Aspek Hukum Kontrak Asuransi Di Indonesia

41
  Halaman 1 Aspek Hukum Asuransi Di Indonesia oleh Abdul Mubarok, S.H., M.H., MARS. Hukum asuransi di Indonesia dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang tertuang dalam kodifikasi Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Dalam WvK/KUHD diatur tentang Asuransi Komersial. Lebih lanjut tentang Usaha Perasuransian diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, yaitu : 1) Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992 menyatakan : “...selain pengelompokan jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi  berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial...” 2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu. 3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (3), hasil amandemen kedua 18 Agustus 2000, yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas  jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”; dan 4) Pasal 34 ayat (2), hasil amandemen keempat 11 Agustus 2002, yang menyatakan : “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”; maka dI Indonesia selain Asuransi Komersial, dikenal juga dengan Asuransi Sosial/Jaminan Sosial. Dengan demikian prinsip-prinsip hukum asuransi komersial (Lex generalis) juga berlaku bagi asuransi sosial (lex specialis), sepanjang tidak diatur lain oleh peraturan di lingkungan asuransi sosial/jaminan sosial.

Transcript of Aspek Hukum Kontrak Asuransi Di Indonesia

  • Halaman 1

    Aspek Hukum Asuransi Di Indonesia oleh

    Abdul Mubarok, S.H., M.H., MARS. Hukum asuransi di Indonesia dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang tertuang dalam kodifikasi Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Dalam WvK/KUHD diatur tentang Asuransi Komersial. Lebih lanjut tentang Usaha Perasuransian diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, yaitu :

    1) Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992 menyatakan : ...selain pengelompokan jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial...

    2) Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.

    3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (3), hasil amandemen kedua 18 Agustus 2000, yang menyatakan :

    Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; dan

    4) Pasal 34 ayat (2), hasil amandemen keempat 11 Agustus 2002, yang menyatakan :

    Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan;

    maka dI Indonesia selain Asuransi Komersial, dikenal juga dengan Asuransi Sosial/Jaminan Sosial. Dengan demikian prinsip-prinsip hukum asuransi komersial (Lex generalis) juga berlaku bagi asuransi sosial (lex specialis), sepanjang tidak diatur lain oleh peraturan di lingkungan asuransi sosial/jaminan sosial.

  • Halaman 2

    1. ASPEK HUKUM ASURANSI KOMERSIAL

    1) Asuransi komersial diatur dalam : (1) Burgerlijk Wetboek/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun

    1847 Nomor 23); (2) Wetboek Van Koophandel/Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Staatsblad

    Tahun 1847 Nomor 23, sebagaimana telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan UU Nomor 4 Tahun 1971 Tentang Perubahan Dan Penambahan Atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara 2959);

    (3) Undang Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian; (4) Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang terdapat di Peraturan Pemerintah No.

    73 Tahun 1992; (5) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 yang berisikan tentang perubahan

    Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992; (6) KMK No. 426/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan

    Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; (7) KMK No. 425/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan dan Penyelenggaraan

    Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; (8) KMK No. 423/KMK/2003 yang berisi tentang Pemeriksaan Perusahaan

    Perasuransian;

    2) Pengertian Asuransi Pasal 246 KUHD/WvK, Asuransi adalah Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenement (peristiwa tidak pasti). UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.

  • Halaman 3

    Pasal 1774 KUH Perdata Suatu persetujuan untunguntungan (kansovereenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Jadi asuransi adalah sebuah perjanjian yang bersifat untung-untungan.

    3) Unsur Asuransi

    Asuransi harus mencakup unsur-unsur berikut ini:

    1. Penanggung dan tertanggung, atau disebut juga sebagai Subjek Hukum. 2. Persetujuan antara si penanggung dan tertanggung, 3. Benda asuransi dan kepentingan si tertanggung, 4. Tujuan, 5. Premi dan resiko, 6. Peristiwa yang tidak pasti dan ganti rugi, 7. Syarat-syarat, 8. Polis asuransi.

    4) Tujuan Asuransi a. Pengalihan Risiko

    Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.

    b. Pembayaran Ganti Kerugian

    Jika suatu ketika sungguhsungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh diderita.

    5) Berlakunya Asuransi

    Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD/WvK).

  • Halaman 4

    6) Prinsip Dasar Asuransi Ada 6 prinsip dasar asuransi yang melandasi hukum Asuransi yang perlu diketahui oleh para pengguna asuransi ataupun perusahaan penyedia asuransi:

    1. Insurable Interest adalah hak pertanggungan yang muncul dari hubungan keuangan dan diakui oleh hukum.

    2. Utmost good faith memaksudkan segala sesuatu yang dipertanggungkan yang harus diungkapkan secara detil dan lengkap. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus jujur mengenai objek yang dipertanggungkan.

    3. Proximate cause adalah kejadian yang tidak terduga yang menyebabkan kerugian, tentu tanpa adanya intervensi yang menyebabkan kerugian tersebut.

    4. Indemnity adalah tanggung jawab penanggung untuk mengembalikan posisi finansial si tertanggung ke posisi semula sebelum terjadi kerugian.

    5. Subrogation adalah hak tuntut yang dimiliki oleh tertanggung kepada si penanggung, atau sering disebut sebagai 'klaim'.

    6. Contribution adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya untuk kerja sama.

    7) Hukum Asuransi tentang Premi dan Polis Dalam Hukum Asuransi dikenal kata premi dan polis, yakni dimana premi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si tertanggung sebagai imbalan jasa si penanggung. Sementara, polis adalah akta atau perjanjian antara si penanggung dan tertanggung.

    8) Hukum Asuransi tentang Resiko dan Evenement Dalam hukum Asuransi dikenal istilah resiko dan evenement yang adalah peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan manusia yang bisa terjadi secara tidak terduga dan hasilnya kerugian. Oleh karena itu, perusahaan Asuransi menggunakan ilmu aktuaria yang berdasarkan pada statistik dan probabilitas, namun harus berlandaskan pada Hukum Asuransi.

    2. ASPEK HUKUM ASURANSI SOSIAL

    1) Asuransi Sosial diatur dalam :

    (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);

    (2) UU RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256);

  • Halaman 5

    (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan;

    (4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan;

    (5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Tertentu;

    (6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan;

    (7) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional;

    2) Apakah kepesertaan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah kontrak ?

    Pasal 246 KUHD/WvK dan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi) Asuransi adalah perjanjian, sedangkan berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan :

    Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas;

    Sedangkan Penjelasannya menyatakan :

    Prinsip asuransi sosial meliputi:

    1. kegotongroyongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah;

    2. kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; 3. iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan; 4. bersifat nirlaba.

    Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya,

    Maka kepesertaan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah perjanjian pula. Oleh karena itu, ketentuan dalam buku III BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi BPJS. Untuk memahami secara konprehensif tentang hubungan Peserta BPJS/SJSN dengan BPJS dan hubungan BPJS dengan Rumah Sakit selaku provider kesehatan, kita perlu mengetahui tentang asas asas perjanjian.

  • Halaman 6

    3) Asas-asas Perjanjian/Kontrak

    Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).

    (1) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) BW, yang berbunyi: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

    Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

    a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.

    Berdasarkan asas ini, setiap orang yang telah dewasa (umur 21 tahun atau telah kawin) dan mempunyai kecakapan hukum dapat melakukan perjanjian apapun sepanjang tidak dilarang (baca : tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan) (periksa pasal 1320 BW).

    Pasal 1320 BW/KUHPerdata : Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat:

    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.

    (2) Asas Konsensualisme (concensualism)

    Asas konsensualisme disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (1) BW. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

    Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.

  • Halaman 7

    (3) Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda) Asas ini disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagai layaknya undang-undang. Selain para pihak tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW.

    Pasal 1338 BW : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

    Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

    (4) Asas Itikad Baik (good faith)

    Asas ini tercantum pada Pasal 1338 ayat (3) BW: Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.

    (5) Asas Kepribadian (personality) Asas ini menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan 1340 BW. Pasal 1315 BW: Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.

    Pasal 1340 BW: Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.

    Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 BW yang menyatakan: Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.

  • Halaman 8

    4) Asas Hukum Perjanjian Menurut BPHN

    Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman (17 s/d 19 Desember 1985) asas dalam hukum perjanjian terbagi atas; asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan.

    (1) Asas Kepercayaan

    Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari.

    (2) Asas Persamaan Hukum

    Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.

    (3) Asas Kesimbangan

    Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.

    (4) Asas Kepastian Hukum

    Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

    (5) Asas Moralitas

    Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan

  • Halaman 9

    hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya.

    (6) Asas Kepatutan

    Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.

    (7) Asas Kebiasaan

    Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

    (8) Asas Perlindungan

    Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.

    3. ASPEK PIDANA ASURANSI Dalam sistem hukum pidana di Indonesia dikenal asas legalitas yang tercantum pada Pasal 1 KUHP, yaitu :

    Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada lebih dahulu (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege)

    Maka ada tidaknya aspek pidana di dalam perasuransian harus dikembalikan kepada UU yang mengaturnya.

  • Halaman 10

    1) UU Nomor 2 Tahun 1992 Pasal 21 : (1) Barang siapa menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan usaha

    perasuransian tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).

    (2) Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

    (3) Barang siapa menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak, kekayaan Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah).

    (4) Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan, atau menjual

    kembali kekayaan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang- barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

    (5) Barang siapa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas

    dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).

    Pasal 22 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, terhadap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan Undangundang ini dan peraturan pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi administratip, ganti rugi, atau denda, yang ketentuannya lebih lanjut akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 23 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 adalah kejahatan. Pasal 24 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan oleh atau atas nama suatau badan hukum atau badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan terhadap badan tersebut atau terhadap mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana itu maupun terhadap kedua-duanya.

  • Halaman 11

    2) Bagaimana dengan SJSN-BPJS ?

    a. Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN ternyata tidak diketemukan tentang KETENTUAN PIDANA.

    b. Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS diketemukan tentang KETENTUAN PIDANA, yaitu : (1) Pasal 54 Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

    Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m adalah larangan :

    g. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan

    dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;

    h. menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial;

    i. melakukan subsidi silang antarprogram;

    j. menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah;

    k. menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial;

    l. membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; dan/atau

    m. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial.

  • Halaman 12

    (2) Pasal 55 Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 19 ayat (1) dan (2) : (1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari

    Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.

    (2) Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.

    (3) UU Nomor 20 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena aset BPJS adalah aset negara (walau sudah dipisahkan) berdasarkan Pasal 41 UU 24 Tahun 2011 : Pasal 41 (1) Aset BPJS bersumber dari:

    a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham;

    b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial;

    c. hasil pengembangan aset BPJS;

    d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau

    e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 42 UU 24 Tahun 2011 Tentang BPJS : Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

  • Halaman 13

    HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN 1) Tenggang waktu membayar Klaim oleh BPJS

    Pasal 24 UU 40 Tahun 2004 (2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan alas

    pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima.

    Penjelasan Pasal 24 Ayat (2) Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial membayar fasilitas kesehatan secara efektif dan efisien. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani sejumlah peserta atau membayar sejumlah tetap tertentu per kapita per bulan (kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit. Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin.

    Maka UU Anti Korupsi berlaku

  • Halaman 14

    TELAAH PERJANJIAN BPJS DENGAN RUMAH SAKIT

    PERJANJIAN KERJASAMA ANTARA

    BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

    CABANG UTAMA SURABAYA

    DENGAN

    RUMAH SAKIT MATA UNDAAN SURABAYA

    TENTANG

    PELAYANAN KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUTAN

    BAGI PESERTA

    BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN

    Nomor : 492/RSMU/PKS/XII/2013 Nomor :

    Perjanjian Kerjasama Pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan bagi Peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang selanjutnya disebut (Perjanjian), dibuat dan ditandatangani di Surabaya, pada hari Senin tanggal 16 bulan Desember tahun 2013, oleh dan antara :

    I. dr. I Made Puja Yasa, AAK., selaku Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Cabang Utama Surabaya yang berkedudukan dan berkantor di Jalan Dharmahusada Indah No. 2 Surabaya, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut berdasarkan Keputusan Direksi Nomor : 2261/Peg-04/0213 tanggal 7 Februari 2013 karenanya sah bertindak untuk dan atas nama serta mewakili Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA;

    II. dr. Herminiati HB, MARS selaku Direktur Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya berdasarkan Keputusan Perhimpunan Perawatan Penderita Penyakit Mata (P4M) Undaan Nomor : 098/P4M/SK/IV/2008 tentang Pengangkatan Direktur Penanggung Jawab RS Mata Undaan, Akta PKR Perhimpunan Perawatan Penderita Penyakit Mata (P4M) Undaan Surabaya Nomor 10 tanggal 9 Agustus 2011 yang dibuat oleh Carolin Constantina Kalampung, SH. yang berkedudukan dan berkantor di Jalan Kapuas N0. 32 Surabaya, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya tersebut, karenanya sah bertindak untuk dan atas nama serta mewakili Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

  • Halaman 15

    Selanjutnya PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA yang secara bersama-sama disebut PARA PIHAK dan masing-masing disebut Pihak sepakat untuk menandatangani Perjanjian dengan syarat dan ketentuan sebagai berikut :

    PASAL 1

    DEFINISI DAN PENGERTIAN

    Kecuali apabila ditentukan lain secara tegas dalam Perjanjian ini, istilah-istilah di bawah ini memiliki pengertian-pengertian sebagai berikut:

    1. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah;

    2. PT. Askes (Persero) adalah Perusahaan yang menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil, pejabat negara, penerima pensiun, veteran, perintis kemerdekaan, beserta anggota keluarganya serta dokter dan bidan pegawai tidak tetap (PTT);

    3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disingkat BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan;

    4. Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran;

    5. Kartu Peserta adalah identitas yang diberikan kepada setiap peserta dan anggota keluarganya sebagai bukti peserta yang sah dalam memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

    6. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak Peserta dan/atau anggota keluarganya; 7. Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk

    menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat;

    8. Pelayanan kesehatan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap;

    9. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan adalah upaya pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan, dan rawat inap di ruang perawatan khusus;

    10. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik dan dilaksanakan pada pemberi pelayanan kesehatan tingkat lanjutan sebagai rujukan dari pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama, untuk keperluan observasi, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis, dan/atau pelayanan medis lainnya termasuk konsultasi psikologi tanpa menginap di ruang perawatan;

    11. Rawat Inap Tingkat Lanjutan adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik untuk keperluan observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan, rehabilitasi medis dan/atau pelayanan medis lainnya termasuk konsultasi psikologi, yang dilaksanakan pada pemberi pelayanan kesehatan tingkat lanjutan dimana peserta atau anggota keluarganya dirawat inap di ruang perawatan paling singkat 1 (satu) hari;

    12. Pelayanan kesehatan lain adalah pelayanan kesehatan yang merupakan penanganan terhadap penyakit berdasarkan teknologi baru atau penemuan baru dalam pelayanan kedokteran, karena

  • Halaman 16

    jenis dan sifatnya memiliki dampak biaya yang sangat tinggi (katastrofik), atau mendapatkan subsidi /pembiayaan dari pemerintah atau sumber lain;

    13. Pelayanan Kesehatan Gawat Darurat adalah pelayanan kesehatan yang harus diberikan secepatnya untuk mencegah kematian, keparahan dan/atau kecacatan sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan;

    14. Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan adalah adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal;

    15. Fasilitas Kesehatan tingkat pertama adalah fasilitas kesehatan yang berupa puskesmas, praktik doktek, praktik dokter gigi dan klinik pratama;

    16. Rumah Sakit adalah rumah sakit milik pemerintah pusat, rumah sakit milik pemerintah daerah, atau rumah sakit yang menjalin kerjasama dengan PT Askes (Persero), yaitu Rumah Sakit Umum Kelas A, Kelas B, Kelas C, dan Kelas D, serta Rumah Sakit Khusus Kelas A, Kelas B dan Kelas C;

    17. Asosiasi fasilitas kesehatan adalah Asosiasi Fasilitas Kesehatan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri;

    18. Formulir Pengajuan Klaim (FPK) adalah formulir baku yang dikeluarkan oleh PIHAK PERTAMA yang wajib diisi oleh PIHAK KEDUA dan disertakan sebagai salah satu syarat dalam pengajuan klaim/tagihan atas biaya pelayanan kesehatan;

    19. Pemeliharaan Kesehatan adalah upaya kesehatan yang meliputi peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan;

    20. Formularium Nasional yang selanjutnya disingkat fornas adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, didasarkan pada bukti ilmiah mutakhir berkhasiat, aman, dan dengan harga yang terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat dalam jaminan kesehatan nasional;

    21. Alat bantu kesehatan adalah alat kesehatan yang dapat berupa bahan, instrumen, aparatus, mesin, implan, dan perangkat lunak yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosa, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh;

    22. Bulan Pelayanan adalah bulan dimana PIHAK KEDUA memberikan pelayanan kesehatan kepada Peserta;

    23. Tindakan Medis adalah tindakan yang bersifat operatif dan non operatif yang dilaksanakan baik untuk tujuan diagnostik maupun pengobatan;

    24. Kelas Perawatan adalah fasilitas Rawat Inap yang menjadi hak Peserta sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku dalam Perjanjian ini;

    25. Pelayanan Khusus/Canggih adalah semua pelayanan penunjang diagnostik dan tindakan medis yang memerlukan peralatan dan teknologi canggih;

    26. Verifikasi adalah kegiatan menguji kebenaran administrasi pertanggungjawaban pelayanan yang telah dilaksanakan oleh fasilitas kesehatan;

    27. Pelayanan Obat adalah pemberian obat sesuai kebutuhan medis bagi Peserta baik pelayanan obat RJTP, RJTL, RITP dan RITL. Pelayanan obat RJTL dan RITL berpedoman kepada Fornas yang berlaku;

    28. Hari Rawat adalah lamanya Peserta dan atau anggota keluarganya dirawat; 29. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik adalah kegiatan pemeriksaan untuk menunjang penegakan

    diagnosa;

  • Halaman 17

    PASAL 2 MAKSUD DAN TUJUAN

    PARA PIHAK sepakat untuk melakukan kerja sama dalam penyediaan layanan kesehatan bagi Peserta dengan syarat dan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian ini.

    PASAL 3 RUANG LINGKUP DAN PROSEDUR

    Ruang lingkup dan Prosedur Pelayanan Kesehatan bagi Peserta sebagaimana diuraikan dalam Lampiran I Perjanjian ini.

    PASAL 4 HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK

    Tanpa mengesampingkan hak dan kewajiban dalam pasal-pasal lain dari Perjanjian ini, PARA PIHAK sepakat untuk merinci hak dan kewajiban masing-masing sebagaimana diuraikan sebagai berikut:

    1. Hak PIHAK PERTAMA a. Melakukan evaluasi dan penilaian atas pelayanan kesehatan yang diberikan PIHAK KEDUA; b. Mendapatkan data dan informasi tentang Sumber Daya Manusia dan sarana prasarana

    PIHAK KEDUA dan informasi tentang pelayanan kepada peserta (termasuk melihat rekam medis) yang dianggap perlu oleh PIHAK PERTAMA.

    c. Menerima laporan bulanan yang mencakup pencatatan atas jumlah kasus dan biaya; d. Memberikan teguran dan atau peringatan tertulis kepada PIHAK KEDUA dalam hal

    terjadinya penyimpangan terhadap pelaksanaan kewajiban PIHAK KEDUA dalam Perjanjian ini;

    e. Meninjau kembali Perjanjian ini apabila PIHAK KEDUA tidak memberikan tanggapan terhadap peringatan tertulis yang telah disampaikan sebanyak maksimal 3 (tiga) kali;

    2. Kewajiban PIHAK PERTAMA : a. Membayar biaya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh PIHAK KEDUA kepada Peserta,

    sesuai tagihan yang diajukan berdasarkan ketentuan dan prosedur yang telah disepakati PARA PIHAK;

    b. Melaksanakan proses evaluasi dan penilaian secara berkala atas kesiapan PIHAK KEDUA untuk menjadi Fasilitas kesehatan tingkat lanjutan dalam rangka pemberian pelayanan kesehatan kepada Peserta;

    c. Menyediakan dan memberikan informasi tentang tata cara Pemberian Pelayanan Kesehatan kepada Peserta;

    d. Bersama-sama PIHAK KEDUA, melakukan sosialisasi prosedur pelayanan, tata cara pengajuan klaim, kepada pihak yang berkepentingan;

  • Halaman 18

    3. Hak PIHAK KEDUA a. Memperoleh informasi tentang tata cara Pemberian Pelayanan Kesehatan kepada Peserta; b. Memperoleh informasi tentang ruang lingkup dan prosedur pelayanan kesehatan yang

    disediakan bagi Peserta; c. Memperoleh informasi tentang tata cara pembayaran atas pelayanan kesehatan yang diberikan

    PIHAK KEDUA; d. Memperoleh pembayaran atas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Peserta sesuai

    dengan ketentuan dan prosedur yang disepakati PARA PIHAK; e. Memperoleh informasi dan aplikasi (software) terkait dengan sistem informasi manajemen

    pelayanan yang berlaku dalam rangka tata laksana administrasi; 4. Kewajiban PIHAK KEDUA

    a. Melayani Peserta dengan baik sesuai dengan standar profesionalisme dan prosedur pelayanan kesehatan yang berlaku bagi Rumah Sakit;

    b. Menyediakan perangkat keras (hardware) dan jaringan komunikasi data; c. Menyediakan data dan informasi tentang Sumber Daya Manusia dan sarana prasarana PIHAK

    KEDUA dan informasi lain tentang pelayanan kepada peserta (termasuk melihat Medical Record) yang dianggap perlu oleh PIHAK PERTAMA;

    d. Menyediakan petugas sebagai tenaga informasi dan penanganan keluhan terkait dengan pelayanan PIHAK KEDUA;

    e. Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan keabsahan kartu dan surat rujukan serta melakukan entry data ke dalam aplikasi Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dan melakukan pencetakan SEP;

    f. Menyediakan petugas sebagai tenaga entry data klaim/koder untuk penagihan klaim pelayanan kesehatan peserta BPJS Kesehatan;

    g. Menyediakan data dan informasi secara benar dan akurat tentang fasilitas dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Peserta terkait evaluasi dan penilaian yang dilakukan oleh PIHAK PERTAMA;

    h. Mengajukan tagihan atas biaya pelayanan kesehatan Peserta secara teratur dan tertib sesuai ketentuan kepada PIHAK PERTAMA;

    i. Membuat laporan kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan secara berkala setiap bulan kepada PIHAK PERTAMA;

    j. Menggunakan Sistem Informasi Manajemen yang berlaku dalam rangka tata laksana administrasi;

    k. Melaksanakan dan mendukung program pelayanan kesehatan yang dilaksanakan BPJS Kesehatan.

  • Halaman 19

    PASAL 5 KELAS / KAMAR PERAWATAN

    1. Dalam hal Peserta harus menjalani Rawat Inap di Rumah Sakit PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA menjamin Peserta atas kelas/kamar perawatan yang ditentukan sebagai berikut: a. Hak Kelas Perawatan

    1) ruang perawatan kelas III bagi: a) Peserta PBI Jaminan Kesehatan; dan b) Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan iuran untuk

    Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III. 2) ruang perawatan kelas II bagi:

    a) Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

    b) Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

    c) Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

    d) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;

    e) Peserta Pekerja Penerima Upah bulanan sampai dengan 2 (dua) kali penghasilan tidak kena pajak dengan status kawin dengan 1 (satu) anak, beserta anggota keluarganya; dan Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan iuran untuk manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II;

    3) ruang perawatan kelas I bagi: a) Pejabat Negara dan anggota keluarganya; b) Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun pegawai negeri sipil golongan ruang III

    dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; c) Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai Negeri Sipil

    golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; d) Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai Negeri Sipil

    golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; e) Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri yang setara Pegawai Negeri Sipil golongan

    ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya; f) Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya; g) Peserta Pekerja Penerima Upah bulanan lebih dari 2 (dua) kali penghasilan tidak kena

    pajak dengan status kawin dengan 1 (satu) anak, beserta anggota keluarganya; dan h) Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan iuran untuk

    Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I. 2. Hak Peserta atas kelas/ kamar perawatan adalah sesuai dengan kelas/ kamar perawatan yang

    menjadi haknya. 3. Penyetaraan Kelas Perawatan :

    a. Ruang Rawat Kelas I setara dengan Kelas I. b. Ruang Rawat Kelas II setara dengan Kelas II. c. Ruang Rawat Kelas III setara dengan Kelas III.

    4. Dalam hal Peserta atas kehendak sendiri dengan alasan apapun mengambil kelas/ kamar perawatan di atas kelas/ kamar perawatan yang menjadi haknya, maka yang bersangkutan membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas perawatan kecuali peserta penerima bantuan iuran (PBI) jaminan kesehatan tidak diperkenankan memilih kelas yang lebih tinggi dari haknya.

  • Halaman 20

    5. Untuk menentukan selisih biaya yang harus dibayar peserta, maka sebelum pasien pulang, pihak kedua wajib menentukan tarif INA CBGs dengan ketentuan sebagai berikut : a. Apabila peserta naik ke kelas I atau II, maka selisih biaya adalah selisih tarif INA CBGs

    kelas I atau II yang ditempati dikurango tarif INA CBGs sesuai haknya; b. Apabila peserta naik kelas VIP atau VVIP atau Paviliyun, maka selisih biaya yang harus

    dibayar adalah tarif umum dikurangi tarif INA CBGs haknya.

    6. PIHAK KEDUA wajib memberitahukan kepada Peserta konsekuensi yang timbul dari hal berkehendak mengambil kelas/kamar perawatan di atas haknya dan meminta kepada Peserta untuk menandatangani surat pernyataan bersedia membayar selisih biaya yang timbul.

    7. Kelas sesuai hak penuh. a. Dalam hal ruang rawat inap yang menjadi hak Peserta penuh, Peserta dapat dirawat di

    kelas perawatan satu tingkat lebih tinggi; b. BPJS membayar kelas perawatan Peserta sesuai haknya dalam keadaan sebagaimana

    dimaksud pada huruf a; c. Apabila kelas perawatan sesuai hak Peserta telah tersedia, maka Peserta ditempatkan di

    kelas perawatan yang menjadi hak Peserta; d. Perawatan satu tingkat lebih tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat a paling lama 3 (tiga)

    hari; e. Dalam hal terjadi perawatan sebagaimana dimaksud pada huruf (d) lebih dari 3 (tiga) hari,

    selisih biaya tersebut menjadi tanggung jawab Fasilitas Kesehatan yang bersangkutan atau berdasarkan persetujuan pasien dirujuk ke Fasilitas Kesehatan yang setara.

    f. Apabila kelas perawatan yang lebih tinggi juga penuh sehingga terpaksa ditempatkan di kelas perawatan yang lebih rendah, maka PIHAK KEDUA wajib mengkondisikan kelas perawatan yang lebih rendah sehingga setara dengan kelas perawatan sesuai haknya.

    PASAL 6 TARIF PELAYANAN KESEHATAN

    1. Tarif pelayanan kesehatan bagi Peserta adalah tarif yang ditetapkan dan disepakati oleh PARA PIHAK sebagaimana berlaku sesuai pola pembayaran DRG/INA CBGs berdasarkan kesepakatan PIHAK PERTAMA dengan Asosiasi Faskes dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

    2. Tarif pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sudah termasuk alat kesehatan, dimana pembiayaanya tidak boleh dibebankan kepada peserta dan tidak boleh ditagihkan kepada BPJS Kesehatan.

    3. Besarnya tarif pelayanan kesehatan tersebut diatas berlaku untuk jangka waktu minimal 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berlaku kecuali terdapat perubahan kebijakan lain terkait dengan tarif pelayanan kesehatan.

    4. PIHAK KEDUA dilarang memungut biaya tambahan atas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Peserta kecuali selisih biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat 3.

  • Halaman 21

    PASAL 7 TATA CARA PEMBAYARAN PELAYANAN KESEHATAN

    Tata cara pembayaran pelayanan kesehatan yang dilakukan dalam pelaksanaan Perjanjian ini diuraikan sebagaimana pada Lampiran II Perjanjian ini.

    PASAL 8 JANGKA WAKTU PERJANJIAN

    1. Perjanjian ini berlaku untuk 2 (dua) tahun, terhitung sejak tanggal 1 Januari 2014 dan berakhir pada

    tanggal 31 Desember 2015. 2. Selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya Jangka Waktu Perjanjian, PARA PIHAK

    sepakat untuk saling memberitahukan maksudnya apabila hendak memperpanjang Perjanjian ini. 3. Pada jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal ini PIHAK PERTAMA akan

    melakukan penilaian kembali terhadap PIHAK KEDUA atas : a. fasilitas dan kemampuan pelayanan kesehatan b. penyelenggaraan pelayanan kesehatan pada jangka waktu perjanjian c. kepatuhan dan komitmen terhadap perjanjian

    PASAL 9 EVALUASI DAN PENILAIAN

    PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN

    1. PIHAK PERTAMA akan melakukan evaluasi dan penilaian penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA secara berkala;

    2. Evaluasi yang dilakukan meliputi antara lain utilization review dan hasil audit yang dilakukan tim audit medis dan tim auditor internal maupun eksternal.

    3. Hasil evaluasi sebagaimana ayat 1 dan 2 Pasal ini akan disampaikan secara tertulis kepada PIHAK KEDUA dengan disertai rekomendasi (apabila diperlukan).

    4. Apabila dari hasil audit sebagaimana dimaksud ayat (3) ditemukan klaim yang tidak sesuai ketentuan, maka PIHAK KEDUA berkewajiban melaksanakan rekomendasi yang diberikan PIHAK PERTAMA.

    PASAL 10

    PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN 1. Dalam rangka melakukan pengawasan dan pengendalian, PIHAK PERTAMA secara langsung

    atau dengan menunjuk pihak lain berhak untuk melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA.

    2. Apabila ternyata dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, ditemukan penyimpangan terhadap Perjanjian yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA berhak menegur PIHAK KEDUA secara tertulis sebanyak maksimal 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing surat peringatan/ teguran tertulis minimal 7 (tujuh) hari kerja.

    3. Setelah melakukan teguran secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dan tidak ada tanggapan atau perbaikan dari PIHAK KEDUA, maka PIHAK PERTAMA berhak mengakhiri Perjanjian i

  • Halaman 22

    PASAL 11

    SANKSI

    1. Dalam hal PIHAK KEDUA terbukti secara nyata melakukan hal-hal sebagai berikut: a. tidak melayani Peserta sesuai dengan kewajibannya; b. tidak memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan kepada Peserta sesuai dengan hak

    peserta; c. memungut biaya tambahan kepada Peserta; dan atau d. melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA

    berhak untuk menegur PIHAK KEDUA secara tertulis dan menangguhkan pembayaran atas klaim/ tagihan biaya pelayanan kesehatan yang telah diajukan oleh PIHAK KEDUA, sampai adanya penyelesaian yang dapat diterima oleh PIHAK PERTAMA.

    2. Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini akan disampaikan PIHAK PERTAMA pada PIHAK KEDUA sebanyak maksimal 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing surat peringatan/ teguran tertulis minimal 7 (tujuh) hari kerja.

    3. PIHAK PERTAMA berhak meninjau kembali perjanjian ini apabila ternyata dikemudian hari tidak ada tanggapan atau perbaikan dari PIHAK KEDUA setelah PIHAK PERTAMA melakukan teguran sebanyak maksimal 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 Pasal ini.

    4. Dalam hal salah satu pihak diketahui menyalahgunakan wewenang dengan melakukan kegiatan moral hazard atau fraud seperti membuat klaim fiktif yang dibuktikan dari hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa Internal maupun Eksternal sehingga terbukti merugikan pihak lainnya, maka pihak yang menyalahgunakan wewenang tersebut berkewajiban untuk memulihkan kerugian yang terjadi dan pihak yang dirugikan dapat membatalkan Perjanjian ini secara sepihak.

    5. PIHAK PERTAMA berhak mengenakan denda kepada PIHAK KEDUA sebesar nilai klaim /

    tagihan biaya pelayanan kesehatan bulan terakhir yang sudah dibayarkan oleh PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA dalam hal :

    a. Terjadi pembatalan secara sepihak oleh PIHAK KEDUA sebelum jangka waktu perjanjian berakhir; atau

    b. PIHAK PERTAMA mengakhiri perjanjian ini berdasarkan ketentuan perjanjian ini dimana PIHAK KEDUA melakukan wanprestasi.

    6. Pengakhiran perjanjian yang diakibatkan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 Pasal ini dapat dilakukan tanpa harus memenuhi ketentuan sebagaimana tertuang pada pasal 12 ayat 1 Perjanjian ini dan tidak membebaskan PARA PIHAK dalam menyelesaikan kewajiban masing-masing yang masih ada kepada pihak lainnya.

  • Halaman 23

    PASAL 12

    PENGAKHIRAN PERJANJIAN 1. Perjanjian ini dapat dibatalkan dan atau diakhiri oleh salah satu Pihak sebelum Jangka Waktu

    Perjanjian, berdasarkan hal-hal sebagai berikut: a. Persetujuan PARA PIHAK secara tertulis untuk mengakhiri Perjanjian ini yang berlaku

    efektif pada tanggal dicapainya kesepakatan pengakhiran tersebut; b. Salah satu Pihak melanggar ketentuan yang diatur dalam Perjanjian ini (wanprestasi) dan tetap

    tidak memperbaikinya setelah menerima surat teguran/peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing surat teguran/peringatan minimal 7 (tujuh) hari kalender. Pengakhiran berlaku efektif secara seketika pada tanggal surat pemberitahuan pengakhiran Perjanjian ini dari Pihak yang dirugikan;

    c. Ijin usaha atau operasional salah satu Pihak dicabut oleh Pemerintah. Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal pencabutan ijin usaha atau operasional Pihak yang bersangkutan oleh Pemerintah;

    d. Salah satu Pihak melakukan merger, konsolidasi, atau diakuisisi oleh perusahaan lain. Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal disahkannya pelaksanaan merger, konsolidasi atau akuisisi tersebut oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;

    e. Salah satu Pihak dinyatakan bangkrut atau pailit oleh pengadilan. Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal dikeluarkannya keputusan pailit oleh Pengadilan; dan

    f. Salah satu Pihak mengadakan/berada dalam keadaan likuidasi. Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal Pihak yang bersangkutan telah dinyatakan di likuidasi secara sah menurut ketentuan dan prosedur hukum yang berlaku.

    2. Dalam hal PIHAK KEDUA bermaksud untuk mengakhiri Perjanjian ini secara sepihak sebelum berakhirnya Jangka Waktu Perjanjian, PIHAK KEDUA wajib memberikan pemberitahuan tertulis kepada PIHAK PERTAMA mengenai maksudnya tersebut sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sebelumnya;

    3. PARA PIHAK dengan ini sepakat untuk mengesampingkan berlakunya ketentuan dalam Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sejauh yang mensyaratkan diperlukannya suatu putusan atau penetapan Hakim/ Pengadilan terlebih dahulu untuk membatalkan/ mengakhiri suatu Perjanjian;

    4. Berakhirnya Perjanjian ini tidak menghapuskan hak dan kewajiban yang telah timbul dan tetap berlaku sampai terselesaikannya hak dan kewajibannya tersebut.

    PASAL 13 MALPRAKTEK

    Dalam hal PIHAK KEDUA atau tenaga medis maupun paramedis yang bekerja pada institusi PIHAK KEDUA tidak melakukan kewajiban sebagaimana seharusnya, yaitu :

    a. Melakukan kesalahan dalam tindakan medis, seperti kekeliruan diagnosa, intrepretasi hasil pemeriksaan penunjang, indikasi tindakan, tindakan tidak sesuai dengan standar pelayanan, kselahan pemberian obat, kekeliruan tranfuse, dan kesalahan lainnya;

    b. Melakukan kelalaian berat. Tidak melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan menurut asas-asas dan standar praktik kedokteran yang baik;

  • Halaman 24

    Sehingga mengakibatkan terjadinya cedera pada pasien, berupa cedera fisik, psikologis, mental, cacat tetap atau meninggal. Maka PIHAK PERTAMA tidak bertanggungjawab atas akibat dari tindakan pihak kedua tersebut.

    PASAL 14 KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEURE)

    1. Yang dimaksud dengan keadaan memaksa (selanjutnya disebut Force Majeure) adalah suatu keadaan yang terjadinya di luar kemampuan, kesalahan atau kekuasaan PARA PIHAK dan yang menyebabkan Pihak yang mengalaminya tidak dapat melaksanakan atau terpaksa menunda pelaksanaan kewajibannya dalam Perjanjian ini. Force Majeure tersebut meliputi bencana alam, banjir, wabah, perang (yang dinyatakan maupun yang tidak dinyatakan), pemberontakan, huru-hara, pemogokkan umum, kebakaran, dan kebijaksanaan Pemerintah yang berpengaruh secara langsung terhadap pelaksanaan Perjanjian ini.

    2. Dalam hal terjadinya peristiwa Force Majeure, maka Pihak yang terhalang untuk melaksanakan kewajibannya tidak dapat dituntut oleh Pihak lainnya. Pihak yang terkena Force Majeure wajib memberitahukan adanya peristiwa Force Majeure tersebut kepada Pihak yang lain secara tertulis paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak saat terjadinya peristiwa Force Majeure, yang dikuatkan oleh surat keterangan dari pejabat yang berwenang yang menerangkan adanya peristiwa Force Majeure tersebut. Pihak yang terkena Force Majeure wajib mengupayakan dengan sebaik-baiknya untuk tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Perjanjian ini segera setelah peristiwa Force Majeure berakhir.

    3. Apabila peristiwa Force Majeure tersebut berlangsung terus hingga melebihi atau diduga oleh Pihak yang mengalami Force Majeure akan melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, maka PARA PIHAK sepakat untuk meninjau kembali Jangka Waktu Perjanjian ini.

    4. Semua kerugian dan biaya yang diderita oleh salah satu Pihak sebagai akibat terjadinya peristiwa Force Majeure bukan merupakan tanggung jawab Pihak yang lain.

    PASAL 15 PENYELESAIAN PERSELISIHAN

    1. Setiap perselisihan, pertentangan dan perbedaan pendapat sehubungan dengan Perjanjian ini

    akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat oleh PARA PIHAK. 2. Apabila musyawarah dan mufakat tidak tercapai, maka PARA PIHAK sepakat untuk

    menyerahkan penyelesaian perselisihan tersebut melalui Pengadilan. 3. Mengenai Perjanjian ini dan segala akibatnya, PARA PIHAK memilih kediaman hukum atau

    domisili yang tetap dan umum di Kantor Panitera Pengadilan Negeri Surabaya

  • Halaman 25

    PASAL 16 PEMBERITAHUAN

    1. Semua komunikasi resmi surat-menyurat atau pemberitahuan-pemberitahuan atau pernyataan-pernyataan atau persetujuan-persetujuan yang wajib dan perlu dilakukan oleh salah satu Pihak kepada Pihak lainnya dalam pelaksanaan Perjanjian ini, harus dilakukan secara tertulis dan disampaikan secara langsung, melalui ekspedisi, pos atau melalui faksimili dan dialamatkan kepada:

    PIHAK PERTAMA: Kepala BPJS Cabang Utama Surabaya Jalan Dharmahusada Indah No. 2

    Surabaya

    Up. : Kepala Cabang Telepon : 031-5947747 Faksimili : 031-5997126 E-mail : [email protected]

    PIHAK KEDUA: Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya

    Jalan Undaan Kulon 17-19

    Surabaya 60274

    Up. : Direktur Rumah Sakit Mata Undaan

    Telepon : 031-5319619, 5343806

    Faksimili : 031-5317503

    E-mail : [email protected]

    atau kepada alamat lain yang dari waktu ke waktu diberitahukan oleh PARA PIHAK, satu kepada yang lain, secara tertulis.

    2. Pemberitahuan yang diserahkan secara langsung dianggap telah diterima pada hari penyerahan dengan bukti tanda tangan penerimaan pada buku ekspedisi atau buku tanda terima pengiriman, apabila pengiriman dilakukan melalui pos atau ekspedisi maka dianggap diterima sejak ditandatanganinya tanda terima atau maksimal 5 hari kerja sejak dikirimkannya surat tersebut sedangkan pengiriman melalui telex atau faksimili dianggap telah diterima pada saat telah diterima kode jawabannya (answerback) pada pengiriman telex dan konfirmasi faksimile pada pengiriman faksimili.

  • Halaman 26

    PASAL 17 LAIN-LAIN

    1. Pengalihan Hak dan kewajiban berdasarkan Perjanjian ini tidak boleh dialihkan, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan tertulis PARA PIHAK.

    2. Keterpisahan Jika ada salah satu atau lebih ketentuan dalam Perjanjian ini ternyata tidak sah, tidak berlaku atau

    tidak dapat dilaksanakan berdasarkan hukum atau keputusan yang berlaku, maka PARA PIHAK dengan ini setuju dan menyatakan bahwa ketentuan lainnya dalam Perjanjian ini tidak akan terpengaruh olehnya, tetap sah, berlaku dan dapat dilaksanakan.

    3. Perubahan Perjanjian ini tidak dapat diubah atau ditambah, kecuali dibuat dengan suatu perjanjian perubahan atau tambahan (addendum/amandemen) yang ditandatangani oleh PARA PIHAK dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.

    4. Batasan Tanggung Jawab PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan dari PIHAK KEDUA kepada Peserta dan terhadap kerugian maupun tuntutan yang diajukan oleh Peserta kepada PIHAK KEDUA yang disebabkan karena kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA dalam menjalankan tanggung jawab profesinya seperti, termasuk tetapi tidak terbatas pada, kesalahan dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan, kesalahan dalam memberikan indikasi medis atau kesalahan dalam memberikan tindakan medis.

    5. Hukum Yang Berlaku Interpretasi dan pelaksanaan dari segala akibat syarat dan ketentuan yang berkaitan dalam Perjanjian ini adalah menurut Hukum Republik Indonesia.

    6. Kesatuan Setiap dan semua lampiran yang disebut dan dilampirkan pada Perjanjian ini, merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian ini.

    7. Ketentuan Peralihan Dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 60 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, maka PARA PIHAK sepakat bahwa sejak 1 Januari 2014 hak dan kewajiban PIHAK PERTAMA yang timbul berdasarkan perjanjian ini dialihkan seluruhnya kepada BPJS Kesehatan.

  • Halaman 27

    Demikianlah, Perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 (dua), asli, masing-masing sama bunyinya, di atas kertas bermeterai cukup serta mempunyai kekuatan hukum yang sama setelah ditanda-tangani oleh PARA PIHAK.

    PIHAK PERTAMA

    dr. I Made Puja Yasa, AAK Senior Manager

    PIHAK KEDUA

    dr. Herminiati HB, MARS Direktur

  • 28

    Lampiran I Perjanjian antara

    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Cabang Utama Surabaya dan Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya

    Nomor :

    Nomor : 492/RSMU/PKS/XII/2013

    RUANG LINGKUP DAN PROSEDUR

    PELAYANAN KESEHATAN

    I. RUANG LINGKUP

    A. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) 1. administrasi pelayanan; meliputi biaya administrasi pendaftaran peserta

    untuk berobat, penerbitan surat eligilibitas peserta, termasuk pembuatan kartu pasien;

    2. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis;

    3. tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis; 4. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; 5. pelayanan alat kesehatan; 6. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis; 7. rehabilitasi medis; 8. pelayanan darah; 9. pelayanan rujuk balik 10. pelayanan kedokteran forensik klinik meliputi pembuatan visum et

    repertum atau surat keterangan medik berdasarkan pemeriksaan forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik;

    11. pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas kesehatan terbatas hanya bagi peserta meninggal dunia pasca rawat inap di Faskes yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tempat pasien dirawat berupa pemulasaran jenazah dan tidak termasuk peti mati.

    B. Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) 1. Akomodasi

    a. Perawatan inap non intensif b. Perawatan inap intensif

    2. administrasi pelayanan; meliputi biaya administrasi pendaftaran peserta untuk berobat, penerbitan surat eligilibitas peserta, termasuk pembuatan kartu pasien.

    3. pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis;

    4. tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis; 5. pelayanan obat dan bahan medis habis pakai; 6. pelayanan alat kesehatan; 7. pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis; 8. rehabilitasi medis;

  • 29

    9. pelayanan darah; 10. pelayanan kedokteran forensik klinik meliputi pembuatan visum et

    repertum atau surat keterangan medik berdasarkan pemeriksaan forensik orang hidup dan pemeriksaan psikiatri forensik;

    11. pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal di Fasilitas kesehatan terbatas hanya bagi peserta meninggal dunia pasca rawat inap di Fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tempat pasien dirawat berupa pemulasaran jenazah (tidak termasuk peti mati dan ambulan jenasah).

    C. Pelayanan persalinan 1. Tindakan persalinan normal 2. Tindakan persalinan dengan penyulit per vaginam sesuai indikasi medis 3. Tindakan persalinan dengan penyulit perabdominam (sectio caesaria)

    sesuai indikasi medis 4. Pelayanan rawat inap 5. Ketentuan persalinan :

    a. Pada kondisi kehamilan normal ANC harus dilakukan di Fasilitas kesehatan tingkat pertama. ANC di tingkat lanjutan hanya dapat dilakukan sesuai indikasi medis berdasarkan rujukan dari faskes tingkat pertama.

    b. Penjaminan persalinan adalah benefit bagi peserta BPJS Kesehatan dan tidak ada batasan jumlah persalinan yang ditanggung

    c. Persalinan normal diutamakan dilakukan di Fasilitas kesehatan tingkat pertama

    d. Penjaminan persalinan normal di faskes rujukan tingkat lanjutan hanya dapat dilakukan dalam kondisi gawat darurat

    e. Yang dimaksud kondisi gawat darurat pada huruf (d) di atas adalah perdarahan, kejang pada kehamilan, ketuban pecah dini, gawat janin dan kondisi lain yang mengancam jiwa ibu dan bayinya

    D. Pelayanan Gawat Darurat 1. Pelayanan gawat darurat dapat diberikan jika sesuai dengan indikasi medis

    pelayanan gawat darurat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit.

    2. Pelayanan gawat darurat mencakup : a. Adminitrasi pelayanan; b. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis; c. tindakan medis d. pemeriksaan penunjang diagnostic e. pelayanan obat dan BMHP f. perawatan inap (akomodasi) jika diperlukan

    E. Pelayanan Obat

    1. Pemberian obat untuk pelayanan RJTL dan RITL berdasarkan resep obat dari dokter spesialis/subspesialis yang merawat, berpedoman pada Fornas yang sesuai dengan indikasi medis dan merupakan komponen paket INA CBGs. Faskes dan jejaringnya wajib menyediakan obat-obat yang diperlukan.

    2. Dalam hal obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis pada Fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan tidak tercantum dalam Formularium Nasional, dapat digunakan obat lain berdasarkan persetujuan Komite Medik dan kepala/direktur rumah sakit. Penggunaan obat diluar Fornas

  • 30

    sudah termasuk dalam pembiayaan paket INA CBGs tidak boleh dibebankan kepada peserta dan tidak boleh ditagihkan kepada BPJS Kesehatan.

    F. Pelayanan Alat Kesehatan

    1. Alat kesehatan diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan atas dasar indikasi medis.

    2. Pelayanan Alat kesehatan harus dilegalisasi terlebih dahulu oleh BPJS Center terkait dengan jangka waktu penjaminan.

    3. Jenis dan plafon harga alat kesehatan sesuai dengan Kompendium Alat Kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan

    4. Apabila atas indikasi medis Rumah Sakit meresepkan alat kesehatan di luar Kompendium alat kesehatan yang berlaku maka dapat digunakan alat kesehatan lain berdasarkan persetujuan Komite Medik dan kepala/direktur rumah sakit.

    5. Pengadaan alat kesehatan dilakukan oleh Fasilitas kesehatan atau jejaringnya dengan mutu sesuai kebutuhan medis

    6. Tata laksana pelayanan alat kesehatan 1) Pompa Kelasi Besi

    a. Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan yang menderita anemia dengan kelebihan zst besi, misalnya pada pasien thalasemia major, sicklel cell anemia, Myelodysplsic Syndrome (MDS) Kelainan pada perederan dan penyimpanan zat besi atau kanker sesuai dengan indikasi medis;

    b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang diberikan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan;

    c. Pompa kelasi diberikan atas indikasi medis untuk pasien yang mendapatkan obat kelasi besi seperti Deferoksamin dan Deferiprone secara intramuscular.

    2) Kacamata a. Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan dengan gangguan

    penglihatan sesuai dengan indikasi medis b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang

    diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan

    c. Penjaminan pelayanan kacamata diberikan atas rekomedasi dari dokter spesialis mata dan dibuktikan dengan hasil pemeriksaan mata

    d. Ukuran kacamata yang dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah: - Untuk lensa spheris, minimal 0,5 dioptri - Untuk lensa silindris minimal 0,25 dioptri

    e. Kacamata dapat diberikan maksimal 1 kali dalam 2 (dua) tahun, kecuali atas indikasi medis

    3) Alat bantu dengan (hearing aid) a. Diberikan kepada peserta BPJS dengan kesehatan gangguan

    pendengaran sesuai dengan indikasi medis; b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang

    diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan

    c. Penjaminan pelayanan alat bantu dengar diberikan atas rekomendasi dari dokter spesialis THT;

    d. Alat bantu dengar dapat diberikan maksimal sekali dalam 5(lima) tahun per telinga, kecuali atas indikasi medis.

  • 31

    4) Prothesa gigi / gigi palsu a. Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan yang kehilangan gigi

    sesuai indikasi medis; b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang

    diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan

    c. Penjaminan pelayanan prothesa gigi/gigi palsu diberikan atas rekomedasi dari dokter gigi;

    d. Prothesa gigi/gigi palsu dapat diberikan paling cepat 2 (dua) tahun sekali untuk gigi yang sama.

    5) Penyangga leher (collar neck/cervical collar/neck brace) a. Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan sebagai penyangga

    kepala dan leher karena trauma pada leher dan kepala ataupun faktur pada tulang cervix sesuai dengan indikasi medis;

    b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan

    6) Jaket Penyangga Tulang (Corset) a. Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan yang mengalami

    kelainan / gangguan tulang atau kondisi lain sesuai dengan indikasi medis;

    b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan

    c. Jaket peyangga tulang dapat diberikan maksimal 1 kali dalam 2 (dua) tahun, kecuali atas indikasi medis.

    7) Prothesa alat gerak (kaki dan/atau tangan tiruan) a. Diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan sesuai dengan indikasi

    medis; b. Merupakan bagian dari pemeriksaan dan penanganan yang

    diberikan pada fasilitas kesehatan rujukan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan

    c. Diberikan atas rekomendasi dari dokter spesialis orthopedic; d. Prothesa alat gerak dapat diberikan paling cepat 5 (lima) tahun

    sekali untuk bagian tubuh yang sama, kecuali atas indikasi medis.

    G. Alat kesehatan lain sesuai dengan kebutuhan dan indikasi medis 1. Peserta BPJS Kesehatan berhak mendapatkan alat kesehatan/alat bantu

    kesehatan selain yang disebutkan di atas atas dasar indikasi medis; 2. Alat kesehatan/alat bantu kesehatan lain tersebut bagian dari pemeriksaan

    dan penanganan yang diberikan pada Faskes rujukan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan;

    3. Diberikan atas rekomendasi dari dokter spesialis sesuai dengan kompetensinya masing-masing.

    H. Pelayanan Rujukan Parsial

    1. Setiap Fasilitas kesehatan yang mengirim rujukan pelayanan yang merupakan bagian dari paket INA CBGs seperti rujukan pemeriksaan penunjang/spesimen dan tindakan saja maka beban biaya menjadi tanggung jawab Fasilitas kesehatan perujuk;

    2. Fasilitas kesehatan perujuk membayar biaya tersebut ke Fasilitas kesehatan penerima rujukan atas pelayanan yang diberikan;

    3. BPJS Kesehatan membayar paket INA CBGs ke Fasilitas kesehatan perujuk.

  • 32

    I. Pelayanan Ambulans

    1. Pelayanan Ambulans merupakan pelayanan transportasi pasien rujukan dengan kondisi tertentu antar Fasilitas Kesehatan disertai dengan upaya atau kegiatan menjaga kestabilan kondisi pasien untuk kepentingan keselamatan pasien;

    2. Pelayanan Ambulans hanya dijamin bila rujukan dilakukan pada Fasilitas Kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS atau pada kasus gawat darurat dari Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dengan tujuan penyelamatan nyawa pasien;

    3. Pelayanan Ambulans di luar ketentuan poin 1 dan 2 di atas tidak dijamin termasuk jemput pasien dari rumah, antar pasien ke rumah, rujukan parsial (antar jemput pemeriksaan penunjang/spesimen dan tindakan saja);

    4. Yang dimaksud dengan kondisi tertentu pada poin 1 di atas adalah : a. kondisi pasien sesuai indikasi medis berdasarkan rekomendasi medis

    dari dokter yang merawat b. kondisi kelas perawatan sesuai hak peserta penuh dan pasien sudah

    dirawat paling sedikit selama 3 hari di kelas satu tingkat di atasnya J. Pelayanan Rujuk Balik

    Pelayanan Obat Program Rujuk Balik adalah pemberian obat-obatan penyakit kronis di fasilitas kesehatan tingkat pertama sebgai bagian dari program pelayanan rujuk nalik. Penyakit yang dikelola melalui program rujuk balik, yaitu Diabetes Militus dn Hipertensi

    Ketentuan pelayanan obat Program Rujuk Balik

    a. pelayanan obat berdasarkan resep dari dokter spesialis/sub-spesialis di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan sebgai pengobatan atas diagnose sesuai ketentuan Program Rujuk Balik, yaitu Diabetes Militus dan Hipertensi.

    b. Dokter spesialis/sub-spesialis di Fasilitas Kesehatan rujukan Tingkat Lanjutan bias meresepkan obat pendamping, yaitu obat lain untuk mengatasi efek samping dari obat penyakit untama atau untuk mengobati penyakit kronis penyerta/penyulit pada peserta. Obat pendamping harus mengacu pada ketenutan dalam Daftar Obat Formularium Nasional.

    c. Obat Program Rujuk Balik yang dijamin oleh BPJS Kesehatan adalah obat yang tercantum dan sesuai ketentuan dalam Daftar Obat Formularium Nasional yang berlaku.

    K. Pelayanan Kesehatan yang tidak dijamin

    1. pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku;

    2. pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali untuk kasus gawat darurat;

    3. pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja;

    4. pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; 5. pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik termasuk sirkumsisi tanpa

    indikasi medis; 6. pelayanan untuk mengatasi infertilitas; 7. pelayanan meratakan gigi (ortodonsi);

  • 33

    8. gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau alkohol;

    9. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri (bungy jumping, rafting, dan lain lain);

    10. pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);

    11. pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen);

    12. alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu; 13. perbekalan kesehatan rumah tangga; 14. pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian

    luar biasa/wabah, dan; 15. biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan Manfaat

    Jaminan Kesehatan yang diberikan.

    II. PROSEDUR PELAYANAN KESEHATAN 1. Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL)

    a. Peserta membawa identitas BPJS Kesehatan serta surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama

    b. Surat rujukan berlaku untuk maksimal 1 (satu) bulan sejak tanggal tujukan diterbitkan

    c. Peserta melakukan pendaftaran ke RS dengan memperlihatkan identitas dan surat rujukan

    d. Fasilitas kesehatan bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan keabsahan kartu dan surat rujukan serta melakukan entry data ke dalam aplikasi Surat Elijibilitas Peserta (SEP) dan melakukan pencetakan SEP. Ketentuan penerbitan SEP untuk pelayanan rutin (mis: Kemoterapi, HD, fisioterapi, perawatan saluran akar, dll) harus melampirkan :

    - kasus Kemoterapi (special drug) : regimen (jadual dan rencana pemberian obat). Misalnya : pasien dengan diagnose Ca mamae dengan tindakan kemoterapi dan mendapatkan obat Trastuzumab (Herceptin).

    - HD/CAPD : form perencanaan HD, untuk pasien yang memerlukan tindakan HD 3 x seminggu melampirkan surat keterangan dari dokter KGH atau dokter spesialis penyakit dalam penanggung jawab hemodialisa bersertifikat.--> sesuaikan SE Direksi ttg pel HD th.2012

    - Fisioterapi : harus ada assessment dan rencana terapi dari dokter spesialis Rehab Medik

    - perawatan saluran akar : Rencana perawatan sampai dengan tumpatan permanen dari dokter gigi yang merawat

    e. Petugas BPJS kesehatan melakukan legalisasi SEP; f. Fasilitas kesehatan melakukan pemeriksaan, perawatan, pemberian

    tindakan, obat dan BMHP; g. Setelah mendapatkan pelayanan peserta menandatangani bukti pelayanan

    pada lembar yang disediakan. Lembar bukti pelayanan disediakan oleh masing-masing faskes;

    h. Fasilitas kesehatan menagihkan klaim dalam sistem paket INA CBGs; i. Setelah mendapatkan pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat lanjutan di

    Fasilitas kesehatan, beberapa kemungkinan adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan telah selesai dan pasien pulang;

  • 34

    2. Pasien pulang, pelayanan belum selesai dan diperintahkan untuk pemeriksaan penunjang pada hari berikutnya;

    3. Pelayanan selesai, tetapi diperintahkan untuk kontrol; 4. Peserta di rujuk ke UPF lain dalam Rumah Sakit (rujukan Intern); 5. Peserta dirawat inap; 6. Peserta dirujuk ke Faskes lanjutan lain :

    - Kepada peserta diberikan surat rujukan/konsul extern. Surat rujukan/konsul extern harus dilegalisasi oleh petugas BPJS di unit BPJS Center

    - Dengan membawa surat rujukan tersebut peserta mendapat pelayanan di Fasilitas kesehatan penerima rujukan, melalui unit BPJS Center

    2. Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL)

    a. Peserta melakukan pendaftaran ke RS dengan membawa identitas BPJS Kesehatan serta surat perintah rawat inap dari poli atau unit gawat darurat;

    b. Peserta harus melengkapi persyaratan administrasi sebelum pasien pulang atau maksimal 3 x 24 jam hari kerja;

    c. Fasilitas kesehatan bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan keabsahan kartu dan surat rujukan serta melakukan entry data ke dalam aplikasi Surat Elijibilitas Peserta (SEP) dan melakukan pencetakan SEP;

    d. Petugas BPJS kesehatan melakukan legalisasi SEP; e. Fasilitas kesehatan melakukan pemeriksaan, perawatan, pemberian

    tindakan, obat dan BMHP; f. Setelah mendapatkan pelayanan peserta menandatangani bukti pelayanan

    pada lembar yang disediakan. Lembar bukti pelayanan disediakan oleh masing-masing faskes;

    g. Fasilitas kesehatan menagihkan klaim dalam sistem paket INA CBGs; h. Setelah mendapatkan pelayanan kesehatan RITL, beberapa kemungkinan

    tindak lanjut pelayanan, adalah sebagai berikut: (1) Pelayanan RITL selesai dan pasien pulang. (2) Pelayanan RITL selesai, tetapi peserta diperintahkan untuk kontrol:

    - Kepada peserta diberikan surat perintah kontrol. - Pada saat Peserta tersebut melaksanakan kontrol, peserta datang

    ke RS dan unit BPJS Center dengan menyerahkan surat perintah kontrol.

    - Surat perintah control berlaku maksimal sebanyak 2 (dua) kali kunjungan

    (3) Peserta dirujuk balik; (4) Peserta dirujuk ke Fasilitas kesehatan lanjutan lain :

    - Kepada peserta diberikan surat rujukan/konsul extern. Surat rujukan/konsul extern harus dilegalisasi oleh petugas BPJS di unit BPJS Center.

    - Dengan membawa surat rujukan tersebut peserta mendapat pelayanan di Fasilitas kesehatan penerima rujukan, melalui unit BPJS Center

    3. Pelayanan Alat Kesehatan

    1). Pelayanan alat kesehatan rawat jalan a) Peserta mendapatkan pelayanan medis dan/atau tindakan medis di

    Fasilitas kesehatan; b) Dokter menuliskan resep alat kesehatan sesuai dengan indikasi

    medis;

  • 35

    c) Pelayanan Alat Kesehatan harus dilegalisasi terlebih dahulu oleh BPJS Center terkait dengan jangka waktu penjaminan.

    d) Peserta mengambil alat kesehatan di Instalasi Farmasi RS dengan membawa identitas dan bukti pelayanan yang diperlukan;

    e) Petugas Instalasi Farmasi melakukan verifikasi Resep dan bukti pendukung lain;

    f) Untuk alat kesehatan yang disediakan oleh jejaring PIHAK KEDUA, maka verifikasi resep dan bukti pendukung dilakukan oleh Petugas Jejaring;

    g) Peserta menandatangani bukti penerimaan alat kesehatan.

    2). Pelayanan alat kesehatan rawat inap a) Peserta mendapatkan pelayanan medis dan/atau tindakan medis di

    Fasilitas kesehatan; b) Dokter menuliskan resep alat kesehatan sesuai dengan indikasi

    medis; c) Pelayanan Alat Kesehatan harus dilegalisasi terlebih dahulu oleh

    BPJS Center terkait dengan jangka waktu penjaminan. d) Peserta mengambil alat kesehatan di Instalasi Farmasi RS dengan

    membawa identitas dan bukti pelayanan yang diperlukan; e) Petugas Instalasi Farmasi melakukan verifikasi Resep dan bukti

    pendukung lain; f) Peserta menandatangani bukti penerimaan alat kesehatan.

    4. Pelayanan Gawat Darurat 1) Pada kondisi gawat darurat, Peserta dapat langsung ke Rumah Sakit

    melalui Unit Gawat Darurat (UGD) tidak perlu surat rujukan dari PPK Tingkat Pertama;

    2) Fasilitas kesehatan bertanggung jawab untuk melakukan pengecekan keabsahan kartu dan melakukan entry data ke dalam aplikasi Surat Eligibilitas Peserta (SEP) dan melakukan pencetakan SEP.

    5. Pelayanan Rujuk Balik 1) Peserta berobat ke Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama dimana peserta

    tersebut terdaftar dengan membawa identitas diri; 2) Apabila atas indikasi medis peserta memerlukan pemeriksaan ataupun

    tindakan spesialis/sub-spesialis, maka Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama akan memberikan rujukan ke Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan;

    3) Peserta mendaftar ke BPJS Center dengan membawa surat rujukan dan identitas diri untuk mendapatkan SEP;

    4) Dokter Spesialis/Sub Spesialis melakukan pemeriksaan kepada peserta sesuai kebutuhan indikasi medis;

    5) Apabila peserta didiagnosa penyakit kronis maka peserta mendapatkan pelayanan kesehatan secara rutin di Fasilitas kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan hingga diperoleh kondisi terkontrol/stabil sesuai panduan klinis penyakit kronis;

    6) Setelah peserta ditetapkan dalam kondisi terkontrol/stabil, maka dokter Spesialis/Sub Spesialis memberikan SRB (Surat Rujuk Balik) kepada Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama dimana peserta yang bersangkutan terdaftar.

  • 36

    6. Pelayanan Ambulans 1) BPJS Kesehatan wajib memberikan daftar penyedia ambulans kepada

    Fasilitas kesehatan yang bekerjasama maupun tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan di wilayah kerjanya;

    2) Dalam rangka evakuasi pasien bagi Fasilitas kesehatan yang tidak mempunyai ambulan agar berkoordinasi dengan penyedia ambulan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan;

    3) Untuk Fasilitas kesehatan yang mempunyai ambulan dapat langsung menggunakan ambulans tersebut;

    4) Proses rujukan antar Fasilitas kesehatan mengikuti ketentuan sistem rujukan berjenjang yang berlaku.

  • 37

    Lampiran I Perjanjian antara

    Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Cabang Utama Surabaya dan Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya

    Nomor :

    Nomor : 492/RSMU/PKS/XII/2013

    TATA CARA PEMBAYARAN KLAIM PELAYANAN KESEHATAN TINGKAT LANJUTAN

    1. Pengajuan klaim pelayanan kesehatan tingkat lanjutan kepada Kantor

    Cabang/Kantor Kabupaten/Kota BPJS Kesehatan dilakukan oleh setiap Fasilitas Kesehatan tingkat lanjutan secara kolektif setiap bulan, atas pelayanan yang sudah diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan dan keluarganya.

    2. Pelaksaaan INA CBGs a. Klaim pelayanan tingkat lanjutan dilakukan dengan system INA

    CBGs. Untuk dapat mengoperasikan software INA-CBGs maka Fasilitas Kesehatan lanjutan harus mempunyai nomor registrasi. Apabila Fasilitas Kesehatan lanjutan belum mempunyai nomor registrasi, maka Fasilitas Kesehatan membuat surat permintaan nomor registrasi kepada Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI;

    b. Untuk memenuhi kesesuaian INA-CBGs, dokter berkewajiban melakukan penegakan diagnosis yang tepat dan jelas sesuai International Code Diseases Ten (ICD-10) dan International Code Diseases Nine (ICD-9) Clinical Modification (CM). Dalam hal tertentu coder dapat membantu proses penulisan diagnosis sesuai ICD-10 dan ICD-9 CM. Dokter penanggung jawab harus menuliskan nama dengan jelas serta menandatangani berkas pemeriksaan (resume medik);

    c. Pada kasus-kasus dengan diagnosis yang kompleks dengan severity level 3 menurut kode INA-CBGs harus mendapatkan pengesahan dari Komite Medik;

    d. Pasien yang masuk ke instalasi rawat inap sebagai kelanjutan dari proses perawatan di instalasi rawat jalan atau instalasi gawat darurat hanya diklaim menggunakan 1 (satu) kode INA-CBGs dengan jenis pelayanan rawat inap;

    e. Pasien yang datang pada dua atau lebih instalasi rawat jalan dengan dua atau lebih diagnosis akan tetapi diagnosis tersebut merupakan diagnosis sekunder dari diagnosis utamanya maka diklaimkan menggunakan 1 (satu) kode INA-CBGs;

    f. Fasilitas Kesehatan lanjutan melakukan pelayanan dengan efisien dan efektif agar biaya pelayanan seimbang dengan tarif INA-CBGs.

  • 38

    3. Penagihan Klaim pelayanan Kesehatan a. Faskes Lanjutan membuat tagihan klaim atas biaya pelayanan

    kesehatan dengan menggunakan Software INA-CBGs. b. Petugas penagihan harus mengisi data variable pasien yang diperlukan

    dalam software INA CBGs yaitu : - Identitas pasien (nomor rekam medis dll) - Nomor Jaminan Peserta - Nomor Surat Eligibilitas Peserta (SEP) - Jenis Perawatan - Tanggal masuk rumah sakit - Tanggal keluar rumah sakit - Lama perawatan (LOS) - Nama dokter - Jumlah biaya riil rumah sakit - Tanggal lahir - Umur (dalam tahun) ketika masuk rumah sakit - Umur (dalam hari) ketika masuk rumah sakit - Jenis kelamin - Pengesahan severity level - Surat rujukan - Status ketika pulang - Berat badan baru lahir (dalam gram) - Diagnosis utama - Diagnosis sekunder (komplikasi & ko-morbiditi) - Prosedur/tindakan

    c. Pengajuan klaim PIHAK KEDUA kepada PIHAK PERTAMA

    dilakukan setiap bulan secara rutin paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dalam bentuk softcopy berupa file txt dan hardcopy meliputi : - SEP - Surat rujukan (jika SEP diterbitkan RS) - Untuk rawat jalan melampirkan bukti pelayanan yang

    mencantumkan diagnose dan prosedur serta ditandatangani oleh DPJP

    - Surat perintah rawat inap - Resume medis (untuk rawat inap) yang ditandatangani oleh DPJP - Laporan operasi - Protocol terapi dan regimen (jadual pemberian obat) pemberian obat

    khusus - Resep alat kesehatan (diluar prosedur operasi) - Tanda terima alat kesehatan (kacamata, alat bantu dengar, alat bantu

    gerak dll) - Billing system atau perincian tagihan manual Rumah Sakit - Berkas pendukung lain yang diperlukan

    4. Selanjutnya tagihan klaim tersebut akan diverifikasi oleh Petugas

    Verifikator BPJS Kesehatan dengan menggunakan Software verifikasi Klaim BPJS Kesehatan

  • 39

    5. Setelah verifikasi selesai dilakukan, dibuat laporan pertanggungjawaban, yaitu:

    a. Rekapitulasi Klaim yang berisi jumlah klaim dan total klaim keseluruhan.

    b. Rekapitulasi Klaim Rawat Jalan - Berisi rekapitulasi klaim Rawat Jalan per hari - Ditanda tangani kedua belah pihak - Buat salinan (fotocopy) sebagai arsip verifikator - Simpan secara digital sebagai arsip

    c. Rekapitulasi Klaim Rawat Inap - Berisi daftar klaim Rawat Inap per hari - Ditanda tangani kedua belah pihak - Buat salinan (fotocopy) sebagai arsip verifikator - Simpan secara digital sebagai arsip

    d. Klaim koreksi

    6. Pembay