Arif Jurnal Sialolithiasis

34
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sialolithiasis adalah penyakit yang paling umum dari kelenjar ludah. Diperkirakan bahwa hal ini mempengaruhi 12 dari 1000 populasi orang dewasa. Pria lebih banyak dua kali lipat dari perempuan. Anak-anak jarang terkena tetapi dari beberapa literatur mengungkapkan 100 kasus submandibula pada anak usia 3 minggu sampai 15 tahun. Penyakit ini biasanya mempengaruhi pasien usia menengah, dengan rentang usia antara 42 sampai 58,4 tahun. Kelenjar submandibula yang paling sering terlibat diikuti oleh kelenjar parotid, sublingual dan kelenjar ludah minor. Batu intraductal lebih umum dibandingkan dengan batu intraglandular. Kelenjar submandibular adalah yang paling sering terlibat disebabkan karena lokasi anatominya, panjangnya, berliku-liku dengan lubang saluran yang sempit dibandingkan dengan bagian utama dari saluran. Seiring dengan faktor-faktor ini, cairan alkali yang kaya dengan kandungan musin juga berkontribusi terhadap pembentukan batu. 40% dari parotis dan 20% dari batu submandibular tidak menampakkan gambaran radiopak dan mungkin diperlukan sialography untuk menemukan lokasinya. Lokasi 1

description

fgffgfj

Transcript of Arif Jurnal Sialolithiasis

Page 1: Arif Jurnal Sialolithiasis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sialolithiasis adalah penyakit yang paling umum dari kelenjar ludah.

Diperkirakan bahwa hal ini mempengaruhi 12 dari 1000 populasi orang dewasa. Pria

lebih banyak dua kali lipat dari perempuan. Anak-anak jarang terkena tetapi dari

beberapa literatur mengungkapkan 100 kasus submandibula pada anak usia 3 minggu

sampai 15 tahun. Penyakit ini biasanya mempengaruhi pasien usia menengah, dengan

rentang usia antara 42 sampai 58,4 tahun.

Kelenjar submandibula yang paling sering terlibat diikuti oleh kelenjar

parotid, sublingual dan kelenjar ludah minor. Batu intraductal lebih umum

dibandingkan dengan batu intraglandular. Kelenjar submandibular adalah yang paling

sering terlibat disebabkan karena lokasi anatominya, panjangnya, berliku-liku dengan

lubang saluran yang sempit dibandingkan dengan bagian utama dari saluran. Seiring

dengan faktor-faktor ini, cairan alkali yang kaya dengan kandungan musin juga

berkontribusi terhadap pembentukan batu.

40% dari parotis dan 20% dari batu submandibular tidak menampakkan

gambaran radiopak dan mungkin diperlukan sialography untuk menemukan

lokasinya. Lokasi saliva biasanya unilateral dan bukan merupakan penyebab dari

mulut kering. Gambaran klinisnya bulat atau bulat telur, kasar atau halus dan

warnanya kekuningan. Kandungannya terutama terdiri dari kalsium fosfat dengan

sedikit jumlah karbonat dalam bentuk hidroksiapatit, dengan jumlah magnesium,

kalium dan amonia yang lebih sedikit. Kandungan tersebut terdistribusi secara

merata. Batu submandibular 82% anorganik dan 18% bahan organik sedangkan batu

parotis terdiri dari 49% anorganik dan 51% organik. Bahan organik terdiri dari

berbagai karbohidrat dan asam amino. unsur bakteri belum diidentifikasi dari inti

sialolith.

1

Page 2: Arif Jurnal Sialolithiasis

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana mengetahui etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, serta

penatalaksanaan dari sialolithiasis.

1.3 TUJUAN

Untuk mengetahui etiologi, epidemiologi, manifestasi klinis, serta

penatalaksanaan dari sialolithiasis.

1.4 MANFAAT

Adapun manfaat yang didapat adalah menambah wawasan mengenai ilmu

kedokteran pada umumnya, serta ilmu gigi dan mulut khususnya.

2

Page 3: Arif Jurnal Sialolithiasis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ABSTRACK

Sialolithiasis tercatat sebagai penyebab terbanyak dari obstruksi kelenjar

ludah yang mengarah ke pembengkakan yang menyakitkan yang sifatnya berulang

dari kelenjar yang sering memperparah saat makan. Batu mungkin ditemui di salah

satu kelenjar ludah, tetapi paling sering di kelenjar submandibular dan duktusnya.

Laporan kasus ini menyajikan kasus pasien wanita dengan usia 55 tahun yang

memiliki sialolith submandibular. Sialolith telah dihapus dengan Pendekatan intraoral

dan tidak ada komplikasi pasca operasi. Artikel tersebut juga menelaah berbagai

modalitas diagnostik yang tersedia dan pilihan pengobatan.

2.2 CASE REPORT

Seorang pasien berusia 55 tahun perempuan dilaporkan ke OPD gigi, dengan

keluhan nyeri kepala dan bengkak di ekstraoral pada daerah posterior kiri bawah

dalam 6 hari (Gambar-1) Pasien mengeluhkan munculnya pembengkakan di

ekstraoral kiri daerah kelenjar sub-mandibula sudah lebih dari 6 bulan. Bengkak

disertai nyeri dan muncul dengan sendirinya. Tidak ada hubungan terkait dengan

pembengkakan baik intra-oral atau ekstra-oral. Namun, pasien merasakan sulit

menelan karena pembengkakan tersebut. Dia datang ke dokter dan diberikan obat

setelah itu bengkaknya hilang dengan sendirinya. Rincian tentang obat yang

diberikan ke pasien tidak tercantum. Namun 6 hari yang lalu pasien mengalami

bengkak yang disertai nyeri di daerah yang sama. pembengkakan dan nyeri dirasakan

semakin parah pada saat pasien makan ataupun menelan apa pun dan akhirnya

mereda.

Dia juga mengalami sakit parah di daerah submandibular kiri waktu pagi hari.

Riwayat kesehatan pasien dan gigi juga tidak signifikan. Dari pemeriksaan klinis

menunjukkan tidak asimetris pada atas atau bagian tengah dari wajah. Namun

3

Page 4: Arif Jurnal Sialolithiasis

sepertiga dari bagian wajah di daerah mandibula kiri menunjukkan adanya

pembengkakan. Pembengkakan bentuknya kira-kira oval dan memanjang kedepan

sampai rahang bawah di daerah parasymphyseal, posterior sampai sudut mandibula,

batas superior dan inferior daerah kelenjar submanibular tidak melewati garis tengah

(Gambar-1). Daerah submental tampak normal. Kulit di atasnya tampak normal dan

teregang. Pada palpasi, tidak ada peningkatan suhu dari pembengkakan dan

pembengkakan teraba seperti tulang, lembut dan bisa digerakkan. Pembengkakan

tidak melekat pada struktur di bawahnya. Kulit di atasnya tampak tidak terhubung

dengan bagian bawah dari pembengkakan. Tidak ada rasa kesemutan didaerah

tersebut. Batas bawah mandibula tampak utuh. TMJ tidak ada bunyi atau

penyimpangan gerakan, tidak ada mobilitas berlebihan atau pembengkakan yang

berkaitan dengan sendi. Pembukaan mulut tidak ada kelainan. Bagian submandibular

kiri membesar, teraba, dan konsistensinya lembut. Pembukaan duktus Stenson

tampak normal dengan ekspresi saliva normal.

Gambar-1: menunjukkan bengkak extra-oral dibagian kiri dari mandibular

4

Page 5: Arif Jurnal Sialolithiasis

Namun, pembukaan dari duktus wharton’s menampakkan gambaran kering

dengan ekspresi dari saliva sedikit. Palpasi bimanual dari kelenjar submandibula kiri

menunjukkan peningkatan didaerah kelenjar. Dari palpasi kelenjar intraoral teraba

lembut.

Gambar-2 Gambar-3

Gambar-4

Gambar-5

Keterangan Gambar:

Gambar-2: menunjukkan pembukaan duktus wharton dengan tanpa adanya saliva.Gambar-3: Oklusal mandibula menunjukkan sialolith di sisi kiri

5

Page 6: Arif Jurnal Sialolithiasis

Gambar-4: eksisi bedah dengan pendekatan Intra-oralGambar-5: menampilkan potongan sialolith

2.3 DISCUSSION

Sebagian besar kasus dari sialoliths submandibular asimtomatik. Nyeri dan

pembengkakan mungkin menjadi tanda-tanda dan gejala yang lebih jelas pada

antisipasi makanan karena obstruksi dari cairan saliva. Hipotesis mengenai

patogenesis menyarankan bahwa, ada sebuah nodus organik yang semakin tumbuh

oleh pengendapan dari zat anorganik dan organik atau microcalculi intraseluler yang

diekskresikan dalam kanal dan berperan sebagai nodus untuk kalsifikasi lebih lanjut.

Dalam beberapa kasus, adanya plug mukosa berperan sebagai nodus dalam sistem

duktus telah dilaporkan. Kemungkinan debris, bakteri atau zat yang bermigrasi di

saluran saliva terisolasi dirongga juga telah dilaporkan.

Kunci dalam diagnosis sialolithiasis adalah penjelasan dari riwayat secara

menyeluruh dan pemeriksaan klinis. Berbagai metode klinis dan pencitraan tersedia

untuk mendiagnosis sialolith, Skenario dari gejala pasien dengan dokter dapat

menetapkan algoritma dari gambaran kelenjar saliva. Teknik radiografi adalah yang

paling umum digunakan untuk mendiagnosa sialolith. Semua batu saliva tidak dapat

divisualisasikan melalui radiografi konvensional karena beberapa dari batu tersebut

ada yang hypominelarized dan dilapisi jaringan radiodense. Dalam kasus ini

modalitas pencitraan yang canggih harus dipertimbangkan. Pemeriksaan

ultrasonografi (US) dianggap sebagai pemeriksaan sederhana dan modalitas non

invasif untuk mengevaluasi sialoliths terutama selama infeksi akut. Yoshimura Y et

al. menemukan dalam penelitian mereka bahwa tingkat deteksi dari sialoliths dengan

menggunakan ultrasonagraphic lebih tinggi bila dibandingkan dengan sialography.

Pemeriksaan dengan ultrasonografi dianggap kurang akurat dibandingkan dengan

computed tomography (CT) dalam membedakan beberapa batu. Ini juga telah

dilaporkan bahwa sialoliths yang lebih kecil dari 3 mm mungkin tidak terdeteksi

selama pemeriksaan dengan US, karena mereka tidak akan menghasilkan bayangan

yang halus. Digital sialography dan pengurangan sialography telah meningkatkan

sensitivitas dan spesifisitas dari teknik konvensional sialographic yang dianggap

6

Page 7: Arif Jurnal Sialolithiasis

standard. Keuntungan utama dari teknik baru ini adalah menghasilkan suatu gambar

tanpa superimposisi yang berlebihan dari struktur anatomi. Kerugiannya adalah

kebutuhan menggunakan bahan kontras yang mensimulasikan sialography

konvensional. Alat ini dapat mengekspos pasien untuk radiasi bahaya, menyebabkan

rasa sakit selama prosedur pelaksanaan, melubangi dinding saluran dan mungkin akan

menjadi kontraindikasi selama infections akut.

Algoritma untuk pengobatan sialolithiasis tergantung pada lokasi dan ukuran

dari sialolith tersebut. Pasien dengan sialolithiasis dapat mengambil manfaat dari uji

coba dengan manajemen konservatif, terutama jika batunya ukuran kecil. Sementara

sialogogues digunakan untuk mempromosikan produksi air liur dan mengeluarkan

batu dari saluran. Dengan pembengkakan kelenjar dan sialolithiasis, infeksi harus

ditegakkan dan diresepkan antibiotik penisilinase resistance anti – staphylococcal.

Sebagian besar batu akan merespon rejimen tersebut, dikombinasikan dengan

sialolithotomy sederhana ketika dibutuhkan.

Zenk KJ et al. menemukan bahwa pembuangan transoral adalah pengobatan

pilihan untuk sialoliths submandibula yang dapat dilakukan dengan palpasi bimanual

dan dilokalisir oleh ultrasonography. Sialodochoplasty dapat dilakukan untuk

menghilangkan sialoliths submandibula yang yang terletak dekat dengan lubang dari

duktus Warthin. Untuk membuang batu distal ke punctum, sayatan melintang dapat

dibuat pada bagian distal batu untuk tidak melukai saraf lingual. Dalam pengelolaan

sialoliths besar yang terletak di dekat duktus proksimal, extracorporeal shock wave

lithotripsy (ESWL) dapat dipertimbangkan. Endoskopi intracorporeal shock wave

lithotripsy (EISWL) juga semakin penting karena mengurangi kerusakan jaringan

yang berdekatan selama procedure tersebut. Sialadenoscopy, yang merupakan teknik

non invasif dapat digunakan untuk mengelola sialoliths yang besar serta obliterasi

duktus. Laser CO2, karena sifatnya terjadi perdarahan minimal, membersihkan

jaringan parut, penglihatan jelas dan minim komplikasi operasi, adalah keunggulan

dari pengobatan sialolithiasis.

7

Page 8: Arif Jurnal Sialolithiasis

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 DEFINISI

Sialolithiasis merupakan salah satu penyebab terjadinya pembengkakan pada

kelenjar submandibula atau parotis, karena dapat menimbulkan obstruksi pada duktus

kelenjar saliva. Pembentukan batu (calculi) pada sialolithiasis diduga karena

penumpukan bahan degeneratif yang diproduksi oleh kelenjar saliva dan mengalami

proses kalsifikasi hingga terbentuk batu.

Sebagian besar (80% - 90%) sialolithiasis terjadi di duktus submandibula

(warthon’s duct) karena struktur anatomi duktus dan karakteristik kimiawi dari

sekresi kelenjar saliva. Kedua faktor ini mendukung terjadinya proses kalsifikasi pada

duktus submandibula sehingga muncul sialolithiasis.

3.2 EPIDEMIOLOGI

Sialolithiasis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada kelenjar

saliva, diperkirakan terdapat 1,2% dalam populasi. Perbandingan angka kejadian pada

laki-laki dan perempuan adalah 1,04 banding 1, dan usia paling banyak terjadi antara

25 tahun sampai 50 tahun. 80-90% sialolithiasis ditemukan pada kelenjar

submandibula, 6% pada kelenjar parotis, 2% pada kelenjar sublingual, dan 2%

ditemukan pada kelenjar liur minor. Terdapat dua faktor penting yang menjadi alasan

tingginya kejadian sialolithiasis pada kelenjar submandibula. Pertama, sifat saliva

yang dihasilkan oleh kelenjar submandibula mengandung banyak mucin, bahan

organik, enzim fosfatase, kalsium, fosfat, pH alkalin, karbon dioksida rendah. Kedua,

faktor anatomi dimana warthon’s duct panjang dan berkelok, posisi orifisium lebih

tinggi dari duktusnya dan ukuran duktus lebih kecil dari lumennya.

8

Page 9: Arif Jurnal Sialolithiasis

3.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Meskipun penyebab pasti sialolithiasis masih belum jelas, beberapa batu

saliva mungkin berhubungan dengan infeksi kronis (Staphylococcus aureus ,

Streptococcus viridans) dari kelenjar, Sjögren's sindrom dan atau peningkatan

kalsium, dehidrasi, yang meningkatkan viskositas saliva; asupan makanan berkurang,

yang menurunkan permintaan untuk saliva, atau obat yang menurunkan produksi

saliva, termasuk anti histamin tertentu, anti hipertensi (diuretic) dan anti psikotik,

tetapi dalam banyak kasus dapat timbul secara idiopatik.

Sialolithiasis mengandung bahan organik pada pusat batunya, dan anorganik

di permukaannya. Bahan organik antara lain glikoprotein, mukopolisakarida, dan

debris sel. Bahan anorganik yang utama adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.

Sedangkan ion kalsium, magnesium, dan fosfat sekitar 20-25%. Senyawa kimia yang

menyusunnya antara lain mikrokristalin apetit [Ca5(PO4)OH] atau whitlokit

[Ca3(PO4)]. Pengamatan dengan menggunakan transmisi mikroskop elektron dan

mikroanalisis X – ray.

Pada batu sialolithiasis, didapatkan gambaran menyerupai struktur

mitokondria, lisosom, dan jaringan fibrous. Substansi tersebut diduga sebagai salah

satu penyebab proses kalsifikasi dalam sistem duktus submandibula. Etiologi

sialolithiasis belum diketahui secara pasti, beberapa patogenesis dapat digunakan

untuk menjelaskan terjadinya penyakit ini. Pertama, adanya ekresi dari intracellular

microcalculi ke dalam saluran duktus dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua, dugaan

adanya substansi dan bakteri dari rongga mulut yang migrasi ke dalam duktus

salivary dan menjadi nidus kalsifikasi. Kedua hipotesis ini sebagai pemicu nidus

organik yang kemudian berkembang menjadi penumpukan substansi organik dan

inorganik.

Hipotesis lainnya mengatakan bahwa terdapat proses biologi terbentuknya

batu, yang ditandai menurunnya sekresi kelenjar, perubahan elektrolit, dan

9

Page 10: Arif Jurnal Sialolithiasis

menurunnya sintesis glikoprotein. Hal ini terjadi karena terjadi pembusukan membran

sel akibat proses penuaan.

3.4 DIAGNOSIS KLINIS

Pada obstruksi parsial kadang-kadang sialolithiasis tidak menunjukkan gejala

apapun (asimptomatis). Nyeri dan pembengkakkan kelenjar yang bersifat intermitten

merupakan keluhan paling sering dijumpai dimana gejala ini muncul berhubungan

dengan selera makan (mealtime syndrome). Pada saat selera makan muncul sekresi

saliva meningkat, sedangkan drainase melalui duktus mengalami obstruksi sehingga

terjadilah stagnasi yang menimbulkan rasa nyeri dan pembengkakan kelejar. Stagnasi

yang berlangsung lama menimbulkan infeksi, sehingga sering dijumpai sekret yang

supuratif dari orifisium duktus di dasar mulut. Kadang-kadang juga timbul gejala

infeksi sistemik. Pada fase lanjut stagnasi menyebabkan atropi pada kelenjar saliva

yang menyebabkan hiposalivasi, dan akhirnya terjadi proses fibrosis. Palpasi

bimanual di dasar mulut arah posterior ke anterior sering mendapatkan calculi pada

duktus submandibula, juga dapat meraba pembesaran duktus dan kelenjar. Perabaan

ini juga berguna untuk mengevaluasi fungsi kelenjar saliva (hypofunctional atau non-

functional gland). Studi imaging sangat berguna untuk diagnosis sialolithiasis,

radiografi oklusal berguna dalam menunjukkan batu radiopaque.

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Radiologis Imaging

Teknik imaging yang ada untuk menilai kelenjar dan duktus kelenjar saliva

antara lain Plain-film Radiography, Computed Tomography Scan (CTScan),

Sialography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), Diagnostic Ultrasound, dan

Nuclear Scintigraphy. Masing-masing memiliki kelebihan dan keterbatasan tertentu

dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri, bengkak dan keluhan lainnya yang

berkaitan dengan gangguan kelenjar saliva, seperti pada Sialolithiasis Submandibula.

1. Plain - Film Radiography

Sebelum teknologi imaging berkembang pesat seperti sekarang, plainfoto

masih dapat digunakan untuk menentukan kelainan pada kelenjar saliva. Teknik ini

10

Page 11: Arif Jurnal Sialolithiasis

banyak memberikan informasi selain data dari pemeriksaan klinis. Pada evaluasi

sialolithiasis submandibula, masih efektif untuk melihat batu pada duktus, tapi sulit

untuk mengevaluasi batu di glandula atau batu yang kecil. Hanya 20% sialolith yang

radiotransparent sehingga metode ini hanya digunakan untuk skreening bila metode

lainnya tidak tersedia. Untuk memaksimalkan hasil, dianjurkan pengambilan film dari

berbagai sudut yang berbeda, termasuk dari sudut dasar mulut. Hal ini penting untuk

mendapatkan gambaran yang jelas, dimana batu kadang-kadang tertutup oleh tulang

mandibula. Sehingga perlu diambil gambaran dari rongga mulut dan regio

submandibula, termasuk gambaran oklusi duktus dengan dental-film atau

anteroposterior view tulang mandibula.

2. Computed Tomography Scan (CT-Scan)

Kehadiran CT Scan merevolusi diagnostic imaging sejak ditemukannya pada

tahun 1970-an, terutama untuk kasus head and neck imaging. Dia sering digunakan,

karena cukup adekuat untuk mendiagnosis sialolithiasis dengan potongan tiap

milimeter. Akan tetapi CT scan tidak bisa menentukan lokasi batu yang kecil secara

tepat, kadang kala irisannya tidak mengenai duktus sehingga tidak terlihat gambaran

hyperdense.

3. Ultrasonography (USG)

Ultrasonografi merupakan metode diagnostik noninvasif, tapi penggunaan dan

hasil yang didapat sangat tergantung pada keahlian operator (operator dipendent) dan

image yang dihasilkan tidak bisa diintepretasi langsung oleh ahli bedah, kecuali dia

mengerjakan sendiri. USG memiliki keterbatasan untuk mendeteksi sialolithiasis.

Untuk memperjelas hasil bisa menggunakan resolusi tinggi (7-12 MHz) dengan

tranducer linier dan kontak permukaan yang kecil. Gambar diperoleh terutama

menggunakan bidang aksial submandibula dengan setelan oblique untuk menentukan

letak lesi dan menelusuri pembuluh darah. Penekanan seminimal mungkin untuk

menghindari distorsi anatomis.

4. Sialography (Sebagai Gold Standar)

Sialografi merupakan upaya untuk membuat gambaran radiopaque

(opacification) pada duktus kelenjar saliva dengan memasukkan bahan kontras berupa

11

Page 12: Arif Jurnal Sialolithiasis

water soluble radiopaque dye secara retrograde intracanular. Cara ini dianggap

sebagai gold standar karena dapat memberikan gambaran yang jelas tidak hanya batu,

tapi juga struktur morfologis duktus seperti lesi karena trauma, massa, proses

inflamasi, dan penyakit obstruktif lainnya. Keuntungan sialografi bisa bersifat

terapeutik, dimana cairan dye menyebabkan dilatasi pada duktus dan batu terdorong

keluar melalui orifisium duktus (caruncula sublingualis). Kerugian metode ini antara

lain, dapat menyebabkan nyeri, infeksi, anafilaktik shock, dan perforasi dinding

duktus, kadang-kadang justru mendorong batu menjauhi caruncula. Oleh karena itu,

sialografi tidak boleh dilakukan bila terjadi infeksi akut karena akan memicu

meningkatnya proses inflamasi. Kelemahan ini diminimalisir dengan teknik

pengembangan tanpa kontras, cukup dengan merangsang saliva sebagai pengganti

fungsi kontras (yaitu Magnetic Resonance Sialography).

5. Magnetic Resonance (MR) Sialography

MR Sialografi merupakan prosedur diagnostik nonivasif yang relatif baru

dengan akurasi tinggi untuk mendeteksi calculi, sensitifitas 91% spesifisitas 94% nilai

pediksi positif 97% dan nilai prediksi negatif 93%. Hal ini lebih baik dari sialografi

konvensional. Secara teknis fungsi bahan kontras digantikan oleh saliva (natural

contras) yang dirangsang produksinya dengan orange juice, dan menggunakan

imaging T2-Weighted turbo spin-echo slides bidang sagital dan axial..8,12,13

Keuntungannya adalah tidak invasif, tidak menggunakan bahan kontras, tidak ada

radiasi, tidak menimbulkan rasa nyeri, bahkan juga bisa mengevaluasi kelainan fungsi

kelenjar (Dynamic MR sialography). Kekurangan teknik ini membutuhkan waktu

yang lebih lama pada proses merangsang saliva sebagai kontras alami, menimbulkan

rasa tidak nyaman, dan biaya sangat mahal.

b. Endoskopis

Endoskopi yang dikenal dengan Sialendoskopi merupakan prosedur

noninvasif yang dapat mengeksplorasi secara lengkap sistem duktus, termasuk

cabang sekunder dan tersier duktus. Sialendoskopi dapat dilakukan di klinik rawat

jalan dengan menggunakan anestesi lokal lidocain 2% dimana pasien duduk di kursi

atau setengah berbaring. Fungsi utama Sialendoskopi untuk konfirmasi sekaligus

12

Page 13: Arif Jurnal Sialolithiasis

diagnosis obstruksi dan striktur sistem duktus serta pengambilan sialolith. Pada

prinsipnya Sialendoskopi dilakukan dengan memasukkan sistem semirigid ke

intraluminar duktus melalui caruncula sublingualis. Diameter Sialendoskop yang

sering digunakan antara 0.8 mm - 1,6 mm. Visualisasi intraluminar dan kondisi

patologis dapat diamati secara langsung. Selain diagnostik, metode ini bisa

melakukan prosedur intervensi seperti dilatasi progresif, pembersihan dan

pembilasan, serta pengambilan batu dengan forcep maupun laser fragmentation.

Indikasi penggunaannya pada semua pembengkakan dan nyeri intermitten pada

kelenjar atau duktus saliva yang belum diketahui sebabnya. Tidak ada kontra indikasi

mutlak termasuk pada anak maupun manula, karena selain minimal invasif

Sialendoskopi hanya membutuhkan anestesi lokal dan cukup rawat jalan saja. Pada

keadaan tertentu Sialendoskopi dapat menimbulkan komplikasi lesi pada saraf yang

menimbulkan parastesi (0,4%), terjadi infeksi (1,6%), perdarahan (0,5%), dan

kerusakan sistem duktus seperti striktur (2,5%).

3.6 PENATALAKSANAAN

1. Tanpa pembedahan

Pengobatan klasik silolithiasis (medical treatment) adalah penggunaan

antibiotik dan anti inflamasi, dengan harapan batu keluar melalui caruncula secara

spontan. pengobatan yang diberikan adalah simptomatik, nyeri diobati dengan

NSAID (e.g ibuprofen, 600 mg setiap 8 jam selama 7 hari) dan infeksi bacteria

diobati dengan antibiotik golongan penicillin dan Cephalosporins, (875mg

amoxicillin dan asam klavulanat 125 mg setiap 8 jam untuk jangka waktu satu

minggu ) atau augmentin, cefzil, ceftin, nafcillin, diet kaya protein dan cairan asam

termasuk makanan dan minuman juga dianjurkan untuk menghindari pembentukan

batu lebih lanjut dalam kelenjar saliva, sialologues (lemon tetes yang merangsang

Salivasi), batu dikeluarkan dengan pijat atau masase pada kelenjar.

Pada beberapa kasus dimana batu berada di wharton papillae, dapat dilakukan

tindakan marsupialization (sialodochoplasty). Sering kali batu masih tersisa terutama

13

Page 14: Arif Jurnal Sialolithiasis

bila berada di bagian posterior Warton’s duct, sehingga pendekatan konservatif sering

diterapkan.

2. Pembedahan

Sebelum teknik endoskopi dan lithotripsi berkembang pesat, terapi untuk

mengeluarkan batu pada sialolithiasis submandibula delakukan dengan pembedahan,

terutama pada kasus dengan diameter batu yang besar (ukuran terbesar sampai 10

mm), atau lokasi yang sulit. Bila lokasi batu di belakang ostium duktus maka bisa

dilakukan tindakan simple sphincterotomy dengan anestesia lokal untuk

mengeluarkannya. Pada batu yang berada di tengah-tengah duktus harus dilakukan

diseksi pada duktus dengan menghindari injury pada n. lingualis. Hal ini bisa

dilakukan dengan anestesi lokal maupun general, tapi sering menimbulkan nyeri berat

post operative. Harus dilakukan dengan anestesi general, bila lokasi batu berada pada

gland's pelvis. Pada kasus ini harus dilalakukan submaxilectomy dengan tingkat

kesulitan yang tinggi, karena harus menghindari cabang-cabang dari n. facialis.

3. Minimal invasiv

3.1 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)

ESWL merupakan terapi dengan pendekatan non invasive yang cukup efektif

pada sialolithiasis. Setelah berhasil untuk penanganan batu di saluran kencing dan

pankreas, ESWL menjadi alternatif penanganan batu pada saluran saliva, dimulai

tahun 1990an. Tujuan ESWL untuk mengurangi ukuran calculi menjadi fragmen yang

kecil sehingga tidak mengganggu aliran saliva dan mengurangi simptom. Diharapkan

juga fragmen calculi bisa keluar spontan mengikuti aliran saliva.

Indikasi ESWL bisa dilakukan pada semua sialolithiasis baik dalam glandula

maupun dalam duktus, kecuali posisi batu yang dekat dengan struktur n. facialis.

Inflamasi akut merupakan kontra indikasi lokal dan inflamasi kronis bukan

merupakan kontra indikasi, sedangkan kelainan pembekuan darah (haemorrhagic

diathesis), kelainan kardiologi, dan pasien dengan pacemaker merupakan

kontraindikasi umum ESWL. Metode ini tidak menimbulkan nyeri dan tidak

membutuhkan anestesia, pasien duduk setengah berbaring (semi-reclining position).

14

Page 15: Arif Jurnal Sialolithiasis

Shockwave benar-benar fokus dengan lebar 2,5 mm dan kedalaman 20mm sehingga

lesi jaringan sekitarnya sangat minimal. Energi yang digunakan disesuaikan dengan

batu pada kelenjar saliva, yaitu antara 5 – 30 mPa. Tembakan dilakukan 120 impacts

per menit, bisa dikurangi sampai 90 atau 60 impacts per menit. Setiap sesion sekitar

1500 + / - 500 impacts dan antar sesion terpisah minimal satu bulan.

Keberhasilan ESWL tergantung pada dimensi, lokasi, dan jumlah calculi.

Ketepatan posisi (pinpointing) calculi bisa dipandu dengan ultrasonography,

echography probe 7,5 Mhz. Calculi dengan ukuran > 10 mm sulit dipecah menjadi

fragmen. 5,17 Beberapa penelitian telah melakukan pengamatan dan follow up atas

keberhasilan penggunaan ESWL, antara lain Escidier et al mengamati 122 kasus

dimana 68% pasien terbebas dari simptom setelah difollow up selama 3 tahun,

Cappaccio et al dengan 322 kasus melaporkan 87,6% pasien terbebas dari simptom

setelah diamati 5 tahun sejak pengobatan menggunakan ESWL.

3.2 Sialendoskopi

Sialendoskopi merupakan teknik endoskopi untuk memeriksa duktus kelenjar

saliva. Teknik ini termasuk minimal invasive terbaru yang dapat digunakan untuk

diagnosis sekaligus manajemen terapi pada ductal pathologies seperti obstruksi,

striktur, dan sialolith. Prosedur yang dapat dilakukan dengan Sialendoskopi

merupakan complete exploration ductal system yang meliputi duktus utama, cabang

sekunder dan tersier. Indikasi diagnostik dan intervensi dengan Sialendoskopi adalah

semua pembengkakan intermitten pada kelenjar saliva yang tidak jelas asalnya. Koch

et al lebih khusus menjelaskan indikasinya, antara lain untuk :

1) deteksi sialolith yang samar,

2) deteksi dini pemebentukan sialolith (mucous or fibrinous plugs) dan

profilaksis pembentukan batu,

3) pengobatan stenosis post inflamasi dan obstruksi karena sebab lain,

4) deteksi dan terapi adanya variasi anatomi atau malformasi,

5) diagnosis dan pemahaman baru terhadap kelainan autoimun yang

melibatkan kelenjar saliva,

6) sebagai alat follow up dan kontrol keberhasilan terapi.

15

Page 16: Arif Jurnal Sialolithiasis

Tidak ada kontra indikasi khusus, karena merupakan teknik minimal invasive

yang hanya membutuhkan enestesi lokal dan cukup rawat jalan saja, baik pada anak-

anak, dewasa maupun usia lanjut. Teknik Intervensi Sialendoskopi. Sialendoskopi

dilakukan dengan anestesi lokal, papila untuk mencapai kelenjar diinjeksi dengan

bahan anestesi (xylocaine 1% dengan epinephrine 1:200000). Papila dilebarkan

bertahap dengan probe yang bertambah besar sampai sesuai dengan diameter

sialendoskop. Kemudian sialendoskop dimasukkan ke dalam duktus kelenjar saliva

diikuti pembilasan dengan cairan isotonik melalui probe. Pembilasan ini

dimaksudkan untuk dilatasi duktus dan irigasi debris. Duktus kelenjar saliva ini

diobservasi mulai dari duktus utama sampai cabang tersier hingga probe tidak bisa

masuk lagi, dengan catatan menghindari trauma dan perforasi dinding duktus. Bila

didapatkan obstruksi, kita bisa menggunakan beberapa teknik untuk mengatasinya.

Untuk pengambilan batu dengan diameter < 4 mm pada kelenjar submandibula atau <

3 mm pada kelenjar parotis, kita dekatkan sialendoskop ke sialolith kemudian kita

masukkan ke dalam working chanel sebuah forsep penghisap yang fleksibel dengan

diameter 1 mm atau stone extractor (wire basket forcep). Berikutnya batu dihisap dan

sialendoskop ditarik dengan forcep penghisapnya .

Pada kasus dengan batu yang lebih besar, kita memasukkan probe laser

helium ke dalam working chanel dan batu dipecah menjadi beberapa bagian kecil-

kecil. Kemudian bagian kecil tersebut ambil (removed) dengan teknik yang sama.

Sedangkan pada kasus mucus plug, sekret yang lengket dimobilisasi dengan

pembilasan dan penghisapan.

Setelah intervensi Sialendoskopi, dilakukan stenting pada duktus

submandibula menggunakan stent plastik (sialostent) selama 2 sampai 4 minggu

dengan tujuan 1) menghindari striktur, 2) mencegah obstruksi karena udema sekitar

orifisium, dan 3) sebagai saluran irigasi partikel-partikel batu kecil oleh aliran saliva.

Pemberian hydrocortisone 100 mg injeksi intraductal atau langsung pada daerah

striktur juga dapat mempercepat proses penyembuhan pasca sialoendokopi.

4. Decision Tree

16

Page 17: Arif Jurnal Sialolithiasis

Pada tindakan minimally invasive terdapat beberapa pilihan diagnostik

maupun terapi untuk managemen sebuah kasus dengan gejala klinis adanya obstruksi

pada saluran kelenjar saliva. pada kasus dengan gejala pembengkakan berulang pada

kelenjar saliva yang berhubungan dengan selera makan, dapat menggunakan

sialendoskopi atau MR sialografi sebagai pilihan modalitas diagnostik. Sialendoskopi

merupakan pilihan utama pada pembengkakan kelenjar unilateral, sedangkan pada

kasus kelenjar bilateral direkomendasikan untuk menggunakan MR silaografi untuk

melihat tekstur kelenjar, jaringan sekitar, dan sistem duktus beberapa kelenjar.

Bila didapatkan batu ukuran kecil (< 4 mm submandibular atau < 3 mm

parotis) maka dapat diintervensi dengan Wire Basket Extraxion. Pada batu dengan

ukuran > 4 mm submandibula atau > 3 mm parotis, batu harus dipecah menjadi

bagian yang lebih kecil menggunakan Laser Lithotripsy kemudian dikeluarkan

dengan Wire Basket Extraxion. Sedangkan stenosis pada sistem duktus cukup

dilakukan dilatasi menggunakan metalic dilator (main duct) atau dengan balloon

catheter bila stenosis terjadi pada cabang duktus.

Segala bentuk intervensi pada sialolithiasis, baik pembedahan terbuka maupun

minimally invasive dapat menimbulkan komplikasi antara lain:

1) kerusakan saraf, terutama n. Lingualis dan n. Hipoglosus

17

Decision Tree untuk Evaluasi dan Managemen Sislolithiasis

Page 18: Arif Jurnal Sialolithiasis

2) perdarahan post operative,

3) striktur sistem duktal,

4) pembengkakan kelenjar yang menimbulkan nyeri,

5) cutaneus hematoma sering dijumpai pada pasien post extracorporeal

therapy, dan

6) residual lithiasis terjadi pada sekitar 40%-50% pasien.

Teknik minimal invasive yang benar dengan Sialendoskopi, lebih

memungkinkan untuk meminimalisir terjadinya komplikasi tersebut di atas.

18

Page 19: Arif Jurnal Sialolithiasis

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Meskipun berbagai diagnostik yang canggih dan modalitas pengobatan telah

muncul dalam pengelolaan sialoliths, teknik konvensional tetap dipertahankan sampai

saat ini. Dilaporkan dari kasus submandibula sialolith yang didiagnosis secara klinis

dan radiografi serta diberi pengobatan namun tidak ditemukan komplikasi pasca

operasi.

19

Page 20: Arif Jurnal Sialolithiasis

DAFTAR PUSTAKA

1. Leung AK, Choi MC, Wagner GA Multiple sialolths and a sialolith of unusual

size in the submandibular duct. Oral Surg, Oral Med, Oral Path, Oral Radiol,

Endo 1999; 87: 331–333.

2. Cawson RA, Odell EW Essentials of oral pathology and oral medicine 6 th ed

pp239–240 Edinburgh: Churchill Livingstone 1998.

3. Steiner M, Gould AR, Kushner GM, Weber R, Pesto A Sialolithiasis of the

submandibular gland in an 8-year-old child. Oral Surg, Oral Med, Oral Pathol,

Oral Radiol, Endod 1997; 83: 188.

4. Alcure ML, Vargas PA, Junior JJ, Junior O, Lopes MA. Clinical and

histopathological findings of sialoliths. Braz J Oral Sci. 2005 Mar; 4(15):899-

903.

5. Thierbach V, Privman V, Orlian AI. Submandibular gland sialolithiasis: a

case report. Gen Dent. 2000 Sep-Oct; 48(5):606-8.

6. Williams MF Sialolithisis Otolaryngologic Clinics of North America 1999;

32: 819–834.

7. Zenk J, Benzel W, Iro H New modalities in the management of human

sialolithiasis. Minimally invasive therapy 1994; 3: 275–284. 8. Dalkiz M,

Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (salivary stone). Turk J Med Sci. 2001;

31:177-179.

8. Alkurt MT, Peker I. Unusually large submandibular sialoliths: report of two

cases. Eur J Dent. 2009 Apr; 3(2):135-9.

9. Marchal F, Kurt AM, Dulguerov P, Lehmann W. Retrograde theory in

sialolithiasis formation. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2001 Jan;

127(1):66-8.

10. Yoshimura Y, Inoue Y, Odagawa T. Sonographic examination of

sialolithiasis. J Oral Maxillofac Surg. 1989 Sep;47(9):907-12.

11. Yousem DM, Kraut MA, Chalian AA. Major salivary gland imaging.

Radiology. 2000 Jul; 216(1):19-29.

20

Page 21: Arif Jurnal Sialolithiasis

12. Jäger L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M.

Sialolithiasis: MR sialography of the submandibular duct--an alternative to

conventional sialography and US? Radiology. 2000 Sep;216(3):665-71

13. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis management: the state of the art. Arch

Otolaryngol Head Neck Surg. 2003 Sep; 129(9):951-6.

14. Pietz DM, Bach DE Submandibular sialolithisis. General Dentistry 1987; 35:

494–496.

15. Zenk J, Constantinidis J, Al-Kadah B, Iro H. Transoral removal of

submandibular stones. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2001 Apr;

127(4):432-6.

16. Bodner L. Giant salivary gland calculi: diagnostic imaging and surgical

management. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod. 2002 Sep;

94(3):320-3.

17. Mimura M, Tanaka N, Ichinose S, Kimijima Y, Amagasa T. Possible Etiology

of Calculi Formation in Salivary Glands: Biophysical Analisys of Calculus.

Med Mol Morphol 2005; 38: 189-95.

18. Graney DO, Jacobs JR, Kern RC. Salivary Glands. In: Cumming CJ, editor.

Otolangology – Head and Neck Surgery. 3rd ed. Mosby; 1999. p.1220.

19. Escudier MP, McGurk M. Symptomatic Sialoadenitis and Sialolithiasis in the

English Population, an Estimate of the Cost of Hospital Traetment. Br Dent J

1999 Mei; 186 (9): 463-6.

20. Siddiqui SJ. Sialolithiasis : An Unusually Submandibular Salivary Stone. Br

Dent J 2002 July; 193: 89-91.

21. Andretta M, Tregnaghi A, Prosenikliev V, Staffieri A. Current Opinion in

Sialolithiasis Diagnosis and Treatment. Acta Otorhinolaryngol Ital2005;

25:145-9.

22. Rosen FS, Byron BJ. Anatomy and Physiology of Salivary Glands Source.

Otolaryngol 2001 Jan 24.

23. Ching ASC, Ahuja AT. High-Resolution Sonography of the Submandibular

Space: Anatomy and Abnormalities. AJR 2002;179:703-8.

21

Page 22: Arif Jurnal Sialolithiasis

24. Marchal F, Dulguerov P. Sialolithiasis Management. Arch Otolaryngol-Head

and Neck Surg 2003 Sep; 129: 951-6.

25. Becker TS. Salivary Glands Imaging. In: Byron J, Bailey Md, editors. Head

and Neck Surgery - Otolangology. 3rd ed. Lippincott Williams & Wilkins

Publishers; 2001.

26. Dalkiz M, Dogan N, Beydemir B. Sialolithiasis (Salivary Stone). Turk J Med

Sci 2001;31: 177-9.

27. Bar T, Zagury A, London D, Shacham R, Nahlieli O. Calcifications

Simulating Sialolithiasis of Major Salivary Glands. Dentomaxillofacial

Radiology 2007; 36: 59-62.

28. Jager L, Menauer F, Holzknecht N, Scholz V, Grevers G, Reiser M.

Sialolithiasis: MR Sialography of the Submandibular Duct – An Alternative to

Conventional Sialography and US. RSNA Radiology 2000;216: 665-71

22