apresiasi budaya

45
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut sejarahnya Gorontalo pada mulanya adalah sebuah wilayah yang berbentuk kerajaan terkenal dengan nama Dulowo limo lo pohalaa, artinya dari dua kerajaan induk (hulonthalo dan Limutu) menjadi lima kerajaan yang terdiri kerajaan Hulontalo, Limutu, Suwawa, Bolango, dan Bualemo. Daerah yang baru terbentuk menjadi propinsi ke 32 ini bahkan telah diberikan kategori daerah adat yang ke 19. Namun sayangnya atrtefak istana para raja yang pernah memerintah seperti kerajaan Hulonthalo (kota Gorontalo) maupun Kerajaan Limutu (sekarang kabupaten Gorontalo) sudah tidak ditemukan lagi. Konsistensi pelaksanaan adat selama ini hanya sebatas acara ritual/upacara-upacara adat yang lebih bersifat non fisik seperti penyelenggaraan pesta kelahiran, pernikahan, kematian, dan lain-lain sementara pelestarian budaya dalam wujud fisik bangunan berangsur-angsur sudah mulai ditinggalkan. Ditengah-tengah bangunan modern di Gorontalo terdapat rumah yang merupakan rumah sisa-sisa peninggalan masa lalu yang berbentuk panggung yang oleh masyarakat setempat dinamakan Rumah Budel, yaitu istilah masyarakat lokal dalam menyebut rumah warisan yang tidak memiliki hak kepemilikan yang jelas karena ketika pemilik utama (orang tua) meninggal dunia, tidak sempat meninggalkan hak waris kepada keturunannya sehingga biasanya hanya sekedar untuk dihuni secara turun temurun oleh anak cucu, dan keturunan-keturunan selanjutnya. Ketidakjelasan status kepemilikan dan kurang pahamnya masyarakat terhadap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam rumah ini membuat rumah-rumah ini dibiarkan rusak dan lambat laun rumah asli masyarakat gorontalo ini akan musnah tergilas oleh proses modernisasi. Jika dilihat dari style pada rumah

Transcript of apresiasi budaya

Page 1: apresiasi budaya

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut sejarahnya Gorontalo pada mulanya adalah sebuah wilayah yang berbentuk kerajaan terkenal dengan nama Dulowo limo lo pohalaa, artinya dari dua kerajaan induk (hulonthalo dan Limutu) menjadi lima kerajaan yang terdiri kerajaan Hulontalo, Limutu, Suwawa, Bolango, dan Bualemo. Daerah yang baru terbentuk menjadi propinsi ke 32 ini bahkan telah diberikan kategori daerah adat yang ke 19. Namun sayangnya atrtefak istana para raja yang pernah memerintah seperti kerajaan Hulonthalo (kota Gorontalo) maupun Kerajaan Limutu (sekarang kabupaten Gorontalo) sudah tidak ditemukan lagi. Konsistensi pelaksanaan adat selama ini hanya sebatas acara ritual/upacara-upacara adat yang lebih bersifat non fisik seperti penyelenggaraan pesta kelahiran, pernikahan, kematian, dan lain-lain sementara pelestarian budaya dalam wujud fisik bangunan berangsur-angsur sudah mulai ditinggalkan.

Ditengah-tengah bangunan modern di Gorontalo terdapat rumah yang merupakan rumah sisa-sisa peninggalan masa lalu yang berbentuk panggung yang oleh masyarakat setempat dinamakan Rumah Budel, yaitu istilah masyarakat lokal dalam menyebut rumah warisan yang tidak memiliki hak kepemilikan yang jelas karena ketika pemilik utama (orang tua) meninggal dunia, tidak sempat meninggalkan hak waris kepada keturunannya sehingga biasanya hanya sekedar untuk dihuni secara turun temurun oleh anak cucu, dan keturunan-keturunan selanjutnya. Ketidakjelasan status kepemilikan dan kurang pahamnya masyarakat terhadap nilai-nilai budaya yang terkandung dalam rumah ini membuat rumah-rumah ini dibiarkan rusak dan lambat laun rumah asli masyarakat gorontalo ini akan musnah tergilas oleh proses modernisasi. Jika dilihat dari style pada rumah budel yang berbentuk panggung terdiri atas dua jenis, yakni yang pertama, rumah berbentuk panggung yang jika dilihat dari tampilan arsitekurnya sudah mengalami akulturasi (pengaruh kolonial, cina dan arab) dan kedua rumah yang berbentuk panggung tetapi nuansa/muatan makna filosofi dan adat budaya daerah gorontalo masih terasa/nampak.

Penelitian ini akan menelusuri kembali bagaimana arsitektur rumah masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu yang wujudnya berbentuk panggung dengan melihat kaitan antara aspek fisik arsitektural (tangible) dengan latar belakang sejarah, pola hidup, adat dan religi (intangible) masyarakat Gorontalo, untuk mendapatkan gambaran dan membuat 3 kategorisasi mengenai wujud dan typologi arsitektur rumah masyarakat Gorontalo yang berbentuk panggung.

Page 2: apresiasi budaya

1.2 Masalah dan Pembatasan Masalah

Setelah menguraikan alasan yang melatar belakangi pemilihan judul, maka dalam penulisan

ilmiah tentang, Arsitektur Tradisonal Gorontalo terhadap bangunan vermakular. akan

ditetapkan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh Arsitektur Tradisonal yang di terapkan pada

bangunan Vernakular/ Modern?

2. Apakah Arsitektur tradisional Gorontalo mengapresiasikan kebudayaan

Gorontalo itu sendiri?

Batasan masalah terbatas pada Kajian Pola Sirkulasi Ruang Pada Bangunan Perpustakaan.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan mengenai Arsitektur Tradisonal Gorontalo terhadap bangunan vermakular adalah:

1. Memberi pertimbangan dan membuka wawasan terhadap Arsitektur

tradisional Gorontalo.

2. Memberikan informasi tentang manfaat penerapan Arsitektur

tradisonal pada bangunan vernakular.

3. Memberikan arahan desain tentang Arsitektur trasdisonal yang di terapkan

pada bangunan terutama bangunan yang ada di Gorontalo.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang akan di dapat dari pembahasan Arsitektur Tradisonal Gorontalo

terhadap bangunan vermakular adalah unutk menjadi acuan atau referensi tentang

bagaimana Arsitektur Tradisonal Gorontalo yang di terapkan pada bangunan

vermakular/modern.

Page 3: apresiasi budaya

BAB II

OBJEK STUDY

2.1 OBJEK ARSITEKTUR TRADISIONAL / VEAKULAR DI GORONTALO

A. LOKASI DAN REMPAT DEMOGRAFIKarakteristik Lokasi dan Wilayah

Provinsi Gorontalo yang merupakan daerah/provinsi pemekaran dari Sulawesi Utara Tahun 2000 memiliki beragam karakteristik kewilayahan. Hal ini dilihat dari posisi maupun kondisi geografis serta potensi sumberdaya maupun peluang yang dimiliki sebagai daerah otonom baru. Beberapa aspek yang dapat diuraikan dari realitas tersebut adalah sebagai berikut :

Letak dan Batas Wilayah Administrasi Dilihat dari titik koordinat wilayah, Gorontalo terletak di antara 0,19°’ – 1,15°’ Lintang

Utara dan 121,23°’ - 123,43°’ Bujur Timur. Dari posisi tersebut wilayah ini berbatasan langsung dengan dua Provinsi yaitu Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah Barat dan Provinsi Sulawesi Utara di sebelah Timur. Sedangkan di sebelah Utara berhadapan langsung dengan Laut Sulawesi dan di sebelah Selatan dibatasi oleh Teluk Tomini. Peta Provinsi Gorontalo dapat dilihat pada Gambar 2.1

Peta Provinsi Gorontalo, 2011

Sumber: RTRW Provinsi Gorontalo 2010 - 2030.

Page 4: apresiasi budaya

Luas wilayah Luas wilayah Provinsi Gorontalo 11.967,64 km2, jika dibandingkan dengan Wilayah

Indonesia luas Provinsi ini hanya sebesar 0,63 persen. Saat ini, Provinsi Gorontalo memiliki 6 (enam) wilayah pemerintahan yakni 5 (lima) Kabupaten dan 1 (satu) Kota yang terdiri dari Kota Gorontalo dengan luas wilayah 66,25 km2, Kabupaten Gorontalo dengan luas wilayah 2.207,58 km2, Kabupaten Boalemo dengan luas wilayah 1.735,93 km2, Kabupaten Pohuwato dengan luas wilayah 4.291,81 km2, Kabupaten Bone Bolango dengan luas wilayah 1.889,04 km2 dan Kabupaten Gorontalo Utara dengan luas wilayah 1.777,03 km2. Dari keenam wilayah ini Kabupaten Pohuwato memiliki luas wilayah terbesar diikuti oleh kab. Boalemo, sedangkan Kota Gorontalo memiliki luas wilayah terkecil sebesar 0,53 % dari total luas wilayah Gorontalo.

Persentase Luas Kabupaten/Kota

Sumber : Gorontalo Dalam Angka Tahun 2011

DemografiJumlah Penduduk

Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo tahun 2010 adalah sebanyak 1.040.164. dari tabel dibawah ini bisa dilihat bahwa Kabupaten Gorontalo merupakan kabupaten yang jumlah penduduknya lebih banyak. Untuk tahun 2010 penduduk Kabupaten Gorontalo adalah 34.22% dari jumlah keseluruhan penduduk Provinsi dan Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah yang terendah jumlah penduduknya dari seluruh kabupaten/kota yang ada.

Kota Gorontalo, 0.55% Kab. Gorontalo,

18.45%

Kab. Boalemo, 14.51%

Kab. Pohuwato, 35.86%

Kab. Bone Bolango, 19.76%

Kab. Gorontalo Utara, 14.85%

Page 5: apresiasi budaya

Jumlah Penduduk Provinsi Gorontalo, 2006-2010

No Nama Kabupaten/Kota

Tahun2006 2007 2008 2009 2010

Kabupaten:01 Gorontalo 431.440 338.38

1339.620 340.73

0355.988

02 Boalemo 118.947 123.243

127.639 128.540

129.253

03 Pohuwato 110.481 112.532

114.572 116.203

128.748

04 Bone Bolango 127.977 129.025

130.025 131.781

141.915

05 Gorontalo Utara 94.829 95.177 96.489 104.133Kota:

06 Gorontalo 159.455 162.325

165.175 170.209

180.127

Provinsi Gorontalo 948.300

960.335

972.208

983.952

1.040.164

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo, 2010.

Dan jika dibandingkan dengan luas wilayah yang ada, maka kota Gorontalo yang hanya punya wilayah seluas 64,69 Km2 namun memiliki penduduk yang cukup besar, hal ini menunjukkan bahwa kota Gorontalo adalah wilayah terpadat penduduknya di Provinsi Gorontalo.

Jumlah Penduduk Gorontalo Berdasarkan Sex Ratio, 2010

No Kabupaten/Kota Laki-Laki

Perempuan Jumlah Sex

Ratio1. Kabupaten Gorontalo 178.088 177.900 355.988 100,912. Kabupaten Boalemo 65.867 63.386 129.253 103,913. Kabupaten Pohuwato 65.561 63.187 128.748 103,764. Kabupaten Bone Bolango 71.145 70.770 141.915 100,535. Kabupaten Gorontalo

Utara52.970 51.163 104.133 103,53

6. Kota Gorontalo 88.283 91.844 180.127 96,12Provinsi Gorontalo 521.914 518.250 1.040.16

4100,71

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo, 2010.

Tabel diatas menunjukkan bahwa penduduk Provinsi Gorontalo lebih banyak laki-lakinya dengan sex ratio 100,71 artinya laki-laki di Gorontalo lebih banyak 0,71% dibanding jumlah perempuan. Sedangkan untuk kabupaten/kota bisa dilihat bahwa Kabupaten Boalemo yang memiliki

Page 6: apresiasi budaya

sex ratio sebesar 104 yang menunjukkan jumlah laki-laki di Kabupaten Boalemo lebih 4% dibanding perempuan.

Laju Pertumbuhan Penduduk Dilihat dari tabel di bawah ini laju pertumbuhan penduduk Provinsi Gorontalo di tahun 2010

sebesar 2.28% dengan pertumbuhan terbesar di sumbang oleh Kabupaten Boalemo sebesar 3.62 % dan urutan dibawahnya adalah Kabupaten Pohuwato sebesar 3.25%. kedua Kabupaten tersebut menjadi wilayah transmigran di Provinsi Gorontalo dan karena kedua wilayah tersebut sedang dalam tahap perkembangannya serta menjadi sentra pertanian menjadikan wilayah tersebut menarik bagi kaum migrasi. Sementara Kabupaten Gorontalo menjadi wilayah yang sedikit berkontribusi terhadap laju pertumbuhan penduduk yaitu hanya sebesar 1.40% kondisi ini diperkirakan karena makin terbatasnya lahan yang ada. Sedangkan kota Gorontalo walaupun mempunyai luas wilayah yang kecil dan paling padat penduduknya diantara semua wilayah yang ada di Provinsi Gorontalo masih cukup besar laju pertumbuhan penduduknya yaitu sebesar 2.93%.

Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Gorontalo.

Kabupaten/KotaJumlah Penduduk Laju

Pertumbuhan2000 2010 2000 – 2010

Kabupaten Gorontalo 309.663 355.988 1,40Kabupaten Boalemo 90.538 129.253 3,62Kabupaten Pohuwato 93.505 128.748 3,25Kabupaten Bone Bolango

114.766 141.915 2,15

Kabupaten Gorontalo Utara

86.781 104.133 1,84

Kota Gorontalo 134.931 180.127 2,93Provinsi Gorontalo 830.184 1.040.16

42,28

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo, 2010.

Struktur ketenagakerjaan Struktur ketenagakerjaan di Provinsi Gorontalo pada Tahun 2011 menunjukkan bahwa dari

jumlah penduduk yang berumur 15 tahun keatas sebesar 717.600, yang merupakan angkatan kerja sebesar 458.579 atau sebesar 63.90 persen. Dari jumlah tersebut yang sedang bekerja sebesar 437.459 atau 95.39 persen dan yang menganggur sebesar 21.120 atau 4.61 persen. Sementara yang bukan merupakan angkatan kerja yaitu penduduk yang mengurus rumah tangga, bersekolah dan lainnya (kegiatan selain mengurus rumah tangga maupun bersekolah) sebanyak 259.021 atau 36.09 persen dengan jumlah terbanyak pada yang mengurus rumah tangga yaitu sebesar 162.649 atau 62.79 persen

Page 7: apresiasi budaya

dan bersekolah sebanyak 71.393 atau 27.56 persen dan lain-lain (yang bukan mengurus rumah tangga dan bersekolah) sebanyak 24.979 atau 9.64 persen.

Page 8: apresiasi budaya

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Provinsi Gorontalo Tahun 2011, sebesar 63,90%.

Posisi angka tersebut mengalami penurunan dibanding Tahun 2010 yang hanya sebesar 64,42%. Sementara itu jumlah pengangguran pada Februari 2012 sebesar 22.639 orang, atau 4.81% dari jumlah angkatan kerjanya, jumlah tersebut mengalami kenaikan sebanyak 2.882 orang dari Tahun 2011. Sedangkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Gorontalo selama tiga tahun terakhir sedikit berfluktuasi yaitu di tahun 2009 5,89%, kemudian mengalami penurunan menjadi 5,16% di Tahun 2010, pada tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 4,26%.

Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Menurut Jenis Kegiatan Utama Provinsi Gorontalo

Jenis Kegiatan Utama 2008 2009 2010 2011I. Angkatan Kerja 429.384 447.313 456.499 458.579

1. Bekerja 405.126 420.962 432.926 437,4592. Menganggur 24.258 26.351 23.573 21,120

II.Bukan Angkatan Kerja 258.697 254.182 252.182 259,0211. Sekolah 58.748 62.316 57.980 71,3932. Mengurus Rumah

Tangga165.379 161.296 159.541 162,649

3. Lainnya 34.570 30.570 34.661 24,979Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

62,40 63,77 64.42 63.90

Tingkat Pengangguran 5,65 5,89 5.16 4.61Sumber : Sakernas, BPS Provinsi Gorontalo 2011.

Dari tabel dibawah ini dapat dilihat bahwa jumlah tenaga kerja di Provinsi Gorontalo setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 jumlah tenaga kerja berjumlah 405.126 dan pada tahun 2009 berubah menjadi 420.962 mengalami peningkatan sejumlah 15.836 atau sebesar 3.90 persen. Sedangkan pada tahun 2010 jumlah tenaga kerja berada pada angka 432.926 meningkat sebesar 11.964 atau 2.84 persen dari jumlah tenaga kerja pada tahun sebelumnya. Sementara sektor yang menjadi primadona dengan meraup tenaga kerja terbesar masih berasal dari sektor pertanian yang pada tahun 2010 meraup tenaga kerja sebanyak 176.974, disusul oleh sektor jasa kemasyarakatan sebesar 81.322 ditempat ketiga sektor perdagangan rumah makan dan jasa akomodasi sebesar 71.243. sedangkan sektor yang paling sedikit meraup tenaga kerja pada tahun 2010 adalah sektor Listrik, gas dan air minum sebesar 679 yang disusul sektor lembaga keuangan, real estate, usaha persewahan dan jasa perusahaan. Sementara ditahun 2011 sektor pertanian tetap menjadi sektor yang mengakomodir jumlah tenaga kerja terbesar yaitu sejumlah 158.973, diikuti oleh sektor Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan sebesar 91.393 dan sektor lainnya yang merupakan akumulasi dari sektor Pertambangan dan Penggalian, Listrik, Gas, dan Air Minum, Konstruksi, Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi dan Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan sebesar 84.978.

Page 9: apresiasi budaya

Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha tahun 2008 - 2011Sektor Ekonomi 2008 2009 2010 2011Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Peternakan, dan Perikanan

184.148 172.130 176.974 158.973

Pertambangan dan Penggalian 5.194 6.694 9.186Industri 34.268 32.431 35.228 44.015Listrik, Gas, dan Air Minum 642 554 679Konstruksi 22.344 28.360 20.296Perdagangan, Rumah makan dan Jasa Akomodasi

59.610 69.315 71.243 65.851

Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi

32.214 35.301 33.351

Lembaga Keuangan, Real Estate, Usaha Persewaan dan Jasa Perusahaan

2.986 4.126 4.647

Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan

63.720 72.051 81.322 91.393

Lainnya 84.978

B. ASAL MUASAL SEJARAH TEMPAT

Nguyen Van Huyen (1987) Pengelompokkan arsitektur rumah panggung di Asia Tenggara berdasaran kriteria bentuk melingkar, segi empat, bujur sangkar, dan lain-lain, dikaitkan dengan adat istiadat, pola hidup maupun kepercayaan penghuninya (aspek antropologis). Dalam buku tersebut juga menganalisis dengan baik secara global dalam lingkup Asia Tenggara, bentuk-bentuk arsitektur dalam wilayah luas dan menyimpulkan bahwa bentuk rumah panggung dibangun karena berbagai aspek dari luar antara lain: pengaruh alam (banjir, lahan tidak rata, berbukit-bukit, kelembaban, keamanan, dan lain-lain). Faktor dari dalam yang berperan sangat menetukan adalah adat, kepercayaan dan religi.

Sejalan dengan itu menurut Gaudenz (1980), berdasarkan analisis struktur bahwa rumah panggung merupakan konstruksi tahan gempa, dan menganalisis kaitan antara bentuk dengan aspek sosiologis dan antropologis.

Bentuk rumah tinggal juga dimanifestasikan dengan antropometrik dengan tubuh manusia yaitu atap sebagai atas (kepala), badan sebagai bagian tengah dan bagian bawah sebagai kaki pada tubuh manusia Soemalyo (2001).

Menurut Altman (1984:154) bahwa sebuah rumah (home) adalah analogi sebuah ”jendela” (window”), tempat dimana kita dapat melihat bagaimana perbedaan-perbedaan kebudayaan ditunjukkan oleh tata lingkungan fisiknya. Secara lebih terperinci Altman

Page 10: apresiasi budaya

mengemukakan bahwa ”Home is a reflection of: (1) Environmental factors, (2) Technological factor, dan (3) Cultural factors”.

Dalam suatu kelompok masyarakat senantiasa ada sesuatu yang dipandang berharga dan penting artinya. Atas dasar itu maka dalam masyarakat selanjutnya akan terbentuk sistem pelapisan sosial (social stratification), yaitu pembedaan penduduk dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Sistem pelapisan sosial ini sudah merupakan gejala yang bersifat universal yang terdapat pada setiap bentuk kemasyarakatan (Soekanto, 1990:263). Pada kasus masyarakat modern, pelapisan sosial didasarkan pada ukuran-ukuran tertentu yang selanjutnya menjadi kriteria adanya pelapisan sosial, yaitu: (1) Ukuran kekayaan, (2) ukuran kekuasaan, (3) ukuran kehormatan, dan (4) ukuran ilmu pengetahun, sedangkan pada kasus masyarakat tertentu khususnya masyarakat tradisional, menggunakan ukuran tertentu pula (Soekanto, 1990:265).

Terkait dengan apa yang dikatakan Soekanto, menurut Daulima bahwa dari tiga kerajaan besar (Suwawa, Gorontalo, Limboto) pada akhir pemerintahan Belanda sebelum peristiwa 23 Januari 1942, rakyat Gorontalo dapat digolongkan atas 4 golongan, yaitu:

1. Golongan Mongoeyo (bangsawan)

2. Golongan Udula’a (dari 2 utas buwatula) yaitu termasuk golongan menengah, bukan dari golongan bangsawan dan bukan juga dari golongan budak/wato).

3. Golongan Wali-wali, termasuk pegawai-pegawai, dokter, insinyur, dan lain-lain, yang berstatus udula’a dan Tuango-Lipu, adalah Mantri Tani, Mantri Hewan, Mantri Cacar dan Juru Tulis.

4. Golongan Tuwango Lipu, yaitu golongan rakyat biasa yang berhak mendapat jabatan Kepala Kampung, dan jabatan Syara di bawah Kadhi, Moputi dan Imam. Tetapi tidak dibatasi, apabila mereka ahli dan berbudi pekerti yang baik dapat menempati jabatan yang lebih di atas.

C. SISTEM KEPERCAYAAN DAN RELIGIOrang Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (99 %). Islam

masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16. Ada kemungkinan Islam masuk ke Gorontalo sekitar tahun 1400 Masehi (abad XV), jauh sebelum wali songo di Pulau Jawa, yaitu ditandai dengan adanya makam seorang wali yang bernama ‘Ju Panggola’ di Kelurahan Dembe I, Kota Barat, tepatnya di wilayah perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.

Pada waktu dulu di wilayah Gorontalo terdapat pemerintahan kerajaan yang bernapaskan Islam. Raja Kerajaan Gorontalo yang memeluk agama Islam adalah Sultan Amai (1550—1585), yang kemudiannya namanya diabadikan sebagai nama perguruan tinggi agama Islam di Provinsi Gorontalo, STAIN Sultan Amai Gorontalo, yang kelak diharapkan menjadi UIN (Universitas Islam Negeri) di Gorontalo.

Page 11: apresiasi budaya

Dengan adanya kerajaan-kerajaan pada masa lalu muncul kelas-kelas dalam masyarakat Gorontalo; kelas raja dan keturunannya (wali-wali), lapisan rakyat kebanyakan (tuangolipu), dan lapisan budak (wato). Perbedaan kelas ini semakin hilang seiring dengan semakin besarnya pengaruh ajaran Islam yang tidak mengenal kelas sosial. Namun, pandangan tinggi rendah dari satu pihak terhadap pihak lain masih terasakan sampai saat ini. Dasar pelapisan sosial seperti ini semakin bergeser oleh dasar lain yang baru, yaitu jabatan, gelar, pendidikan, dan kekayaan ekonomi.

Masjid Agung Baiturrahim di Masjid Agung Baiturraham di Limboto, Kota Gorontalo Kabupaten Gorontalo

Masjid Agung Baiturrahim yang terletak di pusat Kota Gorontalo dewasa ini merupakan masjid tertua yang dibangun di daerah ini. Masjid tersebut didirikan bersamaan dengan pembangunan Kota Gorontalo yang baru dipindahkan dari Dungingi ke Kota Gorontalo, tepatnya Kamis, 6 Syakban 1140 Hijriah atau 18 Maret 1728 M oleh Paduka Raja Botutihe. Belaiu adalah Kepala Pemerintahan Batato Lo Hulondalo atau Kerajaan Gorontalo pada waktu itu. Masjid Baiturrahim Kota Gorontalo adalah masjid yang tua di daerah Gorontalo. Masjid ini didirikan bertalian erat dengan perkembangan Pemerintahan adat di daerah Gorontalo.

Masjid Agung Baiturrahim telah mengalami beberapa kali revoasi. Tahun 1999 dalam masa jabatan Walikotamadya Tingkat II Gorontalo Drs. Hi. Medi Botutihe, masjid direnavasi total dengan menghabiskan biaya sekitar tiga milar rupiah. Kemudian penggunaan masjid ini diresmikan oleh Presiden Baharuddin Jusuf Habibie di Istana Merdeka, Rabu, 13 Oktober 1999 (3 Rajab 1420 H).

Sedangkan Masjid Agung Baiturrahman terletak di pusat Kota Limboto, ibu kota Kabupaten Gorontalo. Masjid terletak di samping Menara Keagungan Limboto, dan merupakan masjid terbesar di Kabupaten Gorontalo.

D. BAHASAOrang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek

Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan adalah dialek Gorontalo.

Page 12: apresiasi budaya

Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral, garis ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah dan ibu.

Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya ‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Kemudian dia menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo yang singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka inilah yang kemudian menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal masyarakat keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat tentang pendapat ini karena hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni 'Hulondalo' yang bermakna 'masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan Hulontalangi kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.

E. SISTEM KEPEMERINTAHANPemerintahan di daerah Gorontalo pada masa perkembangan kerajaankerajaan adalah

bersifat monarkikonstitusional, yang pada awal mula pembentukan kerajaan-kerajaan tersebut berakar pada kekuasaan rakyat yang menjelmakan diri dalam kekuasaan Linula, yang sesungguhnya menurutkan azas demokrasi. Organisasi pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerjasama yang disebut "Buatula Totolu", yaitu :

Buatula Bantayo; dikepalai oleh Bate yang bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan.

Buatula Bubato; dikepalai oleh Raja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha mensejahterakan masyarakat.

Buatula Bala; yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Olongia Lo Lipu (Maha Raja Kerajaan) adalah kepala pemerintahan tertinggi dalam kerajaan tetapi tidak berkuasa mutlak. Ia dipilih oleh Bantayo Poboide dan dapat dipecat atau di mazulkan juga oleh Bantayo Poboide. Masa jabatannya tidak ditentukan, tergantung dari penilaian Bantayo Poboide. Hal ini membuktikan bahwa kekuasaan tertinggi dlm kerajaan berada dalam tangan Bantayo Poboide sebagai penjelmaan dari pd kekuasaan rakyat.

Salah satu jogugu di tahun 1870 sebagai penguasa tertinggi dalam kerajaan, terdapat pula jabatan tinggi lainnya yaitu "Patila" (Mangku Bumi) selanjutnya disebut Jogugu. Wulea Lo Lipu (Marsaoleh) setingkat dengan camat. Disamping Olongia dan pembantu-pembantunya sebagai pelaksana pemerintahan seharihari terdapat suatu Badan Musyawarah Rakyat (Bantayo Poboide) yang diketuai oleh seorang Bate. Setiap kerajaan mempunyai suatu Bantayo Poboide yang berarti bangsal tempat bermusyawarah. Di dalam bangsal inilah diolah dan dirumuskan berbagai persoalan negeri, sehingga tugas Bantayo Poboide dapat diperinci sebagai berikut :

Menetapkan adat dan hukum adat. Mendampingi serta mengawasi pemerintah. Menggugat Raja.

Page 13: apresiasi budaya

Memilih dan menobatkan Raja dan pembesar-pembesar lainnya.

Bantayo Poboide dalam menetapkan sesuatu, menganut musyawarah dan mufakat untuk menghendaki suatu kebulatan suara dan bersama-sama bertanggung jawab atas setiap keputusan bersama. Demikianlah gambaran singkat tentang sejarah dan pemerintahan pada kerajaan-kerajaan di Daerah Gorontalo yang berlandaskan kekuasaan rakyat atau demokrasi.

Jogugu gorontalo

F. KESENIAN

Gorontalo memiliki tradisi mengelola sistem pemerintahannya secara pluralistik dan mandiri. Kekayaan sosio-histori ini menjadikan masyarakat Gorontalo secara kolektif terdorong untuk memajukan potensi dan mengimplementasikan aksi sosial dalam kehidupan masyarakat Gorontalo dalam nuansa nilai, norma dan tradisi lokal masyarakat. Bahkan sehubungan dengan kebiasaan ini dikenal istilah “huyula” di tengah-tengah masyarakatnya. Satu hal penting dalam budaya huyula adalah apresiasi gambaran masyarakat yang secara sadar untuk membangun kohesi sosial dimana hal itu dikelola bersama dalam falsafah ”adat bersendikan syara’, syara bersendikan Kitabullah”.Dilihat dari unsur budaya bahasa, maka Gorontalo memiliki tiga jenis bahasa daerah yaitu: -  Bahasa Gorontalo- Bahasa Suwawa- Bahasa Atinggola

Namun demikian bahasa indonesia adalah bahasa Nasional yang digunakan dan dimengerti dengan baik oleh sebagian besar penduduk Gorontalo. Agama yang dianut oleh penduduk di Provinsi Gorontalo sebagian besar adalah agama Islam, selain itu terdapat pula penganut agama protestan, katolik, hindu, budha, dan konghucu. Seni Budaya di Gorontalo berkembang dan tersebar cukup luas di masyarakat. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah baik provinsi dan kabupaten/kota terus

Page 14: apresiasi budaya

menggali dan menginventarisasi keragaman seni budaya selanjutnya dikemas dalam setiap pelaksanaan festival seni budaya baik berskala daerah maupun nasional dan internasional. Adapun beberapa upaya Pemerintah Daerah dalam mempromosikan seni dan budaya daerah meliputi:1. Pengelolaan Kekayaan Budaya

- Pemetaan sanggar budaya kab/kota ( tari tradisional, sastra lisan, musik tradisional).- Pembinaan dan pemberian subsidi sanggar budaya kab/kota.- Festival sanggar budaya se Provinsi Gorontalo.

2. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Kekayaan Budaya Lokal Daerah - Workshop guru kesenian (bahasa dan sastra lisan)- Sosialisasi Perda tentang adat, bahasa dan ejaan bahasa Gorontalo, bahasa Atinggola

dan bahasa Suwawa. - Pembinaan bahasa Gorontalo melalui RRI.- Cerita/dongeng untuk anak dalam bahasa Gorontalo melalui RRI.- Pembuatan leaflet tentang upacara adat

3. Pengelolaan Keragaman Budaya. a. Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Daerah.

- Menaikkan peringkat paduan suara Provinsi Gorontalo melalui perolehan poin pada festival paduan suara Asia dan Dunia di buku musik dunia ( musika mundi) di Jerman.

- Keikutsertaan Provinsi Gorontalo pada 2nd Asian Choir Games 2009 di Korea.- Keikutsertaan Provinsi Gorontalo pada "World Choir Games" di China.

b. Fasilitasi Penyelenggaraan Festival Budaya Daerah. - Peringatan HUT Provinsi.- Peringatan Hardiknas.- Peringatan HUT Proklamasi.- Peringatan Sumpah Pemuda.- Peringatan hari besar lainnya.

c. Penyusunan Sistem Informasi Database Bidang Kebudayaan.- Pendokumentasian lagu-lagu daerah.- Pendokumentasian tarian daerah

Selain itu, dalam jangka panjang akan dilakukan perencanaan dan pembangunan museum atau pusat seni budaya daerah. Selanjutnya tantangan kedepan pemerintah daerah adalah penyediaan tenaga-tenaga ahli dan profesional di bidang kebudayaan melalui peningkatan kemampuan SDM dan penguasaan IPTEK. Hal ini akan menjadi sangat penting sebagai upaya pelestarian, pengembangan, dan promosi seni budaya daerah.

G. PERALATAN DAN TEKNOLOGI

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat,

Page 15: apresiasi budaya

dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:

alat-alat produktif senjata wadah alat-alat menyalakan api makanan pakaian tempat berlindung dan perumahan alat-alat transportasi

H. MATA PENCAHARIAN

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:

berburu dan meramu beternak bercocok tanam di ladang menangkap ikan

I. SISTEM PENGETAHUAN

Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-percobaan yang bersifat empiris (trial and error).Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:

pengetahuan tentang alam pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku

sesama manusia pengetahuan tentang ruang dan waktu

J. DAUR HIDUP

Gorontalo adalah provinsi yang ke-32 di Indonesia. Sebelumnya Gorontalo merupakan wilayah Kabupaten Gorontalo dan Kota Madya Gorontalo di Sulawesi Utara. Seiring dengan munculnya pemekaran wilayah berkenaan dengan otonomi daerah, provinsi ini kemudian dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, tertanggal 22 Desember 2000.

Page 16: apresiasi budaya

Provinsi Gorontalo terletak di Pulau Sulawesi bagian utara atau di bagian barat Sulawesi Utara. Luas wilayah provinsi ini 11.967,64 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 1.040.164 jiwa (berdasarkan Sensus Penduduk 2010), dengan tingkat kepadatan penduduk 85 jiwa/km². Penjabat Gubernur Gorontalo yang pertama adalah Drs. H. Tursandi Alwi yang dilantik pada peresmian Provinsi Gorontalo pada tanggal 16 Februari 2001. Tanggal ini selanjutnya, sekalipun masih kontroversial, diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Provinsi Gorontalo hingga sekarang (2011).

Sampai dengan September 2011, wilayah adminitrasi Provinsi Gorontalo mencakup 5 kabuapten (Kabupaten Boalemo, Bone Bolango, Gorontalo, Gorontalo Utara, dan Pohuwato), 1 kota (Kota Gorontalo), 75 kecamatan, 532 desa, dan 69 kelurahan. Data ini terus mengalami perubahan seiring dengan adanya proses pemekaran kabupaten/ kota, kecamatan, desa, atau kelurahan yang ada di Provinsi Gorontalo hingga sekarang.

K. SANDANG, PANGAN, PAPAN

L. PERALATAN

M. ARSITEKTUR BANGUNAN

Kekayaan budaya indonesia luar biasa sekali, beragam rumah tradisional merupakan salah satu inspirasi dalam design Seperti halnya yang terdapat di daerah lain di Indonesia, Daerah Gorontalo pun memiliki rumah adatnya sendiri, yang disebut Bandayo Poboide. Rumah adat ini terletak di tepat di depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan Jenderal Sudirman, Limboto Kabupaten Gorontalo. Selain Bandayo Poboide, masyarakat Gorontalo juga memiliki rumah adat yang lain, yang disebut Dulohupa. Rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarat kerabat kerajaan pada masa lampau. Dulohupa merupakan rumah panggung yang terbuat dari papan, dengan bentuk atap khas daerah Gorontalo. Pada bagian belakang ada ajungan tempat para raja dan kerabat istana untuk beristirahat atau bersantai sambil melihat kegiatan remaja istana bermain sepak raga.

Rumah adat Dulohupa atau di kenal dengan nama Yiladia Dulohupa Lo Ulipu Hulondhalo memiliki luas tanah kurang lebih lima ratus persegi. Dilengkapi dengan taman bunga, serta bangunan tempat penjualan souvenir, dan ada sebuah bangunan garasi bendi kerajaan yang bernama Talanggeda. Pada masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan kerajaan, untuk memvonis para pengkhianat negara melalui sidang tiga alur pejabat pemerintahan, yaitu Buwatulo Bala (Alur Pertahanan / Keamanan), Buwatulo Syara (Alur Hukum Agama Islam), dan Buwatulo Adati (Alur Hukum Adat).

Page 17: apresiasi budaya

Rumah Adat Dulohupa terletak di Kelurahan Limba U2, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Bangunan ini sering digunakan sebagai lokasi pagelaran budaya serta pertunjukan seni di Gorontalo. Di dalamnya terdapat berbagai ruang khusus dengan fungsi yang berbeda. Gaya arsitekturnya menunjukkan nilai – nilai budaya masyarakat Gorontalo yang bernuansa Islami.

Rumah Adat Dulohupa merupakan gambaran Rumah Adat masyarakat Gorontalo yang berbentuk panggung dengan bentuk atap yang artistik dan pilar-pilar kayu sebagai hiasannya. Kedua tangganya yang terletak disisi kiri dan kanan merupakan gambaran tangga adat yang disebut tolitihu. Dimana Rumah Adat ini berfungsi sebagai balai musyawarah Adat Dulohupa. Nama Dulohupa yang melekat pada Rumah Adat ini merupakan bahasa daerah gorontalo yang berarti mufakat untuk memprogramkan rencana atau balai musyawarah dari kerabat kerajaan.

Bentuk rumah asli masyarakat Gorontalo tempo dulu ini. sudah sedikit dijumpai. Jumlahnya pun tak seberapa. Sekarang ini rumah asli Gorontalo tersebut hanya bisa dijumpai di beberapa tempat. Seperti di seputaran Jalan Pulau Kalengkoan, Jl. Agus Salim, Kelurahan Huangobotu, Kelurahan Biawau serta di Jl. Trans Limboto – Isimu.

Wajah Kota Gorontalo kini semakin ramai. Bangunan rumah, kantor hingga pasar / toko dengan arsitek moderen silih berganti menghiasi kota yang berjuluk serambi madinah ini. Mulai dari gaya Eropa, Yunani hingga minimalis modern. Semoga hal ini, tidak menjadikan rumah adat leluhur peninggalan nenek moyang berupa bangunan rumah yang terbuat dari kayu dan berbentuk panggung, dengan gaya arsitektur tradisional tidak terpinggirkan. Sudah saatnya melestarikan rumah adat daerah gorontalo, agar kelak anak cucu kita bisa mengetahui seperti apa rumah asli dari nenek moyangnya.

N. ARSITEKTUR BENTANG ALAM

Wilayah Provinsi Gorontalo sebagian besar merupakan daerah dataran dan perbukitan. Sepanjang dari Atinggola sampai molosifat memiliki ketinggian yang berbeda-beda, dengan variasi ketinggian antara 0 sampai sedikit di atas 2.000 m dari permukaan laut. Wilayah Kota Gorontalo adalah yang terletak pada elevasi yang paling rendah, dari 0 sampai 500 meter di atas permukaan laut. Sementara itu, Kabupaten Gorontalo yang dibangun oleh wilayah dataran dan pegunungan berada pada elevasi yang lebih bervariasi, dari 0 sampai di atas 1.000 m dari permukaan laut (wilayah dengan ketinggian antara 0 sampai 500 m adalah yang dominan). Kabupaten Boalemo yang juga dibangun

Page 18: apresiasi budaya

oleh wilayah dengan topografi datar sampai bergunung terletak pada ketinggian lebih bervariasi, dari 0 sampai sedikit di atas 2.000 m dari permukaan laut. Meskipun demikian, elevasi di atas 2.000 m dpl hanya ditemukan di daerah perbatasan dengan Sulawesi Tengah.

Satuan morfologi pegunungan dicirikan dengan bentuk bentang alam berbentuk kerucut, dengan puncak-puncak tertinggi adalah Gunung Tabongo (2.100 mdpl), Gunung Boliyohuto (2.065 mdpl), Gunung Mopangga (2.051 mdpl) dan Gunung pontolo (2.017 mdpl).

Kelas Kemiringan Lereng Provinsi Gorontalo

KelasLereng

Kemiringan

(%)

Luas(ha)

persentase(%)

A 0 – 2 123.596 10,3B 2-8 69.156 5,8C 8-15 61.572 5,1D 15 – 40 109.041 9,0E > 40 833.399 69,7

Jumlah1.196.76

4 100Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Gorontalo Tahun 2007

Morfologi Gorontalo sebagian besar adalah perbukitan. Gunung Tabongo yang terletak di Kabupaten Boalemo merupakan gunung yang tertinggi di Provinsi Gorontalo dengan ketinggian 2.100 m dari permukaan laut. Sedangkan Gunung Litu‐Litu yang terletak di Kabupaten Gorontalo adalah gunung terendah dengan ketinggian 884 m dari permukaan laut. Selain itu, provinsi ini juga dilintasi oleh beberapa sungai. Sungai Paguyaman yang terletak di Kabupaten Boalemo adalah sungai terpanjang dengan panjang aliran 99,3 km. Sedangkan sungai yang terpendek adalah Sungai Bolontio dengan panjang aliran 5,3 km yang terletak di Kabupaten Gorontalo Utara.

2.2 APRESIASI BUDAYA BERARSITEKTUR (TRADISIONAL/VERNAKULAR)

A. BENTUK PENERAPAN/ APLIKASI/ APRESIASI DALAM BANGUNAN (MODERN DAN VERNAKULER)

Dari hasil kajian 10 sampel di atas berdasarkan tata fisik rumah tinggalnya dan berdasarkan hasil wawancara, ternyata dibalik variasi tata fisik tersebut tersirat tiga makna pokok yang terkait dengan status sosial seseorang sehingga dalam menganalisis karakteristik rumah tinggal masyarakat gorontalo pada zaman dahulu dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu:

1. Rumah tinggal yang dihuni oleh Raja/golongan bangsawan. Rumah tinggal jenis ini sudah tidak ditemukan lagi, untuk kepetingan studi pembahasan rumah raja dilakukan

Page 19: apresiasi budaya

dengan memadukan hasil wawancara dari pemuka adat dan melihat replika rumah raja yang selama ini digunakan sebagai tempat pelaksanaan proses adat. Rumah ini dinamakan Banthayo Poboide. Menurut wawancara dengan Daulima bahwa Banthayo Poboide ini merupakan replika rumah raja pada jaman dahulu

2. Rumah tinggal yang dihuni oleh orang berada/kaya3. Rumah tinggal yang dihuni oleh rakyat kebanyakan/rakyat biasa (golongan menengah

ke bawah).

Ketiga kategori dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pola dan bentuk bangunan segiempat utuh dan berbentuk rumah panggung. Jenis tiang dibagi 3 jenis yaitu 2 buah tiang utama (wolihi) yang menerus dari tanah

ke atap, 6 buah tiang di serambi depan dan tiang dasar (potu) bervariasi tergantung kategori rumah, yakni Formasi dan jumlah tiang, 4 x 8 atau 32 tiang untuk golongan bangsawan atas termasuk raja, 4 x 6, 4 x 7 atau 24 dan 28 tiang untuk golongan bangsawan menengah atau golongan berada/kaya, 4 x 5 atau 20 tiang untuk rumah rakyat kebanyakan/biasa Untuk kategori pertama bukti otentik tidak ditemukan lagi di lapangan, analisis dilakukan dengan melihat ciri umum yang terdapat pada golongan bangsawan menengah dengan memadukan hasil wawancara dengan pemuka adat/budayawan.

Fungsi dan formasi spasial tata ruang rumah secara vertikal terbagi tiga, masing-masing; tahuwa (ruang bawah/kolong) merupakan ruang bagian bawah tempat pajangan benda-benda budaya, biasanya dipasang alat tenun untuk menenun sarung dari benang kapas, menyimpan hasil bumi serta menyimpan peralatan pertanian, ruang tengah/badan rumah dan ruang atas/atap.

Page 20: apresiasi budaya
Page 21: apresiasi budaya
Page 22: apresiasi budaya
Page 23: apresiasi budaya
Page 24: apresiasi budaya

Secara horisontal ruang terbagi 3 bagian, yakni: surambe atau ruang depan/teras (tempat menerima tamu laki-laki), ruang tengah/bangunan induk terdiri dari duledehu/hihibata (tempat menerima tamu perempuan), huali (kamar/tempat istirahat), dulawonga (ruangan pada bagian belakang yang dipakai untuk melepaskan lelah, hantaleya (teras samping kiri dan kanan rumah agak rendah dari bagian induk hanya terdapat pada rumah raja yang berfungsi sebagai selasar dan pengawal raja. Tidak terdapat bangunan khusus dapur untuk rumah raja oleh karena makanan dan minuman penghuni istana disediakan dari luar yang pengadaannya diatur secara bergilir pada anak negeri.

Sementara menurut Daulima (2008) ruang belakang/dapur (depula) pada rumah rakyat biasa/kebanyakan, pada mulanya dipisahkan oleh hulude/jembatan sebagai selasar penghubung dengan bangunan utama/induk dimana lantainya lebih rendah 2 anak tangga dari bangunan induk. Menurut adat masyarakat Gorontalo, dapur ini merupakan rahasia jadi setiap tamu yang bertandang dirumah tidak melewati jembatan tersebut.

Tidak ada aturan untuk orientasi rumah semua menghadap ke jalan. Hal ini dikarenakan adanya hubungan interaksi antar komunitas dalam masyarakat kampung. Khusus untuk rumah raja pada jaman dahulu berorientasi ke alun-alun (lapangan).

Perletakan tu’adu (tangga) pada mulanya hanya satu yang diletakkan di tengah tegak lurus bersandar pada duledehu/serambi dengan jumlah anak tangga 5 atau 7. Kemudian berkembang menjadi 2 tangga yang terletak disamping kiri dan kanan. Perkembangan terakhir merupakan pengaruh zaman Belanda. Jumlah anak tangga 7 untuk rumah bangsawan dan 5 untuk rakyat biasa.

Dimensi bangunan bervariasi tergantung dari jumlah petak/besar ruang sesuai dengan status sosial penghuni (lihat poin 2 di atas).

Bentuk atap bersusun 2 dengan lisplank yang dihiasi ornamen untuk rumah bangsawan, sedang untuk golongan berada/menengah atap bersusun sebagian dihiasi dengan ornamen dan untuk golongan rakyat biasa atapnya sebagian bersusun dan sebagian tidak bersusun. Perkembangan terakhir perbedaan status sosial tidak lagi dapat dibedakan berdasarkan susunan atapnya.

Penggunaan jalamba (ornamen yang terletak pada bagian atas pintu/jendela dan ornamen yang menghias reiling tangga dan teras) pada golongan bangsawan berbentuk silang dengan berbagai variasi sementara untuk golongan rakyat biasa berbentuk silang tetapi dengan model yang lebih sederhana. Berbagai bentuk geometris lain berkembang setelah masuknya islam dengan berbagai variasi.

Struktur dan konstruksi untuk ketiga kategori tidak terdapat perbedaan, dimana sistem sambungan masih menggunakan pen dan pasak.

Penggunaan material (lantai, plafond, dinding, tangga) untuk golongan bangsawan seluruhnya menggunakan kayu/papan, untuk rumah rakyat biasa/ kebanyakan, sebagian masih gabungan antara kayu dan bambu. sedangkan mateial atap seluruhnya sudah menggunakan seng yang pada mulanya menggunakan rumbia. Untuk material tiang baik pada golongan bangsawan maupun rakyat biasa sebagian besar sudah mengalami perubahan yakni dari material/konstruksi kayu menjadi konstruksi batu (susunan batu bata). Konstruksi ini berkembang sejak masuknya pemerintahan Belanda di Gorontalo

Page 25: apresiasi budaya

Tinjauan Filosofis Arsitektur Rumah Panggung Masyarakat Gorontalo Filosofi adalah latar belakang alam pikiran yang melandasi penentuan bentuk, tata

ruang, bahan, serta upacara yang dipakai dalam perwujudan arsitektur. Beberapa filosofi rumah tradisional gorontalo:

1) BentukSebagaimana bentuk rumah tradisional lainnya, rumah masyarakat gorontalo

berbentuk panggung yang merupakan analogi dari bentuk tubuh manusia yang terdiri dari kaki, badan dan kepala berupa kolong/tiang badan rumah dan atap. Terdapat keseragaman pada proporsi rumah hal ini disebabkan filosofi yang tekait dengan ukuran rumah baik secara vertikal maupun secara horisantal.

Untuk mengukur ketinggian, panjang dan lebar rumah dengan menggunakan depa, dengan aturan 1 depa dikurangi 1 jengkal hasil pengurangan dibagi 8. Angka 8 memberi makna keadaan yang selalu terjadi pada diri manusia, yakni : rahmat, celaka, beruntung, kerugian, beranak, kematian, umur dan hangus. Jika angka tersebut berakhir pada yang tidak baik maka harus ditambah atau dikurangi satu. Jenis tiang dibedakan atas:

Tiang utama (wolihi) pada denah bangunan diberi kode A (lihat pada tabel di atas). Sebanyak 2 buah ditancap di atas tanah langsung ke rangka atap. Tiang ini sebagai perlambang janji atau ikrar persatuan dan kesatuan yang kekal abadi antara dua bersaudara Gorontalo-Limboto (janji lou dulowo mohutato-Hulontalo-Limutu) pada tahun 1664. Selain itu angka 2 melambangkan delito (pola) adat dan syariat sebagai falsafah hidup masyarakat yang harus dipegang teguh baik dalam pemerintahan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Tiang depan sebanyak 6 buah diberi kode B lihat tabel 1(formasi dan jumlah tiang), mempunyai makna 6 sifat utama atau ciri masyarakat lou dulowo limo lopahalaa yaitu:sifat tinepo-tenggang rasa, sifat tombulao-hormat, sifat tombulu-bakti kepada penguasa, sifat wuudu-sesuai kewajaran, sifat adati-patuh kepada peraturan, sifat butoo-taat pada keputusan hakim.

Tiang dasar (potu) khusus untuk golongan raja, jumlah tiang 32 sebagai perlambang 32 penjuru mataangin.

Bentuk tiang pada bagian depan/serambi yang berbentuk persegi, ada yang 4, 6 atau 8 menunjukkan jumlah budak masing-masing raja. Bentuk ini kemudian menjadi tradisi yang diikuti secara turun temurun sekalipun bukan pada rumah bangsawan. Jadi tidak lagi mengandung makna tertentu tetapi hanya sekedar estetika. Jumlah anak tangga terdiri dari 5 sampai dengan 7. Angka lima melambangkan rukun islam serta 5 prinsip hidup masyarakat gorontalo, yaitu: Bangusa talalo, Lipu poduluwalo, Batanga pomaya, Upango potombulu, Nyawa podungalo, artinya keturunan dijaga, negeri dibela, diri diabdikan, harta diwakafkan/dikorbankan, nyawa taruhannya. Angka 7 bermakna 7 martabat (tingkatan nafsu pada manusia) yakni amarah, lauwamah, mulhimah, muthmainnah, rathiah, mardhiah, dan kamilan.

Page 26: apresiasi budaya

Atap dua susun pada melambangkan adat dan syariat. Pada bagian puncak atap awalnya terdapat Talapua yaitu dua batang kayu yang dipasang bersilang pada puncak atap menurut kepercayaan masyarakat gorontalo sebagai penangkal roh jahat (sekarang sudah tidak ditemukan lagi).

Tange lo bu’ulu yang digantung pada dinding bagian depan rumah di samping pintu masuk melambangkan kesejahteraan masyarakat gorontalo.

2) Tata Ruang

Pola ruang yang berbentuk segi empat pertanda empat kekuatan alam yakni air, api, angin, dan tanah. Tidak ada aturan untuk penataan ruang kecuali pada saat awal mula pembangunan rumah tidak diperkenankan membuat kamar lebih dari 3. Penambahan kamardilakukan belakangan setelah rumah itu dihuni. Ini terkait dengan kepercayaan masyarakat gorontalo tentang 3 tahapan keadaban manusia yakni bermula dari tidak ada, ada dan berakhir dengan tiada (alam rahim, alam dunia, dan alam akhirat).

Terkait dengan letak kamar yang diletakkan berjejer kebelakang atau posisi bersilang sebaiknya posisi kamar tidur utama berada pada sisi kanan pada saat keluar dari rumah. Dengan harapan bahwa apabila si empunya rumah jika turun/keluar rumah tetap ingat untuk pulang, dan sebaiknya arah kamar melihat arah aliran sungai yakni apabila sungai mengalir dari utara ke selatan sebaiknya kamar dibuat menghadap ke utara dengan harapan dapat menampung rejeki yang mengalir seperti derasnya aliran air sungai mengalir. Untuk kamar tidur anak laki-laki berada pada bagian depan dan untuk anak perempuan pada bagian belakang. Aturan untuk tidak memperkenankan tamu laki-laki masuk ke dalam rumah (tamu laki-laki hanya sampai di serambe/teras) adalah merupakan ajaran islam yang tidak memperkenankan yang bukan muhrim masuk ke dalam rumah. Ini menunjukkan bahwa ajaran agama islam sudah diberlakukan sebagai suatu adat yang tidak boleh dilanggar. Pembeda fungsi ruang diperkuat dengan adanya Pihito berupa balok yang menonjol di atas lantai yang berfungsi sebagai pembatas dari fungsi ruang menandakan bahwa aspek privacy sudah menjadi perhatian utamanya setelah masuknya islam.

Letak dapur yang dipisahkan oleh jembatan dengan bangunan induk/utama menurut adat masyarakat Gorontalo bahwa dapur merupakan rahasia jadi setiap tamu yang bertandang tidak boleh melewati jembatan tersebut. Dan yang paling penting diperhatikan adalah perletakan dapur/tempat memasak yang tidak boleh menghadap ke kiblat, karena menurut kepercayaan masyarakat jaman dahulu rumah akan mudah terbakar.

3) Upacara

Proses mendirikan rumah merupakan rangkaian kegiatan yang pada prinsipnya dapat dikelompokkan dalam 3 tahapan: (1) tahap perencanaan, (2) tahap rancang-bangun, dan terakhir (3) tahap penghunian.

a) Tahap Perencanaan. Setiap akan mendirikan rumah maka terlebih dahulu dilakukan musyawarah yang dipimpin oleh pemuka adat terdekat (ahli rumah, untuk membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan persiapan dan kesiapan pemilik rumah. Utamanya dalam

Page 27: apresiasi budaya

nenentukan hari baik dan jam yang tepat, untuk membuat pola rumah (momayango). Hari dan waktu yang tepat dilakukan dengan mencocokkan antara nama penghuni rumah (kepala rumah tangga) dengan penanggalan berdasarkan hitung-hitungan yang dilakukan oleh imam desa (orang yang dianggap mempunyai keahlian dalam membuat rumah).

b) Tahap rancang-bangun. Tahap ini merupakan bagian dari proses membangun rumah. Dalam hal penetapan lokasi termasuk dalam hal pemilihan titik yang tepat yang nantinya akan digunakan untuk pemancangan tiang pertama dilakukan upacara yang dilakukan oleh orang ahli momayango. Penentuan titik ini dilakukan berdasarkan hitungan berdasarkan bulan di langit dan posisi naga. Pada tahapan ini juga termasuk dalam penentuan panjang dan lebar rumah dimana menggunakan depa dari kepala dan ibu rumah tangga.

c) Tahap Penghunian, tahap dimana rumah telah selesai dan siap untuk dihuni. Pada saat ini diadakan upacara dengan menggantungkan pisang masak satu tandan dan beberapa perkakas rumah ditidurkan di dalam rumah itu pada malam naik rumah baru.

B. KRITIK ARSITEKTUR TERKAIT APLIKASI

Bentuk rumah modern gorontalo sudah tidak lagi mengikuti bentuk rumah panggung hanya pada bagian pintu yang masih meengadopsi bentuk tradisional atau vernakuler sesuai dengan kebuyaaan masyarakat gorontalo yang mayoritas penduduknya beragama islam

BAB III

Page 28: apresiasi budaya

ANALISA DAN PEMBAHASAN

Bangunan modern di Gorontalo yaitu Masjid Agung Baiturrahim berdiri sezaman dengan pembangunan Provinsi Gorontalo. Masjid ini didirikan bersamaan dengan perpindahan ibukota Gorontalo dari Dungingi ke Kota Gorontalo. Pembangunan masjid dilakukan ketika Provinsi Gorontalo, yang kala itu masih berbentuk kerajaan, diperintah oleh Paduka Raja Botutihe (Kepala Pemerintahan Batato Lo Hulondalo atau Kerajaan Gorontalo) pada Kamis, 6 Syakban 1140 Hijriah atau 18 Maret 1728 Masehi. Sejarah berdirinya Masjid Agung Baiturrahim bertalian erat dengan sejarah pemerintahan adat di wilayah Gorontalo. Menurut data sejarah, Masjid Agung Baiturrahim didirikan di pusat Kerajaan Gorontalo atau disebut Batato. Daerah ini meliputi Yiladiya (Rumah Raja), Bantayo Poboide (Balairung/Balai Musyawarah), Loji (rumah kediaman Apitaluwu atau Pejabat Keamanan Kerajaan), dan Bele Biya/Bele Tolotuhu (rumah pejabat kerajaan).

Pada awalnya, Masjid Agung Baiturrahim dibangun dengan bahan baku yang terbuat dari kayu. Pada tahun 1175 H atau bertepatan dengan tahun 1761 M, Raja Unonongo melakukan renovasi dengan mengganti tiang-tiang masjid yang semula terbuat dari kayu dengan bangunan berfondasi. Selain itu, dinding masjid yang semula terbuat dari kayu diganti dengan dinding batu setebal sekitar 0,8 meter. Sejarah mencatat bahwa Masjid Agung Baiturrahim juga sempat rusak parah akibat terkena gempa bumi pada 1938. Kala itu, bangunan masjid dianggap tak layak untuk dijadikan tempat ibadah sehingga para jamaah terpaksa beribadah di bangunan darurat yang berada di dekat masjid. Keadaan tersebut berlangsung selama 8 tahun (1938-1946). Akhirnya pada 1947 dilakukan pembangunan kembali Masjid Agung Baiturrahim oleh Abdullah Usman, Pimpinan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga atau kala itu disebut BOW (Burgerlijk Operture Walken).

Page 29: apresiasi budaya

z

Selain renovasi-renovasi tersebut di atas, Masjid Agung Baiturrahim juga mengalami beberapa perubahan, baik bentuk fisik maupun kepengurusan (takmir) masjid. Perubahan-perubahan tersebut, antara lain pada tahun 1964, masjid ini mengalami perluasan dengan penambahan serambi pada bagian utara dan barat di bawah kepanitiaan yang dipimpin oleh T. Niode; tahun 1969 dibentuk panitia pelaksana harian masjid yang dipimpin oleh H. Yusuf Polapa, kemudian K.O. Naki, B.A. dan A. Naue, sekaligus pimpinan ibadah oleh Kadi Abas Rauf; pada 1982 dilakukan penambahan ruangan untuk jamaah wanita pada bagian selatan oleh Drs. H. Hasan Abas Nusi, Walikota Kotamadya Gorontalo.

Pada tahun 1988 dilakukan penataan pagar dan halaman oleh Drs. Ahmad Najamuddin, Walikota Kotamadya KDH Tingkat II Gorontalo; pada 1996 dilakukan penataan sumur bor sebagai tempat pengambilan air wudhu dan pendirian menara masjid oleh Drs. H. Ahmad Arbie, Walikota Kotamadya Tingkat II Gorontalo; dan terakhir pada 1999, ketika Gorontalo dipimpin oleh Drs. H. Medi Botutihe, dilakukan pemugaran total Masjid Agung Baiturahim yang menghabiskan dana sekitar Rp. 3 Milyar. Usai dipugar, Masjid Agung Baiturrahim diresmikan oleh Presiden Baharuddin Jusuf Habibie di Istana Merdeka, pada 3 Rajab 1420 H atau bertepatan dengan hari Rabu, 13 Oktober 1999.Masjid Agung Baiturrahim hingga saat ini ditahbiskan sebagai masjid terbesar se-Kota Gorontalo. Selain terbesar, masjid ini juga merupakan masjid tertua di wilayah Kota Gorontalo. Masjid ini didirikan bersamaan dengan pembangunan Kota Gorontalo yang dipindahkan dari Dungingi ke Kota Gorontalo oleh Paduka Raja Botutihe (Kepala Pemerintahan Batato Lo Hulondalo atau Kerajaan Gorontalo) pada Kamis, 6 Syakban 1140 Hijriah atau 18 Maret 1728 Masehi.

Page 30: apresiasi budaya

Status sebagai masjid tertua membuat bangunan ini layak dijadikan sebagai obyek kajian bagi Anda yang ingin berwisata sekaligus belajar atau sekadar mengenal tentang sejarah Gorontalo. Perpaduan arsitektur antara timur tengah dan budaya asli Gorontalo membuat masjid ini cukup unik sebagai tempat wisata religi. Selain itu, predikat sebagai masjid tertua tampaknya tidak terkesan di tempat ini. Pasalnya bangunan masjid adalah bangunan modern yang terlihat megah dan anggun sekaligus cukup mencolok karena berada tepat di jantung ibukota Provinsi Gorontalo. Masjid Agung Baiturrahim terletak di pusat Kota Gorontalo, Provinsi Gorontalo Akses menuju Masjid Agung Baiturrahim sangat mudah karena lokasi masjid ini berada tepat di jantung Kota Gorontalo. Dari berbagai tempat, misalnya bandar udara, pelabuhan, hingga terminal bus, lokasi Masjid Agung Baiturrahim sangat mudah dijangkau, baik menggunakan mobil pribadi maupun angkutan umum, semisal becak motor (bentor).

Rumah dalam bahasa gorontalo disebut Bele. Berdasarkan sejarah pekembangan rumah masyarakat Gorontalo mulai dari yang paling sederhana yakni membuat hunian di pohon-pohon sampai ke perkembangan rumah yang lebih sempurna yang dinamakan Bele Dupi. Bele Dupi inilah yang berkembang terus menyesuaikan peradaban masyarakat gorontalo yang sampai sekarang sudah mulai punah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Daulima (2008) diperoleh bahwa berdasarkan strata sosial, orang yang mendiami rumah pada masyarakat gorontalo pada zaman dahulu, rumah (Bele) digolongkan menjadi:

1. Bele Yiladea, jenis rumah yang dihuni oleh raja pada pusat-pusat kerajaan di setiap kabupaten.

2. Bele Lo ti duulu, yakni rumah yang dihuni oleh kepala kampung, dilengkapi dengan penodopo.

3. Bele Pitu lo palata (rumah tujuh buah atap rumbia, 1 atap panjang 3 meter berarti panjang rumah 7 x 3 meter = 21 meter), dan lebar 60 cm berarti 7 x 60 berarti 4,20 m, yakni jenis rumah yang dihuni oleh orang kaya.

4. Bele Dupi, yakni jenis rumah yang ditinggali oleh masyarakat kebanyakan.

Page 31: apresiasi budaya

Berdasarkan pada temuan/fakta di lapangan (grounded) di tiga lokasi penelitian yakni Limboto, Suwawa, dan kota Gorontalo (mewakili 3 lokasi dari 3 kabupaten kota yang menjadi lokasi penelitian) diperoleh 25 sampel. Dari 25 sampel tersebut diambil 10 sampel yang dipandang cukup mewakili untuk mengidentifikasi Arsitektur Rumah Masyarakat Gorontalo yang berbentuk panggung. Selanjutnya kesepuluh sampel tersebut dianalisis kemudian dilakukan pembahasan. Seleksi sampel ini dilakukan melihat beragamnya bentuk yang ada yang sudah mengalami perubahan/modifikasi atau pengaruh-pengaruh dari luar. Indikator yang digunakan sebagai parameter dalam penyeleksian sampel adalah Sistem Spasial (Spasial System), Sistem Fisik (Physical System), dan Sistem Model (Stylistic System)

BAB IV

Page 32: apresiasi budaya

KESIMPULAN DAN ARAHAN RANCANGAN

Kesimpulan

Karakteristik fisik (tangible) rumah panggung secara kasat mata menunjukkan keseragaman. Ini terlihat dari proporsi (perbandingan panjang, lebar dan tinggi rumah), sistem spasial baik secara vertikal dan horisontal, sistem konstruksi, penggunaan material, bentuk/model pintu dan jendela. Sedangkan keberagaman jika diperhatikan secara sekesama terlihat pada bentuk/susunan atap, ornamen, jumlah dan posisi tangga. Adapun makna filosofis (intangible) yang terungkap dari perwujudannya mulai dari prosesi pembangunan dari tahap perencanaan sampai tahap peghunian. Perwujudan rumah secara vertikal merupakan analogi dari unsur kepala, badan dan kaki

Penerapan filosofi angka 2,3,5,6,7, dan 8 memiliki makna tertentu dalam perwujudan rumah mulai dari ketinggian rumah, luasan rumah, penentuan jumlah kamar tidur, jumlah anak tangga, susunan atap, serta bentuk, formasi dan jumlah tiang.

Makna filosofi yang melandasi perwujudan arsitektur rumah panggung masyarakat Gorontalo pada hakekatnya berpangkal pada etika/adat dalam berperilaku yang senantiasa berasaskan pada prinsip-prinsip Islam dan Adat yang terkait dengan pelaksanaan pemerintahan yang mana sebagian besar dipengaruhi oleh latar belakang sejarah gorontalo yang berbentuk kerajaan.

Sekalipun perbedaannya tidak begitu nampak tetapi secara keseluruhan rumah masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu dapat dibedakan berdasarkan status sosialnya yakni rumah untuk golongan raja/bangsawan, rumah untuk golongan kaya/berada, dan rumah untuk rakyat biasa/kebanyakan. Perbedaan ini nampak jelas pada dimensi rumah, bentuk atap, dan penggunaan ragam hias/ ornamen.

Arahan Rancangan

Gorontalo yang diberi gelar sebagai salah satu daerah adat sudah seyogyanya tercermin dari karya-karya arsitekturnya. Oleh karena itu kepada pemerintah daerah disarankan agar setiap pemberian perizinan bagi perencanaan bangunan khususnya bangunan-bangunan umum sudah seharusnya memberikan persyaratan agar setiap perencanaan memuat nilai-nilai arsitektur tradisional sebagai suatu upaya pelestarian nilai-nilai budaya.