Asep S. Mimbar.pdf.pdf
Transcript of Asep S. Mimbar.pdf.pdf
Executive Ssummary
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan panjang manusia untuk mencari, menemukan dan memikirkan
Tuhan telah memposisikan manusia pada derajat yang lebih tinggi dari makhluk
lain. Karena kelebihan akal budinya, manusia mampu menemukan “sumber
cahaya” kehidupan dirinya untuk kemudian menyandarkan segala hidupnya secara
total pada sumber itu yang dianggap mampu memberikan perlindungan dan
keselamatan bagi dirinya.
Pada tataran teologis, agama menawarkan nilai-nilai luhur yang berpihak
pada manusia dan kemanusiaan, seperti persoalan keadilan, moralitas, perdamaian
dan keselamatan. Bahkan salah satu fungsi terpenting agama menurut Quraish
Shihab adalah menciptakan rasa aman sejahtera bagi pemeluknya, sehingga
terlihat adanya keterkaitan antara “iman” dengan aman, rasa aman itu sendiri
diperoleh karena adanya kesesuaian antara sikap manusia dengan petunjuk Tuhan.
Hal ini kerap terjadi ketika manusia dihadapkan pada kebenaran lain
(agama) di luar kebenaran yang diyakininya. Ketidakselarasan antara hal yang
bersifat “teori dan praktek” pengamalan agama ini sering membawa pada
pertanyaan klasik tentang hubungan kebenaran agama yang absolut dengan
realitas pluralisme agama.
Ketidakmengertian manusia beragama terhadap realitas pluralisme agama
merupakan hal yang sangat mnusiawi dan wajar. Sebab memang manusia tidak
akan mampu memeluk nurhikmah, cahaya kebijaksanaan, Tuhan menurunkan
baragam agama ke dunia. Hanya sedikit sekali dari umat manusia yang bisa
menangkat nurhikmah Tuhan ini.
Pluralitas agama sendiri secara historis sangat sulit untuk dielakkan, sebab
agama diturunkan tidak sekligus dalam titik waktu dan ruang yang sama,
melainkan turun dalam momen-momen sejarah dari penggalan waktu dan ruang.
Ini berarti agama diterima dan dipahami pemeluknya dalam kemasan kultural dan
simbol-simbol bahasa yang amat heterogen (Komaruddin Hidayat, 1983:42-430).
Konflik agama muncul ketika wahyu Tuhan yang mutlak absolut sampai
pada tataran kognisi manuisa, yang merupakan produk nalar manusia
mengandung nilai relativitas, dianggap pemeluknya sama mutlak absolutnya
dengan wahyu Tuhan (Amich Alhumami, 1993:4). Sebab, ketika wahyu Tuhan
dijadikan manusia sebagai pedoaman pola kelakuannya, wahyu itu telah hilang
sifat a-historis dan absolusitasnya, karena telah diubah manusia menjadi bagian
dari kehidupannya sebagai sebuah sistem kebudayaan melalui interpretasi
manusia (Abdul Munir Mulkhan, 1993:4).
Salah satu usaha perenungan itu adalah paham perenialisme (Seyyed
Hussein Nasr, !993:7). Inti dari paham perennialisme adalah bahwa di dalam
setiap agama ada tradisi-tradisi esoterik, ada suatu pengetahuan dan pesan
keagamaan yang sama, yang dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol agama
yang berbeda (Budhy Munawar, 1993:4).
Masalah pluralisme agama bagi Schuon akan menimbulkan gejolak
apabila keberagamaan manusia lebih menonjolkan hal-hal yang bersifat eksoterik
-- suatu segi yang hanya melihat agama sebagai sebuah “bungkus” saja, dan itu
sangat sektarian dan sempit.
Oleh sebab itu, harus ada keseimbangan dalam memeluk agama, yang oleh
Schuon disebut pandangan esoterik, yang lebih menekankan aspek-aspek terdalam
pada ajaran agama. Esoterisme dalam pandangan Schuon adalah mengenai
bertingkat-tingkatnya realitas universal. Adapun yang memiliki kebenaran
universal dalam tingkatan yang tinggi, yaitu Tuhan. (Frithjof Schuon 1987:41).
Sementara itu Harold Coward melihat bahwa apabila tantangan pluralisme
itu muncul, maka biasanya akan tumbuh semangat baru untuk kembali kepada
tradisi agama yang ada. Jadi, meskipun tantangan pluralisme ini merupakan suatu
krisis pada abad modern, tatapi ia juga mampu menciptakan perkembangan rohani
yang lebih baik (Harold Cowar, 1992:168). Yaitu suatu perkembangan pemikiran
baru untuk mencari teologi alternatif yang terbuka dan mampu membebaskan
umat manusia dari kungkungan kehidupan modern tanpa mengurangi kesucian
agama.
Namun Harold Coward sangat skeptis dan kurang adil dalam memahami
doktrin Islam tentaang pluralisme. Tidak seperti ketika ia menggambarkan
keagungan doktrin Yahudi, Kristen, Hindu dan Budha dengan penuh
penghargaan. Islam pluralisme dinilainya sebagai penghambat utama yang
bersifat teologis ketika Islam berhadapan dengan agama lain. Menurutnya, Islam
sebagai agama penutup dan sempurna -- yang mengoreksi kekeliruan agama
sebelumnya, telah menyebabkan penganut Islam tidak toleran terhadap penganut
agama lain (Harold Cowar, 1992:110).
Tentu saja apa yang telah disimpulkan Harold Coward tidak pernah
terbukti dalam sejarah peradaban Islam. Fakta sejarah justru memperlihatkan sisi-
sisi cemerlang doktrin Islam tentang pluralisme, sebagaimana terlihat dalam
sejarah peradaban Islam Madinah dan Spanyol (Nurcholish Madjid, 1992:V).
Dalam konteks keindonesiaan, kenyataan geografis menyebabkan
Indonesia menjadi pintu gerbang bagi masuknya budaya dan agama lain dengan
melalui jalur Lautan Teduh dan samudera Hindia (G.S.S.J. Ratu Langie,
1982:131). Karena itu berkembanglah agama-agama besar dunia di Indonesia
sesuai dengan corak dan bentuknya masing-masing.
Kemudian dalam sejarah hubungan antar umat beragama di Indonesia,
tercatat bahwa bibit perselisihan antar umat beragama ini terletak pada bidang
garapan misi atau masalah penyebaran agama. Persaingan dalam penyebaran
agama ini terjadi sejak kedatangan kolonialisme Portugis dan Belanda yang
membawa missi untuk menyebarkan agama Kristen (Sumartana, 1991)
Selanjutnya, karena kolonialisme Belanda atas Indonesia ditujukan juga
untuk memperlancar proses kristenisasi, maka pemerintah kerajaan Belanda
dengan kekuasaan politiknya berusaha untuk menghancurkan kekuatan Islam. Ini
terlihat dengan kebijakan-kebijakan politis yang dikeluarkan Belanda selalu
membawa kerugian bagi penganut Islam. Sebaliknya, para penganut kristen, baik
Protestan maupun Katolik, mendapat perhatian yang sangat besar dan menjadi
kelompok masyarakat “anak emas” Kerajaan Belanda (Muhammad Natsir,
1983:64).
Situasi hubungan antar umat beragama sangat buruk pada masa
pemerintahan Orde Lama ketika golongan agama diperbolehkan membuat partai
sendiri untuk menyuarakan aspirasi politiknya. Ideologi politik menjadi begitu
beragam, sehingga hubungan agama pada masa itu bergulir di sekitar persaingan
ideologis di pentas politik nasional. Baru kemudian hubungan itu mulai “reda”
ketika Orde Baru yang berhaluan “memantapkan stabilitas nasional” untuk
mengejar ketertinggalan dalam proses pembangunan mengambil alih kekuasaan.
Pemerintah Orde Baru berhasil meminimalisasi kerentanan konflik agama dengan
berbagai kebijakan yang sangat ketat. Kecurigaan umta Islam terhadap proses
modernisasi, yang dalam bahasa pemerintah adalah pembangunan, yang dinilai
sebagai proses krisatenisasi (Ahmad Ibrahim dkk, 1987:508-509). Terus menerus
menjadi bayangan buruk di kalangan Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, karena sebagian besar umat Islam
Indonesia memandang negatif terhadap proses modernisasi, maka umat Islam
Indonesia tertinggal dalam proses pembangunan. Di sinilah relevansi analisis
Nurcholish Madjid ketika ia mengelompokan umat Islam, dalam pengertian yang
tidak hanya sebatas umat Islam Indonesia saja, sebagai kelompok manusia yang
paling “memelas” dalam tingkat kehidupan ekonominya (Nurcholish Madjid,
1992:37).
Namun yang jelas, kebijakan pemerintah itu telah menyebabkan umat
Islam berada pada posisi marginal, baik dalam dimensi politik (kekuasaan)
maupun dalam dimensi pembangunan (modernisasi). Keadaan ini membawa umat
Islam untuk selalu berhadapan secara “antagonis” dengan pemerintah, sehingga
umat Islam dicap sebagai kelompok anti pembangunan dan anti Pancasila.
Realitas kebijakan politik Orde Baru tersebut telah memberikan andil yang
cukup besar bagi lahirnya konflik agama di Indonesia. Dan kenyataan ini tidak
luput dari perhatian para cendekiawan Indonesia yang memiliki komitmen
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Salah seorang cendekiawan yang benar-benar
perhatiannya dalam masalah hubungan antar umat beragama ini adalah Nurcholish
Madjid, seorang cendekiawan Muslim Indonesia yang dikenal sebagai “penarik
gerbong” pembaharuan Islam di Indonesia.
Pemikiran Nurcholish Madjid tentang pluralisme agama merupakan mata
rantai dari gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia yang telah
dicetuskannya. Dengan gagasan ini, Nurcholish semakin memperlihatkan sikap
terbukanya dalam menerima realitas kehidupan agama yang majemuk. Sikap
intelektualitas Nurcholish ini berada dalam bingkai paradigma inklusif, sehingga
pemikirannya tentang pluralisme sering dikatakan sebagai sebuah “teologi
inklusif”, yaitu suatu bentuk teologi yang berusaha mencari titik persamaan
(kalimatun sawa, common platform) dan mengakui dengan lapang hak hidup
penganut agama lain.
Oleh karena itu, pandangan Nurcholish Madjid tentang masalah hubungan
agama-agama ini sangat penting untuk terus diperhatikan dan direnungkan, untuk
kemudian melakukan diskursus pemikiran secara mendalam terhadap tema yang
sangat menarik ini. Hal ini pula yang menjadi alasan penulis untuk melakukan
penelitian dengan judul: “Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Pluralisme di
Indonesia”.
B. Perumusan Masalah
Pemikiran Nurcholish Madjid, walau bagaimanapun, merupakan suatu
bentuk dinamika pemikirannya dalam mempersiapkan bangsa Indonesia,
khususnya umat Islam, menuju kehidupan modern. Untuk mengetahui lebih jauh
pemikiran Nurcholish Madjid tentang masalah kemajemukan agama di Indoinesia,
penulis dalam melakukan penelitian ini didasarkan pada pokok-pokok perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dinamika pemikiran Nurcholish Madjid sehingga sampai pada
pemikiran tentang kemajemukan agama?
2. Bagaimana pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemajemukan agama di
Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dinamika pemikiran Nurcholish Madjid sehingga
sampai pada pemikiran tentanga kemajemukan agama
2. Untuk mengetahui pemikiran Nurcholish Madjid tentang kemajemukan
agama di Indonesia
D. Kerangka Pemikiran Sebagai seorang cendekiwan Muslim yang pernah dibimbing oleh Fazlur
Rahman, ia banyak terpengaruh oleh corak dan metode neo-modernisme, yaitu
suatu pengkajian keislaman dengan berbekal pada tinjauan literatur klasik yang
begitu kaya dengan pelbagai khazanah Islam.
Oleh karena itu, dalam setiap pembahasannya mengenai kemajemukan
agama, Nurcholish selalu menampilkan wajah Islam klasik, yaitu Islam semasa
Nabi Muhammad SAW. Di Madinah dan Spanyol yang menunjukan bagaimana
tingginya apresiasi Islam kepada penganut agama Yahudi dan Kristen yang
mengsankan bagi peradaban ujmat manusia.
Maka, untuk memotret pemikiran Pluralisme Nurcholis, penulis mencoba
mendekatinya dari dua pendekatan, yaitu dari sisi etis filosofis – dimana hampir
seluauh pemikiran Nurcholis lebih didasarkan pada pandangan etis moral yang
lebih substantif. Sedangkan dari sisi teologis, pemikiran Nurcholis banyak
mengambil dari sisi-sisi normativitas doktrin Islam.
Dengan pendekatan tersebut, Nurcholis berusaha untuk mengembalikan
ingatan umat Islam pada masa-masa indah sejarah peradaban islam Madinah dan
Spanyol. Lewat kajian-kajian Islam klasiknya, ia berusaha menampilkan wajah
Islam sebagai agama yang toleran dan terbuka, bahkan agama yang berpihak pada
nilai-nilai universal kemanusiaan.
Secara teologis, Nurcholish menyadari bahwa pluralitas adalah kenyataan
yang telah menjadi kehendak Tuhan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an
surat (QS. Al Hujurat, ayat 13).
Pada akhirnya pemikiran Nurcholish tentang pluralisme agama ini
menampilkan ide bahwa nilai-nilai universal selalu ada pada inti ajaran agama,
yang mempertemukan seluruh umat manusia. Nilai-nilai itu harus dikaitkan
dengan kondisi-kondisi nyata dalam pengalaman empiris menusia.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan sumber
yang erat kaitannya dengan tema pembahasan berdasarkan kepustakaan, yaitu
dengan cara mengkaji dan mencari dari buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar
dan media masa lainnya. Dengan demikian penelitian ini termasuk pada penelitian
kepustakaan (library research), terhadap pemikiran Nurcholish Madjid yang telah
dipublikasikan kemasyarakat.
Langkah selanjutnya adalah menelaah dan membaca data dan sumber yan
telah terkumpul untuk kemudian ditelusuri dengan menggunakan metode
deskriptif dan analisis sintetis.
BAB II
PEMIKRAN NURCHOLISH MADJID TENTANG KEMAJEMUKAN
Realitas yang plural sesungguhnya merupakan realitas yang dinamis. Dan
itu sudah menjadi sunnatullah yang tak terbantahkan. Dalam pandangan
masyarakat yang optimis, kemajemukan bukan ancaman – tapi, ia merupakan
kenyataan yang sekaligus tantangan. Dalam konteks ke-Indonesiaan adalah
seorang Nurcholis Madjid yang selalu ingin melihat bahwa kemajemukan dalam
perspektif Islam sudah menjadi keharusan historis yang niscaya. Karenanya,
pemikiran Islam mesti bersikap inklusif dan toleran, tapi sekaligus kritis.
Nurcholish tampak menggunakan pola pemikiran neo-modernisme dalam
keseluruhan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya. Pola pemikiran Islam neo-
modernisme ini, seperti yang dikatakan Fachry Ali dan Bachtiar Effendi.(Fachry
Ali dan Bachtiar Efendi, 1992:175).
Dengan demikian, karakteristik pola pemikiran neo-modernisme adalah
pengembangan suatu metodologi sistematis yang mampu melakukan panafsiran
Islam secara menyeluruh dan selaras dengan kebutuhan kontemporer, sikap tidak
mengalah kepada Barat, tetapi juga tidak menafikannya, dan apresiatif disertai
sikap kritis untuk mau mengkaji warissan-warisan sejarah keagamaannya sendiri.
Dengan dua pendekatan ini, Nurcholish bermaksud untuk memberikan
interpretasi doktrin Islam agar sesuai dengan kemajuan jaman, dan dengan
demikian, doktrinnya pun tetap relevan dalam segala perubahan ruang dan waktu.
Sifat ini merupakan karakteristik utama kaum neo-modernisme yang bertujuan
membangun suatu Islam peradaban.
A. Universalisme Islam Salah satu prinsip dasar yang diyakini oleh seluruh umat Islam adalah
keyakinan bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal karena ia berfungsi
sebagai agama penutup dan sempurna. Karena itu, maka seluruh umat Islam
sangat yakin sepenuhnya bahwa agama Islam akan “sesuai dengan segala jaman
dan tempat”
Pengertian universalisme Islam ini, pada akhirnya hanya digunakan umat
Islam sebagai bagian apologi mereka ketika membicarakan kedudukan Islam di
tengah agama-agama dunia lainnya, tanpa mau mengkaji secara sungguh-sungguh
makna dan hakikat universalisme Islam tersebut (Nurcholish Madjid, 1992:426).
Berkaitan dengan kondisi intelektual umat Islam seperti itu, maka
Nurcholish mencoba menggali kembali khazanah klasik kepustakaan Islam dalam
hubungannya dengan dimensi kemanusiaan. Hal ini ia lakukan sebagai
pembuktian bahwa Islam merupakan agama yang sesuai dengan fitrah
kemanusiaan yang sejati.
Kemudian, lewat penelusurannya terhadap sejarah umat Islam mengenai
kemoderenan, Nurcholish telah sampai pada kesimpulan bahwa kemodernan, di
samping sebagai sesuatu yang tidak terelakkan, juga merupakan keharusan
sejarah. Ia melihat dari perspektif sejarah kemanusiaan bahwa dalam sejarahnya
kemodernan itu ternyata bukan monopoli suatu tempat atau kelompok manusia
tertentu (Nurcholish Madjid, 1984:65).
Dengan memaparkan segi sejarah kemodernan umat Islam tersebut,
Nurcholish melihat Islam klasik ternyata “sangat modern”. Keadaan sangat
modern itulah yang mengakibatkan umat Islam mampu mendonasi ilmu
pengetahuan, sekaligus menjadi awal kehancuran kejayaan Islam sebagai akibat
dari rasa superioritas (Nurcholish Madjid, 1984:54). Disebut “sangat modern”,
menurut Nurcholish justeru karena sifat-sifat universalis dan
kosmopolitanismenya ajaran Islam. Sumber universalisme Islam, menurutnya,
adalah pengertian “islam” itu sendiri (Nurcholish Madjid, 1984:427) -- yaitu
“sikap pasrah kepada Tuhan”. Sikap ini tidak saja merupakan ajaran Tuhan pada
hambanya, tetapi ia diajarkan olehnya dengan disangkutkan kepada alam manusia
itu sendiri, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat
dari dalam. Hal inilah yang membawa Nurcholish untuk mengmbil kesimpulan
bahwa sikap keagamaan hasil paksaan dari luar tidak otentik, karena kehilangan
dimensinya yang dalam dan mendasar, yaitu kemurnian dan keikhlasan
(Nurcholish Madjid, 1984:65).
Jadi, pada pandangan ini, Nurcholish ingin memperlihatkan penegasan
tentang universalisme Islam itu ada dalam kitab suci yang bersifat retoris, yaitu
pertanyaannya -- apakah manusia mau menempuh hidup selain tunduk kepada
penciptanya dan dengan demikian melawan design Ilahi, sebagai kehendak
Tuhan. Padahal seluruh penghuni alam semesta itu tunduk dan patuh kepada
penciptanya, baik terpaksa maupun sukarela.
Dengan berlandaskan pada pengertian “islam” itu sebagai agama pasrah
dan tunduk kepada Tuhan, maka “islam” itu sebenarnya bukanlah merupakan
nama sebuah agama, melainkan istilah untuk menyebut ajaran kepasrahan kepada
Tuhan, sebagaimana Nabi Ibrahim disebut “muslim”, karena ia adalah hamba
yang pasrah dan tunduk kepada kehendak Tuhan.(Nurcholish Madjid, 1984:434).
Dengan memaparkan pengertian Islam seperti ini, Nurcholish
membedakan pengertian Islam sebagai sebuah ajaran universal dengan Islam
sebagai bentuk kepenganutan seseorang terhadap agama Islam (yang dibawa Nabi
Muhammad SAW). dalam hal ini Nurcholish terpengaruh pemikiran Marshall
Hodgson yang membedakan “Islam” (dengan inisial hurup besar) dan “islam”
(dengan inisial kecil). Menurut Hodgson “islam” sesungguhnya lebih penting
daripada “Islam” (Nurcholish Madjid, 1984:74).
Landasan ilmiah lainnya Nurcholish merujuk kepada Ibnu Taymiyah yang
membagi Islam dalam arti umum -- yaitu Islam yang memiliki sifat tidak terbatas
pada ruang dan tempat. Islam yang universal yang merupakan agama semua Nabi
dan rasulnya yang diutus kepada umat manusia di manapun dan kapanpun. dalam
pengertian “Islam umum” (yang paralel dengan pengertian “islam” Hodgson), dan
Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah nama agama
(Nurcholish Madjid, 1984:xiv-xv).
Menurut Nurcholish “Islam khusus” itupun tidak lain adalah kelanjutan
dan konsistensi dari “Islam umum”, yang berbentuk pengajaran Tuhan kepada
manusia yang telah dilengkapkan dan disempurnakan. Maka, menurut Nurcholish,
ajaran para Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan itu sebenarnya merupakan satu
kesatuan kenabian dan ajaran untuk umat manusia yang menjadi dasar adanya
universalisme ajaran yang benar dan tulus, yaitu al-Islam (Nurcholish Madjid,
1984:439).
Selanjutnya, dengan pengertian “islam” sebagai agama pasrah dan tunduk
pada Tuhan bagi Nurcholish telah memperlihatkan dengan nyata sifat
universalisme Islam yang bertitik pusat pada adanya kesamaan esensial pesan
Tuhan kepada para Nabinya. Tentu saja pengertian kesamaan itu tidak
dimaksudkan adanya kesamaan materil atau formal dalam bentuk-bentuk aturan-
aturan tertentu, apalagi keyakinan tertentu. Sebab, walau bagaimanapun setiap
agama, demikian Nurcholish, memiliki perbedaan mendasar dan prinsipil dengan
agama-agama lain, termasuk antara agama Islam dengan Kristen dan Yahudi, dua
agama yang secara “geneologis” (dari Nabi Ibrahim) paling dekat dengan Islam
sekalipun. Tetapi, yang dimaksudkan dengan kesamaan dalam pandangan
Nurcholish adalah adanya kesamaan dalam pesan besar dan mendasar yang dalam
Al-Qur’an dinyatakan dengan kata “washiyyah” (Nurcholish Madjid, 1984:499).
Yaitu paham ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid.
Selanjutnya, Nurcholish mengatakan bahwa sikap tunduk dan pasrah
kepada Tuhan dalam semangat penuh kepasrahan dan tawakal serta percaya
merupakan inti makna hidup manusia. Ia merasa yakin segi penghayatan seperti
ini adalah sikap keagamaan yang benar sepanjang sejarah, karena sesuai dengan
fitrah kemanusiaan, dan sikap penghayatan ini pasti benar dalam jaman modern
dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya serta pola industrinya yang kian maju
(Nurcholish Madjid, 1995:79).
Jadi, ber-islam bagi manusia adalah sesuatu yang sangat alami dan wajar.
Di sini Nurcholish telah sampai pada pemikiran adanya kesejajaran antara
kemanusiaan dengan penghayatan keagamaan. Sebab, ia telah menunjukan bahwa
agama seharusnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang fitri.
Kelanjutan logis dari kesejajaran ini adalah paham persamaan derajat manusia.
Inilah yang diusahakan oleh Nurcholish agar dipahami umat manusia yang tengah
menghadapi krisis kemanusiaan sebagai akibat kepungan kehidupan modern.
Inilah yang oleh Nurcholish disebut sebagai agama yang tegak, lurus dan
benar atau hanif. Pengertian hanif di sini maksudnya (dengan melalui ritus
dilakukan) proses pancarian kebenaran dengan tulus dan murni, sejalan dengan
sifat alami manusia yang berpihak pada kebenaran dan kaiikan (fitrah). Pencarian
kebenaran secara murni dan tulus dengan sendirinya menghasilkan sikap pasrah
pada kebenaran. Sikap keberagamaan yang benar akan memberikan kebahagiaan
sejati. Inilah al-hanifiyyat al-samhah, sebagaimana sabda Nabi SAW:”sebaik-baik
agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah. Yaitu semangat mencari
kebenaran yang lapang dada, toleran, tidak sempit, tanpa kefanatikan dan tidak
membelenggu jiwa (Nurcholish Madjid, 1993:19).
Di sinilah letak universalisme Islam yang sesungguhnya. Islam, sebagai
agama yang dibawa Nabi pemungkas, adalah ajaran terakhir yang melanjutkan
ajaran para Nabi terdahulu sangat menekankan ajaran untuk pasrah dan tunduk
kepada Tuhan semata (Nurcholish Madjid, 1993:440). Sehingga nama agama ini
pun dari semangat al-islam tersebut. Bukan diambil dari nama tempat (seperti
agama Hindu yang diambil dari nama Hindia atau Hindustan), juga tidak diambil
dari nama suku, bangsa dan dinasti (seperti Agama Yahudi karena tumbuh dari
suku Yahuda), bukan pula diambil dari nama pendirinya (seperti Agama Budha
yang dilekatkan pada Budha Gautama dan Agama Kristen/Masehi yang diambil
dari Nabi Isa atau Yesus yang bergelar al Masih atau Kristus). (Nurcholish
Madjid, 1993:442).
Dengan makna “islam” sebagai agama pasrah kepada Tuhan, maka Islam
(nama agama yang dibawa Nabi SAW). adalah ajaran agama yang mengandung
konsep kesatuan kenabian (wihdat al nubuwah, the unity of prophecy), kesatuan
kemanusiaan (wihdah al insaniyyah, the unity of humanity), yang berangkat dari
konsep kemaha Esaan Tuhan (Wahdaniyyah atau tauhid. The unity of God). Tiga
konsep inilah yang menjadikan Islam sejalan dengan semangat hakikat
kemanusiaan yang berlandaskan sikap al-hanifiyyat al samhah, kecenderungan
untuk bersandar pada kebenran, atau semangat untuk mencari terus menerus
kebenaran secara lapang dada, toleran, tanpa kefanatikan, tidak sempit, seperti
yang telah diuraikan di atas.
Berdasarkan argumen tersebut, maka cita-cita sosial Islam terdapat di
manapun. Nurcholish berpendapat seperti ini karena cita-cita sosial keislaman
yang fitrah itu selalu merupakan al nashihah (pesan) ketuhanan. Karena itu
penerjemahannya ke dalam sistem sosial Islam tidak hanya akan baik untuk umat
Islam saja, tetapi juga akan membawa kemaslahatan bagi semua masyarakat.
Inilah yang dimaksud Nurcholish dengan kalimat: “kemenangan Islam merupakan
kemenangan semua golongan (Nurcholish Madjid, 1994:280).
Dan menurut Nurcholish, hanya dengan melawan tirani inilah seseorang
akan mampu lebih mendekati kebenaran. Ketika ia sedang dalam proses menuju
mendekati kebenaran tersebut, secara resiprokal ia sebenarnya sedang dalam
proses pembebasan dirinya yang lebih dari sekedar membebaskan diri dari tirani
vested interest. Implikasi dari pembebasan ini adalah seseorang akan menjadi
manusia yang terbuka dan secara kritis tanggap terhadap masalah-masalah
kebenaran dan kepalsuan yang ada dalam masyarakat. (Nurcholish Madjid,
1994:40). Dari pemahaman tersebut, jelas, akan membawa efek pembebasan
tauhid dan ini mengalir dari level individual ke level sosial. Menurut Nurcholish,
dalam Al-Qur’an prinsip tauhid tersebut berkaitan dengan sikap menolak “apa-apa
yang melewati batas”, sehingga konsekuensi logis tauhid pada tatanan sosiologis
adalah pembebasan manusia yang bersifat egalitarian dengan melawan segala
bentuk absolutisme (Nurcholish Madjid, 1994:126-7).
Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa pemikiran keislaman Nurcholish
berpangkal tolak dari teologi inklusif dalam ajaran Islam, yang diangkat dalam
figur semangat humanitas dan uviversalisme Islam. Pangkal tolak teologi inklusif
ini pada akhirnya memberikan formulasi bahwa Islam merupakan agama yang
terbuka, yang tampil dengan penuh rasa percaya diri, dan mampu bersikap sebagai
pamong yang dengan sabar dan tekun ngemong, mengasuh golongan umat agama
lain (Nurcholish Madjid, 1992:161).
B. Islam dan Pluralisme Agama
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa paradigma dari teologi
inklusif Nurcholish adalah komitmennya yang kuat terhadap persoalan pluralisme.
Kesadaran akan hal ini lahir dalam diri Nurcholish sebagai akibat dari
keprihatinannya yang sangat mendalam menyaksikan konflik agama.
Menyaksikan kenyataan kehidupan sejarah umat manusia modern yang penuh
ironi tersebut itulah yang telah menghujat kesadaran Nurcholish untuk
mempertanyakan secara mendalam: beginikah hakikat agama, hakikat Islam?
Bertolak dari keyakinan itu, maka gugatan mendasar yang dilancarkan
oleh Nurcholish adalah pandangan keagamaan yang bersifat eksklusivistik,
pandangan keagamaan yang cenderung merongrong persaudaraan kemanusiaan
uiversal, hanya karena perbedaan kitab suci dan Nabi yang membawanya.
Kerja sama itu perlu dilakukan karena, menurutnya, jaman modern telah
mengakibatkan umat manusia terbagi dalam beberapa kelompok, sehingga praktis
tidak ada masyarakat di dunia sekarang tanpa pluralitas (Nurcholish Madjid,
1994:280). Nurcholis melakukan re-interpretasi secara kritis terhadap doktrin
Islam, untuk menopang seluruh gagasannya tentang pluralisme agama, ia juga
banyak menengok ke belakang sejarah umat manusia, dengan maksud untuk
mendapatkan inspirasi historis yang bisa dipetik dan dijadikan ibrah (peringatan),
sehingga nurhikmah (cahaya kebijaksanaan) sejarah umat manusia masa lampau
itu dapat ditangkap manusia modern masa kini (Nurcholish Madjid, 1985:41).
Pertama-tama, Nurcholish menegaskan bahwa masalah pluralisme (dalam
arti apa pun bentuknya) bukanlah sesuatu yang unik dan diherankan, terlebih lagi
di jaman modern, sebab secara sosiologis pun realitas kemajemukan selalu ada.
“Tidak ada suatu masyarakat pun yang benar-benar tunggal, unitar (unitary)”,
tegasnya. (1982:159). Tetapi, Nurcholish meyakinkan bahwa terdapatnya
perbedaan itu tidak berarti kesatuan atau ketunggalan tidak bisa diwujudkan,
meskipun keadaan menjadi satu (being united) tersebut sifatnya relatif dan
tetantif.
Kemudian, secara teologis hukum pluralitas adalah kepastian (taqdir
menurut maknanya dalam Al-Qur’an) dari Tuhan. Oleh karena itu, menurutnya,
yang diharapkan dari setiap masyarakat ialah menerima kemajemukan itu
sebagaimana adanya kemudian menumbuhkan sikap bersama yang sehat dalam
rangka kemajemukan agama itu sendiri. Sikap yang sehat itu adalah dengan
menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing umat untuk secara maksimal
mendorong dalam usaha mewududkan berbagai kebaikan dalam masyarakat.
Adapun masalah perbedaan itu diserahkan sepenuhnya kepada Tuhan
semata.(Q.S. Al-Maidah:48). Karena itu, kemajemukan termasuk ke dalam
kategori sunnatullah yang tak bisa dihindari umat beragama karena kepastiannya.
Sebegitu tingginya penghargaan Islam terhadap kemajemukan agama
sebelumnya, sampai Al-Qur’an memandang agama-agama sebelum agama Islam
untuk didudukkan sebagai agama yang patut dihormati. Salah satu bentuk
penghargaan itu adalah adanya konsep Ahl al-Kitab dalam doktrin Islam, sebuah
konsep yang menunjukan tuntutan agar kaum muslim bersikap toleran terhadap
penganut agama lain. (Nurcholish Madjid, dalam Makalah, “wawasan al-Qur’an
tentang Ahl al-Kitab pada Munas kerukunan Hidup antar umat beragama di
Indonesia 7 juni 1993).
Disebabkan adanya prinsip-prinsip yang mengakui keberadaan agama-
agama lain yang kemudian dikenal dengan konsep Ahl al-Kitab itu, maka kitab
suci Al-Qur’an adalah kitab yang mengajarkan paham kemajemukan keagamaan
(religious plurality) (Nurcholis Madjid, 1992:184). Ini sesuai dengan misi
kerasulan Nabi Muhammad bahwa Islam muncul untuk menegaskan kembali agar
seluruh umat manusia yang beragama itu “menyerahkan dirinya secara pasrah
kepada Tuhan”(yaitu”islam” dalam makna sejatinya).
Kemudian timbul pertanyaan, apakah dengan konsep ini Islam mengakui
kebenaran semua agama atau dengan kata lain. Islam memandang semua agama
itu sam belaka? Tentu saja menurut Nurchjolish pandangan itu keliru. Pandangan
Islam terhadap agama lain itu hanya memberi pengakuan sebatas hak masing-
masing untuk berada (berksisensi) dangan kebebasan menjalankan agama masing-
masing (Nurcholid Madjid, 1992:69).
Dengan demikian, ajaran kemajemukan agama itu menandaskan bahwa
semua agama diberi kebebasan untuk hidup dengan resiko yang akan ditanggung
oleh para penganut agama itu masing-masing (Nurcholid Madjid, 1992:79). Sifat
keunikan Islam seperti inilah yang telah menciptakan sikap-sikap unik juga pada
umat Islam dalam hubungan antar umat beragama, yaitu toleransi, keterbukaan,
kebahasaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran (fairness). (Nurcholid Madjid,
1992:81).
Mengapa Nurcholish mengatakan sikap inklusif umat Islam itu sebagai
pure doktrin Islam? Di sinilah konteks pernyataan Nurcholish yang sering ia
kumandangkan sangat relevan sebagai jawabannya. Menurutnya, sikap untuk
saling menghargai sesama pemeluk agama itu akan terlihat jelas jika umat Islam
dalam suatu kelompok masyarakat menjadi umat yang mayoritas.
C. Umat Islam Indonesia dan Masalah Pluralisme Agama
Dengan melihat pembahasan di atas, jelas Nurcholish Madjid menekankan
pentingnya prinsip tawhid, keadilan dan demokrasi sebagai modal utama umat
Islam untuk memecahkan berbagai persoalan yang akan dihadapi di masa yang
akan datang. Berkaitan dengan konteks keindonesiaan modal tersebut sangat
diperlukan dan relevan mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa dengan tingkat
kemajemukan yang sangat tinggi. Dalam bingkai modernitas, prinsip-prinsip di
atas itu menjadi keharusan bagi umat Islam Indonesia untuk diwujudkan dalam
peri kehidupan mereka sebagai seorang muslim agar mereka mampu menyertai,
bahkan menjadi aktor utama, dalam modernisasi (pembangunan).
Bagi Nurcholish, maju mundurnya bangsa Indonesia terletak di tangan
umat Islam yang menjadi bagian kelompok mayoritas. Kemajuan bangsa
Indonesia akan berdampak “krdit” kepada umat Islam Indoneia dan kemunduran
bangsa Indonesia akan berdampak “diskredit” kepada umat Islam Indonesia juga.
Jadi, bagi umat Islam, yang identik dengan rakyat itu, tidak ada pilihan lain
kecuali berpartisipasi dan mendukung pembangunan nasional. (Nurcholis,
1995:75).
Jadi, ringkasnya, demikian Nurchoolish, dalam usaha-usaha
mengembangkan pemikiran dan pemahaman agama secara kreatif, resourcefull
dan menjaman, umat Islam Indonesia itu harus pula mengenal secara “empirik”
pengalaman, pemikiran dan pemahaman keislaman di masa lalu. Dari sana akan
diperoleh banyak bahan perbandingan yang akan memperkaya visi dan wawasan
umat Islam Indonesia untuk masa kini dan masa yang akan datang (Nurcholish
Madjid, dalam Kontekstualisasi Doktrin, 1994: xxvii.)
Berkaitan dengan masalah kemajemukan agama di Indonesia, Nurcholish
melihat bentuk kebijakan politik tentang kebebasan memeluk agama yang
tertuang dalam Piagam Madinah itu adalah langkah politis yang harus diambil
oleh bangsa Indonesia.
Dengan demikian, lagi-lagi Nurcholish menekankan segi-segi doktrin
Islam yang cemerlang, Yaitu, bahwa Islam adalah agama yang memandang
kesatuan antara yang sakral dengan yang profan (antara agama dengan negara,
namun tidak berarti juga keduanya identik. Karena walaupun agama dan negara
dalam Islam, meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dibedakan tidak terpisah,
namun berbeda (Elza Peldi Taher, 1945:126).
Untuk itu, menurut Nurcholish, Pancasila merupakan jalan tengah bagi
penyelesaian masalah perdebatan ideologis tersebut. Penerimaan Pancasila
sebagai landasan negara menunjukkan juga sikap arif pemimpin Islam pada waktu
itu dalam menjaga integrasi negara. Malah, jika diteliti lebih jauh, demikian
Nurcholish, segala yang terkandung di dalam negara itu sejalan dengan ajaran
Islam, meskipun simbol-simbol Islam telah dihilangkan (Nurcholish, 1995:107)
Kedudukan serta fungsi Pancasila dan UUD 1945 itu bagi umat Islam
Indonesia dapat dipandang sama dengan kedudukan dan fungsi dokumen politik
pertama dalam sejarah Islam yang dikenal dengan nama Pigam Madinah pada
masa awal kehidupan Islam di bawah pimpinan Muhammad Saw di Madinah
(Nurcholis, dalam Budhy Munawar Rahman, 1996:94).
Demikian juga dengan Pancasila. Penganut agama lain tidak akan
meyadari bahwa penggunaan kata “musyawarah”, sekedar salah satu misal, yang
sering mereka lakukan itu adalah nilai Islam yang telah menjadi etika bangsa.
Pada akhirnya, secara tidak sengaja mereka “mengakui” Islam sebagai etika
bangsanya. Jadi, bangsa Indoneisa itu muslim harus dalam arti etika. “Etikanya
Islam, tetapi tidak harus diberi label Islam”.Apabila etika Islam telah berubah
menjadi etika bangsa, maka dengan sendirinya Islam pun akan menjadi sebuah
Civil Religion di Indonesia (Nurcholis Madjid, 1994:53).
Oleh sebab itu, Pancasila harus dilihat sebagai salah satu instrumen
penting dari “Islam Peradaban”, sehingga berfungsi sebagai titik temu
kemajemukan bangsa Indoneisa, khususnya di bidang keagamaan (Nurcholis
Madjid, 1994:53). Maka Pancasila adalah sebuah ideologi yang berwatak dinamis,
tidak statis, karena itu bersifat terbuka. Sifat dan watak inilah yang diharapkan
oleh para pendiri bangsa, sebagai landasan filosofis bersama -- common
philosophical ground, sebuah masyarakat plural yang modern.
Oleh karena itu, Nurcholish tidak menginginkan adanya penafsiran
Pancasila sekali jadi untuk selamanya (once for all). Pancasila juga tidak boleh
ditafsirkan oleh badan tunggal yang memonopoli hak untuk menafsirkannya.
Sebab, Nurcholish melihat dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara,
praktek penafsiran suatu ideologi negara oleh suatu badan tunggal sering hanya
dijadikan alat legitimasi terhadap kekuasaan yang zalim dan sewenang-wenang
(Nurcholis Madjid, 1995:569).
Maka, oleh karena Pancasila berfungsi sebagai titik temu kemajemukan
agama di Indonesia, setiap pemeluk agama memiliki hak untuk ikut serta secara
aktif menafsirkannya bersama-sama dengan pemeluk agama lainnya. Karena
menurut Nurcholis, banyak cita-cita luhur bangsa Indonesia yang tersimpul dalam
Pancasila belum tercapai. Dari lima sila yang ada, yang kelihatan jelas tercapai
adalah sila “Persatuan Indonesia”, yaitu terbentuknya suatu gugusan kepulauan
terbesar di muka bumi dari Sabang sampai Merauke sebagai wilayah kedaulatan
bangsa Indonesia. Setelah sila ketiga itu, sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah
yang cukup baik terlaksana, itupun jika ukurannya hanya sebatas kesemarakan
beragama secara lahiriah. Sedangkan sila-sila lain, “harus diakui masih
memerlukan banyak sekali perjuangan untuk mewujudkannya (Nurcholis Madjid,
Majalah Umat, 1994:4).
Dalam masalah politik, Nurcholish mengatakan bahwa pelaksanaan politik
yang dijalankan di Indonesia masih diliputi oleh beragam “kecurangan”.
Karenanya, apabila demokratisasi berhasil ditegakkan, menurut Nurcholish, akan
membawa pada terjadinya “keadilan sosial” yang lebih mencerminkan dimensi
kemanusiaan. (Nurcholis Madjid, dilema antara pertumbuhan dan keadilan sosial
dalam Elza Peldi Taher, 1994:126).
Selanjutnya, ia melihat jika masalah keadilan tidak segera dipikirkan
pemecahannya, maka akan terjadi konsentrasi sumber daya, khususnya kapital,
keahlian dan informasi di tempat-tempat tertentu dan di tangan kelompok atau
orang tertentu. Kondisi ini akan menimbulkan ledakan kesenjangan sosial yang
sangat lebar, yang akhirnya bisa menyulut “huru hara” sosial. Ancaman lain yang
akan dihadapi dari kemajemukan sosial politik di Indonesia adalah kehampaan
dan kebiasaan yang bergeser dari kebenaran agama sebagai akibat imbas
modernisasi dan pembangunan ekonomi. Untuk itulah, setiap pemeluk agama
harus saling bekerja sama dalam mendidik dan memperingatkan bahaya
materialisme dan pragmatisme (Elza Peldi Taher, 1994:40-1)
Pada akhirnya, dari semua pembahasan di atas itu, sebenarnya Nurcholis
menunjukan bahwa semangat Pancasila itu tidak lain adalah terbentuknya suatu
tatanan masyarakat yang setiap warganya memperoleh kebebasan bertindak.
Semangat inilah yang ingin disampaikannya dalam kaitan mewujudkan “Islam
Peradaban” yang ia cita-citakan. Dan, Pancasila sebagai titik temu agama-agama
di Indonesia adalah pembuktian Nurcholish bahwa antara Islamic values dengan
Indonesian values tidak terpisahkan.
BAB III
K E S I M P U L A N
Berkaitan dengan penelitian “Pemikiran Nurcholish Madjid tentang
Pluralisme di Indonesia”, maka penulis dapat mengambil kesimpulan:
1. Dalam konteks Indonesia yang memiliki pluralitas yang sangat tinggi,
pluralisme menjadi tantangan besar bagi keutuhan bangsa dan negara.
Terlebih lagi, dalam dimensi sejarah hubungan agama-agama di Indonesia,
sejak kolonialisme Belanda sampai sekarang, masalah sosial, ekonomi dan
politik ikut mewarnai sebagai faktor-faktor yang menyatu dengan kalim
ultimate truth masing-masing pemeluk agama dalam menimbulkan konflik
agama di Indonesia. Kehidupan agama-agama di Indonesia di satu pihak
memberi nuansa-nuansa khazanah budaya bangsa, tetapi di pihak lain ia
memiliki potensi yang sangat kuat dalam menimbulkan dis-integrasi
negara.
2. Tantangan pluralisme agama ini tak lepas dari perhatian Nurcholish
Madjid, seorang cendekiawan Muslim yang -- selalu berpijak pada
kebebasan berpikir tanpa sekat-sekat promordialisme. Jati diri dan
wataknya kemudian terbentuk dari bekal pendidikan yang menuntut sikap
liberal dan demokrat, yaitu seorang cendekiawan yang berpikiran bebas
tetapi juga mau menerima kritik dan pendapat orang lain, yang
diperolehnya di Gontor dan Universitas Chicago serta pengalamannya
memimpin organisai-organisasi kemahasiswaan. Sehingga Nurcholish
terlahirkan sebagai cendekiawan yang tidak terpenjara oleh tembok
pemikiran atau sistem nilai tertentu. Pada dirinya terpelihara suatu sikap
paradoks yang istimewa, yaitu kritis tanpa kebencian. Pada akhirnya,
Nurcholish berjuang untuk “memperluas kebebasan manusia, martabat
manusia dan hak-hak asasi manusia”. Rasa cintanya pada nilai-nilai
kemanusiaan terpadu dengan pandangannya yang bening atas masalah-
masalah sentral yang dihadapi umat manusia yang tercermin dalam
pembaharuan pemikiran Islamnya. Dalam kerangka itulah akhirnya ia
sampai pada pemikiran tentang pluralisme agama di Indonesia. Dinamika
pemikirannya ini adalah sebuah improvisasi yang sangat menonjol dari
rangkaian pembaharuan pemikiran Islam yang dicita-citakannya.
3. Semua pemikiran Nurcholish di bidang pluralisme agama ini dimaksudkan
untuk menunjukan bahwa titik temu agama-agama itu perlu diciptakan.
Bagi Nurcholish, Pancasila adalah titik temu agama-agama di Indonesia.
Islam dapat menerima Pancasila karena falsafah negara ini diangkat dari
budaya bangsa. Sedangkan budaya bangsa itu mencakup budaya Islam
sebagai hasil dialog antara Islam universal dengan budaya-budaya
Nusantara yang partikular. Dengan lain kata, Islam telah menjadi bagian
integral dari budaya Indonesia, sehingga legitimasi kultural bagi Pancasila
berarti legitimasi terhadap Islam juga. Pada akhirnya, pemikiran
Nurcholish ini menunjukan wataknya sebagai cendekiawan muslim yang
berparadfigma inklusif, yaitu paradigma yang memandang umat manusia
berdasarkan prinsip persamaan, sehingga Islam dapat berfungsi sebagai
agama masa depan yang terbuka bagi kemanusiaan. Oleh karena itu,
teologi inklusif Nurcholish ini bisa dikatakan sebagai filsafat perennial
yang berdasarkan Islam. Maka, yang genuine dari pemikirannya adalah
adanya distingsi antrara esoterisme dan eksoterisme agama. Karena
pandangan Nurcholish berdasar bingkai Islam, maka pencarian filsafat
penernnial itu harus dilakukan juga oleh para penganut agama lain.
Pencarian itu pada ujungnya menjadi bahan dialog yang sangat besar
manfaatnya bagi penegakkan konsep kerukunan hidup antar umat
beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 1988, Pedoman Dasar
Kerukunan Hidup Beragama. Departemen Agama RI, 1984
Abdullah, M. Amin. “Etika dan Dialog antar Agama:”Ulumul Qur’an 4, Vol. IV
(1993)
_______.”Islam Indonesia Lebih Pluralistis dan Demokratis,”Ulumul Qur’an 1,
Vol. IV (1993).
Abdullah, Taufik, “Tesis Weber dan Islam di Indonesia,” dalam Taufik Abdullah
(ed). Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta:LP3S,
1993.
Abdullah, Taufik dan Sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di
Asia Tenggara. Jakarta:LP3S, 1989.
Abdullah, Muslim. “Dua Pendekar,” Tempo, Januari 1993, Ali, H.A.
Mukti.”Menatap Hari Depan dengan Hidup Rukun antar Umat
Beragama,”makalah pada acara 100 Tahun Parlemen Agama-Agama
Se-Dunia dan Kongres Nasional I Agama-Agama di
Indonesia,Yogyakarta,11-12 Oktober 1993.
_______.Agama dan Pembangunan di Indonesia. Depag RI, 1973.
_______.”Hubungan Antar Agama dan Masalah-Masalahnya,”
dalam Eka Darmaputera (ed.). Konteks Berteologi di
Indonesia:Jakarta:BPK. Gunung Mulia, 1991.
Ali, Fachry. “Cak Nur dan Gus Dur, “Tempo. Oktober 1993.
Ali, Fachry dan Bachtiar Effendi. Merambah Jalan Baru Islam Rekonstruksi
Pemikiran Islam Masa orde Baru. Bandung Mizan, 1987.
Alhumami, Amich. “Beragama secara Toleran,”Media Indonesia (Jakarta), 22-23
Mei 1993.
Amin, M. Mansyur (ed.) Moralitas Pembangunan Perspektif Agama-agama di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.
Amin, M. Mansyur dan Ismail S. Ahmad (ed.). Dialog Pemikiran Islam dan
Realitas Empirik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993.
Anshari, E. Saifuddin. Kritik atas Faham dan Gerakan “Pembaharuan”Drs.
Nurchoish Madjid.Bandung: BUlan Sabit, 1973M.
Anwar, M. Syafi’I “Sosiologi Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid,”
Ulumul Qur’an I, Vol.IV (1993).
_______.”Pluralisme Agama dan Pemantapan Integrasi Nasional,” Kompas
(Jakarta), 21 Mei 1993.
_______.”Teologi Kerukunan dan Praksis Agama-agama,” Kompas (Jakarta), 20
Juni 1993.
_______.”Politik Agama dan Artikulasi Islam Orde Baru,” Media Indonesia
(Jakarta), 19-20 Februari 1993.
_______.”Negara, Masyarakat dan Artikulasi Politik Islam Orde Baru,”
Republika (Jakarta), 14-15 April 1993.
_______.”Idealisme Islam, Realitas Politik dan Dimensi Kebangsaan,”Republika
(Jakarta), 29-30 Januari 1993.
Arsyad, A. Rusli. “Al=Qur’an dan Pluralisme Keagamaan,”Pelita (Jakarta), 4
Maret 1994.
Arkound, Muhammad.”Pemikiran tentang wahyu: Dari Ahl-Kitab sampai
Masyarakat Kitab,”Ulumul Qur’an 2, Vol.IV (1993).
Armando, Ade.”Citra Kaum Pembaharu Islam dalam Propaganda Media
Dakwah,”Ulumul Qur’an 3, Vol.IV (1993).
Asa, Syu’bah, “Mengembangkan Toleransi Beragama,” Republika (Jakarta), 14
Januari 1993.
Athiyah, S., Ibnu. “Agama Masa Depan dalam Perpektif Spiritual, ”Republika
(Jakarta), 7 Mei 1993.
Azra, Azyumardi. “Tipologi dan Dimensi Politis Gerakan Neorevivalis di
Indonesia, “Ulumul Qur’an 2, Vol IV 1993.
_______.”Islam, Akomodasi Budaya dan Pasca Modernisme,” Republika
(Jakarta), 27 Januari 1993.
_______.”Citra Barat tentang Islam: Tinjauan Historis Singkat,”Republika
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1989.
_______.” Memahami Konflik Barat Islam dalam Era Globalisasi,” kata
pengantar untuk buku Karel Steen brink Kawan dalam Pertikaian
Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1959-1942).
Bandung:Mizan, 1995.
_______.Jaringan Ulama Timur Tengah Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-akar
Pembaharuan di Nusantara.Bandung: Mizan, 1994.
Badawi, Syaikh M.A. Zaki. “Islam, Agama-agama Lain dan Masa Depan
Kemanusiaan,”Ulumul Qur’an 1, Vol. III (1992).
Berger, Peter L. Langit Suci Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta:LP3S, 1991.
Bleeker, C.J. Pertemuan Agama-agama Dunia. Bandung: Sinar Bandung, 1983.
Budiman, Arief.”Dimensi Sosial Ekonomi dalam Konflik Agama di Indonesia,”
dalam Th. Sumartana, St. Sunardi dan Farid Wajdi (ed.) Dialog: Kritik
dan Identitas Agama. Yogyakarta: DIAN, 1993.
Daya, Burhanuddin. “Hubungan antar Agama di Indonesia,”Ulumul Qur’an 4,
Vol. IV (1993).
Darmaatmadja, J.”Pluralisme Agama dan Masa Depan Bangsa: Perspektif Agama
Katolik, “makalah pada acara 100 Tahun Parlemen Agama-Agama Se-
Dunia dan Kongres Nasional I Agama-Agama di Indonesia,
Yogyakarta, 11-12 Oktober 1993.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta LP3S, 1990.
Dimont, Max I. Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan. Bandung:Eraseni Media,
1993.
Djajadiningrat. P.A. Husein. “Islam di Indonesia,”dalam Kenneth W. Morgan
(ed.). Islam Djalan Mutlak. Jakarta Jembatan, 1963.
Effendi, Djohan, “Dialog antar Agama Bisakah Melahirkan Teologi Kerukunan,”
dalam Imam Ahmad (ed.). Agama dan Tantangan Zaman Pilihan
Artikel Prisma 1975-1984. Jakarta:LP3S, 1985..
Gaffar, Afan. “Islam dan Politik dalam Era Orde Baru Mencara Bentuk Artikulasi
yang Tepat,” Ulumul Qur’an 2, Vol.IV (1993).
H.A., Saifullah, “Daarussalaam, Pondok Modern Gontor,” dalam M. Dawam
Rahardjo (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta:LP3S, 1988.
Hadikusuma, Hilman, Antropologi Agama bagian I (Pendekatan Budaya terhadap
Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, di
Indonesia).Bandung:Citra Aditya Bakti, 1993.
Hasan. M. Kamal. Modernisasi Indonesia:Respon Cendekiawan Muslim. Jakarta:
Lingkaran Studi, 1997.
_______.”Tanggapan-tanggapan Ideologis Muslim terhadap Masalah Modernisasi
di Indonesia,”dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Siddique dan Yasmin
Hussein (ed.). Islam di Asia Tenggara Perspektif Kontemporer.
Jakarta:LP3S, 1987.
Hadimulyo. “Keberagamaan yang Merdeka dan Bertanggungjawab,” Kompas
(Jakarta), 17 Juni 1993.
Hartoko, Dick. “Kerukunan Beragama dan Cara Memandang Kebudayaan,”
Ulumul Qur’an 3, Vol.IV (1993).
Hendropuspito. Sosiologi Agama. Jakarta:BPK. Gunung Mulia, 1992.
Hidayat, Komaruddin.”Schoun, Nasr dan Cak Nur,”Ulumul Qur’an 1, Vol. IV
(1993).
_______.”Kebangkitan Etno-Religius,”Kompas (Jakarta),12 Agustus 1994.
_______.”Perennialisme: Pendekatan Lain Memahami Agama,” Kompas
(Jakarta), 14 April 1993.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi. Bandung:Mizan, 1991.
Kleden, Ignes. “Kbangkitan Agama dalam Tiga Dimensi,”Kompas (Jakarta), 3
April 1995.
Langie. G.S.S. Ratu. Indonesia di Pasifik. Jakarta:Pustaka Harapan, 1982.
Liddle, R. William.”Skriptualisme Media Dakwah: Satu Bentuk Pemikiran dan
Aksi Politik IslamMasa Orde Baru, “Ulumul Wur’an 3, Vol.IV (1993).
Lubis, M. Ridwan. “Perkembangan Pemikiran Islam Regional: Tinjauan terhadap
Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia,” dalam Abdurrahman,
Burhanuddin Daya dan Djam’anurri (ed). Agama dan Masyarakat.
Yogyakarta:IAIN Sunan Kalijaga Pers, 1993.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
_______.Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam di
Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1995.
_______.Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
_______.Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:Mizan, 1992.
_______.Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta:Paramadina, 1994.
_______.Pluralisme Agama di Indonesia,”Ulumul Qur’an 3, Vol. VI (1995).
_______.”Wawasan Al-Qur’an tentng Ahl-kitab,”makalah pada acara Seminar
Kerukunan Hidup antar Umat Beragama di Indonesia, Universitas
Islam Bandung, 7 Juni 1993.
________ “Tak Usah Munafik,” Matra 77 (Desember 1992).
_______.”Tuhan Tujuan yang Tak Bakal Tercapai,”Media Indonesia (Jakarta), 28
Maret 1993.
_______.”Uskup Bello Harus sadar, Dirinya hanya Tokoh Agama,” Republika
(Jakarta),13 Oktober 1995.
_______.”Teokrasi dan Asal Usul Sekulerisme,”Republika (Jakarta), 3 Oktober
1994.
_______.”Roem,”Tokoh Islam yang Faham Betul Demokrasi,” Republika
(Jakarta), 5 Mei 1995.
_______.”Warisan Intelektual islam,” pangantar untuk buku yang disuntingnya,
Khazanah Intelektual islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984..
_______.”Menatap Islam Masa Depan,” Ulumul Qur’an 1, Vol.V (1994).
_______.”Tasauf dan Pesantren,” dalam M. Dawam Rahardjo (ed.). Pesantren
dan Pembaharuan. Jakarta:LP3S. 1988.
_______.”Sufisme Baru dan Sufisme Lama: Masalah Kontinuitas dan
Perkembangan dalam Esoterisme Islam,” dalam Djohan Effendi )ed.).
Sufisme dan Masa Depan Agama. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
_______.”Menggerakkan Faham Ahlus Sunnah wal-Jamaah Baru,” dalam Haidar
Baqir (ed.). Satu Islam Sebuah Dilema Bandung: Mizan, 1991.
_______.”Pancasila setelah Lima Puluh Tahun,”Ummat 4 (Agustus 1995).
_______.”Pemikiran Filsafat islam di Dunia Modern: Problem Perbenturan antara
warisan Islam dan Perkembangan jaman, “Al-Hikmah 6 (Oktober
1992).
________ “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi
Mendatang,”Ulumul Qur’an 1, Vol. VI )1993).
_______.Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan. Bandung:Mizan, 1993.
_______.”Pembangunan Nasional:Dilema antara Pertumbuhan dan Keadilan
Sosial,”dalam Elza Peldi Taher (ed.). Demokratisasi Politik, Budaya
dan Ekonomi.Jakarta: Paramadina, 1994.
_______.”Kebebasan Nurani (Freedom of Concience)dan kemanusiaan Universal
sebagai Pangkal Tolak Demokrasi, Hak Asasi dan Keadilan,” dalam
Elza Peldi Taher.
_______.”Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia: Bebereapa Pandangan
Dasar dan Prospek Pelaksanaannya sebagai Kelanjutan Logis
Pembangunan Nasional,”dalam Elza Peldi Taher.
_______.”Konsep Ashab al-Nuzul dan Relevansinya bagi Pandangan historisis
Segi-segi tertentu Ajaran Keagamaan,” dalam Budhy Munawar
Rahman (ed.). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta:
Paramadina, 1994.
_______.”Islam di Indonesia dan Potensinya sebagai Sumber Substansial Ideologi
dan Etos Nasional, “dalam Budhy Munawar Rahman.
________ “Al-Qur’an, Kaum Intelektual dan Kebangkitan Kembali Islam,” dalam
Rusydi Hamka, Iqbal Emsyarif dan Arif Saimina (ed.). Kebangkitan
Islam dalam Pembahasan. Jakarta:Yayasan Nurul Islam, 1992.
Mangunwijaya, Y.B. “Kosmologi Baru dan Penghayatan Agama,” Kompas
(Jakarta), 21 Mei 1992.
_______.”Pergeseran Titik Berat dari Keagamaan ke Religiusitas,” dalam Djohan
Effendi (ed.). Spiritulitas Baru: Agama dan Aspirasi
Rakyat.Yogyakarta: DIAN, 1994.
Maarif, Ahmad Syafi’i. “Agama dan Pembangunan: Corak Masyarakat Islam
Masa Depan.”Ulumul Qur’an 1, Col. III (1992)..
Mas’udi, Masdar F.”Ide Pembaharuan Cak Nur di Mata Orang Pesantren”Ulumul
Qur’an 1, Vol. IV (1993).
______.”Reorientasi Pemikiran Keagamaan NU-Muhammadiyah,” Media
Indonesia (Jakarta), 20-21 Juli 1993.
Mali, Abraham Runga. “Urgensi Dialog di Tengah Pluralisme Agama,” Media
Indonesia (Jakarta, 20-21 Juli 1993.
______.”Saiful )ed.) Pembangunan dan Kebangkitan islam di Asia Tenggara,
Jakarta: LP3S, 1993.
______.”Berteologi sebagai Praktek Politik: Suatu Kesaksian Islam Orde Baru,
“dalam Djohan Effendi (ed.). Spiritualitas Baru:Agama dan Aspirasi
Rakyat. Yogyakarta: DIAN, 1994..
______.”Agama dalam Transformasi Sosial,” Islamika 1 (1993)..
Mulkhan, Abdul Munir. “Logika Ekonomi dan Agama dalam Fenomena Protes
Sosial,”Kompas (Jakarta), 9 Maret 1993.
Nashir, Haedar.”Agama, Pluralisme dan Penelitian Kerukunan,” Kompas
(Jakarta), 31 Mei 1993.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1995.
______.Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II. Jakarta: Universitas Indonesia
Perss, 1986.
Noorsena, Bambang. Antara Bayangan dan Kenyataan Kembang Setaman
Seputar Kekristenan di Tengah Perjumpaan Agama-agama dalam
Kepustakaan Jawa. Yogyakarata: Yayasan Andi, 1992.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3S. 1991.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat. Jakarta: Rajawali, 1993.
O’dea, Thomas F. Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal. Jakarta: Rajawali,
1992.
Pardoyo, Sekulerisasi dalam Polemik, Jakarta: Pustaka Grafiti, 1993.
Peassen, Y.V. “Kerjasama Agama-Agama dan Prospek: Kasus Sulawesi Utara,”
dalam Imam Ahmad (ed.) Agama dan Tantangan Zaman Pilihan
Artikel Prisma 1975-1984. Jakarta:LP3S, 1985.
Pranowo, M. Bambang. “Islam dan Pancasila: Dinamika Politik Islam di
Indonesia,”Ulumul Qur’an 1, Vol.III (1992).
Priyono, A.E. “Periferalisasi, Oposisi dan Integrasi Islam di Indonesia (Menyimak
Pmikiran Dr. Kuntowijoyo),” kata pengantar untuk buku
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi.
Bandung:Mizan, 1993.
_______.Islam. Bandung: Pustaka, 1994.
_______.Tema Pokok AL-Quran. Bandung:Pustaka, 1983.
_______.Islam dan Modernitas tentang ransformasi Intelektual. Bandung:
Pustaka, 1985.
_______.”Beberapa Pendekatan dalam Kajian Atas Islam: Suatu Tinjauan
Kritis,”Ulumul Qur’an 2, Vol. III (1992).
_______.”Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan
Otobiografis,”Jurnal Al-Hikmah 6 (Oktober 1992).
_______.”Budhy Munawar,”Menguak Batas-batas Dialog antar Agama, “Ulumul
Qur’an 3, Vol. VI (1995).
Rahman,Budhy Munawar. “Kesatuan Transendental dalam Teologi: Perspektif
Islam tentang Kesamaan Agama-agama,” dalam Th. Sumartana, St.
Sunardi dan Farid Wajidi (ed.). Dialog: Kritik dan Identitas Agama.
Yogyakarta: DIAN, 1993.
_______. Kebijakan Perennial dan Kritik Terhadap Modernisme,” Kompas
(Jakarta), 22 Mei 1993.
_______.”Berbagai Respon atas Pembaharuan Islam,” Ulumul Qur’an I, Vol. IV
(1993), 22 Mei 1993.
_______.”Kemenangan Islam, Kemenangan Ide, bukan Kemanangan Golongan,
“Republika (Jakarta), 6November 1994.
Rahmat, Jalaluddin.”Kearifan Perennia:Paradigma Baru Sains,” Republika
(Jakarta), 14-16 Desember 1993.
_______.”Mutahhari: Sebuah Model buat para Ulama,”kata pengantar untuk buku
Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Wur’an tentang Manusia dan
Agama. Bandung:Mizan, 1986.
Rahardjo. M. Dawam. Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa.
Bandung: Mizan, 1993.
_______.”Di Sekitar Cara mendiskusikan Pemikiran Keagamaan Akhir-akhir
ini,”Republika (Jakarta), 8 Februari 1992.
Ridwan, M. Deden. “Tempo dan Gerakan Neo-Modernisme di Indonesia,”Ulumul
Qur’an 3, Vol. VI (1995).
Rosita, Elly, “Mereka yang Membawa Kemudi HMI,”Kompas (Jakarta), 16
September 1990.
Saifulloh HA, Ali, “Daarussalaam, Pondok Modern Gontor,” dalam M. Dawam
Rahardjo (ed.). Pesantren dan Pembaharuan Jakarta: LP3S, 1988.
_______.Islam dan Filsafat Perenial. Bandung: Mizan, 1993. Shihab, M. Quraish.
Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat,”Kompas (Jakarta), 4 Agustus 1993.
Simatupang, T.B. “Bersama-sama Meletakkan Landasan Moral, Etik dan Spiritual
bagi Perkembangan Nasional Menuju Tinggal Landas,” dalam Eka
Darmaputera (ed). Konteks Berteologi di Indonesia. Jakarta:BPK.
Gunung Mulia, 1991.
Sjamsudhuha. Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik dan Protestan di
Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional, 1987. Setiadi,
Purwanto.”Pelajaran Keberagamaan dari Madinah,” Republika
(Jakarta), 19 April 1994.
Smith, Huston. Agama-agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985.
_______.”Pasca-Modernisme dan Agama-agama Dunia, “Ulumul Qur’an 1 Vol.
VI (1995).
Stennbrink, Karel. Kawan dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dengan
Islam di Indonesia. (Jakarta:BPK.Gunung Mulia, 1991.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3S, 1986.
Supriyanto, Eko, “Menguak Metamorfosis Nurcholish Madjid,” Republika
(Jakarta), 17 Oktober 1994.
Suryanegara, A. Mansyur. “Ummat Islam dalam Perspektif Sejarah,” dalam
Rusydi Hamka, Iqbal Emasyarif dan Arif Saimina (ed.). Kebangkitan
Islam dalam Pembahasan. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1992.
_______.Menemukan Sejarah Wcana Pergerakan Islam di Indonesia.
Bandung:Mizan, 1995.
Soedjatmoko. Etika Pembebasan.Jakarta:LP2S, 1988.
Taher, Tarmizi. “Menciptakan Kedamaian Lewat Forum Konsultasi Antar Umat
Beragama,” Republika (Jakarta), 13 Oktober 1995.
Tanja, Victor I. “Tradisionalisme Agama dan Masa Depan Umat Manusia,”
Ulumul Qur’an 4, Vol. III (1992).
_______.”Toleransi Kristiani dalam Negara Pancasila,” Republika (Jakarta),
26September 1994.
_______.”Dialog Islam-Kristen tentang Perdamaian dan Hak Asasi Manusia,”
Kompas (Jakarta), 14 Juli 1993.
_______.Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta:BPK.
Gunung Mulia, 1994.
Tamimi, Geys A. “Pembaharuan Nurcholish Madjid,” Media Indonesia
(Jakarta),31 Maret-April 1993.
Tebba, Sudirman., “Arah Baru Gerakan Pemikiran Islam,” Kompas (Jakarta),
Desember 1987.
Verkuyl, J. Ketegangan antara Imperialisme dan Kolonialisme Barat dan
Zending pada Masa Politik Kolonial Etis. Jakarta:BPK.Gunung Mulia,
1990.
Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: LP3S, 1988.
Wahid, Abdurrahman. “Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban
Islam,” dalam Budhy Munawar Rahman (ed.). Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.
Wach, Joachim. Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Rajawali, 1989.
Yafie, Ali, dkk. Agama dan Pluralitas Bangsa.Jakarta: P3M, 1994.