Asd

11
Poliomyelitis s Pendahuluan Poliomielitis s poliomyelitis yang pernah menimbulkan suatu epidemic hamper tereradikasi, sebagai akibat dari perkembangan dan pengguanaan vaksin profilaksis yang efektif secara luas. Namun, pada negara yang sedang berkembang, insiden poliomielitis masih sangat tinggi terutama pada anak-anak. Meskipun dewasa ini dilakukan kampanye imunisasi yang intensif terhadap poliomyelitis dengan tujuan untuk mengeradikasi penyakit ini. Anamnesis as Riwayat kehamilan ibu juga dapat ditanyakan. Hal-hal yang dapat ditanyakan seperti, bagaimana kesehatan ibu waktu hamil, penyakit apa saja yang diderita, perawatan ante natal oleh siapa apakah dokter,bidan, atau dukun. Selama hamil apakah teratur melakukan perawatan ante natal. Obat apa saja yang diminum selama hamil, apakah mempunyai kebiasaan merokok atau minum alcohol. s setelah lahir (pada nilai Apgar). Berapa umur ibu waktu mealhirakan dan bagaimana keadaannya. Apakah setelah lahir bayi mengalami sianosis, kuning, kejang, anemia, dan infeksi. Berapa lama dirawat setelah lahir. 1

description

sda

Transcript of Asd

Page 1: Asd

Poliomyelitis

s

Pendahuluan

Poliomielitis s poliomyelitis yang pernah menimbulkan suatu epidemic hamper tereradikasi, sebagai akibat dari perkembangan dan pengguanaan vaksin profilaksis yang efektif secara luas. Namun, pada negara yang sedang berkembang, insiden poliomielitis masih sangat tinggi terutama pada anak-anak. Meskipun dewasa ini dilakukan kampanye imunisasi yang intensif terhadap poliomyelitis dengan tujuan untuk mengeradikasi penyakit ini.

Anamnesis as

Riwayat kehamilan ibu juga dapat ditanyakan. Hal-hal yang dapat ditanyakan seperti, bagaimana kesehatan ibu waktu hamil, penyakit apa saja yang diderita, perawatan ante natal oleh siapa apakah dokter,bidan, atau dukun. Selama hamil apakah teratur melakukan perawatan ante natal. Obat apa saja yang diminum selama hamil, apakah mempunyai kebiasaan merokok atau minum alcohol. s setelah lahir (pada nilai Apgar). Berapa umur ibu waktu mealhirakan dan bagaimana keadaannya. Apakah setelah lahir bayi mengalami sianosis, kuning, kejang, anemia, dan infeksi. Berapa lama dirawat setelah lahir.

Riwayat penyakit dahilu apa sajakah yang pernah diderita dan pada umur berapa apakah pernah sakit sampai dirawat di rumah sakit. Apakah pernah mengalami operasi kecelakaan atau cedera. Apakah pernah tidak sadar. Apakah pasien sudah diimunisasi dan sampai umur berapa apakah lengkap atau tidak.1

Pemeriksaan Fisik

Pemerikssan system motor. Sebelum melakukan pemriksaan formal perhatikan posturnya pada waktu berdiri, perhatikan jalannya, dan larinnya. Evaluasi system motor pada anak usia sekolah dapat dilakukan secara formal, dan biasannya cukup pada otot proksimal dan distal anggota gerak atas dan bawah. Uji kekuatan s

1

Page 2: Asd

1 = terdapat atau teraba ada getaran kontraksi, tetapi tidak ada gerakan anggiota gerak sama sekali

0 = paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali

Pemeriksa kekuatan otot biasanya dilakukan pada anggota gerak, misalnya disuruh mengankat bahu sambil ditekan pada bahu yang sama, kemudian ditekan bahunya dan anak disuruh menahan. Cara lain dapat pula anak diajak bejabat tangan dan disuruh pronasi supinasi sambil ditahan. Demikian pula dengan anggota gerak yang lain. Demikian pula dilakukan pada kaki untuk sendi panggul, sendi lutut ketika fleksi dan diberi tahanan. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik neurologis. Refleks tendon dalam biasa diperiksa pada tendon biseps, triseps, patela, dan achilles. Bandingkan refleks tendon pada sisi kanan dan kiri. Selain itu, dapat diperiksa pula tanda rangsang meningeal yaitu kaku kuduk, Brudzinski, dan Kernig. Pemeriksaan kaku kuduk dan Brudzinski dilakukan bersamaan dengan tahap awal yaitu leher pasien ditekuk secara pasif. Pemeriksaan kaku kuduk melihat adakah tahanan sehingga dagu tidak dapat menempel pada dada. Pada Brudzinski, bila terdapat rangsang meningal maka kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut. Pada tanda Kernig, pasien yang berbaring terlentang tungkainya difleksikan tegak lurus, kemudian tungkai bawah diluruskan pada sendi lutut. Dalam keadaan normal, tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135o terhadap tungkai atas. Lalu, dilakukan pula pemeriksaan sensibilitas yaitu uji sentuhan, uji rasa nyeri, uji perasaan vibrasi, uji posisi, dan uji koordinasi.1 Pada uji ini kekuatan otot yang diperiksa harus selalu dibandingkan dengan kekuatan otot analognya yang kontralateral.2 Hasil pemeriksaan fisik ditemukan bahwa suhu pasien 38oC yang berarti lebih tinggi dari normal. Selain itu dinding faring hiperemis, refleks tendon tidak ada, refleks motorik , pemeriksaan sensoriknya positif, kaku kuduk juga positif. Pasien mengalami flaccid dan sulit mengangkat kepala dan kaki pada posisi supin

Pemeriksaan Penujang

Pada kasus poliomielitis, tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk mendiagnisis seseorang terkena poliomielitis pada gejala awal, sama seperti virus lainnya. sad menyebabkan herniasi struktur otak ke dalam s

Penderita mulai mengeluarkan virus kedalam tinja saat sebelum fase paralitik terjadi, jadi isolasi virus asd cara vaksinasi.2

Diagnosis Kerja

Poliomielitis adalah suatu penyakit kelumpuhan akut yang disebabkan oleh suatu kelompok virus neurotropic (tipe I, II, III). Virus poliomielitis mempunyai afinitas khusus pada sel-sel neuron kornu anterior medulla spinalis dan inti saraf motorik di batang otak dan area

2

Page 3: Asd

motoric korteks otak. Sel -sel sarag yang terkena mengalami nekrosis dan otot-otot yang disuplainya mengalami kelumpuhan serta atofi otot.4,5

Keluhan biasanya nyeri tenggorok atau perasaan tak enak di perut, gangguan gastrointestinal, demam ringan, perasaan lemas, dan nyeri kepala ringan. Distribusinya secara khas asimetris, dengan otot-otot proksimal lebih terkena daripada otot distal. Nervus kranialis (polio bulbar) yang terkena menyebabkan disfagia dan ketidakmampuan menyekresi. Perburukan paralisis dapat berlanjut sampai 1 minggu; prognosis dapat ditentukan 1 bulan sesudah infeksi. Fungsi sensoris tetap utuh. Beberapa derajat cedera permanen ditemukan pada mengenai sebagian besar pasien, walaupun mereka yang mengalami paralisis bulbar biasanya sembuh total.

Gejala Klinis

Infeksi tidak bergejala biasanya terjadi pada 95% orang yang terinfeksi. Bentuk abortif (demam nonspesifik) terjadi seperti demam, malaise, anoreksia, mual, muntah, nyeri kepala, faringitis, nyeri perut. Terdapat pula bentuk nonparalitik (meningitis aseptik) gejalanya serupa dengan bentuk abortif ditambah kaku kuduk dan tanda radang meningeal, nyeri otot punggung, tanda tripod, tanda Kernig dan Brudzinski positif, dan ubun-ubun cembung, penurunan refleks tendo superfisial (kremaster, abdominal) dan profunda menandakan paralisis.

Virus polio yang masuk akan berbiak di tenggorokan dan usus, dan tanda-tanda klinik yang timbul kemudian akan sesuai dengan kerusakan anatomik yang terjadi. Biasanya, masa inkubasinya adalah 3-6 hari, kelu,puhan terjadi dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di sumsum tulang belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan sel atrofi otot, sedang virus yang berbiak di batang otak akan menyebabkan kdas. Dalam waktu 24 jam terlihat kekakuan pada leher dan punggung. Penderita terlihat mengantuk, iritabel, dan cemas. Pada kasus tanpa paralisis maka keadaan ini sukar dibedakan dengan meningitis aseptik yang disebabkan virus lain. Bila terjadi paralisis biasanya dimulai dalam beberapa detik sampai 5 hari sesudah keluhan nyeri kepala.

Pada anak, stadium pre paralisis terjadi lebih singkat dan kelemahan otot terjadi pada waktu penurunan suhu, pada saat penderita merasa lebih baik. Pada dewasa, stadium pre paralitik berlangsung lebih hebat dan lebih lama, penderita terlihat sakit berat, tremor, agitasi, kemerahan di bagian muka, otot menjadi sensitif dan kaku, pada otot ekstensor ditemukan refleks tendon meninggi dan fasikulasi. Poliomielitis merusak sel motorik, yaitu neuron yang besar pada substansia grisea anterior pada medula spinalis dan batang otak. Lebih sering kerusakan pada segmen lumbal dan servikal dibandingkan torakal. Medula spinalis lebih sering terkena dibandingkan batang otak. Kerusakan motor neuron pada anak sering menimbulkan kelainan yang asimetris. Proses peradangan juga berpengaruh pada saraf autonom dan sensoris tapi biasanya tak menimbulkan kerusakan yang permanen.4,5

3

Page 4: Asd

Manifestasi gejala klinis dari paralisis terbagi dua yaitu tipe spinal dan tipe bulbar. Paralitik poliomielitis dimulai dari gejala seperti pada infeksi klinis yang ringan (minor), diseling dengan periode 1-3 hari tanpa gejala, kemudian disusul dengan nyeri otot, kaku otot, dan demam. Dengan cepat (beberapa jam) keadaan klinik cepat memburuk (mayor) dan menimbulkan kelumpuhan yang maksimal dalam 48 jam saja. Pada tipe spinal kelumpuhan yang terjadi biasanya tidak lengkap, kaki lebih sering terkena dibanding dengan tangan, terutama terjadi di bagian prasd dari poliomielitis harus dipastikan dengan isolasi dan identifikasi poliovirus, dengan identifikasi spesifik dari tipe liar dan strain tipe vaksin. Dalam kasus yang dicurigai dari paralisis flasid yang akut, 2 spesimen kotoran harus dikumpulkan 24-48 jam berjauhan, secepat mungkin setelah diagnosis poliomielitis dicurigai. Konsentrasi virus polio tinggi pada kotoran di minggu pertama setelah onset paralisis, dimana waktu optimal untuk pengumpulan spesimen kotoran, Poliovirus mungkin diisolasi dari 80-90% pasien sakit akut, sedangkan kurang dari 20% mungkin menghasilkan virus selama 3-4 minggu setelah onset paralisis. Karena kebanyakan anak-anak dengan spinal atau bulbospinal poliomielitis memiliki konstipasi, kotoran dari rectal mungkin digunakan untuk spesimen; idealnya minimal 8-10 gram harus dikumpulkan.6

Diagnosis Banding

Untuk menegakan diagnosis klinis secara tepat terhadap poliomielitis paralitik agak sulit. Sebagai pegangan praktis, apabila dijumpai penyakit akut lain yang menyebabkan nyeri kepala hebat, nyeri leher, demam dan paralisis flasid yang asimetris tanpa menyebabkan kehilangan sensorik, yang diikuti kenaikan leukosit pada cairan likuor. Diagnosis bandingnya adalah sinasd dan kaki dan kemudian mengalami rasa kelemahan berat pada kaki, yang diikuti dengan ketidakmampuan berjalan. Pemeriksaan sering menunjukkan kehilangan seluruh refleks walaupun kekuatan masih baik. Tanda-tanda objektif gangguan sensoris biasanya lebih kecil dibandingkan dengan kelemahan yang dramatis. Tanda-tanda meningeal sering ditemukan. Perburukan menjadi insufisiensi bulbar dan pernapasan dapat terjadi dengan cepat, dan memerlukan pemantauan ketat fungsi pernapasan. Neuropati dibedakan dari sindrom medula spinalis oleh fungsi usus dan kandung kemih yang normal, kehilangan refleks lengan, hilangnya tingkatan sensoris, dan ketiadaan nyeri tekan spinal. Disfungsi saraf autonom dapat menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipotensi ortostatik, takikardia, dan aritmia lain, retensi, atau inkontinensia urine, retensi tinja, atau episode keringat abnormal, kemerahan, atau vasokonstriksi perifer.

Diagnosis banding lainnya adalah mielitis transversa akut dimana terjadi kelainan saraf sensorik dan motorik setinggi segmen spinal yang bersangkutan, yang mengalami peradangan. Pralitik histeritikal sering ditemui pada waktu epidemic. Paresis dengan pola yang simetris buan ad umumnya virus yang tertelan akan menginfeksi epitel orofating, tonsil, kelenjar limfe leher dan usus kecil. Faring akan segera terkena setelah virus masuk, dan karena virus tahan akan asam lambing maka virus akan mencapai saluran cerna bagian bawah tanpa proses inaktivasi. Dari, faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke jaringan limfe dan pembuluh darah. Virus asd saja, namun sel monosit dan sel motor neuron di SSP (PVR mungkin berbeda). Sekali terjadi

4

Page 5: Asd

perlekatan virion dan replokator, integrasi RNA ke dalam virion berjalan cepat, sehingga dari saat infeksi sampai pelepasan virion baru, hanya memerlukan 4-5 jam saja. Virus yang berleplikasi secara lokal kemudian menyebar pada monosit dan kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bisa dihambat oleh secretori IgA lokal. Kejadian neuropati pada poliomielitis merupakan akibat langsung dari multiplikasi virus di jaringan saraf, merupakan gejala yang patognomonik, namun tidak semua saraf yang terkena akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi sebagian disebabkan karena sprouting dan seolah kembali seperti sediakala dalam waktu 3-4 minggu setelah onset. Terdapat perivaskular yang diinfiltrasi interstitiel sel glia. Secara histologik pada umumnya kerusakan saraf yang terjadi luas namun tidak selalu sejalan dengan gejala klinisnya.

Lesi saraf pada poliomielitis dapat ditemukan pada:

1. Meduladasd

2. Palidum

3. Korteks serebri (bagian motorik)

Gambaran patologik menunjukan adanya reaksi peradangan pada sistem retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel motor neuron karena virus ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang neuroglia, myelin atan pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan padasd akan menyebabkan kerusakan permanen.

Virus yang ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring (penularan langsung) atau lewat tinja penderita yang infeksius. Penularan terutama terjadi dari penularan langsung manusia ke manusia secara oral-oral atau tertelan virus liar dari tinja yang infeksius pada waktu 3 hari sebelum dan sesudah masa prodormal. asdsdasd jauhnya dari sumber penularan. Jalur fekal-oral dan adanya sungai yang lewat pemukinam yang padat mempercepat wabah, kasus terjangkit di daerah yang luar dan korban jatuh dalam hitungan hari atau jam.

Sampai saat ini, satu-satunya inang yang dapat dibuktikan adalah manusia. Meskipun pada individu yang mempunyai defek pada tanggap kebal virus dapat berkembang biak dan diekskresi dalam waktu yang lama, namun jumlah long-excretor ini hanya sedikit. Kedua faktor ini memberi peluang membuat eradikasi polio, apalagi setelah diketahui vaksin polio oran (OPV) selain protektif juga berefek komunitas (dapat memberikan virus vaksin pada anak sekitarnya), sehingga meluaskan jangkauan cakupan vaksinasi.

Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan ciri khas dari poliomielitis. Virus berkembang dalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah, menyebar ke jaringan getah bening dan menyebar masuk sdasdaske dalam aliran darah sebelum menembus dan berkembang biak di jaringan saraf. Pada saat viremia pertama terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa minor illnesses. Invasi virus ke susunan saraf bisa hematogen atau melalui perjalanan saraf.

5

Page 6: Asd

Virus masuk ke susunan saraf melalui sawar darah otak (blood brain barrier) dengan cara transport pasif dengan cara piknositosis, infeksi dari endotel kapiler, dengan bantuan sel mononuklear yang mengadakan transmisi ke dalam susunan saraf pusat, dan kemungkinan lain melalui saraf perifer dimana transportnya melalui akson atau penyebaran melalui jaras olfaktorius.

Epidemiologi

Dua puluh tahun silam, polio melumpuhkan 1.000 anak tiap harinya di seluruh penjuru dunia. Tapi pada 1988 muncul Gerakan Pemberantasan Polio Global. Lalu pada 2004, hanya 1.266 kasus polio yang dilaporkan muncul di seluruh dunia. Umumnya kasus tersebut hanya asdasdasd

Komplikasi

Poliomielitis paralitik mungkin diasosiasikan dengan sejumlah kompliasi. Melena yang cukup parah hingga membutuhkan transfusi dapat berdampak dari satu atau banyak erosi intestinal superfisial, perforasi jarang terjadi. Dilatasi lambung akut mungkin terjadi tiba-tiba saat fase akut atau konvalesens, menyebabkan gangguan napas lebih jauh, aspirasi lambung segera dan perangkat eksternal dari kantong es diindikasikan. Hipertensi ringan dalam waktu beberapa hari atau minggu biasa terjadi pada fase akut. Fase selanjutnya, karena imobilisasi, hipertensi mungkin terjadi dengan hiperkalemi, nefrokalsinosis, dan lesi vaskular. Pandangan kabur, sakit kepala, dan perasaan kepala yang ringan dihubungan dengan hipertensi sebaiknya dianggap sebagai premonitor dari kejang yang nyata. Denyut ireguler jarang, tetapi EKG yang abnormal menunjukkan miokarditis yang tidak jarang. Edema pulmonal akut terjadi kadang-kadang, khususnya pada pasien dengan hipertensi arteri. Emboli paru jarang meskipun dalam keadaan imobilisasi. Hiperkalsemi terjadi karena dekalsifikasi tulang yang mulai segera setelah imobilisasi dan menghasilkan hiperkalsiuri, yang pada akhirnya menjadi predisposisi pasien untuk urinary calculi, khususmya ketika stasis urinari dan infeksi setelahnya. Hanya tingginya intake cairan yang efektif untuk profilaksis.6

Penatalaksanaan

Terapi poliomielitis tidak ada yang spesifik, tetapi tergantung penyulit yang terjadi. Inhibisi metabolik untuk mencegah serangan virus ke susunan saraf yang dilakukan in-vitro tak dapat dikerjakan manusia. Pemberian imunoglobulin mungkin dapat mencegah penyebaran hematogen ke susunan saraf, tetap bila fase paralitik telah terjadi, sudah terlambat. Selain fisioterapi dan ortopedi perlu diperhatikan fungsi yang lain. Managemen pengobatan suportif yang baik seperti respirasi buatan pada anak gangguan respirasi atau kardiovaskuler.3

Pencegahan

Dalam World Health Assembly tahun 1998 yang diikuti oleh sebagian besar negara di penjuru dunia dibuat kesepakatan untuk melakukan Eradikasi Polio (Eropa) tahun 2000, artinya

6

Page 7: Asd

dunia bebas polio tahun 2000. Program Eropa pertama yang dilakukan adalah dengan melakukan cakupan imunisasi yang tinggi dan menyeluruh. Kemudian diikuti dengan Pekan Imunisasi Nasional yang telah dilakukan Depkes tahun 1995, 1996, dan 1997. Pemberian imunisasi polio vaksin primer diberikan 3 dosis awal yaitu saat usia 6 minggu atau biasanya pada usia 2 bulan, usia 4 bulan, dan pada usia antara 6-18 bulan. Dosis keempat diberikan pada usia 4 tahun.9

Kesimpulan

Poliomielitis adalah suatu penyakit kelumpuhan akut yang disebabkan oleh suatu kelompok virus neurotropic (tipe I, II, III). Virus polio yang masuk akan berbiak di tenggorokan dan usus, dan tanda-tanda klinik yang timbul kemudian akan sesuai dengan kerusakan anatomik yang terjadi.

Daftar Pustaka

1. Matondang CS, Wahidiyat I, Sastroasmoro S, penyunting. Diagnosis fisis pada anak. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto; 2007. h. 6-16, 22-31, 128-35.

2. Soetamenggolo T S, Ismalel S. Buju ajar neurologi anak. Jakarta: IDAI; 1999. Hal 2-10.

3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006. h.1059-60.

4. Soedarmo S S P, Garna H, Hadinegoro S R S, Satari H I. Buku ajar infeksi dan pediatric. 2nd ed. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2008. Hal 182-90.

5. Krol J. Poliomielitis dan dasar-dasar pembedahan rehabilitasi : teknik-teknik untuk rumah sakit daerah. Jakarta: EGC; 1996. Hal 12-8.

6. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics. 19th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.

7. Behrman RE, Kliegman RM. Esensi pediatri nelson. Edisi ke-4. Jakarta: EGC; 2010. h. 240-8.

8. Zulkifli A. Epidemiologi penyakit polio. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin. 2007.9. Dewanto G, Suwono W J, Riyanto B, Turana Y. panduan oraktis diagnosis dan tata laksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2009. Hal 61.

7

Page 8: Asd

8