Askep Demensia
-
Upload
heny-wulandari -
Category
Documents
-
view
291 -
download
0
Transcript of Askep Demensia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Demensia sebenarnya adalah penyakit penuaan. Di antara orang Amerika
yang berusia 65 tahun, kira-kira 5% menderita demensia berat, dan 15%
menderita demensia ringan. Di antara orang Amerika yang berusia 80 tahun,
kira-kira 20% menderita demensia berat.
Dari semua pasien dengan demensia, 50 – 60% menderita demensia tipe
Alzheimer, yang merupakan tipe demensia yang paling sering. Kira-kira 5%
dari semua orang yang mencapai usia 65 tahun menderita demensia tipe
Alzheimer, dibanding dengan 15 – 25% dari semua orang yang berusia 85
tahun atau lebih.
Tipe demensia yang paling sering kedua adalah demensia vaskuler, yang
berjumlah kira-kira 15 – 30% dari semua kasus demensia. Demensia vaskuler
paling sering ditemukan pada orang yang berusia antara 60 – 70 tahun dan
lebih sering pada laki-laki dibanding wanita.
Masing-masing 1 – 5% kasus adalah demensia yang berhubungan dengan
trauma kepala, berhubungan dengan alkohol, dan berbagai demensia yang
berhubungan dengan pergerakan (misalnya penyakit Huntington dan penyakit
parkinson).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Bagaimana asuhan keperawatan klien lansia dengan demensia?
1.3 TUJUAN UMUM
untuk lebih memahami apa itu demensia serta bagaimana pengobatannya
untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Komunitas
1
1.4 TUJUAN KHUSUS
Untuk mengetahui definisi Demensia
Untuk mengetahui bagaimana etiologi dari Demensia
Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari Demensia
Untuk mengetahui bagaimana klasifikasi dari Demensia
Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari Demensia
Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari Demensia
Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari Demensia
Untuk mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari Demensia
2
BABII
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan
fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Gangguan fungsi kognitif antara
lain pada intelegensi, belajar dan daya ingat, bahasa, pemecahan masalah,
orientasi, persepsi, perhatian dan konsentrasi, penyesuaian, dan kemampuan
bersosialisasi. (Arif Mansjoer, 1999)
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi
vegetatif atau keadaan yang terjadi. Memori, pengetahuan umum, pikiran
abstrak, penilaian, dan interpretasi atas komunikasi tertulis dan lisan dapat
terganggu. (Elizabeth J. Corwin, 2009)
Demensia adalah penurunan fungsi intelektual yang menyebabkan
hilangnya independensi sosial. (William F. Ganong, 2010)
Menurut Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar
penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa
penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan
tingkah laku.
2.2 ETIOLOGI
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3
golongan besar :
1. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak
dikenal kelainan yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara
biokimiawi pada sistem enzim, atau pada metabolism
2. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat
diobati, penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
Penyakit degenerasi spino-serebelar.
Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
Khorea Huntington
3
3. Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam
golongan ini diantaranya
Penyakit cerebro kardiofaskuler
penyakit- penyakit metabolic
Gangguan nutrisi
Akibat intoksikasi menahun
2.3 MANIFESTASI KLINIS
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan
kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.
Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia
enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak
memperlihatkan gejalayang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana
Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif.
Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat
nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri
sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan
berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal bersama,
mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin
menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan
dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah
masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang
tua mereka. Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi
pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif.
Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain
dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja
Lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di
sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit di mana
demensia bukanlah menjadi hal utama focus pemeriksaan.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang
semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami
4
dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita
demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat
memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota
keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku
(Behavioral symptom) yang dapatterjadi pada Lansia penderita demensia di
antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas,
disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi,
apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E.
1998).
Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:
Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia,
“lupa”menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu,
bulan, tahun,tempat penderita demensia berada
Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang
benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi,
mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang
dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan.
Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan
tersebut muncul. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh,
menarik diri dan gelisah
2.4 KLASIFIKASI
1. Menurut Kerusakan Struktur Otak
a. Tipe Alzheimer
Alzheimer adalah kondisi dimana sel saraf pada otak mengalami
kematian sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di
transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita
Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat
5
keputusan dan juga penurunan proses berpikir. Sekitar 50-60%
penderita demensia disebabkan karena penyakit Alzheimer.
Demensia ini ditandai dengan gejala :
Penurunan fungsi kognitif dengan onset bertahap dan progresif,
Daya ingat terganggu, ditemukan adanya : afasia, apraksia,
agnosia, gangguan fungsi eksekutif,
Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru,
Perubahan kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan),
Kehilangan inisiatif.
Penyakit Alzheimer dibagi atas 3 stadium berdasarkan beratnya
deteorisasi intelektual :
a) Stadium I (amnesia)
Berlangsung 2-4 tahun
Amnesia menonjol
Perubahan emosi ringan
Memori jangka panjang baik
Keluarga biasanya tidak terganggu
b) Stadium II (Bingung)
Berlangsung 2 – 10 tahun
Episode psikotik
Agresif
Salah mengenali keluarga
c) Stadium III (Akhir)
Setelah 6 - 12 tahun
Memori dan intelektual lebih terganggu
Membisu dan gangguan berjalan
Inkontinensia urin
b. Demensia Vascular
Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah
di otak dan setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat
berakibat terjadinya demensia. Depresi bisa disebabkan karena lesi
6
tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga
depresi dapat diduga sebagai demensia vaskular.
Tanda-tanda neurologis fokal seperti :
Peningkatan reflek tendon dalam
Kelainan gaya berjalan
Kelemahan anggota gerak
2. Menurut Umur:
a. Demensia senilis ( usia >65tahun)
b. Demensia prasenilis (usia <65tahun)
3. Menurut perjalanan penyakit :
a. Reversibel (mengalami perbaikan)
b. Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural
hematoma, vit.B, Defisiensi, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)
Pada demensia tipe ini terdapat pembesaran vertrikel dengan
meningkatnya cairan serebrospinalis, hal ini menyebabkan adanya :
Gangguan gaya jalan (tidak stabil, menyeret).
Inkontinensia urin.
Demensia.
4. Menurut sifat klinis:
a. Demensia proprius
b. Pseudo-demensia
2.5 PATOFISIOLOGI
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang
dijumpai pada penyakit demensia Alzheimer. Serabut neuron yang kusut
(masa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak senile atau neuritis (deposit
pritein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein precusor amiloid
(APP). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri
dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak. Perubahan serupa juga dijumpai
7
pada tonjolan kecil jaringan otak normal lansia. Sel utama yang terkena
penyakit ini adalah menggunakan neurotransmitter asetilkolin. Secara
biokomia, produksi asetilkolion yang mempengaruhi aktivitas menurun.
Asetilkolin terutan terlibat dalam proses ingatan.
Kerusakan serebri terjadi bila pasokan darah keotak terganggu. Infark,
kematian jaringan otak, terjadi dengan kecepatan yang luar biasa. Infark
serebri kecil-kecil multiple-infark. Pada penyakit Alzeimer terjadi penurunan
yang progresif, sebaliknya progresi demensia multi-infark tidak beraturan.
Setiap infark yang kecil diikuti penyembuhan dan masa stabil sampai terjadi
infark kemudian. Biasanya pasien mempunyai riwayat penyakit
kardiovaskuler atau serebrovaskuler.
Pusing, sakit kepala dan penurunan kekuatan fisik dan mental adalah
tanda-tanda awal penyakit. Pada lebih dari setengah kasus, penyakit ini
muncul sebagai kebingungan yang mendadak. Kemudian diikuuti kehilangan
ingatan yang mendadak. Kemudian diikuti kehilangan ingatan bertahap.
Pasien bisa mengalami halusinasi dan menunjukkan tanda-tanda delirium, bisa
terjadi gangguan bicara.
2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis
demensia ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia
khususnya pada demensia reversible, walaupun 50% penyandang
demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium normal,
pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah
lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati,
hormone tiroid, kadar asam folat
8
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance
Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia
walaupun hasilnya masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan
pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut
dapat memberi gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik
4. Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan
panas, demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis
(+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid
polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4.
setiap allel mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya
frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe awitan
lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon
4 sebagai penanda semakin meningkat.
6. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas
sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003) Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai
penambahan pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi
kognitif, minimal yang mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi
visuospatial, kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi
sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan untuk
membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya syarat
pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Mampu menyaring secara cepat suatu populasi
9
b. Mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah
diindentifikaskan demensia.
7. Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE)
adalah test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk,2004) tetapi
sensitif untuk mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003)
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering
dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam
mendeteksi gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau
penurunan kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap
abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi yang signifikan pada
penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003).
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling
rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini
mengidentifikasikan resiko untuk demensia. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor
MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk yang > 80
tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun, 26 untuk
yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4
tahun.Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum
pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode
yang dapat menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan.
(Burns,2002). Penilaian fungsi kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori
antara lain gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan, aktivitas
sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi, perawatan diri. Nilai yang dapat
pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif
yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan kognitif. Nilai 0,5,
untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat demensia
ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3,
10
menggambarkan suatu derajat demensia yang berat. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003, Golomb,2001)
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.
a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat - obatan
antikoliesterase seperti Donepezil , Rivastigmine , Galantamine ,
Memantine
b. Dementia vaskuler membutuhkan obat -obatan anti platelet seperti
Aspirin , Ticlopidine , Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah
ke otak sehingga memperbaiki gangguan kognitif.
c. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati,
tetapi perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan
dengan mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang
berhubungan dengan stroke.
d. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-
depresi seperti Sertraline dan Citalopram.
e. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang
bisa menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-
psikotik (misalnya Haloperidol , Quetiapine dan Risperidone). Tetapi
obat ini kurang efektif dan menimbulkan efek samping yang serius.
Obat anti-psikotik efektif diberikan kepada penderita yang
mengalami halusinasi atau paranoid.
2. Dukungan atau Peran Keluarga
a. Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu
penderita tetap memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya
yang terang, jam dinding dengan angka-angka yang besar atau
radio juga bisa membantu penderita tetap memiliki orientasi.
b. Menyembunyikan kunci mobil dan memasang detektor pada
pintu bisa membantu mencegah terjadinya kecelekaan pada
penderita yang senang berjalan-jalan.
11
c. Menjalani kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya
secara rutin, bisa memberikan rasa keteraturan kepada penderita.
d. Memarahi atau menghukum penderita tidak akan membantu,
bahkan akan memperburuk keadaan.
e. Meminta bantuan organisasi yang memberikan pelayanan sosial
dan perawatan, akan sangat membantu.
3. Terapi Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik,
meliputi :
a. Diet
b. Latihan fisik yang sesuai
c. Terapi rekreasional dan aktifitas
d. Penanganan terhadap masalah-masalah
12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a. Identitas pasien
b. Riwayat kesehatan
c. Status kesehatan
d. Status kesehatan mental
e. Aspek kognitif, pembelajaran dan memori
f. Perubahan sistem tubuh
Perubahan kardiovaskuler
Perubahan sistem pernafasan
Perubahan integlumen
Perubahan sistem reproduksi
Perubahan genitourinaria
Perubahan gastrointestinal
Perubahan kebutuhan nutrisi
Perubahan musculoskeletal
Perubahan sensorik
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis
(degenerasi neuron ireversibel) ditandai dengan hilang ingatan atau
memori, hilang konsentrsi, tidak mampu menginterpretasikan stimulasi
dan menilai realitas dengan akurat.
b. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi,
transmisi atau integrasi sensori (penyakit neurologis, tidak mampu
berkomunikasi, gangguan tidur, nyeri) ditandai dengan cemas, apatis,
gelisah, halusinasi.
c. Perubahan pola tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan
ditandai dengan keluhan verbal tentang kesulitan tidur, terus-menerus
terjaga, tidak mampu menentukan kebutuhan/ waktu tidur.
13
d. Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas,
menurunnya daya tahan dan kekuatan ditandai dengan penurunan
kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari.
e. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan,
kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktivitas kejang.
f. Resiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mudah lupa, kemunduran hobi, perubahn sensori.
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx 1: Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis
(degenerasi neuron ireversibel) ditandai dengan hilang ingatan atau memori,
hilang konsentrsi, tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai
realitas dengan akurat.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien mampu
mengenali perubahan dalam berpikir
Kriteria Hasil:
Mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani
konsekuensi kejadian yang menegangkan terhadap emosi dan pikiran
tentang diri.
Mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi anggapan diri yang
negative.
Mampu mengenali tingkah laku dan faktor penyebab.
No Intervensi Rasional
1 Kembangkan lingkungan yang
mendukung dan hubungan klien-perawat
yang terapeutik.
Mengurangi kecemasan dan
emosional.
2 Pertahankan lingkungan yang
menyenangkan dan tenang.
Kebisingan merupakan sensori
berlebihan yang meningkatkan
gangguan neuron.
3 Tatap wajah ketika berbicara dengan Menimbulkan perhatian, terutama
14
klien. pada klien dengan gangguan
perceptual.
4 Panggil klien dengan namanya. Nama adalah bentuk identitas diri dan
menimbulkan pengenalan terhadap
realita dan klien.
5 Gunakan suara yang agak rendah dan
berbicara dengan perlahan pada klien.
Meningkatkan pemahaman. Ucapan
tinggi dan keras menimbulkan stress
yg mencetuskan konfrontasi dan
respon marah.
Dx 2: Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi,
transmisi atau integrasi sensori (penyakit neurologis, tidak mampu
berkomunikasi, gangguan tidur, nyeri) ditandai dengan cemas, apatis, gelisah,
halusinasi.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan perubahan
persepsi sensori klien dapat berkurang atau terkontrol
Kriteria Hasil:
Mengalami penurunan halusinasi.
Mengembangkan strategi psikososial untuk mengurangi stress.
Mendemonstrasikan respons yang sesuai stimulasi.
No Intervensi Rasional
1 Kembangkan lingkungan yang suportif
dan hubungan perawat-klien yang
terapeutik.
Meningkatkan kenyamanan dan
menurunkan kecemasan pada klien.
2 Bantu klien untuk memahami halusinasi. Meningkatkan koping dan
menurunkan halusinasi.
3 Kaji derajat sensori atau gangguan
persepsi dan bagaiman hal tersebut
mempengaruhi klien termasuk penurunan
penglihatan atau pendengaran.
Keterlibatan otak memperlihatkan
masalah yang bersifat asimetris
menyebabkan klien kehilangan
kemampuan pada salah satu sisi
tubuh.
15
4 Ajarkan strategi untuk mengurangi stress. Untuk menurunkan kebutuhan akan
halusinasi.
5 Ajak piknik sederhana, jalan-jalan
keliling rumah sakit. Pantau aktivitas.
Piknik menunjukkan realita dan
memberikan stimulasi sensori yang
menurunkan perasaan curiga dan
halusinasi yang disebabkan perasaan
terkekang.
Dx 3: Perubahan pola tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan
ditandai dengan keluhan verbal tentang kesulitan tidur, terus-menerus terjaga,
tidak mampu menentukan kebutuhan/ waktu tidur.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
gangguan pola tidur pada klien
Kriteria Hasil:
Memahami faktor penyebab gangguan pola tidur.
Mampu menentukan penyebab tidur inadekuat.
Melaporkan dapat beristirahat yang cukup.
Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat.
No Intervensi Rasional
1 Jangan menganjurkan klien tidur siang
apabila berakibat efek negative terhadap
tidur pada malam hari.
Irama sirkadian (irama tidur-bangun)
yang tersinkronisasi disebabkan oleh
tidur siang yang singkat.
2Evaluasi efek obat klien (steroid, diuretik)
yang mengganggu tidur.
Deragement psikis terjadi bila
terdapat panggunaan kortikosteroid,
termasuk perubahan mood, insomnia.
3 Tentukan kebiasaan dan rutinitas waktu
tidur malam dengan kebiasaan
klien(memberi susu hangat).
Mengubah pola yang sudah terbiasa
dari asupan makan klien pada malam
hari terbukti mengganggu tidur.
4 Memberikan lingkungan yang nyaman
untuk meningkatkan tidur(mematikan
lampu, ventilasi ruang adekuat, suhu yang
Hambatan kortikal pada formasi
reticular akan berkurang selama tidur,
meningkatkan respon otomatik,
16
sesuai, menghindari kebisingan). karenanya respon kardiovakular
terhadap suara meningkat selama
tidur
5 Buat jadwal tidur secara teratur. Katakan
pada klien bahwa saat ini adalah waktu
untuk tidur.
Penguatan bahwa saatnya tidur dan
mempertahankan kesetabilan
lingkungan.
Dx 4: Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas,
menurunnya daya tahan dan kekuatan ditandai dengan penurunan kemampuan
melakukan aktivitas sehari-hari.
Tujuan: Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat
merawat dirinya sesuai dengan kemampuannya
Kriteria Hasil:
Mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuan.
Mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber pribadi/
komunitas yang dapat memberikan bantuan.
No Intervensi Rasional
1 Identifikasi kesulitan dalam
berpakaian/ perawatan diri, seperti:
keterbatasan gerak fisik, apatis/
depresi, penurunan kognitif seperti
apraksia.
Memahami penyebab yang
mempengaruhi intervensi. Masalah
dapat diminimalkan dengan
menyesuaikan atau memerlukan
konsultasi dari ahli lain
2 Identifikasi kebutuhan kebersihan diri
dan berikan bantuan sesuai kebutuhan
dengan perawatan rambut/kuku/ kulit,
bersihkan kaca mata, dan gosok gigi.
Seiring perkembangan penyakit,
kebutuhan kebersihan dasar mungkin
dilupakan
3 Perhatikan adanya tanda-tanda
nonverbal yang fisiologis.
Kehilangan sensori dan penurunan
fungsi bahasa menyebabkan klien
mengungkapkan kebutuhan perawatan
diri dengan cara nonverbal, seperti
17
terengah-engah, ingin berkemih dengan
memegang dirinya.
4 Beri banyak waktu untuk melakukan
tugas.
Pekerjaan yang tadinya mudah
sekarang menjadi terhambat karena
penurunan motorik dan perubahan
kognitif.
5 Bantu mengenakan pakaian yang rapi
dan indah
Meningkatkan kepercayaan untuk
hidup.
Dx 5: Resiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan,
kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktivitas kejang.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan Risiko cedera
tidak terjadi
Kriteria Hasil:
Meningkatkan tingkat aktivitas.
Dapat beradaptasi dengan lingkungan untuk mengurangi risiko trauma/
cedera.
Tidak mengalami cedera
No Intervensi Rasional
1 Kaji derajat gangguan kemampuan,
tingkah laku impulsive dan penurunan
persepsi visual. Bantu keluarga
mengidentifikasi risiko terjadinya bahaya
yang mungkin timbul
Mengidentifikasi risiko di
lingkungan dan mempertinggi
kesadaran perawat akan bahaya.
Klien dengan tingkah laku impulsi
berisiko trauma karena kurang
mampu mengendalikan perilaku.
Penurunan persepsi visual berisiko
terjatuh.
2 Hilangkan sumber bahaya lingkungan. Klien dengan gangguan kognitif,
gangguan persepsi adalah awal
terjadi trauma akibat tidak
bertanggung jawab terhadap
18
kebutuhan keamanan dasar.
3 Alihkan perhatian saat perilaku teragitasi/
berbahaya, memenjat pagar tempat tidur.
Mempertahankan keamanan dengan
menghindari konfrontasi yang
meningkatkan risiko terjadinya
trauma.
4 Kaji efek samping obat, tanda keracunan
(tanda ekstrapiramidal, hipotensi
ortostatik, gangguan penglihatan,
gangguan gastrointestinal).
Klien yang tidak dapat melaporkan
tanda/gejala obat dapat
menimbulkan kadar toksisitas pada
lansia. Ukuran dosis/ penggantian
obat diperlukan untuk mengurangi
gangguan
5 Hindari penggunaan restrain terus-
menerus. Berikan kesempatan keluarga
tinggal bersama klien selama periode
agitasi akut.
Membahayakan klien,
meningkatkan agitasi dan timbul
risiko fraktur pada klien lansia
(berhubungan dengan penurunan
kalsium tulang).
Dx 6: Resiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mudah lupa, kemunduran hobi, perubahn sensori.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien mendapat
nutrisi yang seimbang
Kriteria Hasil:
Mengubah pola asuhan yang benar
Mendapat diet nutrisi yang seimbang.
Mendapat kembali berat badan yang sesuai.
No Intervensi Rasional
1 Beri dukungan untuk penurunan berat
badan.
Motivasi terjadi saat klien
mengidentifikasi kebutuhan berarti.
2 Awasi berat badan setiap minggu. Memberikan umpan balik/
penghargaan.
3 Kaji pengetahuan keluarga/ klien Identifikasi kebutuhan membantu
19
mengenai kebutuhan makanan. perencanaan pendidikan.
4 Usahakan/ beri bantuan dalam memilih
menu
Klien tidak mampu menentukan
pilihan kebutuhan nutrisi.
5 Beri Privasi saat kebiasaan makan
menjadi masalah
Ketidakmampuan menerima dan
hambatan sosial dari kebiasaan
makan berkembang seiring
berkembangnya penyakit.
20
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya
berkembang secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran,
penilaian dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi
kemunduran kepribadian. Penyakit yang dapat dialami oleh semua orang dari
berbagai latar belakang pendidikan maupun kebudayaan. Walaupun tidak
terdapat perawatan khusus untuk demensia, namun perawatan untuk
menangani gejala boleh dilakukan.
Etiologi demensia:
Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal
kelainan
Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat
diobati
Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati
Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:
Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia,
“lupa”menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu,
bulan, tahun,tempat penderita demensia berada
Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang
benar, menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi,
mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang
dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tak beralasan.
Penderita demensia kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan
tersebut muncul. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh,
menarik diri dan gelisah
21
DAFTAR RUJUKAN
Bambang Sumantri, S.Kep.,Ns
http://mantrinews.blogspot.com/2011/12/patofisiologi-demensia.html (online)
diakses pada 05 desember 2012
Ramadhan, http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/10/03/demensia-pada-
lansia-3/ (online) diakses pada 05 desember 2012
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah .Vol 1 & 2.
EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I
Made Kariasa, Ni Made Sumarwati. EGC : Jakarta.
Elizabeth.J.Corwin. 2009. Buku Saku : Patofisiologi . Ed.3. EGC : Jakarta.
Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba medika : Jakarta
Nugroho, Wahjudi. 1999. Keperawatan Gerontik Edisi 2 Buku Kedokteran. EGC :
Jakarta.
Silvia.A.Price & Wilson, Patofisiologi . Ed.8. Jakarta. EGC.2006
Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. EGC; Jakarta.
22