bab 1, 2 , 3 dafpus

30
BAB I PENDAHULUAN Fraktur didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G., 2001) atau setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J., Roux G & Lockhart R, 2001). Fraktur tulang panjang adalah terputusnya kontinuitas atau diskontinuitas jaringan tulang akibat adanya suatu trauma pada tulang- tulang panjang seperti femur, tibia, fibula, ulna, humerus, dan radius. Fraktur merupakan masalah yang seringkali terjadi dan banyak menyita perhatian masyarakat. Kasus-kasus patah tulang seringkali dijumpai pada kecelakaan lalu lintas, misalnya pada saat arus mudik, dan arus balik hari-hari besar keagamaan. Selain itu juga seringkali terjadi pada kecelakaan olahraga, pada manula, dan pada orang-orang dengan penyakit yang dapat merusak tulang. Sebagian besar fraktur disebabkan oleh beban yang tiba-tiba dan berlebihan, misalnya dapat berupa penekukan, pemuntiran, patah miring atau penarikan. Sebagai proses untuk mengembalikan bentuk tulang ke kondisi awal perlu dilakukan operasi dengan memasangkan pen pada bagian tulang yang patah. Pemasangan pen dimaksudkan untuk mempertahankan kedudukan tulang dalam 1

description

radiologi

Transcript of bab 1, 2 , 3 dafpus

Page 1: bab 1, 2 , 3 dafpus

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas tulang dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G., 2001) atau setiap

retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves C.J., Roux G & Lockhart R,

2001). Fraktur tulang panjang adalah terputusnya kontinuitas atau diskontinuitas

jaringan tulang akibat adanya suatu trauma pada tulang-tulang panjang seperti

femur, tibia, fibula, ulna, humerus, dan radius. Fraktur merupakan masalah yang

seringkali terjadi dan banyak menyita perhatian masyarakat. Kasus-kasus patah

tulang seringkali dijumpai pada kecelakaan lalu lintas, misalnya pada saat arus

mudik, dan arus balik hari-hari besar keagamaan. Selain itu juga seringkali terjadi

pada kecelakaan olahraga, pada manula, dan pada orang-orang dengan penyakit

yang dapat merusak tulang.

Sebagian besar fraktur disebabkan oleh beban yang tiba-tiba dan

berlebihan, misalnya dapat berupa penekukan, pemuntiran, patah miring atau

penarikan. Sebagai proses untuk mengembalikan bentuk tulang ke kondisi awal

perlu dilakukan operasi dengan memasangkan pen pada bagian tulang yang patah.

Pemasangan pen dimaksudkan untuk mempertahankan kedudukan tulang dalam

posisi yang benar (anatomis) sampai proses penulangan terjadi. Tujuan

pemasangan pen agar penderita lebih cepat melakukan aktifitas sehabis operasi

dengan bantuan atau tanpa bantuan alat bantu. Namun, dalam melakukan

pemasangan pen, perlu diperhatikan tata cara (kriteria) dalam pemasangannya

karena bila dilakukan dengan tidak benar dapat menimbulkan berbagai macam

masalah dan komplikasi pasca pemasangan pen pada kasus-kasus fraktur.

Penegakan diagnosis fraktur dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik, yang ditunjang dengan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan pencitraan

diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis fraktur dan mengevaluasi

komplikasi yang terjadi dalam rangka menunjang pengambilan keputusan terapi

pada pasien.

1

Page 2: bab 1, 2 , 3 dafpus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fraktur Tulang Panjang

2.1.1. Anatomi

Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis

sebagai daerah pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang

pada dewasa, sehingga epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah

pertumbuhan memanjang tulang akan berhenti.

Tulang panjang terdiri dari: epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis

merupakan bagian paling atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian

yang lebih lebar dari ujung tulang panjang, yang berdekatan dengan diskus

epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian tulang panjang yang di bentuk

dari pusat osifikasi primer.

Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang

mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses

pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai

arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh darah inilah yang menentukan

berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.

2.1.2. Definisi

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur tulang

panjang adalah terputusnya kontinuitas atau diskontinuitas jaringan tulang akibat

adanya suatu trauma pada tulang-tulang panjang seperti femur, tibia, fibula, ulna,

humerus, dan radius. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa

trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah

tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh

bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal

patah.

2

Page 3: bab 1, 2 , 3 dafpus

Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan

arahnya. Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat

menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut

patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi dapat

menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

2.1.3. Klasifikasi

Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan

dunia luar dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur

tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit

diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka. Patah tulang terbuka dibagi

menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berta

ringannya patah tulang.

Deraja

t

Luka Fraktur

I Laserasi <2 cm Sederhana, dislokasi fragmen

minimal

II Laserasi >2 cm, kontusi otot

disekitarnya

Dislokasi fragmen jelas

III Luka lebar, rusak hebat, atau hilangnya

jaringan di sekitarnya

Kominutif, segmental,

fragmen tulang ada yang

hilang

Tabel 1. Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson

(1976).

Tipe Batasan

I Robekan kulit dengan kerusakan kulit otot, luka bersih, kurang dari 1

3

Page 4: bab 1, 2 , 3 dafpus

cm panjangnya

II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat. Seperti

grade I namun disertai memar kulit dan otot, luka lebih luas tanpa

kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.

III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental

terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur

terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan fraktur yang 

lebih dari 8 jam setelah kejadian.

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh

Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):

Tipe Batasan

IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan

jaringan lunak yang luas

IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi  berat, periosteal

striping atau terjadi bone expose

IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat

kerusakan jaringan lunak.

Fraktur tidak selalu disebabkan oleh trauma yang berat, trauma yang

ringan saja dapat menimbulkan fraktur bila tulangnya sendiri sudah terkena

penyakit tertentu. Oleh karena itu dikenal juga berbagai jenis fraktur:

1. Fraktur disebabkan trauma yang berat

2. Fraktur patologik: Fraktur yang terjadi pada tulang yang sebelumnya

telah mengalami proses patologik, misalnya tumor tulang primer atau

sekunder, mieloma multipel, kista tulang, dan osteomielitis sehingga

trauma ringan saja sudah dapat menimbulkan fraktur.

4

Page 5: bab 1, 2 , 3 dafpus

3. Fraktur stress: Fraktur ringan yang terus menerus, misalnya fraktur

march pada metatarsal, fraktur tibia pada penari balet, dan fraktur

fibula pada pelari jarak jauh.

Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur komplet atau

inkomplet (termasuk fisura dan greenstick fracture), transversa, oblik, spiral,

kompresi, simpel, kominutif, segmental, kupu-kupu, dan impaksi (termasuk

impresi dan inklavasi.

Gambar 1. Mekanisme Patah Tulang. (a) Spiral (berputar); (b) Oblik/serong

(kompresi); (c) Triangular butterfly fragment/kupu-kupu (membengkok);

(d) Transversal/lintang (mengencang)

Gambar 2. Jenis Patah tulang. Fraktur komplet : (a) Transversal; (b) Segmental;

(c) Spiral. Fraktur inkomplete : (d) Buckle/torus/melengkung; (e,f) greenstick.

5

Page 6: bab 1, 2 , 3 dafpus

o Location Menjelaskan mengenai lokasi tulang dimana terjadinya

fraktur

o Displacement

Translation Angulation Shortenin

6

Page 7: bab 1, 2 , 3 dafpus

American Orthopedic classification

Type A fracture are extra-artucular

1 - Avulsion fracture

2 - Complete fracture

3 - Comminuted fracture

Type B fracture are intra-artucular single condyle fractures

1 - Simple

2 - Crush/depression

3 - Comminuted - split depression

7

Page 8: bab 1, 2 , 3 dafpus

Type C fractures are intra-artucular both condyle fractures 6

1 - Simple

2 - Crush/depression

3 - Comminuted - split depression

Fraktur diklasifikasikan menjadi :

1. Berdasarkan garis patah tulang

a. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya

bengkok.

b. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.

c. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.

d. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut

melintasi tulang

8

Page 9: bab 1, 2 , 3 dafpus

2. Berdasarkan bentuk patah tulang

a. Complet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan

fragmen tulang biasanya tergeser.

b. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.

c. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah

permukaan tulang lain.

d. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.

e. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi

beberapa bagian.

f. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.

g. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan

dari tempat yang patah.

h. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya

yang normal.

i. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang

terlihat.

9

Page 10: bab 1, 2 , 3 dafpus

Salter-Harris classification Berhubungan pada kasus fraktur pada anak-anak

I. Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih

utuh.

II. Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama

sekali dari metafisis.

10

Page 11: bab 1, 2 , 3 dafpus

III. Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi

IV. fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram epifisis

V. Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian

dari sebagian cakram tersebut.

Berdasarkan lokasinya, fraktur dapat mengenai bagian proksimal (plateau),

diaphyseal (shaft), maupun distal. Berdasarkan proses osifikasinya, tulang

panjang terdiri dari bagian diafisis (corpus/shaft) yang berasal dari pusat

penulangan sekunder. Epifisis ini terletak di kedua ujung tulang panjang. Bagian

dari diaphysis yang terletak paling dekat dengan epifisis disebut metafisis, yaitu

bagian dari korpus tulang yang melebar. Fraktur dapat terjadi di 3 bagian ini.

11

Page 12: bab 1, 2 , 3 dafpus

Berpindahnya fragmen tulang dari tempatnya semula disebut

displacement. Displacement ini dibagi menjadi 4, yaitu:

1. Aposisi

Aposisi merupakan suatu keadaan dimana fragmen tulang mengalami

perubahan letak sehingga terjadi perubahan dalam kontak antara fragmen

tulang proksimal dan distal. Pada pemeriksaan radiologik, aposisi dinyatakan

dalam persentase kontak antara fragmen proksimal dan distal. Jadi, misalnya

dari hasil pemeriksaan rontgen terlihat bahwa tidak ada kontak sama sekali

antara permukaan fragmen proksimal dengan distal maka dinyatakan aposisi

0%, disebut juga aposisi komplet. Kalau kontak masih terjadi disebut aposisi

parsial, misalnya aposisi 80%, berarti 80% permukaan fragmen proksimal

masih kontak dengan fragmen distal.

2. Alignment

Alignment merupakan suatu kondisi miringnya fragmen tulang panjang

sehingga arah aksis longitudinalnya berubah. Apabila antara aksis

longitudinal fragmen proksimal dan distal membentuk sudut maka disebut

angulasi. Pada pemeriksaan radiologi, angulasi ini dinyatakan dalam derajat.

3. Rotasi

Rotasi adalah berputarnya fragmen tulang pada aksis longitudinalnya,

misalnya fragmen distal mengalami perputaran terhadap fragmen proksimal.

4. Length (panjang)

Length dapat dibagi menjadi 2, yaitu overlapping (tumpang tindihnya tulang)

yang menyebabkan pemendekan (shortening) tulang serta distraksi yang

menyebabkan tulang memanjang.

12

Page 13: bab 1, 2 , 3 dafpus

Ada jenis fraktur yang patahnya tidak disebabkan oleh trauma, tetapi

disebabkan oleh adanya proses patologis, misalnya tumor, infeksi, atau

osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang, dan

disebut fraktur patologis.

Ada juga fraktur, yang biasanya berbentuk fisura, yang disebabkan oleh

beban lama atau trauma ringan yang terus menerus yang disebut fraktur kelelahan.

Hal ini misalnya terjadi pada tungkai bawah di tibia atau tulang metatarsus pada

tentara, penari, atau olahragawan yang sering berbaris atau berlari. Akan tetapi,

fisura tulang lebih sering disebabkan cedera.

Sehubungan dengan patofisiologi dan perjalanan penyakitnya, fraktur juga

dibagi atas dasar usia pasien, yaitu fraktur pada anak-anak, fraktur pada orang

dewasa, dan fraktur pada orang tua. Pola anatomis kejadian fraktur dan

penanganannya pada ketiga golongan umur tersebut berbeda. Orang tua lebih

sering menderita fraktur pada tulang yang osteoporotic, seperti vertebra atau

kolum femur; orang dewasa lebih banyak menderita fraktur tulang panjang,

sedangkan anak jarang menderita robekan ligament. Penanganan fraktur pada

anak membutuhkan pertimbangan bahwa anak masih tumbuh. Selain itu,

kemampuan penyembuhan anak lebih cepat dan karena itulah pemendekan serta

perubahan bentuk akibat patah lebih dapat ditoleransi pada anak. Pemendekan

dapat ditoleransi karena pada anak terdapat percepatan pertumbuhan tulang

13

Page 14: bab 1, 2 , 3 dafpus

panjang yang patah. Perubahan bentuk dapat ditoleransi karena anak mempunyai

daya penyesuaian bentuk yang lebih besar.

Satu bentuk fraktur yang khusus pada anak adalah fraktur yang mengenai

cakram pertumbuhan. Fraktur yang mengenai cakram epifisis ini perlu mendapat

perhatian khusus karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Fraktur

cakram epifisis ini dibagi menjadi lima tipe.

Tipe 1 Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis, tetapi

periosteumnya masih utuh

Tipe 2 Periosteum robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis

lepas sama sekali dari metafisis

Tipe 3 Fraktur cakram epifisis yang melalui sendi

Tipe 4 Terdapat fragmen fraktur yang garis patahannya tegak lurus

cakram epifisis

Tipe 5 Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang

menyebabkan kematian dari sebagian cakram tersebut

2.1.4. Tanda dan Gejala

1. Look ( Inspeksi )

Adanya pembengkakan, memar, dan deformitas (penonjolan abnormal,

angulasi, rotasi, dan diskrepensi). Jika ada kulit robek atau terluka dan

berhubungan dengan fraktur fraktur terbuka.

2. Feel ( Palpasi )

Nyeri tekan setempat, krepitasi, dan jika fraktur pada tulang mengenai

pembuluh darah mungkin bisa menyebabkan pulsasi arteri dibagian distalnya

berkurang.

3. Move ( Pergerakan)

Menilai adanya krepitasi saat bergerak, nyeri saat bergerak, dan berkurangnya

ROM.

14

Page 15: bab 1, 2 , 3 dafpus

2.1.5. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan Sinar X untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau

luasnya trauma. Diperiksa harus dengan menggunakan minimal dua posisi

yaitu antero-posterior dan lateral.

2. Pemeriksaan darah rutin

Hb untuk melihat ada dan tidaknya penurunan dan untuk keperluan transfusi

darah. Leukosit untuk melihat infeksi atau tidak.

2.1.6. Tatalaksana

1. Penilaian awal

a. Airway

Membuka jalan nafas dengan menggunakan manuver head tilt, chin lift,

dan jaw thrust atau tripple airway manuver.

Jika ada sesuatu yang menyebabkan sumbatan maka dikeluarkan bisa

dengan menggunakan suction (darah atau lendir) atau secara manual

dengan menggunakan tangan. Selain itu posisikan pasien miring.

Pasang guedel atau lakukan intubasi.

b. Breathing

Pemberian oksigenasi dengan menggunakan kanul atau masker sesuai

dengan kebutuhan oksigen pasien.

c. Circulation

Pemberian cairan infus terutama jika ada perdarahan (gunakan larutan

kristaloid contohnya RL dan RA).

Pemasangan Dauer kateter.

Kontrol perdarahan pemasangan balut cincin dan penstabilan fraktur

dengan menggunakan bidai.

2. Penatalaksanaan fraktur

a. Terbuka

Penanganan dini

Penutupan luka hingga sampai ke kamar bedah. Pemberian antibiotik 6

– 48 jam pertama biasanya digunakan kombinasi benzilpenisilin dan

15

Page 16: bab 1, 2 , 3 dafpus

fluklosasilin, jika kontaminasi parah maka ditambah dengan gentamisin

atau metronidazol dan pemberian diperpanjang hingga 4 atau 5 hari.

Debridemen

Melakukan eksisi pada bagian kulit disekitar luka, otot yang

kemungkinan telah mati atau mati, dan permukaan fraktur ditempatkan

kembali pada posisi yang benar, fragmen tulang boleh dibuang jika

tulang kecil dan terpisah.

Penutupan luka

Jika fraktur terbuka derajat I - II dan kontaminasi sangat minimal bisa

langsung dilakukan penjahitan atau pencangkokan kulit. Jika luka

derajat III, luka dibiarkan terbuka dulu hingga bahaya infeksi telah

lewat. Luka tadi cukup ditutup dengan menggunakan kassa steril dan

setelah masa bahaya infeksi lewat maka dapat dilakukan penjahitan dan

pencangkokan kulit.

Stabilisasi fraktur

Jika derajat I dan II dengan fraktur yang stabil bisa dengan

menggunakan gips, atau untuk femur dapat digunakan traksi pada

bebat. Derajat III harus menggunakan fiksasi eksternal contohnya

pemasangan pen intramedula (untuk femur dan tibia).

b. Tertutup

Reduksi

Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada

kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah

reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di

pilih bergantung sifat fraktur.

- Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang

ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi

dan traksi manual.

- Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan

imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang

terjadi.

16

Page 17: bab 1, 2 , 3 dafpus

- Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang

direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup,

plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk

mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi.

Immobilisasi

Setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi  atau di

pertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang benar sampai terjadi

penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau

inernal. Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi

kontinui, pin dan teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal

dapat dilakukan implan logam yang berperan sebagai bidai inerna untuk

mengimobilisasi fraktur. Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan

sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trohanterik 10-

12 minggu, batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.

Rehabilitasi

Mempertahankan  dan mengembalikan fungsi, segala upaya  diarahkan

pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;

- Mempertahankan reduksi dan imobilisasi

- Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan

- Memantau status neurologi.

- Mengontrol kecemasan dan nyeri

- Latihan isometrik dan setting otot

- Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari

- Kembali keaktivitas secara bertahap.

17

Page 19: bab 1, 2 , 3 dafpus

BAB III

KESIMPULAN

Nekrosis avaskular  adalah kematian jaringan tulang karena kekurangan

suplai darah. Nama lain dari nekrosis avasular adalah osteonekrosis, nekrosis

aseptik dan nekrosis iskemik. Nekrosis avaskular dapat menyebabkan tulang

menjadi rapuh sehingga menjadi kolaps. Pemeriksaan pencitraan radiaografi yang

dapat dilakukan ialah foto polos, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan

radionuklir. Pemeriksaan tersebut dapat memudahkan dokter dalam menegakkan

diagnosis AVN. Pada foto polos AVN pada fase awal tidak ditemukan kelainan.

Pada AVN fase ringan sampai sedang. Pada foto polos menunjukkan adanya

sklerosis dan perubahan densitas tulang. Pada fase lanjut deformitas tulang terlihat

merata, radiolusen subkondral (tanda bulan sabit) dan kepala femur yang kollaps.

Pada MRI Perubahan tulang iskemik menjadi jelas dalam jaringan

hematopoietik dalam waktu 6-12 jam. Iskemia terdeteksi dalam osteofit,

osteoblas, dan osteoklas dalam waktu kurang lebih 2 hari. Respon inflamasi yang

mengelilingi tulang devaskular, yang dihasilkan dari peningkatan vaskularisasi

dan jaringan granulasi.

Pada scanning menggunakan radionuklida, ditemukan pada radionuklida

panggul menunjukkan berkurangnya penyerapan tulang, zona dikepala femur

terjadi peningkatan, radionuklida knee joint menunjukkan peningkatan akumulasi

19

Page 20: bab 1, 2 , 3 dafpus

isotop pada tibia, radionuklida pada humrus menunjukkan hot-lesion hasil

revaskularisasi yang merupakan proses reparatif.

Radionuclide mendeteksi lebih dini dari radiologi konvensional (foto

polos) tapi kurang sensitiv dibanding MRI. Hanya ketika MRI tidak dapat di

lakukan atau ketika MRI hasilnya tidak jelas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit dalam Gangguan Sistem Muskuloskletal dan

Jaringan Ikat. Jakarta. EGC. 2005

2. Sjahriar Rasad. Radiologi Diagnostik. Edisi II. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

3. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta. Yarsif Watampone.

2007. Hal. 275-315.

4. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta.

EGC. 2004.

5. Lawson-Ayayi S, Bonnet F, Bernardin E, et al. Avascular necrosis in HIV-

infected patients: a case-control study from the Aquitaine Cohort, 1997-

2002, France. Clin Infect Dis. Apr 15 2005;40(8):1188-93.

6. Aaron RK, Voisinet A, Racine J, Ali Y, Feller ER, Avascular necrosis:

case control study from the aquitane cohort, 1997-2002, france. Clin infect

Dis. Apr 15 2005 ; 40 (8) :1189-93

7. Wang GJ, Sweet DE, Reger SI, et al. Fat-cell changes as a mechanism of

avascular necrosis of the femoral head in cortisone-treated rabbits. J Bone

Joint Surg Am. Sep 1977;59(6):729-35.

20

Page 21: bab 1, 2 , 3 dafpus

8. Bagan JV, Murillo J, Jimenez Y, et al. Avascular jaw osteonecrosis in

association with cancer chemotherapy: series of 10 cases. J Oral Pathol

Med. Feb 2005;34(2):120-3.

9. Lawson-Ayayi S, Bonnet F, Bernardin E, et al. Avascular necrosis in HIV-

infected patients: a case-control study from the Aquitaine Cohort, 1997-

2002, France. Clin Infect Dis. Apr 15 2005;40(8):1188-93.

10. Aaron RK, Voisinet A, Racine J, Ali Y, Feller ER. Corticosteroid-

associated avascular necrosis: dose relationships and early diagnosis. Ann

N Y Acad Sci. Dec 2011;1240(1):38-46.

11. Marti-Carvajal A, Dunlop R, Agreda-Perez L. Treatment for avascular

necrosis of bone in people with sickle cell disease. Cochrane Database

Syst Rev. Oct 18 2004;CD004344.

12. Assouline-Dayan Y, Chang C, Greenspan A, et al. Pathogenesis and

natural history of osteonecrosis. Semin Arthritis Rheum. Oct

2002;32(2):94-124.

13. Imhof H, Breitenseher M, Trattnig S, et al. Imaging of avascular necrosis

of bone. Eur Radiol. 1997;7(2):180-6.

21

Page 22: bab 1, 2 , 3 dafpus

22