Asumsi Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam
-
Upload
boneeta-bfashion -
Category
Documents
-
view
95 -
download
16
Transcript of Asumsi Rasionalitas Dalam Ekonomi Islam
ASUMSI RASIONALITAS DALAM EKONOMI ISLAM
(Oleh :Gusti Pelita Dewi)
Mahasiswa Jurusan Syariah dan ekonomi Islam ( IAIN ) Bengkulu
Abstrak
Sekalipun jarang diungkapkan atau bahkan sengaja disembunyikan oleh
buku-buku teks ekonomi konvensional, pada hakekatnya asumsi-asumsi tertentu telah
berfungsi sebagai landasan bagi teori-teori mereka. Ketidakterusterangan dalam
persoalan ini bisa saja dipicu oleh kepercayaan Barat bahwa apa yang menjadi nilai
bagi mereka sebenarnya berlaku juga bagi masyarakat lain. Tokoh ekonom Barat
yang paling egaliter semacam Gunnar Myrdal sekalipun masih menyimpan sikap
etnosentris yang menganggap bahwa nilai-nilai yang menjadi pondasi kemajuan
ekonomi Barat sebenarnya sangat asing bagi masyarakat Asia. Karena itulah perlu
kiranya kita menjelaskan di sini bebarapa asumsi yang memiliki implikasi dalam
aspek penawaran.
Dalam perspektif ekonomi Islam, manusia diinjeksi dengan norma moral
Islam sehingga nafsu untuk memenuhi keinginannya tidak selalu dipenuhi. Demikian
juga cara untuk memenuhi keinginan tersebut senantiasa dikaitkan dengan norma
moral Islam yang sellau menemaninya ke mana saja dan di mana saja. Karena itu,
semua barang dan jasa yang diproduksi dan ditawarkan ke pasar mencerminkan
kebutuhan riil dan sesuai dengan tujuan syariah itu sendiri (maqoshidu syariah).
Dalam perspektif ini tidak dimungkinkan produksi barang yang tidak berguna secara
syar’i.
Kedua, rasionalitas. Asumsi kedua ini merupakan turunan dari asumsi yang
pertama. Jika ilmu ekonomi konvensional melihat bahwa manusia adalah economic
man yang selalu didorong untuk melampiaskan keinginannya dengan cara apapun,
maka asumsi rasionalitas merupakan ruhnya yang mengilhami seluruh usahanya
dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut. Selama manusia menguras tenaga
dan pikirannya untuk memenuhi keinginannya dengan cara apapun, ia adalah
makhluk rasional. Ketika produsen berusaha memaksimalkan keuntungan an sich,
dengan mengabaikan tanggung jawab sosial, ia adalah makhluk rasional dan tidak
perlu dikhawatirkan. Begitu juga dengan konsumen yang ingin memaksimalkan nilai
1
guna (utility) ketika membeli suatu produk, maka ia berjalan pada jalur rasionalitas
dan hal itu secara ekonomi adalah baik.
Dalam perspektif ekonomi Islam, asumsi ini tetap menjadi acuan tetapi
dengan beberapa catatan dan tambahan. Adanya injeksi norma moral Islam akan
menjadi pelita bagi tiap-tiap agen ekonomi untuk bertindak rasional tetapi dalam
kerangka nilai-nilai Islam. Gaya hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan dalam
memproduksi dan mengkonsumsi serta selalu memperhatikan batas halal dan haram
merupakan rambu-rambu yang akan memberikan teguran kepada Islamic.
Keyword : Asumsi, rasionalitas, ekonomi, islam
2
PEMBAHASAN
Yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah asumsi bahwa manusia
berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat
keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk.
A. Asumsi Rasionalitas
1. Jenis Rasionalitas Ada dua jenis rasionalitas
a. Self interest rationality (Rasionalitas Kepentingan Pribadi)
Prinsip pertama dalam ilmu ekonomi menurut Edgeworth, adalah bahwa
setiap pihak digerakkan hanya oleh self interest. Hal ini mungkin saja
benar pada masa-masa Edgeworth, tapi salah satu pencapaian dari teori
utilitas modern adalah pembebasan ilmu ekonomi dari prinsip pertama
yang meragukan tersebut.
Self interest tidak harus selalu berarti memperbanyak kekayaan
seseorang dalam satuan rupiah tertentu. Kita berasumsi bahwa individu
mengejar berbagai tujuan, bukan hanya memperbanyak kekayaan secara
moneter. Dengan demikian self interest sekurang-kurangnya mencakup
tujuan-tujuan yang berhubungan dengan prestise, persahabatan, cinta,
kekuasaan, menolong sesama, penciptaan karya seni, dan banyak lagi.
Kita dapat juga mempertimbangkan self interestyang tercerahkan, di mana
individu-individu dalam rangka untuk mencapai sesuatu yang menjadikan
mereka lebih baik, pada saat yang sama membuat orang-orang di
sekelilingnya menjadi lebih baik pula.
b. Present-aim rationality
Teori utilitas modern yang aksiomatis tidak berasumsi bahwa manusia
bersikap mementingkan kepentingan pribadinya(self interested). Teori ini
hanya berasumsi bahwa manusia menyesuaikan preferensinya dengan
3
sejumlah aksioma: secara kasarnya preferensi-preferensi tersebut
harus konsisten. Individu-individu menyesuaikan dirinya dengan aksioma-
aksioma ini tanpa harus menjadi self interested.
2. Aksioma-Aksioma Pilihan Rasional
Terdapat tiga sifat dasar:
a. Kelengkapan (Completeness)
Jika individu dihadapkan pada dua situasi, A dan B, maka ia dapat selalu
menentukan secara pasti salah satu dari tiga kemungkinan berikut ini:
A lebih disukai daripada B
B lebih disukai daripada A
A dan B keduanya sama-sama disukai.
b. Transitivitas (Transitivity)
Jika bagi seseorang "A lebih disukai dari pada B" dan "B lebih disukai
dari pada C", maka baginya "A harus lebih disukai dari pada C". Asumsi
ini menyatakan bahwa pilihan individu bersifat konsisten secara internal.
c. Kontinuitas (Continuity)
Jika bagi seseorang "A lebih disukai dari pada B",maka situasi-situasi
yang secara cocok "mendekati A", harus juga lebih disukai dari pada B.
3. Asumsi-Asumsi Lainnya Tentang Preferensi
a. Kemonotonan Yang Kuat (Strong Monotonicity
Bahwa lebih banyak berarti lebih baik. Biasanya kita tidak
memerlukan asumsi sekuat ini. Asumsi ini dapat diganti dengan yang
lebih lemah yakni Local Nonsatiation.
b. Local Nonsatiation
Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang dapat selalu berbuat lebih
baik, sekecil apapun, bahkan bila ia hanya menikmati sedikit perubahan
saja dalam "keranjang konsumsinya".
4
c. Konveksitas Ketat (Strict Convexity)
Asumsi ini menyatakan bahwa seseorang lebih menyukai yang rata-
rata dari pada yang ekstrim, tapi selain dari pada makna ini, asumsi ini
memiliki muatan ekonomis yang kecil. Strict convexity merupakan
generalisasi dari asumsi neoklasik tentang "diminishing marginal rates of
substitution".
B. Perspektif Islam Tentang Asumsi Rasionalitas
1. Perluasan Konsep Rasionalitas (untuk Transitivitas)
Pertama-tama, kita berpendapat bahwa self interest rationality yang
diperkenalkan oleh Edgeworth adalah konsep yang lebih baik dalam artian
kita berasumsi bahwa individu mengejar banyak tujuan, bukan hanya
memperbanyak kekayaan secara moneter. Sayangnya konsep ini terlalu
longgar sehingga tindakan apapun dari seseorang dapat dijustifikasi sebagai
rasional hanya karena ia mengklaim bahwa tindakannya didorong oleh self
interest-nya.
Kedua, kita berpendapat bahwa teori modern tentang keputusan
rasional tidak disepakati secara universal. Versi yang berbeda memiliki
aksioma yang berbeda. Tapi kesemuanya sekurang-kurangnya menyepakati
aksioma transitivitas. Transitivitas adalah syarat minimal konsistensi; jika
konsistensi tidak mensyaratkan transitivitas, maka sesungguhnya ia tidak
mensyaratkan apapun. Sebenarnya tidak semua aksioma teori keputusan
rasional merupakan syarat dari konsistensi.
2. Perluasan Spektrum Utilitas (untuk Strong Monotonicity & Local
Nonsatiation)
Dalam perspektif Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik.
Asumsi "lebih banyak lebih baik" hanya benar jika kita harus memilih antara
X halal dan Y halal. Tidak benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y
5
haram, atau X haram dan Y halal, atau X haram dan Y haram. Nilai Islam
tentang halal dan haram membuat kita harus memperluas spektrum utilitas.
a. Melonggarkan Persyaratan Kontinuitas (untuk Kontinuitas)
Mari kita asumsikan bahwa permintaan Y haram dalam keadaan
darurat. Anda dapat membayangkan permintaan terhadap daging babi jika
tidak ada makanan lain yang tersedia. Permintaan terhadap babi ini bukan
merupakan permintaan yang kontinu, melainkan diskrit. Karena itu,
permintaannya adalah permintaan titik (point demand). Berapapun harga
daging babi pada saat itu, permintaannya Qp, yakni sejumlah tertentu
daging babi untuk memenuhi kebutuhan kelangsungan hidup. Untuk
rincian lebih lanjut, lihat Karim.
b. Perluasan Horison Waktu
Perspektif Islam tentang waktu tidak dibatasi hanya pada masa kini.
Islam memandang waktu sebagai horison. Karena itu, analisis statis
sebagaimana dikenal oleh ekonom-ekonom klasik tidak memadai untuk
menerangkan perilaku ekonomi dalam perspektif Islam.
Dalam perspektif Islam, waktu sangat penting dan sangat bernilai.
Nilai waktu tergantung pada bagaimana seseorang memanfaatkan
waktunya. Semakin produktif seseorang memanfaatkan waktunya,
semakin banyak nilai yang diperolehnya Bagi setiap orang, sehari adalah
24 jam, tapi nilai waktunya akan berbeda-beda. Tentu saja, kita dapat
mengukur nilai ini secara moneter.
Ide ini justru merupakan kebalikan dari konsep nilai waktu uang (time
value of money). Dalam Islam waktulah yang bernilai, sementara uang
tidak memiliki nilai waktu. Haruskah barang-barang di masa depan
didiskon? Ya. Ekonom secara khas mendiskon beragam barang-barang
yang dibeli dan dijual di pasar, yang disebut komoditas. Islam tidak
keberatan mengenai hal ini. Namun adalah benar pula bahwa kadangkala
6
ekonom melangkah lebih jauh dalam mendiskonto. Mereka mendiskonto
ketika seharusnya mereka tidak melakukannya.
c. Komoditas yang seharusnya tidak didiskon
Keberatan pertama bukan ditujukan kepada teori metode harga pasar,
tetapi ditujukan pada cara-cara penerapan metode tersebut dalam praktek.
Menurut teori tersebut, setiap komoditi seharusnya didiskon pada tingkat
diskonto masing-masing komoditasnya. Tetapi dalam prakteknya semua
komoditas secara umum dikumpulkan kemudian didiskon pada tingkat
yang sama. Biasanya, semua komoditas didiskon pada tingkat yang
disebut sebagai tingkat bunga "riil", yang merupakan rerata tertimbang
dari masing-masing tingkat bunga dari berbagai komoditas (weighted
average of the own interest rates of various commodities).
Pikirkanlah tentang sumber daya langka yang tidak dapat
direproduksi, yang sama sekali tidak dapat diproduksi. Sumber daya
langka tidak dapat diubah menjadi sumber daya masa depan dalam jumlah
yang lebih besar, dan karenanya sumber-sumber daya ini memiliki tingkat
diskon tersendiri sebesar 0 atau sekitarnya. Ekonom lainnya, Derek
Parfits, yakin bahwa kesejahteraan seharusnya tidak didiskon. John
Broome berkesimpulan bahwa penyelamatan jiwa juga seharusnya tidak
didiskon.
Keberatan kedua adalah bahwa pada banyak proyek, sebagian besar
dari pihak yang berkepentingan tidak terwakili dalam pasar. Banyak
proyek yang akan berdampak pada generasi mendatang pada abad-abad
atau milenium ke depan. Ahli-ahli ekonomi menganjurkan beberapa
komoditas yang seharusnya tidak didiskon. Uang bukanlah komoditas.
Lalu apa yang dapat kita katakan bila uang didiskon?
Time value of money mengatakan bahwa $1 hari ini mempunyai nilai
yang lebih besar dari pada $1 besok karena $1 hari ini dapat
diinvestasikan untuk mendapatkan return yang positif. Di sinilah letak
7
kesalahannya. Investasi selalu memiliki dua kemungkinan: untung atau
rugi. Karenanya return dapat saja positif, dapat pula negatif. Maka
mengapa rumusnya menjadi FV = PV (1 + r)n ? Bukankah ini hanya
merupakan bentuk lain dari rumus pertumbuhan penduduk Pt = Po (1 +
g)t yang diadopsi ke dalam ilmu ekonomi?
8
Kesimpulan
Yang dimaksud dengan asumsi rasionalitas adalah asumsi bahwa manusia
berperilaku secara rasional (masuk akal), dan tidak akan secara sengaja membuat
keputusan yang akan menjadikan mereka lebih buruk.
Jenis Rasionalitas Ada dua jenis rasionalitas
d. Self interest rationality (Rasionalitas Kepentingan Pribadi)
e. Present-aim rationality
Dalam perspektif Islam, lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik.
Asumsi "lebih banyak lebih baik" hanya benar jika kita harus memilih antara X
halal dan Y halal. Tidak benar jika kita harus memilih antara X halal dan Y
haram, atau X haram dan Y halal, atau X haram dan Y haram. Nilai Islam tentang
halal dan haram membuat kita harus memperluas spektrum utilitas.
9
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A Karim, Ir. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : PT. Raja Frafindo Persada. 2007
Monzer Khaf, Ekonomi Islam: Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, Penerjemah Machnun Husein (yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1995)
Joachim Wach, Sociology of Religion (The University of Chicago Press, 1948)
Masyhuri, Teori Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta, Kreasi Wacana,2005
AM.Saefudin, Filsafat, Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Fungsionalisasi Konsep Ekonomi Islam, JKTTI-No. 1-I/Des 1997-Feb 1998
Nasution dkk, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2007
Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Islamisasi Ekonomi Kontemporer, Surabaya, Risalah Gusti, 1999
http://ichsan231.wordpress.com/2007/05/14/asumsi-rasionalitas/
http://rindaasytuti.wordpress.com/2010/06/29/agama-dan-rasionalitas-ekonomi/
10