Asuhan keperawatan pada klien dengan bronkopneumonia
Transcript of Asuhan keperawatan pada klien dengan bronkopneumonia
BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia sebenarnya bukan penyakit baru. American Lung Association
misalnya, menyebutkan hingga tahun 1936 pneumonia menjadi penyebab
kematian nomor satu di Amerika. Penggunaan antibiotik membuat penyakit bisa
di kontrol beberapa tahun kemudian. Namun, tahun 2000 kombinasi pneumonia
dan influenza kembali merajalela dan menjadi penyebab kematian ke tujuh di
negara itu (Setiawan, 2009).
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru
(alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses
infeksi akut pada bronkus ( biasa disebut bronchopneumonia ). Gejala penyakit ini
berupa napas cepat dan sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas
napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih
pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali per menit atau
lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun. Pada anak usia di bawah
2 bulan tidak dikenal diagnosa pneumonia (Setiawan, 2009).
Secara global, sekitar 1,6 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh
penyakit yang disebabkan oleh 'Streptokokus pneumoiae' (pneumococcal disease),
di dalamnya 700.000 hingga satu juta Balita terutama berasal dari negara
berkembang. Dilaporkan, di kawasan Asia - Pasifik diperkirakan sebanyak
860.000 Balita meninggal setiap tahunnya atau sekitar 98 anak setiap jam. Secara
nasional angka kejadian Pneumonia belum diketahui secara pasti, data yang ada
baru berasal dari laporan Subdit ISPA Ditjen P2M-PL Depkes RI tahun 2007.
Dalam laporan tersebut disebutkan, dari 31 provinsi ditemukan 477.429 anak
Balita dengan pneumonia atau 21,52 persen dari jumlah seluruh Balita di
Indonesia. Proporsinya 35,02 persen pada usia di bawah satu tahun dan 64,97
persen pada usia satu hingga empat tahun. Jika dirata-ratakan, sekitar 2.778 anak
meninggal setiap harinya akibat pneumonia (Suriani, 2009).
Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka
kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang,tapi juga di negara maju
1
seperti AS, Kanada dan negara – negara Eropa.Di AS misalnya , terdapat dua juta
sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata – rata
45.000 orang dan angka kematian akibat pneumonia mencapai 25 % di Spanyol
dan 12 % atau 25. 30 per 100.000 penduduk di Inggris. Dari data SEMIC Healt
Statistik 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian nomor 6
di Indonesia, nomor 9 di Brunei, nomor 7 di Malaysia, nomor 3 di
Singapora,nomor 6 di Thailand dan nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO 1999
menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit infeksi di dunia
adalah infeksi saluran nafas akut temtasuk pneumonia (Setiawan, 2009).
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
kardiovaskuler dan tuberkolosis. Faktor social ekonomi yang rendah memper
tinggi angka kematian. Penanggulangan penyakit pneumonia menjadi fokus ketiga
dari program P2ISPA (Penanggulangan Penyakit Infeksi saluran Pernapasan
Akut). Program ini mengupayakan agar istilah Pneumonia lebih dikenal
masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran
informasi tentangpenangulangan Pneumonia (Setiawan, 2009).
2
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Pneumonia adalah inflamasi atau infeksi pada parenkim paru (Betz C,
2002).
Pneumonia adalah peradangan alveoli atau pada parenchim paru yang
terjadi pada anak (Suriadi Yuliani, 2001).
Pneumonia adalah suatu peradangan paru yang disebabkan oleh
bermacam- macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing (Ika,
2001).
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau
beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat
(Whalley and Wong, 1996).
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkan pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
(Smeltzer,2001).
Jadi bronkopnemonia adalah infeksi atau peradangan pada jaringan paru
terutama alveoli atau parenkim yang sering menyerang pada anak – anak.
B. Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah :
1. Faktor Infeksi
a. Pada neonatus : Streptokokus grup B, Respiratory Sincytial Virus
(RSV).
b. Pada bayi :
1) Virus : Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,
Cytomegalovirus.
2) Organisme atipikal : Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
3
3) Bakteri : Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,
Mycobacterium tuberculosa, B. pertusis.
c. Pada anak-anak :
1) Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSP
2) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
3) Bakteri : Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosa.
d. Pada anak besar – dewasa muda :
1) Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia, C. Trachomatis
2) Bakteri : Pneumokokus, B. Pertusis, M. tuberculosis.
2. Faktor Non Infeksi
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi :
a. Bronkopneumonia hidrokarbon
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau
sonde lambung ( zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan
bensin).
b. Bronkopneumonia lipoid
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti latoskizis, pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak
ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan penyakit tergantung
pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang
mengandung asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya
seperti susu dan minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia. Menurut sistem imun pada penderita-penderita
penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum
berkembang pada bayi dan anak, malnutrisi energy protein (MEP), penyakit
menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit ini.
4
C. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak
dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke
dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :
1. Inhalasi langsung dari udara.
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
4. Penyebaran secara hematogen.
Mekanisme daya tahan traktus respiratorius bagian bawah sangat efisien
untuk mencegah infeksi yang terdiri dari :
1. Susunan anatomis rongga hidung
2. Jaringan limfoid di nasofaring
3. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktus respiratorius dan
sekret lain yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut.
Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang
terinfeksi. Drainase sistem limfatis dan fungsi menyaring kelenjar limfe
regional. Fagositosis aksi limfosit dan respon imunohumoral terutama dari
IgA. Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak
kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang
menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang
meliputi empat stadium, yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
5
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler
dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida
maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel
darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host )
sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat
oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga
warna paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun
dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
6
D. Manifestasi Klinis
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 39-40˚C
dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah,
dispnea, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan
sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada
awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada
awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Inspeksi: pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar hidung dan mulut,
retraksi sela iga.
2. Palpasi: Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
3. Perkusi: Sonor memendek sampai beda.
4. Auskultasi: Suara pernafasan mengeras (vesikuler mengeras) disertai ronki
basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada
luasnya daerah yang terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai
adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah
gelembung halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu
(konfluens) mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara
pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki
dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat
terjadi antara 2-3 minggu.
E. Klasifikasi
1. Bronkopneumonia sangat berat
Bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup minum,maka
anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
2. Bronkopneumonia berat
Bila dijumpai adanya retraksi, tanpa sianosis dan masih sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotika.
7
3. Bronkopneumonia
Bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat :
a. Lebih dari 60 x/menit pada anak usia kurang dari 2 bulan
b. Lebih dari 50 x/menit pada anak usia 2 bulan – 1 tahun
c. Lebih dari 40 x/menit pada anak usia 1 - 5 tahun.
4. Bukan bronkopenumonia :
Hanya batuk tanpa adanya tanda dan gejala seperti diatas, tidak
perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotika. Diagnosis pasti dilakukan
dengan identifikasi kuman penyebab:
a. Kultur sputum atau bilasan cairan lambung
b. Kultur nasofaring atau kultur tenggorokan (throat swab), terutama
virus
c. Deteksi antigen bakteri
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto polos: digunakan untuk melihat adanya infeksi di paru dan status
pulmoner
2. Nilai analisa gas darah: untuk mengetahui status kardiopulmoner yang
berhubungan dengan oksigenasi
3. Hitung darah lengkap dan hitung jenis: digunakan untuk menetapkan
adanya anemia, infeksi dan proses inflamasi
4. Pewarnaan gram: untuk seleksi awal anti mikroba
5. Tes kulit untuk tuberkulin: untuk mengesampingkan kemungkinan terjadi
tuberkulosis jika anak tidak berespon terhadap pengobatan
6. Jumlah lekosit: terjadi lekositosis pada pneumonia bakterial
7. Tes fungsi paru: digunakan untuk mengevaluasi fungsi paru, menetapkan
luas dan beratnya penyakit dan membantu memperbaiki keadaan.
8. Spirometri statik digunakan untuk mengkaji jumlah udara yang diinspirasi
9. Kultur darah spesimen darah untuk menetapkan agen penyebab seperti
virus
8
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medik
Sebaiknya pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji
resistensi tetapi hal ini tidak dapat selalu dilakukan dan memakan waktu
yang cukup lama, maka dalam praktek diberikan pengobatan polifarmasi
maka yang biasanya diberikan:
a. Penisilin 50.000 U/kgBB/hari,ditambah dengan kloramfenikol 50-70
mg/kgBB/hari atau diberikan antibiotik yang mempunyai spektrum
luas seperti ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam
4-5 hari.
b. Pemberian oksigen dan cairan intravena, biasanya diperlukan
campuran glukose 5% dan Nacl 0.9% dalam perbandingan 3:1
ditambah larutan KCL 10 mEq/500 ml/botol infus.
c. Karena sebagian besar pasien jatuh kedalam asidosis metabolik akibat
kurang makan dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisa gas
darah arteri.
d. Pasien bronkopnemonia ringan tidak usah dirawat dirumah sakit.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Seringkali pasien pneumonia yang dirawat di rumah sakit datang
sudah dalam keadaan payah, sangat dispnea, pernapasan cuping hidung,
sianosis, dan gelisah. Masalah yang perlu diperhatikan ialah:
a. Menjaga kelancaran pernafasan.
b. Kebutuhan istirahat.
c. Kebutuhan nutrisi dan cairan.
d. Mengontrol suhu tubuh.
e. Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
f. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit.
9
H. Komplikasi
1. Otitis media
2. Bronkiektase
3. Abses paru
4. Empiema
I. Prognosis
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi
didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan
datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui.
Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan
peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi
ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama dengan
infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
J. Pencegahan
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak
dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat
menyebabkan terjadinya bronkopneumonia. Selain itu hal-hal yang dapat
dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kita terhadap
berbagai penyakit saluran nafas seperti: cara hidup sehat, makan makanan
bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin
berolahraga.
10
K. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Riwayat kesehatan
1) Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan sebelumnya : batuk,
pilek, demam.
2) Anorexia, sukar menelan, mual dan muntah.
3) Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti
malnutrisi.
4) Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernapasan
5) Batuk produktif, pernafasan cuping hidung, pernapasan cepat dan
dangkal, gelisah, sianosis
b. Factor fsikologis/ perkembangan memahami tindakan
1) Usia tingkat perkembangan
2) Toleransi/ kemampuan memahami tindakan
c. Koping
d. Pengalaman terpisah dari keluarga / orang tua
e. Pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya
f. Pengetahuan keluarga/ orang tua
1) Tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit saluran
pernapasan
2) Pengalaman keluarga tentang penyakit saluran pernafasan
3) Kesiapan/ kemauan keluarga untuk belajar merawat anaknya
g. Aktivitas/ istirahat
1) Gejala : Kelemahan, kelelahan, insomnia
2) Tanda : Letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas
h. Sirkulasi
1) Gejala : Riwayat gagal jantung kronis
2) Tanda : Takikardi, penampilan keperanan atau pucat
i. Makanan/ Cairan
1) Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual / muntah
11
2) Tanda : Distensi abdomen, hiperaktif bunyi usus, kulit
kering dengan turgor buruk, penampilan malnutrusi
j. Neurosensori
1) Gejala : Sakit kepala dengan frontal
2) Tanda : Perubahan mental
k. Nyeri / Kenyamanan
1) Gejala : Sakit kepala, nyeri dada meningkat dan batuk myalgia,
atralgia
l. Pernafasan
1) Gejala : Riwayat PPOM, merokok sigaret, takipnea,
dispnea, pernafasan dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran
nasal
2) Tanda : Sputum ; merah muda, berkarat atau purulen.
Perkusi; pekak diatas area yang konsolidasi, gesekan friksi pleural.
Bunyi nafas ; menurun atau tak ada di atas area yang terlibat atau
nafas bronkial. Framitus; taktil dan vokal meningkat dengan
konsolidasi.
m. Keamanan
1) Gejala : Riwayat gangguan sistem imun, demam.
2) Tanda : Berkeringat, menggigil berulang, gemetar,
kemerahan, mungkin pada kasus rubela / varisela
2. Data Fokus
a. Data Subyektif
Anak dikeluhkan rewel, tidak mau makan, sesak nafas, terdengar
suara grek-grek, anak mencret.
b. Data Obyektif
Pernafasan cepat dan dangkal , pernafasan cuping hidung, cianosis,
batuk berdahak sputum purulen, penggunaan otot bantu nafas, bunyi
nafas bronchovesikuler, ronchi, respirasi meningkat, peningkatan suhu
12
tubuh, penurunan nafsu makan, muntah malaise, penurunan berat
badan dan lain-lain.
3. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sekret di jalan nafas
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
jalan nafas menjadi bersih
Kriteria:
1) Suara nafas bersih tidak ada ronkhi atau rales, wheezing
2) Sekret di jalan nafas bersih
3) Cuping hidung tidak ada
4) Tidak ada sianosis
Intervensi:
1) Observasi status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate,
penggunaan otot bantu nafas, warna kulit
2) Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
3) Posisikan kepala lebih tinggi
4) Lakukan postural drainage
5) Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi
dada
6) Jaga humidifasi oksigen yang masuk
7) Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya penumpukan
cairan di alveoli paru
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
pertukaran gas dalam alveoli adekuat.
Kriteria:
1) Akral hangat
2) Tidak ada tanda sianosis
13
3) Tidak ada hipoksia jaringan
4) Saturasi oksigen 90-100%
Intervensi:
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Keluarkan lendir jika ada dalam jalan nafas
3) Periksa kelancaran aliran oksigen 5-6 liter per menit
4) Laporkan tanda-tanda hipoksia/ sianosis
5) Awasi tingkat kesadaran klien
c. Hipertermi berhubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh
akibat proses infeksi, toksimea.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
suhu tubuh dalam batas normal (36,5-37,5’C).
Kriteria Hasil :
1) Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
2) Tidak menggigil
3) Nadi dan suhu normal
Intervensi :
1) Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
2) Pantau warna kulit
3) Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan (kompres)
4) Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik dan antipiretik
5) Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap
hari
d. Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan
ketidakadekuatan pertahanan utama, tidak adekuat pertahanan
sekunder (adanya infeksi, penekanan imun)
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
tidak terjadi penyabaran infeksi.
14
Kriteria Hasil :
1) Mencapai waktu perbaikan infeksi berulang tanpa komplikasi
2) Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah / menurunkan
resiko infeksi
Intervensi :
1) Pantau TTV
2) Anjurkan klien memperhatikan pengeluaran sekret dan
melaporkan perubahan warna jumlah dan bau sekret
3) Dorong teknik mencuci tangan dengan baik
4) Dorong keseimbangan istirahat adekuat dengan aktivitas sedang.
5) Berikan antibiotik sesuai indikasi
e. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
klien kembali toleran terhadap aktivitas.
Kriteria Hasil :
1) Melaporkan / menunjukkan peningkatan toleransi terhadap
aktivitas yang dapat diukur dengan tak adanya dispnea,
kelemahan berlebihan dan TTV dalam rentang normal.
Intervensi :
1) Evaluasi respon klien terhadap aktivitas
2) Berikan lingkungan terang dan batasi pengunjung
3) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan
perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat kepada orang tua
4) Bantu pasien memilih posisi yang nyaman untuk istirahat / tidur
5) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan
15
f. Resti nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan
proses infeksi.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil :
1) Menunjukkan peningkatan nafsu makan
2) Berat badan stabil atau meningkat
Intervensi :
1) Indentifikasi faktor yang menimbulkan mual atau muntah
2) Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering
mungkin
3) Auskultasi bunyi usus
4) Berikan makan porsi kecil dan sering
5) Evaluasi status nutrisi
g. Resti kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan berlebihan (demam, berkeringan banyak, hiperventilasi,
muntah).
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam
tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Kriteria Hasil :
1) Balance cairan seimbang
2) Membran mukosa lembab, turgor normal, pengisian kapiler
cepat
Intervensi :
1) Observasi perubahan TTV
2) Observasi turgor kulit, kelembaban membran mukosa
3) Catat laporan mual / muntah
4) Pantau masukan dan keluaran, catat warna, karakter urine
5) Hitung keseimbangan cairan
16
6) Asupan cairan minimal 2500 / hari
7) Berikan obat sesuai indikasi ; antipiretik, antiemetik
8) Berikan cairan tambahan IV sesuai keperluan
17
BAB III
TINJAUAN KASUS
Anak usia 5 tahun dirawat di ruang melati karena Bronkopneumonia, anak
tampak lemah, suhu 38,5’C, nadi 90 kali/menit, Rr 60 kali/menit, terdengar ronchi
basah pada saat auskultasi paru dan tampak retraksi pada saat area dada. Secret
tampak banyak keluar dari hidung.
A. Analisa Kasus
1. Anak tersebut telah mengalami bronkopneumonia dilihat dari:
a. Respiratory rate 60 kali permenit. Berdasarkan teori di atas bahwa
anak usia 1-5 tahun dapat dikatakan bronkhopneumonia apabila RR
lebih dari 40 kali permenit. Apabila disertai dengan adanya retraksi
dinding dada dan anak masih sanggup maka dikatakan
bronkhopenumonia berat. Pada kasus ini belum jelas dikatakan
bronkhopneumonia karena perlu dikaji aspek kemampuan minum
pada anak.
b. Anak mengalami peningkatan suhu tubuh sebagai salah satu
manifestasi bronkhopenumonia. Hal menunjukkan adanya
peradangan.
2. Anak tempak lemah disebabkan oleh gangguan sistem pernafasan dimana
terdapat penurunan compliance paru yang mengakibatkan suplai oksigen
menurun dan terjadi hipoksia sehingga terjadilah metabolisme anaerob.
Selain itu, efek pada saluran pencernaan adalah terjadi malabsorbsi dan
penurunan nafsu makan akibat sesak nafas dan batuk sehingga akan
mengganggu proses metabolisme nutrisi dalam tubuh. Selain itu,
peningkatan metabolisme kalor juga mengakibatkan lemas.
3. Peningkatann suhu 38,5’C merupakan akibat proses inflamasi yang
merangsang mediator peradangan di hipotalamus meningkatkan suhu
tubuh.
18
4. RR di atas normal (60 kali permenit) merupakan mekanisme kompensasi
saat terjadi penurunan suplai oksigen ke dalam tubuh yang disertai dengan
retraksi dinding dada.
5. Ronkhi basah terjadi karena adanya akumulasi sekret di dalam saluran
nafas.
B. Pengkajian
1. Kaji faktor resiko seperti usia, status gizi, kepadatan hunian, status sosial
ekonomi.
2. Riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya seperti influenza.
3. Kaji adanya anoreksia, sukar menelan, mual dan muntah.
4. Kaji riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas seperti
malnutrisi.
5. Kaji pola eliminasi yang didukung dengan pemeriksaan fisik abdomen.
6. Pada pemeriksaan fisik:
a. Inspeksi : tampak adanya retraksi dada, tampak sesak nafas (RR 60
kali permenit). Beberapa kasus disertai dengan sianosis dan
menggigil.
b. Palpasi : beberapa kasus akral dingin, kulit hangat (dibuktikan
dengan pengukuran suhu tubuh).
c. Auskultasi : terdengar ronkhi basah halus dan nyaring.
d. Perkusi : redup.
7. Perlu adanya penambahan pada kasus hasil pemeriksaan penunjang seperti
hasil laborat, foto thorak, saturasi oksigen.
C. Permasalahan utama
Permasalah utama pada kasus tersebut adalah anak mengalami bersihan
jalan nafas tidak efektif. Data yang menunjang adalah terdapat bunyi ronkhi
saat auskultasi, terdapat secret yang banyak keluar dari hidung, Rr 60 kali
permenit.
19
D. Analisa Data
Data Etiologi Problem
Ds: -
Do: terdengar ronkhi
basah pada auskultasi,
secret tampak keluar
banyak dari hidung, RR
60 kali permenit
b.d penumpukan sekret
akibat inflamasi
Bersihan jalan nafas
tidak efektif
Ds: -
Do: tampak retraksi
dada, RR 60 kali
permenit, anak tampak
lemah
b.d penurunan
compliance paru
Pola nafas tidak efektif
Ds: -
Do: suhu tubuh 38,5’C,
anak tampak lemah
b.d toksemia Hipertermi
E. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sekret akibat inflamasi ditandai oleh sekret tampak banyak keluar dari
hidung, ronkhi basah, RR 60 kali permenit.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam jalan
nafas menjadi bersih.
Kriteria:
a. Suara nafas bersih tidak ada ronkhi
b. Sekret di jalan nafas bersih
c. RR normal 19-23 kali permenit
Intervensi:
a. Observasi status pernafasan tiap 2 jam meliputi respiratory rate,
penggunaan otot bantu nafas, warna kulit
b. Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
20
c. Posisikan kepala lebih tinggi
d. Lakukan postural drainage
e. Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melaakukan fisiotherapi dada
f. Jaga humidifasi oksigen yang masuk
g. Gunakan tehnik aseptik dalam penghisapan lendir
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan compliance paru
ditandai oleh tampar retraksi dada, RR 60 kali permenit, anak tampak
lemah.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan 3 x 24 jam pola nafas
kembali efektif.
Kriteria Hasil:
a. Tidak ada retraksi dada
b. RR normal 19-23 kali permenit
c. Anak tampak segar, tidak lemah.
Intervensi:
a. Pantau dan catat frekuensi pernafasan
b. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
c. Posisikan tubuh kepala lebih tinggi
d. Pantau tanda-tanda sianosis
e. Ajarkan teknik nafas dalam
3. Hipertermi berhubungan dengan toksimea ditandai oleh suhu 38,5 ‘C,
anak tampak lemah.
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam suhu
tubuh dalam batas normal (36,5-37,5’C).
Kriteria Hasil :
a. Pasien tidak memperlihatkan tanda peningkatan suhu tubuh
b. Tidak menggigil
c. Nadi dan suhu normal (36,5-37,5’C).
21
Intervensi :
a. Obeservasi suhu tubuh (4 jam)
b. Pantau warna kulit
c. Lakukan tindakan pendinginan sesuai kebutuhan (kompres)
d. Berikan obat sesuai indikasi : antiseptik dan antipiretik
e. Awasi kultur darah dan kultur sputum, pantau hasilnya setiap hari
22
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, EJ 2009, Buku Saku Patofisiologi, edk 3, Alih bahasa: Nike Budhi Subyekti, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Doenges, Marilynn 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3, Jakata : EGC.
Lackman’s, 1996, Care Principle and Practise Of Medical Surgical Nursing, Philadelpia : WB Saunders Company.
Price, Sylvia Anderson 2008, Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes, Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4, Jakarta : EGC.
Smeltzer, SC & Brenda GB 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth, Vol 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sukandar, EY, et al, 2008, Iso Farmakotrapi, PT ISFI Penerbitan, Jakarta.
Zul, Dahlan, 2000, Ilmu Penyakit Dalam Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
23