AP/APICHART WEERAWONG TERSENYUM Reformasi Politik Myanmar T filemar yang berada di Yangon pada...

1
22 SELASA, 6 DESEMBER 2011 F OKUS INT RIZKI SYARIEF D AHULU Myan- mar ialah simbol perlawanan terha- dap kediktatoran penguasa. Namun, kini geliat demokrasi di negeri itu mulai menunjukkan perkembangan yang membuat terpana berba- gai pihak. Setelah lebih dari dua da- sawarsa, militer menampakkan sikap keras kepala atas protes- protes terhadap berbagai pelang- garan hak asasi manusia. Akhir- nya para petinggi militer Myan- mar mulai berkoar akan mere- formasi lembaga mereka. Namun, itu tak hanya cukup dengan reformasi militer. Kebi- jakan-kebijakan lainnya seperti jaminan bebas bersuara bagi serikat pekerja, pengurangan pembatasan pers untuk me- nyampaikan informasi, dan pembebasan sejumlah tahanan politik pun menjadi salah satu agenda pemerintah Myanmar. Menurut mantan pejabat Per- serikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pengamat Myanmar, Thant Myint-U, periode satu tahun itu menjadi masa kritis bagi Presi- den Thein Sein. Apakah Thein Sein mampu membuktikan ke- pada publik internasional bahwa liberalisasi di negaranya bisa berjalan dengan mulus? Namun, isu kemiskinan, ter- ganggunya perekonomian, dan gejolak di beberapa wilayah masih ‘menghantui’ Myanmar. Kelompok etnik dengan persen- jataan besar sering bertempur dengan pasukan pemerintah di sepanjang pebatasan China dan Thailand. Wilayah perbatasan tersebut juga dikenal sebagai produsen besar obat-obatan terlarang jenis heroin dan metamfetamin yang dijual ke berbagai penjuru Asia. “Pada dasarnya sangat mudah meningkatkan rasa optimistis pada titik ini, membayangkan pembebasan para tahanan poli- tik, Aung San Suu Kyi masuk parlemen, dan pemilu yang jujur dan adil,” kata Thant Myint-U seperti dikutip dari New York Times. “Tetapi, rasa optimistis itu sulit ditemukan di sektor ekono- mi. Tidak ada undang-undang yang jelas. Sistem perbankan tidak memadai, dan tidak ada sistem yang bisa membantu per- tumbuhan ekonomi sehingga dunia usaha tidak berkembang karena tidak ada pinjaman mo- dal,” tambahnya. Presiden Myanmar Thein Sein menjadi figur sentral dalam agenda reformasi. Rakyat Myan- mar yang berada di Yangon pada umumnya menilai baik sang presiden. Mereka menilai Sein sebagai sosok yang bisa berkom- promi dan relatif jujur demi mem- bangun Myanmar modern. Pendiri Liga Nasional Demokrasi (NLD), U Win Tin, mengatakan ada dua kekuasaan di Myanmar, yaitu pemerintahan di bawah kendali Thein Sein dan militer. “Thein Sein menjanjikan pe- merintahan yang bersih dan berdamai dengan kelompok et- nik bersenjata, sedangkan militer ingin terus memerangi kelom- pok pemberontak,” katanya. Salah satu motivasi bagi para pemimpin untuk mengubah Myanmar ialah motif ekonomi. Sanksi dan pengucilan masyarakat global menjadikan Myanmar mendekati China, ter- utama untuk mendapat pin- jaman modal. “Kami membutuhkan kawan baru,” kata ekonom Myanmar, Khin Maung Nyo, seperti diku- tip Guardian. “Kami memiliki dua masalah, kurangnya ang- garan dan juga pemerintah harus mengelola anggaran dengan efektif dan bijaksana.” Utang Myanmar terus me- ningkat dan nilai mata uang tidak stabil. “Resminya US$1 setara dengan 6 kyat, tetapi pada kenyataannya mencapai 800 atau 900 kyat per dolar AS,” lanjut Khin Maung Nyo. Pemerintah menghabiskan sekitar 23% produk domestik bruto (PDB) untuk militer, tetapi hanya 1% untuk pendidikan dan 1% untuk kesehatan sehingga krisis kesehatan pun mengan- cam negara yang dahulu dikenal Burma itu. Berbagai kejadian dramatis masih muncul dari pergerakan akar rumput. Salah satunya ialah perlawanan terhadap pemba- ngunan Bendungan Myitsone yang dibantu China di wilayah Irrawaddy. Pembangunan ben- dungan itu telah membanjiri wilayah seluas Singapura dan merusak sejumlah tambak dan infrastruktur di hilir sungai. Energi listrik yang dihasilkan bendungan itu sekitar 90% dia- lirkan ke China, sementara ke- untungan dari penjualan listrik tersebut diraup para penguasa junta militer. Tidak aneh jika warga lokal akhirnya berontak, dengan serangan bom dan pesan ‘Selamatkan Irrawaddy’ tertem- pel di sejumlah tembok kota, bahkan sampai di Yangon. AS bertaruh Presiden AS Barack Obama berspekulasi bahwa ‘Negeri Pa- man Sam’ bisa merangkul Myan- mar selama negara di Asia Teng- gara itu mampu melaksanakan reformasi politik. Langkah itu diharapkan meningkatkan hu- bungan diplomatik dan ekonomi setelah lebih dari 50 tahun hu- bungan dua negara itu reng- gang. Keputusan Obama mengirim Menteri Luar Negeri Hillary Clinton bertandang ke Myanmar di awal Desember menandai tahap perjanjian baru dengan pemerintah sipil yang serius menjalankan serangkaian proses reformasi seusai mengambil alih kekuasaan junta militer lewat pemilu tahun lalu. Bagi AS, pendekatan dengan Myanmar bisa membuka pangsa pasar baru dan mengimbangi kekuatan China yang selama ini menjadi mitra politik dan ekono- mi terbesar bagi Myanmar. “Ini kemajuan penting yang bisa kita lihat sejak militer mengambil alih dan menghan- curkan salah satu negara termak- mur di Asia Tenggara,” kata Da- vid Steinberg, pengamat kajian Myanmar dari Georgetown Uni- versity, seperti dikutip Reuters. “Sudah ada langkah nyata untuk mereformasi lembaga pemerintahan dan AS harus melakukan segala upaya yang bisa meningkatkan segala ke- mungkinan yang terus terjadi,” tambah Steinberg. Pemerintahan Obama memu- lai penjajakan terhadap Myan- mar pada 2009 silam. Dalam beberapa bulan terakhir, Wash- ington mulai gencar mendekati sejak pihak militer akhirnya mendukung pemerintahan sipil dan langkah-langkah reformasi lainnya. AS menjatuhkan sanksi ekono- mi terhadap Myanmar sejak 1988. Jejak AS itu diikuti Uni Eropa, Australia, dan Kanada demi menekan junta militer. Direktur Kajian Asia Tenggara di Center for Strategic and Inter- national Studies (CSIS) dan mentan Ketua Dewan Perda- gangan AS-ASEAN, Ernest Bower, mengatakan para pengu- saha AS sangat berminat berin- vestasi di negara yang memiliki populasi sekitar 54 juta jiwa dan kaya akan sumber daya alam seperti gas alam, tambang, dan kayu itu. (*/Guardian/New York Times/Reuters/I-3) [email protected] Reformasi Politik Myanmar T Dengan pendekatan kepada Myanmar, AS bisa membuka pangsa pasar baru dan sekaligus mengimbangi kekuatan China. TEMA: Problema Wisata Komodo NUSANTARA RABU (7/12/2011) FOKUS DI tangan Presiden Thein Sein, roda reformasi Myanmar ber- putar cepat. Itu diawali dengan pembebasan tokoh demokrasi, Aung San Suu Kyi, yang men- jadi sorotan dunia. Gebrakan kedua yang tidak terduga ialah kala pemerintahan Sein mem- bebaskan ribuan tahanan poli- tik. Tak pelak lagi, Myanmar pun dipandang serius melaku- kan perubahan. Namun, gaung nyaring terse- but belum diiringi dengan pe- nuntasan masalah pemberon- takan sejumlah kelompok etnik. Bentrokan senjata dan per- tumpahan darah terus menetes di tanah negeri bekas jajahan Inggris itu. Karena itu, refor- masi Myanmar menuju pang- gung demokrasi dinilai belum lengkap tanpa penyelesaian damai dengan sejumlah kelom- pok etnik pemberontak. Bila menilik sejarah, ke- beradaan kelompok pemberon- tak muncul bersamaan dengan lahirnya Republik Burma, nama awal Myanmar, pada 1948. Pemberontakan dipicu pan- dangan sejumlah kelompok et- nik yang merasa dianaktirikan oleh dominasi suku Bamar. Banyak tokoh dari suku Bam- ar menduduki posisi penting di pemerintahan, baik sipil mau- pun militer. Kelompok masyarakat dari suku Karen, Kachin, Mon, Shan, Karenni, serta kelompok etnik lainnya memilih memanggul senjata AK-47 dan M16 untuk mela- wan pemerintah Myanmar yang dikuasai suku Bamar. Suku Bamar berasal dari wilayah Tibet yang datang ke tanah Myanmar sejak 1.000 ta- hun lalu. Suku yang dominan itu menggunakan bahasa Bur- mese. Jumlah suku Bamar mencapai 60% dari total 53,9 juta jiwa penduduk Myanmar. Kini jumlah suku Bamar men- capai lebih dari 30 juta jiwa. Suku lain yang termasuk lima besar di Myanmar selain Bamar ialah Shan, Karen, Kachin, dan Chin. Selain itu, terdapat suku lain yang jumlah kecil yakni suku Lahu, Wa, Akha, dan Lisu. Di seantero Myanmar terdapat 150 distrik yang ditempati berbagai suku. Pada masa kekuasaan junta militer yang dipimpin Jenderal Ne Win dan Jenderal Senior Than Shwe, kepemimpinan militer tidak pernah serius berdamai dengan kelompok- kelompok etnik yang mem- berontak. Militer lebih memilih meredam pemberontakan de- ngan cara pemaksaan. Hal itu mengakibatkan ter- jadinya gelombang pengungsi besar-besaran etnik-etnik pem- berontak tersebut ke negara- negara tetangga. Sebenarnya pada 1963, seta- hun pascakudeta militer, peme- rintah militer Ne Win melun- curkan tawaran pembicaraan perdamaian dengan kelompok -kelompok etnik pemberontak. Termasuk tawaran perdamaian kepada kelompok gerakan ko- munis suku Bamar. Ternyata tawaran damai itu hanya setengah hati. Justru pemerintahan Rangoon--kini Yangon--mengadopsi kebijakan zero-sum yang siap membu- mihanguskan sejumlah kelom- pok pemberontak. Setahun kemudian, Jenderal Than Shwe menegaskan bahwa pihak mi- liter tidak akan berdamai atau- pun melakukan rekonsiliasi dengan pemberontak. Gencatan senjata Pada 4 Desember lalu, media pemerintah Myanmar melapor- kan bahwa pemerintah telah mencapai kesepakatan awal gencatan senjata dengan salah satu kelompok gerilyawan etnik terbesar. Pakta kesepakatan itu ditandatangani oleh perwakilan Tentara Negara Shan Selatan dan pemerintah negara bagian. Harian New Light of Myanmar mengatakan ‘persetujuan per- mulaan’ dirancang untuk mem- bangun perdamaian atas per- mintaan pemerintahan Repub- lik Myanmar Bersatu. Penanda- tanganan dilaksanakan di Taunggyi, ibu kota Negara Bagian Shan. Kini para mediator tengah berupaya mencapai kesepa- katan damai dengan kelompok etnik pemberontak lainnya, yakni Uni Nasional Karen, Tentara Kemerdekaan Kachin, Front Nasional Chin, dan Partai Progresif Nasional Karenni. (Drd/Reuters/AP/I-2) Dominasi Bamar Sumber Pergolakan Thein Sein menjanjikan pemerintahan yang bersih dan berdamai dengan kelompok etnik bersenjata, sedangkan militer ingin terus memerangi kelompok pemberontak.” U Win Tin Pendiri Liga Nasional Demokrasi PATROLI: Para pejuang Tentara Negara Bagian Shan berpatroli di dekat hutan yang menjadi markas mereka di Loi Tai Leng, Negara Bagian Shan, Myanmar. Kolompok etnik minoritas itu berjuang melawan pemerintah untuk mendapat otonomi lebih besar selama puluhan tahun. TERSENYUM: Pemimpin prodemokrasi Aung San Suu Kyi tersenyum kepada 97 km dari Yangon, Myanmar, beberapa waktu lalu. AP/APICHART WEERAWONG

Transcript of AP/APICHART WEERAWONG TERSENYUM Reformasi Politik Myanmar T filemar yang berada di Yangon pada...

22 SELASA, 6 DESEMBER 2011 FOKUS INT

RIZKI SYARIEF

DA H U L U M y a n -mar ialah simbol perlawanan terha-dap kediktatoran

penguasa. Namun, kini geliat demokrasi di negeri itu mulai menunjukkan perkembangan yang membuat terpana berba-gai pihak.

Setelah lebih dari dua da-sawarsa, militer menampakkan sikap keras kepala atas protes-protes terhadap berbagai pelang-garan hak asasi manusia. Akhir-nya para petinggi militer Myan-mar mulai berkoar akan mere-formasi lembaga mereka.

Namun, itu tak hanya cukup dengan reformasi militer. Kebi-jakan-kebijakan lainnya seperti jaminan bebas bersuara bagi serikat pekerja, pengurangan pembatasan pers untuk me-nyampaikan informasi, dan pembebasan sejumlah tahanan politik pun menjadi salah satu agenda pemerintah Myanmar.

Menurut mantan pejabat Per-serikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pengamat Myanmar, Thant Myint-U, periode satu tahun itu menjadi masa kritis bagi Presi-den Thein Sein. Apakah Thein Sein mampu membuktikan ke-pada publik internasional bahwa liberalisasi di negaranya bisa berjalan dengan mulus?

Namun, isu kemiskinan, ter-ganggunya perekonomian, dan gejolak di beberapa wilayah masih ‘menghantui’ Myanmar. Kelompok etnik dengan persen-jataan besar sering bertempur dengan pasukan pemerintah di sepanjang pebatasan China dan

Thailand. Wilayah perbatasan tersebut

juga dikenal sebagai produsen besar obat-obatan terlarang jenis heroin dan metamfetamin yang dijual ke berbagai penjuru Asia.

“Pada dasarnya sangat mudah meningkatkan rasa optimistis pada titik ini, membayangkan pembebasan para tahanan poli-tik, Aung San Suu Kyi masuk parlemen, dan pemilu yang jujur dan adil,” kata Thant Myint-U seperti dikutip dari New York Times.

“Tetapi, rasa optimistis itu sulit ditemukan di sektor ekono-mi. Tidak ada undang-undang yang jelas. Sistem perbankan tidak memadai, dan tidak ada sistem yang bisa membantu per-tumbuhan ekonomi sehingga dunia usaha tidak berkembang karena tidak ada pinjaman mo-dal,” tambahnya.

Presiden Myanmar Thein Sein menjadi figur sentral dalam agenda reformasi. Rakyat Myan-mar yang berada di Yangon pada umumnya menilai baik sang presiden. Mereka menilai Sein sebagai sosok yang bisa berkom-promi dan relatif jujur demi mem-bangun Myanmar modern.

Pendir i L iga Nasional Demokrasi (NLD), U Win Tin, mengatakan ada dua kekuasaan di Myanmar, yaitu pemerintahan di bawah kendali Thein Sein dan militer.

“Thein Sein menjanjikan pe-merintahan yang bersih dan berdamai dengan kelompok et-nik bersenjata, sedangkan militer ingin terus memerangi kelom-pok pemberontak,” katanya.

Salah satu motivasi bagi para

pemimpin untuk mengubah Myanmar ialah motif ekonomi. S a n k s i d a n p e n g u c i l a n masyarakat global menjadikan Myanmar mendekati China, ter-utama untuk mendapat pin-jaman modal.

“Kami membutuhkan kawan baru,” kata ekonom Myanmar, Khin Maung Nyo, seperti diku-tip Guardian. “Kami memiliki dua masalah, kurangnya ang-garan dan juga pemerintah harus mengelola anggaran dengan efektif dan bijaksana.”

Utang Myanmar terus me-ningkat dan nilai mata uang tidak stabil. “Resminya US$1 setara dengan 6 kyat, tetapi pada kenyataannya mencapai 800 atau 900 kyat per dolar AS,” lanjut Khin Maung Nyo.

Pemerintah menghabiskan sekitar 23% produk domestik bruto (PDB) untuk militer, tetapi hanya 1% untuk pendidikan dan 1% untuk kesehatan sehingga krisis kesehatan pun mengan-cam negara yang dahulu dikenal Burma itu.

Berbagai kejadian dramatis

masih muncul dari pergerakan akar rumput. Salah satunya ialah perlawanan terhadap pemba-ngunan Bendungan Myitsone yang dibantu China di wilayah Irrawaddy. Pembangunan ben-dungan itu telah membanjiri wilayah seluas Singapura dan merusak sejumlah tambak dan infrastruktur di hilir sungai.

Energi listrik yang dihasilkan bendungan itu sekitar 90% dia-lirkan ke China, sementara ke-untungan dari penjualan listrik tersebut diraup para penguasa junta militer. Tidak aneh jika warga lokal akhirnya berontak, dengan serangan bom dan pesan ‘Selamatkan Irrawaddy’ tertem-pel di sejumlah tembok kota, bahkan sampai di Yangon.

AS bertaruh

Presiden AS Barack Obama berspekulasi bahwa ‘Negeri Pa-man Sam’ bisa merangkul Myan-mar selama negara di Asia Teng-gara itu mampu melaksanakan reformasi politik. Langkah itu diharapkan meningkatkan hu-bungan diplomatik dan ekonomi setelah lebih dari 50 tahun hu-bungan dua negara itu reng-gang.

Keputusan Obama mengirim Menteri Luar Negeri Hillary Clinton bertandang ke Myanmar di awal Desember menandai tahap perjanjian baru dengan pemerintah sipil yang serius menjalankan serangkaian proses reformasi seusai mengambil alih kekuasaan junta militer lewat pemilu tahun lalu.

Bagi AS, pendekatan dengan Myanmar bisa membuka pangsa pasar baru dan mengimbangi

kekuatan China yang selama ini menjadi mitra politik dan ekono-mi terbesar bagi Myanmar.

“Ini kemajuan penting yang bisa kita lihat sejak militer mengambil alih dan menghan-curkan salah satu negara termak-mur di Asia Tenggara,” kata Da-vid Steinberg, pengamat kajian Myanmar dari Georgetown Uni-versity, seperti dikutip Reuters.

“Sudah ada langkah nyata untuk mereformasi lembaga pemerintahan dan AS harus melakukan segala upaya yang bisa meningkatkan segala ke-mungkinan yang terus terjadi,” tambah Steinberg.

Pemerintahan Obama memu-lai penjajakan terhadap Myan-mar pada 2009 silam. Dalam beberapa bulan terakhir, Wash-ington mulai gencar mendekati sejak pihak militer akhirnya mendukung pemerintahan sipil dan langkah-langkah reformasi lainnya.

AS menjatuhkan sanksi ekono-mi terhadap Myanmar sejak 1988. Jejak AS itu diikuti Uni Eropa, Australia, dan Kanada demi menekan junta militer.

Direktur Kajian Asia Tenggara di Center for Strategic and Inter-national Studies (CSIS) dan mentan Ketua Dewan Perda-gangan AS-ASEAN, Ernest Bower, mengatakan para pengu-saha AS sangat berminat berin-vestasi di negara yang memiliki populasi sekitar 54 juta jiwa dan kaya akan sumber daya alam seperti gas alam, tambang, dan kayu itu. (*/Guardian/New York Times/Reuters/I-3)

[email protected]

Reformasi Politik Myanmar TDengan

pendekatan kepada

Myanmar, AS bisa membuka pangsa pasar

baru dan sekaligus

mengimbangi kekuatan China.

TEMA:Problema

Wisata Komodo

NUSANTARARABU (7/12/2011)

FOKUS

DI tangan Presiden Thein Sein, roda reformasi Myanmar ber-putar cepat. Itu diawali dengan pembebasan tokoh demokrasi, Aung San Suu Kyi, yang men-jadi sorotan dunia. Gebrakan kedua yang tidak terduga ialah kala pemerintahan Sein mem-bebaskan ribuan tahanan poli-tik. Tak pelak lagi, Myanmar pun dipandang serius melaku-kan perubahan.

Namun, gaung nyaring terse-but belum diiringi dengan pe-nuntasan masalah pemberon-takan sejumlah kelompok etnik. Bentrokan senjata dan per-tumpahan darah terus menetes di tanah negeri bekas jajahan Inggris itu. Karena itu, refor-masi Myanmar menuju pang-gung demokrasi dinilai belum lengkap tanpa penyelesaian damai dengan sejumlah kelom-pok etnik pemberontak.

Bila menilik sejarah, ke-

beradaan kelompok pemberon-tak muncul bersamaan dengan lahirnya Republik Burma, nama awal Myanmar, pada 1948. Pemberontakan dipicu pan-dangan sejumlah kelompok et-nik yang merasa dianaktirikan oleh dominasi suku Bamar.

Banyak tokoh dari suku Bam-ar menduduki posisi penting di pemerintahan, baik sipil mau-p u n m i l i t e r. K e l o m p o k masyarakat dari suku Karen, Kachin, Mon, Shan, Karenni, serta kelompok etnik lainnya memilih memanggul senjata AK-47 dan M16 untuk mela-wan pemerintah Myanmar yang dikuasai suku Bamar.

Suku Bamar berasal dari wilayah Tibet yang datang ke tanah Myanmar sejak 1.000 ta-hun lalu. Suku yang dominan itu menggunakan bahasa Bur-mese. Jumlah suku Bamar mencapai 60% dari total 53,9

juta jiwa penduduk Myanmar. Kini jumlah suku Bamar men-capai lebih dari 30 juta jiwa.

Suku lain yang termasuk lima besar di Myanmar selain Bamar ialah Shan, Karen, Kachin, dan Chin. Selain itu, terdapat suku lain yang jumlah kecil yakni suku Lahu, Wa, Akha, dan Lisu. Di seantero Myanmar terdapat 150 distrik yang ditempati berbagai suku.

Pada masa kekuasaan junta militer yang dipimpin Jenderal Ne Win dan Jenderal Senior Than Shwe, kepemimpinan militer tidak pernah serius berdamai dengan kelompok-kelompok etnik yang mem-berontak. Militer lebih memilih meredam pemberontakan de-ngan cara pemaksaan.

Hal itu mengakibatkan ter-jadinya gelombang pengungsi besar-besaran etnik-etnik pem-berontak tersebut ke negara-

negara tetangga.Sebenarnya pada 1963, seta-

hun pascakudeta militer, peme-rintah militer Ne Win melun-curkan tawaran pembicaraan perdamaian dengan kelompok-kelompok etnik pemberontak. Termasuk tawaran perdamaian kepada kelompok gerakan ko-munis suku Bamar.

Ternyata tawaran damai itu hanya setengah hati. Justru pemerintahan Rangoon--kini Yangon--mengadopsi kebijakan zero-sum yang siap membu-mihanguskan sejumlah kelom-pok pemberontak. Setahun kemudian, Jenderal Than Shwe menegaskan bahwa pihak mi-liter tidak akan berdamai atau-pun melakukan rekonsiliasi dengan pemberontak.

Gencatan senjata Pada 4 Desember lalu, media

pemerintah Myanmar melapor-

kan bahwa pemerintah telah mencapai kesepakatan awal gencatan senjata dengan salah satu kelompok gerilyawan etnik terbesar. Pakta kesepakatan itu ditandatangani oleh perwakilan Tentara Negara Shan Selatan dan pemerintah negara bagian.

Harian New Light of Myanmar mengatakan ‘persetujuan per-mulaan’ dirancang untuk mem-bangun perdamaian atas per-mintaan pemerintahan Repub-lik Myanmar Bersatu. Penanda-tanganan dilaksanakan di Taunggyi, ibu kota Negara Bagian Shan.

Kini para mediator tengah berupaya mencapai kesepa-katan damai dengan kelompok etnik pemberontak lainnya, yakni Uni Nasional Karen, Tentara Kemerdekaan Kachin, Front Nasional Chin, dan Partai Progresif Nasional Karenni. (Drd/Reuters/AP/I-2)

Dominasi Bamar Sumber Pergolakan

Thein Sein menjanjikan

pemerintahan yang bersih dan berdamai dengan kelompok etnik bersenjata, sedangkan militer ingin terus memerangi kelompok pemberontak.” U Win Tin Pendiri Liga Nasional Demokrasi

PATROLI: Para pejuang Tentara Negara Bagian Shan berpatroli di dekat hutan yang menjadi markas mereka di Loi Tai Leng, Negara Bagian Shan, Myanmar. Kolompok etnik minoritas itu berjuang melawan pemerintah untuk mendapat otonomi lebih besar selama puluhan tahun.

TERSENYUM: Pemimpin prodemokrasi Aung San Suu Kyi tersenyum kepada97 km dari Yangon, Myanmar, beberapa waktu lalu.

AP/APICHART WEERAWONG