Appendicitis 2

32
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Banyak orang mengabaikan kesehatan untuk dirinya sendiri, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah pola hidup yang kurang baik yang menyebabkan orang memiliki suatu penyakit yang seharusnya dapat dicegah apabila ada kesadaran dari individu tersebut. Terutama berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi sebagai sarana hidup manusia untuk tumbuh tetapi individu cenderung untuk mengikuti zaman dimana saat ini konsumsi makanan sangat beragam, contohnya makan makanan yang kurang mengandung serat. Ini dapat menjadi pencetus penyakit radang appendiks atau sering disebut appendicitis sehingga dapat mengganggu fungsi optimal dari sistem gastrointestinal terutama di usus halus. Di Amerika diperkirakan 7%-8% penduduk menderita appendicitis dengan 1,1 kasus per 1000 orang per tahun. Appendicitis terjadi sebagian besar akibat meningkatnya konsumsi makanan rendah serat, adanya peradangan pada lumen. Angka mortalitas 0,2- 0,8% yang menghubungkan komplikasi terhadap penyakit lebih baik daripada tindakan pembedahan. Angka mortalitas meningkat 20% pada pasien usia 70 tahun,

Transcript of Appendicitis 2

Page 1: Appendicitis 2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Banyak

orang mengabaikan kesehatan untuk dirinya sendiri, hal ini dipengaruhi oleh

berbagai faktor diantaranya adalah pola hidup yang kurang baik yang

menyebabkan orang memiliki suatu penyakit yang seharusnya dapat dicegah

apabila ada kesadaran dari individu tersebut. Terutama berhubungan dengan

pemenuhan kebutuhan nutrisi sebagai sarana hidup manusia untuk tumbuh

tetapi individu cenderung untuk mengikuti zaman dimana saat ini konsumsi

makanan sangat beragam, contohnya makan makanan yang kurang

mengandung serat. Ini dapat menjadi pencetus penyakit radang appendiks

atau sering disebut appendicitis sehingga dapat mengganggu fungsi optimal

dari sistem gastrointestinal terutama di usus halus.

Di Amerika diperkirakan 7%-8% penduduk menderita appendicitis

dengan 1,1 kasus per 1000 orang per tahun. Appendicitis terjadi sebagian

besar akibat meningkatnya konsumsi makanan rendah serat, adanya

peradangan pada lumen. Angka mortalitas 0,2-0,8% yang menghubungkan

komplikasi terhadap penyakit lebih baik daripada tindakan pembedahan.

Angka mortalitas meningkat 20% pada pasien usia 70 tahun, terutama karena

keterlambatan diagnostik dan terapi. Perforasi dapat terjadi pada usia 18

tahun dan 50 tahun. Kemungkinan karena keterlambatan diagnosis.

Appendiks perforasi gabungan dengan meningkatnya angka morbiditas dan

mortalitas. Dalam perkembangannya appendicitis sering menyerang orang

antara usia 10-30 tahun. Salah satunya lebih beralasan untuk pembedahan

darurat abdomen pada anak-anak. (http://wwe.emedicine.com/EME

RE/topic41.html).

Berdasarkan hal di ataslah yang melatarbelakangi penulis menyusun

penerapan asuhan keperawatan pada pasien dengan appendicitis. Karena

sebagai perawat kita memegang peranan penting dalam upaya pencegahan

komplikasi yang akan berakibat lebih lanjut, dengan memberikan pendidikan

kesehatan tentang gaya hidup yang sehat seperti: menganjurkan untuk

mengkonsumsi makanan tinggi serat, banyak minum air putih, jangan

Page 2: Appendicitis 2

menahan keinginan defekasi (buang air besar). Hal ini dapat memperkecil

terjadinya penyakit appendicitis.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Mengetahui dan memahami latar belakang penyakit, definisi, dan

patofisiologi dari appendicitis.

2. Menambah pengalaman nyata dalam merawat dan memberikan asuhan

keperawatan pada penderita appendicitis.

3. Membandingkan antara teori dan kasus yang ada di lapangan.

4. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam memberikan asuhan

keperawatan di lapangan.

C. Metode Penulisan

Adapun metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah

ini:

1. Studi pustaka

Mempelajari dan mengambil beberapa literatur yang berhubungan dengan

penyakit appendicitis.

2. Studi kasus

Pengamatan langsung pada pasien Tn. D di unit Fransiskus PKSC dengan

appendicitis meliputi wawancara langsung dan melakukan penerapan

asuhan keperawatan.

D. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan makalah ini, penulis mengawali dengan kata

pengantar, dan daftar isi, dilanjutkan dengan Bab I Pendahuluan yang berisi

latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan,

kemudian Bab II Tinjauan teoritis yang berisi konsep dasar medik dan

konsep asuhan keperawatan serta patoflowdiagram, Bab III Pengamatan

kasus dan Bab IV berisi pembahasan kasus, diakhiri dengan Bab V

kesimpulan dan terlampir daftar pustaka.

Page 3: Appendicitis 2

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. KONSEP DASAR MEDIK

1. Definisi

Appendicitis adalah suatu peradangan pada appendiks, yang

merupakan saluran tersembunyi yang memanjang dari bagian depan

sekum (Lewis, 2000, hal 1150).

Appendicitis adalah inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari

rongga abdomen (Brunner and Suddarth, 2002, hal 1997).

Appendicitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis yang

letaknya dekat katup sfingter diantara ileum (usus halus) dan sekum

(usus besar). (Barbara, hal 1091).

2. Klasifikasi

Appendicitis dibagi atas 2 yaitu:

a. Appendicitis akut

1) Appendicitis akut focalis atau segmentalis

Biasanya hanya bagian distal yang meradang, tetapi seluruh anggota

appendiks 1/3 distal berisi nanah. Untuk diagnosis yang penting ialah

ditemukannya nanah dalam lumen bagian itu. Kalau radangnya

menjalar maka dapat terjadi appendiks purulenta.

2) Appendicitis akut purulenta (suppurativa) diffusa

Disertai pembentukan nanah yang berlebihan. Jika radangnya lebih

mengeras, dapat terjadi nekrosis dan pembusukan disebut appendicitis

gangrenosa atau pheegmonosa. Pada appendicitis gangrenosa dapat

terjadi perforasi akibat nekrosis ke dalam rongga perut dengan akibat

peritonitis.

b. Appendicitis kronik

1) Appendicitis kronik focalis

Secara mikroskopi tampak fibrosis setempat yang melingkar sehingga

dapat menyebabkan stenosis.

2) Appendicitis kronik obliterativa

Page 4: Appendicitis 2

Terjadi fibrosis yang luas sepanjang appendik pada jaringan

submukosa dan subserosa, hingga terjadi obliterasi (hilangnya lumen),

terutama di bagian distal dengan menghilangnya selaput lendir pada

bagian itu.

3. Anatomi Fisiologi

Appendiks merupakan organ berbentuk tabung yang buntu,

panjangnya kira-kira 10 cm (beranjak 3-15 cm) atau berukuran sekitar jari

kelingking dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian

proksimal dan melebar di bagian distal. Tonjolan appendiks pada

neonatus berbentuk kerucut yang menonjol dari apeks sekum sepanjang

4,5 cm. Pada masa kanak-kanak, batas appendiks dari sekum semakin

jelas dan bergeser ke arah dorsal kiri. Pada orang dewasa panjang

appendiks rata-rata 9-10 cm, terletak posteriomedial sekum kira-kira 3 cm

inferior dari valvula ileosekalis. Posisi appendiks bisa retrosekal,

retroileal, subileal atau di pelvis, memberikan gambaran klinis yang tidak

sama. Pada posisi normalnya appendiks terletak pada dinding abdomen,

di bawah titik Mc. Burney, dicari dengan menarik garis dari spina iliaka

superior kanan ke umbilikalis, titik tengah garis itu merupakan pangkal

appendiks.

Fungsi appendiks tidak diketahui, kadang-kadang appendik

disebut “tonsil abdomen” karena ditemukan banyak jaringan limfoid sejak

intra uterin akhir kehamilan dan mencapai puncaknya pada kira-kira umur

15 tahun, yang kemudian mengalami atrofi serta praktis menghilang pada

usia 60 tahun. Dengan berkurangnya jaringan limfoid, terjadi fibrosis dan

pada kebanyakan kasus timbul konstriksi lumen atau obliterasi.

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir ini secara normal

dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.

Diperkirakan appendiks mempunyai peranan dalam mekanisme

imunologik, yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks

ialah Ig A Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap

infeksi. Appendiks mengeluarkan cairan yang bersifat basa mengandung

amilase, erepsin, dan musin.

Page 5: Appendicitis 2

4. Etiologi

Penyebab utamanya adalah obstruksi atau penyumbatan yang

disebabkan oleh:

- Fekalit (massa faeses yang padat) akibat konsumsi makanan rendah

serat.

- Cacing/parasit

- Infeksi virus: E. coli, streptococcus

- Sebab lain: misal: tumor, batu

- Striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya

- Hiperplasia limfoid.

5. Patofisiologi

Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen

appendiks oleh fekalit, benda asing, tumor, infeksi virus, hiperplasia

limfoid dan striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya.

Appendik mengeluarkan cairan yang berupa sekret mukus, akibat

obstruksi/penyumbatan lumen tersebut menyebabkan mukus akan

terhambat. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas

dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga mengakibatkan

pelebaran appendiks, resistensi selaput lendir berkurang sehingga

mengakibatkan mudah infeksi dan dari penyumbatan ini lama kelamaan

akan menyebabkan terjadinya peradangan pada appendik dengan tanda

dan gejala nyeri pada titik Mc. Burney, spasme otot, mual, muntah dan

menyebabkan nafsu makan menurun, hipertermi dan leukositosis. Bila

sekresi mukus terus berlanjut, akan menyebabkan peningkatan tekanan

intraluminal, tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran

limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi

mukosa. Pada saat inilah terjadi appendicitis akut focalis yang ditandai

oleh nyeri epigastrik. Hal ini juga bila berlangsung terus akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan

menembus dinding.

Peningkatan tekanan intraluminal akan mengakibatkan oklusi end

arteri appendikularis sehingga aliran darah tidak dapat mencapai appendik

menjadi hipoksia lama kelamaan menjadi iskemia akibat trombosis vena

intramural, lama kelamaan menjadi nekrosis yang akhirnya menjadi

Page 6: Appendicitis 2

gangren dimana mukosa edema dan terlepas sehingga berbentuk tukak.

Dinding appendik ini akan menipis, rapuh dan pecah akan terjadi

appendicitis perforasi. Bila semua proses di atas hingga timbul masa lokal

yang disebut infiltrat appendikularis.

Peradangan appendiks tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh

yang menurun memudahkan terjadinya perforasi. Seringkali perforasi ini

terjadi dalam 24-36 jam. Bila proses ini berjalan lambat organ-organ di

sekitar ileum terminalis, sekum dan omentum akan membentuk dinding

mengitari appendiks sehingga berbentuk abses yang terlokalisasi.

6. Tanda dan Gejala

a. Tahap awal

1) Nyeri abdomen (nyeri epigastrik ataupun pada daerah umbilikus)

hal ini terjadi hilang timbul.

2) Mual dan muntah

3) Demam

b. Tahap pertengahan

1) Rasa sakit menjalar dari daerah epigastrik ke arah titik Mc.

Burney.

2) Anoreksia

3) Kelesuan, badan terasa lemah

4) Terkadang kekakuan otot

5) Suhu subfebris

c. Tahap akut yang disertai perforasi.

1) Terjadi peningkatan rasa sakit di daerah titik Mc. Burney.

2) Muntah

3) Peningkatan temperatur suhu hingga > 38,5oC

4) Kekakuan abdomen

5) Tungkai kanan tidak dapat diluruskan

6) Leukositosis

7) Takikardia.

7. Test Diagnostik

a. Hematologi: leukositosis di atas 10.000 /ul, peningkatan neutrofil

sampai 75%.

Page 7: Appendicitis 2

b. CT scan abdomen: dapat menunjukkan terjadinya abses appendikal

atau appendicitis akut.

c. Foto abdomen: gambaran fekalit, jika perforasi terjadi, gambaran

udara, bebas dapat dilihat dari hasil foto.

d. USG: ditemukan gambaran appendicitis.

e. Urinalisis: normal, tetap leukosit dan eritrosit mungkin ada dalam

jumlah sedikit.

8. Komplikasi

a. Perforasi

Perforasi jarang timbul dalam 12 jam pertama tetapi meningkat

sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui pre operatif dengan

gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih

dari 38,5oC tampak toksik, nyeri tekan di seluruh perut dan

leukositosis akibat perforasi dan pembentukan abses.

b. Peritonitis

Merupakan peradangan peritoneum yang berbahaya yang sering

terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen misalnya

appendicitis. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme

yang hidup di dalam kolon yaitu pada kasus ruptura appendiks. Reaksi

awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya

eksudat fibrinosa, kantong-kantong nanah (abses) terbentuk diantara

perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan

sekitarnya sehingga membatasi infeksi.

c. Obstruksi usus

Dapat didefinisikan sebagai gangguan aliran normal isi usus

sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut atau kronik, parsial

atau total. Obstruksi usus kronik biasanya mengenai kolon sebagai

akibat dari karsinoma. Obstruksi total usus halus merupakan keadaan

gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan

darurat bila penderita ingin tetap hidup.

Page 8: Appendicitis 2

9. Terapi dan Pengelolaan Medik

a. Pre-operasi

- Bedrest: untuk observasi dalam 8-12 jam setelah keluhan.

- Puasa: cairan parenteral jika pembedahan langsung dilakukan

- Therapi farmakologik: narkotik dihindari karena dapat

menghilangkan tanda dan gejala.

- Antibiotik: untuk menanggulangi infeksi.

- Transqualizer: untuk sedasi.

- NGT: untuk mengeluarkan cairan lambung jika diperlukan.

Catatan: enema dan laxantia tidak boleh diberikan karena dapat

meningkatkan peristaltik usus dan menyebabkan perforasi.

- Pembedahan: Appendictomie: secepatnya dilakukan bila

didiagnosanya tepat dan tentunya cara dan reaksi sistemik harus

diperhatikan.

b. Post-operasi

- Observasi TTV terjadinya perdarahan, syok, hipertermia atau

gangguan pernafasan.

- Pasien dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal.

- Kemudian berikan minum mulai 15 ml/jam selama 4-5 jam lalu

naikkan menjadi 30 ml/jam. Keesokan harinya diberikan makanan

saring dan hari berikutnya lunak.

- Aktivitas: satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk

tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Pada hari kedua pasien

dapat berdiri dan duduk di luar kamar.

- Antibiotik dan analgesik setelah post op diberikan.

- Jahitan diangkat hari ke tujuh.

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan.

- Pengetahuan tentang penyebab dan proses penyakit.

- Riwayat operasi, riwayat sakit berat: obstruksi tumor.

- Kebiasaan makan rendah serat, makan pedas, makanan yang sulit

dicerna (biji-bijian).

Page 9: Appendicitis 2

b. Pola nutrisi metabolik

- Mual

- Muntah

- Anoreksia

- Demam

c. Pola eliminasi

- Konstipasi/diare

- Penurunan bising usus

- Perut kembung/tidak ada flatus

d. Pola aktivitas dan latihan

- Malaise

- Takikardi, takipnea

- Imobilisasi

e. Pola tidur dan istirahat

- Kebiasaan tidur (berapa lama)

- Gangguan tidur karena ketidaknyamanan: nyeri

f. Pola persepsi dan kognitif

- Keluhan nyeri pada titik Mc. Burney, nyeri tekan pada titik Mc.

Burney, nyeri daerah luka operasi

g. Pola persepsi dan konsep diri

- Cemas akan tindakan appendiktomi

- Gangguan harga diri

h. Pola koping terhadap stres

- Persepsi penerimaan sakit

- Takut/cemas akan tindakan dan perawatan

2. Diagnosa Keperawatan

a. Pre Operasi

1) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya sistem

pertahanan tubuh sebagai akibat dari proses inflamasi/peradangan.

2) Nyeri abdomen berhubungan dengan proses peradangan pada

appendik.

3) Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan

hipermetabolik (demam, muntah).

4) Ketidakefektifan manajemen terapeutik berhubungan dengan

kurang pengetahuan tentang proses penyakit, dan pengobatan.

Page 10: Appendicitis 2

b. Post Operasi

1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.

2) Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan

pembatasan pasca operasi (puasa), intake kurang.

3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan

pembedahan.

3. Rencana Keperawatan

a. Pre Operasi

DP.1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya

sistem pertahanan tubuh sebagai akibat dari proses

inflamasi/peradangan.

HYD: Tidak terjadi infeksi ditandai dengan suhu dalam batas normal

36-37oC, integritas kulit utuh, leukosit < 10.000 u/L.

Intervensi:

1) Monitor TTV terutama suhu tiap 4 jam.

R/ Suhu meningkat menandakan adanya infeksi.

2) Kaji tanda-tanda peritonitis dan laporkan segera bila perlu.

R/ Mengetahui adanya komplikasi seperti peritonitis.

3) Hindari pemberian huknah/enema sebelum operasi.

R/ Penggunaan enema/pemberian huknah dapat meningkatkan

peristaltik usus dan meningkatkan risiko perforasi.

4) Berikan diit lunak dan bila perlu beri infus.

R/ Peningkatan nutrisi dapat membantu meningkatkan daya tahan

tubuh.

5) Kolaborasi dengan medik pemberian antibiotik.

R/ Mencegah infeksi lebih luas.

DP.2. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada appendiks.

HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah tampak rileks.

Intervensi:

1) Kaji dan catat intensitas, lokasi dan lama nyeri.

R/ Mengetahui tingkat rasa nyeri, berguna dalam pengawasan

keefektifan obat.

2) Kaji tanda nyeri baik verbal maupun non verbal.

R/ Bermanfaat mengevaluasi nyeri.

Page 11: Appendicitis 2

3) Ajarkan teknik relaksasi seperti: imajinasi, musik yang lembut.

R/ Membantu untuk memfokuskan kembali perhatian dan

membantu pasien untuk mengatasi nyeri/rasa tidak nyaman.

4) Ajarkan teknik nafas dalam dan batuk efektif.

R/ Nyeri dapat meningkatkan ketegangan otot, nafas dalam dan

batuk efektif dapat membantu mengurangi ketegangan otot

abdomen.

5) Berikan posisi yang nyaman.

R/ Posisi dapat membantu mengurangi nyeri.

6) Kolaborasi dengan medik pemberian analgetik.

R/ Terapi analgetik dapat mengurangi nyeri.

DP.3. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan

hipermetabolik (demam, muntah).

HYD: Tidak terjadi kekurangan volume cairan, ditandai dengan:

membran mukosa lembab, turgor kulit elastis, tanda-tanda vital

dalam batas-batas normal, keseimbangan intake output.

Intervensi:

1) Pantau tanda-tanda vital, catat adanya hipotensi dan takikardi.

R/ Mengevaluasi keefektifan terapi cairan dan respon pada

pengobatan.

2) Observasi membran mukosa, turgor kulit.

R/ Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi.

3) Pantau dan catat cairan yang keluar dan masuk.

R/ Mengetahui keseimbangan cairan dan jumlah yang diperlukan.

4) Anjurkan pasien untuk minum air hangat.

R/ Air hangat dapat mengurangi mual dan muntah. Peradangan

dapat meningkatkan proses metabolik sehingga diperlukan

cairan yang banyak untuk menurunkan demam.

5) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian cairan parenteral.

R/ Menjaga keseimbangan sirkulasi cairan elektrolit.

Page 12: Appendicitis 2

DP.4. Ketidakefektifan manajemen terapeutik berhubungan dengan

kurang pengetahuan tentang proses penyakit, dan pengobatan.

HYD: Pasien dapat memahami proses penyakit dan pengobatan dan

berpartisipasi dalam program pengobatan.

Intervensi:

1) Kaji kemampuan dan pengetahuan pasien tentang proses penyakit

dan pengobatan.

R/ Membantu memberikan penjelasan yang tepat dan sesuai

kebutuhan.

2) Jelaskan kepada pasien mengenai prosedur persiapan operasi

seperti: waktu pembedahan, lingkungan kamar operasi.

R/ Pasien akan lebih mudah mengingat dan lebih kooperatif.

3) Ajarkan pasien untuk melatih nafas dalam dan latihan otot.

R/ Meningkatkan pengajaran dan aktivitas pasca operasi.

b. Post Operasi

DP.1. Nyeri berhubungan dengan insisi bedah.

HYD: Nyeri berkurang sampai dengan hilang, wajah tampak rileks.

Intervensi:

1) Kaji nyeri, intensitas, lokasi dan lamanya.

R/ Berguna dalam pengawasan keefektifan pengobatan.

2) Pertahankan istirahat dengan posisi semifowler.

R/ Gravitasi melokalisasi eksudat ke dalam abdomen bawah untuk

mengurangi ketegangan abdomen yang bertambah jika posisi

terlentang.

3) Dorong ambulasi dini.

R/ Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh: merangsang

peristaltik dan kelancaran flatus.

4) Kaji ketidaknyamanan yang disebabkan post prosedur operasi.

R/ Ketidaknyamanan mungkin oleh insisi akibat operasi.

5) Dorong penggunaan teknik relaksasi.

R/ Melepaskan tegangan emosional dan otot, tingkatkan perasaan

kontrol.

6) Kolaborasi dengan medik untuk mempertahankan puasa.

Page 13: Appendicitis 2

R/ Menurunkan ketidaknyamanan pasien pada peristaltik usus dini

dan irigasi gaster.

7) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian analgetik.

R/ Menghilangkan rasa nyeri.

DP.2. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan

pembatasan pasca operasi (puasa), intake kurang).

HYD: Tidak terjadi kekurangan volume cairan yang ditandai dengan:

tanda-tanda vital dalam batas normal, turgor kulit elastis,

membran mukosa lembab, intake dan output seimbang.

Intervensi:

1) Observasi tanda-tanda vital (TD, N, HR, S, P).

R/ Hipotensi, takikardi, peningkatan pernafasan,

mengidentifikasikan kekurangan volume cairan.

2) Pantau intake dan output cairan, dan catat warna urine.

R/ Penurunan output urine atau konsentrasi urine pekat

mengidentifikasikan dehidrasi membutuhkan peningkatan

cairan.

3) Catat mual dan muntah.

R/ Mual yang terjadi selama 12-24 jam pasca operasi umumnya

karena efek anastesi.

4) Observasi membran mukosa, turgor kulit, suhu kulit dan palpasi

perifer, capillary refill time.

R/ Kulit dingin/lembab, denyut perifer lemah mengindikasikan

penurunan sirkulasi perifer.

5) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian cairan parenteral.

R/ Cairan parenteral dapat membantu kebutuhan cairan yang

dibutuhkan tubuh.

DP.3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan

pembedahan.

HYD: Luka jahitan bersih, tidak ada tanda-tanda infeksi.

Intervensi:

1) Kaji daerah sekitar luka, apakah ada pus, atau jahitan basah.

R/ Deteksi awal jika terjadi gangguan dalam proses penyembuhan.

Page 14: Appendicitis 2

2) Jaga luka jahitan tetap kering dan bersih.

R/ Mengurangi resiko infeksi.

3) Gunakan teknik aseptik saat merawat luka/jahitan.

R/ Mencegah cross infeksi dan mencegah transmisi infeksi

bakterial pada luka jahitan.

4) Perhatikan intake nutrisi klien.

R/ Penting untuk mempercepat penyembuhan luka.

4. Perencanaan Pulang

a. Mobilisasi bertahap sesuai kemampuan.

b. Jaga luka operasi tetap bersih dan kering.

c. Perhatikan pola makan sehari-hari, makan tinggi serat sangat baik

dikonsumsi, kurangi makanan pedas, diit ditingkatkan bertahap: bubur

saring, bubur biasa, nasi tim/lunak.

d. Minum obat sesuai instruksi, kontrol ke dokter.

e. Segera ke RS bila ada tanda-tanda infeksi: panas, merah, nyeri

Page 15: Appendicitis 2

AppendictomieDP.1 NyeriDP.2 Resti < vol cairanDP.3 Kerusakan integritas kulit

C. PATOFLOWDIAGRAM

Fekalit, cacing, infeksi (E.Coli, Streptococcus)

Obstruksi lumen

Penyumbatan pengeluaran sekret mukus

Pelebaran appendiks

Resistensi selaput lendir berkurang

Mudah infeksi

Peradangan dinding appendiks

Pembentukan mukus >>>

Peningkatan tekanan intra luminal

Oklusi end artery appendikularis

Hipoksia jaringan

Iskemia akibat trombosis vena intramural

Nekrosis

Gangren

Dilatasi dinding appendiks menipis

Perforasi

Peritonitis

DP.4 Ketidakefektifan manajemen terapeutik

Pembatasan cairan Mual, muntah Nyeri

Mual, muntahSuhu Nyeri tekan titik Mc. BurneyLeukositosis

DP.1 Resti infeksiDP2. NyeriDP3. Resti < vol cairan

Mukosa edema dan dapat terlepas sehingga berbentuk tukak

Mual, muntahTD, N, S > 38,5oCDistensi abdomenNyeri tekan seluruh abdomenDP1 Resiko tinggi infeksi

Page 16: Appendicitis 2

BAB III

PENGAMATAN KASUS

Pengamatan kasus dilakukan pada Tn. D umur 46 tahun agama Islam.

Dirawat di unit Fransiskus kamar 47-7, tanggal 01-08-2005, melalui URJSU

PKSC. Diagnosa masuk dengan Appendictis akut dan Atrial Fibrilasi. Pasien

masuk dengan keluhan nyeri abdomen pada kuadran kanan bawah, perut terasa

tegang, mual. Pasien memiliki riwayat penyakit jantung, dirawat di PKSC karena

serangan jantung sejak 1 tahun yang lalu, dan melakukan pengobatan dengan

dokter praktek.

Pada saat pengkajian tanggal 06-08-2005, keadaan umum pasien tampak

sakit sedang. Kesadaran compos mentis. Pasien mengatakan keluhan nyeri

abdomen di kuadran kanan bawah berkurang intensitas 1-2, mual tidak ada.

Observasi tanda-tanda vital: TD: 110/80 mmHg, N: 80 x/menit, HR: 80 x/menit,

S: 36oC, P: 26 x/menit. Pada pasien terpasang venflon (figo) untuk injeksi I.V.

Pasien mendapat batasan cairan 1500 cc/24 jam. Hasil lab (tanggal 2/8/2005)

hematologi: Masa protrombin: 45,1 detik, APTT: 71,6 detik, Leukosit: 13.100

/uL, Segmen: 77%, Limfosit: 16%, Hb: 14 g/d, Kimia: Globulin: 4,3 g/dL, Bill.

Total : 2,3 g/dL, Posfatase alkali: 141 u/L, HDL kolesterol : 25 mg/dL, Urinalisa

(4/8/05) INR: 1,19. Hasil USG Abdomen lengkap (2/8/5): Appendix: membesar,

peristaltik normal, kesan: permulaan appendicitis. Hasil foto thorax (2/8/05)

kesan: severe cardiomegaly dengan efusi pleura bilateral, kiri lebih banyak

dibandingkan kanan. Corakan vaskuler kasar di kedua perihiler. Hasil EKG

(2/8/05): Mitra stenosis Atrial Fibrilasi pada V1 dan V3. Terapi yang didapat:

Oral: Fargoxin 1x1 tablet, Farsix 1x1 tablet, Letonal 1x100 mg, Simarc 2 mg

1x1 tablet, Tiaryt 1x1 tablet, Farmacrol 3x15 cc, Mensifox 500 mg 2x1 tablet,

Suppositoria: Fladex supp 3x500 mg. Injeksi: Sotatik 3x1 amp, Vitamin K 3x1

amp, Clatax 3x1 gr, Farsix 2x1 amp. Diit: Lunak.

Masalah keperawatan yang ditemukan pada pasien adalah Resiko tinggi

penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan konduksi jantung,

Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada appendiks, Intoleransi

aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miocard

dengan kebutuhan, Cemas berhubungan dengan proses perawatan dan

pengobatan (status kesehatan). Rencana tindakan yang dilakukan adalah

Page 17: Appendicitis 2

memfokuskan pada keluhan yang dirasakan pasien, memberikan penyuluhan dan

melaksanakan program medik. Pelaksanaan dilakukan sesuai masalah yang ada

dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan perawatan pada

pasien.

Page 18: Appendicitis 2

BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Setelah penulis melakukan pengamatan kasus maka didapatkan

persamaan dan perbedaan antara teori dan kasus antara lain:

1. Pengkajian

Setelah dilakukan pengkajian mengenai teori dikatakan bahwa

penyebab dari appendicitis adalah fekalit, yaitu masa feses yang padat yang

disebabkan karena kurang makan makanan yang mengandung serat.

Penyebab ini sesuai pada kasus dimana pada pola persepsi kesehatan pasien

tidak suka makan makanan yang mengandung serat seperti sayuran dan

ditambahkan jarang minum air putih. Tanda dan gejala yang dialami pasien

sejak 6 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri di bagian abdomen kanan

bawah dan perut terasa tegang, ada mual, tetapi pada saat melakukan

pengkajian nyeri di abdomen kanan bawah berkurang intensitas 1-2, mual

tidak ada, tanda dan gejala ini sama dengan teori. Banyaknya sel darah putih

dalam darah dibuktikan dengan hasil laboratorium tanggal 2 Agustus 2005

didapat Leukosit: 13.100 /ul, dan dikatakan adanya appendicitis dari hasil

USG tanggal 2 Agustus 2005. Kesan: permulaan appendicitis karena

appendix membesar, peristaltik normal. Gejala cepat lelah didapat pada kasus

karena pasien ada riwayat sakit jantung sejak 1 tahun yang lalu, tetapi

keluhan sesak dan nyeri dada sudah tidak ada. Pada EKG tanggal 2/8/05

didapat hasil mitral stenosis Atrial fibrilasi pada V1 dan V3 yaitu disritmia

yang disebabkan oleh gangguan pembentukan impuls. Hasil foto thorax

tanggal 2/8/05 kesan: Severe cardiomegaly dengan efusi pleura bilateral kiri

lebih banyak dibandingkan kanan corakan vaskuler kasar di kedua perihiler.

Hal ini kemungkinan akibat pembesaran atrium akibat lesi katup jantung

yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam

ventrikel. Pasien mendapat batasan cairan 1500 cc/24 jam kemungkinan agar

memperingan kerja jantung. Pasien juga mengalami cemas karena berkaitan

dengan perawatan dan pengobatan yang seharusnya akan dilakukan operasi

Page 19: Appendicitis 2

appendiks tetapi karena biaya tidak ada dan kemungkinan ditunda karena

resiko terhadap penyakit jantungnya.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang penulis temukan pada pasien adalah

resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan

konduksi jantung, diagnosa ini diangkat karena adanya hasil EKG dengan

Mitral stenosis, atrial fibrilasi pada V1 dan V3. Diagnosa ke-2 adalah nyeri

berhubungan dengan proses peradangan pada appendiks, diagnosa ini

diangkat karena pasien mengatakan nyeri tekan mulai berkurang intensitas 1-

2 dan hasil USG adanya permulaan appendicitis. Diagnosa ke-3 adalah

intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen

miokard dengan kebutuhan karena pasien mengatakan cepat lelah, N/HR: 80

x/nt, P: 26 x/mnt, hasil thorax foto: severe cardiomegali dengan efusi pleura

bilateral kiri lebih banyak dibandingkan kanan, corakan vaskuler kasar di

kedua perihiler. Diagnosa ke-4 adalah cemas berhubungan dengan proses

perawatan dan pengobatan karena pasien mengatakan merasa beban karena

biaya tidak ada untuk operasi, ingin cepat pulang. Diagnosa lain yang

berhubungan dengan appendicitis pada teori tidak diangkat karena sesuai

dengan kondisi pasien.

3. Perencanaan

Perencanaan yang dilakukan pada DP1 difokuskan pada pemantauan

tanda-tanda vital terutama nadi/HR, suara irama jantung, obat-obatan dengan

batasan cairan. DP2 difokuskan pada cara mengatasi nyeri dengan teknik

relaksasi dan mengkaji nyeri (intensitas). DP3 difokuskan pada penyuluhan

tentang pentingnya istirahat dan tanda-tanda vital setelah melakukan

aktivitas. DP4 difokuskan pada pendampingan terhadap koping yang

digunakan pasien.

Page 20: Appendicitis 2

4. Pelaksanaan

Pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah dibuat

yaitu: pada DP1 memantau tanda-tanda vital terutama N, HR (irama,

frekuensi), mengkaji keluhan pasien seperti nyeri dada, memberikan terapi

obat-obatan sesuai instruksi serta memantau cairan. Pada DP2 Mengkaji dan

mencatat intensitas, lokasi nyeri, mengobservasi TTV (TD, N, HR, P, S),

mengajarkan teknik relaksasi dan memberikan therapy. Pada DP3 Memberi

penjelasan mengenai aktivitas yang boleh dilakukan, mengkaji tanda-tanda

tidak toleransi terhadap aktivitas. DP4 Mengajak pasien berdiskusi agar

mengurangi rasa cemas dan mengkaji keefektifan koping pasien.

5. Evaluasi

Evaluasi dilakukan sesuai diagnosa yang ada, namun semua masalah

yang ada pada pasien belum dapat teratasi. Pada Dp1 keluhan lelah, hasil

dari EKG dan tanda-tanda vital memungkinkan resiko penurunan curah

jantung, DP2 Hasil USG dan laboratorium serta keluhan nyeri akibat proses

peradangan pada appendix, DP3 untuk aktivitas masih dibatasi agar tidak

memperberat kerja jantung, DP4 kecemasan masih ada sehingga masih

dibutuhkan dukungan keluarga untuk pasien.

Page 21: Appendicitis 2

BAB V

KESIMPULAN

Setelah melakukan pengamatan dan pembahasan kasus maka dapat

diambil kesimpulan bahwa pada pasien terdapat dua masalah yaitu appendicitis

dan atrial fibrilasi. Appendicitis adalah peradangan appendik, untuk penyebab

dari appendicitis adalah adanya fekalit, infeksi virus dengan tanda dan gejala

nyeri pada daerah abdomen kanan bawah dapat disertai mual.

Atrial fibrilasi disebabkan karena gangguan pembentukan impuls. Yaitu

pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium

mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel. Oleh karena itu sesuai

dengan kondisi pasien maka lebih memprioritaskan yang mengancam jiwa, tetapi

tidak mengabaikan gejala yang lain.

Dalam hal ini pola hidup yang salah merupakan faktor yang dapat

mengakibatkan terjadinya penyakit appendicitis. Oleh karena itu peran penting

perawat seta dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien maka

perlunya penyuluhan pada masyarakat dalam hal mengatur pola hidup yang baik

agar terjaga kesehatannya.

Page 22: Appendicitis 2

DAFTAR PUSTAKA

Barbara C. Long, 1989. Medical Surgical Nursing . St. Louis. CV. Mosby

Company.

Brunner and Suddarth. 1999. Keperawatan Medikal Bedah. Vol. 2, Alih bahasa:

Monica Ester, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Donna D. Ignatavicius, 1991. Medical Surgical Nursing , WB. Saunders

Company, Philadelphia.

Joyce M. Black, 1997. Medical Surgical Nursing Clinical Management for

Continuity of Care . Fifth Edition, WB. Saunders Company, Philadelphia.

Lewis, Sharon Mantik, 2000, Medical Surgical Nursing: Assessment and

Management of Clinical Problems. Missouri: Mosby Inc.

Luckmann and Sorensen’s, 1993. Medical Surgical Nursing A

Psychophysiologic Approac h. Fourth edition.

Marilynn E. Doengoes, 1993. Nursing Care Plan . Edition 3, Philadelphia: F.A.

Davis Company.

Soeparman, Sarwono Waspadji, 1990. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , Jilid II.

Penerbit FKUI. Jakarta.