Arisanti chandradewi

151
RANCANGAN TERAPI MUSIK ANGKLUNG UNTUK MENURUNKAN PENGHAYATAN PERASAAN KESEPIAN (LONELINESS) LANSIA KASUS DI PANTI WERDHA KOTAMADYA BANDUNG Oleh : Arisanti Chandra Dewi NPM : L2H 040515 TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sidang Guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi Program Magister Profesional Psikologi Bidang Kajian Psikologi Klinis PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PROFESIONAL PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010

description

 

Transcript of Arisanti chandradewi

Page 1: Arisanti chandradewi

RANCANGAN TERAPI MUSIK ANGKLUNG UNTUK

MENURUNKAN PENGHAYATAN PERASAAN

KESEPIAN (LONELINESS) LANSIA

KASUS DI PANTI WERDHA KOTAMADYA BANDUNG

Oleh :

Arisanti Chandra Dewi

NPM : L2H 040515

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sidang

Guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi

Program Magister Profesional Psikologi

Bidang Kajian Psikologi Klinis

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER PROFESIONAL PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

2010

Page 2: Arisanti chandradewi

RANCANGAN TERAPI MUSIK ANGKLUNG UNTUK

MENURUNKAN PENGHAYATAN PERASAAN

KESEPIAN (LONELINESS) LANSIA

KASUS DI PANTI WERDHA KOTAMADYA BANDUNG

Oleh :

Arisanti Chandra Dewi

NPM : L2H 040515

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Sidang

Guna Memperoleh Gelar Magister Psikologi

Program Magister Profesional Psikologi

Bidang Kajian Psikologi Klinis

Ini Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal Seperti tertera di bawah ini

Bandung, Januari 2010

Prof. DR. Sawitri Supardi Sadarjoen DR. H. Ahmad Gimmy Prathama S., M.Si Ketua Tim Pembimbing Anggota Tim Pembimbing

Page 3: Arisanti chandradewi
Page 4: Arisanti chandradewi

iv

Kupersembahkan Karya kecil ini sebagai

Janji Bakti-ku pada Papa (Alm), dan Mama

Terima kasih atas segala kasih sayang yang telah diberikan selama ini,

Semoga Allah SWT selalu menyertai kita dan menempatkan arwah Papa tercinta

di sisi-Nya yang terbaik dan terindah.

Amien ya Robbal Alamin

Untuk Yang Tercinta Papap dan Kaka

Page 5: Arisanti chandradewi

v

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untk

mendapatkan gelar akademik magister, baik di Universitas Padjadjaran

maupun di perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa

bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan

dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari

terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya

bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah

diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma

yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Bandung, Januari 2010

Yang membuat pernyataan,

(Arisanti Chandra Dewi)

L2H040515

Page 6: Arisanti chandradewi

vi

ABSTRACT

The aim of this research is to introduce and develop the form of musical therapy by utilizing Angklung as the tool in order to solve the psychological problem, especially the problem of loneliness on Elders who stay in three panti werdha in Kotamadya Bandung. The period of Elders is the end period of a human cycle with the characteristics of deterioration in physiological, psychological, and social interaction as well. Elders are a human group that is very prone to have loneliness. It is caused by loosing their spouse, living separately with their children, having no more friends at the same age, and the problem has become worse since they have lived in panti werdha. Basically, there are some ways to decrease the loneliness such as involving the m on social activities and listening to the music. Many people have researched the effect of music on human physiology and psychology. Music has been acknowledged as the media for therapy which then developed as musical therapy. Musical therapy consists of some stages of activities: listening, playing, creating and constructing the music or song. The scope of this research is to the stage of playing musical instrument. Musical instrument which are often used in musical therapy are modern musical instrument, while the traditional ones, such as Angklung, are seldom used. Angklung has unique timbre which is light and also has the meaning of happiness and togetherness. The lonely elders need the ambience which could create positive mood and togetherness that will eliminate sadness and loneliness. This research is true experimental which means the study of the intentional treatment by observing the effect by strictly controlling some extraneous variables. The research design used is “Before After two group design”. Statistical test used in this research is Mann Whitney and Wilcoxon difference test. The subject of this research is Elders which suffer the problem of loneliness, following the rules of UCLA Loneliness scale v.3 by Danniel Russel (1996). The result of the statistical test shows that there is a difference of loneliness level on experimental group (EG) as the subject by comparing the condition before and after the treatment of Angklung musical therapy (with significant level of 95%). This condition shows that Angklung musical therapy, by playing Angklung together, can create positive mood and increase social interaction ability of the subject, and as the result, decrease the loneliness. At the end of this research, there are some suggestions for the next research. Keyword : Loneliness, Music Therapy, and Angklung.

Page 7: Arisanti chandradewi

vii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memperkenalkan dan mengembangkan bentuk terapi musik dengan menggunakan alat musik angklung dalam mengatasi permasalahan psikologis khususnya masalah kesepian (loneliness) pada lansia yang tinggal di tiga panti werdha kotamadya Bandung. Masa lansia adalah puncak dari siklus manusia yang ciri-cirinya cenderung mengalami penurunan dan kesengsaraan, baik secara fisiologis, psikologis, dan sosial. Lansia adalah kelompok yang paling rentan terhadap permasalahan kesepian (loneliness), hal ini disebabkan karena kehilangan pasangan, berpisah dengan anak-anak yang semakin dewasa, kehilangan relasi atau teman sebaya, terlebih lagi bagi mereka yang dititipkan di panti werdha. Pada dasarnya terdapat beberapa cara untuk mengurangi penghayatan perasaan kesepian (loneliness), antara lain dengan aktif mengikuti kegiatan sosial dan mendengarkan musik. Musik sudah banyak diteliti dan memiliki pengaruh terhadap fungsi fisiologis dan psikologis. Musik sudah diakui dapat menjadi media dalam sebuah terapi, yang kemudian berkembang menjadi terapi musik. Terapi musik dimulai dari kegiatan mendengarkan, bermain, kemudian membuat dan mengaransemen sebuah musik atau lagu. Dalam penelitian ini hanya sampai pada tahap bermain alat musik. Alat musik yang sering digunakan dalam terapi musik adalah alat-alat musik moderen, sedangkan alat musik tradisional seperti angklung seringkali terabaikan keberadaannya. Angklung sendiri memiliki timbre yang khas yaitu ringan, selain itu secara filosofi dan perkembangannya mengandung makna dan unsur utama kegembiraan dan kebersamaan. Para lansia yang menghayati perasaan kesepian (loneliness) membutuhkan suasana yang dapat membangkitkan mood dan penuh kebersamaan sehingga mereka tidak mengalami perasaan sedih terabaikan, terasing sehingga menjadi kesepian. Penelitian ini merupakan true experimental yaitu adanya perlakuan (treatment) yang sengaja diberikan untuk melihat pengaruhnya, dengan mengontrol secara ketat extraneous variable. Rancangan yang digunakan yaitu Before After two group design. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda Mann Whitney dan uji beda Wilcoxon. Subjek penelitian adalah para lansia yang mengalami penghayatan perasaan kesepian (loneliness) yang tinggi, dimana telah dijaring melalui UCLA Loneliness scale v.3 dari Danniel Russell (1996). Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan antara taraf loneliness kelompok eksperimen (EG) sebelum dengan sesudah diberikan treatment (dengan taraf signifikansi 95 %). Kondisi ini memperlihatkan bahwa terapi musik angklung dengan memainkan alat musik angklung secara berkelompok dapat membuat suasana hati (mood) dan kemampuan berinteraksi para subjek penelitian meningkat sehingga menurunkan penghayatan perasaan kesepian (loneliness) karena pada alat musik angklung terdapat unsur kenyamanan, kesenangan, kebersamaan dan rekreatif saat memainkannya. Diakhir penelitian ada beberapa saran yang diajukan. Kata kunci : Perasaan Kesepian (Loneliness), Terapi Musik, dan Angklung.

Page 8: Arisanti chandradewi

viii

Kata Pengantar

Assalamua’aikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, Segala Puja dan Puji syukur hanya untuk Allah SWT atas

segala nikmat dan hidayah yang selama ini telah diberikan-Nya kepada penulis

sehingga dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.

Penelitian ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat ujian guna

memperoleh gelar Magister Psikologi pada program magister profesional Psikologi

bidang kajian Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Penulis

menyadari bahwa penyusunan tugas akhir ini tidak akan berjalan dengan baik dan

lancar tanpa adanya bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang

tidak terkira kepada :

1. Prof. DR. Sawitri Supardi Sadarjoen, selaku ketua komisi pembimbing yang

telah membimbing, mengarahkan, dan mendukung penulis dalam

penyelesaian penelitian ini.

2. DR. H. Ahmad Gimmy Prathama Siswadi, M.Si., selaku anggota komisi

pembimbing yang juga telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam

penyelesaian penelitian ini.

3. Prof. DR. Hj. Juke R. Siregar, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Padjadjaran.

4. DR. Hj. Hendriati Agustiani. M.Si., selaku Ketua Program BKU Magister

Keprofesian Psikologi Universitas Padjadjaran.

5. Drs. Amir Sjarif Bachtiar, M.Si., atas do’a dan dukungannya.

6. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik dan

memberikan bekal ilmu pengetahuan, wawasan, serta pengalaman kepada

penulis, juga ibu Nani, Mbak Umi beserta seluruh staf administrasi magister

yang telah banyak membantu.

Page 9: Arisanti chandradewi

ix

7. Bapak Drs. H. Nuryana, Ketua Lembaga Lansia Indonesia Pemprov Jawa

Barat yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

8. Bapak dr. H. Djamhoer, Ketua bidang kesenian dan olahraga Lembaga

Lansia Indonesia Pemprov Jawa Barat yang telah membantu penulis dalam

pelaksanaan penelitian ini.

9. Bapak Drs. H. Iwa, Bagian Keuangan Lembaga Lansia Indonesia Pemprov

Jawa Barat yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian ini.

10. Bapak Sam Udjo dari Saung Angklung Udjo yang telah banyak membantu

dalam penelitian ini.

11. Bapak Eddie, Pelatih Angklung STBA yang telah banyak membantu penulis

dalam mengenal dan berlatih angklung, beserta rekan-rekan Gentra Seba

STBA..

12. Ibu Hj. Nia, Kepala asrama Panti Werdha Budi Pertiwi Bandung, beserta

para pengurus dan petugas panti.

13. Ibu Mayor Wayan, Kepala Panti Werdha Senjarawi Bandung, Ibu Indri

beserta para kandidat dan petugas panti.

14. Ibu Gina, kepala asrama Panti Werdha Asuhan Bunda Bandung, beserta para

petugas panti.

15. Nenek, Kakek, Oma dan Opa, para penghuni Panti Werdha Budi Pertiwi,

Panti Werdha Senjarawi, dan Panti Werdha Asuhan Bunda yang sudah

bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam

menyelesaikan penelitian ini.

16. Secara khusus penulis menghaturkan terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada Mama dan Papa (Alm) tersayang yang selalu memberikan perhatian,

kasih sayang, dukungan, semangat dan do’a sejak kecil hingga kapanpun.

Tiada yang lebih berarti dan berharga dalam kehidupan ini selain kasih

sayang dan do’a yang Mama dan Papa (Alm) curahkan selama ini. Semoga

Allah menerima Arwah Papa di sisi-Nya yang terbaik, Amien.

Page 10: Arisanti chandradewi

x

17. Rokky Irvayandi, S.T., M.M., suami tercinta yang telah memberikan warna

dan mengisi sisi lain kehidupan penulis dengan memberikan semangat,

dukungan, cinta dan do’a. “Thank you for your love and for all beautiful

moments we’ve made together.”

18. Darriel Aqeela Devandra, anakku tercinta yang sudah menemani sejak dalam

kandunganku dengan setia, mendukung, dan menjadi teman berbagi ketika

penulis dalam keadaan suka maupun duka. Terima kasih sayang, mamam dan

papap sayang kaka.

19. Bapak, Mamah serta Aldi, Fifi dan Raditya keponakanku tersayang, untuk

semua dukungan dan do’a yang dipanjatkan sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian ini.

20. Tante-tanteku, Oom-oomku terutama Tante Rini dan Oom Heru atas do’a

dan dukungannya, dan adik-adikku terutama Ryo, Arief dan Akbar yang

selalu membuat hidup penulis penuh gejolak emosi baik canda tawa dan

marah.

21. Telletubies: Dewot, Babeh, dan Daffa, Neng Ria, Ardi, Nayla dan Nazwa,

Ewieh Iza dan calon babynya, Terimakasih buat Do’anya dan persahabatan

kita yang indah.

22. Farida, Julian, Aulia, dan Amir, yang selalu berjuang bersama dan berbagi

suka dan duka selama menyelesaikan pendidikan.

23. Prita, Ida, dan Koagouw, terima kasih untuk diskusi, masukan, dukungan

dan bantuannya selama penyelesaian penulisan.

24. Teman-teman magister angkatan 3 yang sama-sama sudah berjuang dan

melewati masa-masa indah bersama selama menempuh masa pendidikan.

25. Teman-teman magister jurusan klinis angkatan 2 dan 4, yang juga saling

menguatkan selama penyelesaian penelitian dan penulisan ini.

26. Teman-teman co-Fasilitator dan observer, Icha, Aden, Anin, Ayu, Dinda,

Ari, Vikri, Angki, Kia, Anya, Mia, Yucki, Elya, Silmi, Tantri, Mira, Septi,

Page 11: Arisanti chandradewi

xi

Muti, Lofa, Fitria, Yatni, Yani, Sani, terima kasih sudah membantu penulis

sehingga terselesaikannya penelitian ini.

27. Semua pihak yang telah membantu dan memotivasi penulis selama

menyelesaikan penelitian ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan,

walaupun demikian mudah-mudahan tulisan ini dapat dimanfaatkan oleh yang

membutuhkannya. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik atas

semua bantuan dan dorongan yang telah diberikan kepada penulis. Amien ya Robbal

Alamin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bandung, Januari 2010

Penulis

(Arisanti Chandra Dewi)

Page 12: Arisanti chandradewi

xii

DAFTAR ISI

JUDUL i

PENGESAHAN ii

PENGESAHAN REVISI iii

KATA PERSEMBAHAN iv

SURAT PERNYATAAN v

ABSTRACT vi

ABSTRAK vii

Kata Pengantar viii

Daftar Isi xii

Daftar Bagan xvi

Daftar Tabel xviii

Daftar Gambar xix BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang Masalah 1

1.2. Rumusan Masalah 8

1.3. Maksud, tujuan dan Kegunaan Penelitian 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS 12

2.1. Kajian Pustaka 12

2.1.1. Usia Lanjut 12

2.1.1.1. Definisi Masa Usia Lanjut 12

2.1.1.2. Karakteristik Usia Lanjut 13

2.1.1.3. Aspek Biologis dari Usia Lanjut 17

2.1.1.4. Aspek Psikologis dari Usia Lanjut 19

2.1.1.4.1. Penginderaan dan Persepsi 19

2.1.1.4.2. Belajar dan Memori (Daya Ingat) 20

2.1.1.4.3. Proses Belajar dan Pembelajaran pada Lansia 22

Page 13: Arisanti chandradewi

xiii

2.1.1.4.4. Kepribadian 24

2.1.1.4.5. Keterlibatan Komunitas dan Dukungan Sosial 25

2.1.1.5. Aspek Sosiologis dari Usia Lanjut 27

2.1.1.5.1. Hubungan Keluarga 27

2.1.1.5.2. Hubungan Sosial 29

2.1.2. Gerontology 32

2.1.2.1. Definisi Gerontology 32

2.1.2.2. Kesehatan Mental Lansia 34

2.1.2.3. Perkembangan Sosio-Emosional Lansia 35

2.1.3. Kehidupan Lansia Dalam Institusi 37

2.1.4. Panti Werdha 38

2.1.4.1. Pengertian Panti Werdha 38

2.1.4.2. Tujuan Penyelenggaraan Panti Werdha 39

2.1.4.3. Pelayanan di Panti Werdha 40

2.1.5. Loneliness 41

2.1.5.1. Definisi Loneliness 41

2.1.5.1.1. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Sosial 42

2.1.5.1.2. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan

Eksistensial 45

2.1.5.2. Macam-Macam Penyebab Loneliness 47

2.1.5.2.1. Kejadian Pemicu Kesepian (Precipitating Event) 47

2.1.5.2.2. Faktor Predisposisi dan Bertahannya Gejala

Kesepian 50

2.1.5.3. Karakteristik Orang-orang yang Mengalami Kesepian 54

2.1.5.4. Pengalaman dari Kondisi Kesepian 54

2.1.5.4.1. Manifestasi Afektif 54

2.1.5.4.2. Manifestasi Motivasional 55

2.1.5.4.3. Manifestasi Kognitif 56

2.1.5.4.4. Korelasi Tingkah Laku dengan Kesepian 56

Page 14: Arisanti chandradewi

xiv

2.1.5.4.5. Konsekuensi Sosial dan Kesehatan 57

2.1.6. Musik 58

2.1.6.1. Unsur-unsur dalam Musik 60

2.1.7. Terapi Musik 60

2.1.7.1. Definisi Terapi Musik 60

2.1.7.2. Aspek Pendukung Terapi Musik 63

2.1.7.2.1. Psikobiologis Suara 63

2.1.7.2.2. Musik dan Penyembuhan 67

2.1.7.2.3. Respon Fisiologis Terhadap Musik 69

2.1.7.2.4. Respon Emosi Musikal 77

2.1.7.2.5. Musical Expression 78

2.1.7.2.6. Musical Perception 78

2.1.7.2.7. Fisiologi Emosi Musik 78

2.1.7.2.8. Musik dan Suasana Hati 80

2.1.7.2.9. Psikologi Musik dan Efek Psikologis 82

2.1.7.2.9.1. Psikologi Musik 82

2.1.7.2.9.1. Pengaruh Musik Terhadap Perubahan

Psikologis 83

2.1.8. Angklung 85

2.1.8.1. Sejarah Angklung 85

2.1.8.2. Spesifikasi Angklung 89

2.1.9. Angklung dan Psikologi 95

2.2. Kerangka Pemikiran 96

2.3. Premis 104

2.4. Hipotesis 105

BAB III METODE DAN SUBYEK PENELITIAN 106

3.1. Metode Penelitian 106

3.1.1. Skema Penelitian 107

Page 15: Arisanti chandradewi

xv

3.1.2. Variabel Penelitian 108

3.1.2.1. Independent Variable(IV) 108

3.1.2.2. Dependent Variable (DV) 109

3.2. Subyek Penelitian 111

3.2.1. Populasi Penelitian 111

3.2.2. Subjek Penelitian 111

3.3. Alat Ukur 113

3.3.1. Proses Adaptasi Alat Ukur Loneliness 114

3.3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 114

3.4. Pengukuran 115

3.5. Tahapan Penelitian 116

3.5.1. Lokasi Kegiatan Penelitian 123

3.6. Rancangan Penelitian 123

3.6.1. Rancangan Kegiatan 123

3.6.2. Rancangan Waktu, Materi, dan Pemberian Materi Penelitian 127

3.7. Analisa Data 127

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 129

4.1. Hasil Penelitian 129

4.2. Pembahasan 136

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 163

5.1. Kesimpulan 163

5.2. Saran 165

DAFTAR PUSTAKA 167

LAMPIRAN

Page 16: Arisanti chandradewi

xvi

DAFTAR BAGAN

2.1. Kerangka Pemikiran 103

3.1. Skema Penelitian 107

Page 17: Arisanti chandradewi

xvii

DAFTAR TABEL

2.1. Emosi Dasar yang Dihasilkan Berdasarkan Berbagai Karakteristik

Musik 84

3.1. Rancangan Kegiatan Penelitian 123

3.2. Rancangan Kegiatan Pelaksanaan Pemberian Intervensi / Pelakuan

(Treatment) 125

3.3. Rancangan Waktu dan Proses Pemberian Intervensi (Lampiran) 127

4.1. Hasil Uji Beda Mann Whitney Pre-Test antara Kelompok EG dan CG 130

4.2.Hasil Uji Beda Mann Whitney Post-Test antara Kelompok EG dan CG 131

4.3. Hasil Uji Beda Wilcoxon Pre-Test – Post-Test Skor Total Loneliness

Kelompok EG 132

4.4. Hasil Uji Beda Wilcoxon Pre-Test – Post-Test Skor Total Loneliness

Kelompok CG 133

4.5.Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (Pre-) dan Pengukuran

Akhir (Post-) Kelompok Eksperimen (EG) dan Kelompok

Kontrol (CG) 136

4.6.a. Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (pre-) dan Pengukuran akhir

Kelompok Eksperimen (EG) 139

4.6.b. Rekap Perbandingan Data Hasil Pengukuran Awal (pre-) dan Pengukuran

Akhir Kelompok Eksperimen (EG) 139

Page 18: Arisanti chandradewi

xviii

4.7. Rekap Hasil Observasi dan Interviu Selama Kegiatan Terapi

Musik Angklung 142

Page 19: Arisanti chandradewi

xix

DAFTAR GAMBAR

Diagram 4.1. Gambaran Umum Kondisi Loneliness Pra- dan Pasca-

Kegiatan Terapi Musik Angklung 134

Diagram 4.1.a. Perbandingan Skor UCLA Loneliness Scale Kelompok Kontrol (CG)

Pra- dan Pasca Kegiatan 134

Diagram 4.1.b. Perbandingan Skor UCLA Loneliness Scale Kelompok Eksperimen

(EG) Pra- dan Pasca Kegiatan 135

Page 20: Arisanti chandradewi

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masa lanjut usia oleh sebagian besar orang dianggap sebagai masa penurunan

yang tidak dapat dihindari oleh setiap manusia. Pada masa ini terjadi penurunan

kondisi fisiologis, psikologis dan sosial, yang jika tidak dapat dilalui dengan baik

maka akan muncul hambatan-hambatan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Ciri-

ciri usia lanjut yang cenderung menuju pada kesengsaraan serta adanya penyesuaian

diri yang buruk, membuat banyak orang merasa takut untuk menghadapi masa tua-

nya, ini terjadi khususnya dalam kebudayaan Amerika (Hurlock, 1980). Orang-orang

pada masa usia lanjut seringkali membutuhkan bantuan dan dukungan dari orang lain,

khususnya dari orang-orang terdekatnya seperti keluarga, sahabat dan kelompok

sosial seusianya. Fenomena yang banyak terjadi saat ini mereka seringkali bukan

merasa terbantu ataupun didukung melainkan lebih sering merasa terabaikan

keberadaannya, ini dapat menimbulkan perasaan tertentu dalam diri mereka seperti

sedih, kesepian, tersisihkan, dan marah. Para lansia dianggap tidak memiliki

kemampuan dan keterampilan apapun diusianya yang sudah lanjut. Bahkan mereka

oleh sebagian besar orang dianggap menyusahkan, membebani, dan merepotkan

orang lain. Anggapan ini semakin membuat orang-orang banyak yang cenderung

menjauhkan diri dari keberadaan dan kehidupan orang lanjut usia.

Page 21: Arisanti chandradewi

2

Masa tua seharusnya menjadi masa yang paling membahagiakan, karena

merupakan fase paling puncak dari tahapan kehidupan setiap manusia. Pada masa ini,

seseorang seharusnya hanya tinggal menikmati kehidupan setelah selama masa

produktifnya mereka membangun karir dan kehidupan mereka baik secara ekonomi

maupun kehidupan berkeluarga. Namun pada kenyataannya yang terjadi justru

kondisi sebaliknya, dimana mereka justru merasa terbuang, tersisihkan dan terabaikan

dari kehidupan mereka khususnya dari anak dan cucunya. Mereka justru rentan

terhadap perasaan kesepian (loneliness) di masa tuanya. Perasaan ini muncul akibat

kematian pasangan, berkurangnya minat sosial dan kesibukan yang dimiliki oleh para

anggota keluarga lainnya sehingga seringkali meninggalkan para lansia sendirian

tanpa ada yang menemani. Kondisi ini membuat beberapa orang lebih memilih

menitipkan para lansia di panti werdha dengan pertimbangan agar para lansia dapat

beraktivitas dan bersosialisasi disertai pengawasan dari pihak panti.

Penitipan para lansia di panti bukannya membantu mereka untuk lebih merasa

bahagia tapi memunculkan permasalahan baru pada diri para lansia tersebut yaitu

timbul perasaan terbuang dan perasaan kesepian, terutama mereka yang masuk ke

panti bukan keinginan sendiri. Bagi mereka yang masuk ke panti secara sukarela

tidak merasa dibuang namun perasaan kesepian tetap mereka rasakan. Tingkah laku

yang muncul dari para lansia di panti werdha tersebut antara lain seringkali

menyendiri, melamun, duduk bersama-sama tapi saling diam dan sibuk dengan

pikiran serta perasaan masing-masing, bila ada kunjungan meskipun bukan keluarga

mereka merasa senang dan berusaha mempersiapkan diri dan berdandan untuk tampil

Page 22: Arisanti chandradewi

3

sebaik mungkin. Mereka akan aktif mendekati dan mengajak berbicara (ngobrol)

dengan orang-orang yang melakukan kunjungan. Mereka mengatakan bahwa mereka

pasrah dengan keadaan yang dialami saat ini namun mereka sering merasa kesepian

meskipun mereka tinggal di panti dengan teman-teman yang sebaya mereka. (Hasil

wawancara dan observasi peneliti terhadap para penghuni di empat panti kotamadya

Bandung, 2007).

Berbagai cara sudah mulai dilakukan untuk mengatasi masalah kesepian yang

dialami oleh para lanjut usia terutama bagi mereka yang tinggal di panti werdha,

seperti memelihara binatang, keterampilan tangan, berkebun, aktivitas keagamaan

dan melalui media musik yang diterapkan dan diselenggarakan oleh pihak panti.

Berbagai cara yang dilakukan untuk mengatasi masalah baik fisik maupun psikologis

tersebut lebih sering dikenal dengan istilah terapi. Pada dasarnya terapi merupakan

prosedur untuk menyembuhkan atau meringankan suatu penyakit. Terapi sendiri

mampu membantu seseorang dalam mengatasi penyakit atau gangguan yang diderita

sehingga yang bersangkutan dapat berfungsi lagi secara optimal baik untuk dirinya

sendiri maupun orang lain.

Media terapi ada berbagai macam seperti binatang, aktivitas fisik, air, dan

musik. Musik sendiri mulai lebih dikembangkan dan diterapkan sebagai alat terapi

sejak National Association for Music Therapy mendefinisikan terapi musik pada

tahun 1960. Pengembangan serta penerapan ini dilakukan karena unsur-unsur yang

terkandung dalam musik selaras dengan unsur-unsur ritmis dalam tubuh manusia

misalkan denyut jantung, sistem pernafasan, tekanan darah dan lain sebagainya.

Page 23: Arisanti chandradewi

4

Mendengarkan musik dapat memberikan efek secara fisiologis maupun psikologis.

Musik ketika didengarkan, mengantarkan gelombang listrik yang ada di otak

pendengar sehingga secara fisiologis terdapat perubahan ritme denyut jantung dan

tekanan darah sesuai dengan frekuensi, tempo, dan volumenya (Wikipedia, 2005).

Selain itu, aktivitas mendengarkan musik dapat pula memberikan efek secara

psikologis seperti membuat seseorang merasa nyaman, bahagia, segar, dan tenang.

Bila aktivitas mendengarkan disertai dengan bermain alat musik maka seseorang

tersebut juga akan merasakan suatu kesenangan, meningkatkan kemampuan

sosialisasi dan komunikasi terutama bila bermain musik dilakukan secara bersama-

sama. (Djohan, 2006).

Menurut Djohan (2003), banyak penelitian tentang pengaruh musik dimana

dengan mendengarkan musik dapat menimbulkan emosi yang dalam istilah terapi

aktivitas ini dikatakan sebagai aktifnya berbagai kognisi dan perasaan. Dilihat dari

aspek kognitif dan aktivitas otak bisa dikatakan bahwa setiap orang yang sehat dapat

bereaksi terhadap musik baik secara fisik maupun psikis. Sementara dalam penelitian

neurologis dikatakan bahwa separuh otak manusia memiliki tugas untuk memproses

berbagai aspek pengalaman musik (Kaufman & Frisina, 1992 dalam Djohan, 2003).

Sedangkan dalam penelitian tentang emosi sebagai respon terhadap musik

menjelaskan bahwa musik dapat meningkatkan intensitas emosi dan akan lebih akurat

bila ‘emosi musik’ itu dijelaskan sebagai suasana hati (mood), pengalaman dan

perasaan yang dipengaruhi akibat mendengar musik (Sloboda, 1991 dalam Djohan,

2003).

Page 24: Arisanti chandradewi

5

Terapi musik umumnya menggunakan metoda mendengarkan musik namun

adapula beberapa kasus lain yang awalnya dimulai dari mendengarkan hingga

menggunakan alat musik untuk dimainkan terutama bagi mereka yang mengalami

keterbatasan fisik dan masalah psikologis lainnya hingga menciptakan dan

mengaransemen sebuah musik atau lagu (Don Campbell, 2002). Dalam beberapa

kasus tersebut alat musik yang digunakan seringkali alat musik dari jenis musik

klasik seperti piano, biola, harpa, bass dan genderang, jarang sekali menggunakan alat

musik tradisional terutama tradisional dari bangsa kita sendiri yaitu Indonesia

(Djohan, 2006).

Jarangnya penggunaan alat musik tradisional bangsa Indonesia dalam terapi

musik menimbulkan suatu pertanyaan dan pemikiran tersendiri bagi peneliti. Asumsi

yang muncul dari peneliti berkenaan dengan jarangnya penggunaan alat musik

tradisional Indonesia yaitu kurangnya sosialisasi, namun pada dasarnya setiap alat

musik dapat digunakan untuk media terapi musik, selama memenuhi kaidah-kaidah

dari music therapy dan dapat disesuaikan dengan permasalahan yang dialami oleh

pasien atau klien. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Djohan (2007) bahwa setiap alat

musik baik itu yang moderen maupun tradisional memiliki warna musik masing-

masing yang bersifat khas dan berbeda satu sama lain serta dapat digunakan dalam

terapi secara psikologi. Setiap bunyi yang dihasilkan suatu alat musik maupun

berbagai macam alat musik dapat menjadi sugesti tertentu yang dihayati berbeda

untuk setiap individu. Saat ini mulai dikembangkan alat musik tradisional untuk

Page 25: Arisanti chandradewi

6

digunakan sebagai kajian terapi musik, seperti gamelan, dan barok. (penelitian

Djohan, 2007, unpublised research)

Penelitian ini akan mengangkat musik sebagai bentuk terapi dengan

menggunakan alat musik tradisional berupa angklung yang merupakan alat musik

tradisional asli Indonesia tepatnya dari daerah Jawa Barat, karena angklung sedang

menjadi perbincangan hangat dimulai dengan banyaknya seminar-seminar yang

membahas mengenai kesenian angklung sebagai alat musik khas Jawa Barat yang

disampaikan oleh beberapa pemerhati kesenian tradisional Jawa Barat seperti Bapak

Obby A. R. Wiramiharja, Masyarakat Musik Angklung (MMA), serta sebuah pusat

kesenian sunda dan kerajinan angklung yang lebih dikenal sebagai saung angklung

Udjo, selain itu angklung sudah dimainkan dimana-mana bahkan mengglobal sampai

ke mancanegara. Pembicaraan mengenai angklung yang terhangat adalah saat negara

tetangga yaitu Malaysia berusaha mematenkan bahwa angklung merupakan alat

musik yang berasal dari negara mereka. Padahal keberadaan angklung sudah ada

sejak jaman kerajaan Sunda atau kerajaan Pasundan sebelum abad 15 yang digunakan

untuk upacara adat dalam rangka menghormati keberadaan Dewi Sri atau Dewi Padi.

Angklung dimainkan secara bersama-sama oleh para petani sebagai persembahan

terhadap Dewi Sri. Adanya mitos ini dapat dikatakan bahwa angklung merupakan

refleksi dari kehidupan masyarakat petani dimana dapat memberikan semangat dan

kegembiraan bagi para petani untuk terus bercocok tanam (P4ST UPI, 2003). Filosofi

yang ada dalam angklung di atas dapat dianalogikan pada tubuh seorang manusia,

dimana dengan adanya refleksi bahwa angklung dapat memberikan kesenangan dan

Page 26: Arisanti chandradewi

7

menambah semangat para petani diharapkan dapat pula dirasakan oleh manusia

secara keseluruhan.

Filosofi angklung yang merefleksikan keadaan yang penuh kesenangan dan

menambah semangat serta efek warna suara yang dihasilkan oleh angklung belum

terbukti secara empiris, sehingga masih perlu diadakan suatu kajian ilmiah terutama

dalam bentuk kajian yang berpengaruh secara psikologis pada setiap diri individu.

Angklung telah dikembangkan oleh bapak Daeng Sutigna dengan mottonya

untuk angklung adalah 5 M: Murah, Mudah, Menarik, Massal, dan Mendidik (Obby

A R. Wiramihardja, 1989). Berdasarkan motto tersebut maka diharapkan siapapun

termasuk para lansia ataupun orang-orang yang mengalami keterbatasan tidak akan

mengalami kesulitan untuk memainkannya. Mereka hanya perlu menggoyangkan

angklung dengan menggunakan sedikit energi yang dikeluarkan tanpa memerlukan

bakat khusus (talenta) di bidang musik, namun hasil yang dirasakan dapat optimal

dan memiliki harmonisasi nada yang indah. Selain itu, mereka juga tidak akan merasa

malu karena mereka cenderung akan memainkan angklung secara bersama-sama

sehingga diharapkan dapat memotivasi mereka untuk bermain dan berlatih, serta

menambah kesenangan dan kegembiraan ketika mendengarkan maupun bermain

angklung. Selain itu, dengan bermain angklung secara bersama-sama diharapkan

dapat pula menambah kemampuan komunikasi, kemampuan sosialisasi, rasa

kepercayaan diri, semangat hidup dan peningkatan penghargaan terhadap diri sendiri

bahwa diri mereka masih mampu melakukannya, masih mampu untuk berkarya dan

menunjukkan keterampilan mereka, karena pada dasarnya lansia terutama yang

Page 27: Arisanti chandradewi

8

mengalami penghayatan perasaan kesepian (loneliness) membutuhkan kebersamaan

dengan orang lain.

Pada kenyataannya, di panti jompo Sandbühl, Schlieren Swiss, angklung sudah

sepuluh (10) tahun lebih digunakan sebagai terapi untuk melatih gerakan tangan para

lansia yang sudah tidak terkontrol atau sulit untuk dikontrol. Hal ini menjadi suatu hal

yang ironis, dimana angklung yang merupakan alat musik tradisional Jawa barat

Indonesia lebih dahulu digunakan di luar negeri sebagai alat terapi dibandingkan oleh

kita sendiri sebagai negara asalnya. Namun, hal ini semakin memperkuat motivasi

peneliti untuk meneliti lebih lanjut mengenai angklung yang digunakan sebagai

bentuk terapi musik untuk mengatasi permasalahan psikologis yaitu kesepian

(loneliness).

1.2. Rumusan Masalah

Periode lanjut usia adalah periode yang rentan mengalami kesepian yang

disebabkan karena kehilangan pasangan, berpisah dengan anak-anak yang semakin

dewasa, kehilangan relasi dengan teman sebaya. Hasil wawancara dan observasi

peneliti terhadap penghuni yang tinggal di empat panti kotamadya Bandung,

ditunjang dengan hasil liputan wawancara yang dilakukan oleh media Pikiran Rakyat

dan beberapa hasil penelitian terdahulu, sebagian besar penghuni panti werdha

mengalami perasaan kesepian. Tingkah laku yang muncul seperti murung, sedih,

melamun, malas berbaur dengan teman-teman di panti, namun ketika menerima

kunjungan maka mereka sangat antusias untuk menyambut para tamu.

Page 28: Arisanti chandradewi

9

Pada dasarnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi perasaan

kesepian, misalkan meningkatkan aktivitas pertemanan, mengerjakan hobi,

memelihara binatang peliharaan, aktivitas keagamaan dan mendengarkan musik dari

radio atau televisi. Musik sendiri sudah banyak diteliti dan memiliki pengaruh

terhadap fungsi-fungsi fisiologis, psikologis serta peningkatan suasana hati (mood).

Penelitian-penelitian terdahulu dari terapi musik lebih banyak menggunakan alat

musik dari luar negeri yang lebih bersifat klasik atau moderen, sehingga seringkali

membuat alat musik tradisional terlupakan. Pemikiran peneliti, pada dasarnya semua

alat musik dapat digunakan untuk menjadi bagian dari terapi musik, sehingga alat

tradisional juga dapat dijadikan media dalam terapi musik termasuk angklung.

Berdasarkan pemikiran peneliti di atas, angklung sebagai alat musik tradisional

diharapkan dapat menjadi salah satu kajian dalam terapi musik. Motto angklung yang

dikembangkan oleh Bapak Daeng Soetigna juga menambah nilai dasar dari angklung

untuk dapat digunakan sebagai alat terapi musik. Oleh karena itu, pertanyaan pada

penelitian ini adalah :

“Apakah terapi musik angklung dapat berperan untuk menurunkan

perasaan kesepian pada orang lanjut usia yang tinggal di panti werdha?”

1.3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Page 29: Arisanti chandradewi

10

Maksud dari penelitian ini adalah mengangkat alat musik angklung sebagai

bagian dari kajian terapi musik yang dapat digunakan untuk kepentingan terapi dalam

bidang psikologi khususnya penurunan perasaan kesepian pada orang lanjut usia.

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pengaruh pemberian terapi musik

angklung untuk mengatasi masalah perasaan kesepian (loneliness) yang dialami para

lanjut usia di Panti Werdha yaitu dengan mendapatkan data empiris untuk

mengembangkan bentuk intervensi metode terapi musik dengan menggunakan alat

musik angklung.

Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

a. Aspek praktis : rancangan terapi musik dengan menggunakan alat musik

angklung dapat digunakan sebagai keperluan terapi terutama untuk penurunan

perasaan kesepian pada orang lanjut usia.

b. Aspek teoritis : dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan terapi

khususnya terapi musik dengan menggunakan angklung sebagai alat musik

tradisional asli dari daerah Jawa Barat Indonesia, sehingga selanjutnya dapat

menjadi suatu kajian preventif terhadap permasalahan loneliness.

c. Aspek edukatif : hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi penelitian lain dalam mengembangkan rancangan intervensi psikologis

berupa terapi musik dengan menggunakan angklung sebagai alat musik

tradisional asli dari daerah Jawa Barat Indonesia khususnya dalam konteks

Page 30: Arisanti chandradewi

11

penurunan perasaan kesepian pada orang lanjut usia terutama yang tinggal di

panti werdha.

Page 31: Arisanti chandradewi

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Usia Lanjut

2.1.1.1. Definisi Usia Lanjut

Psikologi perkembangan biasanya mengacu pada perbedaan organisme sejalan

dengan usia kematangan fisik, dan usia lanjut menunjuk pada perubahan-perubahan

atau diferensiasi yang terjadi setelah usia kematangan fisik (Birren & Schaie, 1977).

Selain itu, terdapat beberapa definisi mengenai usia lanjut, salah satunya adalah yang

dikemukakan oleh Handler (1960; dalam Birren & schaie, 1977:4) yaitu usia lanjut

adalah deteriorisasi atau kemunduran pada organisme yang matang sebagai akibat

dari ketergantungan pada waktu, perubahan-perubahan hakiki yang secara esensial

tidak dapat dikembalikan, yang terjadi pada semua anggota dari suatu spesies,

sedemikian rupa sejalan dengan berlalunya waktu, mereka menjadi semakin tidak

dapat mengatasi tekanan-tekanan lingkungan, sehingga meningkatkan kemungkinan

kematian.

Birren & Schaie (1977) menyatakan bahwa usia lanjut menunjuk pada

perubahan yang teratur yang terjadi pada organisme representatif yang matang secara

genetis, yang hidup di bawah kondisi lingkungan yang representatif sejalan dengan

kelanjutan usia kronologis mereka. Selanjutnya uraian tentang usia lanjut akan dibagi

menjadi 3 aspek yaitu biologis, psikologis, dan sosiologis.

Page 32: Arisanti chandradewi

13

2.1.1.2. Karakteristik Usia Lanjut

Usia lanjut merupakan periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang.

Menurut Hurlock (1980), biasanya usia 60 tahun dipandang sebagai garis pemisah

antara usia madya (pertengahan) dan usia lanjut, walaupun telah disadari bahwa usia

kronologis merupakan kriteria yang kurang baik dalam menandai permulaan usia

lanjut karena perbedaan tertentu di antara individu-individu dalam memulai periode

usia lanjut mereka. Menurut Kalish (1977), cara lain untuk mengetahui seseorang

telah lanjut usia adalah dengan melihat perubahan penampilan fisik, kemampuan

kognitif, peran sosial, kesehatan, dan aspek-aspek psikologis tertentu (Turner &

Helms, 1987:433).

Ada beberapa ahli yang membagi usia lanjut ke dalam beberapa tahap.

Menurut Hurlock (1980), masa tua dibagi dalam dua tahap, yaitu:

1. Early old-age (usia 60 - 70 tahun)

2. Advanced old-age (mulai usia 70 tahun ke atas)

Burnside (1979), membagi usia lanjut dalam tahap-tahap sebagai berikut:

l. Young-old ( usia 60 - 69 tahun)

Merupakan masa transisi utama, karena kebanyakan lansia harus beradaptasi

dengan struktur peran yang baru sebagai usaha untuk mengatasi berbagai

kehilangan yang terjadi pada dekade ini, seperti penurunan pendapatan, teman

mulai berkurang, dan kekuatan fisik mulai menurun.

Page 33: Arisanti chandradewi

14

2. Middle age-old (usia 70 - 79 tahun)

Ditandai dengan berbagai kehilangan dan penyakit, teman dan keluarga semakin

banyak yang meninggal. Selain itu, partisipasi dalam masyarakat makin

berkurang, masalah kesehatan juga sangat terasa. Ada penurunan aktivitas

seksual, yang disebabkan oleh kematian pasangan hidup.

3. Old-old (usia 80 -89 tahun)

Lansia akan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan

lingkungan. Mereka membutuhkan bantuan untuk mempertahankan kontak sosial

dan budaya.

4. Very old-old (usia 90 -99 tahun)

Masalah kesehatan akan semakin menjadi-jadi. Bila krisis-krisis pada tahap-

tahap sebelumnya dapat diatasi dengan baik, maka dekade sembilan puluhan ini

dapat memberikan kebahagiaan, kegembiraan, dan kepuasan.

Berkaitan dengan bervariasinya kriteria usia lanjut, Havighurst (1957)

mengungkapkan bahwa tak ada pembatasan usia lanjut yang pasti, peran sosial lansia

yang lebih menentukan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada Sidang Umum

tentang Lanjut Usia tahun 1991 menetapkan kriteria usia lanjut adalah 60 tahun ke

atas, dan hal ini berlaku secara internasional.

Sama seperti pada tahap-tahap usia lainnya, usia lanjut juga memiliki tugas-

tugas perkembangan, yang menurut Duval (1971, dalam Pikunas, 1976: 366) adalah

sebagai berikut:

1. Menentukan tempat tinggal yang memuaskan untuk menghabiskan masa tua.

Page 34: Arisanti chandradewi

15

2. Menyesuaikan diri dengan uang pensiun yang diperolehnya.

3. Mengukuhkan kegiatan rutin rumah tangga yang memuaskan.

4. Memelihara hubungan dengan pasangan hidup.

5. Menghadapi kematian diri sendiri atau mempersiapkan diri hidup tanpa

pasangan.

6. Memelihara hubungan dengan anak dan cucu.

7. Memelihara hubungan dengan kerabat atau sanak keluarga.

8. Memelihara hubungan dengan lingkungan sekitar.

9. Menemukan makna atau arti hidup.

Usia lanjut juga dikatakan sebagai suatu periode kemunduran. Manusia selalu

berubah secara konstan, tidak statis. Selama bagian awal kehidupan seseorang, terjadi

perubahan-perubahan yang sifatnya evolusional, dalam arti bahwa individu selalu

menuju pada kedewasaan dan keberfungsian. Namun pada bagian usia selanjutnya,

mereka tidak evolusional lagi dan perubahan tersebut dikenal dengan istilah ‘menua’,

yang mempengaruhi struktur fisik maupun mental.

Dalam periode usia lanjut, terjadi kemunduran baik fisik maupun mental secara

perlahan dan bertahap, yang prosesnya disebut sebagai senescence, yaitu masa proses

menjadi tua. Seseorang akan menjadi semakin tua pada usia lima puluhan, pada awal

atau akhir usia enampuluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mentalnya.

Kemunduran fisik dan mental ini membawa juga perubahan minat dan keinginan

pada lansia. Minat tersebut antara lain meliputi minat terhadap diri sendiri, minat

terhadap penampilan, minat untuk berekreasi, minat untuk melakukan kontak sosial

Page 35: Arisanti chandradewi

16

(Hurlock, 1980). Orang akan menjadi semakin dikuasai oleh dirinya sendiri apabila

dirinya bertambah tua, dimana mereka lebih banyak berpikir tentang dirinya sendiri

daripada orang lain dan kurang memperhatikan keinginan atau kehendak orang lain.

Lansia juga cenderung untuk mengeluh tentang kesehatan dan suka membesar-

besarkan penyakit ringan yang dideritanya. Lansia juga tampak begitu dikuasai oleh

dirinya sendiri, sehingga mereka tidak habis-habisnya menceritakan pengalaman masa

lalunya setiap saat, berharap untuk dilayani dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.

Banyak lansia tetap menganggap penting penampilan, tetapi banyak juga yang

menunjukkan sikap tidak perduli terhadap penampilannya. Ada beberapa penjelasan

tentang menurunnya keinginan untuk memperhatikan penampilannya. Semakin aktif

seseorang dengan kegiatan sosial, semakin terangsang mereka untuk merawat diri agar

penampilannya lebih menarik. Sebaliknya, orang yang mengundurkan diri dari kegiatan

sosial, mempunyai motivasi yang lebih rendah dalam menjaga dan merawat

penampilan tubuhnya. Status ekonomi dan tempat tinggal juga mempengaruhi minat

lansia dalam memperhatikan penampilan. Status ekonomi yang rendah akan membuat

lansia lebih memprioritaskan biaya hidupnya untuk kebutuhan sehari-hari. Demikian

juga lansia yang tinggal sendiri mempunyai minat yang lebih rendah untuk menjaga

penampilannya bila dibandingkan dengan lansia yang tinggal dengan pasangan

hidupnya atau dengan anak dan cucunya.

Page 36: Arisanti chandradewi

17

2.1.1.3. Aspek Biologis dari Usia Lanjut

Usia lanjut biasanya menunjuk kemunduran pada tubuh dan tingkah laku yang

berkaitan dengan umur (Perlmutter & Hall, 1985). Perubahan-perubahan biologis yang

terkait dengan normal aging terjadi secara bertahap dan kumulatif. Pada proses

menua, tubuh kehilangan kemampuan untuk memperbaiki kerusakan sel-sel, organ-

organ, dan jaringan, sehingga akhirnya terjadi kerusakan (breakdown) dalam integrasi

sistem tubuh (Shock, 1977b; dalam Perlmutter & Hall, 1985:82). Saat seseorang

memasuki tahap biologis terakhir dalam hidupnya, kemampuannya untuk beradaptasi

dengan tantangan lingkungan berkurang, sehingga mengurangi kesempatan mereka

untuk bertahan (Rockstein & Sussman, 1979; dalam Perlmutter & Hall, 1985:68).

Proses aging (menua) lebih lanjut diuraikan dalam dua macam proses, yaitu

primary aging dan secondary aging. Primary aging yang juga dikenal sebagai normal

aging, terjadi pada setiap individu. Sifatnya universal dan tidak bisa dihindarkan,

terdiri dari perubahan gradual dan terkait dengan usia, yang bisa diamati pada setiap

anggota spesies. Primary aging ini terjadi lebih awal dalam kehidupan dan

mempengaruhi semua sistem tubuh. Tanda-tanda primary aging yang terlihat antara

lain: rambut yang mulai memutih dan jarang, bercak-bercak pigmentasi di balik

lengan, melambannya gerakan, berkurangnya penglihatan dan pendengaran. Respons

terhadap suhu mulai melamban. Efektivitas sistem kekebalan untuk melindungi tubuh

dari infeksi semakin menurun. Pemulihan akibat pengerahan tenaga fisik

membutuhkan waktu lebih lama. Terdapat pula perbedaan tingkat kerentanan

terhadap penyakit yang dipengaruhi secara genetis.

Page 37: Arisanti chandradewi

18

Secondary aging terjadi pada sebagian besar orang, tapi tidak universal dan

dapat dihindarkan. Karena perubahan-perubahan yang diasosiasikan dengan

secondary aging berkorelasi dengan usia kronologis, maka perubahan yang terjadi

sering dianggap sebagai hal yang tidak bisa dihindarkan pada proses primary aging.

Secondary aging adalah hasil dari penyakit, kurangnya latihan (disuse), atau

penyalahgunaan (abuse). Pada lansia, hubungan antara umur dengan penyakit adalah

sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari hampir 85 % individu di atas 65 tahun memiliki

sekurangnya satu penyakit kronis dan sekitar 50 % mengatakan bahwa aktivitas

normal mereka dalam beberapa hal dibatasi oleh kondisi mereka (Shanas & Maddox,

1976; dalam Perlmutter & Hall, 1985:70). Selain penyakit kronis yang hanya bisa

dikontrol dan tidak bisa disembuhkan, lansia juga sering mempunyai masalah dengan

penyakit-penyakit akut.

Disuse dapat menyebabkan secondary aging pada semua bagian sistem tubuh.

Kurangnya latihan dapat menyebabkan otot atropi (berhenti pertumbuhannya) dan

menjadi kaku. Banyak lansia tidak melakukan aktivitas atau olah raga karena mereka

berpendapat tidak mampu untuk itu dan karena mereka berpikir bahwa latihan itu

tidak baik untuk mereka. Padahal, dengan tidak menggunakan tubuh mereka, efek

secondary aging menjadi lebih cepat.

Penyalahgunaan (abuse) adalah penyebab ketiga dari secondary aging.

Bentuk yang jelas dari penyalahgunaan yang membawa kerusakan adalah merokok,

minum minuman beralkohol, terlalu banyak makan, dan kurang gizi. Perlakuan yang

tidak baik terhadap tubuh akan membuat tubuh semakin rentan terkena penyakit,

Page 38: Arisanti chandradewi

19

seperti kanker, serangan jantung, stroke, hipertensi, diabetes, dan penyakit-penyakit

lainnya.

2.1.1.4. Aspek Psikologis dari Usia Lanjut

2.1.1.4.1. Penginderaan dan Persepsi

Sejalan dengan meningkatnya usia, sistem penginderaan secara perlahan

menjadi kurang sensitif terhadap stimulus dari lingkungan, sehingga dapat membatasi

pengetahuan tentang dunia dan terkadang mengganggu kemampuan untuk

berkomunikasi dengan orang lain. Woodruff (1983; dalam Perlmutter & Hall, 1985:

182) menyatakan bahwa jika dibandingkan dengan orang muda, orang usia lanjut

berada pada kondisi deprivasi penginderaan. Kondisi ini bertanggung jawab atas

terjadinya disorientasi dan kebingungan, bila tidak terdapat kerusakan organis pada

otak.

Pada lansia terjadi perubahan-perubahan dalam penginderaan, namun yang

penting untuk dikemukakan di sini adalah kemunduran dalam penglihatan dan

pendengaran. Akibat menurunnya kemampuan organ mata, akomodasi mata menjadi

kurang efisien dan fungsi indera visual mengalami kemunduran. Orang usia lanjut

menjadi kurang peka terhadap warna dan mengalami kerusakan persepsi kedalaman.

Sejalan dengan bertambahnya usia, pemrosesan informasi visual menjadi lamban, dan

muncul stimulus persistence (Botwinick, 1973; dalam Perlmutter & Hall, 1985: 186)

yang ditampakkan oleh perubahan dalam sensitivitas terhadap kedipan.

Page 39: Arisanti chandradewi

20

Kehilangan kemampuan pendengaran berkembang secara gradual sejalan

dengan usia. Perubahan saraf dapat merusak diskriminasi pengucapan, dan tinnitus

(suara dering, deru, atau dengungan yang persisten di telinga) mungkin juga terdapat

pada problem pendengaran lansia. Kesulitan pendengaran memungkinkan

berkembangnya simptom-simptom paranoid, atau seorang lansia menjadi terisolasi

secara sosial. Proses auditory yang lambat tampaknya menyebabkan

ketidakmampuan untuk membedakan bunyi ucapan. Meningkatkan intensitas ucapan

belum tentu mengatasi masalah dan stress akan semakin mengurangi kemampuan

tersebut.

Berkurangnya fungsi penginderaan mungkin merupakan kehilangan

kemampuan (yang terkait dengan penuaan) yang sifatnya hampir universal.

Bagaimanapun, beberapa orang menunjukkan hanya sedikit kerusakan penginderaan

walaupun telah berusia lanjut.

2.1.1.4.2. Belajar dan Memory (Daya Ingat)

Semua pemfungsian kognitif dapat dimasukkan dalam istilah pemrosesan

informasi, dimana individu mengambil informasi dari lingkungan, kemudian

memanipulasi, menyimpan, mengklasifikasi, dan mendapatkannya kembali. Dengan

proses belajar dan mengingat, informasi ditransfer di dalam sistem, sehingga sulit

untuk memisahkan kedua proses tersebut. Meskipun penuaan biologis terlibat dalam

belajar dan memori, faktor-faktor lain juga penting, termasuk perbedaan

Page 40: Arisanti chandradewi

21

pemfungsian kognitif yang didapat dari situasi kehidupan, penurunan ketrampilan

kognitif, dan depresi.

Tingkat penurunan dalam keterampilan belajar dan usia dimana hal itu

dimulai tidak diketahui. Pengkondisian klasikal tampaknya memerlukan waktu lebih

lama dan respons mungkin melemah pada orang dewasa di atas 60 tahun.

Pengkondisian operant tampaknya efektif pada orang dewasa usia berapa pun. Lansia

dapat mempelajari keterampilan kognitif walaupun keterampilan mereka mengalami

deterioriasi karena kurangnya latihan atau kurangnya motivasi. Faktor-faktor yang

memberi kontribusi pada perbedaan usia dalam studi tentang belajar adalah motivasi,

kewaspadaan lansia, distrakbilitas, dan interferensi retroaktif atau proaktif.

Sistem memori meliputi sensory memory, yaitu tempat informasi lingkungan

didaftarkan secara cepat; short term memory, yaitu tempat informasi disimpan dalam

kesadaran; dan long term memory, yaitu tempat ingatan, pengetahuan, dan

pengalaman lampau disimpan. Dalam short term memory, yaitu tempat informasi

diatur untuk pengkodean dalam long term memory, kecepatan dan fleksibilitas

menurun seiring usia. Dalam long term memory, informasi disimpan dalam bentuk

ingatan episodik atau semantik, dan penyimpanan ini tidak dipengaruhi oleh penuaan.

Sejalan dengan usia, terdapat kesulitan untuk mendapatkan kembali ingatan episodik,

tetapi recall ingatan semantik maupun recognition tidak mengalami penurunan berarti.

Pengkodean juga menunjukkan masalah bagi lansia yang disebabkan oleh defisiensi

produksi, dimana lansia gagal menggunakan strategi mengingat secara spontan

walaupun pada saat muda mereka memiliki metamemory yang baik, kegagalan untuk

Page 41: Arisanti chandradewi

22

menggunakan strategi mengingat disebabkan oleh penurunan sejumlah energi yang

tersedia pada lansia. Disamping itu, lansia mungkin mengkodekan informasi secara

kurang spesifik dan kurang terdiferensiasi, sehingga untuk mendapatkan kembali

informasi menjadi lebih sulit.

2.1.1.4.3. Proses Belajar dan Pembelajaran (Learning & Education) Pada Lansia

Dalam beberapa buku ada fakta menyebutkan bahwa beberapa para lansia

memiliki motivasi belajar yang sangat tinggi, pengalaman dan tes performance yang

sangat tinggi pula terutama bagi mereka yang masih menggunakan atau menjaga

minat mereka terhadap lingkungan sekitar dan juga bagi mereka yang selalu

menggunakan kemampuan problem solving, mereka akan mengalami sedikit

penurunan drastis akibat dari usia.

Pendidikan memegang peranan penting, karena tingkat pendidikan yang

tinggi menunjukkan daya tahan yang luar biasa terhadap penurunan intelektual

daripada mereka yang berpendidikan rendah. Para lansia yang suka membaca buku

dan mengikuti kursus-kursus, tergabung dalam berbagai aktivitas juga menunjukkan

daya tahan yang tinggi pula. Hal ini memperkuat bahwa usia memiliki keeratan yang

negatif terhadap penurunan kemampuan kognitif seseorang. (Jarvik & Bank, 1983;

Schaie, 1983; Siegler, 1983 dalam Aiken, 1995).

Beberapa pendapat menyatakan bahwa lansia sebagai orang yang belajar

(older learner) adalah rigid atau ‘tetap dalam cara mereka’. Konsekuensinya, mereka

memiliki kesulitan untuk mempelajari hal baru, bukan karena pengurangan kapasitas

Page 42: Arisanti chandradewi

23

tapi karena pengetahuan lama dan kebiasaan dalam cara mendapatkan pembelajaran

baru. Pembelajaran yang berkelanjutan dan penggunaan problem solving pada lansia

dapat bertahan dan bahkan meningkatkan kemampuan intelektual, sikap, dan minat,

yang kesemuanya saling berinteraksi terhadap performance.

Karakteristik older learner yang perlu dipahami oleh para pengajar yaitu :

1. Lansia memerlukan cara pemberian materi yang lebih lambat.

2. Mengulang materi beberapa kali (jika perlu), karena pengulangan dapat

memperbaiki gangguan atau perhatian yang kurang.

3. Ajari para older learner bagaimana cara mengorganisasi atau encode materi

yang dipelajari secara semantik. Asosiasi imaginer, dan teknik mnemonik

lainnya.

4. Menggunakan beberapa reinforcement positif dan meningkatkan pengalaman

atas kesuksesan sebelumnya (jika diperlukan).

5. Merancang tujuan jangka pendek yang dapat dicapai oleh older learner dengan

jangka waktu yang masuk akal.

6. Karena para lansia mudah merasa lelah, waktu untuk praktek dari materi yang

diberikan harus lebih singkat bila dibandingkan dengan younger learner.

7. Ketika mendemokan yang berkaitan dengan kemampuan fisik, usahakan

dijabarkan dengan bantuan lisan untuk setiap tahapan apa saja yang sedang

dilakukan sambil dipraktekan oleh pengajar.

8. Hati-hati dan buat pengecualian bagi para lansia yang mengalami gangguan

visual dan auditory; seperti pencahayaan yang harus lebih terang dan cerah,

Page 43: Arisanti chandradewi

24

cara bicara dan alat bantu harus lebih keras volumenya, materi ditulis dengan

tulisan atau huruf yang ukurannya lebih besar, dan sebagainya.

Penurunan dalam kemampuan belajar dan mendapatkan atau memahami

informasi baru dipengaruhi oleh perubahan sensori dan latihan, dan beberapa hal lain

seperti bentuk materi yang terlalu kompleks untuk para lansia. Mekanisme memori

terkandung didalamnya yaitu encoding, storage dan retrival. Hal ini dapat

dipengaruhi pula oleh situasi, tipe informasi dan bagaimana informasi tersebut

digunakan (Lovelace, 1990). Kesulitan yang dialami dari setiap tahapan dapat

mengganggu proses memori (Zacks, Hasher, & Li, 2000). Short Term Memory dan

Long Term Memory serta kemampuan untuk memahami ide-ide baru merupakan

kemampuan mental yang akan mengalami penurunan dikarenakan faktor usia.

2.1.1.4.4. Kepribadian

Banyak orang yakin bahwa penuaan mempengaruhi kepribadian dalam

berbagai cara yang dapat diperkirakan, dan mereka telah mengembangkan ide-ide

stereotipe mengenai perubahan tersebut. Hans Thomae (1980; dalam Perlmutter &

Hall, 1985:272) telah melaporkan bahwa para murid melihat lansia itu keras kepala,

mudah tersinggung, bossy, dan sering mengeluh secara berlebihan. Orang Jerman

menyebut mereka tidak aktif dan menarik diri. Lansia juga digambarkan sebagai

manusia yang tidak kompeten, dependen, dan pasif. Psikiater menganggap mereka itu

kaku (rigid), mudah tersinggung, dan ekstrim. Hurlock (1980) pun menggambarkan

lansia sebagai manusia yang menjengkelkan, dengan sifat-sifat mudah marah, pelit,

Page 44: Arisanti chandradewi

25

suka bertengkar, banyak menuntut, egois, semaunya sendiri, dan umumnya sulit

menyesuaikan diri.

Studi-studi menunjukkan bahwa karakteristik kepribadian dari masa muda ke

dewasa tua tidak berubah pada orang dewasa sehat yang tinggal dalam komunitas

(Thomae, 1980; dalam Perlmutter & Hall, 1985:273). Tidak ada masalah mengenai

pendekatan teoritis mana yang digunakan, kepribadian tetap stabil (McCrae &

Costa, 1982; dalam Perlmutter & Hall, 1985:273). Kepribadian cenderung untuk

tetap stabil sepanjang ada kontinuitas situasi kehidupan (Moss & Susman,1980;

dalam Perlmutter & Hall, 1985:277).

Gangguan kepribadian yang timbul pada lansia lebih disebabkan oleh kondisi

sosial yang dapat menimbulkan perasaan tidak aman. Banyak lansia yang

menunjukkan penyimpangan perilaku di bawah tekanan-tekanan yang mereka alami

ketika muda. Kemudian ditimpa oleh tekanan karena masalah yang misalnya

berhubungan dengan kematian pasangan hidup, pensiun, berkurangnya teman, atau

perubahan tempat tinggal (Hurlock, 1980).

2.1.1.4.5. Keterlibatan Komunitas dan Dukungan Sosial

Kehadiran orang dewasa di tempat peribadatan cenderung stabil sampai

umur 65 tahun; lalu mengalami penurunan, yang berkaitan dengan kesehatan.

Perbedaan kohort dan waktu historis yang muncul mempengaruhi kehadiran di

tempat peribadatan. Berbagai penurunan waktu kehadiran di tempat peribadatan

yang sejalan dengan usia, mungkin diimbangi dengan kegiatan religius pribadi, dan

Page 45: Arisanti chandradewi

26

tampaknya terdapat peningkatan pemaknaan agama secara pribadi di antara para

lansia.

Meskipun studi-studi cross-sectional mengindikasikan peningkatan

konservatisme seiring usia, pendidikan, dan situasi historis perlu diperhitungkan

dalam peningkatan tersebut. Kebanyakan orang mempertahankan orientasi politis

saat mereka muda, yang dimodifikasi oleh trend umum dalam masyarakat. Aktivitas

politik cenderung memuncak selama usia 50-an, tapi tidak menurun seiring usia.

Usia dapat digunakan untuk status bantuan, untuk mendapat hak-hak istimewa, atau

untuk menghindari kewajiban tertentu. Diskriminasi melawan orang lanjut usia

biasanya terjadi pada pekerjaan, karena usia bukan lagi prediktor kemampuan atau

kebutuhan, telah dinyatakan bahwa semua program sosial didasarkan oleh

kebutuhan, bukan usia, maka tanda usia lanjut dipindah dari umur 65 tahun ke 75

tahun.

Kebanyakan orang Amerika, termasuk lansia, tinggal di rumah atau

apartemen, dengan kepemilikan rumah yang mantap seiring usia. Meskipun hanya

sejumlah kecil lansia yang tinggal di age-segregated housing, sebagian besar yang

memilih tinggal di tempat tersebut cukup merasa puas. Pindah ke perumahan umum

age-segregated mengakibatkan penurunan pada beberapa individu dan perbaikan

pada individu-individu yang lain. Congregate housing mendukung sosialisasi dan

interdependensi diantara lansia. Memasuki sebuah rumah perawatan seringkali

diikuti oleh penurunan atau kematian, sebagian disebabkan karena individu yang

memasuki institusi itu cenderung memiliki kesehatan yang buruk, sebagian terjadi

Page 46: Arisanti chandradewi

27

karena lingkungan biasanya tidak menstimulasi, dan sebagian karena lingkungan

tampaknya mengajarkan ketidakberdayaan. Studi-studi menunjukkan bahwa

mengembalikan beberapa kontrol kepada penghuni akan mengurangi stress,

memperbaiki kesehatan, dan kepuasan. Lansia yang agresif pada umumnya akan

lebih baik daripada yang pasif, dalam suatu institusi.

Program-program sosial tampak didukung oleh publik ketika kelompok yang

memerlukan bantuan tidak memiliki alternatif sumber pertolongan, ketika program

itu memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang esensial, ketika program membuat

seorang individu tidak begitu tergantung pada orang lain, dan ketika individu yang

membutuhkan tidak menyebabkan kondisi tersebut. Outreach service mencoba

untuk menempatkan lansia dan menginformasikan kepada mereka berbagai program

pendukung, termasuk pelayanan kesehatan, program nutrisi, pelayanan transportasi,

dukungan sosial, pelayanan hukum, dan foster care. Pelayanan yang suportif

ditujukan untuk meningkatkan partisipasi lansia dalam komunitas, memperluas

kapasitas mereka, dan membantu mereka menyesuaikan diri dengan peran sosial

yang baru (Perlmutter & Hall, 1985).

2.1.1.5 Aspek Sosiologis dari Usia Lanjut

2.1.1.5.1 Hubungan Keluarga

Hubungan antara kakek-nenek dan cucu dipengaruhi oleh suku, agama,

tingkat sosial ekonomi, dan kepribadian. Ikatan istimewa seringkali berkembang

antara kakek-nenek dengan cucu, dan hubungan ini memungkinkan kakek-nenek

Page 47: Arisanti chandradewi

28

melawan norma yang menghargai tingkah laku sesuai umur dan memberi

kesempatan melakukan kontak fisik yang penuh afeksi. Robinson (1989; dalam

L'Abate, 1994:211) menyatakan bahwa hubungan kasih sayang dengan cucu-cucu

dapat membantu mengkompensasikan beberapa hal yang `hilang' karena penuaan,

khususnya jika kakek-nenek tersebut merasa mereka memiliki sesuatu yang berharga

untuk diberikan kepada cucu-cucunya. Wanita lansia mengekspresikan kepuasan yang

lebih besar lagi jika cucu-cucu mereka masih kecil dan jika mereka memiliki tanggung

jawab (meskipun bukan tanggung jawab penuh) untuk membantu cucunya (Thomas,

1989, 1990, dalam L’Abate, 1994. p. 212). Sebagian besar lansia sering

berhubungan dengan anak-anak mereka yang sedang berkembang, menerima

dukungan emosional dan sosial yang konsisten sebagai alat dalam menghadapi krisis.

Banyak keluarga terdiri dari tiga generasi (kakek-nenek, ayah-ibu, anak) dan

kebanyakan lansia yang tinggal bersama-sama anaknya menganggap hal tersebut

adalah kebutuhan, bukan suatu pilihan. Kesenjangan pandangan antara orang tua dan

anak yang telah dewasa tentang hubungan mereka menyebabkan saat orang tua

memasuki usia lanjut, anak-anak yang telah dewasa bertanggung jawab atas dua

generasi selain mereka sendiri. Keluarga yang lebih kecil mungkin akan membuat

lansia di masa mendatang tidak lagi memiliki sumber keluarga yang tersedia seperti

sekarang dan trend ke arah age-irrelevancy membatasi anak yang sedang berkembang

dalam menyediakan pelayanan bagi orang tua yang telah lanjut usia.

Kehidupan lansia pada umumnya ditunjang oleh anak-anak mereka yang telah

dewasa, baik dalam hal materi maupun emosional (Kennedy, 1978). Hal ini

Page 48: Arisanti chandradewi

29

menyebabkan lansia lebih memilih untuk tetap tinggal bersama dengan anak-anak dan

cucu-cucunya. Tetapi ada pula lansia yang memilih untuk tinggal berdua saja dengan

pasangan hidupnya, atau untuk lansia yang telah ditinggal oleh pasangannya memilih

untuk tinggal sendiri saja atau di panti werdha (Kennedy, 1978).

Lansia mempunyai keterikatan dan ketergantungan yang semakin kuat dengan

pasangan hidupnya. Orientasi hubungan akan semakin terpusat pada pasangannya,

karena hubungannya dengan anak-anak semakin berkurang. Lansia yang kehilangan

pasangan hidupnya karena kematian akan menghadapi kecemasan, merasa tidak

berdaya dan putus asa, yang disebabkan oleh keinginannya untuk bergantung pada

orang lain dan diperhatikan oleh orang lain (Walsh, 1980).

2.1.1.5.2 Hubungan Sosial

Kemunduran fisik dan mental yang dialami orang yang telah lanjut usia

membuat minat dan keinginannya mengalami perubahan. Minat tersebut antara lain

meliputi minat terhadap diri sendiri, yaitu minat terhadap penampilan, minat untuk

berekreasi, dan minat untuk melakukan kontak sosial (Hurlock, 1980). Orang akan

menjadi semakin dikuasai oleh dirinya sendiri apabila bertambah tua, dia lebih

banyak berpikir tentang dirinya sendiri daripada orang lain dan kurang

memperhatikan keinginan atau kehendak orang lain. Lansia juga cenderung untuk

mengeluh tentang kesehatan dan tampak dikuasai oleh dirinya sendiri, sehingga tidak

habis-habisnya menceritakan pengalaman masa lalunya setiap saat. Lansia juga

berharap untuk dilayani dan selalu menjadi pusat perhatian.

Page 49: Arisanti chandradewi

30

Lansia cenderung untuk tetap tertarik pada kegiatan rekreasi yang biasa mereka

lakukan pada masa muda, dan hanya mengubah minat tersebut bila benar-benar

diperlukan. Perubahan minat untuk berekreasi biasanya terjadi karena dahulu lansia

disibukkan oleh pekerjaan dan keluarga, namun kini menjadi lebih banyak

mempunyai kesempatan untuk berekreasi. Kegiatan rekreasi atau kegiatan mengisi

waktu luang meliputi membaca, menulis surat, mendengarkan radio, menonton

televisi, berkunjung ke rumah teman atau saudara, menjahit, menyulam, berkebun,

piknik, jalan-jalan, bermain kartu, menonton bioskop, ikut serta dalam organisasi

kemasyarakatan atau organisasi keagamaan. Lansia yang tinggal di panti werdha

mempunyai bentuk rekreasi yang disesuaikan dengan kondisi fisik dan mentalnya

(Hurlock, 1980).

Dengan bertambahnya usia, sebagian orang merasa kehilangan keterlibatan

sosialnya atau merasa lepas dari lingkungan sosialnya. Pada usia lanjut, hal ini

dirasakan dengan berkurangnya partisipasi sosial atau kontak sosial. Cumming &

Henry (1981) mengemukakan bahwa pelepasan diri secara sosial (social

disengagement) dilakukan oleh lansia atas kemauannya sendiri atau karena terpaksa.

Dalam hal pelepasan diri secara sukarela, lansia menganggap bahwa keterlibatan

sosial sudah tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Pelepasan diri dari kegiatan

sosial secara terpaksa dilakukan apabila lansia menginginkan dan memerlukannya,

atau karena kondisi-kondisi tertentu, seperti meninggal dunia, pindah rumah, kondisi

fisik yang tidak memungkinkan lansia beraktivitas seperti dulu. Keterlibatan atau

pelepasan diri tersebut dapat menentukan kepuasan pada masa tuanya. Menurut

Page 50: Arisanti chandradewi

31

Birren (1964), social disengagement meliputi keterlibatan dengan orang lain

berkurang, pengurangan variasi peran sosial yang dimainkan, dan berkurangnya

partisipasi dalam kegiatan fisik.

Havighurst, Neugarten, dan Tobin (1964) mengatakan bahwa kontak sosial

pada lansia berubah karena keterlibatan berubah. Ada tiga macam sumber kontak

sosial yang sangat dipengaruhi oleh usia lanjut, yaitu persahabatan pribadi yang

akrab, kelompok persahabatan, dan perkumpulan formal (Wood & Robertson, 1978;

dalam Hurlock, 1980). Dalam teori aktivitas yang dikemukakan Havighurst (1964),

dikatakan bahwa lansia dapat memperoleh kepuasan dan kebahagiaan dengan terus

melakukan aktivitas. Orang yang aktif, dapat berprestasi dan berarti bagi orang lain.

Orang yang tidak dibutuhkan dalam kehidupan bersama akan merasa tidak puas dan

tidak bahagia. Hal ini terlihat misalnya pada lansia yang tidak lagi hidup di tengah-

tengah keluarganya. Lansia tersebut merasa terasing dan tidak dapat berpartisipasi

secara aktif.

Pendapat lain mengatakan bahwa justru setelah orang memasuki usia lanjut

atau pensiun, kontak dengan teman-teman atau keluarga menjadi lebih sering terjadi.

Hal ini disebabkan oleh waktu luang yang tersedia lebih banyak (Turner & Helms,

1983). Hilang atau berkurangnya aktivitas yang harus dilakukan menimbulkan

kebutuhan akan aktivitas pengganti. Umumnya lansia kemudian aktif dalam kegiatan

sosial kemasyarakatan dan melakukan kegiatan yang merupakan hobinya di masa

muda. Namun penyesuaian diri yang demikian tergantung pada sikap dan kebiasaan

lansia pada masa sebelumnya (Pikunas, 916:373). Bila sewaktu muda lansia terbiasa

Page 51: Arisanti chandradewi

32

aktif dan mempunyai banyak hobi, dapat melanjutkannya di masa tua, terutama setelah

pensiun. Sedangkan lansia yang sewaktu mudanya tidak mempunyai hobi akan

mengalami kesulitan mencari aktivitas pengganti. Aktivitas sosial juga dipengaruhi

oleh keadaan fisik, sosial dan keuangan (Pikunas, 1976:373).

2.1.2. Gerontology

2.1.2.1. Definisi Gerontology

Study of biological, psikological, medical, sociological and economic factors

having a bearing on old age. Gerontology is an interdisiplinary field based on

the premise that solutions to the problems of aging require the cooperative

efforts of specialists in many fields. (Lewis R. Aiken, 1995).

Dalam gerontologi terdapat gabungan dari beberapa ilmu seperti biologi,

psikologi, sosiologi, medis dan ekonomi untuk melihat dan mengatasi permasalahan

yang terjadi dalam proses penuaan seorang manusia. Seringkali terjadi tumpang

tindih dalam aktivitas para ahli yang meneliti mengenai gerontologi. Gerontologi

merupakan disiplin ilmu yang bersifat aplikatif yang diperuntukkan bagi peningkatan

kesehatan dan kehidupan yang layak bagi para orang lanjut usia.

Proses penuaan sendiri akan berbeda bagi setiap individu, dimana didalamnya

terdapat perubahan mulai dari penampilan fisik, sistem organ internal, sensasi,

persepsi, gerakan (movement), kondisi psikis, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi.

Perubahan tersebut lebih banyak merupakan perubahan ke arah kemunduran, hal

Page 52: Arisanti chandradewi

33

inilah yang sering membuat banyak orang menjadi takut untuk menghadapi masa

tuanya.

Usia berhubungan dengan perubahan kulit, otot dan tulang pada setiap tubuh

manusia. Kulit akan terlihat keriput, splotchier, colagen berkurang, elastisitas

berkurang, kasar, varises, rambut beruban dan menipis, serta tubuh terlihat mengecil.

Pada saat proses penuaan terdapat pula penurunan secara umum pada sel-sel dan

tissues dari semua organ internal, yang menghasilkan penurunan pada efisiensi

fungsi-fungsi dari cardio vascular, pernapasan, musculoskeletal, gastrointestinal dan

genitourinary systems.

Penurunan jumlah neurons dalam otak, aliran darah ke otak, dan kecepatan

impuls nerve memberi efek pada kapasitas otak untuk memproses informasi pada usia

lanjut. Pola tidur pun berubah, dimana mereka memiliki waktu tidur yang kurang dan

tidak seperti orang-orang yang lebih muda usianya.

Usia juga berhubungan dengan penurunan fungsi-fungsi panca indera,

misalkan pada mata, paling banyak gangguan yang terjadi adalah presbyopia, tapi

katarak dan glukoma juga merupakan gangguan serius yang terjadi pada para lansia.

Penglihatan mereka akan sangat terbantu bila mereka menggunakan kacamata,

pencahayaan yang sangat memadai, dan bentuk tulisan yang besar. Pada

pendengaran, para lansia akan mengalami penurunan pada sensitivitas mendengar di

frekuensi yang rendah. Penurunan fungsi pendengaran ini dapat dikurangi dengan

menggunakan alat bantu pendengaran. Indera pembau, perasa dan peraba serta

Page 53: Arisanti chandradewi

34

sensitivitas rasa sakit dan terhadap suhu juga mengalami penurunan seiring

bertambahnya usia.

Pergerakan juga menjadi sulit dan reaksinya menjadi melambat, tapi itu pun

akan berbeda bagi setiap individu sesuai dengan fungsi motorik yang dimiliki. Hal

untuk mempermudah para lansia dalam bergerak adalah dibuatnya alat-alat bantu

seperti tongkat untuk membantu berjalan ataupun layout ruangan yang dibuat

sedemikian rupa agar para lansia tidak mengalami kesulitan untuk bergerak.

2.1.2.2. Kesehatan Mental Lansia

Gangguan mental dapat membuat individu semakin tergantung pada

pertolongan dan perawatan orang lain. Kesehatan mental tidak hanya dilihat dari

ketidakhadiran gangguan-gangguan mental, berbagai kesulitan dan frustrasi, tapi juga

merefleksikan kemampuan seseorang untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan

dengan cara-cara yang efektif dan memuaskan. Orang-orang dewasa lanjut usia lebih

memungkinkan untuk memiliki beberapa jenis penyakit fisik, keterkaitan antara

persoalan-persoalan fisik dan mental lebih umum terjadi pada masa dewasa akhir

dibandingkan pada masa dewasa awal (Birren & Sloane, 1985). Sekitar 10 % dari

individu yang berusia diatas 65 tahun, memiliki permasalahan-permasalahan

kesehatan mental yang cukup parah yang memerlukan perhatian profesional (Larve,

Dessonville & Jarvik, 1985; dalam Santrock, 2002).

Jenis gangguan yang lazim dialami adalah depresi, kecemasan, dan alzheimer.

Frekuensi depresi di orang-orang lansia bervariasi (Lewinsohn dkk, 1991). Sekitar

Page 54: Arisanti chandradewi

35

80% dari orang lansia yang menunjukkan gejala-gejala depresi, dan sama sekali tidak

mendapatkan perawatan, dan sekitar 25% dari individu yang melakukan bunuh diri di

Amerika antara lain mereka yang berusia lebih dari 65 tahun (Church, Siegel &

Foster, 1988). Kurang lebih 7% dari orang lansia memiliki gangguan kecemasan

(Gatz, 1992). Orang lansia sebenarnya memiliki kemungkinan yang lebih tinggi

untuk mengalami gangguan-gangguan kecemasan daripada depresi (George dkk,

1988 dalam Santrock, 2002).

2.1.2.3. Perkembangan Sosio – Emosional Lansia

Dalam Santrock (2002) terdapat tiga teori penuaan, yaitu :

a. Teori Pemisahan; dimana orang-orang lansia secara perlahan-lahan menarik diri

dari masyarakat (Cumming & Henry, 1961). Teori ini menjelaskan bahwa

pemisahan merupakan aktivitas timbal balik dimana orang-orang lansia tidak

hanya menjauh dari masyarakat, tapi masyarakat juga menjauh dari mereka.

Dalam teori ini juga dijelaskan bahwa orang-orang lansia mengembangkan

suatu kesibukan terhadap dirinya sendiri (self-preoccupation), mengurangi

hubungan emosional dengan orang lain, dan menunjukkan penurunan

ketertarikan terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan.

b. Teori Aktivitas (Activity Theory); dimana semakin orang-orang lansia aktif dan

terlibat, semakin kecil kemungkinan mereka menjadi renta dan semakin besar

kemungkinan mereka merasa puas dengan kehidupannya.

Page 55: Arisanti chandradewi

36

c. Teori Rekonstruksi gangguan sosial; dimana penuaan dikembangkan melalui

fungsi psikologis negatif yang dibawa oleh pandangan-pandangan negatif

tentang dunia sosial dari orang-orang lansia dan tidak memadainya penyediaan

layanan untuk mereka. Rekonstruksi sosial dapat terjadi dengan merubah

pandangan dunia sosial dari orang-orang lansia dan dengan menyediakan

sistem-sistem yang mendukung mereka (Kuypers & Bengston, 1973).

Stereotipe orang lansia antara lain banyak lansia menghadapi diskriminasi

yang menyakitkan dan seringkali tersembunyi sehingga sulit untuk melawannya.

Selain itu, seringkali lansia ditolak secara sosial, karena dipandang sudah pikun atau

membosankan. Pada waktu yang lain, mereka mungkin dipandang seperti anak-anak

dan dilukiskan dengan kata-kata sifat sebagai sosok yang ‘mungil dan manis’. Orang

lansia mungkin disingkirkan dari kehidupan keluarga mereka oleh anak-anak yang

melihat mereka sebagai sosok yang sakit, jelek dan parasit. Singkatnya, orang lansia

mungkin dipandang tidak mampu untuk berpikir jernih, mempelajari sesuatu yang

baru, menikmati seks, memberi kontribusi terhadap komunitas, dan memegang

tanggung jawab pekerjaan. Persepsi yang tentu saja tidak berperikemanusiaan, tapi

seringkali terjadi secara nyata dan menyakitkan (Butler, 1987; Chinn, 1991; Cole

dkk, 1993; Gatz, 1992). Seringkali lansia tinggal di dalam institusi-institusi seperti

rumah sakit, rumah sakit jiwa, panti jompo dan sebagainya, namun hampir 95 %

orang lansia tinggal di dalam rumahnya sendiri dan bukan di institusi.

Page 56: Arisanti chandradewi

37

2.1.3. Kehidupan Lansia dalam Institusi

Lansia yang memasuki institusi jangka panjang bertujuan untuk

mendapatkan jaminan untuk bertahan hidup dengan memperlambat deterioriasi lebih

lanjut, dan memperbaiki hilangnya fungsi-fungsi fisik maupun mental. Tujuan ini

sesuai dengan setting tempat tinggal yang memiliki ketetapan perawatan kesehatan

dalam lingkungan sosial yang terstruktur.

Sebuah tinjauan studi mengenai pengaruh institusi mengatakan bahwa lansia

yang diinstitusikan memiliki karakteristik sebagai berikut: penyesuaian diri buruk,

depresi dan tidak bahagia, intelektual tidak efektif, self image negatif, perasaan

tidak berarti dan impoten, pandangan terhadap diri sebagai orang "tua" (Tobin &

Lieberman, 1976). Lansia penghuni panti cenderung menunjukkan minat dan

aktivitas yang rendah. Mereka tampaknya lebih hidup di masa lalu, menarik diri, dan

tidak responsif dalam berhubungan dengan orang lain. Ada beberapa pendapat bahwa

lansia tersebut mengalami peningkatan kecemasan, yang sering berfokus pada

kematian mereka.

Kemampuan lansia untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan institusi juga

dipengaruhi oleh kerelaannya. Menurut Hurlock (1980), apabila lansia, baik laki-laki

maupun perempuan, masuk ke dalam institusi secara sukarela, maka mereka akan

lebih bahagia dan memiliki motivasi yang kuat untuk menyesuaikan diri terhadap

berbagai perubahan mendadak yang diakibatkan oleh institusi.

Berdasarkan salah satu penelitiannya, Townsend (1953), mengemukakan

empat alasan lansia membutuhkan panti werdha, yaitu:

Page 57: Arisanti chandradewi

38

1. Karena mereka tinggal sendiri dan tidak ada orang yang menolong bila

mereka sakit.

2. Karena mereka kehilangan tempat tinggal dengan alasan diusir oleh pemilik

tanah, keluarga membutuhkan ruangan untuk anak-anaknya. berselisih dengan

anak atau menantu, keluarga pindah ke tempat lain.

3. Karena kehilangan keluarga yang menunjang penghidupan mereka.

4. Karena keluarga yang menunjang mereka telah menjadi lemah ekonominya

dan tidak dapat memberikan tunjangan lagi.

2.1.4. Panti Werdha

2.1.4.1. Pengertian Panti Werdha

Panti werdha yang disebut juga Sasana Tresna Werdha merupakan unit

pelaksanaan teknis di bidang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia / Jompo,

yang memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi para lansia / jompo berupa

pemberian penampungan, jaminan hidup seperti makanan dan pakaian, pemeliharaan

kesehatan, pengisian waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial, mental serta

agama, sehingga lansia dapat menikmati hari tuanya dengan diliputi ketentraman lahir

dan batin (Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut

Usia/Jompo Terlantar Melalui Sasana Tresna Werdha, Departemen Sosial RI, 1986).

Lansia yang diterima oleh panti werdha milik pemerintah adalah lansia yang

berumur 60 tahun ke atas, yang secara fisik dan sosial ekonominya lemah, tidak

berdaya mencari nafkah untuk keperluan hidup sehari-hari, menerima nafkah dari

Page 58: Arisanti chandradewi

39

orang lain, hidup terlantar karena tidak ada keluarga atau tidak diketahui keluarganya,

tidak diurus sebagaimana layaknya oleh keluarga, atau karena sesuatu sebab tertentu

lansia tersebut tidak mau hidup dalam lingkungan keluarganya, tetapi ingin disantuni

di dalam panti werdha.

Panti werdha yang dikelola oleh swasta ada dua macam, yaitu panti yang

hanya menerima lansia yang terlantar dan panti yang menerima lansia yang masuk

atas anjuran keluarga dengan membayar sejumlah uang, serta menerima lansia yang

terlantar hidupnya.

2.1.4.2. Tujuan Penyelenggaraan Panti Werdha

Menurut UU No.4 tahun 1965 tentang pemberian bantuan penghidupan orang

jompo dan Surat Keputusan Menteri Sosial RI No. HUK 33/1.50/107/70 jo UU No.6

tahun 1974 tentang ketentuan pokok kesejahteraan sosial, tercantum kebijakan

pemerintah tentang pelayanan dan penyantunan lansia, yaitu:

1. Pemberian bantuan dan santunan kepada lansia dalam panti werdha.

2. Pemberian bantuan dan santunan kepada lansia di luar panti berupa pemberian

bantuan usaha produktif.

3. Bantuan peningkatan kemampuan pelayanan panti pemerintah daerah dan

swasta.

Tujuan didirikannya panti werdha adalah sebagai tempat mencintai dan

menyayangi orang tua yang secara operasional merupakan panti sosial tempat

melayani para lansia jompo dengan memenuhi kebutuhannya (Pedoman Pelaksanaan

Page 59: Arisanti chandradewi

40

Bantuan dan Penyantunan Lanjut Usia/Jompo Terlantar di Sasana Tresna Werdha,

Departemen Sosial RI, 1986).

2.1.4.3 Pelayanan di Panti Werdha

Pelayanan yang sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial No.4l

/HIJK/Kep/IX/79 adalah sebagai berikut:

1. Pemeliharaan kesehatan.

2. Pelaksanaan kegiatan yang bersifat rekreatif dan kegiatan lain yang

bermanfaat.

3. Pelaksanaan bimbingan mental spiritual dan kemasyarakatan.

Menurut Hurlock (1980), terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh lansia di panti

werdha, yaitu:

1. Kemungkinan berhubungan dengan teman seusia dan mempunyai minat serta

kemampuan yang yang sejenis.

2. Ada kesempatan untuk berprestasi berdasarkan prestasi masa lalu, yang tidak

mungkin diperoleh dalam kelompok generasi yang lebih muda.

Panti werdha menuntut adanya penyesuaian diri yang baik, karena lansia

harus bisa mengikuti ketentuan / tata tertib yang berlaku di panti, juga melakukan

penyesuaian terhadap sesama penghuni lain dan petugas panti.

Page 60: Arisanti chandradewi

41

2.1.5. Loneliness

2.1.5.1. Definisi Loneliness

Konsep mengenai loneliness belum dapat didefinisikan dengan baik.

Beberapa definisi mengenai kesepian (Loneliness), antara lain :

”Loneliness berdasarkan pendekatan eksistensial, yang salah satunya yaitu kesepian

dalam hidup yang rapuh (loneliness of a broken life) ditandai kehidupan yang

dibayangi oleh penolakan, pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri,

penyakit, kematian, tragedi, dan krisis yang biasanya tidak hanya mempengaruhi

kesadaran seseorang akan keberadaannya, tetapi juga dunia yang dihuninya,

hubungannya dengan orang lain dan pekerjaannya” (Moustakas, 1961 dalam Turnip,

1997). Dalam kesepian eksistensial manusia sangat menyadari dirinya sebagai

individu yang terisolasi dan terpisah.

“Loneliness disebabkan bukan karena keadaan sendiri (alone), loneliness disebabkan

tidak adanya suatu atau sekumpulan relasi definit yang dibutuhkan individu.

…Loneliness tampaknya selalu merupakan respon dari ketiadaan sejumlah relasi tipe

tertentu, atau lebih akurat lagi, loneliness adalah suatu respon atas ketiadaan sejumlah

relasi khusus yang dibutuhkan.” (Weiss, 1973 dalam Peplau & Perlman, 1982: 4.

dikutip dari Witriani, 2000).

“Loneliness merupakan perasaan deprivasi yang disebabkan oleh kekurangan dari

kontak sosial (dengan orang lain): perasaan bahwa seseorang merasa kehilangan. Dan

sejak seseorang memiliki suatu harapan dari suatu yang tidak ada, loneliness dapat

dikarakteristikan lebih jauh sebagai suatu rasa dari deprivasi yang muncul ketika

Page 61: Arisanti chandradewi

42

relasi sosial dengan orang lain tidak terjalin” (Gordon, 1976, p. 26 dalam Peplau &

Perlman, 1982: 4).

2.1.5.1.1. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Sosial

Menurut sudut pandang sosial, Peplau dan Perlman (1982) menggolongkan

definisi kesepian dalam tiga buah pendekatan, yaitu:

a. Kebutuhan intimasi (need for intimacy)

Pendekatan ini digunakan antara lain oleh Sullivan, Weiss, Fromm

Reichman dan Bowly. Sullivan mengatakan:

"Loneliness ... is the exceedingly unpleasant and driving experience connected

with inadequate discharge of the need for human intimacy for interpersonal

intimacy."

(Sullivan dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)

Kesepian adalah keadaan yang tidak menyenangkan atas tidak terpenuhinya

kebutuhan akan hubungan yang intim atau dekat pada seseorang.

“Loneliness is caused not by being alone but by being without some definite

needed relationship or set of relationships …”

(Weiss dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)

Weiss mengatakan bahwa kesepian bukan disebabkan karena kesendirian tapi

karena tidak adanya hubungan atau satu set hubungan yang dibutuhkan. Maka

seseorang akan mengalami kesepian apabila dalam hubungannya dengan orang

Page 62: Arisanti chandradewi

43

lain, ia tidak dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan sosial yang ada dalam

dirinya.

Jadi pendekatan ini menekankan bahwa secara universal manusia

memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan yang intim dengan manusia

lainnya.

b. Proses kognitif (Cognitive processes)

Flanders, Sadler dan Johnson (dalam Peplau & Perlman, 1982)

berpendapat melalui pendekatan ini bahwa kesepian dihasilkan dari

ketidakpuasan seseorang terhadap hubungan sosialnya. de Jong Gierveld

mengatakan:

"We define loneliness as the experiencing of a lag between realized and

desired interpersonal relationship as disagreeable or unacceptable,

particularly when desired interpersonal relationships within a reasonable

period of time."

(Gierveld dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)

Kesepian merupakan keadaan yang disebabkan karena adanya kesenjangan

antar dua jenis hubungan sosial, yaitu jenis hubungan sosial yang diinginkan

dan jenis hubungan yang sesungguhnya atau pada kenyataannya dimiliki oleh

seseorang.

Jadi inti dari pendekatan ini menyangkut persepsi dan evaluasi

seseorang mengenai hubungan sosial manusia.

Page 63: Arisanti chandradewi

44

c. Social reinforcement

Pendekatan ini mengatakan bahwa orang mengalami kesepian

disebabkan karena ia merasa adanya kekurangan dalam bentuk hubungan

sosial yang memuaskan. Tingkatan dari kuantitas dan tipe hubungan seperti

apa yang memuaskan bagi seseorang tergantung dari apa yang telah dipelajari

sebelumnya. Young mendefinisikan kesepian sebagai:

"... the absence or perceived absence of satisfying social relationship,

accompanied by symptoms of psychological distress that are related to the

actual or perceived absence ... propose that social relationship can be in part

as a response to the abcence of important social reinforcement."

(Young dalam Peplau & Perlman, 1982: 4)

Kesepian adalah tidak munculnya hubungan yang dianggapnya

sebagai hubungan sosial yang memuaskan, diiringi dengan munculnya gejala

psikologis yang berhubungan dengan ketidakmunculan tersebut.

Jadi pendekatan ini mendefinisikan kesepian sebagai keadaan yang

diakibatkan perasaan ketidakterpenuhinya hubungan seseorang akan

hubungan sosial yang menurut norma sosialnya adalah hubungan yang

memuaskan. Namun pendekatan ini cenderung lebih mengacu pada kebutuhan

sosial daripada pendekatan kognitif.

Page 64: Arisanti chandradewi

45

2.1.5.1.2. Definisi Loneliness Berdasarkan Pendekatan Eksistensial

Menurut sudut pandang eksistensial, kesepian dibagi dalam dua golongan,

yaitu kesepian eksistensial (existential loneliness) dan kesepian kecemasan (anxiety

loneliness) (Moustakas dalam Turnip, 1997).

a. Kesepian eksistensial (existential loneliness)

Kesepian eksistensial adalah kenyataan tak terelakkan sebagai bagian dari

keberadaan manusia (Moustakas dalam Turnip, 1997). Menurut Thomas

Wolfe (dikutip dalam Witriani, 2000) kesepian ini adalah pengalaman

intrinsik dan merupakan kondisi yang menunjang munculnya kreativitas,

melampaui duka, rasa putus asa dan kelumpuhan menyeluruh. Semuanya

menimbulkan dorongan pada seseorang untuk mencari dan menciptakan

bentuk baru serta menemukan cara yang unik untuk menyadari keberadaannya

dan mengekspresikan pengalamannya.

Ada dua bentuk kesepian eksistensial yang utama, yaitu kesepian dalam

kesendirian (loneliness of solitude) dan kesepian dalam hidup yang rapuh

(loneliness of a broken life). Kesepian dalam kesendirian adalah keadaan yang

damai berada sendirian dengan segala misteri yang melingkupi alam semesta,

dalam harmoni dan keutuhan keberadaannya. Kesepian dalam kerusakan

hidup yang rapuh ditandai kehidupan yang dibayangi oleh penolakan,

pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri, penyakit, kematian,

tragedi, dan krisis yang biasanya tidak hanya mempengaruhi kesadaran

seseorang akan keberadaannya, tetapi juga dunia yang dihuninya,

Page 65: Arisanti chandradewi

46

hubungannya dengan orang lain dan pekerjaannya (Moustakas, 1961 dalam

Turnip, 1997).

Dalam kesepian eksistensial manusia sangat menyadari dirinya sebagai

individu yang terisolasi dan terpisah.

b. Kesepian kecemasan (anxiety loneliness)

Kesepian kecemasan disebabkan oleh pengasingan diri dan penolakan diri,

jadi bukan kesepian yang sesungguhnya, tetapi kecemasan yang sifatnya

mengganggu dan samar-samar (Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997). Maka

kesepian ini disebabkan oleh kesenjangan yang mendasar antara kesejatian

diri seseorang dengan peran yang harus dijalankannya. Usaha seseorang untuk

mencapai konformitas dengan orang lain dalam lingkungannya, menuruti

segala aturan, meniru orang lain, mencoba menjadi orang lain, keinginan

untuk memiliki kekuasaan dan status dapat meningkatkan keterasingan

seseorang terhadap kesejatian dirinya, membuat orang kehilangan jati dirinya

dan kemudian mengalami kesepian karena tidak mengenali lagi kesejatian

dirinya yang sebenarnya.

Kesepian kecemasan adalah kondisi yang banyak terjadi dalam masyarakat

masa kini. Orang-orang modern sepertinya tidak lagi menikmati pertemanan,

dukungan dan perlindungan dari sesamanya. Mereka hidup dalam komunitas

dengan pola hubungan antar manusia yang telah ditentukan oleh aturan-aturan

Page 66: Arisanti chandradewi

47

tingkah laku untuk mencapai tujuan tertentu (Moustakas, 1961 dalam Turnip,

1997).

Kesepian kecemasan yang terburuk adalah penghayatan ketidakberartian diri,

tidak adanya orientasi pada nilai-nilai, keyakinan, pegangan hidup dan ketakutan

akan keterasingan. Karenanya orang berusaha untuk menghindarinya dan keluar

dari kondisi ini melalui cara berkegiatan dengan orang lain (Moustakas, 1972

dalam Turnip, 1997).

Dalam kesepian kecemasan, manusia terasing dari dirinya sendiri dalam

menghayati keberadaannya.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan kesepian adalah keadaan

yang membuat seorang individu merasa sendiri di dunia ini karena interpretasi dirinya

terhadap lingkungannya.

2.1.5.2. Macam-macam Penyebab Loneliness

Ada dua hal dasar yang menyebabkan kesepian. Pertama, adalah kejadian

yang memicu loneliness; dan kedua, adalah faktor-faktor predisposisi penyebab

loneliness dan membuat orang tetap berada dalam loneliness.

2.1.5.2.1. Kejadian Pemicu Kesepian (Precipitating Event)

Kejadian-kejadian yang menjadi pemicu (precipitating event) munculnya

perasaan loneliness yaitu sebagian besar dari menurunnya tingkat relasi sosial

seseorang, seperti berakhirnya suatu hubungan suami istri, ditinggalkan orang

Page 67: Arisanti chandradewi

48

terdekat, diabaikan keberadaannya, khususnya untuk para lansia ditinggal pasangan

hidup yang meninggal dan teman sebayanya sudah banyak yang meninggal, anak-

anak sibuk dengan urusan masing-masing dan para lansia seringkali tidak dilibatkan

dalam urusan anak-anak dan cucu-cucu mereka adalah beberapa contohnya. Perasaan

loneliness tidak hanya disebabkan oleh ada atau tidak adanya relasi sosial, tapi juga

dari aspek kualitatif relasi sosial seseorang. Bila seseorang merasa tidak puas dengan

relasi sosial yang dimilikinya saat itu dapat memunculkan perasaan kesepian.

Munculnya perasaan kesepian juga dapat dipicu oleh perubahan dalam keinginan

seseorang akan bentuk relasi sosial mereka terutama bila keinginan tidak terjadi

dalam kejadian nyata. Seseorang yang memiliki hambatan dalam kemampuan

bersosial membuat ia mengalami kesulitan untuk membangun dan mempertahankan

hubungan sosial yang memuaskan.

Kejadian yang menjadi pemicu kesepian dapat ditinjau dari 2 pendekatan,

yaitu pendekatan sosial dan pendekatan eksistensial.

Menurut pendekatan eksistensial, kesepian dapat dipicu oleh beberapa hal,

seperti misalnya karena rasa frustasi akan kebutuhan kasih sayang dan perlindungan

yang tidak diperoleh, sebagaimana umumnya terjadi pada masa kecil; pada usia

dewasa dapat terjadi karena kegagalan berhubungan dengan orang lain atas dasar

cinta, ketulusan dan kedalaman hubungan. Kesepian dapat juga dipicu oleh hilangnya

kehangatan manusiawi yang asli dan munculnya kepura-puraan dalam suara maupun

senyuman, serta kata-kata dan pertemuan yang basa-basi; masuk ke rumah sakit atau

Page 68: Arisanti chandradewi

49

rumah jompo juga dapat memicu kesepian karena keterasingan yang dirasakan

(Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997).

Sedangkan menurut pendekatan sosial, Peplau dan Perlman (1982)

mengatakan ada dua macam perubahan dalam hal ini, yaitu:

a. Hubungan sosial aktual pada seseorang

Yaitu perubahan dalam hubungan sosial aktual seseorang sehingga berada di

bawah level optimal seperti berakhirnya suatu hubungan yang dekat karena

kematian, perceraian, atau putusnya hubungan cinta, atau juga perpisahan secara

fisik dengan orang-orang yang dicintai, seperti pindah ke komunitas baru, dan lain-

lain.

Contoh-contoh di atas dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian, karena

Peplau & Perlman (1982) mengatakan bahwa kesepian disebabkan bukan hanya

karena seseorang punya atau tidak jalinan hubungan dengan orang lain, tapi juga

dipengaruhi oleh aspek kualitas dalam suatu hubungan sosial.

b. Adanya perubahan dalam kebutuhan atau keinginan sosial dalam diri seseorang

Dengan adanya perubahan usia, maka ada perubahan-perubahan lain yang akan

mengikuti dalam diri seseorang, di antaranya adalah kebutuhan dan keinginan

sosial. Sehingga dengan demikian, kebutuhan atau keinginan sosial yang telah

terpenuhi sekarang belum tentu akan sesuai untuk orang yang sama dalam

beberapa tahun mendatang. Hal ini dapat menyebabkan kesepian.

Page 69: Arisanti chandradewi

50

2.1.5.2.2. Faktor Predisposisi dan Bertahannya Gejala Kesepian

Faktor predisposisi dan bertahannya kesepian dikelompokkan menjadi faktor

psikologis dan situasional. Banyak faktor psikologis dan situasional yang

meningkatkan kerentanan seseorang terhadap munculnya kesepian. Faktor-faktor

tersebut meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami kesepian dan juga

menyulitkan baginya untuk membangun kembali hubungan sosial yang memuaskan.

Middlebrook (1980) menggolongkannya sebagai berikut :

a. Faktor psikologis

1. Kesepian eksistensial

Terbatasnya keberadaan manusia yang terpisah dari orang lain sehingga ia

tidak mungkin berbagi perasaan dan pengalaman dengan orang lain; dia harus

mengambil keputusan sendiri dan menghadapi ketidakpastian.

2. Pengalaman traumatis

Kehilangan seseorang yang sangat dekat secara tiba-tiba bisa menyebabkan

orang merasa kesepian; tetapi dia akan lebih sanggup menghadapi kesepian

bila sering mengalaminya atau orang itu sendiri yang mulai untuk menjauh

dari orang yang dekat padanya.

3. Kurang dukungan dari lingkungan

Orang bisa mengalami kesepian bila merasa tidak sesuai dengan

lingkungannya, sehingga ia menganggap dirinya diabaikan atau ditolak oleh

lingkungan.

Page 70: Arisanti chandradewi

51

4. Krisis dalam diri dan kegagalan

Seseorang bisa kehilangan semangat dan menghindar dari lingkungannya bila

merasa harga dirinya terganggu karena harapannya tidak terpenuhi; hal ini

dapat menyebabkan timbulnya gejala kesepian pada orang itu.

5. Kurang rasa percaya diri

Kesepian dapat terjadi bila seseorang kurang dapat mengungkapkan diri

sepenuhnya dan hanya mampu berhubungan secara formal saja. Meskipun ia

bisa berhubungan sosial dengan cukup baik, ia tetap merasa kurang dilibatkan.

6. Kepribadian yang tidak sesuai dengan lingkungan

Orang-orang dengan temperamen tertentu seperti pemalu dan yang tidak

mampu berhubungan sosial akan menarik diri dari lingkungan.

7. Ketakutan untuk menanggung resiko sosial

Seseorang merasa takut untuk terlalu dekat dengan orang lain, karena

khawatir akan ditolak. Ia melihat kedekatan sosial sebagai sesuatu yang

berbahaya dan penuh resiko.

b. Faktor situasional

1. Takut dikenal orang lain

Seseorang yang takut dikenal secara mendalam oleh orang lain akan

cenderung menghilangkan kesempatan untuk berhubungan dekat dengan

orang lain, sehingga ia tidak punya teman berbagi rasa.

Page 71: Arisanti chandradewi

52

2. Nilai-nilai yang berlaku pada lingkungan sosial

Nilai-nilai yang dianut seperti privasi dan kesuksesan membuat seseorang

terikat.

3. Kehidupan di luar rumah

Rutinitas di luar rumah seperti sekolah, kuliah, dan kerja menyebabkan

kurangnya kehangatan hubungan seseorang dengan orang-orang tertentu.

4. Kehidupan di dalam rumah

Rutinitas di rumah seperti jam-jam makan, tidur, mandi, menyebabkan

kejenuhan pada pelakunya.

5. Perubahan pola-pola dalam keluarga

Kehadiran orang lain atau perginya seseorang dari keluarga menyebabkan

terganggunya hubungan antar anggota keluarga.

6. Pindah tempat

Sering berpindah-pindah menyebabkan seseorang tidak dapat menjalin

hubungan yang akrab dengan lingkungan baru.

7. Terlalu besarnya suatu organisasi

Bila populasi yang terdapat dalam suatu organisasi terlalu besar, akan sulit

bagi seseorang untuk mengenal satu sama lain secara lebih dekat; perkenalan

terjadi hanya di permukaan saja.

8. Desain arsitektur bangunan

Bentuk bangunan modern yang canggih membatasi interaksi sosial dan

membuat anggota masyarakat menjadi individualistis.

Page 72: Arisanti chandradewi

53

Sementara itu Moustakas juga mengatakan bahwa salah satu faktor penyebab

kesepian adalah penolakan atau pengabaian semasa kanak-kanak (Moustakas, 1961

dalam Turnip, 1997). Tingkah laku yang menyebabkan terjadinya kesepian pada

seseorang adalah usaha untuk mencapai konformitas dengan orang lain, mencoba

menjadi orang lain, usaha untuk mencapai status dan kekuasaan yang tidak sesuai

dengan kemampuannya yang sebenarnya, semua itu dapat membuat seseorang

terasing dari dirinya sendiri (Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997).

Kesepian kecemasan disebabkan karena pertahanan yang dilakukan terhadap

keadaan dunia yang tidak bersahabat, perlawanan terhadap rasa sakit dan keinginan

untuk mencari kasih sayang dan rasa aman. Sementara kesepian eksistensial

disebabkan karena keberadaan manusia itu sendiri;

“The constant, everlasting weather of man’s life is not love but loneliness.

Love is the rare and precious flower but loneliness pervades each new day

and each new night”

(Moustakas, 1961 dalam Turnip, 1997)

Keberagaman seseorang dan adanya faktor sosial dapat menyebabkan

seseorang rentan terhadap kemungkinan kesepian. Keberagaman tersebut oleh Peplau

& Perlman (1982) disebutkan sebagai berikut:

a. Karakteristik personal

Peplau & Perlman (1982) menyebutkan bahwa karakter orang-orang

lonely yaitu pemalu, introvert, dan tidak punya cukup keinginan untuk

mengambil resiko dalam berhubungan sosial.

Page 73: Arisanti chandradewi

54

b. Faktor kebudayaan dan situasi

Para sosiolog memberi masukan bahwa keadaan kesepian dapat

meningkat akibat nilai-nilai kebudayaan yang berlaku di lingkungan

seseorang.

2.1.5.3. Karakteristik Orang-Orang yang Mengalami Kesepian

Peplau dan Perlman (1982) mengemukakan karakteristik utama orang-orang

yang biasanya terisolir dari orang lain yang bukan keluarga adalah mereka yang

berpendidikan rendah, memiliki pemasukan dana yang rendah, berusia lanjut atau

sudah tua, sudah menikah, tidak bekerja, dan terutama wanita.

2.1.5.4. Pengalaman dari Kondisi Kesepian

2.1.5.4.1. Manifestasi Afektif

Kesepian adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Fromm-Reichman

(dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian adalah salah satu

keadaan yang menyakitkan dan mengerikan. Sedangkan Weiss mengatakan bahwa

kesepian adalah stres yang mengganggu tanpa bentuk yang jelas.

Peplau dan Perlman (1982) mengemukakan bahwa kesepian berkorelasi

dengan depresi. Orang yang kesepian biasanya kurang bahagia, kurang puas, lebih

pesimistis dan lebih depresif (Bradburn, 1969; Perlman, Gerson, Spinner, 1978 dalam

Perlman & Peplau, 1982). dan kecemasan, sehingga banyak tanda-tanda fisik yang

menyertainya, seperti gangguan makan atau tidur, sakit kepala dan mual-mual.

Page 74: Arisanti chandradewi

55

Mereka juga rentan terhadap penyakit.

Penelitian terdahulu menemukan bahwa Orang yang kesepian juga sering

merasa tegang, gelisah, dan bosan (Loucks, 1971 dalam Peplau & Perlman, 1982).

Mereka juga cenderung lebih kasar terhadap orang lain (Moore & Sermat, 1974;

Loucks, 1974 dalam Peplau & Perlman, 1982). Hasil yang sama didapat dari sample

mahasiswa dan lansia yaitu munculnya rasa marah, menutup diri, kosong dan

canggung (Perlman et al, 1978).

Menurut Moustakas (1961 dalam Turnip, 1997), manifestasi afektif dari

kesepian kecemasan adalah duka cita dan rasa kehilangan yang mendalam dan tidak

dapat dihindari; sedang depresi yang terjadi menyeluruh berakibat kehampaan dan

rasa putus asa. Muncul juga rasa inferior dan rasa nyeri serta penderitaan karena

orang yang bersangkutan merasa tidak dicintai dan diabaikan.

2.1.5.4.2. Manifestasi Motivasional

Dua kontradiksi muncul dalam manifestasi ini. Satu sisi mengatakan bahwa

kesepian sebagai sesuatu yang merangsang. Sullivan (1953) menyatakan bahwa

loneliness adalah dorongan, kekuatan yang memotivasi orang untuk mencari interaksi

sosial walaupun mereka merasa cemas untuk melakukannya.

Sisi lainnya mengatakan bahwa kesepian menurunkan motivasi. Fromm &

Reichman (1959) menyatakan bahwa kesepian yang sesungguhnya menyebabkan

ketidakberdayaan yang melumpuhkan dan kesia-siaan yang pasti dihadapi. Penelitian

Perlman (unpublishes research) menemukan bahwa orang yang kesepian

Page 75: Arisanti chandradewi

56

mengeluarkan pernyataan apatis seperti “Kekuatan saya sepertinya sering menjauh

dari saya” dan menolak pernyataan “Saya mempunyai banyak energi”.

2.1.5.4.3. Manifestasi Kognitif

Ada bukti yang menyatakan bahwa pada umumnya orang yang kesepian

kurang sanggup berkonsentrasi secara efektif (Perlman, unpublishes research). Orang

yang kesepian biasanya juga sangat sadar (aware) dan sangat terfokus terhadap

dirinya (Jones, Freemon, Goswick, 1981). Weiss (dikutip dalam Witriani, 2000)

mengatakan bahwa orang yang kesepian biasanya bersikap sangat waspada dalam

hubungan interpersonal.

Apabila seseorang yang kesepian memiliki kepribadian yang stabil, maka

kemungkinan dialaminya depresi pun berkurang (Michela, Peplau, Weeks, 1980).

2.1.5.4.4. Korelasi Tingkah Laku dengan Kesepian

Menurut Moustakas (1961) tingkah laku yang menyertai kesepian antara lain

ketidakbahagiaan, kesedihan yang mendalam, kepura-puraan, kepalsuan, mengenali

orang lain pada permukaan saja, kegagalan mencari makna eksistensi yang sering

menimbulkan ketakutan akan munculnya kesepian.

Orang yang kesepian biasanya juga menjadi mudah curiga, dan mudah sekali

terluka hatinya, bahkan oleh kritik yang paling halus sekalipun (Moustakas, 1961).

Mereka bisa terjerumus ke dalam kesedihan yang pasif; menangis, tidur, makan,

Page 76: Arisanti chandradewi

57

menonton televisi terus menerus adalah contoh manifestasinya (Deaux, Dane,

Wrightsman, 1993).

2.1.5.4.5. Konsekuensi Sosial dan Kesehatan

Konsekuensi kesepian tidak hanya dirasakan oleh individu yang

bersangkutan, melainkan juga oleh masyarakat sekitarnya sebagai satu kesatuan.

Misalnya, banyak remaja yang dihinggapi kesepian menampilkan tingkah laku yang

menyimpang sehingga merugikan masyarakat sekitarnya, misalnya kebiasaan

membolos, ketergantungan obat, delikuensi, perkelahian masal dan tindakan-tindakan

destruktif lainnya (Brennann & Auslander, 1979), bahkan ada yang sampai bunuh diri

(Wenzs, 1977).

Kesepian berkorelasi dengan depresi dan kecemasan; sehingga banyak tanda-

tanda fisik yang menyertainya, seperti gangguan makan atau tidur, sakit kepala, mual-

mual (Perlman & Peplau, 1982). Kesepian juga berkorelasi dengan frekuensi minum

alkohol (Rubenstein & Shaver, 1982). Orang yang kesepian cenderung menjadi

alkoholik sebagai respon terhadap masalah pribadi dan stress (Perlman, unpublished

research). Mereka juga lebih rentan terhadap penyakit (Peplau, Russel & Cutrona,

unpublished research).

Beberapa pengertian tentang perasaan kesepian (loneliness) telah diberikan

oleh para ahli sosial terdahulu, namun dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik

suatu benang merah mengenai pandangan mereka mengenai perasaan kesepian yaitu

Page 77: Arisanti chandradewi

58

menjadi tiga dasar dari perasaan kesepian (Perlman & Peplau, 1982 dalam Iwan

Suhadi, 2005).

1. Perasaan kesepian adalah suatu hasil dari kurangnya relasi sosial seseorang.

2. Perasaan kesepian adalah sesuatu yang bersifat subyektif, berarti tidak dapat

disamakan dengan isolasi sosial yang sifatnya obyektif.

3. Mengalami suatu perasan kesepian adalah tidak menyenangkan dan sangat

menekan.

Meningkatnya jumlah manula di dunia termasuk Indonesia akibat perbaikan

layanan kesehatan menimbulkan masalah baru, khususnya bagi mereka yang terpaksa

tinggal di panti werdha. Beberapa penelitian (Drageset, 2003; Hicks, 2003)

melaporkan bahwa kehidupan para manula di panti werdha dapat menimbulkan

kesepian pada diri mereka. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor

penyebabnya adalah dikarenakan kurang teraturnya kunjungan keluarga terhadap

anggota keluarganya yang tinggal di panti werdha akibat kesibukan yang dialami oleh

anggota keluarga dari penghuni panti.

2.1.6. Musik

Musik adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda

berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi sejati tentang

musik juga bermacam-macam, yaitu :

1. Bunyi yang dianggap enak oleh pendengarnya.

Page 78: Arisanti chandradewi

59

2. Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan

dan disajikan sebagai musik.

Musik adalah suatu seni suara yang mengeskpresikan ide-ide dan emosi dalam

bentuk yang signifikan ke dalam elemen-elemen seperti ritme, melodi, harmoni, dan

warna suara (Webster Encyclopedic Unabridged Dictionary of The England

Language, 1989).

Musik dikenal memiliki kekuatan khusus yang mampu melampaui pikiran,

emosi, dan kesehatan fisik, hal ini dipercayai dalam masyarakat Yunani kuno. Musik

menurut Aristoteles mempunyai kemampuan sebagai katarsis emosi dimana mampu

mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa

patriotisme; Plato menyebut musik sebagai obat jiwa; dan Caelius Aurelianus yang

anti-diskriminasi, menggunakan musik untuk melawan gangguan-gangguan kejiwaan.

Disadari atau tidak, musik bisa mempengaruhi hidup seseorang. Dengan

mendengarkan musik, seseorang dapat menghadirkan suasana yang mempengaruhi

batinnya. Apakah itu suasana bahagia ataupun sedih, bergantung pada pendengar itu

sendiri. Yang jelas, musik mampu memberikan semangat pada jiwa yang lelah.

Musik juga dapat difungsikan sebagai sarana terapi kesehatan. Ketika mendengarkan

musik, gelombang listrik yang ada di otak pendengar dapat diperlambat dan

dipercepat. Hal ini membuat kinerja sistem tubuh mengalami perubahan. Bahkan,

musik juga mampu mengatur hormon-hormon yang mempengaruhi stres seseorang,

serta mampu meningkatkan daya ingat pada otak.

Page 79: Arisanti chandradewi

60

Selain itu, musik juga memiliki kekuatan untuk memengaruhi denyut jantung

dan tekanan darah sesuai dengan frekuensi, tempo, dan volumenya. Makin lambat

tempo musik, denyut jantung semakin lambat dan tekanan darah menurun. Kemudian

pendengar pun terbawa dalam suasana rileks, baik itu pada pikiran maupun pada

tubuh.

2.1.6.1 Unsur-unsur dalam musik

Musik memiliki 3 bagian penting, yaitu beat, ritme, dan harmoni. Kombinasi

ketiganya akan menghasilkan musik yang enak. “Musik yang baik, adalah musik

yang menyelaraskan ketiganya,” ujar Dra. Louise, M.Psi., seorang psikolog sekaligus

terapis musik dari Present Education Program RSAB Harapan Kita, Jakarta.

Sedangkan menurut Djohan (2005) menjelaskan musik sebagai serangkaian

suara yang diorganisir sedemikian rupa dengan dukungan elemen-elemen yang

menyertainya, yaitu: pitch, timbre (warna suara), tempo, dan dinamika keras

lembutnya suara).

2.1.7. Terapi Musik

2.1.7.1. Definisi Terapi Musik

Musik dapat digunakan sebagai terapi untuk menstimulasi, memulihkan,

menghidupkan, mempersatukan, membuat seseorang peka, menjadi saluran, dan

memerdekakan. Terapi musik memiliki suatu kapasitas yang unik dan mapan

Page 80: Arisanti chandradewi

61

sehingga memungkinkan terjadinya perubahan hidup. (Artikel majalah Sahabat

Gembala; Musik sebagai Alat Konseling, Rodney J. Hunter, Juli 1992).

Banyaknya cara penggunaan musik sebagai alat terapi, menyebabkan tidak

mudah untuk mendefinisikan terapi musik secara tepat. Sejak awal

perkembangannya, terapi musik didefinisikan sesuai dengan berbagai kepentingan.

National Association for Music Therapy (1960) di Amerika Serikat misalnya,

mendefinisikan terapi musik sebagai :

“Penerapan seni musik secara ilmiah oleh seorang terapis, yang menggunakan

musik sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan terapi tertentu melalui perubahan

tingkah laku.”

Dua dasawarsa kemudian, dengan berkembangnya teknik dan standar praktik

yang baru sebagai perkembangan dari bermacam-macam tuntutan kebutuhan klien,

definisi terapi musik diperjelas menjadi :

“Suatu aplikasi sistematis dengan menggunakan musik yang dilakukan oleh

seorang terapis musik dalam lingkup terapi, yang dimaksudkan untuk mencapai

perubahan perilaku. Dengan perubahan tersebut klien diharapkan dapat memahami

dirinya dan dunianya secara mendalam, serta mampu menyesuaikan diri dalam

masyarakat. Seorang terapis musik profesional berperan dalam menganalisis masalah

kliennya dan menetapkan sebuah tujuan umum sebelum merencanakan dan

melakukan serangkaian aktivitas musik secara khusus bagi kliennya. Proses ini

diikuti dengan evaluasi secara periodik untuk mengkaji efektivitas dari prosedur yang

dilakukan.”

Page 81: Arisanti chandradewi

62

Sejak tahun 1980, terapi musik berkembang menjadi pengetahuan baru dan

diakui sebagai bagian dari profesi kesehatan. Dalam rumusan The American Music

Therapy Association (1997), terapi musik secara spesifik disebut sebagai sebuah

profesi di bidang kesehatan.

“Terapi musik adalah suatu profesi di bidang kesehatan yang menggunakan

musik dan aktivitas musik untuk mengatasi berbagai masalah dalam aspek fisik,

psikologis, kognitif dan kebutuhan sosial individu yang mengalami cacat fisik.

(AMTA, 1997)”

Berbagai definisi masih terus berkembang, antara lain dengan menyebutkan

secara rinci untuk siapa terapi musik diperuntukkan :

“Terapi musik adalah penggunaan musik dalam lingkup klinis, pendidikan,

dan sosial bagi klien atau pasien yang membutuhkan pengobatan, pendidikan atau

intervensi pada aspek sosial dan psikologis. (Wigram, 2000e)”

dengan maksud agar definisinya dapat lebih umum dan merangkul semua

definisi terapi musik yang ada, maka pada tahun 1996 Federasi Terapi Musik Dunia

(WMFT) mengemukakan definisi terapi musik yang lebih menyeluruh, yaitu :

“Terapi musik adalah penggunaan musik dan / atau elemen musik (suara,

irama, melodi, dan harmoni) oleh seorang terapis musik yang telah memenuhi

kualifikasi, terhadap klien atau kelompok dalam proses membangun komunikasi,

meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas, mengungkapkan

ekspresi, menata diri atau untuk mencapai berbagai tujuan terapi lainnya. Proses ini

dirancang untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi mental, sosial maupun kognitif,

Page 82: Arisanti chandradewi

63

dalam rangka upaya pencegahan, rehabilitasi, atau pemberian perlakuan. Terapi

musik bertujuan mengembangkan potensi dan / atau memperbaiki fungsi individu,

baik melalui penataan diri sendiri maupun dalam relasinya dengan orang lain, agar ia

dapat mencapai keberhasilan dan kualitas hidup yang lebih baik.”

Dari definisi di atas dapat dilihat bahwa terapi musik tidak saja bersifat

memperbaiki dan mengatasi suatu kekurangan, tapi juga dapat diandalkan sebagai

sarana prevensi. Beberapa literatur bahkan menyebutkan, pencegahan atau prevensi

adalah bagian terpenting dalam sebuah proses terapi musik. Dikatakan juga, terapi

musik akan sangat bermakna jika dapat dijadikan sarana pencegahan jangka panjang.

Berbagai penelitian selama setengah abad lebih menunjukkan bahwa terapi

musik terbukti efektif dalam membantu rehabilitasi gangguan fisik, peningkatan

motivasi dalam menjalani perawatan, memberikan dorongan emosional untuk klien

dan keluarga, mengekspresikan perasaan dan dalam berbagai proses psikoterapi.

Terapi musik adalah salah satu teknik penyembuhan yang secara langsung

menyentuh kedua sisi (tubuh dan pikiran) yang terdapat dalam tubuh setiap manusia

secara menyeluruh.

2.1.7.2. Aspek Pendukung Terapi Musik

2.1.7.2.1. Psikobiologis Suara

Manusia memiliki telinga sebagai alat penerima suara dan bunyi, yang

berfungsi sejak masih berupa janin berusia 16 minggu dan terus berlangsung

sepanjang hidup. Kemampuan manusia untuk dapat mendengarkan suara sangat

Page 83: Arisanti chandradewi

64

terbatas, telinga normal umumnya hanya dapat mendengar bunyi yang memiliki

frekuensi antara 20 Hertz (hz) sampai 20.000 Hz. Semakin lanjut usia seseorang,

jangkauan pendengaran akan semakin berkurang.

Pemahaman seseorang mengenai suara sangat tergantung pada bagaimana

persepsi orang tersebut terhadap apa yang ia dengar. Persepsi ini dapat diperngaruhi

oleh pengalaman musikal dan pengalaman sosial-budaya. Keberhasilan terapi musik

akan sangat ditentukan oleh peran suara dan persepsi klien terhadap suara yang ia

dengar. Oleh karena itu, diperlukan pula mengenai pengetahuan tentang sumber-

sumber suara, cepat rambat suara, batas-batas pendengaran sesuai usia klien, dan juga

pemahaman klien terhadap warna bunyi. Selanjutnya, pemahaman tentang suara juga

membutuhkan pengetahuan tentang efek suara terhadap persepsi klien. Misalnya,

apakah bunyi suara-suara tertentu menimbulkan ingatan traumatik terhadap klien.

Jika ada, terapis perlu tanggap terhadap efek psikobiologis yang ditampakkan oleh

klien, seperti pucat, keringat dingin, badan gemetar dan napas sesak, indikator-

indikator ini perlu dipahami dengan baik, dan karenanya seorang calon terapis musik

harus mempunyai gambaran tentang aspek psikobiologis suara.

Pemahaman tentang aspek psikobiologis suara berawal dengan pengertian

bahwa perubahan getaran udara sebenarnya adalah musik. Dalam perjalanan

selanjutnya, diyakini bahwa tubuh kita adalah sumber suara dan bahwa organ-organ

tubuh sekaligus dapat dianalogikan sebagai seperangkat alat musik. Tubuh manusia

sebenarnya sarat dengan bunyi, sebagai contoh adalah denyut jantung dan lambung

dapat menghasilkan berbagai macam suara.

Page 84: Arisanti chandradewi

65

Hasil penelitian para pakar fisiologi menunjukkan keterkaitan antara aspek-

aspek biologi dan musik. Berikut beberapa contoh penelitian yang telah dilakukan;

M. Getry bersama Hector Berlioz seorang komponis Perancis (dalam Djohan, 2006)

melakukan observasi mengenai kinerja musik pada nadi. Haller, melaporkan bahwa

memainkan alat perkusi genderang akan melipat gandanya semburan aliran darah dari

urat nadi. Sementara itu, Dogiel dari Rusia (dalam Djohan, 2006) memperdengarkan

nada tertentu melalui alat musik tiup dan piano pada hewan dan manusia, ditemukan

bahwa hewan dan manusia sama-sama bereaksi pada stimuli suara, sehingga terjadi

akselerasi pada tekanan jantung. Meskipun demikian, efek tersebut lebih intens

terjadi pada hewan sementara pada manusia reaksinya bervariasi. Penelitian lainnya

masih banyak lagi.

Sebagai contoh diterangkan lebih lanjut oleh Djohan (2006), rata-rata

hitungan normal dalam setiap ketukan musik hampir sama dengan rata-rata detak

jantung manusia yaitu antara 72 sampai 80 ketukan per menit. Maka musik yang

simulatif, yaitu yang biasanya dimainkan dengan tempo lebih cepat, dapat

meningkatkan detak jantung, sementara musik yang menenangkan biasanya adalah

musik-musik yang bertempo lebih lambat.

Terdapat empat elemen musik yang menjadi dasar pemberian perilaku pada

terapi musik; yaitu :

1. Pitch

Pitch-tension dalam musik lebih dikenal dengan sebutan tonal tension.

Tonal tension adalah perpindahan nada sebagai suatu melodi atau harmoni

Page 85: Arisanti chandradewi

66

yang memiliki jarak tertentu sesuai dengan jarak dalam tangga nada.

Perpindahan dapat terjadi dengan naik atau turunnya nada dengan mode

mayor dan minor. Kutub dari ekspresi musik ditunjukkan dengan sistem yang

saling berhubungan yang disebut mode mayor dan minor berdasarkan trinada

mayor dan minor.

2. Tempo

Adalah rata-rata satuan waktu pada saat sebuah musik dimainkan yang

menggambarkan kecepatan musik tersebut. Tempo biasa disebut sebagai

langkah musik, menentukan kecepatan musik. Mengalirnya musik dalam

waktu melibatkan irama dan tempo.

Istilah-istilah tempo secara umum diambil dari bahasa Italia, suatu

sisa-sisa jaman dimana opera Italia pernah mendominasi daratan Eropa. Yang

termasuk istilah tempo misalnya allegro, Vivace, Andante, Grave, Adagio,

Largo, dan sebagainya.

3. Timbre

Timbre adalah warna bunyi, berupa keseluruhan kesan pendengaran

yang kita peroleh dari sumber bunyi, setelah dipengaruhi resonansi dan zat

pengantar. Penjelasan lainnya yaitu perbedaan sifat antara dua nada yang

sama kuat dan sama tinggi nadanya dalam konstruksi instrumen, yang disebut

juga warna suara atau kualitas suara. Sebagai contoh, jika dua alat musik,

misalnya gitar dan trombon dimainkan bersama-sama pada nada dasar / pitch

Page 86: Arisanti chandradewi

67

yang sama, kita tetap dapat membedakan mana suara gitar dan mana suara

trombon karena keduanya memiliki warna suara yang berbeda.

4. Dinamika

Adalah aspek musik yang terkait dengan tingkat kekerasan bunyi, atau

gradasi kekerasan dan kelembutan suara musik, atau secara singkat dinamika

diartikan sebagai derajat keras atau lembutnya musik saat dimainkan. Peran

dinamika dalam musik dapat dianalogikan dengan peranan terang dan

tajamnya gambar atau warna dalam lukisan.

Macam-macam tanda dinamika yang biasa digunakan antara lain

piano (p), pianissimo (pp), forte (f), fortissimo (ff), dan sebagainya. Tanda

tempo dam dinamika bisa merupakan petunjuk berharga bagi kandungan

ekspresi yang ada dalam suatu karya musik, karena itu tanda-tanda tersebut

biasa disebut sebagai “tanda-tanda ekspresi”.

2.1.7.2.2. Musik dan Penyembuhan

Manusia menggunakan musik untuk tujuan penyembuhan sejak peradaban

dimulai. Berawal dari zaman Yunani kuno hingga saat ini, praktik penyembuhan

berdasarkan suara dan musik masih terus berlangsung. Menurut Bruscia (1987),

penyembuhan melalui suara berbeda dengan penyembuhan melalui musik. Untuk

lebih jelasnya dijabarkan sebagai berikut :

1. Penyembuhan melalui suara didasarkan pada pengertian bahwa segala sesuatu

dalam alam semesta ini adalah vibrasi. Beberapa vibrasi dapat dirasakan

Page 87: Arisanti chandradewi

68

dalam tubuh, ada yang dapat dilihat atau didengar sementara yang lain

mungkin hanya dapat dirasakan dalam perubahan kondisi kesadaran tertentu.

Karena itu, penyembuhan melalui suara adalah penggunaan vibrasi frekuensi

atau bentuk suara yang dikombinasikan dengan musik atau elemen musikal

(misalkan irama, melodi, harmoni) untuk meningkatkan kesembuhan. Titik

beratnya adalah pada perubahan-perubahan fisiologis seperti penurunan

tekanan darah, detak jantung, atau meredakan ketegangan otot. Newhan

(1998) mengemukakan penggunaan pernapasan, tubuh, dan latihan suara serta

teknik menata suara klien secara bebas, pada dasarnya bertujuan mengeliminir

ketegangan otot, energi yang menghalangi dan membatasi tubuh, pikiran dan

spiritual.

2. Penyembuhan melalui musik adalah penggunaan pengalaman musikal, bentuk

energi dan kekuatan universal yang melekat pada musik untuk

menyembuhkan tubuh, pikiran, dan aspek-aspek spiritual. Agak sulit untuk

menjelaskan perbedaan penyembuhan melalui musik, karena untuk sebagian

orang suara-suara tertentu dapat saja dimaknai sebagai musik. Terapi musik

meyakini adanya sinergi antara potensi penyembuhan diri yang dimiliki klien

sebagai individu, dan adanya relasi terapeutik yang memungkinkan klien

untuk memperoleh kekuatan luar biasa yang disalurkan secara eksternal

melalui terapi.

Page 88: Arisanti chandradewi

69

2.1.7.2.3. Respon Fisiologis Terhadap Musik

Dalam terapi musik, kerangka musik disediakan untuk dapat menemukan

tingkat psikologis yang mendalam. Juliette Alvin (Melly Norayana, 2009) seorang

pelopor terapi musik mengingatkan bahwa efek musik terhadap aspek fisik klien tidak

boleh diabaikan. Karena menurutnya, sangat penting untuk memahami respons

fisiologis dan bagaimana musik dapat mempengaruhi tubuh manusia. Aspek ini

sering diabaikan karena dianggap berhubungan langsung dengan aspek psikologis

dan psikoterapi yang penting dalam terapi musik. Namun sebenarnya, seseorang tidak

mungkin menunjukkan efek emosional dari musik tanpa menghubungkannya dengan

efek fisik dari suara yang memicu reaksi fisiologis.

Menurut hasil beberapa penelitian, beberapa indikator fisik dan fisiologis

yang tidak dapat diabaikan adalah :

a. Detak jantung,

b. Tekanan darah,

c. Pernapasan,

d. Suhu kulit,

e. Aktivitas arus listrik pada permukaan kulit, dan

f. Gelombang otak.

Menurut dr. Sondang Aemilia Pandjaitan-Sirait, Sp.KK (2006) efek musik

terhadap berbagai bagian dan fungsi tubuh kita, diantaranya :

Page 89: Arisanti chandradewi

70

1. Hubungan Musik Dengan Fungsi Otak

Semua jenis bunyi atau bila bunyi tersebut dalam suatu rangkaian teratur yang

dikenal dengan musik, akan masuk melalui telinga, kemudian menggetarkan

gendang telinga, mengguncang cairan di telinga dalam serta menggetarkan sel-sel

berambut di dalam Koklea untuk selanjutnya melalui saraf Koklearis menuju ke

otak. Ada 3 buah jaras Retikuler atau Reticular Activating System yang diketahui

sampai saat ini. Pertama: jaras retikuler-talamus. Musik akan diterima langsung

oleh Talamus, yaitu suatu bagian otak yang mengatur emosi, sensasi, dan

perasaan, tanpa terlebih dahulu dicerna oleh bagian otak yang berpikir mengenai

baik-buruk maupun intelegensia. Kedua: melalui Hipotalamus mempengaruhi

struktur basal "forebrain" termasuk sistem limbik, dan ketiga: melalui axon

neuron secara difus mempersarafi neokorteks. Hipotalamus merupakan pusat

saraf otonom yang mengatur fungsi pernapasan, denyut jantung, tekanan darah,

pergerakan otot usus, fungsi endokrin, memori, dan lain-lain (dr. Sondang

Aemilia Pandjaitan-Sirait, Sp.KK, 2006). Seorang peneliti Ira Altschuler (dalam

Melly Norayana, 2009) mengatakan "Sekali suatu stimulus mencapai Talamus,

maka secara otomatis pusat otak telah diinvasi." Secara lebih lengkap dapat

dilihat dalam lampiran 1; bagan Efek Musik Terhadap Otak. dan Tubuh Manusia

beserta gambar bagian-bagian otak.

Sebuah survei pada suatu seminar menunjukkan bahwa pendengarnya

mengatakan bahwa mereka tidak mendengarkan syair dari sebuah lagu. Namun

pada waktu lagu tersebut diperdengarkan, separuh dari mereka dapat

Page 90: Arisanti chandradewi

71

melagukannya tanpa mereka sadari. Hal ini menunjukkan adanya memori dalam

otak yang mampu merekam apa saja yang masuk melalui pendengarannya

bersama musik, tanpa mampu dicerna oleh akal sehat. Kesimpulannya tidak ada

lagu/musik yang mampu dicegah masuknya ke dalam otak kita, walaupun kita

berkata "Saya tidak mendengarkan syairnya".

Seorang peneliti, Donald Hodges dalam Melly Norayana (2009)

mengemukakan bahwa bagian otak yang dikenal sebagai Planum Temporale dan

Corpus Callosum memiliki ukuran lebih besar pada otak musisi jika dibandingkan

dengan mereka yang bukan musisi. Kedua bagian ini bahkan lebih besar lagi jika

para musisi tersebut telah belajar musik sejak usia yang masih sangat muda yakni

di bawah usia tujuh tahun. Gilman dan Newman (1996) mengemukakan bahwa

Planum Temporale adalah bagian otak yang banyak berperan dalam proses verbal

dan pendengaran, sedangkan Corpus Callosum berfungsi sebagai pengirim pesan

berita dari otak kiri ke sebelah kanan dan sebaliknya. Seperti kita ketahui otak

manusia memiliki dua bagian besar, yaitu otak kiri dan otak kanan. Walaupun

banyak peneliti mengatakan bahwa kemampuan musikal seseorang berpusat pada

belahan otak kanan, namun pada proses perkembangannya proporsi kemampuan

yang tadinya terhimpun hanya pada otak kanan akan menyebar melalui Corpus

Callosum kebelahan otak kiri. Akibatnya, kemampuan tersebut berpengaruh pada

perkembangan linguistik seseorang. Dr. Lawrence Parsons dari Universitas Texas

San Antonio menemukan data bahwa harmoni, melodi dan ritme memiliki

perbedaan pola aktivitas pada otak. Melodi menghasilkan gelombang otak yang

Page 91: Arisanti chandradewi

72

sama pada otak kiri maupun kanan, sedangkan harmoni dan ritme lebih terfokus

pada belahan otak kiri saja. Namun secara keseluruhan, musik melibatkan hampir

seluruh bagian otak. Dr. Gottfried Schlaug dari Boston mengemukakan bahwa

otak seorang laki-laki musisi memiliki Cerebellum (otak kecil) 5% lebih besar

dibandingkan yang bukan musisi. Kesemua ini memberikan pengertian bahwa

latihan musik memberikan dampak tertentu pada proses perkembangan otak.

(dikutip dari Melly Norayana, 2009).

2. Musik Dan Produksi Hormon

Mary Griffith (Melly Norayana, 2009), seorang ahli fisiologi, mengemukakan

bahwa hipotalamus mengontrol berbagai fungsi saraf otonom, seperti bernapas,

denyut jantung, tekanan darah, pergerakan usus, pengeluaran hormon tiroid,

hormon adrenal cortex, hormon sex, bahkan dapat mengontrol seluruh

metabolisme tubuh kita. Sebuah studi menemukan adanya peningkatan

Luteinizing Hormone (LH) pada saat mendengarkan musik. LH adalah suatu

hormon sex yang merangsang pematangan sel telur.

Penelitian lain oleh Satiadarma (1990) dilakukan dengan cara mengukur suhu

kulit menggunakan alat Galvanic Skin Response (GSR). Pada saat subyek

penelitian mendengarkan musik hingar-bingar, maka suhu kulit lebih rendah dari

pada suhu basal (suhu normal individu tersebut tanpa musik). Sebaliknya, ketika

musik lembut diperdengarkan, suhu kulit meninggi dari biasanya. Hal ini

menunjukkan adanya suatu hormon stress yang dilepaskan oleh otak, yaitu

Page 92: Arisanti chandradewi

73

Adrenalin, yang dapat mempengaruhi bekerjanya pembuluh darah di kulit untuk

vasokonstriksi (menyempit) atau vasodilatasi (melebar). Pada kondisi stress,

adrenalin banyak dikeluarkan dan pembuluh darah kulit menyempit, sehingga

suhu kulit menurun. Kesimpulannya adalah jenis musik hingar-bingar dapat

menyebabkan kita stress, sedangkan musik lembut memiliki efek menenangkan.

Sebuah penelitian oleh Ann Ekeberg dalam Melly Norayana (2009),

menunjukkan pengaruh jenis musik terhadap denyut jantung. Siswa di sebuah

sekolah menjadi subyek penelitian dan mereka diukur kecepatan denyut nadinya

sebelum mendengar musik. Kemudian musik jenis hard rock diperdengarkan

selama 5 menit. Semua siswa harus tetap duduk tenang di kursi mereka. Pada

akhir tes, denyut nadi diperiksa kembali dan dicatat. Hasilnya adalah peningkatan

denyut nadi sebesar 7-12 denyut per menit.

David Noebel, meneliti bahwa nada bass dengan getaran frekuensi rendah

bersama-sama dengan dentuman drum, mempengaruhi cairan serebrospinal, yang

akan mempengaruhi kelenjar Pituitary di otak. Kelenjar ini memiliki fungsi

sekresi berbagai hormon tubuh. (Melly Norayana, 2009).

Musik juga dikenal sebagai wahana terapi. Sejak zaman dahulu dikenal

penyembuhan fisik dan mental melalui musik. Daud memainkan kecapi sambil

menyanyi untuk menyembuhkan Raja Saul yang sedang gundah. Musik juga

dipakai oleh Raja Philip V dari Spanyol, Raja George II dari Inggris, dan Raja

Ludwig II dari Bavaria untuk penyembuhan. O’Sullivan (1991) mengemukakan

bahwa musik mempengaruhi imaginasi, intelegensi dan memori, di samping juga

Page 93: Arisanti chandradewi

74

mempengaruhi hipofisis di otak untuk melepaskan endorfin. Endorfin kita ketahui

dapat mengurangi rasa nyeri, sehingga dapat mengurangi penggunaan obat

analgetik, juga menurunkan kadar katekolamin dalam darah, sehingga denyut

jantung menurun. Mornhinweg (1992) meneliti 58 subyek sehat untuk menilai

jenis musik mana yang menurunkan stress. Musik klasik ternyata memberikan

efek relaksasi yang dapat dibuktikan secara statistik dibandingkan dengan musik

"new age". Musik yang menenangkan ini juga dipakai dalam pengobatan

penderita infark miokard (serangan jantung), pasien sebelum operasi, bahkan

untuk menurunkan stres pasien yang menunggu di ruang tunggu praktek.

Chanagi H (1996) dan Segal (1999) melaporkan hasil penelitian atas teori

neuron (sel konduktor pada sistim saraf) bahwa neuron akan menjadi sirkuit jika

ada rangsang musik, karena suara mengakibatkan neuron-neuron yang terpisah

akan bertautan dengan mengintegrasikan diri dalam sirkuit otak. Semakin banyak

atau semakin sering rangsang musik diberikan maka akan semakin kompleks

jalinan antar neuron itu dan akan mempengaruhi kemampuan matematika, logika,

bahasa, musik, dan juga emosi pada diri seseorang.

3. Hubungan Musik dengan Ritme Tubuh

Pada dasarnya manusia adalah mahluk yang ritmik. Ada siklus gelombang

pada otak, siklus tidur, denyut jantung, sistem pencernaan, dan lain-lain yang

kesemuanya bekerja dalam satu ritme. Fenomena ritmik ini bukan hanya terjadi

pada manusia, tetapi pada hampir semua mahluk hidup, termasuk tumbuh-

Page 94: Arisanti chandradewi

75

tumbuhan. Bila ada gangguan terhadap ritme tubuh ini, maka dapat terjadi

berbagai penyakit, seperti diabetes, kanker, dan gangguan pernapasan. Menurut

John Diamond, seorang dokter di New York, ritme yang berlawanan dengan ritme

tubuh akan mengganggu sinkronisasi antara kedua sisi otak, dengan demikian

simetri antara otak kiri dan kanan tidak ada lagi. Ia mencoba memperdengarkan

musik rock pada pekerja pabrik, ternyata produktivitas menurun. Dibutuhkan

jenis musik dengan ritme tertentu untuk dapat meningkatkan produktivitas

pekerja, bila musik yang dipilih salah, maka pasti akan berefek buruk. Dalam

laboratorium ia mencoba memberi beban pada lengan pria dan ternyata mampu

menahan sampai 45 pound. Namun bila musik rock didengarkan, maka

kemampuan itu menurun. Peneliti lain dari Stanford University mencatat

hubungan antara otak, otot dan musik untuk menghasilkan pekerjaan yang baik.

Sebuah alat mengukur gelombang elektrik dari otot para wanita pekerja; musik

didengarkan dan gelombang otot dicatat. Musik dengan ritme tidak teratur

menghasilkan gelombang elektrik otot yang tampak seperti orang yang tidak

pengalaman bekerja dengan tangannya. Namun dengan musik yang ritmenya

teratur, gelombang elektriknya menunjukkan gelombang seperti pekerja yang

pengalaman, sehingga efisiensi kerja bertambah. (Melly Norayana, 2009).

Peneliti lain mencoba merekam gelombang otak selama diperdengarkan ritme

anapestic, terjadi gangguan pada gelombang alfa otak, sehingga terjadi

"switching". Switching adalah sebuah fenomena yang timbul pada orang dewasa

yang sakit jiwa/gila (skizofrenia), di mana orang tersebut akan menjadi seperti

Page 95: Arisanti chandradewi

76

anak kecil dan berjalan seperti hewan melata/reptil (merangkak dengan kaki-

tangan bersamaan sisi, yang seharusnya berlawanan). Bila hubungan otak kanan

dengan kiri berjalan normal, maka seperti bayi normal akan merangkak dengan

kaki-tangan berlawanan sisi. Gerakan orang yang mendengar musik rock sering

"bopping", yang juga merupakan gerakan sesisi/homolateral. Ternyata tidak

semua musik rock memiliki ritme anapestik, musik klasikpun ada yang memiliki

ritme demikian. Finale pada lagu Rite of Spring dari Igor Stravinsky, memiliki

ritme ini. Pada pertama kalinya lagu ini dimainkan dalam konser di Paris tahun

1913, terjadi kerusuhan dan pengrusakan gedung konser. Hanya dalam waktu 10

menit telah mulai terjadi perkelahian.

Peneliti lain menggunakan tikus sebagai subyek penelitian. Studi ini

dilakukan dengan memperdengarkan musik dengan bunyi yang tidak beraturan

dan dengan suara drum yang terus menerus. Tikus-tikus ini pada akhirnya bukan

saja mengalami kesulitan belajar dan gangguan memori, namun juga perubahan

struktur sel-sel otak. Neuron menunjukkan adanya kerusakan "wear and tear"

karena stress. Diambil suatu kesimpulan, bahwa ritme-lah yang dapat

mengganggu keseimbangan otak, bukan melodi atau harmoni. Setiap mahluk

hidup memiliki ritme, bila harmoni ritme ini diganggu oleh suatu disharmoni,

maka akan timbul efek yang merusak. Nordwark (1970) dan Butler (1973)

melaporkan bahwa stimulasi auditorik yang terjadi terus menerus akan

menyebabkan terjadinya adaptasi. Suara kereta yang terus menerus akan

menyebabkan respons inhibisi/menghambat pada sistem pendengaran. Reaksi

Page 96: Arisanti chandradewi

77

adaptasi ini terjadi dalam waktu 3 menit dan baru dapat hilang setelah periode

pemulihan selama 1-2 menit. Musik bila akan digunakan sebagai pengobatan,

harus mampu merangsang pelepasan endorfin. Bila terjadi inhibisi, maka proses

ini tidak terjadi.

2.1.7.2.4. Respon Emosi Musikal

Musik dapat membangkitkan jenis emosi yang kuat. Tidak hanya karena

pendengar memiliki reaksi emosional terhadap musik, tetapi juga karena komposisi

musik mewakili suatu jenis emosi tertentu yang dapat dikenali oleh pendengar.

Secara teoritis, musik dapat mempengaruhi keterbangkitan emosi dapat dijelaskan

sebagai berikut. Saat pendengar mendengarkan musik, mereka dapat menerima tanda-

tanda dan unsur-unsur musik yang menyertainya yang kemudian kesemuanya itu

saling berhubungan dan berasosiasi dengan konotasi emosi tertentu. Maka muncullah

suatu perbedaan emosional dalam musik yaitu, major tonality berhubungan dengan

‘happiness’ dan minor tonality berhubungan dengan ‘sadness’

Respon emosi musikal adalah masalah yang selalu akan menyertai suatu

proses terapi musik. Memahami emosi yang muncul karena mendengarkan musik,

sedikit banyak akan menjelaskan mengapa seseorang atau sekelompok orang

menyukai musik tersebut, latar belakang yang mendorong munculnya emosi karena

mendengarkan lagu tertentu, atau musik seperti apa yang membuat seseorang merasa

lebih nyaman. Bila dikaitkan dengan dengan terapi musik, maka salah satu inti

perlakuan musik terhadap klien adalah pada respon emosinya. Artinya respon yang

Page 97: Arisanti chandradewi

78

diberikan akan menunjukkan seberapa jauh pengaruh yang ditimbulkan dan seberapa

besar makna dari perubahan yang terjadi. (Djohan, 2006).

2.1.7.2.5. Musical Expression

Memahami musik adalah memahami komunikasi makhluk semesta

(Setiadarma, 2002). Musik adalah suatu alat komunikasi yang bersifat universal

meskipun dipengaruhi oleh budaya dan kultur. Sebagai suatu alat komunikasi musik

juga memiliki dimensi kognitif, afektif, dan spiritual. Untuk dapat menikmati musik,

seseorang harus dapat ‘merasakan’ bunyi, mereproduksi imajinasi, bahkan tergugah

emosinya. Singkatnya seseorang harus dapat memberikan ekspresi tersendiri yang

mungkin bersifat subyektif terhadap musik yang didengarnya.

2.1.7.2.6. Musical Perception

Musik adalah suatu medium akustik, atau dapat dikatakan bahwa musik

dibangun melalui suara (Scheire, 1998). Setiap aspek atau unsur musik yang

membuat suatu komposisi berbeda satu dengan yang lain disampaikan melalui

gelombang suara.

2.1.7.2.7. Fisiologi Emosi Musik

Pythagoras pernah menyatakan bahwa vibrasi musik dapat memberikan

kesembuhan serta perubahan pada fisik pendengarnya. Musik yang stimulatif dapat

meningkatkan frekuensi detak jantung, sebaliknya musik yang tenang dapat

Page 98: Arisanti chandradewi

79

menurunkan frekuensi detak jantung. Setiap jenis musik dapat dipastikan akan

meningkatkan detak jantung sedangkan detak yang dialami akan semakin meningkat

bila mendengarkan musik-musik yang bersifat stimulatif dibandingkan musik-musik

yang lebih tenang (non-stimulatif). Sejalan dengan terjadinya perubahan detak

jantung, perubahan pernafasan juga dapat dirasakan sebagai hasil intensitas

pengalaman emosi. Peningkatan aktivitas otot seiring dengan pernafasan akan

meningkatkan detak jantung dan hal ini dapat diketahui selama terjadi

hyperventilation (Frijda, 1988). Ries (1969) menemukan korelasi yang signifikan

antara amplitudo pernafasan dan respon emosi terhadap musik, sehingga amplitudo

pernafasan seseorang berhubungan dengan respon afeksinya. Korelasi yang semakin

signifikan dangan semakin tingginya kesukaan subjek terhadap musik yang

didengarnya. Secara umum, frekuensi pernafasan seseorang dapat meningkat saat

mendengar musik yang disukai dan biasanya reaksinya saat menghela nafas pun akan

menjadi lebih dalam. (Djohan, 2003).

Bever (1988) menyatakan bahwa persepsi terhadap bentuk suatu jenis musik

juga meningkat seiring dengan penghargaan terhadap nilai estetis musik tersebut.

Persepsi dan penghargaan terhadap musik juga akan mempengaruhi tingkat kesukaan

yang selanjutnya juga akan menstimuli emosi. Menurut Peretz (2001) emosi musik

muncul secara tertutup dalam otak manusia. Salah satu penemuan baru mengatakan

bahwa aktivitas otak kiri bekerja untuk mengekspresikan kegembiraan musik

(Schmidt & Trainor, 2001 in Peretz, 2001), sedangkan dalam hubungannya dengan

musik aktivitas otak kanan lebih berfungsi mengekspresikan rasa ketakutan dan

Page 99: Arisanti chandradewi

80

kesedihan. Bila musik menghasilkan efek fisiologis dan psikologis terhadap

kesehatan manusia sebagai pendengar, maka dapat diasumsikan bahwa seorang

penderita penyakit tertentu akan memiliki respon terhadap musik dengan cara yang

khusus pula (Aldridge, 1996) (dikutip dari Djohan, 2003).

2.1.7.2.8. Musik dan Suasana Hati

Lewis, Dember, Schefft dan Radenhausen (1995) menemukan pengaruh

musik atau video dalam beberapa hasil pengukuran suasana hati melalui kuisioner

tentang optimisme/pesimisme (OPQ), skala sikap dan skala Wessman-Ricks tentang

Elation dan Depression. Sebelumnya dipilih musik dan video dengan kategori

suasana hati positif dan negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa musik memiliki

pengaruh yang besar terhadap suasana hati tetapi tidak demikian dengan video. Musik

dengan kategori positif menghasilkan peningkatan suasana hati yang positif demikian

pula dengan musik yang sedih juga menghasilkan peningkatan suasana hati negatif.

Maka disimpulkan bahwa sebuah musik cenderung menimbulkan suasana hati yang

sama dalam diri pendengarnya. Mode mayor dan minor dari trinada kutub ekspresi

musik dapat memberikan jenis emosi tertentu (Cooke, 1959). Mode mayor

mengekspresikan emosi positif seperti bahagia, senang, percaya diri, dan cinta.

Sedangkan mode minor dapat mengkspresikan emosi negatif seperti duka, sedih, dan

takut. (dalam Caroline M.D. Nugroho, 2003).

Menurut Djohan (2003), banyak peneliti menganggap bahwa kognisi musik

adalah ’domain dominan’ saat mengenal domain tradisional seperti kognitif,

Page 100: Arisanti chandradewi

81

psikomotor, dan afektif. Secara psikologis penentuan aktivitas musik termasuk

persepsi dan kognisi ditanggapi secara apriori walaupun perilaku musikal juga

merupakan salah satu aspek penting dari perilaku manusia. Namun sejauh ini

penelitian atas perilaku musikal selalu dihubungkan dengan proses kognitif dan

persepsi. Neisser, 1997 (dalam Djohan, 2003) mengatakan bahwa psikologi kognitif

dan disiplin terkait menjadi penting dan secara ekologis merupakan penemuan yang

valid dalam proses penggabungan antara disiplin psikologi dan musik. Hubungan

antara konsep psikologi dan musik juga ditunjukkan oleh tumbuh kembangnya

disiplin terapi musik dalam konteks pentingnya pengalaman musikal bagi

kehidupan manusia. Gangguan mental secara psikologis dapat diobati dengan

kelengkapan terapeutik yang dimiliki dalam terapi musik.

Dalam aplikasi pengetahuan dan penelitian dari psikologi musik sebagai

ikhtiar pendidikan musik, tidak perlu dipikirkan pemisahan antara jiwa/pikiran dan

tubuh. Secara sederhana cukup dengan mengacu pada perilaku musikal seseorang

baik secara individual maupun holistik. Menurut Abler (1989), musik memiliki

semua karakter penting dari sistem kimia, genetika, dan bahasa manusia. Sloboda

(1998) secara tegas mengatakan bahwa perasaan manusia terikat dengan bentuk

musik karena terdapat konsistensi dalam respon musik yang secara relatif

memberikan lingkungan yang sama.

Page 101: Arisanti chandradewi

82

2.1.7.2.9. Psikologi Musik dan Efek Psikologis

2.1.7.2.9.1. Psikologi Musik

Bidang studi yang mempelajari hubungan antara musik dan psikologi disebut

sebagai Psikologi musik. Pembahasan mengenai psikologi musik dimulai dengan

interdisiplin antara kognisi dan musik. Para ilmuwan Abad 17 melakukan kembali

eksperimen empirik dari Pythagoras seperti yang dijelaskan dalam buku Dialog Plato:

Timaeus dan Republik. Alasan lain melanjutkan ketertarikan penelitian terhadap

musik adalah kepercayaan kuno yang mengatakan bahwa suara musik tidak hanya

berisi rahasia ke-universal-an dalam ketepatan matematis tetapi juga ketepatan

analogi emosi dan karakter manusia. Disinilah awal mula timbulnya psikologi musik

modern. (Djohan, 2003).

Psikologi musik mencakup diantaranya penelitian tentang persepsi musik dari

segi biologis, penelitian tentang representasi auditori dan koding dari sudut pandang

psikologi kognitif, penelitian tentang acquisition keterampilan musical dari sudut

pandang psikologi perkembangan dan penelitian tentang aspek aestetik dan afektif

dari sudut pandang psikologi sosial.

Psikologi musik meliputi bidang psikologi lain, antara lain psikologi sosial,

faal, dan pendidikan, karena dalam berinteraksi dengan musik banyak hal yang

berperan antara lain kognitif, persepsi, ingatan, keterampilan, dan pembelajaran.

Sloboda (dalam Hargreaves & North, 2000) menyatakan bahwa psikologi musik

hendaknya bertujuan untuk menjelaskan stuktur dan isi dari pengalaman musik.

Page 102: Arisanti chandradewi

83

2.1.7.2.9.2. Pengaruh Musik Terhadap Perubahan Psikologis

Setiap manusia memiliki kemampuan untuk dapat berbahasa dan bemusik

(Sloboda, 1994). Musik itu sendiri adalah bahasa dari emosi-emosi (Machlis, 1963).

Dengan musik seseorang bisa mengekspresikan emosi dan perasaannya untuk

dikomunikasikan kepada pihak lain (pendengar). Tujuan utamanya adalah agar para

pendengar dapat merasakan emosi dan perasaan yang sama dengan pemusik tersebut

(Gardner,1973; Bayless & Ramsey,1986).

Musik bisa mempengaruhi emosi pendengar karena pada dasarnya, seperti

halnya dengan bahasa, musik juga adalah alat komunikasi yang universal. Bentuk dari

komunikasi emosi tersebut disampaikan bukan hanya melalui lirik-lirik lagunya saja,

tetapi juga melalui gelombang suara dalam bentuk pitch, duration, loudness, dan

timbre (Seashore, 1967).

Musik dapat memberikan efek yang positif dan negatif bagi manusia. Musik

secara psikologis dapat memberikan efek seperti membuat seseorang merasa nyaman,

bahagia, segar, serta tenang, dan dengan bermain musik seseorang tersebut juga akan

merasakan suatu kesenangan, meningkatkan kemampuan sosialisasi dan komunikasi

terutama bila dilakukan secara bersama-sama (berkelompok) (Djohan, 2006).

Penelitian lainnya tentang emosi sebagai respon psikologis terhadap musik

menjelaskan bahwa musik dapat meningkatkan intensitas emosi dan akan lebih akurat

bila ‘emosi musik’ itu dijelaskan sebagai suasana hati (mood), pengalaman dan

perasaan yang dipengaruhi akibat mendengar musik (Sloboda, 1991 dalam Djohan,

2003).

Page 103: Arisanti chandradewi

84

Tempo &

Ritme

Pitch &

Melodi

Harmoni Timbre Volume

senang Cepat, hidup,

mengalir

Tinggi,

menarik

Mayor Ringan, jelas,

banyak staccato

Cenderung

sedang

Sedih Lambat,

lembut

Mengalir,

ragu- ragu

Minor

tanpa

tekanan

Berkelanjutan,

datar, lambat

Cenderung

halus

Lembut Lembut.

Lambat

Naik & turun

secara

bertahap

Mayor &

minor

bergantian

Sentuhan ringan

berlarut-larut

Halus

Marah Cepat,

tersentak,

suka berubah

tiba- tiba

Rendah, tidak

terduga

Minor Terpecah,

melengking,

kasar

Sangat keras

& kuat

Takut Cepat,

tersentak

Rendah Minor,

acak, kuat

Terpecah, berat Tiba-tiba

keras &

meledak

Tabel 2.1 Emosi Dasar yang Dihasilkan Berdasarkan Berbagai Karakteristik

Musik

Menurut Combarieu (dalam Djohan, 2003), musik dapat digunakan untuk

memperbaiki suatu gangguan yang bersifat Psikologis dan kemudian akan

mengembalikannya ke dalam keadaan normal, umumnya ada tiga kategori respon

yang ditampilkan individu pada saat mendengarkan musik, yaitu :

1. Respon gerakan-gerakan fisik untuk melepaskan ketegangan otot melalui

rangsang ritmis dari musik.

Page 104: Arisanti chandradewi

85

2. Respon emosional yang dapat dibangkitkan melalui berbagai jenis musik.

3. Respon asosiatif dimana musik merangsang proses pikir manusia yang

memungkinkan adanya ekspresi elemen-elemen mental yang tidak

disadari.

2.1.8. Angklung

2.1.8.1. Sejarah Angklung

Angklung adalah alat musik tradisional asli dari daerah sunda (Jawa Barat),

yang terbuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan

oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam

susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil.

Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah

salendro dan pelog.

Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat musik dari bambu dikenal

jenis kesenian yang disebut angklung dan calung. Adapun jenis bambu yang biasa

digunakan sebagai alat musik tersebut adalah awi wulung (bambu berwarna hitam)

dan awi temen (bambu berwarna putih), awi belang dan awi tali. Tetapi untuk

pembuatan angklung yang berukuran besar ada juga yang mempergunakan awi

surat (Obby A. Wiramihardja, 1989; kutipan yang tercantum dalam buku "Daeng

Soetigna Bapak Angklung Indonesia" tulisan Helius Sjamsudin dan Hidayat

Winitasasmita, yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi

Page 105: Arisanti chandradewi

86

Sejarah Nasional, Jakarta 1986). Sebaiknya bambu-bambu (awi) tersebut

dipanen / dipotong pada pukul 10.00 s/d 15.00, karena bambu secara alamiah

sedang tidak melakukan proses penyerapan sari-sari makanan (proses

penyerapan terjadi sebelum pukul 10.00 dan sesudah pukul 15.00). Setelah

dipotong, batang bambu kemudian digantung dalam posisi berdiri untuk

dikeringkan sehingga daun-daunnya berguguran dengan sendirinya. Proses

pengeringan secara alamiah ini memakan waktu sekitar 3 bulan. Selain itu,

proses penebangan atau pemotongan bambu tersebut harus tepat pada waktunya

yaitu antara bulan April, Mei, Juni dan Juli. Jadi tidak boleh lebih atau kurang dari

bulan tersebut. (Hasil wawancara dengan pengurus Saung Angklung Udjo, 2005)

Asal usul jenis alat musik bambu di Indonesia sudah ada sejak sebelum zaman

Hindu, malah angklung pernah di pakai dalam upacara persembahyangan sebagai

pengganti genta. Awal berkembangnya instrumen musik bambu di Indonesia

bersamaan dengan migrasi etnik dari benua Asia yang berlanjut kemudian menjadi

Melayu Indonesia, hal ini diungkapkan oleh ahli musik barat, J dan C.J.A. Kunst

dalam bukunya "Musical Exploration in the Indian Archipelago" in Asiatic Review-

October 1934 halaman 814 serta Will G. Gilbert "Muziek Uit Oost en West Indie"

halaman 9-10. Selain itu ada pula cerita yang mengatakan bahwa Tome Pirez orang

Portugis pernah bertamu di Keraton Pajajaran dan di dalam catatan perjalanannya

beliau di jemput dengan musik bambu yang dibunyikannya dengan cara digoyang-

goyang dan sambil berjalan/melangkah juga menari dan dimainkan oleh serombongan

pemusik. (Obby A. Wiramihardja, 1989)

Page 106: Arisanti chandradewi

87

Terciptanya musik bambu, seperti angklung dan calung berdasarkan

pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi

(pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap

Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Pada

zaman kejayaan Kerajaan Pajajaran, angklung disamping sebagai alat upacara

pertanian, juga dipergunakan sebagai alat musik bala tentara kerajaan dimana untuk

menambah semangat tempur dalam menghadapi musuh dan menurut keterangan

sejarah, pada saat terjadinya "Perang Bubat" (antara Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan

Mataram), angklung dipakai sebagai alat musik Kerajaan Pajajaran sebagai alat musik

perang untuk membangun dan menambah semangat juang bala tentara di medan

perang. Tidak mengherankan bila pada pertengahan abad ke 19, ketika di Jawa Barat

diselenggarakan "Tanam Paksa" oleh pemerintah Kolonial Belanda (zaman Gubernur

Jenderal Van Den Bosh), mengeluarkan larangan permainan angklung, alasannya

karena angklung dapat memberi pengaruh besar bagi semangat rakyat untuk melawan

kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam larangan tersebut permainan

angklung dikecualikan untuk anak-anak dan pengemis. Sejak saat itu angklung

"turun" derajatnya dari alat pembangkit semangat menjadi alat musik pengemis. Hal

tersebut berlangsung sekitar 1 (satu) abad. (Obby A. Wiramihardja, 1989)

Keberadaan angklung mulai terangkat ke permukaan diawali pada tahun

1938 ketika seorang putra ahli musik Tatar Sunda kelahiran Garut, yaitu Bapak

Daeng Soetigna (13 Mei 1908-8 April 1984) memperkenalkan alat musik tersebut.

Page 107: Arisanti chandradewi

88

Ia berguru kepada bapak Jaya dari Kuningan, seorang ahli pembuat angklung.

(Obby A. Wiramihardja, 1989).

Bapak Daeng Soetigna berusaha menggunakan angklung sebagai alat

pendidikan. Mottonya adalah 5 M: Murah, Mudah, Menarik, Massal, dan

Mendidik (Obby A. Wiramihardja, 1989). Beliau juga sempat menggelar pentas di

Konferensi Asia Afrika tahun 1955, bahkan mengajarkan kepada beberapa anggota

delegasi dari luar negeri untuk bermain angklung. Motto 5M yang diterapkan oleh

Bapak Daeng dapat dijabarkan sebagai berikut: Angklung merupakan alat musik yang

relatif murah karena terbuat dari bahan yang murah yaitu bambu. Mudah, karena

untuk memainkan angklung kita tidak perlu memiliki keterampilan khusus atau bakat

musik yang sangat baik. Kemudian menarik, karena kesederhanaannya, bunyinya

yang riang tapi lembut, bentuknya yang unik namun mampu memainkan semua jenis

musik, baik klasik, pop, dan sebagainya.

Angklung juga merupakan alat musik massal, yaitu untuk memainkan satu

lagu diperlukan banyak orang. Biasanya satu orang memegang satu angklung, tapi

bisa juga satu orang memegang dua angklung sekaligus, asalkan nada-nada yang

dimainkan tidak muncul berurutan. Terakhir, mendidik, selain belajar bermusik,

pemain dituntut untuk dapat kompak dan saling pengertian dengan sesama pemain,

selain itu dituntut pula adanya kesabaran karena biasanya untuk menghasilkan suatu

lagu yang sempurna dibutuhkan latihan teratur, disiplin, berkelanjutan dan selama

bermain dibutuhkan pula konsentrasi yang tinggi dari para pemainnya sehingga tidak

terjadi kesalahan nada.

Page 108: Arisanti chandradewi

89

Departemen P & K dengan Surat Keputusan tanggal 23 Agustus 1963 No.

082/1968 kemudian menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik di

lingkungan Departemen P & K dan menugaskan Direktorat Jenderal Kebudayaan

untuk mengusahakan agar angklung dapat dikembangkan tidak hanya hanya di

lingkungan Departemen P & K saja. Saat ini, alat musik Angklung yang sering

digunakan sudah bertangga nada diatonis dan merupakan hasil perkembangan dari

angklung buhun yang bertangga nada pentatonis, seperti : Angklung Buncis,

Angklung Baduy dan Angklung Gubrag, yang sejak lama terdapat di Tatar Sunda.

Dengan menggunakan bahan yang sangat murah dan relatif mudah didapat, dapat

dibuat alat seni suara yang sederhana serta mencukupi segala persyaratan, baik

dipandang dari sudut seni suara maupun dari sudut pendidikan. Nada-nada yang

dipergunakan yakni dari yang paling rendah G sampai yang tertinggi C3. Dari

sini nyatalah, bahwa susunan nada yang ada pada angklung ini sedikit pun tidak

berbeda dengan susunan nada pada alat seni suara yang biasa seperti biola,

acordeon, dan kebanyakan alat-alat tiup. Demikian pula ia sesuaikan

penalaannya dengan standar internasional yaitu A-440. Kemudian tangga nada

diatonis ini dilengkapi pula dengan semua nada kroma, sehingga terjadi tangga

nada kromatis yang sempurna. (Obby A. Wiramihardja, 1989).

2.1.8.2 Spesifikasi Musik Angklung

Dalam kumpulan seminar angklung Obby A.R. Wiramihardja (1989),

dijelaskan bahwa pengelompokan angklung terdiri dari 2 bentuk, yaitu

Page 109: Arisanti chandradewi

90

angklung melodi dan angklung pengiring (akompanyemen), yang disusun

dalam kelompok-kelompok sebagai berikut :

1) Angklung Melodi :

Sejumlah angklung melodi yang bernada G besar sampai dengan C3 atau

angklung yang bernomor 30 masing-masing nomor itu dirangkap dua (2

kali) maka disebut Dua set Besar dan jumlah itu terbentuk sebuah

susunan ANGKLUNG MELODI.

Angklung telah dibuat melodi seluas tiga setengah oktaf, yaitu dari nada G besar

sampai nada C 3 atau nada C bergaris tiga.

Dapat dilihat pada gambar garis paranada :

Jumlah melodi "Angklung Melodi" dapat kita susun serta dikelompokkan sebagai

berikut :

Angklung yanq bernada :

G dari angklung G sampai B disebut OKTAF BESAR

Gis

A

Ais

B

Page 110: Arisanti chandradewi

91

Angklung yang bernada dan bernomor :

Dari angklung c sampai dengan nomor 5 (b) disebut OKTAF KECIL

c

cis

d

dis

e

f

fis --------------------------------- bernomor = 0

g --------------------------------- bernomor = 1

gis --------------------------------- bernomor = 2

a --------------------------------- bernomor = 3

ais --------------------------------- bernomor = 4

b --------------------------------- bernomor = 5

lihat pada garis balok kunci F

Angklung yang bernada dan bernomor :

Dari angklung nomor 6 sampai 17 disebut OKTAF BERGARIS SATU

c 1 ------------- bernomor= 6

cis 1 ------------- bernomor= 7

d 1 ------------- bernomor=8

dis 1 ------------- bernomor=9

e 1 -------------- bernomor= 10

f 1 ------------- bernomor= 11

fis 1 ------------- bernomor= 12

Page 111: Arisanti chandradewi

92

g 1 ------------- bernomor= 13

gis 1 ------------- bernomor= 14

a 1 ------------- bernomor = 15

ais 1 ------------- bernomor= 16

b 1 ------------- bernomor= 17

Angklung yang bernada dan bernomor :

Dari angklung nomor 18 sampai 29 disebut OKTAF BERGARIS DUA

c 2 ------------- Bernomor = 18

cis 2 ------------- Bernomor = 19

d 2 ------------- Bernomor = 20

dis 2 ------------- Bernomor = 21

e 2 ------------- Bernomor = 22

f 2 ------------- Bernomor = 23

fis 2 ------------- Bernomor = 24

g 2 ------------- Bernomor = 25

gis 2 ------------- Bernomor = 26

a 2 ------------- Bernomor = 27

ais 2 ------------- Bernomor = 28

b 2 ------------- Bernomor = 29

c 2 ----------- Bernomor = 30 lihat pada garis balok kunci G.

2) . Angklung Pengiring Besar (Akompanyemen)

Terdiri dari 24 buah angklung pengiring besar (Akompanyemen) yaitu :

- 12 buah Akompanyemen Mayor :

Page 112: Arisanti chandradewi

93

A 7 , Bes 7 , B 7 , C 7 , Cis 7 , D 7 , Es 7 , E 7 , F 7 , Fis 7 , G 7 , AS 7

- 12 buah Akompanyemen Minor :

Am, Besm, Bm, Cm, Cism, Dm, Esm, Em, Fm, Fism, Gm, Asm

Angklung Pengiring Kecil (Ko-Akompanyemen)

Terdiri dari 24 buah angklung pengiring kecil (Ko-Akompanyemen):

- 12 buah Akompanyemen Mayor :

A 7 , Bes 7 , B 7 , C 7 , Cis 7 , D 7 , Es 7 , E 7 , F 7 , Fis 7 , G 7 , AS 7

- 12 buah Aakompanyemen Minor :

Am, Besm, Bm, Cm, Cism, Dm, Esm, Em, Fm, Fism, Gm, Asm

Namun range nadanya satu oktaf lebih tinggi dari angklung pengiring besar

dan fungsinya sebagai penguat bagi lagu-lagu yang berirama keroncong, Chacha,

Bequine, Mars atau lagu-lagu yang berirama Amerika Latin lainnya.

Di samping keunikannya, alat musik angklung mempunyai kelemahan

yang bersifat alami. Beberapa kelemahan alat musik angklung:

1) Elastisitas bambu (bersifat mengkerut dan mengembang)

Pengaruh cuaca atau iklim setempat dapat menyebabkan perubahan

nada yang telah terbentuk pada angklung. Nada yang bersangkutan dapat

menjadi lebih tinggi apabila bambu itu mengkerut, atau menjadi lebih rendah

apabila bambu mengembang.

Page 113: Arisanti chandradewi

94

Besar kecilnya elastisitas (kelenturan) bambu tergantung kepada

kepadatan bambu yang bersangkutan. Apabila bambu itu kurang padat, maka

elastisitasnya akan menjadi lebih besar sehingga mudah sekali berubah karena

pengaruh iklim. Namun jika bambu itu cukup padat, maka elastisitasnya akan

sangat kecil sehingga perubahan nadanya akan hampir tidak kelihatan. Yang

terakhir inilah yang terbaik dijadikan angklung. Kelemahan elastisitas ini

masih dapat ditolong, yaitu dengan melakukan penyeteman (penalaan)

kembali.

2) Bambu menjadi retak/pecah (karena pengaruh iklim yang drastis)

Daya tahan bambu sangat berbeda dengan daya tahan logam terhadap

iklim yang drastis atau terhadap suhu yang sangat panas serta udara yang

sangat dingin. Pada suhu yang sangat panas bambu akan mudah retak atau

bahkan pecah. Ini akan mengakibatkan nada yang telah terbentuk menjadi rusak

dan tidak akan tertolong lagi, kecuali harus diganti dengan yang baru.

3) Bambu menjadi hancur (karena dimakan bubuk atau rayap)

Dengan adanya binatang bubuk atau rayap, maka kadang-kadang

bambu yang dibuat menjadi angklung pun dimakannya. Dari pengalaman dapat

diketahui bahwa binatang bubuk sangat menyenangi bambu yang empuk atau

kurang padat. Angklung yang dimakan bubuk pun nadanya akan menjadi rusak

dan harus diganti baru.

Page 114: Arisanti chandradewi

95

2.1.9. Angklung dan Psikologi

Alat musik yang terbuat dari rumpun bambu seperti arumba, calung, alat

musik dari bambu di daerah bali dan angklung memiliki kekhasan dalam warna

musiknya, rumpun bambu dapat membuat seseorang merasa tenang, damai, senang,

dan bersemangat, tergantung dari mode lagu yang sedang dimainkan (penelitian

Djohan mengenai alat musik tradisional dari bali yang berbahan dasar bambu,

unpublished, 2007). Angklung merupakan alat musik tradisional yang memiliki

filosofi dasar kesenangan, bersemangat dan kebersamaan. Angklung memiliki suara

yang riang serta warna suara yang seragam (Budi Supardiman, Ir., dalam website

Keluarga Paduan Angklung SMUN 3 Bandung, tahun penerbitan tidak diketahui).

Tekstur angklung sendiri kental dan hangat ini sesuai dengan karakteristik dari

tanaman bambu (Iwan Pirous, 2007). Angklung dapat memainkan semua jenis musik,

hal ini dapat membuat orang-orang yang memainkan maupun yang hanya

mendengarkan saja merasa senang, nyaman, bersemangat atau dapat pula bersedih

karena mengenang kejadian-kejadian di masa lalu yang memiliki keterkaitan dengan

jenis lagu yang dimainkan dengan menggunakan alat musik angklung. Untuk

memainkan alat musik angklung pada dasarnya dapat dimainkan secara individual

maupun secara bersama-sama, namun untuk menghasilkan paduan harmonisasi nada-

nada yang indah dibutuhkan banyak orang. Biasanya satu orang memegang satu

angklung, tapi bisa juga satu orang memegang dua angklung sekaligus asalkan nada-

nada yang dimainkan tidak muncul secara berurutan. Memainkan angklung secara

bersama-sama mendidik para pemain untuk dapat saling pengertian dan menjalin

Page 115: Arisanti chandradewi

96

komunikasi yang baik sehingga dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi serta

tumbuh rasa saling menghormati, saling menghargai, kekeluargaan, keeratan, dan

kekerabatan antar sesama pemain. Mereka akan secara bersama-sama merasakan

kegembiraan saat berlatih dan memainkan angklung. (Obby A. Wiramihardja, 1989).

2.2. Kerangka Pemikiran

Usia lanjut adalah periode penutup dalam rentang kehidupan seseorang, yaitu

suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih

menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat (Hurlock, 1980). Masa

usia lanjut tidak dapat dihindarkan dan merupakan suatu hukum alam. Masa lanjut

usia juga merupakan masa penurunan baik secara fisik maupun psikologis, hal ini

seringkali memunculkan pemikiran bahwa masa lanjut usia adalah masa yang

‘menakutkan’. Masa lanjut usia juga rentan terhadap perasaan kesepian (loneliness),

akibat ditinggalkan oleh pasangan hidup (meninggal), ditinggalkan oleh anak-

anaknya yang menikah dan sibuk dengan pekerjaan dan keluarganya, serta sahabat-

sahabat yang meninggal. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu persiapan diri untuk

menghadapi masa lanjut usia.

Secara naluri setiap manusia memiliki harapan dan keinginan untuk disayangi

dan diperhatikan oleh orang lain terutama oleh keluarganya, mulai dari masa prenatal

hingga masa usia lanjut dan pada akhirnya meninggal dunia. Namun pada

kenyataannya, seringkali di masa usia lanjut harapan tersebut tidak terpenuhi. Kondisi

yang terjadi saat ini, dimana anggota keluarga lainnya memiliki kesibukan tersendiri

Page 116: Arisanti chandradewi

97

terutama berkaitan dengan pekerjaan membuat mereka tidak mampu merawat dan

menjaga anggota keluarga mereka yang sudah lanjut usia. Ketidakmampuan untuk

merawat anggota keluarga terutama orang tua yang sudah lanjut usia membuat

mereka lebih memilih untuk menitipkan para lansia ke panti werdha dengan tujuan

agar para lansia tersebut ada yang merawat, memperhatikan, menjaga, menemani dan

membantu dalam memenuhi segala kebutuhan para lansia tersebut. Akan tetapi,

kondisi ini justru memunculkan penghayatan tersendiri yang menjadi suatu masalah

baru bagi para lansia tersebut terutama yang masuk ke panti bukan karena keinginan

sendiri, yaitu munculnya penghayatan akan perasaan terbuang, dijauhkan, dipisahkan,

terasing, kesalahpahaman, dan rasa nyeri terutama terhadap keluarganya. Selain itu,

para lansia yang tinggal di panti juga sering menghayati perasaan kesepian

dikarenakan mereka dibayangi oleh penyakit yang mereka derita, kematian, tragedi,

krisis, serta ketiadaan sejumlah relasi khusus yang mereka butuhkan atau harapkan.

Mereka seringkali memunculkan perilaku melamun, menyendiri, menangis, marah-

marah dengan penghuni lainnya dan tidak mau berbicara dengan penghuni lainnya di

panti.

Pada kenyataannya, tidak tertutup kemungkinan bahwa kondisi yang terjadi

pada lansia yang masuk panti secara nonsukarela juga terjadi pada para lansia yang

secara sukarela masuk ke dalam panti, seringkali mereka juga merasa terasing,

kesepian, tidak memiliki teman, dimusuhi, dan terabaikan keberadaannya. Meskipun

mereka berusaha untuk bersikap pasrah dengan kondisinya saat ini di panti dan

berusaha untuk tetap bersosialisasi dengan teman-teman sesama penghuni di panti,

Page 117: Arisanti chandradewi

98

tapi perasaan loneliness masih sering sekali mereka rasakan. (Hasil wawancara dan

observasi peneliti terhadap para penghuni di empat panti kotamadya Bandung, 2006).

Lansia yang mengalami loneliness seringkali memiliki suasana hati (mood)

yang kurang baik bahkan cenderung menurun, kemudian kemampuan sosialisasi dan

komunikasi yang rendah serta menampilkan perilaku yang negatif seperti melamun

dan murung. (Peplau & Perlman, 1982). Pada dasarnya mereka yang mengalami

penghayatan loneliness memerlukan adanya suatu kedekatan dengan orang lain, hal

inilah yang seringkali tidak terpenuhi pada para lansia yang tinggal di panti werdha.

Mereka membutuhkan kebersamaan dengan orang lain untuk mengatasi perasaan

kesepian (loneliness). Beberapa cara penanganan berupa terapi telah diberikan agar

perasaan kesepian dari para penghuni panti dapat teratasi seperti memelihara

binatang, keterampilan tangan, berkebun, aktivitas keagamaan dan melalui media

musik.

Musik telah diyakini mampu menjadi salah satu media dalam metoda

penyembuhan tambahan terhadap beberapa penyakit fisik maupun psikologis. Djohan

(2003) mencatat bahwa dengan bantuan alat musik, klien juga didorong untuk

berinteraksi, berimprovisasi, mendengarkan, atau aktif bermain musik. Tanpa harus

mengucapkan kata-kata, misalnya klien dapat mengekspresikan kemarahannya

dengan berimprovisasi di alat musik. Oleh karena itu, berkembanglah suatu terapi

musik untuk membantu proses penyembuhan suatu penyakit atau masalah psikologis

lainnya.

Page 118: Arisanti chandradewi

99

Benenzon (1997) mengemukakan, kesesuaian terapi musik sangat ditentukan

oleh nilai-nilai individual, falsafah yang dianut, pendidikan, tatanan klinis, dan latar

belakang budaya. Namun semua terapi musik mempunyai tujuan yang sama yaitu

membantu mengekspresikan perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi

pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi, meningkatkan memori,

serta menyediakan kesempatan yang unik untuk berinteraksi dan membangun

kedekatan emosional. Dengan demikian, terapi musik juga diharapkan dapat

mengatasi stress, mencegah penyakit dan meringankan rasa sakit.

Peran musik dalam terapi musik tentunya bukan seperti obat yang dapat dengan

segera menghilangkan rasa sakit. Musik juga tidak dengan segera mengatasi sumber

penyakit. Musik sendiri diyakini mampu mempengaruhi suasana hati orang-orang

yang mendengarkannya. Menurut Aristoteles, musik memiliki kemampuan untuk

mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa

patriotisme. Sebagai alat terapi kesehatan, musik ketika didengarkan mengantarkan

gelombang listrik yang ada di otak pendengar, sehingga memberikan efek secara

fisiologis terutama pada perubahan ritme denyut jantung dan tekanan darah sesuai

dengan frekuensi, tempo dan volumenya (Wikipedia, 2005). Mendengarkan musik

secara psikologis dapat memberikan efek seperti membuat seseorang merasa nyaman,

bahagia, segar, serta tenang, dan dengan bermain musik seseorang tersebut juga akan

merasakan suatu kesenangan, meningkatkan kemampuan sosialisasi dan komunikasi

terutama bila dilakukan secara bersama-sama (berkelompok) (Djohan, 2006).

Page 119: Arisanti chandradewi

100

Menurut pernyataan dr. Teddy Sp.Kj. dalam Pikiran Rakyat (2004), bahwa

banyak hal yang dapat diperoleh dari terapi musik yaitu meningkatkan keterampilan

berkomunikasi, mengurangi perilaku yang tidak selaras, memperbaiki prestasi

akademik, memperbaiki gerakan psikomotorik, menambah perhatian, meningkatkan

konsentrasi, memperbaiki hubungan interpersonal, pengelolaan emosi dan

mengurangi stres. Untuk mereka yang mengidap penyakit di stadium terminal (akhir),

seperti kanker terapi musik bersifat paliatif yang bertujuan untuk mengurangi rasa

nyeri, pengekpresian perasaan, meningkatkan rasa percaya diri, mengurangi

kecemasan dan stres, mengurangi rasa takut, peningkatan kemandirian, dan lebih

mampu dalam berkomunikasi. Selaras dengan hal tersebut, diharapkan semua orang

yang mendengarkan musik terkhusus para lansia yang mengalami perasaan kesepian

dengan menampilkan perilaku simptom perasaan kesepian dapat berkurang dengan

ditandai adanya perubahan suasana hati, kemampuan sosialisasi dan komunikasi yang

meningkat menjadi lebih baik, serta perilaku yang positif seperti menampilkan

ekspresi wajah yang ceria disertai senyuman, merasa senang dan bahagia.

Terapi musik yang sudah berjalan sampai saat ini seringkali hanya

menggunakan alat musik dari luar negeri dan membuat alat musik tradisional

terabaikan, padahal seluruh alat musik selama memiliki unsur-unsur musik dapat

digunakan sebagai alat dalam terapi musik (Djohan, dalam Seminar Terapi Musik;

unpublished, 2007). Pernyataan tersebut memperkuat asumsi peneliti yang sudah

dikemukakan di latar belakang masalah, bahwa semua jenis alat musik baik

tradisional maupun internasional dapat digunakan sebagai salah satu bentuk kajian

Page 120: Arisanti chandradewi

101

terapi musik, tentu saja penggunaannya disesuaikan dengan kasus yang dihadapi.

Angklung sebagai alat musik tradisional memiliki unsur-unsur yang terkandung

dalam musik, oleh karena itu memenuhi syarat bila dijadikan salah satu bentuk kajian

dari terapi musik dalam bentuk suatu intervensi tersendiri dalam menangani kasus-

kasus psikologis. Angklung sendiri memiliki warna suara yang khas yaitu riang (Budi

Supardiman, Ir., dalam website Keluarga Paduan Angklung SMUN 3 Bandung, tahun

penerbitan tidak diketahui), tekstur yang kental dan hangat (Iwan Pirous, 2007)

sehingga membuat orang yang memainkan alat musik angklung merasa senang dan

bersemangat. Angklung yang dimainkan memiliki harmonisasi nada dan warna suara

yang bersifat seragam (Budi Supardiman, Ir., dalam website Keluarga Paduan

Angklung SMUN 3 Bandung, tahun penerbitan tidak diketahui) ini selaras dengan

motto angklung yang menyatakan bahwa angklung sebagai alat musik yang bersifat

massal, dengan kata lain angklung memiliki unsur kebersamaan yang bila digunakan

dalam penelitian ini dimana berkaitan dengan penghayatan perasaan kesepian para

lansia yang pada dasarnya memerlukan kondisi kebersamaan dan kegembiraan

dirasakan tepat untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan tersebut. Pada saat

bermain alat musik angklung terdapat pula unsur-unsur lainnya yang distimulasi

seperti konsentrasi, memori, serta gerak fisik/tubuh terutama anggota tubuh

pergerakan bagian atas yaitu bahu, lengan dan tangan.

Selain jenis alat musik yang digunakan dalam terapi musik, jenis musik dan

nada dasar yang dimainkan yaitu berupa mode mayor dan minor dapat mempengaruhi

tujuan dari penelitian yang dilaksanakan. Mode mayor mengekspresikan emosi-emosi

Page 121: Arisanti chandradewi

102

yang bermuatan positif seperti bahagia, senang, percaya diri, dan cinta. Sedangkan

mode minor dapat mengekspresikan emosi-emosi yang negatif seperti duka, sedih,

dan takut (Cooke, 1959 dalam Caroline M. D. Nugroho, 2003). Pemberian intervensi

terapi musik berupa bermain alat musik angklung secara bersama-sama dengan

memainkan lagu-lagu yang memiliki mode mayor diharapkan dapat membantu

meningkatkan suasana hati para lansia dimana mereka merasa lebih senang dan

bahagia serta diharapkan kemampuan komunikasi dan sosialisasi mereka meningkat

sehingga perasaan kesepian yang dirasakan diharapkan dapat menurun. Terapi

dengan memainkan alat musik angklung secara bersama-sama diharapkan dapat

memberikan pengaruh dalam mengatasi perasaan kesepian terkhusus bagi para lansia,

hal ini dikarenakan angklung memiliki timbre yang riang, ringan untuk didengar,

seragam (Budi Supardiman, Ir., KPA3 website, tidak tercantum tahun penerbitan) dan

hangat serta kental sesuai dengan karakteristik tanaman bambu (Iwan Pirous

blogwebsite, 2007), didalam bermain alat musik angklung juga terdapat kegiatan

yang unsur utamanya adalah kebersamaan dan kesenangan (pleasure), disamping itu

mengingat filosofi yang terkandung dalam angklung dan juga motto yang dari

angklung sendiri juga cukup menunjang dalam suatu metode terapi musik.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema kerangka pemikiran pada

halaman berikutnya :

Page 122: Arisanti chandradewi

103

Penghayatan perasaan kesepian (loneliness) para lansia tinggi. ditandai dengan: - Suasana hati (-) - Sosialisasi (-) - Komunikasi (-) - Perilaku (-)

seperti murung & melamun

2.1. Skema kerangka pemikiran

Lansia tinggal di panti werdha dengan lack antara harapan dengan kenyataan dalam hubungan sosial, kunjungan keluarga tidak teratur dan memiliki kualitas relasi sosial yang rendah.

Lansia dengan berbagai permasalahan keterbatasan fisik dan masalah psikologis

Intervensi Terapi Musik Angklung

• memainkan lagu bernada dasar mayor

• dimainkan secara bersama-sama

Fenomena : Lansia merasa tersisihkan dan terabaikan

Penurunan penghayatan perasaan kesepian (loneliness) para lansia. ditandai dengan : - Suasana hati (+) - Sosialisasi (+) - Komunikasi (+) - Perilaku (+)

seperti senang & bahagia

Page 123: Arisanti chandradewi

104

2.3. Premis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dalam penelitian ini

dikemukakan sejumlah premis sebagai berikut:

1). Dalam rangka mengatasi permasalahan fisik dan psikologis para lansia yang

tinggal di panti diperlukan asessment kebutuhan dan permasalahan para lansia

terlebih dahulu agar penanganannya dapat lebih efektif dan efisien, disamping

penanganan secara terpadu dari pihak medis (dokter dan perawat), pengurus panti,

lansia yang tinggal di panti dan keluarga (Karina Dwiyani, 2000).

2). Musik dapat menimbulkan emosi, dalam istilah terapi aktivitas ini dikatakan

sebagainya aktifnya kognisi dan perasaan. Musik dapat pula meningkatkan

intensitas emosi dan akan mempengaruhi suasana hati (mood). Secara umum,

musik dapat menjadi salah satu bentuk terapi baik untuk preventif maupun kuratif

untuk mengatasi masalah-masalah psikologis. (Djohan, 2003).

3). Alat musik angklung yang memiliki unsur kebersamaan dan warna suara yang

ringan dapat menimbulkan perasaan nyaman, antusias, semangat, dan

kegembiraan. (Iwan Pirous, 2007).

Page 124: Arisanti chandradewi

105

2.4. Hipotesis

Berdasarkan kerangka penelitian dan premis di atas, dikemukakan hipotesis

yaitu:

Ho = Pemberian terapi musik angklung dengan cara memainkannya secara

berkelompok untuk lagu-lagu bermode mayor tidak memberikan efek

untuk peningkatan suasana hati (mood), kemampuan sosialisasi,

kemampuan komunikasi, serta perilaku positif seperti ekspresi senang

sehingga tidak memiliki peranan dalam menurunkan perasaan loneliness

yang dirasakan oleh para lansia yang tinggal di panti werdha.

H1 = Pemberian terapi musik angklung dengan cara memainkannya secara

berkelompok untuk lagu-lagu bermode mayor dapat memberikan efek

positif berupa peningkatan suasana hati (mood), kemampuan sosialisasi,

kemampuan komunikasi serta perilaku positif seperti ekspresi senang

sehingga berperan untuk menurunkan perasaan loneliness yang

dirasakan. para lansia yang tinggal di panti werdha.

Page 125: Arisanti chandradewi

106

BAB III

METODE DAN SUBYEK PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian terapi musik yang

menggunakan alat musik angklung dengan memainkan lagu-lagu bernada dasar

mayor secara bersama-sama atau berkelompok untuk menurunkan rasa kesepian

(loneliness) yang dialami oleh para lanjut usia yang tinggal di panti werdha.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode true experimental, yaitu

suatu rancangan penelitian dimana peneliti dengan sengaja memberikan treatment

atau perlakuan terhadap subjek dengan mengadakan pengamatan secara seksama

terhadap reaksi-reaksi subjek dengan mengontrol extraneous variable secara ketat.

Peneliti berusaha menentukan hubungan antara treatment dengan reaksi-reaksi

tersebut. Rancangan ini digunakan untuk melihat pengaruh dari suatu pemberian

perlakuan (treatment) terhadap permasalahan.

Dalam true experiment, kontrol yang dilakukan sangat ketat sehingga error

variance dapat ditekan seminimal mungkin. Terdapat suatu independent variable (IV)

dan juga dependent variable (DV), sehingga dapat dlihat pengaruhnya dari

independent variable terhadap dependent variable. Sebagai suatu desain penelitian

true experiment, extraneous variables harus diperhitungkan dan diantisipasi dengan

menggunakan prosedur penelitian tertentu, pengontrolan terhadap pemilihan karakter

subjek penelitian, penentuan waktu, tempat pengukuran, dan sebagainya. Jadi,

Page 126: Arisanti chandradewi

107

penelitian ini menguji apakah suatu rancangan intervensi mencapai tujuan yang

diharapkan, dengan sejauh mungkin mengontrol hal-hal yang mungkin dikendalikan.

3.1.1. Skema Penelitian

Pada penelitian ini akan menggunakan rancangan Before After two group

design (Eny Suwarni. dkk, Psikologi Umum & Eksperimen Unisba, 1999).

Rancangan ini diberikan pada dua kelompok yang pada awal penelititan diberikan

pre-test atau baseline measure, bila hasil sama mengindikasikan bahwa kedua

kelompok sama dan pengukuran post-test bisa dilakukan. Selanjutnya partisipan

kelompok eksperimen (EG) diberikan treatment, dan kemudian kedua kelompok

kembali diberikan pengukuran akhir (post-test atau outcomes measure). Setelah itu,

dilakukan uji beda antara hasil yang diperoleh dari pre-test dan post-test.

Rancangan penelitian yang digunakan dapat digambarkan dalam skema

berikut :

Group Pre-test Treatment Post-test

EG W1 X Y1

CG W2 - Y2

Bagan 3.1. Skema Penelitian

Page 127: Arisanti chandradewi

108

Keterangan :

W1 : Pre-Test. Pengukuran tingkat Loneliness subjek penelitian sebelum perlakuan (treatment) berupa terapi angklung diberikan.

X : Perlakuan (treatment). Pelaksanaan terapi angklung pada subjek penelitian.

Y1 : Post-Test. Pengukuran tingkat Loneliness subjek penelitian setelah perlakuan (treatment) berupa terapi angklung diberikan.

W2 : Pre-Test. Pengukuran tingkat Loneliness subjek penelitian sebelum perlakuan (treatment) berupa terapi angklung diberikan.

- : Tidak ada perlakuan (treatment).

Y2 : Post-Test. Pengukuran tingkat Loneliness subjek penelitian setelah perlakuan (treatment) berupa terapi angklung diberikan.

3.1.2. Variabel Penelitian

3.1.2.1. Independent Variable (IV)

Independent variable dalam penelitian ini adalah terapi musik angklung, yaitu

memainkan alat musik angklung (bermain secara kelompok yang mempergunakan

alat musik angklung) dengan lagu-lagu yang bernada dasar mayor sebagai bagian dari

kajian terapi musik.

Definisi Konseptual :

Terapi musik adalah penggunaan musik dan elemen musik (suara, irama,

melodi, dan harmoni) terhadap klien atau kelompok dalam proses membangun

komunikasi, meningkatkan relasi interpersonal, belajar, meningkatkan mobilitas,

mengungkapkan ekspresi, menata diri atau untuk mencapai berbagai tujuan terapi

Page 128: Arisanti chandradewi

109

lainnya. Proses ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosi mental, sosial

maupun kognitif, dalam rangka upaya pencegahan, rehabilitasi, atau pemberian

perlakuan. Terapi musik bertujuan mengembangkan potensi dan memperbaiki fungsi

individu, baik melalui penataan diri sendiri maupun dalam relasinya dengan orang

lain, agar ia dapat mencapai keberhasilan dan kualitas hidup yang lebih baik.

(WMFT, 1996).

Definisi Operasional :

Suatu rangkaian intervensi yang menggunakan media utama berupa musik

dan aktivitas musik, yang didalamnya terdapat beberapa fase dimulai dari

mendengarkan alunan musik dan memainkan alat musik, dalam hal ini ditekankan

pada memainkan alat musik angklung secara bersama-sama atau berkelompok untuk

mengatasi permasalahan pada aspek psikologis. Subyek akan memainkan alunan

musik (lagu) bernada dasar mayor secara berkelompok dengan menggunakan alat

musik angklung, agar terdapat perubahan sikap dan perilaku partisipan sebagai

bentuk penurunan perasaan kesepian (loneliness) yang dirasakan para lansia.

3.1.2.2. Dependent Variabel (DV)

Dependent Variable dalam penelitian ini adalah perasaan kesepian

(loneliness) yang dirasakan oleh para lanjut usia terutama yang tinggal di panti

werdha.

Page 129: Arisanti chandradewi

110

Definisi Konseptual

”Loneliness berdasarkan pendekatan eksistensial, yang salah satunya yaitu kesepian

dalam hidup yang rapuh (loneliness of a broken life) ditandai kehidupan yang

dibayangi oleh penolakan, pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri,

penyakit, kematian, tragedi, dan krisis yang biasanya tidak hanya mempengaruhi

kesadaran seseorang akan keberadaannya, tetapi juga dunia yang dihuninya,

hubungannya dengan orang lain dan pekerjaannya” (Moustakas, 1961 dalam Turnip,

1997).

Definisi Operasional

Perasaan yang dialami dan dihayati disertai dengan perilaku yang ditampilkan

berdasarkan hasil observasi dan interviu oleh lansia yang tinggal di panti saat sedang

merasa kesepian yang merupakan respon atas munculnya bayang-bayang rasa

penolakan, pembuangan, pengasingan, kesalahpahaman, rasa nyeri, penyakit,

kematian , tragedi, krisis serta ketiadaan sejumlah relasi khusus yang dibutuhkan dan

diharapkan. Tingkah laku yang dimunculkan adalah melamun, murung, menyendiri,

tidak berbaur dengan penghuni lainnya, suasana hati (mood) yang negatif seperti

perasaan sedih, perasaan hampa, perasaan terisolasi serta perasaan terbuang oleh

keluarga maupun lingkungannya baik di dalam panti maupun di luar panti, kemudian

kemampuan sosialisasi dan komunikasi yang negatif atau rendah. Perasaan ini

bersifat subyektif, yaitu kadar perasaan kesepian dirasakan dan dihayati berbeda dari

diri masing-masing lansia yang tinggal di panti werdha.

Page 130: Arisanti chandradewi

111

3.2. Subjek Penelitian

3.2.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah para lansia yang tinggal di tiga panti werdha

kotamadya Bandung. Para lansia tersebut mengalami dan menghayati adanya

perasaan kesepian (loneliness) yang tinggi. Untuk menjaring sampel dari populasi

penelitian dilakukan dengan menentukan karakteristik sampel untuk mengontrol

secara ketat extraneous variable dan dengan menggunakan alat ukur UCLA

Loneliness scale V.3 (Daniel Russell, 1996). Pemilihan sampel penelitian

menggunakan karakteristik sampel untuk mengurangi kemungkinan error atau bias,

lebih jelasnya mengenai karakteristik sample dibahas dalam sub judul subjek

peneilitan.

3.2.2. Subjek Penelitian

Para lansia yang menjadi subjek penelitian telah dijaring melalui karakteristik

sampel dan dengan menggunakan UCLA loneliness scale dengan taraf diatas batas

rata-rata untuk standar lansia akan menjadi subjek penelitian, yang kemudian akan

dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol (CG) dan kelompok

eksperimen (EG). Kelompok eksperimen inilah yang akan menerima treatment dan

diharapkan akan membantu para lansia dalam mengatasi perasaan kesepiannya

(loneliness).

Sejalan dengan tujuan penelitian ini yaitu melihat peranan alunan musik angklung

yang dimainkan secara bersama-sama untuk menurunkan perasaan kesepian yang

Page 131: Arisanti chandradewi

112

dialami para lansia di panti, maka dari itu karakteristik sampelnya adalah sebagai

berikut :

1. Orang yang berusia 60 tahun keatas (kriteria lansia yang ditentukan PBB).

2. Tinggal di Panti Werdha (lokasi penelitian) minimal 1 tahun dengan

pertimbangan lansia tersebut sudah mampu menyesuaikan diri dengan

lingkungan panti. Hal ini untuk mengontrol masalah kesepian yang dialami

para lansia murni benar-benar masalah yang dirasakan dan bukan akibat dari

proses penyesuaian dirinya terhadap lingkungan baru.

3. Menampilkan perilaku adanya perasaan kesepian (ditunjukkan dengan data

asesmen kebutuhan dan observasi, ditunjang dengan data hasil pretest atau

pengukuran awal sebelum treatment diberikan). Hal ini berlaku pada semua

penghuni panti werdha karena pada kenyataannya mereka yang masuk secara

sukarela seringkali juga merasa kesepian.

4. Nilai standar UCLA Loneliness Scale dengan total score di atas nilai rata-rata

untuk lansia yaitu 16 (menurut skala interpretasi UCLA Loneliness Scale

Daniel Russell, 1996) .

5. Masih dapat berkomunikasi, dengan pertimbangan agar peneliti dapat

menggali informasi dari lansia yang bersangkutan.

6. Kemampuan mendengar masih baik dan tidak memiliki gangguan

pendengaran. (Dilakukan berdasarkan hasil observasi dan interview pada saat

survey awal penelitian), dengan alasan efek terapi musik dapat dilihat secara

signifikan.

Page 132: Arisanti chandradewi

113

7. Tinggal di panti tanpa anggota keluarga lain, dengan alasan agar lingkungan

panti yang dihadapi sama kondisinya dengan lansia lain yang juga tinggal

sendiri di panti. Ada panti yang menerima lansia beserta dengan anggota

keluarganya yang juga telah lanjut usia.

8. Masih dapat berjalan dan mengurus dirinya sendiri, yang menandakan kondisi

kesehatan masih baik.

9. Kunjungan keluarga kurang teratur, jarang atau tidak pernah. Dengan alasan

bahwa kunjungan keluarga dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan

tingginya perasaan kesepian yang dirasakan oleh para lansia yang tinggal di

panti werdha.

Berdasarkan kriteria sampel dan hasil pengukuran UCLA Loneliness scale

(pretest) diperoleh 30 (tiga puluh) orang lansia dengan tingkat loneliness yang

tinggi (nilai UCLA Loneliness scale 16 > keatas), yang kemudian dibagi menjadi

dua kelompok untuk dibandingkan.

3.3. Alat Ukur

alat ukur yang digunakan adalah Loneliness scale (Version 3) dari UCLA (Daniel

Russell, 1996) yang diadaptasikan sesuai dengan kebutuhan penelitian ini dan subjek

penelitian. Alat ukur ini bersifat tertutup dengan alternatif pilihan yang telah

ditentukan. Dengan demikian output yang dihasilkan akan berupa gambaran keadaan

partisipan mengenai aspek yang diukur.

Page 133: Arisanti chandradewi

114

3.3.1. Proses Adaptasi Alat Ukur Loneliness

Sebelum digunakan, dilakukan adaptasi terhadap alat ukur Loneliness scale

v.3 dari UCLA (Daniel Russell, 1996) terlebih dahulu. Berikut tahapan-tahapan

dalam proses adaptasi alat ukur :

1. Menerjemahkan alat ukur kedalam Bahasa Indonesia.

2. Menerjemahkan ulang alat ukur yang telah dialihbahasakan kedalam Bahasa

Indonesia kedalam Bahasa Inggris.

Tujuan : mengkaji kesesuaian hasil terjemahan dengan alat ukur.

3. Melakukan uji validitas dan reliabilitas alat ukur yang telah diterjemahkan.

3.3.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

Uji coba (try-out) terhadap alat ukur variabel penelitian dilakukan pada 33

orang sampel untuk mengukur validitas dan reliabilitas dari alat ukur yang akan

digunakan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah pernyataan-pernyataan

yang digunakan untuk menjaring data penelitian cukup baik untuk digunakan.

Validitas dan reliabilitas ini diuji dengan menggunakan bantuan Microsoft Excell

dan software SPSS 13 for Windows.

Pengukuran validitas dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah alat

ukur yang digunakan secara keseluruhan memang mengukur apa yang menjadi

tujuan pengukuran. Pada uji coba ini, pengukuran validitas dilakukan dengan

mengkorelasikan masing-masing skor pada Item dengan Total Score. Korelasi

dilakukan dengan memilih menu Analyse/Correlate/Bivariate, sehingga diperoleh

Page 134: Arisanti chandradewi

115

koefisien korelasi Spearman (r). Kategori korelasi diperoleh dengan mengacu

pada kriteria Guilford (1956) sebagai berikut :

Koefisien korelasi < 0,2 : korelasi sangat rendah

Koefisien korelasi 0,2 – 0,39 : korelasi rendah

Koefisien korelasi 0,4 – 0,69 : korelasi cukup

Koefisien korelasi 0,7 – 0,89 : korelasi tinggi

Koefisien korelasi 0,9 – 1,00 : korelasi sangat tinggi

Pengukuran reliabilitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana alat ukur

tersebut dapat diandalkan. Dengan menggunakan software SPSS versi 13,

dilakukan analisis reliabilitas atau reliability analysis dengan memilih menu

Analyse/Scale/Reliability-Analysis, kemudian masukkan data subjek uji coba

untuk semua item sehingga dapat diperoleh koefisien reliabilitas alpha cronbach

(α). Untuk alat ukur UCLA Loneliness Scale V.3 diperoleh α = 0,845. Berdasarkan

kriteria Brown Thompson, dimana α ≥ 0,7 dapat diandalkan dan α < 0,7 kurang

dapat diandalkan, maka alat ukur variabel penelitian ini termasuk dapat

diandalkan.

3.4. Pengukuran

Pengukuran dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pra intervensi dan tahap

pasca intervensi. Pada kedua tahap dilakukan pengukuran dengan menggunakan alat

ukur UCLA Loneliness Scale yang sudah diadaptasikan.

Page 135: Arisanti chandradewi

116

Sebagaimana telah digambarkan pada bagan 3.1. (pada halaman 107), tahap

pertama dilakukan pengukuran untuk melihat keadaan aktual pra intervensi. Variabel

yang diukur adalah keadaan perasaan kesepian (loneliness) pada para lansia penghuni

panti werdha. Setelah Pretest diukur, akan dilakukan proses observasi dan interviu

secara lebih mendalam pada para lansia yang menjadi sample penelitian (EG & CG)

selama tiga (3) hari mulai dari pagi sampai sore. Ini dilakukan sebagai pengumpulan

data secara kualitatif untuk menambah bahasan dalam interpretasi hasil akhir. Pada

pengukuran tahap kedua juga dilakukan pengukuran terhadap variabel yang sama

dengan pengukuran tahap pertama yaitu keadaan perasaan kesepian (loneliness) untuk

melihat keadaannya pasca intervensi.

Secara teknis, pengukuran tahap kedua akan dilakukan minimal satu minggu

setelah perlakuan diberikan. Jeda waktu tersebut ditetapkan atas dasar pertimbangan

waktu proses penghayatan dan proses penyerapan akan informasi baru pada diri

lansia masing-masing dari intervensi yang telah diberikan.

3.5. Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini terbagi kedalam tiga tahapan sebagai berikut :

I. Tahap Persiapan

1. Menentukan ruang lingkup permasalahan dengan cara menjaring berbagai

informasi aktual dari buku dan majalah ilmu pengetahuan.

2. Melakukan studi kepustakaan mengenai tinjauan teoritis permasalahan yang

akan diteliti.

Page 136: Arisanti chandradewi

117

3. Melakukan survey awal berupa asessmen kebutuhan untuk memetakan

permasalahan yang akan diteliti.

4. Menyusun rancangan penelitian sesuai dengan permasalahan yang akan

diteliti.

5. Menyiapkan alat ukur yang akan digunakan sebagai alat ukur untuk menjaring

data.

6. Menyiapkan dan menyusun rancangan pemberian materi terapi berdasarkan

kondisi dan kemampuan subjek penelitian.

Sesuai dengan metode yang digunakan, yaitu learning for elderly, maka

tahapan penyusunan silabus merupakan bagian dari tahap pertama dalam

metode tersebut, yaitu tahap ”perencanaan” sehingga materi yang

disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh para lansia.

Dengan tetap memperhatikan hal-hal yang penting dari learning for elderly,

maka tahapan dalam penyusunan rancangan pemberian materi adalah sebagai

berikut :

1) Menentukan tujuan kegiatan terapi musik angklung.

Tujuan kegiatan terapi musik angklung disusun berdasarkan

assessment kebutuhan yang telah dilakukan pada para lansia yang

tinggal di panti werdha kotamadya Bandung.

2) Memilih aktivitas yang sesuai dengan rancangan kegiatan terapi musik

angklung.

Page 137: Arisanti chandradewi

118

Tahap-tahap dalam menentukan aktivitas :

a) Memberikan gambaran umum mengenai kegiatan terapi musik

angklung.

Tujuan :

- Subjek penelitian memperoleh gambaran mengenai kegiatan

terapi musik angklung yang akan diikuti.

- Menciptakan keinginan untuk mengikuti kegiatan terapi pada

subjek penelitian.

b) Menentukan pola pemberian materi.

Pada tahap ini yang perlu dipersiapkan adalah :

- Menentukan rancangan materi yang akan diberikan

- Menentukan rancangan alokasi waktu.

c) Melakukan kajian ulang rancangan pemberian materi kegiatan

terapi.

Tujuan :

- Menerapkan materi serta alokasi waktu yang akan digunakan

dalam kegiatan terapi.

d) Membuat run-down acara kegiatan terapi.

Tujuan :

- Memiliki panduan tertulis dalam menjalankan kegiatan terapi

sehingga tidak ada waktu serta logistik yang terlewat.

Page 138: Arisanti chandradewi

119

e) Memperbanyak run-down kegiatan terapi.

Tujuan :

- Pelatih, fasilitator dan co-fasilitator memiliki panduan yang

sama untuk menjalankan kegiatan terapi.

b. Menyusun format ”Observasi Penilaian Tingkah Laku dan Interview

selama mengikuti intervensi” untuk digunakan dalam kegiatan terapi

musik angklung (terlampir; lampiran 8 dan 9).

(1) Pelatihan Co-Fasilitator

a. Personil.

- Untuk memperoleh hasil pengukuran yang lebih akurat (reliable),

maka dalam penelitian ini dilibatkan co-fasilitator.

- Personil yang terlibat selama kegiatan terapi musik angklung adalah

10 (sepuluh) orang sarjana Psikologi.

- Tugas dari setiap personil adalah : (a.1) terlibat aktif selama kegiatan

terapi musik, dan (a.2) melakukan interview berkaitan dengan

perasaan yang dihayati serta observasi tingkah laku para peserta pada

kondisi pre-, selama intervensi, post- intervensi.

Page 139: Arisanti chandradewi

120

b. Kegiatan Pelatihan Co-Fasilitator

Tujuan : agar co-fasilitator memiliki kesamaan pemahaman mengenai

tujuan dan teknis kegiatan serta cara melakukan proses interview dan

observasi tingkah laku pada para lansia.

Langkah-langkah :

b.1 Memberikan gambaran pada setiap co-fasilitator agar memiliki

kesamaan pemahaman mengenai tujuan dan teknis kegiatan terapi

musik angklung.

b.2 Memberikan silabus kegiatan terapi yang telah disusun kepada para

co-fasilitator.

b.3 Mendiskusikan form ”Interview dan Observasi Penilaian Tingkah

Laku para lansia” agar setiap co-fasilitator memiliki pemahaman yang

sama saat melakukan interview dan observasi terhadap tingkah laku

yang muncul selama kegiatan terapi musik.

II. Tahap Eksperimen, terdiri atas :

(1) Tahap Pre-Treatment

Pre-treatment dilakukan ketika mengambil data awal. Data yang diperoleh

dari ketigapuluh lansia tersebut kemudian menjadi subjek penelitian yang

terbagi menjadi 2 kelompok, 15 (lima belas) orang dalam kelompok

eksperimen (EG) dan 15 (lima belas) orang dalam kelompok kontrol (CG).

Page 140: Arisanti chandradewi

121

(2) Tahap Treatment

- Program kegiatan terapi musik angklung dilakukan selama 6 (enam) hari

pertemuan dengan durasi setiap pertemuan adalah 1,5 jam efektif.

(terlampir; lampiran 6).

- Menyiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam kegiatan terapi musik

angklung (terlampir; lampiran 6).

- Melaksanakan program terapi musik angklung sesuai dengan rancangan

pemberian materi terapi yang telah disusun (terlampir; lampiran 6 dan 7).

(3) Tahap Post-Treatment

Dilakukan pengukuran akhir, dengan rentang waktu satu minggu setelah

kegiatan terapi musik angklung diberikan. Pada kelompok eksperimen (EG)

maupun pada kelompok kontrol (CG) diberikan alat ukur UCLA Loneliness

Scale V.3 seperti yang diberikan pada tahap pre-treatment.

Tujuan : mengukur tingkat Loneliness setelah diberikan treatment.

III. Tahap Akhir

(1) Analisa Statistika

Data-data yang telah diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan Uji

Beda Mann Whitney dan Uji Beda Wilcoxon dengan bantuan software SPSS

versi 13 sehingga akan diperoleh asymp. sig. (2-tailed) yang signifikan bila

nilainya < alpha (α) yang digunakan (0.05).

Page 141: Arisanti chandradewi

122

(2) Pengolahan Data

Dalam pengolahannya, tidak semua data dapat digunakan. Hanya data-data

yang tidak ”error” saja yang dapat digunakan. Yang termasuk kategori data

”error” adalah :

- Tidak mengikuti salah satu bagian dari pengukuran (baik pada saat pre-

treatment, kegiatan terapi musik angklung, maupun post-treatment).

Dari penjelasan tersebut, hanya 12 (dua belas) orang lansia dari kelompok

eksperimen EG yang datanya dapat digunakan dalam penelitian dengan

penjelasan sebagai berikut :

- Satu lansia tidak mengikuti kegiatan terapi angklung karena sakit.

- Satu lansia tidak mengikuti kegiatan terapi angklung karena mengaku

tidak berminat untuk mengikuti kegiatan di luar panti.

- Satu lansia tidak mengikuti kegiatan terapi angklung karena mengaku

tidak mau meninggalkan kamarnya karena banyak yang suka mencuri.

(setelah dilakukan crosscheck dengan petugas panti dan observasi interviu

selama proses pra intervensi, dikatakan bahwa subjek memiliki gangguan

paranoid).

Oleh sebab itu, data yang diolah dan digunakan untuk pembahasan adalah

yang berasal dari 12 orang lansia kelompok EG dan 15 orang lansia kelompok

CG.

Page 142: Arisanti chandradewi

123

3.5.1. Lokasi Kegiatan Penelitian

Penelitian dilakukan dilakukan di tiga panti werdha kotamadya Bandung

untuk Pre dan Post Test, yaitu :

1. Panti Werdha Senjarawi Jl. Jeruk no. 7 Bandung

2. Panti Werdha Budi Pertiwi Jl. Sancang No. 2 Burangrang Bandung

3. Panti Werdha Asuhan Bunda Jl. Pak Gatot I No. 20 KPAD Gegerkalong

Bandung 40153

sedangkan kegiatan terapi musik angklung dilakukan di gedung Graha Lansia (LLI)

Pemprov Jawa Barat Jln. Ternate no 2 Bandung.

3.6. Rancangan Penelitian

3.6.1. Rancangan Kegiatan

Tabel 3.1 Rancangan Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Tujuan Materi & Pelaksana

1. Membina good

rapport

Membangun hubungan

baik dan kepercayaan

antara peneliti dan para

fasilitator dengan para

lansia.

- Peneliti beserta para

fasilitator memperkenalkan

diri.

- Menjelaskan pelaksanaan

kegiatan pengambilan data

awal (pretest) dikaitkan

dengan latar belakang

dilakukannya intervensi

sebagai penelitian.

2. Kontrak. Menjalin kesepakatan

tentang proses penelitian

Menjelaskan lebih terperinci

mengenai proses dan

Page 143: Arisanti chandradewi

124

yang akan dilakukan. kegiatan yang akan

dilakukan.

3. Pretest.

( + 1 minggu

sebelum intervensi

diberikan)

Pengambilan data

mengenai kondisi awal

tingkat loneliness para

lansia.

Peneliti dan para fasilitator

mengambil data awal

(pretest) dengan

menggunakan alat ukur

UCLA Loneliness Scale.

4. Observasi &

Interview

(dilakukan 3 hari di

panti)

Pengumpulan data secara

kualitatif

Peneliti dan para fasiltator

mengobservasi para lansia

yang menjadi sampel

penelitian.

5. Intervensi.

(dilakukan + 8 kali

pertemuan dengan

durasi 1-1,5 jam

untuk setiap

pertemuan, dengan

pertimbangan

kenyamanan fisik

dan psikis dari para

lansia)

Memberikan terapi musik

angklung dan

mengevaluasi perasaan

dan kesan dari masing-

masing subjek.

− Memperkenalkan, dan

mencoba memainkan alat

musik angklung.

− Evaluasi perasaan para

lansia selama proses

intervensi berlangsung.

6. Posttest.

( + 1 minggu

setelah pemberian

intervensi)

Pengambilan data akhir

mengenai loneliness para

lansia.

Peneliti dan para fasilitator

mengambil data akhir

(posttest) dengan

menggunakan alat ukur

UCLA Loneliness Scale.

7. Analisis Data Membandingkan secara

kuantitatif dan kualitatif

- Alat ukur UCLA

Loneliness Scale.

Page 144: Arisanti chandradewi

125

hasil dari pretest dengan

posttest baik secara satu

kelompok (EG) maupun

kelompok lainnya (CG)

untuk melihat bagaimana

pengaruh dari pemberian

intervensi.

- Observasi dan interview

selama proses intervensi

diberikan.

Tabel 3.2 Rancangan Kegiatan Pelaksanaan Pemberian Intervensi / Perlakuan

(Treatment)

No Kegiatan Tujuan Materi

1. Membina good

rapport.

Membangun hubungan

baik dan kepercayaan

antara peneliti, para

fasilitator, dan pelatih

angklung dengan para

lansia.

- Peneliti, para fasilitator, dan

pelatih angklung

memperkenalkan diri.

- Menjelaskan pelaksanaan

kegiatan dikaitkan dengan

latar belakang dilakukannya

intervensi sebagai penelitian

tesis peneliti.

2. Ice Breaking. Mencairkan suasana,

mengakrabkan antar

lansia dari berbagai

tempat yang berbeda

juga dengan terapis.

- Perkenalan masing-masing

peserta.

- Permainan ringan yang dapat

menghangatkan suasana.

3. Penyampaian tujuan

dan manfaat

intervensi.

Memusatkan perhatian

para lansia sehingga

dapat memotivasi

- Menjelaskan tujuan dan

gambaran kegiatan yang

akan dilakukan.

Page 145: Arisanti chandradewi

126

mereka untuk serius

mengikuti proses terapi.

4. Kontrak. Menjalin kesepakatan

tentang proses terapi

yang akan dilakukan.

- Menanyakan kesediaan

responden dari segi tempat

dan waktu untuk terlibat

dalam terapi.

- Menjelaskan lebih terperinci

mengenai proses dan

kegiatan yang akan

dilakukan.

5. Intervensi.

(dilakukan + 6 kali

pertemuan dengan

durasi 1-1,5 jam

untuk setiap

pertemuan, dengan

pertimbangan

kenyamanan fisik

dan psikis dari para

lansia)

- Memberikan terapi

musik angklung dan

menjelaskan manfaat

yang didapat.

- Mengevaluasi

perasaan dan kesan

dari masing-masing

subjek.

- Memberikan pemahaman

bagaimana cara pegang

angklung dan

memainkannya.

- Mencoba pengenalan nada

angklung yang dipegang

masing-masing subjek.

- Memvisualisasikan masing-

masing nada dalam bentuk

tertentu seperti buah-buahan.

- Mencoba dua lagu bernada

mayor yang sangat sederhana

melodinya (tokecang &

cingcangkeling).

- Mendapatkan gambaran

mengenai perubahan yang

terjadi pada diri masing-

masing subjek.

Page 146: Arisanti chandradewi

127

7. Mereview

keseluruhan kegiatan

terapi yang telah

dilakukan.

Mengetahui penilaian

subjek terhadap materi

dan proses terapi.

- Materi yang sudah diberikan.

- Evaluasi kondisi saat ini

setelah pemberian intervensi

dan harapan subjek.

8. Penutup. Mengucapkan terima

kasih atas partisipasi

para lansia dalam

penelitian.

- Ucapan terima kasih.

Pertimbangan pemberian lagu tokecang dan cingcangkeling adalah bahwa

kedua lagu ini merupakan lagu bernada sederhana yang bersifat riang karena

memiliki mode mayor dan hasil dari survey awal para lansia mayoritas mengenal

kedua lagu tersebut sehingga dianggap oleh peneliti cukup mewakili lagu-lagu mode

mayor lainnya untuk dapat dengan mudah untuk diikuti dan dimainkan oleh para

lansia yang merupakan older learner. Pemberian kedua lagu ini telah didiskusikan

dengan pelatih angklung.

3.6.2. Rancangan Waktu, Materi, dan Pemberi Materi Intervensi

Tabel 3.3 Rancangan waktu dan proses pemberian intervensi (terlampir;

lampiran 7)

3.7. Analisa Data

Data hasil pengukuran skala loneliness akan menghasilkan data yang berskala

ordinal. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara kedua kelompok pada

Page 147: Arisanti chandradewi

128

kondisi pre- dan post- intervensi dilakukan perhitungan statistik uji beda Mann

Whitney. Sedangkan perhitungan statistik yang akan digunakan untuk melihat

signifikansi pengaruhnya dari treatment adalah uji beda untuk sampel variabel

independent two group hasil pretest dan posttest dari treatment yang diberikan adalah

uji beda Wilcoxon. Kedua proses perhitungan statistik akan menggunakan software

SPSS 13 for Windows.

Hasil perhitungan statistik ini akan dikolaborasi dengan hasil kualitatif (observasi

dan interviu) selama proses rangkaian kegiatan diberikan, sehingga didapatkan

gambaran perubahan yang lebih detil dari setiap individu yang mengikuti program

terapi musik angklung.

Page 148: Arisanti chandradewi

167

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, Lewis.R. 1995. Aging: An Introduction to Gerontology. California: SAGE

Publications, Inc.

Bassano, Mary. 1992. Penyembuhan Melalui Musik dan Warna. Yogyakarta: Putra

Langit.

Birren, James E., & Schaie, K. W. 1977. Handbook of Psychology of Aging. New

York: Van Nostrand Reinhold Company.

Campbell, D.T., & Stanley, J.C. 1966. Experimental and Quasi-Experimental

Designs For Research. Chicago: Rand Monally College Publishing Company.

Campbell, Don. 2002. Efek Mozart: Memanfaatkan Kekuatan Musik Untuk

Mempertajam Pikiran, Meningkatkan Kreativitas, dan Menyehatkan Tubuh.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Direktorat Bina Kesejahteraan Anak, Keluarga, dan Lanjut Usia. 1986. Petunjuk

Teknis Pelaksanaan Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia/Jompo

Terlantar Melalui Sasana Tresna Wredha. Jakarta: Departemen Sosial RI,

Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial.

Djohan. 2006. Terapi Musik: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Galangpress.

Djohan. 2003. Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik.

Dwiyani, Karina. 2000. Hubungan Antara Pemenuhan Kebutuhan Psikologis dengan

Penyesuaian Diri Pada Lansia di Panti Werdha. Fakultas Psikologi Universitas

Padjadjaran Bandung : Skripsi.

Page 149: Arisanti chandradewi

168

Graziano & Raulin. 2000. Research Methods. United States of America: Allyn and

Bacon.

Hurlock, Elizabeth B. 1990. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan, Edisi kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Juslin, Patrik. N., & Sloboda, J.A. 2001. Music and Emotion: Theory and Research.

New York: Oxford University Press.

Kurnia, Ganjar & Nalan, A.S. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas

P&K Jabar dan Pusat Dinamika Pembangunan UNPAD.

L’Abate, L. 1994. Handbook of Developmental Family Psychology and

Psychopathology. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Maharani, Gita. 2005. Gambaran Kesepian Pada Wanita Lansia Yang Telah

Menjanda Dan Cara Penanggulangannya (Studi kualitatif pada tiga wanita

lansia di Jakarta). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok. : Skipsi.

Masunah, Juju. dkk. 2003. Angklung Di Jawa Barat: Sebuah Perbandingan, Buku 1.

Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Tradisional

(P4ST) UPI.

Mucci, K. & Mucci, R. 2002. The Healing Sound of Music: Manfaat Musik untuk

Kesembuhan, Kesehatan, dan Kebahagiaan Anda. Jakarta: PT. Gramedia

Pustaka Utama.

Norayana, Melly. 2009. Pengaruh Terapi Musik Terhadap Emosi Marah Narapidana

Wanita Kelas 2A Lembaga Permasyarakatan Sukamiskin Bandung. Fakultas

Psikologi Universitas Islam Bandung : Skripsi.

Page 150: Arisanti chandradewi

169

Nugroho, Caroline M. D. 2003. Pengaruh Pemberian Ilustrasi Musik Terhadap

Kemunculan Persepsi Mengenai Jenis Emosi Pada Film Bisu. Fakultas

Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung : Skripsi.

Panjaitan-Sirait, Sondang Aemilia, DR., SpKK. 2006. Efek Musik Pada Tubuh

Manusia. GEMA website: Artikel

Peplau, L.A & Perlman, D. 1982. Loneliness; A Sourcebook Of Current Theory

Research And Therapy. Canada: John Wiley & Sons, Inc.

Perlmutter, m. & Hall, E. 1985. Adult Development and Aging. New York: John

Wiley & Sons, Inc.

Pikiran Rakyat Online. 2007. http: // www.pikiranrakyat.com

Pikunas, J. 1976. An Human Development Emergent Science. Tokyo: McGrawHill.

Pirous, Iwan. 2007. Daeng Soetigna Mencari Keindonesiaannya Melalui Angklung.

from Google Web : Blog : Kamar Iwan Pirous. http://iwan.pirous.com/about.

Russell, D. 1996. The UCLA Loneliness Scale (version 3). Retrieved November 26,

2007 from the Google Web: http: // www.psychology.iastate.edu / ~ccutrona /

uclalone.htm.

Rodney J. Hunter. 1992. Musik sebagai Alat Konseling. Majalah Sahabat Gembala,

edisi Juli: Artikel

Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Jilid 2

edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Setiadarma, Monty P. 2002. Terapi Musik. Jakarta: Milenia Populer.

Page 151: Arisanti chandradewi

170

Suhadi, Iwan. 2005. Pengklasifikasian Perasaan Kesepian (Loneliness) pada

Penderita Psoriasis dan Perbedaan Penyesuaian. Fakultas Psikologi

Universitas Padjadjaran Bandung : Skripsi.

Supardiman, Budi. Tidak diketahui tahun penerbitan. from Google Web :

Arransemen Angklung. Kolom Pengetahuan. Website Keluarga Paduan

Angklung 3. Jove.prohosting.com/angklung/archive/jan/.../pengetahuan.html.

Suwarni, Eny, dkk. 1999. Psikologi Eksperimen: True dan Quasi Eksperimental

Designs, edisi 4. Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung : Kumpulan

Diktat Perkuliahan.

Wiramihardja, Obby A.R. 1989. Angklung Padaeng. Bandung. Makalah seminar

disampaikan pada Seminar Nasional Angklung di ITB, 26 Oktober 1989 (tidak

diterbitkan).

Witriani. 2000. Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Tipe Loneliness pada

Mahasiswa Baru Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran. Fakultas

Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung : Skripsi.