Asal Muasal Harta Warisan

download Asal Muasal Harta Warisan

of 14

Transcript of Asal Muasal Harta Warisan

Harta warisan adalah harta yang menjadi milik sepenuhnya dari seorang yang telah meninggal dunia, setelah dikurangi (hutang, wasiat dan biaya penyelenggaraan jenazah). Asal Muasal Harta Dari asal muasalnya, harta itu bisa saja dari hasil jerih payah seseorang dengan mengeluarkan keringat dan tenaga. Tetapi bukan berarti hanya terbatas dari hasil kerja. Bisa saja harta itu asalnya dari pemberian atau hadiah dari pihak lain. Asalkan pemberian itu benar-benar pemberian, bukan hutang atau agunan atau titipan, tentu saja harta itu sudah sepenuhnya menjadi hak dirinya. Dan bisa saja asal harta itu dari warisan, atau wasiat atau luqathah. Luqathah adalah harta yang ditemukan di suatu tempat dan tidak ada yang mengakuinya sebagai milik, walau sudah diumumkan setahun lamanya. Dan bisa saja asal harta itu dari harta yang terpendam di dalam tanah peninggalan peradaban non Islam di masa lalu. Tentu ada zakatnya sebesar 20% atau 1/5 dari nilai total harta itu. Dan bisa saja harta itu didapat dari bagi hasil saham dalam sebuah perusahaan. Pendeknya, segala yang merupakan hak milik adalah harta warisan. Milik Sepenuhnya Dikatakan sebagai harta milik sepenuhnya berarti di dalam harta itu tidak ada hak kepemilikan orang lain. Apakah itu milik saudara, isteri, anak, rekan bisnis atau siapa pun. Yang seringkali terjadi kasusnya adalah harta milik pasangan suami isteri. Di negeri kita, sudah terbiasa suami isteri sama-sama cari nafkah, lalu rezeki mereka dijadikan satu, seolah tidak ada lagi batas kepemilikan. Bahkan sudah tidak jelas lagi berapa besar bagian milik suami dan berapa besar bagian milik isteri. Padahal di dalam syariat Islam, sistem penataan keuangan model begini tidak dianjurkan. Yang benar, meski masuk dalam satu rekening, tapi harus jelas berapa uang suami dan berapa uang isteri. Sebab hak milik tetap terletak pada diri masing-masing. Milik Orang Yang Telah Meninggal Dunia Tidaklah ada pembagian warisan apabila pemilik harta itu masih hidup. Karena syarat dari pembagian warisan adalah meninggalnya sang pemilik harta, hingga harta itu harus dibagi-bagi kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan dari Allah SWT. Apabila sang pemilik harta masih hidup, maka tidak ada cerita untuk membagi-bagi warisan. Kalau mau dibagi-bagi saat sang orang tua masih hidup, namanya bukan lagi warisan, melainkan hibah atau pemberian. Bahkan namanya juga bukan wasiat, karena wasiat hanya diberikan kepada selain ahli waris.

Tentang masalah syarat kematian ini, ada sebuah kisah yang mengiris ulu hati kami. Kami pernah kedatangan seorang tua yang sudah pensiun yang kini hidup bersama dengan isteri keduanya, karena isteri pertamanya telah dipanggil Allah SWT. Entah dosa apa yang pernah dilakukan, tetapi anak-anaknya dari isrtri pertama yang sebearnya sudah sukses hidupnya -belum apa apa- sudah meributkan harta warisan dari dirinya. Laa ilaaha illallah, dunia memang sudah benar-benar hampir kiamat. Masak orang tuanya masih hidup dan segar bugar, bisa-bisanya anak-anak itu tidak tahu diri, belum-belum sudah memperebutkan harta milik sang Ayah. Bahkan sambil berlinang air mata, Bapak itu menceritakan bagaimana beliau telah memberi hibah berupa rumah dan sebagainya. Kok tega-teganya mereka main ancam kepada sang Ayah yang masih hidup untuk segera membagi-bagi harta yang sepenuhnya masih miliknya? Alangkah baiknya seandainya ibu anak-anak itu tidak pernah melahirkan anak-anak durhaka seperti itu. Sudah tidak punya ilmu, durhaka pula. Padahal harta yang diperebutkannya itu tidak akan dibawa ke liang lahat. Lagi pula siapa yang bisa menjamin bahwa Ayah mereka mati duluan, siapa tahu justru anak-anak itu mati duluan, bukan? Jadi bisa saja bukannya si Ayah yang memberi harta warisan kepada anakny, malah sebaliknya, si Ayah malah bisa saja menerima warisan dari harta anak-anaknya, karena anak-anaknya mati duluan. Karena umur kita di tangan Allah SWT. Tidak ada seorang pun yang bisa memastikan siapa di antara kita yang mati duluan. Istighfar dan istighfar lah wahai anak-anak. Keluarkan Dulu Hutang Almarhum Sebelum dibagi-bagi harta warisan itu, tindakan yang paling awal adalah menelusuri hutanghutang almarhum, apabila beliau punya hutang. Para pebisnis biasanya adalah orang yang hutangnya ada di mana-mana. Makanya hati-hati kalau punya Ayah yang kerjanya bisnis, setidaknya hobi dan pandai berhutang. Jangan terlalu terbuai dulu dengan ungkapan bahwa berdagang itu adalah pintu rejeki. Sebab godaannya adalah hutang. Dan orang yang mati syahid sekalipun, tidak akan bisa masuk surga manakala urusan hutangnya belum selesai. Jangan sampai kita punya Ayah yang meninggal dunia sambil meninggalkan hutang, biar pun kelihatannya seperti orang kaya. Ternyata begitu mati, wah hutangnya lebih banyak dari hartanya. Alih-alih dapat harta warisan, yang ada malah dapat tagihan hutang. Bisa-bisa mejret dibuatnya. Keluarkan Wasiat Almarhum Selain hutang, yang harus dikeluarkan adalah wasiat yang pernah almarhum janjikan kepada orang atau pihak tertetntu. Janji adalah hutang. Dan berawasiat atas pemberian harta termasuk di dalamnya.

Namun ada ketentuan bahwa maksimal yang boleh diwasiatkan hanya 1/3 dari total harta yang merupakan milik almarhum 100%. Tidak boleh lebih. Syarat yang lainnya adalah bahwa wasiat itu hanya diberikan kepada orang yang bukan ahli waris. Misalnya tetangga, kerabat, teman atau mungkin juga keluarga, namun yang tidak mendapat warisan. Misalnya cucu di mana orang tua mereka dapat warisan. Tidak ada kamusnya ada orang menerima warisan dan sekaligus wasiat dari pembagian waris yang sama. Biaya Penyelenggaraan Jenazah Selain hutang dan wasiat, biaya penyelenggaraan dan pengurusan jenazah pun juga harus dikeluarkan. Biasanya mulai dari memandikan, membeli kain kafan, biaya penguburan dan seterusnya, seharusnya diambilkan dari harta almarhum. Kecuali bila ada keluarga yang menanggungnya. Atau ada badan sosial (lajnah khairiyah) yang berkomitmen untuk menanggung semua biaya itu. Setelah semua selesai, barulah para ahli waris didata dan dikumpulkan. Lalu ditetapkan siapa saja yang mendapat warisan dan siapa saja yang terhijab alias tertutup jatahnya. Setelah itu baru kemudian dipilah-pilah, mana ahli ahli waris yang termasuk ahhabul furudh dan mana yang merupakan ashabah. Ashabul Furudh tentu saja didahulukan, misalnya isteri yang mendapat 1/8 atau 1/4. dari total harta yang dibagi-bagi itu. Atau bila almarhum masih punya Ayah saat wafatnya, maka beliau pasti mendapat 1/6 dari total harta yang dibagi. Demikian juga bila almarhum masih punya Ibu, beliau bisa mendapat jatah 1/6 atau 1/3 dari total harta yang dibagi. Seandainya yang wafat itu wanita dan masih punya suami saat wafatnya, suaminya bisa mendapat 1/4 atau 1/2 bagian dari harta yang dibagi-bagi itu. Setelah itu kalau masih ada sisanya, barulah para ashabah mendapat jatah. Ketentunnya sederhana saja. Yang laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari yang perempuan. Kira-kira demikianlah singkatnya membagi warisan. Kalau mau serius dan memadai dalam cara memahaminya, mungkin harus dengan sebuah pelatihan singkat, atau semacam short course sehari penuh. Seperti yang pernah kami lakukan sebelumnya pada sebuah jamaah pengajian di sebuah perusahaan. Karena memang ada beberapa rumus, skema dan tabel yang harus digunakan. Tulisan seperti ini tentu kurang memadai untuk belajar ilmu hitung waris. Tetapi kami dahulu butuh setidaknya 4 semester penuh untuk belajar ilmu faraidh atau waris ini. Artinya selama dua tahun. Kalau kemudian dikemas jadi pelatihan singkat sehari, insya Allah

sudah lumayan. Karena dibantu dengan berbagai macam alat peraga dan jurus-jurus jalan pintas (shortcut). Wallahu alam bishshawab, wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Secara garis besar Hukum Islam membagi 2 (dua) golongan ahli waris. Golongan yang pertama yaitu Zawil Furud, yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan berdasarkan bagian tertentu dari harta warisan yang prosentasenya telah ditentukan oleh Al Quran dan Hadist. Golongan ini merupakan pihak yang pertama kali mendapatkan harta waris setelah pewaris meninggal dunia. Prosentase pembagian tersebut adalah , , 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6 dari harta waris. Yang termasuk golongan ahli waris yang berhak mendapatkan dari harta waris yaitu : 1. 2. 3. 4. Anak Perempuan Tunggal; Cucu perempuan tunggal dari anak laki-laki; Saudara perempuan tunggal yang sekandung, atau apabila tidak ada maka saudara perempuan tunggal yang sebapak. Suami apabila Pewaris tidak memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki.

Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan harta waris yaitu: 1. 2. Suami apabila ahli waris memiliki anak atau cucu dari anak laki-laki; Istri (seorang atau lebih) apabila suaminya (Pewaris) tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan 1/8 harta waris yaitu: Istri (seorang atau lebih) apabila Pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan 2/3 harta waris yaitu: 1. 2. 3. 4. Dua orang anak perempuan atau lebih apabila Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki; Dua orang cucu perempuan atau lebih apabila Pewaris tidak mempunyai anak perempuan; Dua orang saudara perempuan atau lebih sekandung; Dua orang saudara perempuan atau lebih sebapak apabila pewaris tidak memiliki saudara perempuan sekandung.

Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan 1/3 harta waris yaitu: 1. 2. Ibu apabila pewaris tidak mempunyai anak atau cucu atau tidak mempunyai saudara baik laki-laki maupun perempuan sekandung maupun seayah atau seibu. Dua orang saudara atau lebih (laki-laki atau perempuan) yang seibu.

Yang termasuk dalam golongan ahli waris yang berhak mendapatkan 1/6 harta waris yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Ibu apabila anaknya (Pewaris) mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki atau saudara laki-laki maupun perempuan yang sekandung, seayah maupun seibu. Bapak apabila anaknya (Pewaris) mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. Nenek baik dari ibu maupun bapak apabila Ibu tidak ada. Cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki apabila Pewaris mempunyai anak tunggal. Kakek apabila orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki sedangkan bapaknya tidak ada. Seorang saudara (laki-laki atau perempuan) yang seibu. Saudara perempuan (seorang atau lebih) yang sebapak apabila pewaris hanya mempunyai seorang saudara perempuan kandung. Golongan ahli waris yang lain selain Zawil Furud disebut dengan istilah Ashabah, yaitu ahli waris yang mendapatkan sisa harta warisan pewaris setelah harta warisan tersebut dibagikan kepada golongan ahli waris pertama atau Zawil Furud. Akan tetapi apabila tidak ada ahli waris yang termasuk dalam golongan Zawil Furud tersebut maka ahli waris yang termasuk golongan Ashabah akan mendapatkan seluruh harta waris yang ditinggalkan oleh Pewaris. Pihak-pihak yang termasuk dalam golongan Ashabah berdasarkan urutannya yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal pertaliannya masih terus laki-laki; bapak; kakek dari pihak bapak dan terus ke atas selama pertaliannya masih belum putus dari pihak bapak; saudara laki-laki sekandung; saudara laki-laki sebapak;

7. 8. 9. 10. 11. 12.

anak saudara laki-laki sekandung; anak saudara laki-laki sebapak; paman yang sekandung dengan bapak; paman yang sebapak dengan bapak; anak laki-laki paman yang sekandung dengan bapak; anak laki-laki paman yang sebapak dengan bapak. Berdasarkan ketentuan di atas maka pihak-pihak yang merupakan ahli waris dari Pewaris

seperti yang ditanyakan oleh saudara yaitu: Ahli waris yang berhak mendapatkan harta waris karena termasuk dalam golongan

Zawil Furud: 1. 2. 3. Suami, berhak mendapatkan harta waris karena pewaris tidak mempunyai anak. 4 saudara perempuan sekandung, berhak mendapatkan 2/3 harta waris; 4 saudara perempuan seayah, berhak mendapatkan 2/3 harta waris.

Ahli waris yang berhak mendapatkan harta waris karena termasuk dalam golongan Ashabah: 1. 2. 3. Ayah Kandung; 1 orang saudara laki-laki sekandung; 2 orang saudara laki-laki seayah. Walaupun demikian tidak secara langsung semua ahli waris tersebut akan mendapatkan harta waris seperti yang disebutkan di atas. Dalam Hukum Islam ada suatu alasan yang membuat seorang ahli waris terhalang untuk mendapatkan haknya, halangan tersebut dikenal dengan istilah Hijab yang berarti dinding. Ada 2 Hijab yang dikenal yaitu Hijab Nuqshan, yaitu dinding yang hanya mengurangi bagian ahli waris dan Hijab Hirman, yaitu dinding yang menghalangi (menghapus) ahli waris untuk mendapat warisan karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan Pewaris. Berdasarkan ketentuan mengenai Hijab ini maka untuk kasus seperti di atas : 2 orang saudara laki-laki seayah kehilangan hak warisnya karena ter-hijab oleh saudara laki-laki sekandung. Saudara laki-laki sekandung juga kehilangan hak warisnya karena ter-hijab oleh ayah

kandung. 4 orang saudara perempuan sebapak kehilangan hak warisnya karena ter-hijab oleh 4 orang saudara perempuan sekandung. Dan saudara perempuan sekandung juga kehilangan hak warisnya karena ter-hijab oleh ayah kandung. Sementara mengenai ibu tiri Hukum Islam tidak memberikan hak untuk mewaris kepadanya karena pada prinsipnya hubungan waris terjadi karena adanya hubungan pertalian darah. Dengan demikian maka ahli waris yang berhak mendapatkan harta waris yaitu suami sebesar dari harta waris dan ayah yang karena kedudukannya sebagai Ashabah akan mendapatkan seluruh dari sisanya atau dari harta waris. Harta yang akan di waris oleh Pewaris dalam hal ini pada prinsipnya adalah seluruh harta yang merupakan haknya, baik itu berupa harta bawaan maupun harta campuran atau gono-gini. Untuk yang harta campuran maka yang merupakan harta waris merupakan sebagian dari harta campuran tersebut yang merupkan bagian atau hak dari pewaris, biasanya haknya merupakan setengah dari harta tersebut, yang setengah lagi merupakan hak dari Suami.

Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain, baik berupa barang, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah orang yang berwasiat tersebut wafat. Dasar hukum dari wasiat adalah firman Allah swt :

Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Baqoroh : 180)

Artinya : (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (QS. An Nisaa : 11) Sedangkan didalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda,Barangsiapa yang wafat dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan Allah dan sunnah Rasulullah, mati dalam keadaan takwa dan syahid, dan mati dalam keadaan diampuni atas dosanya. (HR. Ibnu Majah) Adapun prosentase maksimal besarnya wasiat seseorang yang paling utama adalah tidak lebih dari sepertiga hartanya, sebagaimana ijma ulama. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Saad bin Abi Waqash berkata,Telah datang Nabi saw untuk menengokku, sedangkan aku berada di Mekahbeliau tidak suka mati di tanah yang beliau hijrahbeliau berkata,Semoga Allah mengasihi anak lelaki Afra. Aku berkata,Wahai Rasulullah apakah aku harus mewasiatkan semua hartaku? beliau saw menjawab,Tidak. Aku berkata,separuhnya. Beliau saw menjawab,Tidak. Aku berkata,Sepertiga? Beliau saw menjawab,ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada manusia dengan tangan mereka. Sesungguhnya apa pun nafkah yang telah engkau nafkahkan, maka ia adalah sedekah hingga makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu (HR. Bukhori dan Muslim) Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga tersebut dihitung dari total harta yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau yang masih berkembang, sedangkan dia tidak mengetahuinya.

Apakah sepertiga harta yang menjadi pegangan wasiat itu harta pada saat dia mewasiatkan atau harta sesudah dia wafat? Imam Malik, an Nakhi dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah sepertiga peninggalan pada saat dilakukan wasiat. Sedangkan Abu hanifah, Ahmad dan pendapat yang lebih shahih dari kedua pendapat Syafii menyatakan bahwa sepertiga itu adalah sepertiga pada saat dia wafat. Inilah pendapat Ali dan sebagian tabiin. Jika pemberi wasiat mempunyai ahli waris maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika dia mewasiatkan lebih dari sepertiga maka wasiat itu tidak dilaksanakan kecuali atas izin dari ahli waris dan pelaksanakannya diperlukan dua syarat berikut : 1. Dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, sebab sebelum dia meninggal, orang yang memberi izin itu belum mepunyai hak sehingga izinnya tidak menjadi pegangan. Apabila ahli waris memberikan izin pada saat pemberi wasiat masih hidup maka orang yang berwasiat boleh mencabut kembali wasiatnya apabila dia menginginkan. Apabila ahli waris memberikan izin sesudah orang yang berwasiat wafat maka wasiat itu dilaksanakan. Az Zuhri dan Rabiah berkata bahwa orang yang sudah wafat itu tidak akan menarik kembali wasiatnya. 2. Mempunyai kemampuan yang sah dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian, pada saat memberikan izin. Jika orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris maka dia pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Kalangan pengikut Hanafi, Ishak, Syuraik dan Ahmad dalam satu riwayatnya membolehkan berwasiat lebih dari sepertiga. Sebab, dalam keadaan seperti ini orang yang berwasiat itu tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan kemiskinannya dan juga karena wasiat yang ada didalam ayat tersebut adalah wasiat secara mutlak hingga dibatasi oleh hadits dengan mempunyai ahli waris. Dengan demikian, wasiat secara mutlak ini tetap terjadi bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. (Fiqhus Sunnah juz IV hal 467 478)

PERINCIAN PEMBAGIAN HARTA WARIS

Oleh Ustadz Aunur Rofiq bin Ghufron

KERABAT LAKI-LAKI YANG BERHAK MENERIMA PUSAKA ADA 15 ORANG 1. Anak laki-laki 2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki 3. Bapak 4. Kakek / ayahnya ayah 5. Saudara laki-laki sekandung 6. Saudara laki-laki sebapak 7. Saudara laki-laki seibu 8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung 9. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak 10. Suami 11. Paman sekandung 12. Paman sebapak 13. Anak dari paman laki-laki sekandung 14. Anak dari paman laki-laki sebapak 15. Laki-laki yang memerdekakan budak Selain yang disebut di atas termasuk dzawil arham , seperti paman dari pihak ibu, anak laki-laki saudara seibu dan paman seibu, dan anak laki-laki paman seibu dan semisalnya tidak mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 775-776 ADAPUN AHLI WARIS PEREMPUAN SECARA TERINCI ADA 11 ORANG 1. Anak perempuan 2. Cucu perempuan dari anak laki-laki

3. Ibu 4. Nenek / ibunya ibu 5. Nenek / ibunya bapak 6. Nenek / ibunya kakek 7. Saudari sekandung 8. Saudari sebapak 9. Saudari seibu 10. Isteri 11. Wanita yang memerdekakan budak Semua keluarga wanita selain ahli waris sebelas ini, seperti bibi dan seterusnya dinamakan dzawil arham , tidak mendapat harta waris. Lihat Muhtashar Fiqhul Islam, hal. 776 Catatan. [1]. Bila ahli waris laki-laki yang berjumlah lima belas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya tiga saja, yaitu : Bapak, anak dan suami. Sedangkan yang lainnya mahjub (terhalang) oleh tiga ini. [2]. Bila ahli waris perempuan yang berjumlah sebelas di atas masih hidup semua, maka yang berhak mendapatkan harta waris hanya lima saja, yaitu : Anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, ibu, isteri, saudari sekandung [3]. Jika semua ahli waris laki-laki dan perempuan masih hidup semuanya, maka yang berhak mendapatkan harta waris lima saja, yaitu : Bapak, anak, suami, atau isteri, anak perempuan, dan ibu. PERINCIAN BAGIAN SETIAP AHLI WARIS DAN PERSYARATANNYA. Bagian Anak Laki-Laki [1]. Mendapat ashabah (semua harta waris), bila dia sendirian, tidak ada ahli waris yang lain. [2]. Mendapat ashabah dan dibagi sama, bila jumlah mereka dua dan seterusnya, dan tidak ada ahli waris lain. [3]. Mendapat ashabah atau sisa, bila ada ahli waris lainnya. [4]. Jika anak-anak si mayit terdiri dari laki-laki dan perempuan maka anak laki mendapat dua bagian, dan anak perempuan satu bagian. Misalnya, si mati meninggalkan 5 anak perempuan dan 2 anak laki-laki, maka harta waris dibagi 9. Setiap anak perempuan mendapat 1 bagian, dan anak laki-laki mendapat 2 bagian.

Bagian Ayah [1]. Mendapat 1/6, bila si mayit memiliki anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan anak laki dan bapak, maka harta dibagi menjadi 6, Ayah mendapat 1/6 dari 6 yaitu 1, sisanya untuk anak. [2]. Mendapat ashabah, bila tidak ada anak laki atau cucu laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan suami, maka suami mendapat dari peninggalan isterinya, bapak ashabah (sisa). [3]. Mendapat 1/6 plus ashabah, bila hanya ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan ayah dan satu anak perempuan. Maka satu anak perempuan mendapat , ayah mendapat 1/6 plus ashabah. Mengenai seorang anak wanita mendapat , lihat keterangan berikutnya. Semua saudara sekandung atau sebapak atau seibu gugur, karena ada ayah dan datuk. Bagian Kakek [1]. Mendapat 1/6, bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki, dan tidak ada bapak. Misalnya si mati meninggalkan anak laki-laki dan kakek. Maka kakek mendapat 1/6, sisanya untuk anak laki-laki. [2]. Mendapat ashabah, bila tidak ada ahli waris selain dia [3]. Mendapat ashabah setelah diambil ahli waris lain, bila tidak ada anak laki, cucu laki dan bapak, dan tidak ada ahli waris wanita. Misalnya si mati meninggalkan datuk dan suami. Maka suami mendapatkan , lebihnya untuk datuk. Harta dibagi menjadi 2, suami =1, datuk = 1 [4]. Kakek mendapat 1/6 dan ashabah, bila ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki. Misalnya si mati meninggalkan kakek dan seorang anak perempuan. Maka anak perempuan mendapat , kakek mendapat 1/6 ditambah ashabah (sisa). Dari keterangan di atas, bagian kakek sama seperti bagian ayah, kecuali bila selain kakek ada isteri atau suami dan ibu, maka ibu mendapat 1/3 dari harta waris, bukan sepertiga dari sisa setelah suami atau isteri mengambil bagianya. Adapun masalah pembagian kakek, bila ada saudara dan lainnya, banyak pembahasannya. Silahkan membaca kitab Mualimul Faraidh, hal. 44-49 dan Tashil Fara idh, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 28 dan kitab lainnya. Bagian Suami [1]. Mendapat , bila isteri tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki. [2]. Mendapat , bila isteri meninggalkan anak atau cucu. Misalnya, isteri mati

meninggalkan 1 laki-laki, 1 perempuan dan suami. Maka suami mendapat dari harta, sisanya untuk 2 orang anak, yaitu bagian laki-laki 2 kali bagian anak perempuan Bagian Anak Perempuan [1]. Mendapat , bila dia seorang diri dan tidak ada anak laki-laki [2]. Mendapat 2/3, bila jumlahnya dua atau lebih dan tidak ada anak laki-laki [3]. Mendapat sisa, bila bersama anak laki-laki. Putri 1 bagian dan, putra 2 bagian. Bagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki [1]. Mendapat , bila dia sendirian, tidak ada saudaranya, tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan. [2]. Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, bila tidak ada cucu laki-laki, tidak ada anak laki-laki atau anak perempaun. [3]. Mendapat 1/6, bila ada satu anak perempuan, tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki [4]. Mendapat ashabah bersama cucu laki-laki, jika tidak ada anak laki. Cucu laki-laki mendapat 2, wanita 1 bagian. Misalnya si mati meninggalkan 3 cucu laki-laki dan 4 cucu perempuan. Maka harta dibagi menjadi 10 bagian. Cucu laki-laki masing-masing mendapat 2 bagian, dan setiap cucu perempuan mendapat 1 bagian. Bagian Isteri [1]. Mendapat , bila tidak ada anak atau cucu [2]. Mendapat 1/8, bila ada anak atau cucu [3]. Bagian atau 1/8 dibagi rata, bila isteri lebih dari satu Bagian Ibu [1]. Mendapat 1/6, bila ada anak dan cucu [2]. Mendapat 1/6, bila ada saudara atau saudari [3]. Mendapat 1/3, bila hanya dia dan bapak [4]. Mendapat 1/3 dari sisa setelah suami mengambil bagiannya, jika bersama ibu dan ahli waris lain yaitu bapak dan suami. Maka suami mendapat , ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa) [5]. Mendapat 1/3 setelah diambil bagian isteri, jika bersama ibu ada ahli waris lain yaitu bapak dan isteri. Maka isteri mendapat , ibu mendapat 1/3 dari sisa, bapak mendapatkan ashabah (sisa). Sengaja no. 4 dan 5 dibedakan, yaitu 1/3 dari sisa setelah dibagikan kepada suami atau isteri, bukan 1/3 dari harta semua, agar wanita tidak mendapatkan lebih tinggi daripada laki-laki. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 778-779 dan Al-Mualimul Fara idh, hal. 35

Bagian Nenek Nenek yang mendapat warisan ialah ibunya ibu, ibunya bapak, ibunya kakek. [1]. Tidak mendapat warisan, bila si mati meninggalkan ibu, sebagaimana kakek tidak mendapatkan warisan bila ada ayah. [2] Mendapat 1/6, seorang diri atau lebih, bila tidak ada ibu. Lihat Muhtashar Fiqhul Islami, hal. 780 Bagian Saudari Sekandung [1]. Mendapat , jika sendirian,tidak ada saudara sekandung, bapak, kakek, anak. [2]. Mendapat 2/3, jika jumlahnya dua atau lebih, tidak ada saudara sekandung, anak, bapak, kakek. [3]. Mendapat bagian ashabah, bila bersama saudaranya, bila tidak ada anak laki-laki, bapak. Yang laki mendapat dua bagian, perempuan satu bagian. Bagian Saudari Sebapak [1]. Mendapat , jika sendirian, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak,saudara ataupun saudara sekandung [2]. Mendapat 2/3, jika dua ke atas, tidak ada bapak, kakek, anak dan tidak ada saudara sebapak, saudara ataupun saudara sekandung. [3]. Mendapat 1/6 baik sendirian atau banyak, bila ada satu saudari sekandung, tidak ada anak, cucu, bapak, kakek, tidak ada saudara sekandung dan sebapak. [4]. Mendapat ashabah, bila ada saudara sebapak. Saudara sebapak mendapat dua bagian, dan dia satu bagian. Bagian Saudara Seibu Saudara seibu atau saudari seibu sama bagiannya [1]. Mendapat 1/6, jika sendirian, bila tidak ada anak cucu, bapak, kakek. [2]. Mendapat 1/3, jika dua ke atas, baik laki-laki atau perempuan sama saja, bila tidak ada anak, cucu, bapak, kakek. [Ditulis berdasarkan kitab Mualimul Fara idh, Tashil Fara idh (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin), Mukhtashar Fiqhul Islam, dan kitab-kitab lainnya] [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]