Askep Clp Revisi

56
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN CLP (CLEFT LIP AND PALATUM) OlehKelompok 4 / AJ 1 Ni Nyoman Muni 131411123043 Kathleen Elvina H 131411123046 Triyana Puspa Dewi 131411123047 Titis Eka A 131411123049 Inas Husnun H 131411123051 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2015

description

Clep lift disorderr

Transcript of Askep Clp Revisi

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGANCLP (CLEFT LIP AND PALATUM)

OlehKelompok 4 / AJ 1

BA

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Labioskizis (celah bibir) dan palatoskizis (celah langit-langit mulut/palatum) merupakan malformasi fasial yang terjadi dalam perkembangan embrio. Keadaan ini sering dijumpai pada semua populasi dan dapat menjadi disabilitas yang berat pada orang yang terkena. Keduanya dapat terjadi secara terpisah atau yang lebih sering lagi, secara bersamaan. Labioskizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua prosesus nasalis maksilaris dan mediana, pataloskizis merupakan fisura pada garis tengah palatum akibat kegagalan penyatuan kedua sisinya. Pembahasan berikut ini terutama berkenaan dan labioskizis dan palatoskizis (Wong, 2009).

Labioskizis yang umurn dikenal dalam masyarakat sebagai bibir sumbing/celah bibir, dengan atau tanpa celah langit-langitl palatum (palatoskizis) adalah malformasi wajah yang umum di masyarakat, teljadi hampir pacta 1 dari 700 kelahiran di dunia. Pada populasi prenatal, banyak janin dengan labiopalatoskizis dan palatoskizis memiliki kelainan kromosom atau kelainan lain yang membuatnya tidak mampu bertahan hidup. Dengan demikian, insidens labiopalatoskizis dan palatoskizis pada populasi prenatal lebih besar dibandingkan dengan populasi postnatal (Kartika, 2014).

Insidensi labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis lebih kurang 1 dalam 800 kelahiran hidup. Insidensi palatoskizis saja adalah 1 dalam 2000 kelahiran hidup. Labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan palatoskizis lebih sering pada wanita. Defek ini tampaknya lebih sering terdapat pada orang Asia dan suku-suku tertentu penduduk asli Amerika dibandingkan pada kulit putih, pada orang kulit hitam defek tersebut lebih jarang ditemukan. (Wong, 2009).

lnsidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum adalah 1 dari 2.000 kelahiran di Amerika Serikat. Insidens bibir sumbing dengan atau tanpa celah palatum bervariasi berdasarkan etnis dan 1.000 kelahiran didapatkan pada etnis Indian 3,6, etnis Asia 2,1, etnis kulit putih 1,0, dan etnis kulit hiram 0,41. Sebaliknya, insidens celah palatum konstan pada semua etnis, yaitu 0,5 dan 1.000 kelahiran (Kartika, 2014).

Di Indonesia, kelainan ini cukup sering dijumpai, walaupun tidak banyak data yang mendukung. Jumlah penderita bibir sumbing dan celah palatum yang tidak tertangani di Indonesia mencapai 5000-6.000 kasus per tahun, diperkirakan akan bertambah 6.000- 7.000 kasus pertahun. Namun karena berbagai kendala, jumlah penderita yang bisa dioperasi jauh dari ideal hanya sekitar 1000-1500 pasien per tahun yang mendapat kesempatan menjalani operasi. Beberapa kendalanya adalah minimnya tenaga dokter, kurangnya informasi masyarakat tentang pengobatannya, dan mahalnya biaya operasi (Kartika, 2014).

Bayi yang terlahir dengan labioskizis dan palatoskizis harus ditangani dengan penatalaksanaan yang baik dan benar. Salah satu langkah awal dalam penatalaksaanan labioskizis dan palatoskizis adalah dengan memenuhi kebutuhan nutirisi dan bagaimana cara memberikan nutrisinya dengan benar. Selain itu, tindakan pembedahan bisa dilakukan berdasarkan umur dan tahap perkembangan bayi. Dari berbagai data-data tersebut, penting bagi perawat untuk mengetahui asuhan keperawatan yang dapat diberikan kepada pasien dengan labioskizis dan palatoskizis.

1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah Bagaimana konsep dan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan CLP?.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan UmumTujuan umum dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep CLP dan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan CLP.

1.3.2 Tujuan Khusus1) Menjelaskan anatomi dan fisiologi mulut2) Menjelaskan definisi CLP.

3) Menjelaskan etiologi CLP.4) Menjelaskan klasifikasi CLP.

5) Menjelaskan patofisiologi CLP.

6) Menjelaskan manifestasi klinis CLP.

7) Menjelaskan pemeriksaan diagnostic CLP.

8) Menjelaskan penatalaksanaan CLP.

9) Menjelaskan prognosis CLP.

10) Menjelaskan komplikasi CLP

11) Menjelaskan WOC CLP.

12) Menjelaskan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan CLP.

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Bibir dan Palatum. Bibir atau disebut juga labia, adalah lekukan jaringan lunak yang mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut Bibir terdiri dari otot orbikularis oris dan dilapisi oleh kulit pada bagian eksternal dan membran mukosa pada bagian internal (Seeley et al., 2008 ; Jahan-Parwar et al., 2011).

Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian inferior (Jahan-Parwar et al., 2011).

Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis, jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun dari bagian superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitel-epitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut tidak ditemukan pada bagian vermilion (Tortorra et al., 2009; Jahan-Parwar et al., 2011).

Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di bagian tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otot-otot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara.

Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses mengunyah dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole (palatum lunak).

Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring. Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama halnya dengan paltum durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Marieb and Hoehn, 2010; Jahan-Parwar et al., 2011).

Gambar 2.2. Anatomi Palatum

(Agave Clinic, 2007)

2.2 Pengertian CLPGambar 2.3 Bayi dengan Labioschisis(http://cdc.gov/ncbddd/bd/cleft.htm)Celah bibir dan celah palatum adalah kelainan congenital pada bibir dan palatum yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan (Speer, 2008).Bibir sumbing (BS) adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya prosesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik, sedangkan palatum sumbing (PS) adalah fisura garis tengah pada palatum yang terjadi karena kegagalan dua sisi untuk menyatu selama perkembangan embrionik (Sodikin, 2011).Labioschisis atau cleft lip atau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana terdapatnya celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa takik kecil pada bahagian bibir yang berwarna samapai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung. Celah pada satu sisi disebut labioschisis unilateral, dan jika celah terdapat pada kedua sisi disebut labioschisis bilateral (Mansjoer A, et al, 2005).2.3. Etiologi

Menurut Wongs (2011) banyak faktor tampaknya terlibat dalam etiologi cl dan cp, dan bukti menunjukkan bahwa cl dengan atau tanpa cp adalah sebuah perkembangan dan secara genetik berbeda dengan terisolasi cp. Sebagian besar kasus tampaknya sesuai dengan konsep warisan multifaktor yang dibuktikan dengan semakin meningkatnya insiden dalam keluarga dan pada anak kembar lebih tinggi ditemukan pada anak kembar monozygotic dibandingkan dengan anak kembar dizygotic. Saudara kandung anak dengan CL dengan atau tanpa CP memiliki sebuah peningkatan resiko anomali yang sama tapi tidak dari CP sendirian, dan sebaliknya.

Banyak gejala yang dikenal termasuk dalam CL dan CP sebagai kelainan. Beberapa dari sindrom adalah akibat dari kelainan kromosom, dan faktor faktor lingkungan teratogens mungkin atau bertanggung jawab atas celah celah di titik terpenting dalam perkembangan embrio. Obat-obatan seperti phenytoin, valproic asam, thalidomide, dan pestisida dioxin diketahui berperan pada cl/cp. Gizi ibu, terutama defisiensi asam folat, telah dikaitkan dengan celah pada manusia, seperti yang ibu konsumsi alkohol dan merokok selama kehamilan (Bender, 2000). Bukti menunjukkan bahwa ibu merokok di awal kehamilan terkait dengan 1,5 - untuk 2 - lipat peningkatan risiko atas orofacial clefts, terutama terisolasi clefts, dengan risiko meningkatkan secara proporsional dengan jumlah rokok merokok (Little, Cardy, and Munger, 2004; Wasserman, Lammer, and others, 1996).

Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi palatoschisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum berhubungan dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan processus (Tosun Z, Honuter M, Sentrk S, Savaci N, 2003).

1. Faktor herediterSekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan palatoschisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan palatoschisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita palatoschisis adalah sekitar 4%. Jika kedua orangtuanya tidak menderita palatoschisis, tetapi memiliki anak tunggal dengan palatoschisis maka resiko generasi berikutnya menderita penyakit yang sama juga sekitar 4%. Dugaan mengenai hal ini ditunjang kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked gen, yaitu Xq13-21 pada lokus 6p24 (Yuzuriha S, Mulliken JB, 2008).

Pada pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan lain yang menunjang, bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan langitan (khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal, maupun defek lahir lainnya.

2. Faktor lingkungan

Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid (golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan semester pertama seperti infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan palatoschisis (Yuzuriha S, Mulliken JB, 2008; Tosun Z, Honuter M, Sentrk S, Savaci N, 2003; Dudas M, Li WY, Kim J, Yang A, Kaartinen V, 2007).

2.4. Klasifikasi

Jenis labioskisis (celah bibir):

1. Sentral

Labioskisis ini sangat jarang dan terjadi sebagai akibat kegagalan fusi dari dua prosesus nasal median

2. Lateral

Labioskisis lateral adalah bentuk yang paling sering ditemukan dimana terdapat celah antara frenulum dan bagian lateral dari bibir atas. Jenis ini diakibatkan oleh fusi yang tidak sempurna dari prosesus maksilaris dengan prosesus nasal median. Varietas lateral dapat unilateral atau bilateral.

3. Komplit atau inkomplit

Pada kasus varietas komplit, labioskisis meluas ke dasar hidung. Pada kasus varietas inkomplit, labioskisis tidak meluas sampai lubang hidung.

4. Simpleks atau gabungan (kompleks)

Jenis kompleks merujuk ke labioskisis yang disertai dengan celah pada alveolus.

Jenis Labioschisis berdasarkan lokasi/ jumlah kelainan:

1. Unilateral

2. Bilateral

Gambar 2.4 Klasifikasi Labioschisis

Gambar 2.4 Klasifikasi

(http://www.allianceforsmiles.org /?q=content/what-cleft-lip-cleft-palate.htm)

Jenis palatoskisis (celah palatum) berdasarkan lengkap/tidaknya celah yang terbentuk:

1. Komplit

Kegagalan fusi dari prosesus palatine dengan premaksila mengakibatkan palatoskisis komplit. Pada situasi ini, kavum nasi dan mulut saling berhubungan. Bilamana premaksila tidak menyatu dengan kedua prosesus palatine, premaksila menggantung dari septum nasi.2. Inkomplit

Bilamana fusi dari tiga komponen palatum berlangsung, fusi dimulai dari uvula dan selanjutnya kea rah belakang. Dengan demikian, berbagai tipe fusi inkomplit terjadi :

a. Uvula bifida

b. Seluruh panjang palatum mole bifida

c. Seluruh panjang palatum mole dan bagian posterior palatum durum terlibat. Sebaliknya, bagian anterior palatum berkembang normal. Pada sekitar 25% kasus, palatoskisis saja dan pada 50% kasus, ditemukan palatoskisis maupun labioskisis.

satu sisi inkomplit satu sisi komplit dua sisi komplit

(Shenoy, 2014)

Ada tiga jenis kelainan cleft dalam Sulistyani & Budiraharjo (2013) :

1. Cleft lip tanpa disertai cleft palate

2. Cleft palate tanpa disertai cleft lip

3. Cleft lip dengan cleft palate

Gambar 2.5 KlasifikasiKlasifikasi Fogh Anderson ( Yudhautama, 2012) : Kelompok I : labioschisis (unilateral dan bilateral 0, derajat ringan (inkomplit) sampai berat (komplit) sammpai sejauh foramen incisivus

Kelompok II : labio atau palatoschisis unilateral atau bilateral

Kelompok III : Palatoschisis keras maupun lunak, dibelakang foramen incisivus

Kelompok IV : Celah pada wajah facial cleft

Klasifikasi lokasi celah bibir dan langit-langit yang diperkenalkan oleh Otto Kriens adalah sistem LAHSHAL yang dapat menjelaskan setiap lokasi celah pada bibir, alveolar, hard palate dan soft palate. Bibir disingkat sebagai L (Lips), gusi disingkat A (Alveolus). Langit langit dibagi dua yaitu H (Hard palate) dan S( Soft palate). Bila normal tidak ada celah maka urutannya dicoret celah komplit (lengkap) dengan huruf besar, celah inkomplit (tidak lengkap) dengan huruf kecil dan huruf kecil dalam kurung untuk kelainan microform.

Contohnya :

CLP/L -----L : cleft lip and palate. Lokasi celah berada dibibir kanan dan kiri, celah komplit

CLP/---SHAL : cleft lip and palate dengan lokasi celah komplit pada soft palate, hard palate, alveolus dan bibir

CLP/L------ : cleft lip and palate celah bibir sebelah kanan inkomplit

2.5. Patofisiologi

Pengembangan palatum primer dan sekunder berlangsung pada waktu yang berbeda dan melibatkan proses perkembangan yang berbeda. CL, atau palatum primer, termasuk bibir atas dan meluas melalui alveolar. CP, atau palatum sekunder mulai posterior alveolar dan meluas melalui anak lidah. CL dengan atau tanpa CP dari kegagalan proses rahang atas menyatu dengan ketinggian hidung pada keunggulan frontal, yang biasanya terjadi pada minggu keenam kehamilan. Dalam beberapa kasus CP dapat terjadi sebagai akibat dari pecahnya lapisan mesoderm yang tidak stabil mengakibatkan lekuk. Penggabungan bibir atas di garis tengah selesai antara minggu ketujuh dan kedelapan kehamilan.

Penyatuan dari palatum sekunder (palatum keras dan lunak) berlangsung dalam pembangunan, antara minggu ketujuh dan kedua belas kehamilan. Pada saat palatum utama selesai, kedua proses palatine lateral terletak di posisi vertikal dari sisi lidah. Dalam proses migrasi ke posisi horizontal, didalam waktu yang singkat, dipisahkan oleh lidah. Dengan perkembangan leher dan rahang, lidah bergerak ke bawah, sehingga proses palatine menyatu dengan satu sama lain dan dengan palatum utama untuk membentuk atap mulut. Jika ada keterlambatan dalam gerakan ini, atau jika lidah gagal untuk turun cukup cepat, sisa hasil pembangunan tetapi palatum pernah sekering (Wongs, 2011).

Gambar 2.6 Patofisiologi Kegagalan Embrional CLP

(Sumber : Wongs, 2011)

Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah, inkompetensi velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan fungsi tuba eustachi. Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup kesulitan dalam intake makanan dan nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren telah dihubungkan dengan timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara pada pasien dengan palatoschisis. Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan sebagai modulator aliran udara dalam pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling. (Manipulasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak sukses dilakukan pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya pengucapan normal (Yuzuriha S, Mulliken JB, 2008).

2.6. Manifestasi Klinis Labioschisis dengan manifestasi klinis berupa distorsi hidung, tampak sebagian atau kedua-duanya, dan adanya celah bibir. Sedangkan pada palatoschisis tampak ada celah pada tekak atau uvula, palato lunak dank eras, serta atau foramen incisivus, adanya rongga pada hidung, distorsi hidung, teraba ada celah atau terbukanya langit-langit pada waktu diperiksa, dan mengalami kesukaran dalam mengisap atau makan (Sodikin, 2011).

Manifestasi klinis:

1. Celah bibir atau bilateral yang terlihat (dapat merupakan celah lengkap melalui lubang hidung atau celah tidak lengkap pada bagian bibir)

2. Celah palatum dapat teraba dan/atau terlihat

3. Distorsi nasal

4. Kesulitan untuk menyusu/makan

Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioschisis tidak sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga daapt membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/ asupa makanan tertentu.

Gambar 2.7 Botol khusus pasien CLP

5. Infeksi telinga

Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.6. Gangguan berbicara

Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi ( hypernasal quality of speech ). Meskipun telah dilakukan reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, and ch", dan terapi bicara ( speech therapy ) biasanya sangat membantu.

(Cecily, 2009)2.7. Pemeriksaan Penunjanga. Diagnosis prenatal

Fetoskopi untuk memberikan gambaran wajah fetus. Akan tetapi teknik ini bersifat invasive dan dapat menimbulkan risiko menginduksi aborsi.

Ultrasonografi intrauterine, magnetic resonance imaging, deteksi kelainan enzim pada cairan amnion dan transvaginal ultrasonografi keseluruhannya dapat mendeteksi dengan sukses CLP secara antenatal. Ultrasound transabdominal mmerupakan alat paling sering digunakan untuk deteksi antenatal CLP. b. Diagnosis post natal

Biasanya celah pada bibir dan palatum segera didiagnosa pada saat kelahiran. Celah dapat terlihat seperti sudut keccil pada bibir atau dapat memanjang dari bibir hingga kegusi atas dan palatum. Namun tidak jarang hanya terdapat pada otot palatum molle yang terletak pada bagian belakang mulut ndan tertutupi oleh mouths lining (Shenoy, 2014).2.8. Penatalaksanaan1. Perawatan prabedah

Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu , jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah.

a. Pemberian makanan

Pemberian makanan pertama kali terasa sukar, akan tetapi hal ini tergantung pada derajat deformitas yang dialami. Pada kasus yang ringan, ada kemungkinan untuk meneteki bayi, jika tidak, pemberian susu botol dapat diberikan dengan mudah. Akan tetapi jika susu botol menimbulkan kesukaran pada bayi, maka bayi dapat diberikan makanan dengan menggunakan sendok, dengan membiarkan bayi mengisap dari sendok. Apabila tidak disertai sumbing palatum, bayi hanya makan sedikit atau tidak ditemukan adanya kesukaran, jika disertai palatum sumbing, maka bayi akan mengalami masalah, bukan saja dalam menelan tetapi juga mengisap, karena palatum yang lengkap dan utuh diperlukan untuk memanipulasi putting susu serta mengisap. Regurgitasi susu melalui hidung menimbulkan masalah lain yang membahayakan. Inhalasi susu harus dicegah dengan menyiapkan penyedot setiap saat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat penting untuk menjamin bahwa bayi dalam keadaan fisik yang baik, adanya pertambahan berat bdan, dan tidak mengalami anemia. Apabila dijumpai adanya anemia, maka harus ditangani kapan saja hal tersebut terjadi.

b. Pemberian antibiotik

Pemberian antibiotic sebagai profilaksis diberikan untuk menjamin bahwa pasien pada masa pasca pembedahan tidak mengalami bahaya yang disebabkan mikroorganisme yang telah ada ataupun masuk selama masa bedah dan pascapembedahan.

c. Persiapan prabedah

Prinsip manajemen prabedah bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan status fisik dan mental yang akan menjamin bahwa anak mampu mengatasi trauma dari intervensi bedah. Tujuan selanjutnya adalah untuk menghilangkan atau mengurangi terjadinya komplikasi selama atau setelah pembedahan, dengan antisipasi yang saksama dan pengobatan.

2. Perawatan saat bedah

Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.

Gambar 2.5 Reparasi labioschisis (labioplasti). (A dan B) pemotongan sudut celah pada bibir dan hidung. (C) Bagian bawah nostril disatukan dengan sutura. (D) Bagian atas bibir disatukan, dan (E) Jahitan memanjang sampai kebawah untuk menutup celah secara keseluruhan.

Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah.Palatoplastydilakukan sedini mungkin (15-24 bulan) sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal atau tidak sengau sulit dicapai.Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakanspeech teraphykarena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suarayang salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 89 tahun bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi.3. Perawatan pascabedah

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat merawat anak yang sudah selesai menjalani operasi perbaikan bibir sumbing adalah sebagi berikut.

a. Imobilisasi lengan merupakan suatu aspek penting perawatan, hal ini untuk mencegah bayi menyentuh jahitan.

b. Sedasi. Seorang anak yang menangis dapat meningkatkan tegangan pada garis jahitan. Pemberian sedasi dianjurkan untuk mengurangi tegangan, sering kali dikurangi dengan mengenakan suatu peralatan, seperti busur logam.

c. Pembalutan garis sedasi. Biasanya jahitan sudah dibuka antara hari kelima dan kedelapan. Garis jahitan biasanaya ditinggal tanpa penutup dan kebersihan dipertahankan dengan melap area jahitan dengan air steril atau normal salin setelah selesai makan.

d. Waktu pemberian makan. Pemberian makan dapat segera dimulai setelah bayi sadar dan reflex menelan ditegakkan.

4. Pemberian makanan dan minum

Pemberian makan dan minum pada pasien dengan labioschisis dan palatoschisis bertujuan untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit sesuai program pengobatan.Persiapan alat terdiri atas:

1. Seperangkat alat makan dan minum siap pakai menurut kebutuhan seperti piring, sendok, garpu, lap makan, gelas minum, dan mangkok berisi air bila diperlukan untuk mencuci tangan

2. Makanan dan minuman disiapkan, kemudian bawa ke dekat pasien.

Persiapan pasien meliputi:

1. Mengadakan pendekatan kepada pasien dengan memberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan dalam berkomunikasi

2. Pasien disiapkan dalam keadaan nyaman dengan posisi kepala lebih tinggi dibanding badan.

Adapun langkah-langkah tindakan pemberian makan dan minum adalah sebagian berikut:

1. Bentangkan lap makan di bawah dagu pasien

2. Perawat mengambil posisi yang memudahkan dalam melakukan pekerjaan

3. Tawarkan minum pada pasien, bila perlu menggunakan sendok atau sedotan

4. Berikan makanan sedikit demi sedikit sambil berkomunikasi dengan pasien, perhatikan apakah makanan telah ditelan oleh pasien sebelum menyuapkan makanan berikutnya

5. Stelah makan selesai, berikan minum pada pasien

6. Bersihkan daerah mulut dan sekitarnya, selanjutnya rapihkan kembali

7. Bereskan alat-alat bersihkan dan kembalikan ke tempat semula

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh perawat pada saat memberikan makan atau minum pada pasien adalah :

1. Lakukan pemberian makan atau minum secara hati-hati agar pasien tidak tersedak

2. Buatlah lingkungan pasien senyaman mungkin

3. Periksa makanan sebelum dihidangkan untuk mengetahui apakah daftar makanan (diet) sudah sesuai

4. Berikan posisi duduk atau dipangku agar tidak tersedak

5. Upayakan peralatan makan menarik bagi anak

6. Observasi bagaimana selera (nafsu) makan pasien

7. Awasi keadaan umum pasien selama dan sesudah pemberian makanan.

(Sodikin, 2011)

Dalam penelitian Agus Santoso Budi, dr., Sp BP-RE(K) tentang Penanganan Bibir Sumbing (CLP) secara paripurna SMF/Dep. Bedah Plastik RSUD dr Soetomo-FK UNAIR Surabaya. Menyatakan tahapan penatalaksanaan pada CLP adalah sebagai berikut:

USIATINDAKAN

0-1 mingguPemberian nutrisi dengan kepala miring (posisi 45 derajat)

1-2 mingguPasang obturator untuk menutup celah pada langitan, agar dapat menghisap susu atau memakai dot lubang kearah bawah untuk mencegah aspirasi (dot khusus)

10 mingguLabioplasty dengan menggunakan Rules of ten:

Umur 10 minggu

Berat 10 pons

Hb>10 gr%

1,5-2 tahunPalatoplasty karena bayi mulai bicara

2-4 tahunSpeech therapy

4-6 tahunVelopharyngoplasty, Untuk mengembalikan fungsi katub yang dibentuk m. tensor veli palatine dan m. levator veli palatine, untuk bicara konsonan, latihan dengan cara meniup.

6-8 tahunOrthodonsia (pengaturan lengkung gigi)

8-9 tahunAlveolar Bone Grafting

9-17 tahunOrthodonsia ulang

17-18 tahunCek kesimetrisan mandibula dan maksila

2.9. PrognosisKelainan labioskizis dan palatoskizis merupakan kelainan bawaan yang dapat dimodifikasi/disembuhkan.Kebanyakan anak yang lahir dengan kondisi ini melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat memperbaiki penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik pembedahan yang makin berkembang, 80% anak dengan labioskizis dan palatoskizis yang telah ditatalaksana mempunyai perkembangan kemampuan bicara yang baik. Terapi bicara yang berkesinambungan menunjukkan hasil peningkatan yang baik pada masalah-masalah berbicara pada anak labioskizis dan palatoskizis (Fionna, 2012).

2.10. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah sebagai berikut :1. Kesulitan berbicara bisa berupa hipernasalitas, artikulasi, kompensatori.

2. Maloklusi dapat terjadi, dengan pola erupsi gigi dan perkembangan pertemuan mandibular dan maksila yang abnormal.

3. Kerusakan gigi yang berat umum ditemukan.

4. Otitis media kronis, sekunder akibat disfungsi tuba eustachius, yang dapat mengakibatkan penurunan pendengaran.

5. Gangguan harga diri dan citra tubuh dapat terjadi.

(Cecily, 2009)

2.11 WOC CLP

2.12 Asuhan Keperawatan2.12.1 Pengkajian

PengkajianData

Identitas KlienNama, umur, jenis kelamin, alamat, suku, tanggal MRS

Keluhan UtamaBentuk bibir yang abnormal, susah menyusu

Riwayat Penyakit SekarangKesulitan pemberian makan

Riwayat Penyakit DahuluTidak selalu ada penyakit

Riwayat Kesehatan KeluargaTerdapat penyakit keturunan

Pemeriksaan Fisik Keadaan umum:a. Keadaan umum lemah

b. Kesadaran compos mentis

c. Suhu meningkat

d. Nadi dalam batas normal

e. RR meningkat

Kepala : tidak ada lesi, tidak ada benjolan

Rambut : bersih, tidak berketombe, merata Mata: konjungtiva anemis, sklera anikterik, pupil isokor, kelopak mata simetris

Telinga: Peningkatan otitis, infeksi Hidung : tidak terdapat polip, tidak terdapat PCH, tidak ada secret,terdaoat celah pada septum Mulut:

a. Pemisahan abnormal bibir atas atau palatum (atau keduanya)b. Pemisahan gusi bagian atasc. Kerusakan gigi-geligid. Gangguan wicara, suara sengaue. Mudah tersedakf. Mukosa kering Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada distensi JVP. Dada : pergerakan dinding dada simetris, tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernafasan, tidak ada suara nafas tambahan. Abdomen: biasanya ditemukan perut kembung dan distensi abdomen Extremitas : biasanya ditemukan kulit kering dan turgor kulit jelek, CRT < 2 detik, tonus otot lemah.

2.12.2 Diagnosis Keperawatan

Praoperasi

1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan gangguan dalam pemberian makan.

2. Resiko infeksi yang berhubungan dengan kelainan.

3. Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan stress akibat hospitalisasi.

Pascaoperasi

1. Ketidakefektifan jalan napas yang berhubungan dengan efek anesthesia, edema pascaoperasi, serta produksi lender yang berlebihan.

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan teknik pemberian makan yang baru dan perubahan diet pascaoperasi.

3. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan insisi bedah.

4. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.

5. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan di rumah.

2.12.3 Intervensi KeperawatanPraoperasi

1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan gangguan dalam pemberian makan.

Kriteria Hasil : Bayi mempertahankan status nutrisi adekuat yang ditandai oleh kenaikan berat badan bulanan ( hingga 1kg)

Intervensi :

a. Gunakan botol dan dot botol yang sesuai (dot botol yang lunak, dipotong serong, botol-peras atau botol biasa, botol terutama yang dirancang untuk bayi prematur) untuk member makan pada bayi.

Rasional :

Karena ketidakmampuan seorang bayi dengan celah palatum membuat suatu ruang hampa, ia dapat mengalami reflex mengisap yang tidak efektif. Penggunaan dot botol, botol yang tepat, memudahkan aliran cairan sehingga dapat meningkatkan pemberian makan. Dot botol khusus yang digunakan bergantung pada keparahan celah tersebut.

b. Tempatkan dot botol di dalam mulut bayi, pada sisi berlawanan dari celah, ke arah belakang lidah.

Rasional:

Meletakkan dot botol dengan cara ini dapat menstimulasi tindakan stripping bayi (menekan dot botol melawan lidah dan atap mulut untuk mengeluarkan susu).

c. Posisikan bayi tegak atau semi-Fowler, namun tetap relaks selama pemberian makan.Rasional:Posisi ini mencegah tersedak dan regurgitasi per nasal.

d. Sendawakan bayi setelah setiap pemberian 15 hingga 30 ml susu, tetapi jangan pindahkan dot botol terlalu sering selama pemberian makan.

Rasional:

Bayi perlu disendawakan dengan frekuensi yang sering karena kelainan tersebut dapat menyebabkan menelan udara lebih banyak sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman. Melepas dot botol terlalu sering dapat melelahkan, atau membuat bayi frustasi sehingga menyebabkan pemberian makan tidak komplet.e. Coba untuk memberi makan selama kira-kira 45 menit atau kurang untuk setiap kali makan.

Rasional:

Pemberian makan yang lebih lama dapat melelahkan bayi sehingga menyebabkan pencapaian berat badan yang sangat kurang.

f. Apabila bayi tidak dapat makan tanpa tersedak atau teraspirasi, letakkan dalam posisi tegak, dan beri makan dengan menggunakan spuit serta slang karet lunak.Rasional:

Posisi tegak mengurangi risiko aspirasi, menggunakan sebuah spuit dan slang karet lunak yang mampu menampung cairan di bagian belakang mulut bayi dapat mengurangi aspirasi melalui celah.

2. Resiko infeksi yang berhubungan dengan kelainan.

Kriteria hasil : Bayi tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi yang ditandai oleh suhu tubuh kurang dari 37,8 C dan tidak ada tanda-tanda drainase telinga, batuk, mengi, ronki kasar di lapangan paru atau iritabilitas.Intervensi:

a. Beri minum bayi sebanyak 5-10 ml air, setelah setiap pemberian makan.

Rasional:

Air dapat membersihkan pasase nasal dan palatum, serta mencegah susu mengumpul di saluran eustasia, yang pada gilirannya dapat mencegah pertumbuhan bakteri yang dapat mengarah pada terjadinya infeksi.

b. Buang formula atau susu yang mongering dengan menggunakan aplikator yang berujung kapas basah.

Rasional:

Merontokkan dan melepaskan materi yang berkerak dalam botol, dapat menjaga agar celah tersebut bersih dan bebas dari bakteri sehingga mengurangi risiko infeksi

c. Setelah setiap pemberian makan, letakkan bayi di ayunan bayi atau baringkan bayi di tempat tidurnya dengan posisi miring kanan dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30.

Rasional:

Mengatur posisi bayi dengan cara ini dapat mencegah aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia.

d. Kaji bayi untuk menentukan bila ada tanda infeksi, termasuk drainase telinga yang berbau dan demam. Beri obat antibiotic sesuai program.

Rasional:

Kekambuhan otitis media yang terjadi akibat saluran eustasia yang tidak normal dapat dikaitkan dengan celah bibir dan palatum.

3. Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan stress akibat hospitalisasi.

Kriteria hasil: Orang tua mengajukan pertanyaan yang tepat tentang kondisi bayi, dapat melibatkan perawatan bayi ke dalam gaya hidup normal mereka, serta mengekspresikan perasaan mereka tentang penampilan bayi.

Intervensi:

a. Beri kesempatan pada orang tua untuk menggedong serta memeluk bayi, dan dapat mempraktikan tugas pemberian perawatan sebelum pemulangan.

Rasional:

Kesempatan ini meningkatan ikatan dan mempersiapkan orang tua dalam perawatan bayi di rumah.

b. Anjurakn orang tua untuk mempersiapkan anggota keluarga, termasuk saudara kandung dan kerabat lain, untuk menyambut kehadiran bayi di rumah. Nasihatkan mereka untuk menjelaskan kepada seluruh anggota keluarga, tentang penampilan bayi dengan menggunakan istilah sederhana, memperlihatkan kepada mereka gambar, dan meminta mereka mengunjungi bayi di rumah sakit.

Rasional:

Mempersiapkan anggota keluarga untuk kedatangan bayi memungkinkan mereka beradaptasi dengan penampilan bayinya, dan memungkinkan orang tua berfokus pada kebutuhan bayi yang mendesak.

c. Anjurkan orang tua memperlakukan bayi layaknya anggota keluarga yang normal, dan menjadwalkan kegiatan perawatan mereka ke dalam rutinitas sehari-hari.Rasional:

Orang tua perlu memiliki pemikiran bahwa bayi mereka merupakan individu yang normal, yang menderita celah bibir atau palatum buakn sebagai individu yang sedang sakit sehingga dapat member perawatan di rumah yang adekuat, dan menjaga keutuhan keluarga.d. Anjurkan orang tua untuk meminta bantuan dari anggota keluarga yang lain atau dari teman saat memberi makan dan perawatan bayi.

Rasional:

Meminta bantuan orang lain dalam perawatan bayi dan pemberian makan dapat member orang tua kesempatan beristirahat, serta berfokus pada kebutuhan meraka sendiri.e. Rujuk orang tua ke kelompok pendukung yang tepat serta pusat kraniofasial, jika ada.

Rasional:

Kelompok pendukung memberi kesempatan pada orang tua untuk berbagi perasaan dan pengalamanan dengan orang tua lain yang juga memiliki status sama, dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan keterampilan koping serta keterampilan penyelesaian masalah. Pusat kraniofasial memiliki pengalaman dalam memberi perawatan bagi anak-anak dengan celah palatum atau celah bibir.Pascaoperasi

1. Ketidakefektifan jalan napas yang berhubungan dengan efek anesthesia, edema pascaoperasi, serta produksi lendir yang berlebihan.

Kriteria hasil: Bayi atau anak tetap bebas dari komplikasi pernapasan yang ditandai oleh mempertahankan pernapasan lancer, serta frekuensi teratur.

Intervensi:

a. Kaji status pernapasan bayi atau anak setiap 4 jam untuk mendeteksi suara napas yang abnormal, sianosis, retraksi, mendengkur, atau pernapasan cuping hidung.Rasional:

Tanda distress pernapasan ini dapat mengindikasikan pneumonia yang membutuhkan terapi antibiotic.

b. Atur ulang posisi bayi atau anak setiap 2 jam. Setelah pembedahan celah bibir, bayi atau anak dapat diletakkan dengan baik di ayunan bayi atau dalam posisi telentang atau miring dengan kepala ditinggikan, setelah pembedahan celah palatum , ia dapat ditempatkan dalam posisi tengkurap.

Rasional:

Pengaturan kembali posisi dapat meningkatkan drainase sekresi paru.

c. Tempatkan bayi atau anak dalam tenda lembap, sesuai program. Pertahankan bayi diselimuti dan ganti sprei dengan teratur.

Rasional:

Udara yang sejuk dan yang dilembabkan membantu mencairkan sekresi sehingga dapat membantu bayi atau anak bernapas dengan lebih mudah. Menutupi tubuh dengan selimut dapat mencegah anak dari menggigil.

d. Pertahankan bayi atau anak dalam posisi tegak selama pemberian makan.Rasional:

Posisi tegak mengurangi risiko tersedak dan aspirasi.

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan teknik pemberian makan yang baru dan perubahan diet pascaoperasi.

Kriteria hasil: Bayi atau anak dapat mempertahankan nutrisi adekuat yang ditandai oleh dapat beradaptasi terhadap diet dan metode pemberian makan yang baru, serta terus mengalami peningkatan berat badan.

Intervensi:

a. Apabila bayi atau anak telah menjalani perbaikan celah bibir, beri mereka makan melui spuit dan slang karet lunak yang ditempatkan di dalam pipi dan jauh dari alur jahitan. Juga gunakan spuit dan slang untuk memberi makan bayi yang telah menjalani perbaikan celah palatum. Jangan gunakan dot botol. Untuk anak yang sudah lebih besar dan telah menjalani perbaikan palatum, gunakan cangkir minum yang biasa digunakan, bukan sedotan untuk pemberian makanan cair. Seiring anak mengalami kemajuan dari diet cair murni, gunakan sendok untuk pemberian makan, bukan garpu.

Rasional:Menghisap dot botol menyebabkan terlalu banyak tekanan pada alur jahitan; penggunaan garpu atau sedotan dapat merusak alur jahitan.b. Mula-mula anjurakan pemberian makan dengan frekuensi yang sering dalam porsi kecil, kemudian lanjutkan dengan asupan cairan sesuai usia.

Rasional:

Bayi atau anak membutuhkan pemberian makan dengan porsi lebih kecil, sambil beradaptasi terhadap metode pemberian makanc. Apabila anak telah menjalani perbaikan celah palatum, anjurkan orang tua untuk member makan diet cair murni (seperti minuman kalori tinggi), selama 3 minggu pertama setelah pembedahan.3. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan insisi bedah.Kriteria Hasil : Bayi atau anak tidak menderita kerusakan pada integritas kulit yang ditandai oleh insisi tetap utuh, tidak ada tanda infeksi, dan tanda pemulihan.

Intervensi :

a. Lakukan perawatan alur sutura berikut ini setelah pemberian makan, dan sesuai kebutuhan:1) Bersihkan garis sutura dengan menggunakan larutan salin dan aplikator berujung kapas basah.2) Oleskan salep antibiotik sesuai program untuk melembapkan mulut dan mencegah pemisahan sutura.

3) Pantau tanda dan gejala infeksi.

4) Beri sedikit air setelah pemberian makan untuk membersihkan mulut dari setiap sisa susu, yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri.

Rasional:

Perawatan alur jahitan yang tepat menjamin tercapainya kebersihan, mencegah pemisahan sutura, mengurangi risiko infeksi, dan mengurangi jumlah materi berkerak di sekitar alur jahitan, yang mungkin mengakibatkan pembesaran jaringan parut.

b. Pasang restrain lengan, sesuai program. Evaluasi sirkulasi dan latihan pergerakan sendi (ROM) setiap 2 jam.

Rasional:

Restrain lengan mencegah bayi atau anak mengaruk alur jahitan atau meletakkan objek dalam mulutnya sampai insisi memulih. Evaluasi memastikan sirkulasi yang adekuat, dan latihan ROM mencegah kekakuan dan kontraktur otot.

c. Setelah pembedahan celah bibir posisikan bayi atau anak dengan baik, berbaring miring atau terlentang bukan posisi terlungkup pertahankan kepala tempat tidur ditinggikan; setelah pembedahan celah palatum, posisikan anak atau bayi terlungkup.

Rasional:

Duduk di tempat duduk bayi atau berbaring miring atau terlentang setelah pembedahan celah bibir, mencegah anak menggesekkan bibirnya pada linen tempat tidur, mengurangi risiko ruptur; berbaring terlungkup setelah pembedahan celah palatum mencegah tekanan pada alur jahitan.

d. Antisipasi perlunya anak mengurangi menangis.

Rasional:

Menangis menyebabkan tegangan pada alur jahitan, yang dapat menyebabkan ruptur.

4. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.Kriteria Hasil : Bayi atau anak dapat mempertahankan tingkat kenyamanan yang ditandai oleh tangisan dan iritabilitas yang berkurang.

Intervensi :a. Kaji bayi atau anak untuk mengetahui iritabilitas, kehilangan selera makan, dan kegelisahan setiap 2 jam setelah pembedahan.Rasional:

Bayi atau anak mungkin terlalu muda usianya untuk mengekspresikan rasa tidak nyaman melalui kata-kata; petunjuk perilaku adalah satu-satunya indikasi nyeri.

b. Beri obat analgesic, sesuai program.Rasional:

obat analgesik dapat mengurangi nyeri.

c. Lakukan aktivitas pengalihan, misalnya, permainan, kartu, videotapes, dan membaca buku untuk anak yang lebih besar.

Rasional:

Aktivitas pengalihan memfokuskan kembali perhatian anak, mengurangi persepsinya terhadap nyeri.

5. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan di rumah.Kriteria Hasil : Orang tua mengekspresikan pemahaman tentang instruksi perawatan prabedah di rumah dan mendemostrasikan prosedur perawatan di rumah.

Intervensi :

a. Jelaskan kepada orang tua sifat dari kelainan dan kebutuhan untuk perawatan lanjutan.

Rasional:

Penjelasan yang demikian dapat mengurangi keemasan, dan meningkatkan kapatuhan terhadap terapi yang diprogramkan dan pembedahan selanjutnya.

b. Ajarkan orang tua dari bayi yang mengalami celah bibir atau celah palatum, tentang teknik pemberian makan berikut ini :

1) Beri bayi makan dengan menggunakan botol dan dot botol yang sesuai (dot botol yang lunak berbentuk serong atau dot khusus yang didesain untuk bayi premature; botol-peras atau botol biasa).

2) Atur posisi dot botol di dalam mulut bayi berlawanan arah dengan celah dan mengarah ke bagian belakang lidah.

3) Pertahankan bayi dalam posisi tegak atau semi-Fowler

4) Sendawakan bayi setelah setiap pemberian makan.

Rasional:

Karena kelainan tersebut, orang tua perlu memberi perhatian khusus saat pemberian makan bayi.

1) Karena kelainan ini mungkin refleks menghisapnya tidak efektif. Menggunakan alat pemberian makan yang sesuai dapat memastikan bahwa ia mengkonsumsi setiap porsi makanan yang diberikan.

2) Meletakkan dot botol dengan cara demikian, dapat menstimulasi gerakan menyedot yang digunakan bayi untuk menghisap cairan dari dalam botol.

3) Mengatur posisi bayi tegak atau semi-Fowler dapat mencegah regurgitasi per nasal dan tersedak.

4) Menyendawakan dengan sering dapat mengurangi jumlah udara yang ditelan selama pemberian makan sehingga mengurangi rasa tidak nyaman bayi.

5) Membersihkan celah segera setelah pemberian makan dapat mengurangi risiko infeksi.

c. Jelaskan kepada orang tua tentang tujuan dan penggunaan alat pantau apnea, jika alat pantau diprogramkan untuk penggunaan di rumah.

Rasional:

Bayi mungkin memerlukan pemantauan terhadap apnea, untuk mendeteksi episode apnea yang berhubungan dengan kesulitan pernapasan akibat aspirasi pemberian makan.

BAB 3PENUTUP1.1 KesimpulanBibir sumbing (BS) adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya prosesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan embriotik, sedangkan palatum sumbing (PS) adalah fisura garis tengah pada palatum yang terjadi karena kegagalan dua sisi untuk menyatu selama perkembangan embrionik. Adapun penatalaksaan awal yaitu memperhatikan kebutuhan nutrisi pada anak dengan labioskizis dan palatoskizis. Kemudian jika umur anak sudah 10 minggu bisa dilakukan tindakan pembedahan labioplasty. Peran seorang perawat harus berperan aktif dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien mulai dari praoperatif sampai pasca operatif secara maksimal.1.2 SaranPada kasus CLP sangat penting dilakukan pendekata kepada orang tua sehingga mereka mengetahui masalah tindakan yang diperlukan untuk perawatan anaknya serta pemberian dukungan psikologis sangat penting diberikan kepada orang tua agar siap menerima apapun keadaan yang terjadi pada anaknyaDAFTAR PUSTAKAArtikel kedokteran. 2012. Cleft Lip dan Palate- Celah pada Bibir dan Langit-langit. diunduh dari http://www.artikelkedokteran.com/1452/cleft-lip-and-palate-celah-pada-bibir-dan-langit-langit.html diakses pada 6 April 2015, 11.30 AM)Betz, Cecily Lynn dan Linda A. Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta: EGC.

Bustami N, Joni R, Zahari A. Bibir Sumbing di Kabupaten 50 Kota dan Solok, Sumatra Barat. Padang : Ilmu Bedah FK Universitas Andalas/ RSUP Dr M Jamil.1997

Irawan, Hendry & Kartika. 2014. Teknik Operasi Labiopalatoskizis. http://www.kalbemed.com/Portals/6/29_215Teknik-Teknik%20Operasi%20Labiopalatoskizis.pdf diakses pada tanggal 6 April 2015.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Sumbing Bibir dan Langitan. Dalam : Kapita Selekta. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. 2005

Pohan, Fionna. 2012. Cleft Lip (Labiaskizis). http://www.academia.edu/5295148/CLEFT_LIP_LABIOSCHISIS_DISUSUN_OLEH diakses pada tanggal 6 April 2015.

Sodikin. 2011.Asuhan Keperawatan anak Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier. Jakarta : Salemba Medika

Speer, Kathleen Morgan. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan Clinical Pathways Edisi 3. Jakarta: EGC.

Sulistyani & Budiraharjo. 2013. Cleft Lip and Cleft Palate in Children : Description and The Treatments. Jember : Jember University Department of Pedodontics

Wong, Donna L, et all. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 2. Jakarta: EGC.Wongs. 2011. Nursing Care of Infants and Children Edition 9. Canada : Elsevier

Yudhautama. 2012. Labiopalatoschizis dan Penanganannya. diunduh dari http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/06/labiopalatoschizis-dan-penanganannya.html diakses pada 6 April 2015, 11.00 AM)

Yuzuriha S, Mulliken JB . 2008.Minor-form, microform, and mini-microform cleft lip: anatomical features, operative techniques, and revisions.Plast. Reconstr. Surg.122(5): 148593. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18971733 diakses pada 6 April 2015, 11.00 AM)Ni Nyoman Muni131411123043

Kathleen Elvina H131411123046

Triyana Puspa Dewi 131411123047

Titis Eka A 131411123049

Inas Husnun H131411123051

Achmad Ali B131411123053

Indriani Kencana W131411123055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2015

Herediter,non genetic (ibu perokok,alcohol, kurang vitamin terutama asam folat, infeksi toxoplasma dan klamidia)

Prosesus nasal dan maksilaris, fisura garis tengah palatum gagal menyatu selama masa embriotik trimester I

CLP

Distorsi hidung, celah pada bibir dan palatung

Efek anastesi post pembedahan

Prosedur invasive pembedahan CLP

Penurunan otot-otot sekitar mulut

Kesulitan menghisap (putting susu,dot minum dll)

Adanya trauma insisi pembedahan

Akumulasi lender/sekret

Air susu yang masuk hanya sedikit akibat ketidakmampuan mengontrol keluar masuknya air susu dalam botol susu/putting susu

Control penutupan dan pembukaan tuba eustachius terganggu

Kerusakan Integritas kulit

Nyeri

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

Ketidakseimbangan Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Resiko aspirasi

Asupan nutrisi dan cairan inadekuat

Resti Infeksi paska pembedahan

Proses inflamasi

Resiko tinggi Infeksi telinga

Bakteri mudah masuk saluran telinga

20