).

Sementara tujuan dan lingkup analisis (riset) evaluasi menurut Carol H.

Weiss (1972, p.4) adalah “To measure the effects of a program against the

goals it set out to accomplish as a means of contributing to subsequent

decision making about the program and improving future programming. The

effect emphasizes the outcomes of the program, rather than its efficiecy,

honesty, morale, or adherence to rule or standars. The comparison of effects

with goals stresses the use of explicit criteria for judging how well the

program is doing”.

Weis secara tegas menyatakan bahwa tujuan analisis evaluasi lebih

pada pengukuran efek dan dampak sebuah program atau kebijakan pada

masyarakat, dibanding pengukuran atas efisiensi, kejujuran pelaksanaan, dan

lain-lain yang terkait dengan standar-standar pelaksanaan. Tujuan kebijakan

itu sendiri adalah untuk menghasilkan dampak atau perubahan, sehingga

wajar jika untuk itulah evaluasi dilakukan. Adapun yang membedakan antara

analisis studi implementasi dengan analisis studi evaluasi dapat kita lihat

yang dinyatakan oleh Parsons :” … evaluation eximines ‘how public policy

and the people who deliver it may be appraised, audited, valued and

controlled” while the study of implementation is about “how policy is put into

action and practice” (1995, p. 461).

13  

Meskipun dilakukan secara sistematis, namun ada beberapa hal yang

membedakan analisi evaluasi dengan analisis akademik lainnya, yang

menurut Weiss (p. 6-7)adalah :

1. Evaluasi ditujukan untuk pembuatan keputusan, untuk menganalisis

problem sebagaimana yang didefinisikan oleh pembuat keputusan, bukan

oleh periset, sebab si pembuat keputusanlah yang berkentingan terhadap

hasil evaluasi.

2. Evaluasi adalah riset yang dilakukan dalam setting kebijakan, bukan dalam

setting akademik, karenanya pertanyaan-pertanyaan evaluasi diarahkan

oleh program. Peneliti tidak membangun asumsi dan hipotesisnya sendiri

sebagaimana pada studi-studi lain.

3. Evaluasi memberikan penilaian atas pencapaian tujuan, bukan

mengevaluasi tujuan.

Atau dari pernyataan Browne & Wildavsky : “Evaluators are able to

tell us a lot about what happened – which objectives, whose objectives, were

achieved – and a little about why – the causal connections (Hill & Hupe, 12),

yang merupakan wilayah analisis implementasi. Karena meski tujuan dan

dampak saling berinteraksi namun dampak tidak dapat dinilai melalui

seperangkat tujuan yang dirumuskan secara tegas. Jadi dapat disimpulkan

bahwa, evaluasi kebijakan publik adalah analisa dampak terhadap kesesuaian

tujuan kebijakan yang telah diimplementasikan.

14  

E.3 Evaluasi Kebijakan Publik dalam Kerangka Grindle

Berbicara mengenai evaluasi kebijakan, implementasi program atau

kebijakan merupakan salah satu tahap yang penting dalam proses kebijakan

publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai

dampak dan tujuan yang diinginkan. Wahap dalam Setyadi (2005) mengutip

pendapat para pakar yang menyatakan bahwa proses implementasi kebijakan

tidak hanya menyangkut perilaku badan administrative yang bertanggung

jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri

kelompok sasaran, tetapi juga menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik,

ekonomi, dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi

perilaku semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya berpengaruh terhadap

dampak negative maupun positif, dengan demikian dalam mencapai

keberhasilan implemetasi, diperlukan kesamaan pandangan tujuan yang

hendak dicapai dan komitmen semua pihak untuk memberikan dukungan.

Guna mencari tahu faktor-faktor yang bisa mengubah arah tujuan

kebijakan, perlu untuk melihat konten dan konteks kebijakannya. Bagi

penulis, suatu kebijakan yang diimplementasikan akan memiliki pola

pelaksanaan yang berbeda tergantung dari bagaimana implementor

melaksanakan isi kebijkan serta tanggapan implementor terhadap fenomena

di luar kebijakan itu sendiri. Maka dari itu penulis menggunakan teori

evaluasi yang diperkenalkan Grindle karena dapat membantu penulis untuk

menganalisa faktor di luar lingkup kebijkan.

15  

Model Grindle memaparkan dua sub variable besar yakni isi (konten)

kebijakan dan lingkungan (konteks) implementasi. Variabel isi kebijakan

mencakup:

a. Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat

dalam isi kebijakan. Dimana, kebijakan merupakan sebuah intervensi yang

sebelumnya telah ada sebelumnya. Aktor-aktor yang terlibat tentu

memiliki nilai-nilai kepentingan yang dibawanya. Jika keputusan

kebijakan yang akan diimplementasikan ternyata berimplikasi negatif atau

tidak sesuai dengan kepentingannya, tentu akan menimbulkan konflik dari

para aktor tersebut. Tidak menutup kemungkinan hal ini bisa

menggagalkan proses implementasi dan tercapainya tujuan kebijakan.

b. Jenis manfaat yang diterima oleh target group. Setiap aktor memiliki

kepentingan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.

c. Sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan.

d. Apakah letak sebuah program sudah tepat.

e. Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci,

dan

f. Apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

Sedangakan variabel lingkungan kebijakan mencakup, seberapa besar

kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang

terlibat dalam implementasi kebijakan, karakteristik institusi dan rejim yang

sedang berkuasa, serta tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Strategi, sumber dan posisi kekuasaan implementor akan menentukan tingkat

16  

keberhasilan kebijakan yang diimplentasikannya. Apabila suatu kekuatan

politik merasa berkepentingan atas suatu program, maka mereka akan

menyusun strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam

implementasi sehingga mereka dapat menikmati outputnya. Implementasi

suatu program dapat menimbulkan konflik bagi yang kepentingan-

kepentingannya dipengaruhi. Strategi penyelesaian konflik mengenai ”siapa

mendapatkan apa”, dapat menjadi petunjuk tak langsung mengenai ciri-ciri

penguasa atau lembaga yang menjadi implemento.

Dengan kata lain, konten kebijakan atau isi kebijakan merupakan

pembahasan mengenai bagaimana implementor melaksanakan kebijakan

tersebut. Apakah telah sesuai dengan isi kebijakan yang ada. Sedangkan

konteks kebijakan atau lingkungan kebijakan merupakan pembahasan

mengenai bagaimana setiap aktor merespon baik fenomena politik, ekonomi,

maupun sosial di lingkungan kebijakan.

E.4 Evaluasii Kebijakan Program Dana Bantuan Operasional Sekolah

(BOS)

BOS merupakan implementasi dari Undang Undang Nomor 20 tahun

2003 pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah

menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan

dasar tanpa memungut biaya serta wajib belajar merupakan tanggung jawab

Negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan dari pemerintah

daerah dan masyarakat. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut

adalah pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan

17  

pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan

SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat dengan menjamin bahwa

peserta didik tidak terbebani oleh biaya pendidikan.

18  

Gambar 1.1

Model Evaluasi Kebijakan Grindle:

Sumber: Samodra,Wibawa (1994 : 23)

TUJUAN KEBIJAKAN

Pelaksanaan kebijakan dipengaruhi oleh:

a. Isi Kebijakan 1. Kepentingan yang dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yang diharapkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Penatalaksanaan program 6. Sumber daya yang dilibatkan b. Konteks Implementasi 1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat. 2. Karaktersitik lembaga dan penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap

TUJUAN YANG INGIN

DI CAPAI

Hasil kebijakan a.Dampak pada masyarakat, individu dan kelompok b.Perubahan dan peneri- maan oleh masyarakat.

Program aksi dan proyek individu yang didesain dan dibiayai.

 

Program yang dijalankan seperti yang direncanakan.

19  

Dalam kerangka teori Grindle, guna menganalisa evaluasi kebijakan

dana bantuan operasional sekolah di SDN 7 Kebumen pertama perlu

menganalisis bagaimana dampak yang dirasakan masyarakat, kelompok atau

individu setelah kebijakn ini diimplementasikan. Atau mungkin perubahan

dan penerimaan masyarakat terhadap kebijakan ini. Setelah mengetahui hasil

implementasi yang dilihat dari segi dampak dan perubahan tadi kemudian

dikaitkan dengan tujuan awal hadirnya kebijakan BOS ini.

Tahapan selanjutnya adalah mencari tahu penyebab gagal atau

keberhasilan implementasi kebijakan dengan melihat dari konten kebijkan

dan konteks kebijkannya. Konten kebijakan dibagi menjadi tiga lokus utama.

Dilihat dari bagaimana implentor menjalankan peran dan tugasnya, apakah

sudah sesuai dengan JUTLAK dan JUKNIS. Kedua, apakah regulasi yang ada

tepat untuk memastikan implementor menjalankan peran dan tanggung

jawabnya masing-masing. Ketiga, terkait dengan apakah dukungan politik

atau regulasi yang ada mampu memastikan kebijakan publik dilakukan

dengan tepat.

Selanjutnya, untuk konteks kebijkanpun dibagi menjadi tiga lokus

utama. Pertama, apakah implementor mampu merespon konteks kebijakan

secara progresif. Kedua, Apakah regulasi yang ada mampu merespon konteks

kebijkan secara progresif dan tanggap. Ketiga, apakah terdapat dukungan

politik atau regulasi untuk merespon konteks.

20  

F. Definisi Konseptual

1. Kebijakan Publik, adalah kebijakan atau keputusan yang di ambil

pemerintah yang memiliki wewenang dan sifatnya mengikat atas sebuah

permasalahan tertentu atau atas wilayah tertentu yang mempunyai

implikasi kepada masyarakat luas.

2. Kebijakan Program Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), adalah

suatu kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi kebijakan

dalam perluasan dan pemerataan akses pendidikan, khususnya dalam

mendukung program wajib belajar pendidikan dasar (Wajar Dikdas)

sembilan tahun.

3. Evaluasi Kebijakan, analisa dampak terhadap kesesuaian tujuan kebijakan

yang telah diimplementasikan.

G. Definisi Operasional

1. Evaluasi Kebijakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan adalah konten (isi) kebijakan dan konteks kebijakan. Isi

kebijakan, indikatornya adalah:

Kepentingan publik yang dipengaruhi oleh kebijakan.

Tingkat perubahan yang dikehendaki dari implementasi kebijakan.

Manfaat dari perubahan yang di kehendaki.

Kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia pelaksana kebijakan.

Struktur pemerintah pelaksana kebijakan yang jelas.

Konteks kebijakan, indikatornya adalah:

21  

Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung implementasi kebijakan.

Sikap dan persepsi pelaksana kebijakan dalam pencapaian tujuan

kebijakan.

Derajat koordinasi dan komunikasi antar bidang dalam pelaksanaan

tugas.

Pembagian kewenangan dalam hal pelaksanaan implementasi

kebijakan.

2. Kebijakan Program Dana BOS indikatornya sesuai dengan JUKNIS

dan JUTLAK kebijakan dalam peraturan Menteri Pasal 3:

Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan

Dana BOS Tahun Anggaran 2013 sebagaimana tercantum dalam

Lampiran I Peraturan Menteri.

Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan

Dana BOS untuk Sekolah Indonesia di Luar Negeri Tahun Anggaran

2013 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri.

3. Keberhasilan Implementasi indikatornya,

Implementasi dilakukan dengan mempertimbangkan variabel

administrtif serta politik.

Proses Implementasi dilakukan sesuai dengan Juknis dan Jutlak yang

telah di tetapkan.

Adanya kesesuaian antara tujuan dan outcomenya.

22  

H. Metodologi Penelitian

H.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian

studi kasus (case study). Penggunaan case study dalam penelitian ini menurut

saya dapat menjadi metode yang tepat dalam penulisan penelitian ini. Dengan

case study ini saya bisa lebih mengeksplorasi lagi kasus yang saya pilih.

Selain itu penggunaan case study ini di maksudkan untuk dapat melihat

fenomena di balik sebuah kasus. Sehingga, apa yang menjadi tujuan pada

penelitian ini, yakni melihat lebih jauh lagi motif ataupun fenomena dalam

kasus tersebut.

H.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya untuk memperoleh data, saya melakukan wawancara, dan

studi pustaka. Wawancara sendiri akan saya tujukan pada beberapa pihak

yang relevan dalam kasus ini. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah: dari

Kepala Sekolah SD Negeri 7 Kebumen yang notabene merupakan aktor

utama yang mengatur pengelolaan pendanaan Dana BOS.

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kecamatan Kebumen, yang

mana pihak tersebut adalah mengeluarkan surat untuk pengambilan Dana Bos

dari pusat. Kemudian mewawancarai pihak Komite Sekolah, yang

anggotanya terdiri dari beberapa wali murid dan tokoh-tokoh yang di tunjuk.

Selain itu dalam rangka memperoleh data sayapun berpengangan pada

literature yang relevan. Seperti literature yang berhubungan dengan kebijakan

23  

publik seperti buku yang di tulis Nicholas Evans dalam bukunya yang

berjudul Sang Penerjun.

H.3 Jenis Data

1. Data Primer, yaitu data-data yang langsung diperoleh dari sumber-

sumber informasi termasuk dari informan penelitian.

2. Data sekunder, yaitu data-data yang diperoleh melalui studi literatur atau

kajian pustaka, data tentang Program Dana Bantuan Operasional Sekolah,

serta data lain yang relevan dengan objek penelitian.

H.4 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Sekolah Dasar Negeri 7 Kebumen. Yang

terletak di Kecamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

I. Sistematika Penulisan

Bab I membahas tentang pendahuluan, di dalam pendahuluan tersebut

akan dijelaskan alasan pentingnya membahas tema yang sedang ingin diteliti,

latar belakang dari timbulnya permasalahan yang sedang diangkat dan di kaji

dalam tema penelitian, yang didukung dengan kerangka teori sebagai dasar

dalam menjelaskan jabaran dari rumusan masalah, serta metode pengumpulan

data sebagai teknik dalam mengumpulkan, mengkaji, dan menganalisis data

untuk disajikan kedalam bentuk pembahasan.

Bab II Menjabarkan gambaran kebijakan Program Dana BOS di

Kabupaten Kebumen. Selain itu, pada bab ini dipaparkan profil Sekolah

Dasar Negeri 7 Kebumen, serta pembahasan hasil implementasi kebijakan.

24  

Bab III menganalisa konten kebijakan serta analisa faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan program dana BOS di SDN 7

Kebumen dilihat dari konten kebijakan.

Bab IV menganalisa konteks kebijakan serta analisa faktor-faktor yang

mempengaruhi implementasi kebijakan program dana BOS di SDN 7

Kebumen dilihat dari konteks kebijakan.

Bab V. merupakan kesimpulan yang diperoleh dari bab-bab yang telah

dijelaskan sebelumnya.